Penulis: Illana Tan
Novel versi pdf
Awalnya, mereka bertemu secara tidak disengaja. Ternyata, Tatsuya adalah teman dari kakak angkat Tara. Merekapun menjadi semakin dekat dan cocok tanpa disangka-sangka.
Masa-masa indah mereka lalui bersama, berjalan-jalan ke tempat-tempat indah di Paris, melihat pemandangan kota Paris yang romantis. Namun sayangnya, kekejaman takdir kehidupan membuat mereka berada dalam suatu dilemma.
Masa lalu mereka yang tidak dapat diubah, menghancurkan cinta mereka. Sebuah kejadian telah membuka tirai masa lalu...
Tatsuya harus menjauhkan diri dari Tara, walaupun ia merasa itu sangat sulit. Kenyataan yang pahit telah membuatnya bimbang. Sampai akhirnya Tara juga mengetahui kenyataan pahit tersebut... dan cinta mereka berada di dalam cobaan yang berat... Jalan yang buntu.
Novel ini merupakan salah satu Novel yang patut untuk dibaca. Ceritanya memang menyedihkan dan mengharukan, namun tidak cengeng. Romantisme juga terasa sekali di dalam novel ini. Seperti saat Tatsuya menuliskan perasaan di dalam surat dan mengirimkannya ke radio. So, baca atau download saja novel Autumn in Paris disini...
Novel versi pdf
Awalnya, mereka bertemu secara tidak disengaja. Ternyata, Tatsuya adalah teman dari kakak angkat Tara. Merekapun menjadi semakin dekat dan cocok tanpa disangka-sangka.
Masa-masa indah mereka lalui bersama, berjalan-jalan ke tempat-tempat indah di Paris, melihat pemandangan kota Paris yang romantis. Namun sayangnya, kekejaman takdir kehidupan membuat mereka berada dalam suatu dilemma.
Masa lalu mereka yang tidak dapat diubah, menghancurkan cinta mereka. Sebuah kejadian telah membuka tirai masa lalu...
Tatsuya harus menjauhkan diri dari Tara, walaupun ia merasa itu sangat sulit. Kenyataan yang pahit telah membuatnya bimbang. Sampai akhirnya Tara juga mengetahui kenyataan pahit tersebut... dan cinta mereka berada di dalam cobaan yang berat... Jalan yang buntu.
Novel ini merupakan salah satu Novel yang patut untuk dibaca. Ceritanya memang menyedihkan dan mengharukan, namun tidak cengeng. Romantisme juga terasa sekali di dalam novel ini. Seperti saat Tatsuya menuliskan perasaan di dalam surat dan mengirimkannya ke radio. So, baca atau download saja novel Autumn in Paris disini...
Ilana Tan
Merci de lire ce livre
Thank YOU for reading this book
Prolog
JALANAN sepi.
Langit gelap.
Angin musim gugur bertiup kencang.
Ia
merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja
menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa
merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafnya sudah tidak berfungsi. Ia
tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak
bisa merasakan apa-apa.
Kecuali rasa sakit di hatinya. Ia bisa merasakan yang satu itu. Sakit sekali....
Butuh
tenaga besar untuk menyeret kakinya dan maju selangkah. Sebelah
tangannya terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket. Tangan
yang lain terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi jembatan. Pagar
besi itu seharusnya terasa dingin di tangannya yang telanjang, tapi
nyatanya ia tidak merasakan apa pun walaupun ia mencengkeram pagar besi
itu sampai buku-buku jarinya memutih.
Matanya
menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat tenang seperti kaca
besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi
jalan.
Air sungai itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke sungai itu. Mati beku.
Ia
hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan
membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakannya
lagi.
Satu
RUANGAN
itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan,
kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu di sana
masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati
meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan
penerangan karena ia tidak sedang bekerja.
Tara
Dupont duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan
dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel
yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis
pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak
berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa
pun!
Ia
memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke bawah,
memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota Paris
dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan
mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali
kursinya menghadap meja kerja.
“Ke mana saja kau?” desis Tara sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye.
“Kau bicara dengan ponsel?”
Tara
mengangkat wajah dan menoleh. Élise Lavoie yang baru masuk ke ruangan
tersenyum kepadanya. Élise manis yang berambut pirang emas sebahu,
bermata hijau, dan berhidung berbintik-bintik itu berusia 29 tahun,
beberapa tahun lebih tua daripada Tara, tapi secara fisik wanita itu
tidak terlihat seperti wanita Eropa seusianya. Perawakannya kurus,
kecil, dan dengan wajah seperti gadis remaja. Di satu sisi Élise
menyukai kenyataan itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda? Tapi
di sisi lain ia dongkol setengah mati kalau ada orang yang menganggap
remeh dirinya karena berpikir ia masih remaja ingusan.
“Sudah
selesai siaran?” tanya Tara ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan,
menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.
Élise
mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja
tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran sejak...,” ia melirik jam
dinding, “satu setengah jam yang lalu?” tanya Élise dengan alis
terangkat.
Tara mendesah. “Memang,” jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.
Mereka
berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di
Paris. Élise lebih senior daripada tara dan siaran utama yang
ditanganinya adalah Je me souviens1...,
yaitu acara yang membacakan surat-surat dari para pendengar, sementara
Tara membawakan program lagu-lagu populer dan tangga lagu mingguan.
1 Aku mengenang
“Hei,
kenapa lesu begitu?” tanya Élise sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala
Tara dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?”
Tara
mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang
paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang
ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak
gembira atau bersemangat.
“Ooh... aku mengerti,” kata Élise tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Tara
menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya.
Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu.
“Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan
gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan
berdiri dari kursi.
“Élise, ayo kita pulang sekarang,” katanya. “Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya.”
Élise menatap temannya dengan bingung. “Yang mengasihani diri sendiri itu siapa?”
* * *
Lima
belas menit kemudian, Tara dan Élise sudah berada dalam lift kaca yang
membawa mereka turun ke lantai dasar. Tara berdiri membelakangi pintu
lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan
mata. Pada awal perceraian orangtuanya dua belas tahun lalu, ia tinggal
bersama ibunya di Jakarta. Empat tahun kemudian, ketika berumur enam
belas, ia memutuskan pindah ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak
saat itu, Paris menjadi hidupnya.
Bunyi
denting halus membuyarkan lamunan tara. Mereka sudah tiba di lantai
dasar. Tara keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Ia
memarkir mobilnya di lapangan parkir di luar gedung sementara mobil
Élise sendiri diparkir di basement. Tara tidak mendapat fasilitas parkir di basement karena ia tidak biasanya mengendarai mobil ke mana-mana. Ia lebih suka naik Metro2,
walaupun ia harus ekstra hati-hati terhadap tukang copet.
Tetapi pagi
ini hujan turun cukup lebat, jadi terpaksa ia naik mobil.
Tara
menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Ia baru saja
akan melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri di dekat meja
resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan ia menahan
napas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu dan
kembali melangkah.
Laki-laki
itu melihat Tara berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia
tersenyum dan melambai, tapi Tara mengabaikannya dan mempercepat
langkah.
“Mademoiselle3 Dupont.”
Tara
mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia
keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir,
berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya. Angin
musim gugur menerpa wajahnya dan Tara merapatkan jaket yang
dikenakannya.
“Mademoiselle Dupont, tunggu sebentar.”
Ketika ia hampir sampai di tempat parkir Mercedes biru kecilnya, tara mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali tanda pintu mobil sudah terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakannya tertahan.
2 kereta bawah tanah di Paris
3 Nona
“Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle?” tanya laki-laki itu sambil menahan pintu mobil.
“Kenapa buru-buru?”
“Kenapa buru-buru?”
“Mau apa?” tanya Tara dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.
Tara
tidak pernah tertarik dengan pria Eropa pada umumnya, dengan rambut
pirang, mata biru, dan kulit putih. Tidak, ia lebih memilih yang
berkulit agak gelap dan rambut gelap, atau setidaknya cokelat. Tetapi
anehnya ia menganggap laki-laki jangkung berambut pirang yang berdiri di
sampingnya ini menarik.
Laki-laki
itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambutnya yang dipotong rapi jatuh
menutupi dahinya. “Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku
makan malam.”
Dasar laki-laki Prancis! Tara menggerutu dalam hati. Ia mendengus kesal dan melirik orang di sampingnya. Laki-laki itu sedang membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya dan seulas senyum penuh percaya diri tetap tersungging di bibirnya, seakan yakin Tara takkan menolak ajakannya. Dasar playboy!
Karena Tara tidak menjawab, pria itu menambahkan, “Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restaurannya.”
Tara berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru, “Brengsek kau, Sebastien Giraudeau! Ke mana saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?”
Senyum Sebastien Giraudeau melebar, sama sekali tidak terpengaruh omelan Tara.
“Aku mau makan sate kambing!” kata Tara ketus. Ia bersedekap dan menatap lurus ke mata Sebastien.
* * *
Di Paris ini ada satu bistro kecil tidak terkenal yang menjadi kesukaan Tara karena mereka menyajikan masakan Indonesia, khususnya sate kambing kesukaannya. Bistro itu terletak di sebuah jalan kecil yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Tidak banyak orang yang tahu keberadaan bistro itu
kecuali beberapa orang yang menjadi langgangan tetapnya, seperti Tara.
Selain ibunya, satu-satunya yang dirindukan Tara dari Indonesia adalah
makanannya. Bukannya Tara pemilih soal makanan, tapi kadang-kadang ia
bosan dengan makanan Prancis dan sate kambing yang sederhana itu bisa
menjadi semacam kemewahan baginya.
Lain
halnya dengan Sebastien. Laki-laki itu tidak terlalu suka sate kambing
atau masakan Indonesia. Singkatnya, ia tidak terlalu suka makanan lain
selain makanan Eropa. Sewaktu membiarkan Tara memilih, ia tahu benar
Tara akan memilih bistro ini karena gadis itu penggemar berat
sate kambing. Tidak apa-apa. Kali ini Sebastien mengalah. Ia lebih suka
melihat Tara Dupont yang sibuk makan sate kambing dengan gembira
daripada Tara Dupont yangpura-pura tidak mengenal dirinya. Karena itu
Sebastien harus puas dengan nasi goreng yang dipesannya. Setidaknya
makanan itu kelihatannya lumayan.
“Jadi,” kata Tara dengan mulut yang masih agak penuh. Ia mengunyah sebentar, menelan, lalu melanjutkan, “Ke mana saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk menelepon?”
Sebastien
tidak segera menjawab. Ia menahan senyum dan berusaha meyakinkan
dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih suka Tara Dupont yang cerewet
daripada Tara Dupont yang pura-pura tidak mengenalnya.
“Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan. Jangan coba-coba mengataiku cerewet,” ancam Tara sambil meraih setusuk sate lagi dan menatap Sebastien dengan mata disipitkan.
Mereka berdua sudah berteman sejak Tara pindah ke Paris. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Sebastien diajak menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Tara di Quartier Latin. Sebastien pernah mengaku pada Tara bahwa pada awalnya ia berpikir gadis itu anak angkat karena Tara berbeda sekali dengan ayahnya. Ayah Tara, Monsieur4 Dupont, adalah tipikal orang Eropa, jangkung, tampan, dengan rambut cokelat terang, hidung mancung, mata kelabu, dan kulit putih pucat, sedangkan putrinya, Tara Dupont, memiliki ciri-ciri dominan orang Asia, dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan kulit yang putih, tapi tidak pucat. Sebenarnya kalau diperhatikan dengan saksama, Tara juga memiliki mata kelabu dan hidung mancung seperti ayahnya. Begitu pula dengan tinggi badannya yang melebihi rata-rata tinggi badan orang Asia. Gabungan antara unsur Timur dan Barat membuat
Tara Dupont memiliki wajah yang unik, menarik, dan tidak mudah dilupakan.
Pada awalnya Sebastien tidak terlalu peduli pada Tara karena menganggap gadis itu hanya orang asing yang belum bisa berbahasa Prancis, tapi ia salah. Bahasa Prancis Tara tanpa cela dan Sebastien langsung kagum, apalagi setelah tahu selain bahasa Prancis dan Indonesia, gadis itu juga menguasai bahasa Inggris. Bahasa Inggris Sebastien yang orang Prancis buruk sekali, sampai-sampai dia malu pada gadis Asia ini. Sebastien kemudian menganggap Tara seperti adiknya sendiri dan mereka berdua sangat cocok. Mungkin karena mereka punya kesamaan nasib. Mereka berdua anak tunggal, orangtua mereka sudah bercerai walaupun masih berhubungan baik, dan mereka tinggal bersama ayah mereka.
“Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai salju turun?”
Sebastien mengangkat wajah dan mendapati Tara sedang menatapnya dengan alis terangkat.
“Baiklah, aku minta maaf,” kata Sebasiten hati-hati dan menyunggingkan senyum seribu watt-nya. “Aku minta maaf karena tidak bisa menjemputmu di bandara. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu.”
“Kau ke mana saja seminggu terakhir ini?”
“Tokyo.”
Tara mengerjapkan mata. “Tokyo? Jepang?”
Sebastien mengangguk. “Waktu itu ayahku sedang ada di Tokyo untuk urusan kerja. Hari Sabtu lalu, hari kau kembali ke Paris, aku mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah rapat.”
“Oh.”
Sebastien mengangkat sebelah tangan. “Tidak usah cemas,” selanya cepat ketika melihat raut wajah Tara berubah prihatin. “Ayahku hanya kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku harus langsung terbang ke Tokyo untuk menggantikannya. Aku sudah pernah cerita tentang rencana pembangunan hotel di sini yang bekerja sama dengan Jepang, bukan?”
4 Tuan
Tara mengangguk. Ia ingat Sebastien pernah menyebut-nyebut tentang proyek itu. Perusahaan arsitek ayah Sebastien akan bekerja sama dengan perusahaan Jepang untuk membangun hotel di Paris. Sebastien adalah salah satu arsitek yang terlibat dalam proyek ini.
“Karena ayahku harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit, aku yang harus melanjutkan pekerjaannya,” Sebastien meneruskan. “Aku tidak punya banyak waktu luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan waktu yang besar antara Jepang dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk menghubungimu.”
“Di mana ayahmu sekarang?”
“Sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa,” sahut Sebastian, lalu mengangkat bahu dan tersenyum lebar. “Ayahku itu tipe orang yang tidak bisa diam.”
Tara mengangguk-angguk, lalu menunduk memandang makanannya. Ia agak menyesali sikap gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Sebastien mengalihkan pembicaraan.
Tara mengangkat wajahnya. “Mama? Seperti biasa. Masih sibuk mendesain perhiasan dan aksesori.”
“Belum menikah lagi?”
Tara mengangkat bahu. “Belum. Sepertinya Mama tidak berniat menikah lagi. Sama seperti Papa, kurasa.”
“Ada kabar baru apa lagi dari Indonesia?” tanya Sebastien. Ia memang tidak mengenal
keluarga Tara yang ada di Indonesia, tapi ia suka mendengar gadis itu bercerita. Tara Dupont memiliki suara yang jernih dan menyenangkan. Tidak heran ia dengan mudah diterima menjadi penyiar utama program radio populer di salah satu stasiun radio paling terkenal di Paris.
“Kabar baru apa ya?” gumam tara sambil menekan-nekan bibirnya dengan ujung sendok. “Aku bertemu sepupuku.”
“Sepupumu yang mana?”
“Yang tinggal di Korea. Aku baru tahu ternyata pacarnya artis5,” sahut Tara, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Jepang? Kau bertemu gadis Jepang cantik di sana?”
Sebastien menjentikkan jarinya. “Ah, aku hampir lupa memberitahumu.”
“Apa?” Tara mengerutkan kening dan langsung waswas. Tadi ia hanya sekadar bertanya, tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah cinta Sebastien dengan gadis Jepang atau gadis mana pun.
“Aku punya teman di Jepang,” Sebastien memulai. “Namanya Tatsuya Fujisawa.”
Tatsuya Fujisawa. Hmm... Sepertinya bukan nama perempuan, pikir Tara.
“Dia juga arsitek dan dia akan bergabung dalam proyek pembangunan hotel ini. Arsitek Jepang yang sebelumnya bertanggung jawab dalam proyek ini mendadak menarik diri dari pekerjaan ini. Karena itu perusahaan pihak Jepang mengusulkan agar Tatsuya yang menggantikannya.
“Tetapi ketika aku dan ayahku bermaksud menemuinya di Tokyo, kami diberitahu dia sedang berada di Paris. Aku berhasil menghubunginya dan berjanji akan meneleponnya lagi kalau aku sudah kembali ke Paris.
Tara menunggu kelanjutannya. Ia masih belum mengerti arah pembicaraan Sebastien.
5 Baca Summer in Seoul
“Jadi tadi aku meneleponnya dan memintanya datang ke sini,” kata Sebastien ringan.
Tara mengerutkan kening. “Ke sini? Maksudmu sekarang?”
Sebastien mengangguk. “Ya. Kau tidak keberatan, bukan? Kau pasti akan menyukainya. Dia orang yang menyenangkan.”
Keberatan? Tentu saja Tara keberatan dan ia mengatakannya langsung kepada Sebastien.
“Kenapa kau tidak menemuinya besok atau hari lain? Hari ini aku sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing.”
Sebastien heran melihat Tara mendadak kesal. “Tatsuya bisa berbahasa Prancis. Sangat lancar. Kau tidak usah cemas,” tambahnya, salah mengerti alasan kekesalan Tara.
“Kau kira aku keberatan dengan orang yang tidak bisa berbahasa Prancis?” balas Tara jengkel. “Kau yang selalu merasa semua orang di dunia harus bisa berbahasa Prancis. Tapi masalahnya bukan itu. Aku hanya... Ah, sudahlah! Lupakan saja.”
Sebastien memperbaiki letak kacamatanya dengan bingung.
Tara tahu Sebastien mengharapkan penjelasan. Sebenarnya Tara kesal karena Sebastien seenaknya saja mengajak temannya bergabung dengan mereka. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Sebastien dan hari ini Tara ingin mengobrol berdua saja dengannya. Memangnya Sebastien tidak bisa menemui orang itu setelah makan malam? Memangnya Sebastien tidak mengerti perasaannya?
“Tapi kupikir...” Sebastien baru akan menjelaskan ketika ponselnya berbunyi. “Halo? Oh, Tatsuya. Sudah sampai?”
Sebastien berpaling ke arah pintu dan Tara dengan enggan mengikuti arah pandangnya. Ia melihat seorang pria berwajah Asia memasuki bistro sepi itu sambil memandang ke sekeliling ruangan. Sebastien melambaikan tangan. Pria itu melihatnya dan tersenyum.
“Aku akan berkenalan dengannya, tapi aku tidak akan lama,” kata Tara cepat. “Hari ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Aku capek.”
Sebastien tidak menjawab karena temannya sudah tiba di meja mereka.
“Sebastien, apa kabar? Senang bertemu lagi,” sapa Tatsuya gembira. Bahasa Prancis-nya lancar, tidak terdengar logat asing sedikit pun.
Sebastien berdiri, merangkul dan menepuk-nepuk punggung temannya. “Aku juga senang bertemu denganmu lagi.”
Tara memerhatikan Tatsuya Fujisawa dengan cermat. Laki-laki itu masih muda, usianya pasti sebaya Sebastien, sekitar akhir dua puluhan. Bertubuh jangkung, setinggi Sebastien, dan sedikit lebih kurus daripada Sebastien. Rambut hitamnya agak panjang—belum termasuk gondrong, syukurlah, karena Tara benci laki-laki berambut gondrong—tapi sangat bergaya. Mungkin itu model yang sedang trendi di Jepang. Cocok dengan bentuk wajahnya. Matanya kecil, hidungnya mancung, dan dagunya kecil. Secara keseluruhan Tatsuya Fujisawa memiliki wajah yang menyenangkan... dan menarik. Tara langsung memberi nilai tujuh setengah untuknya.
Namun ada sesuatu yang mengganggu....
Tara mengerutkan kening. Laki-laki bernama Tatsuya Fujisawa ini sepertinya tidak asing. Tidak, Tara yakin betul ia tidak pernah bertemu laki-laki itu sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang terasa tidak asing dari diri Tatsuya Fujisawa.
“Kenalkan, ini temanku, Tara Dupont.”
Tara mengalihkan pandangan dan mendapati Sebastien sedang menatapnya.
“Tara, ini Tatsuya Fujisawa,” Sebastien melanjutkan. “Teman baikku dari Jepang.”
Tara memaksakan seulas senyum dan menyambut uluran tangan Tatsuya. “Halo,” sapa Tara pendek. Seperti yang sudah dikatakannya tadi, ia tidak berniat berbasa-basi.
“Panggil aku Tatsuya saja,” kata Tatsuya. Ia tersenyum lebar, sambil sedikit membungkuk, sama sekali tidak menyadari suasana hati Tara. “Senang berkenalan denganmu, Tara.”
Alis Tara terangkat sedikit. Koreksi, nilai Tatsuya Fujisawa baru saja naik menjadi delapan. Ia suka cara pria itu mengucapkan namanya. Orang Prancis melafalkan huruf “r” dengan cara yang berbeda dengan orang Indonesia, karena itu nama Tara selalu terdengar aneh kalau diucapkan dalam lafal Prancis. Selama ini hanya keluarganya yang di Indonesia yang bisa mengucapkan namanya dengan tepat. Sekarang pria Jepang yang berdiri di hadapannya ini memanggilnya dengan cara yang membuatnya merasa nyaman.
Sementara Sebastien dan Tatsuya bertukar sapa, Tara terus memutar otak mencari tahu apa yang membuat Tatsuya Fujisawa terasa tidak asing, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Tara tidak suka merasa penasaran. Ia tidak boleh penasaran karena rasa penasaran itu akan terus menggerogotinya seperti lubang di gigi yang bisa membuat seluruh badan ikut sakit. Dan pada pertemuan pertama saja Tatsuya Fujisawa sudah membuat Tara Dupont penasaran setengah mati.
“Kuharap aku tidak mengganggu acara kalian,” kata Tatsuya, membuyarkan lamunan Tara.
“Tidak, tidak,” sahut Sebastien cepat, sebelum Tara sempat bereaksi. “Kau tidak tersesat kan? Bistro ini memang agak terpencil.”
Tatsuya menggeleng. “Sopir taksiku hebat,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Duduklah. Kau sudah makan?” lanjut Sebastien. “Kuharap kau tidak keberatan makan makanan Indonesia. Tara ini penggemar fanatik sate kambing.”
“Oh ya?” tanya Tatsuya sambil melepaskan jaket cokelatnya dan menyampirkannya ke sandaran kursi. “Aku bersedia mencoba makanan apa pun. Aku bukan orang yang pemilih soal makanan.”
Tara tersenyum acuh tak acuh, namun membuat catatan dalam hati. Koreksi lagi, nilai Tatsuya Fujisawa naik menjadi delapan setengah. Katanya tadi ia tidak memilih-milih kalau menyangkut makanan. Sikap yang disenangi Tara.
“Dia juga penyiar radio,” Sebastian melanjutkan, seolah sedang membanggakan anak kesayangan. Tiba-tiba Sebastien menjentikkan jari dan menatap Tara. “Kalian punya acara yang membacakan surat-surat dari pendengar, kan?” tanyanya.
Tara tidak menyahut, hanya mengerjapkan matanya dan mengangguk acuh tak acuh.
Sebastien
menoleh ke arah Tatsuya dan menepuk bahu temannya. “Dengar, bukankah
kau punya cerita bagus? Kau bisa menulis surat ke acara itu.”
Tatsuya tertawa kecil dan menggeleng-geleng.
“Apa? Cerita apa?” tanya Tara. Oke, Sebastien berhasil membangkitkan rasa penasarannya. Ia menumpukan kedua tangan di meja dan mencondongkan tubuh ke depan.
“Dia belum menjelaskan detail ceritanya, tapi tadi ketika dia meneleponku, katanya dia bertemu gadis Prancis yang membuatnya terpesona,” sahut Sebastien. “Begitu datang dari Jepang langsung tertarik dengan gadis Prancis. Hebat sekali.”
Tatsuya tersenyum malu. “Dia melebih-lebihkan,” katanya pada Tara. “Aku tidak bilang begitu.”
“Jangan hiraukan Sebastien,” sahut Tara tanpa memandang Sebastien. “Kalau kau punya cerita menarik, silakan tulis surat ke acara kami. Siapa tahu kami akan membacakannya saat siaran.”
“Akan kupikirkan,” kata Tatsuya.
Tiba-tiba Tara merogoh tas tangannya dan mengeluarkan ponsel. Ia menatap benda itu sejenak, lalu berkata kepada kedua laki-laki di hadapannya itu dengan nada menyesal,
“Maaf, aku tidak bisa tinggal lebih lama. Ada urusan mendadak. Aku harus pulang sekarang.”
“Kenapa buru-buru?” tanya Sebastien bingung. Untuk sesaat tadi ia pikir Tara sudah tidak kesal, tapi kenapa gadis itu harus berpura-pura mendapat pesan tentang urusan mendadak?
Tara mengenakan kembali jaket dan syalnya sambil berkata, “Aku akan meneleponmu lagi nanti, Sebastien.” Ia menoleh ke arah Tatsuya, mengulurkan tangan dan tersenyum singkat.
“Senang berkenalan denganmu. Aku minta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama. Mungkin lain kali.”
Tatsuya menyambut uluran tangannya dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.” Tara merangkul Sebastien dan menempelkan pipinya di pipi Sebastien dengan cepat, setelah itu ia melambai kepada Tatsuya dan keluar dari restoran.
Dua
TARA duduk bersila di lantai ruang tengah apartemennya yang kecil dan berantakan. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan, merentangkan kesepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat warna ungu pucat dengan giat. Pagi ini ia tidak punya jadwal siaran sehingga awalnya ia bermaksud merapikan apartemennya yang sudah seperti habis diamuk angin puting beliung. Ia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Tetapi begitu menemukan sebotol cat kuku ungu pucat yang terselip di antara pakaian-pakaiannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik mengecat kuku di ruang tengah sambil mendengarkan radio.
“Voilà!” Tara tersenyum puas dan menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
“Selamat siang, para pendengar. Bagaimana kabar Anda semua hari ini?”
Tara mendengar suara Élise yang ceria di radio dan melirik jam dinding. Oh, Je me souviens... yang dipandu Élise sudah dimulai. Siaran itu adalah salah satu siaran paling diminati dan setiap hari banyak sekali surat pendengar yang masuk ke stasiun radio. Karena itulah acara itu disiarkan dua kali sehari. Tara sendiri suka mendengarkan siaran itu kalau sempat.
Suara Élise yang ramah terdengar lagi. “Surat pertama yang akan saya bacakan hari ini adalah surat dari salah seorang pendengar kita yang bernama Monsieur Fujitatsu.”
Fujitatsu? Tara mengerutkan kening. Nama asing, tapi herannya terdengar tidak asing.
“Aku baru tiba di Paris hari itu,” Élise mulai membaca. Suaranya jelas dan terkendali Élise punya suara yang sedikit menghipnotis dan menghanyutkan, jenis suara yang mampu mengajak pendengarnya ikut membayangkan apa yang diceritakannya.
“Ini
adalah kunjunganku yang kesekian kalinya ke Paris. Biasanya setiap kali
pesawatku mendarat di bandara Charles de Gaulle, aku akan melakukan
hal-hal yang sudah rutin kulakukan. Aku turun dari pesawat, mengurus
imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban berjalan, setelah
itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat kiri-kanan.
“Tapi hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar dari bandara, aku melewati sebuah kafe dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk pertama kalinya aku tergoda untuk duduk dan menikmati secangkir kopi panas. Aku tidak tahu apa yang menarikku, tetapi aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya lelah setelah berjam-jam duduk di pesawat yang sempit.
“Kafe itu memberi kesan nyaman, dengan beberapa meja kecil dan kursi empuk. Aku memesan café crème1 dan ketika menunggu pesananku itulah sesuatu terjadi.
“Aku baru mengeluarkan Blackberry-ku dan mulai memeriksa jadwal kerja selama di Paris ketika seseorang menyenggol koperku yang kuletakkan di lantai, di samping meja.
“‟Maaf.‟
1 Espresso dengan krim
“Aku mendongak dan melihat seorang gadis muda sedang memperbaiki posisi koper berodanya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum sekilas untuk meminta maaf. Sebelum aku sempat membalas senyumnya atau menyahut, ia sudah berbalik dan berjalan menjauhi mejaku sambil menarik kopernya. Kuperhatikan ia berjalan ke meja di dekat jendela kaca besar yang menghadap ke luar bandara. Dalam perjalanan singkat ke meja itu, kopernya menyenggol dua kursi dan nyaris melindas kaki salah seorang pelayan. Entah tidak menyadari atau tidak mau ambil pusing, gadis itu tetap berjalan seakan tidak ada yang terjadi.
“Ia duduk dan menyilangkan kaki. Posisinya sedikit membelakangiku. Tanpa melirik menu yang ada di meja, ia memanggil pelayan dan memesan sesuatu. Aku terlalu jauh untuk mendengar apa yang dikatakannya. Setelah itu ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memandang ke luar jendela.
“Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela besar... sinar matahari menyinarinya.... Aku terpesona melihat kombinasi semua itu. Dengan sinar matahari dari luar, sosok gadis itu menjadi agak kabur, gelap, dan memberikan kesan misterius. Aku bisa saja terus memandangi gadis itu kalau saja aku tidak menyadari bahwa aku sudah punya janji bertemu seseorang hari itu.
“Kupikir aku tidak akan bertemu gadis itu lagi, tapi aku mulai menyadari bahwa hidup penuh kejutan.
“Aku bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Seperti yang kukatakan tadi, aku punya janji bertemu seorang teman di sebuah kelab dan aku datang terlalu cepat. Aku mengambil tempat duduk di bar yang agak ramai dan memesan minuman sambil menunggu.
“Kemudian seseorang menghampiri bar dan berseru, „Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!‟
“Aku menoleh ke arah suara lantang dan jernih itu dan agak terkejut mendapati gadis cantik yang berdiri di sebelahku adalah gadis yang sama yang kutemui di bandara tadi sore. Ia bahkan masih memakai pakaian yang sama: turtleneck lengan panjang berwarna biru turkois dan celana panjang krem. Ia tidak mengenakan jaket.
“‟Hugo!‟ seru gadis itu lagi sambil mengangkat gelas kosong yang dipegangnya untuk menarik perhatian si bartender.
“Bartender berkepala botak yang dipanggil Hugo itu datang menghampiri.
“‟Hugo, tequila sunrise satu lagi,‟ ulang gadis itu sambil menggoyang-goyangkan gelasnya. Ia menyunggingkan senyum manis, seakan berusaha membujuk si bartender mengabulkan permintaannya.
“Kelihatannya si bartender dan gadis itu sudah saling mengenal dengan baik karena Hugo mengangkat sebelah alisnya dan menatapnya dengan tatapan curiga, lalu bertanya dengan nada menantang, „Kau datang sendirian?‟
“Si gadis mengangguk tegas, lalu mengangkat dagu. „Memangnya kenapa?‟ balasnya dengan nada menantang yang sama.
“‟Menurutku kau sudah minum terlalu banyak,‟ kata Hugo pelan, mengalah sedikit. „Aku bisa dipecat kalau kau sampai mabuk di sini.‟
“Gadis itu menatap Hugo dengan mata disipitkan, lalu tersenyum lebar. „Aku belum mabuk, Teman,‟ bantahnya. Mendadak ia menoleh ke arahku dan berkata, „Monsieur, tolong katakan padanya kalau aku belum mabuk.‟
“Aku mengamati gadis itu. Menurutku ia memang sedikit mabuk, tapi ia masih bisa berdiri tegak, ucapannya masih jelas, dan pandangannya masih terfokus.
“Aku berdeham dan berkata pada Hugo, „Sepertinya dia belum terlalu mabuk.‟
“Hugo menopangkan kedua tangan di meja bar dan menggeleng-geleng. „Kalau dia sudah memanggilku Hugo, artinya dia sudah harus pulang,‟ katanya tegas.
“Aku memandang Hugo tidak mengerti.
“Hugo menarik napas, lalu berkata dengan nada datar, „Namaku bukan Hugo.‟
“Aku memanggilmu Hugo karena namamu sangat susah diucapkan,‟ gadis itu membela diri dan tertawa kecil. „Tidak berarti aku mabuk.‟
“Karena hari ini kau datang sendirian, sebaiknya kau jangan mabuk-mabukan,‟ kata Hugo lagi. „Tidak ada yang bisa mengantarmu pulang kalau kau mabuk.‟
“Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya. „Kau benar-benar menyebalkan, Hugo,‟ gerutunya, lalu mengangguk. „Tapi kau benar. Minum sendirian memang tidak menyenangkan. Aku pulang saja.‟
“‟Mau kupanggilkan taksi?‟ aku menawarkan. Biasanya aku bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Entah apa yang merasukiku waktu itu.
“Dia menatapku. Dari raut wajahnya aku hampir yakin gadis itu akan mengucapkan kata-kata seperti „Aku memang sedikit mabuk, tapi aku tidak tolol, Bung. Mana mungkin aku membiarkan diriku ditipu pria asing yang kutemui di bar? Memanggilkan taksi? Yang benar saja!‟
“Namun imajinasiku terlalu berlebihan, karena pada kenyataannya gadis itu hanya tersenyum, menggeleng pelan, dan berkata, „Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku bisa sendiri.‟
“Aku
memandangi punggung gadis itu sampai ia menghilang di balik kerumunan
orang. Aku ingin bertanya pada Hugo tentang gadis itu, tapi tidak jadi.
Kalau Hugo memang kenal baik dengan gadis itu, ia pasti akan curiga
kalau aku bertanya macam-macam. Tapi harus kuakui, ada sesuatu dari
gadis itu yang membuatku tertarik.”
Ceritanya berhenti sampai di situ. Tara mendengar Élise menghela napas dan berkata dengan nada menyesal, “Monsieur Fujitatsu, Anda membuat kami semua penasaran sekali. Anda tertarik pada gadis itu, bukan? Apakah Anda sedang mencarinya? Apakah Anda bertemu dengannya lagi? Mungkinkah itu cinta pada pandangan pertama?
“Ngomong-ngomong soal cinta pada padnangan pertama, akan saya putarkan satu lagu untuk Anda semua, terutama kepada Anda, Monsieur Fujitatsu. Para pendengar, walaupun tidak semua orang percaya pada cinta pada pandangan pertama, kuharap Anda semua menikmati lagu ini.
“Oh ya, Monsieur Fujitatsu, tolong kabari kami lagi kalau ada perkembangan menarik.”
Tara tersenyum sendiri. Monsieur Fujitatsu itu sepertinya tipe pria romantis. Tara baru akan berdiri dan membereskan cat kukunya ketika gerakannya terhenti.
Fujitatsu?
Tara mengerjap-ngerjapkan mata.
Fujitatsu... Fuji-Tatsu... Fujisawa Tatsuya...? Tatsuya Fujisawa?!
Tara mengerutkan kening dan berpikir. Mungkinkah? Mungkin saja. Sebastien pernah menyebut-nyebut soal tatsuya yang terpesona dengan gadis Prancis. Jangan-jangan laki-laki itu menuruti saran Sebastien dan mengirimkan ceritanya ke acara Élise.
Sebenarnya Tara masih sangat penasaran dengan laki-laki bernama Tatsuya Fujisawa itu. Sampai sekarang ia belum berhasil menemukan jawaban atas rasa penasarannya yang dulu. Ia baru bermaksud melupakan masalah itu sebelum ia sendiri menjadi gila karena memikirkannya terus-menerus, namun kini bertambah satu hal lagi yang membuatnya penasaran.
Tara ingin memastikan. Oh ya, ia punya janji makan siang dengan Sebastien hari ini. Ia bisa bertanya pada Sebastien. Tara mengangguk-angguk dan berdiri dengan susah payah karena kakinya mulai kesemutan.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel. Ia berjalan tertatih-tatih ke kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia menatap layar ponsel dan tersenyum.
“Allô, Sebastien,” katanya begitu ia menempelkan ponsel ke telinga. Ia mengempaskan dirinya ke tempat tidur dan memijat-mijat kakinya. “Aku baru saja berpikir akan meneleponmu.”
“Tara, maaf,” sela Sebastien di ujung sana. “Hari ini aku tidak bisa makan siang denganmu.”
Senyum Tara memudar dan ia mendesis kesal.
“Ada apa?” tanya Sebastien polos.
“Tidak apa-apa. Kakiku kesemutan,” sahut Tara ketus. “Kenapa tidak bisa makan siang? Kau ada kencan dengan gadis yang baru kaukenal lima belas menit yang lalu?”
Sebastien terkekeh. “Tidak, ya, dan tidak,” jawabnya asal-asalan.
“Apa?”
“Tidak, itu bukan kencan. Ya, aku akan menemui seorang wanita. Tidak, dia bukan orang yang baru kutemui lima belas menit yang lalu,” jelas Sebastien dengan nada bercanda.
Tara mendesah kesal. “Sebastien...”
“Baiklah,” potong Sebastien. “Aku harus pergi ke Nice untuk menemui kepala proyek kami.
Ada masalah yang harus segera ditangani. Ngomong-ngomong, kepala proyek kami itu wanita dan aku sudah mengenalnya sejak tiga tahun lalu.”
“Kapan kau kembali?”
“Mmm... belum pasti. Mungkin besok, mungkin lusa. Tergantung masalah yang harus diselesaikan. Aku akan meneleponmu begitu aku kembali. Oke?”
“Oke,” sahut Tara, tidak ada pilihan lain. Tiba-tiba ia teringat, “Oh ya, Sebastien.”
“Hm?”
“Temanmu yang dari Jepang itu—Tatsuya Fujisawa—yang kaukenalkan padaku sekitar dua minggu yang lalu...”
“Mm, kenapa?”
“Kau pernah mengusulkan mengirimkan ceritanya ke acara stasiun radio kami. Kau ingat?”
Sebastien terdiam sejenak, berpikir. “Oh, benar. Aku ingat. Lalu?”
“Apa kau tahu dia sudah mengirimkannya atau belum? Atau kau sudah tahu cerita lengkapnya?”
“Tidak, aku tidak tahu. Dia tidak mau menceritakannya padaku. Katanya aku pasti akan menertawakannya.”
Tara tertawa kecil. “Kau memang senang menertawakan orang.”
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang dia?”
“Aku sedang mendengarkan siaran Élise tadi dan dia membacakan surat yang menarik. Aku hanya ingin memastikan itu cerita temanmu atau bukan. Aku benar-benar penasaran. Bisa kautanyakan kepadanya?”
“Aku tidak keberatan bertanya padanya. Hanya saja orangnya sedang tidak ada di sini. Dia sudah pulang ke Tokyo.”
“Oh? Kapan?”
“Mmm... sehari setelah kita bertemu dengannya,” sahut Sebastien. “Kita bertemu hari Jumat, bukan? Besoknya dia langsung pulang ke Tokyo.”
“Oh?”
“Tapi dia akan kembali. Dia pulang ke Tokyo untuk membereskan semua pekerjaannya sebelum memfokuskan perhatiannya untuk proyek kami ini. Dengar-dengar dia akan kembali sebentar lagi. Dalam minggu-minggu ini, kurasa,” Sebastien menjelaskan, lalu melanjutkan dengan nada bergurau, “kau tenang saja. Akan kutanyakan padanya begitu dia kembali ke sini. Aku tahu kau tidak boleh dibiarkan penasaran. Kalau tidak, orang-orang di sekitarmu bisa terluka.”
Tara tersenyum. “Telepon aku kalau kau sudah kembali dari Nice. Semoga tidak ada masalah gawat di sana.”
Tara mematikan ponsel dan menghela napas. Sejak aktif seratus persen di perusahaan ayahnya, Sebastien terlalu sibuk. Kadang-kadang Tara merindukan masa lalu, saat Sebastien masih mahasiswa arsitektur yang punya banyak waktu luang. Walaupun selalu dikelilingi gadis-gadis dan gonta-ganti pacar, Sebastien juga selalu menyediakan waktu untuk Tara, selalu ada kalau Tara membutuhkannya, selalu siap menemani dan menghiburnya. Tara tahu benar sikap Sebastien terhadapnya sama dengan terhadap gadis-gadis lain, tapi hal itu tidak mencegahnya menyukai laki-laki itu.
Tara berpikir-pikir. Ia sedang tidak ingin makan siang sendiri hari ini, tapi Sebastien tidak bisa menemaninya. Siapa lagi ya?
“Ah, benar juga. Papa!” serunya pelan. Ia memencet nomor telepon ayahnya dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Allô, Papa?” katanya begitu hubungan tersambung. “Ada waktu sekarang?... Bisa makan siang bersama?... Kenapa?... Papa sedang bersama siapa? Dengan wanita yang mana? Masih sama dengan yang minggu lalu atau sudah yang baru?... Astaga! Papa, berhentilah bermain-main... Tidak, tidak usah. Mm... Sampai ketemu makan malam nanti. Daah.”
Tara memutuskan hubungan dan mendecakkan lidah. Kenapa ia dikelilingi pria mata keranjang? Papa sama saja dengan Sebastien. Itulah salah satu sebab Mama bercerai dari Papa. Tara akui, ayahnya memang bukan suami yang baik, tapi ia ayah yang baik. Ayah paling baik sedunia. Tara juga yakin, di antara semua wanita yang ada di bumi, dirinyalah yang paling berharga bagi ayahnya.
Tara mendecakkan lidah sekali lagi. “Masa aku harus makan sendiri?” tanyanya pada diri sendiri. Ia memberengut, lalu mendesah berlebihan, dan menggerutu, “Apa boleh buat?”
* * *
Karena satu jam lagi ia harus siaran, Tara memilih makan siang di brasserie2 yang
paling dekat ke stasiun radio, sehingga ia tidak perlu buru-buru
mengejar waktu siaran. Ia memilih meja kosong di pojok dan memandang
berkeliling mencari pelayan. Ia mengangkat sebelah tangan ke arah
pelayan yang sedang berjalan ke meja dekat pintu. Ternyata si pelayan
sedang mengantarkan pesanan laki-laki berambut hitam yang menempati meja
di sana. Tara mengerjapkan mata. Sepertinya ia pernah melihat orang
itu.
Karena sibuk mengamati si laki-laki berambut hitam, Tara tidak menyadari pelayan lain menghampiri mejanya dan menanyakan pesanan.
Tiba-tiba Tara ingat. Tatsuya Fujisawa! Laki-laki itu Tatsuya Fujisawa! Ia melompat berdiri dan nyaris menabrak pelayan yang berdiri di dekatnya.
“Maaf,” kata Tara buru-buru setelah si pelayan mundur selangkah karena terkejut. “Saya ingin menyapa teman saya dulu di sana.”
Pelayan itu mengangguk acuh tak acuh dan pergi. Tara segera menghampiri meja Tatsuya.
“Permisi,” katanya agak ragu.
Laki-laki itu mengangkat wajah dan menatapnya dengan bingung. “Ya?”
2 mirip kafe, menyediakan makanan sederhana dan cepat saji.
Senjata utama untuk menghadapi orang-orang adalah senyum yang manis dan sopan. Karena itulah Tara memasang “kuda-kuda”-nya dengan menyunggingkan senyum ramah. “Tatsuya Fujisawa, bukan?” tanyanya.
“Benar, saya sendiri,” jawab Tatsuya. Raut wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Masih ingat padaku?” tanya Tara hati-hati, takut laki-laki itu tidak mengenalinya. Kalau itu sampai terjadi ia berharap ia punya rencana cadangan. “Aku Tara Dupont, teman Sebastien Giraudeau. Kita pernah bertemu sekitar dua minggu yang lalu.”
Tatsuya masih terlihat bingung sesaat, lalu wajahnya berubah cerah. “Oh, benar, Tara,” katanya sambil tersenyum lebar. “Apa kabar?”
Tara lega laki-laki itu masih mengingatnya. Ia menjabat tangan Tatsuya yang terulur. Kali ini ia menyadari jabatan tangan Tatsuya tegas, sama seperti Sebastien. Tara suka itu. Ia juga baru menyadari laki-laki itu punya lesung pipi yang membuat senyumannya terlihat hangat dan bersahabat.
“Makan siang sendirian? Atau sedang menunggu seseorang?” tanya Tara setelah menarik kembali tangannya.
Tatsuya menggeleng. “Tidak, aku memang sendirian. Bagaimana denganmu?”
Tara menyunggingkan senyum termanisnya. “Aku juga sendirian.”
“Kalau begitu, silakan bergabung saja denganku,” Tatsuya menawarkan sambil menunjuk kursi di hadapannya.
“Terima kasih,” sahut Tara dan menerima ajakannya dengan senang hati karena itulah yang ia harapkan. Ia sedang benar-benar tidak ingin makan sendirian. “Aku baru saja datang ketika melihatmu. Jadi kuputuskan untuk menyapamu karena sewaktu pertama kali bertemu kita belum sempat bicara banyak.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya. Ia mengangkat sebelah tangan untuk memanggil pelayan.
Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Tara menyebutkan pesanannya dan pelayan itu pun berlalu.
“Kata Sebastien kau sudah pulang ke Tokyo,” kata Tara sambil merapikan rambut pendeknya dengan sebelah tangan. Gerakan yang sudah menjadi kebiasaannya bila berhadapan dengan laki-laki yang menarik baginya.
Tatsuya mengangguk. “Memang benar, tapi kemarin aku kembali lagi ke sini. Aku pulang ke Tokyo hanya untuk mengurus pekerjaanku yang tertinggal,” jelasnya.
“Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan,” kata Tara ketika teringat surat yang dibacakan Élise saat siaran tadi. “Apakah kau menulis surat ke stasiun radio kami?”
Tatsuya mengangkat alisnya. “Kalian sudah menerimanya?”
Tara tertawa. “Sudah kuduga! Fujitatsu itu kau?”
Tatsuya tersenyum malu dan berkata, “Aku tidak pandai bercerita, tapi Sebastien berhasil membujukku. Cerita yang konyol, bukan?”
Tara cepat-cepat menggeleng. “Tidak, ceritamu bagus. Temanku malah sudah membacakan-nya saat siaran hari ini. Aku penasaran sekali karena nama Fujitatsu kedengarannya tidak asing.”
“Kalau tidak salah, kau sendiri juga penyiar, bukan?”
“Benar,” sahut Tara ringan.
“Kau menikmati pekerjaanmu?”
Tara mengangguk tegas, lalu tersenyum. “Kata Sebastien, menjadi penyiar radio memang cocok untukku karena aku ini cerewet sekali.”
“Sepertinya Sebastien memang benar,” ujar Tatsuya.
“Lalu bagaimana?”
“Bagaimana apa?”
Saat itu pelayan datang mengantarkan pesanan Tara. Tara mengucapkan terima kasih dan setelah pelayan itu pergi, ia kembali menatap laki-laki di hadapannya. “Kau ingin mencari gadis itu?” tanya Tara langsung.
Tatsuya tertawa. “Tidak.”
“Tidak?” Tara mengerutkan kening. Itu bukan jawaban yang diharapkannya.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kenapa harus?”
“Lalu apa rencanamu?”
“Tidak ada rencana apa-apa.”
“Aneh.”
“Tidak aneh.”
Tara menatap Tatsuya dengan mata disipitkan. Tatsuya balas menatapnya sambil tersenyum.
Laki-laki itu punya senyum yang menular. Begitu melihat senyumnya, Tara tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
“Biarkan aku bertanya satu hal,” kata Tara sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Rupanya kau penasaran sekali dengan ceritaku,” kata Tatsuya sambil menunduk dan menyantap makanannya.
“Aku memang mudah penasaran. Itu salah satu kelemahanku,” ujar Tara riang, seakan ia sendiri tidak menganggap hal itu suatu kelemahan. “Kata Sebastien aku bisa berbahaya bagi umum kalau aku sedang penasaran.”
“Aku yakin Sebastien benar.”
“Asal kau tahu saja, kau benar-benar membuatku penasaran. Maka dari itu, jawab saja pertanyaanku. Setelah itu aku tidak akan bertanya-tanya lagi,” Tara berjanji dan memasang wajah bersungguh-sungguh, walaupun ia sendiri tahu ia takkan bisa berhenti bertanya.
Tatsuya menatapnya sejenak, lalu menyerah. “Baiklah. Tanya saja.”
Tara menumpukan kedua siku di meja dan mencondongkan tubuh ke depan. “Kau ingin bertemu gadis itu lagi?”
Tatsuya mengangkat alisnya, berpikir-pikir, lalu menunduk dan kembali menyantap makanannya. “Tentu saja.”
“Tapi kau tidak mau mencarinya?” desak Tara.
Tatsuya tersenyum. “Tadi kau bilang hanya akan menanyakan satu pertanyaan.”
Tara mengembuskan napas dengan keras. Baiklah, sepertinya ia sungguh-sungguh harus menekan rasa penasarannya. Sebagai gantinya mereka mengobrol tentang hal lain sepanjang makan siang dan Tara merasa Tatsuya Fujisawa adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Mengobrol dengannya serasa mengobrol dengan teman lama. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Meskipun begitu, tetap saja Tara tidak bisa menghilangkan perasaan mengganggu bahwa ada sesuatu pada Tatsuya yang membuatnya bingung.
“Ada rencana khusus akhir pekan ini?” tanya Tara setelah mereka membayar makanan dan keluar dari brasserie. Tara ngotot membayar makanannya sendiri sementara Tatsuya bersikeras mentraktirnya. Setelah melalui adu mulut yang cukup seru, Tatsuya mengalah.
“Aku berencana akan berkeliling kota. Aku sudah berkali-kali datang ke Paris, tapi sama sekali belum sempat melihat-lihat,” jelas Tatsuya, lalu ia menoleh ke arah Tara. “Kau mau menjadi pemanduku?”
Tara tersenyum. “Tidak masalah.” Ia sama sekali tidak keberatan menemani Tatsuya. Ia merasa nyaman dan senang bersama laki-laki itu. Ditambah lagi, Tara sangat penasaran dengan Tatsuya. Ia ingin tahu lebih banyak, ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya sejak mereka bertemu pertama kali.
“Kalau begitu, besok jam sepuluh pagi kita bertemu di sini,” kata Tatsuya.
“Oke,” jawab Tara tanpa berpikir.
“Oh, ajak Sebastien juga,” tambah Tatsuya.
“Tapi Sebastien sedang ada di Nice. Aku tidak tahu kapan dia akan pulang,” sahut Tara.
Tatsuya berpikir-pikir, lalu mengangkat bahu. “Ya sudah. Tidak apa-apa. Jadi, sampai ketemu besok jam sepuluh.”
“Oke.”
Tatsuya melambai dan berjalan pergi. Tara menatap kepergiannya sesaat, lalu mengerjap-ngerjapkan mata.
“Tadi dia bilang jam berapa?” gumamnya pada diri sendiri, lalu terbelalak. “Jam sepuluh? Pagi? Besok? Besok itu hari apa? Minggu? Benar, Minggu. Astaga! Kenapa aku setuju bertemu jam sepuluh pagi? Ah, kacau!”
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengerang kesal, mengentakkan kaki, lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Tiga
BUNYI apa itu?
Tara mengerang pelan dan menarik selimut menutupi kepala, tapi samar-samar masih terdengar bunyi berisik seperti sirene yang meraung-raung. Awalnya ia memilih mengabaikan bunyi itu, tetapi lama-kelamaan ia merasa terganggu juga. Dengan mata yang masih terpejam ia mengulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan mulai meraba-raba. Pertama-tama ia meraih ponselnya.
“Ahhh... lo?” gumamnya dengan kening berkerut dan mata tetap terpejam.
Bunyi itu masih terdengar. Oh, ia lupa....
“Allô?” gumamnya sekali lagi setelah menekan tombol “Jawab”.
Bunyi itu masih tetap terdengar. Tara mendecakkan lidah dan menjatuhkan ponselnya ke lantai. Setelah itu ia mengulurkan tangan sekali lagi dan meraba-raba. Tangannya menemukan sebuah beker kecil. Ternyata benda itu yang berbunyi nyaring dan bergetar dengan hebatnya sampai hampir meloncat dari genggamannya. Ia mematikan alarm beker dan damailah dunia. Karena malas mengembalikan beker ke meja, ia melemparkan benda itu ke lantai. Semua itu dilakukannya tanpa sekali pun membuka mata. Sekarang ia kembali meringkuk dengan nyaman di balik selimut.
* * *
Bunyi apa lagi itu?
Tara meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup menembus bantal dan sampai di telinganya. Ia melempar bantal ke samping, menendang selimut dan mengerang kesal.
Demi Tuhan! Hari ini hari Minggu! Kenapa tidak ada kedamaian sedikit pun?
Ia mendecakkan lidah dan menjulurkan tangan ke meja di samping tempat tidur. Ia meraba-raba, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Walaupun masih setengah sadar, ia teringat barang-barang yang tadinya ada di meja kini tergeletak di lantai. Ia bersusah payah membuka mata yang seakan direkat dengan lem superkuat dan mencondongkan tubuh ke tepi tempat tidur, berusaha meraih ponselnya yang berbunyi nyaring. Ia masih tidak sudi bangun dari tempat tidur, karenanya ia agak kesulitan menggapai ponselnya. Akhirnya setelah memanjang-manjangkan badan dan tangan, ia berhasil menggapai benda berisik itu.
Masih dengan posisi setengah tergantung di ujung tempat tidur, Tara menempelkan ponsel ke telinga. “Ahhhlo?” katanya dengan suara serak.
“Ma chérie, kau masih tidur?” Suara ayahnya yang secerah matahari terdengar di ujung sana.
“Papa?” tanya Tara sambil mengerutkan kening. “Kenapa Papa telepon pagi buta begini?
Papa kan tahu kalau aku—Wuaaa!”
“Apa itu? Kau jatuh, ma chérie?” tanya ayahnya kaget.
Tara cepat-cepat meraih ponselnya yang terlepas dari tangannya ketika ia jatuh dari tempat tidur. “Tidak. Aku tidak apa-apa,” katanya pendek, lalu berdeham. Kantuknya langsung hilang begitu kepalanya membentur karpet di lantai. Ia duduk bersila di lantai dan bertanya sekali lagi, “Kenapa Papa menelepon pagi buta begini?”
“Oh, sebenarnya Papa tahu kebiasaan burukmu yang tidak mau bangun dari tempat tidur sebelum jam dua belas siang di hari Minggu, tapi Papa butuh bantuanmu,” jelas ayahnya dengan nada resmi, seakan hendak mengatakan kalau Tara akan melakukan tugas mulia bagi negara. “Mobil Papa rusak, sedangkan Papa ada janji penting jam setengah sebelas nanti. Antarkan Papa, ya?”
Tara tersentak dan mengerjap-ngerjapkan mata. Jam 10.30? Bukankah ia sendiri punya janji dengan Tatsuya jam 10.00? Sekarang jam berapa?
Tara mencari-cari beker yang tadi dilemparnya ke lantai. Ke mana jam itu sekarang? “Papa! Sekarang jam berapa?” serunya.
“Tidak perlu teriak-teriak. Papa belum tuli,” gerutu ayahnya. “Sekarang jam... setengah sepuluh.”
“Astaga! Aku terlambat!” Tara meloncat berdiri dan berlari ke lemari pakaiannya.
“Allô?” Ayahnya agak heran mendengar bunyi gaduh ketika Tara tersandung karpet dan nyaris jatuh untuk kedua kalinya.
“Papa, aku juga punya janji jam sepuluh,” potong Tara cepat sambil mengobrak-abrik isi lemari. “Papa naik Métro saja, ya?”
Sebenarnya ia tahu ayahnya tidak pernah suka naik Métro, bus, kereta api, atau transportasi umum apa pun, kecuali pesawat terbang. Kata ayahnya, ia tidak suka berdesak-desakan dengan orang lain.
“Kau mau ke mana?” ayahnya balas bertanya.
Tara memberitahu ayahnya.
“Tidak masalah. Papa memang mau ke daerah di dekat situ,” kata ayahnya setelah berpikir sejenak. “Jemput Papa di rumah, ya? Oh ya, ma chérie, jangan pernah menyarankan agar Papa naik Métro lagi.”
* * *
Tatsuya
melirik jam tangannya, lalu memandang ke luar jendela, memerhatikan
orang-orang yang berlalu lalang. Ia menempati meja di samping jendela
sehingga bisa melihat jalanan di luar sana dengan jelas.
Gadis itu sudah terlambat tujuh belas menit. Sayang sekali ia tidak meminta nomor telepon Tara kemarin. Kalau tidak, ia bisa menelepon gadis itu dan bertanya apakah ia akan datang. Mungkin saja gadis itu tiba-tiba berhalangan karena ada urusan penting tetapi tidak bisa menghubunginya. Kalau memang begitu, berarti sia-sia ia menunggu selama ini.
Baiklah, ia akan menunggu sebentar lagi. Kalau sampai jam 10.30 Tara Dupont belum datang, ia akan membatalkan semua rencana ini.
Mengherankan sekali. Sebelum ini Tatsuya sama sekali tidak berniat mengenal kota Paris lebih jauh. Ia cukup sering datang ke Paris untuk urusan kerja, tapi biasanya ia akan sibuk sepanjang hari dan tidak punya waktu luang untuk melihat-lihat. Apalagi sejak kematian ibunya dan ia jadi tahu rahasia itu.
Baginya Paris seperti mimpi buruk. Ia benci Paris, namun ia juga tahu mimpi buruk itu harus dihadapi cepat atau lambat. Sudah cukup lama ia melarikan diri. Sekarang waktunya ia memberanikan diri dan menghadapi kenyataan. Dan ia bisa mulai dengan berkenalan dengan kota Paris.
Tatsuya menyesap kopinya dan kembali membaca buku panduan kota Paris yang baru dibelinya. Sesekali ia memandang ke luar jendela sambil melamun. Tiba-tiba matanya terpaku pada orang berjaket hitam yang berjalan lewat tepat di depan jendela brasserie. Ia terkesiap dan sekujur tubuhnya langsung menegang. Ia hampir tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
Orang itu! Dia... Tidak salah lagi....
Orang itu berhenti di pinggir jalan di antara sekelompok pejalan kaki, membelakangi Tatsuya. Ia sedang menunggu lampu lalu lintas berubah warna sehingga bisa menyeberang jalan. Tak lama kemudian lampu tanda boleh menyeberang menyala. Orang itu pun menyeberang tanpa tergesa-gesa.
Pandangan Tatsuya tak pernah lepas dari orang itu sampai sosoknya hilang ditelan kerumunan orang dis eberang jalan. Setelah orang itu lenyap dari pandangan, Tatsuya baru menyadari sejak tadi ia menahan napas. Tangannya terkepal di atas meja. Jantungnya berdebar kencang. Selama ini ia terus mencari orang itu dan akhirnya hari ini ia melihatnya. Seharusnya tadi ia langsung mengejar orang itu dan...
Dan apa? Memangnya apa yang akan dilakukannya kalau berhasil mengejarnya? Memangnya apa yang bisa ia katakan pada orang itu? Ia tidak tahu. Belum tahu.
“Maaf, aku terlambat.”
Tatsuya mengangkat wajah dan melihat Tara berdiri di samping meja dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Ikal-ikal pendek rambutnya agak berantakan akibat angin, namun sama sekali tidak mengacaukan penampilannya.
“Sudah lama?” tanya gadis itu lagi sambil tersenyum lebar. Ia cepat-cepat merapikan rambutnya dan menjatuhkan diri di kursi di depan Tatsuya.
Tatsuya memaksakan seulas senyum. Kejadian tadi membuatnya agak terguncang dan ia masih belum pulih.
“Lumayan lama,” sahutnya, berusaha keras bersikap tenang.
“Maafkan aku,” kata gadis itu sekali lagi. Raut wajahnya sungguh-sungguh. “Sebenarnya aku sudah memasang beker, tapi ternyata tidak berguna. Akhirnya aku bangun kesiangan dan harus pergi menjemput ayahku dulu karena mobilnya rusak, lalu...”
Tara terus berbicara, tapi Tatsuya nyaris tidak mendengarkan apa yang dikatakannya karena bayangan orang tadi masih memenuhi otaknya.
Orang itulah yang membuat Paris menjadi kota yang begitu menyakitkan baginya. Orang itulah penyebab utamanya membenci Paris.
Tidak bisa, ia tidak bisa begitu terus. Melihat orang itu saja sudah membuatnya kebingungan. Bagaimana kalau nantinya ia harus berhadapan langsung dengan orang itu dan bicara dengannya?
“Tatsuya?”
Tatsuya menoleh ke arah Tara. Gadis itu sedang mengamatinya dengan tatapan heran.
“Kau sakit? Wajahmu kelihatan pucat,” kata Tara prihatin.
“Aku tidak apa-apa,” sahut Tatsuya, lalu beranjak dari kursi. “Aku ke belakang sebentar.”
“Oh, oke,” gumam Tara, masih agak bingung. Bagaimana tidak bingung kalau dari tadi ia terus berceloteh tetapi tidak ditanggapi?
Di toilet, Tatsuya segera menghampiri wastafel dan membasuh wajahnya.
Kendalikan dirimu,
katanya pada bayangan di cermin. Ia menundukkan kepala dengan kedua
tangan bertumpu pada pinggiran wastafel. Ia menarik napas dan
mengembuskannya dengan perlahan. Kendalikan dirimu.
Setelah debar jantungnya kembali normal, ia mengangkat wajah dan menatap bayangannya sekali lagi. Ia mengangguk samar, lalu meraih serbet untuk mengeringkan wajah.
Ia keluar dari toilet dan berjalan kembali ke mejanya, namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya terarah pada Tara yang duduk menunggu di sana. Gadis itu tidak menyadari kedatangannya karena posisi duduk yang sedikit miring dan memunggunginya. Gadis itu sedang duduk bersandar dengan kaki disilangkan dan memandang ke luar jendela.
Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela besar... sinar matahari menyinarinya...
Benar-benar aneh—tapi menyenangkan—melihat gadis ini duduk di sana dan melihat ke luar jendela. Posisi duduknya sekarang mengingatkan Tatsuya pada saat pertama kali ia bertemu dengan gadis itu di bandara Charles de Gaulle. Gadis yang membuatnya merasa tertarik....
* * *
Tara menoleh ketika merasakan kedatangan Tatsuya.
“Maaf, perutku sedang bermasalah,” kata laki-laki itu sambil memegangi perut dengan sebelah tangan.
“Sekarang sudah baikan?” tanya Tara. Kalau Tatsuya sakit perut, berarti mereka tidak jadi jalan-jalan, dan itu artinya sia-sia saja ia bangun pagi.
Tatsuya mengangguk.
Tara menumpukan kedua siku di atas meja. “Jadi, sekarang kita mau ke mana?”
Tatsuya berpikir sejenak. “Sudah lama aku ingin melihat-lihat museum yang ada di sini. Museum apa yang menarik?”
“Museum?” Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Sudah berapa kali laki-laki ini memberikan jawaban yang sama sekali tidak diduganya? Tatsuya Fujisawa benar-benar orang yang sulit ditebak.
Tara jarang sekali ke museum. Boleh dibilang hampir tidak pernah. Selama ia tinggal di Jakarta juga ia tidak pernah menginjakkan kakinya di Museum Nasional. Selama di Paris satu-satunya museum yang pernah dikunjunginya cuma Louvre. Itu juga cuma satu kali dan itu karena paksaan teman-temannya. Tapi ayahnya yang senang mengunjungi museum dan menikmati seni. Ia berusaha mengingat-ingat, “Ada Louvre, Musée Rodin, Musée d‟Orsay... eh, dan lain-lain. Mau ke mana dulu?”
Tatsuya membuka-buka buku panduannya, lalu berkata, “Hari ini aku ingin mulai dengan Musée Rodin.”
“Tapi yang paling terkenal itu Louvre,” kata Tara. Ia heran Tatsuya tidak memilih museum yang jelas-jelas merupakan pilihan nomor satu bagi kebanyakan orang. “Kau yakin tidak mau memulai dari sana? Ada lukisan Mona Lisa dan... eh, sebagainya.” Sebaiknya ia tidak bicara banyak kalau tidak tahu apa-apa soal seni.
Tatsuya menutup buku panduannya dan tersenyum lebar. “Aku punya banyak waktu. Kita punya banyak waktu. Memang banyak tempat yang ingin kukunjungi dan hari ini aku ingin melihat karya Rodin. Ayo.”
Empat
GADIS itu kelihatan bosan.
Tatsuya melirik Tara yang sedang memandangi sebuah patung karya Rodin tanpa ekspresi. Mereka sudah berada di museum itu selama lebih dari dua jam dan walaupun jelas-jelas tidak tertarik pada seni patung, gadis itu cukup sabar menemaninya. Tidak mengeluh sedikit pun. Tatsuya memutuskan tidak memperpanjang penderitaan Tara dan mengajaknya makan siang di kafe yang ada di taman museum. Makanan yang disajikan sederhana saja, tapi suasananya menyenangkan.
“Bosan?” tanya Tatsuya sementara mereka menunggu pesanan diantarkan.
Tara tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. “Mm, sedikit,” jawabnya jujur, lalu mengangkat bahu. “Tapi aku sudah terbiasa. Sebastien sering mengajakku kalau ada pameran arsitektur, sedangkan aku buta soal arsitektur.”
Tatsuya tertawa kecil. “Kalau begitu, setelah makan siang, kita ke tempat lain yang lebih menarik. Bagaimana? Ada saran?”
“Bagaimana kalau ke Jardin du Luxembourg?” tanya Tara, lalu berpikir lagi. “Atau kau mau belanja? Kita bisa ke Boulevard Saint-Germain atau rue de Grenelle. Tidak, laki-laki tidak suka berbelanja.... Ah, benar! Aku harus menunjukkan tempat kesukaanku! Sudah pernah melihat kota Paris dari ketinggian?”
Tatsuya menggeleng. Ia baru menyadari ia senang mendengar celotehan gadis itu. Ia suka mendengarkan suara Tara. Seolah memahami perasaan Tatsuya, Tara terus berceloteh panjang-lebar.
“Sebastien dan aku suka sekali melihat pemandangan kota Paris dari puncak Arc de Triomphe,” katanya dengan mata berbinar-binar. “Benar-benar menakjubkan! Banyak orang lebih suka melihat kota Paris dari puncak Eiffel, tapi menurutku pemandangan dari puncak Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Bisa membuatmu sulit bernapas.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa... mm, bagaimana mengatakannya, ya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Kau mengerti maksudku? Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Aku dan Sebastien suka ke sana kalau sedang stres. Aku jamin, setengah jam di sana perasaanmu langsung jauh lebih baik.”
“Kita akan ke sana malam nanti karena pemandangan malam kota Paris lebih indah.” Tara terdiam sejenak untuk menarik napas, lalu bertanya, “Kau sungguh-sungguh belum pernah melihat-lihat kota Paris?” Matanya yang besar menatap Tatsuya dengan pandangan bertanya.
“Begitulah.” Tatsuya berusaha menahan senyum. Gadis itu sanggup bercerita terus kalau memang diperlukan. Gadis yang menarik.
“Aneh... Sudah berapa kali kau datang ke Paris?” tanya Tara.
Tatsuya mendongak dan berpikir-pikir. “Wah, aku tidak ingat.”
Tara mengangkat bahu. “Aneh sekali kalau datang ke Paris dan tidak berkeliling. Kau selalu datang untuk urusan kerja?”
Tatsuya ragu sejenak. “Tidak juga,” jawabnya pelan.
“Lalu kau datang untuk apa? Tidak mungkin untuk berlibur karena kau bilang kau bahkan tidak berkeliling dan melihat-lihat kota.”
Tatsuya menunduk dan bergumam, “Mencari seseorang.”
“Apa?” tanya Tara dan mencondongkan tubuh ke depan karena tidak mendengar dengan jelas.
Tatsuya mengangkat wajah dan mengulangi, “Aku ke sini untuk mencari seseorang.”
“Siapa?”
Pertanyaan yang wajar, tapi Tatsuya tidak ingin menjawab. Ia masih belum yakin mau menceritakannya pada orang lain. Untung saja saat itu makanan pesanan mereka datang sehingga Tatsuya tidak perlu langsung menjawab.
“Kau mencari siapa?” tanya Tara sekali lagi setelah pelayan pergi.
Gadis itu benar-benar tidak mau melepaskannya. Jawaban apa yang bisa diberikan?
“Ceritanya panjang,” Tatsuya mengelak, tidak langsung menjawab pertanyaan Tara tadi.
“Lain kali saja kuceritakan.”
Gadis itu tidak mendesaknya lagi. Tara memang suka berceloteh panjang lebar, tetapi ia tidak suka memaksa, meskipun sebenarnya dia penasaran.
Setelah selesai makan, Tara membawanya berkeliling kota, dengan penuh semangat menunjukkan tempat-tempat menarik, seperti pemandu wisata berpengalaman. Tatsuya menyadari Tara gadis yang ekspresif. Ia tidak hanya bercerita dengan kata-katanya, tapi juga dengan mata dan gerakan tubuhnya.
Mungkin karena cuaca hari ini cerah, mungkin karena angin juga tidak bertiup terlalu kencang, atau mungkin juga karena ia mendapat teman seperjalanan yang menyenangkan, Tatsuya merasa santai hari itu. Gembira dan santai. Sudah lama sekali ia tidak mengalami perasaan seperti ini. Kapan terakhir kalinya ia merasa gembira? Pasti sebelum ibunya meninggal dunia. Dan sudah pasti sebelum ia tahu rahasia itu.
Ia merasa lengannya disiku pelan. Ia menoleh dan melihat Tara sedang menatapnya dengan alis berkerut.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanya gadis itu sambil tersenyum. Kerutan di dahinya menghilang.
“Tidak ada,” Tatsuya berbohong.
Tara mendengus pelan, masih tetap tersenyum. “Bohong,” gumamnya dengan nada riang.
“Kau tahu, Sebastien juga sering begitu.”
“Sering bagaimana?”
Tara mendongak. Senyumnya masih menghiasi bibirnya. Sepertinya memikirkan Sebastien saja ia bisa tersenyum. “Aku selalu tahu kalau Sebastien sedang banyak pikiran,” kataya. Tatsuya mendengar nada bangga dalam suara gadis itu. “Alisnya akan berkerut dan dia lebih banyak diam. Kalau ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia hanya akan menjawab „tidak apa-apa‟ dengan nada berat.” Tara menoleh mamandangnya dan senyumnya melebar. “Sama seperti yang kaulakukan tadi.”
Tatsuya mengangkat alisnya dan ikut tersenyum. Gaids itu punya senyum yang menular.
“Taman yang indah,” komentar Tatsuya mengalihkan pembicaraan.
Mereka sedang berjalan-jalan di Jardin du Luxembourg. Tatsuya memandang berkeliling. Banyak juga orang-orang yang menikmati jalan-jalan sore di taman ini seperti mereka.
Tara menggumam dan mengangguk. “Aku dan Sebastien suka ke sini. Kadang-kadang kalau kami berdua punya waktu senggang, kami akan duduk-duduk dan mengobrol tanpa tujuan.”
Tatsuya memandang gadis itu dengan bimbang.
“Ah! Itu ada bangku kosong,” seru Tara tiba-tiba. “Ayo, kita duduk di sana.”
Tatsuya membiarkan dirinya ditarik ke arah bangku kosong tidak jauh dari sana. Tara menyandarkan tubuhnya, mendongak, memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya.
“Hari yang indah sekali,” katanya pada dirinya sendiri, lalu menyiku lengan Tatsuya pelan.
“Lihat, daun-daun sudah mulai berwarna cokelat. Bagus sekali, bukan?”
Tatsuya memandang gadis itu sambil tersenyum samar.
“Kami—Sebastien dan aku, maksudku—suka sekali musim gugur,” desah Tara. Ia menoleh menatap Tatsuya. “Kau tahu bagian yang paling menyenangkan?”
Tatsuya menggeleng, masih tetap memandangi gadis itu.
“Aku paling suka merasakan angin musim gugur di wajahku. Membuat ujung hidung dan kedua pipiku terasa dingin,” kata Tara sambil tertawa. Ia menyentuh ujung hidung dan pipinya untuk menegaskan kata-katanya.
Tatsuya menimbang-nimbang sesaat, lalu berkata, “Ada yang ingin kutanyakan.”
Gadis yang duduk di sampingnya itu menoleh. “Apa itu?”
Tatsuya ragu sejenak, lalu memutuskan untuk bertanya. “Apakah kau dan Sebastien...?”
Tara mengangkat alisnya, menunggunya melanjutkan.
“Kau tahu maksudku,” Tatsuya meneruskan dengan enggan. “Apakah kau dan Sebastien... pacaran?”
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Oh, astaga! Tidak,” jawabnya ketika tawanya mereda. “Tidak, kami tidak pacaran. Kenapa bertanya seperti itu?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Kau selalu menyebut-nyebut namanya. Sebastien juga sering membicarakan dirimu.”
Tara menatapnya lurus-lurus. Matanya berbinar-binar. “Sebastien sering membicarakan aku?” tanyanya perlahan.
Tatsuya membalas tatapannya. Baiklah, seharusnya ia tadi tidak mengatakan hal itu. Sekarang ia merasa tidak ingin menjawab, tapi... “Ya.”
Tara tersenyum senang dan menunduk memandangi kakinya. Saat itu juga Tatsuya tahu. Gadis itu menyukai Sebastien.
“Kau menyukainya?”
Kenapa mulutnya bergerak sendiri? Tatsuya menyesali kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Bagaimanapun itu bukan urusannya.
Tara berpikir sejenak. “Dia teman yang baik,” jawabnya diplomatis. Ia menoleh menatap Tatsuya dan tersenyum lagi. Tiba-tiba ia berkata, “Hei, aku baru sadar warna matau abu-abu. Sama seperti aku. Kau lihat? Mataku juga abu-abu.”
Tatsuya menatap mata kelabu gadis yang duduk di sampingnya itu dan tersenyum. Mata kelabu yang bersinar ramah, hangat, dan ekspresif. Mata yang dengan mudah mencerminkan apa yang sedang dirasakan pemiliknya. Mata yang bisa dipercaya.
“Lensa kontak, bukan? Aku tahu lensa kontak berwarna sangat digandrungi anak-anak muda di Jepang,” tambah Tara agak bangga karena merasa punya sedikit pengetahuan tentang tren anak muda di Jepang, entah itu benar atau tidak.
Tatsuya tidak langsung menyadari bahwa Tara masih membicarakan tentang warna matanya yang tidak biasa bagi orang Asia. Akhirnya ia balas bertanya, “Kau sendiri memakai lensa kontak?”
Tara teringat warna matanya sendiri. “Enak saja,” protesnya. “Ini warna asli mataku.”
“Ah, benar,” kata Tatsuya sambil menengadah. “Sebastien pernah bilang ayahmu orang Prancis.”
“Ya. Ibuku orang Indonesia. Selain warna mataku, aku memang lebih mirip ibuku.”
“Oh, Indonesia?”
“Kenapa?”
“Aku punya kenalan yang bisa berbahasa Indonesia di Tokyo.”
“Oh ya?”
Tatsuya tertawa kecil. “Dia tetanggaku. Apartemennya tepat di sebelah apartemenku. Gadis manis yang pendiam, tapi bisa berubah segalak singa kalau perlu. Kadang-kadang dia suka mengomel dalam bahasa Indonesia.”
“Kau mengerti apa yang dikatakannya?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Hanya beberapa kata. Aku suka bertanya apa yang diomelkannya.”
Tara mengangguk-angguk. “Aku jadi ingin belajar bahasa Jepang.”
“Kau ingin belajar bahasa Jepang?” Tatsuya mengulangi ucapan Tara. “Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Aku memang suka belajar bahasa asing,” sahutnya sambil mengangkat bahu. “Kalau tidak salah, dalam bahasa Jepang kau harus menambahkan kata san pada nama orang, bukan?”
Tatsunay mengangguk. “Kalau kau sudah mengenalnya dengan baik, kau boleh memakai kata chan.”
“Tatsuya-san? Atau Fujisawa-san?” tanya Tara tidak pasti.
“Dua-duanya boleh, Tara-chan.”
“Hei, kau tahu, aku suka caramu menyebut namaku,” kata Tara dengan wajah berseri-seri.
“Sebastien tidak pernah menyebut namaku dengan benar.”
Tatsuya merasa senang. Ia punya satu kelebihan dibandingkan Sebastien.
Nah, pikiran apa itu? Kenapa sekarang ia membanding-bandingkan diri dengan Sebastien? Tatsuya menghapus pikiran itu dari benaknya.
Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi.
“Allô?” kata Tara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Tatsuya bisa melihat perubahan ekspresinya. Matanya berkilat-kilat dan senyumnya melebar.
Telepon dari Sebastien, pikir Tatsuya tanpa bisa dicegah.
“Sebastien!” seru gadis itu gembira.
Tatsuya memalingkan wajah. Benar, bukan?
“Kau sudah sampai?... Belum?... Tentu saja, aku bisa menjemputmu... Kau bawa oleh-oleh untukku?... Wah, kau memang baik sekali!... Oke, sampai jumpa!”
Tara menutup ponselnya. Ia masih tersenyum sendiri.
“Sebastien pulang hari ini?” tanya Tatsuya berbasa-basi.
Tara mengangguk. “Aku mau pergi menjemputnya,” katanya, lalu ia teringat sesuatu. “Oh ya, maaf. Aku tidak bisa menemanimu ke Arc de Triomphe malam ini.”
“Tidak apa-apa. Kita bisa pergi lain kali.”
Tara bangkit dan merapikan syalnya. “Mau kuantar pulang?”
Tatsuya menggeleng. “Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku ingin ke tempat lain dulu. Kau pergi saja.”
“Baiklah,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Aku pergi dulu. Terima kasih karena sudah mentraktirku makan siang. Lain kali giliranku.”
“Terima kasih karena sudah menemaniku hari ini.”
Tara melambaikan tangan. “Sampai jumpa.”
“Sampai ketemu lagi, Tara-chan.”
Tatsuya memandangi Tara yang berlari-lari kecil menjauhinya dan menarik napas panjang.
Lima
“PARA pendengar, Anda semua pasti masih ingat Monsieur Fujitatsu yang menulis surat ke acara kita dua hari yang lalu, bukan?”
Tara baru akan mematikan radio kecil yang ada di meja kerjanya dan pulang ketika mendengar kata-kata Élise.
Monsieur Fujitatsu?
Suara Élise terdengar lagi. “Waktu itu Monsieur Fujitatsu bercerita tentang gadis yang dia temui di bandara. Hari ini kami kembali mendapat surat dari Monsieur Fujitatsu. Mungkinkah mengenai kelanjutan cerita itu? Akan saya bacakan suratnya.”
Tatsuya menulis surat ke Je me souviens... lagi? Tara mengangkat alis. Rasa penasarannya langsung terbit. Ia duduk kembali dan memperbesar volume radio.
“Aku bertemu dengan seorang gadis kemarin. Oh, sepertinya ini cerita yang lain.”
Tara semakin tertarik dengan apa yang ditulis Tatsuya kali ini. Sepertinya ia takkan pernah bisa berhenti merasa penasaran dengan Tatsuya Fujisawa.
“Tara, ayo!” seru salah seorang rekan kerjanya yang sudah berjalan ke pintu, mengikuti beberapa orang lainnya. “Katanya kau mau ikut minum bersama.”
Tara
cepat-cepat menempelkan jari telunjuk di bibir dan melambai. “Kalian
duluan saja. Aku akan menyusul,” katanya cepat, setengah mengusir.
Setelah rekan-rekannya keluar dan menutup pintu, Tara kembali memusatkan perhatian kepada radio kecilnya. Ia sudah ketinggalan sepenggal kecil dari surat Tatsuya.
“...berterima kasih kepada gadis yang kutemui kemarin. Dia sudah berbaik hati menemaniku ke museum, tapi aku malah membuatnya bosan setengah mati.”
Alis Tara terangkat dan ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Apakah Tatsuya sedang bercerita tentang dirinya?
“Walaupun dia tidak berkata apa-apa, tapi tanpa sadar aku menghitung berapa kali dia menguap selama di museum. Sebelas kali dalam dua jam.”
Benarkan ia menguap sebelas kali? Tara mengerutkan kening dan berusaha mengingat-ingat. Sepertinya ia tidak menguap sesering itu. Dan Tatsuya menghitung berapa kali ia menguap?
Yang benar saja!
Sebenarnya saat itu Tara tidak benar-benar bosan. Ia hanya mengantuk karena kemarin ia terpaksa bangun pukul 09.30. Dalam kamusnya, matahari baru mulai terbit jam 10.00 di hari Minggu.
“Aku sudah mencatat dalam hati lain kali aku takkan mengajaknya ke museum lagi. Jadi sekarang aku ingin menghadiahkan sebuah lagu untuknya sebagai ucapan terima kasih karena sudah begitu sabar dan karena sudah menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Bisakah Anda putarkan lagu yang bagus untuknya?
“P.S.
Sayang sekali aku tidak punya nomor teleponnya. Karena itu aku hanya
bertanya-tanya sendiri kapan aku akan bertemu dengannya lagi. Hari ini?
Besok?”
Tara mendengar Élise tertawa kecil. “Monsieur Fujitatsu, kedengarannya itu seperti ajakan kencan. Demi Anda, kami berharap gadis itu mendengarkan acara ini.”
Senyum Tara melebar. Tatsuya Fujisawa benar-benar laki-laki yang lucu dan penuh kejutan.
* * *
“Mau makan di mana?” tanya Sebastien.
Tara memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan dengan kening berkerut. “Di mana ya?”
Kedengarannya Sebastien juga sedang berpikir di ujung sana. “Mau makan pasta?” sarannya.
“Boleh saja. Sudah lama kita tidak makan pasta. Di tempat biasa?”
“Ya.” Lalu suara Sebastien terdengar ragu. “Oh, ya. Kau tidak keberatan aku ajak Tatsuya sekalian, kan?”
“Tentu saja tidak. Ajak saja,” sahut Tara langsung. Ia ingin sekali bertemu Tatsuya lagi.
Suara Sebastien terdengar lega. “Bagus. Kita ketemu di sana saja, ya?”
Tara mengiyakan, lalu menutup telepon dan merenung. Sebastien kedengarannya ragu ketika menanyakan apakah ia boleh mengajak Tatsuya. Tara berpikir itu mungkin karena Sebastien takut Tara tidak akan setuju mengingat sikapnya yang tidak bersahabat saat pertemuan pertamanya dengan Tatsuya. Tetapi Sebastien tidak tahu Tara sudah pernah bertemu dengan Tatsuya setelah pertemuan pertama itu.
Tara memang belum memberitahu Sebastien tentang hal itu. Bukannya tidak mau, tapi waktunya tidak tepat. Kemarin mereka berdua sibuk dan tidak bisa bertemu, sementara dua hari yang lalu ketika ia pergi menjemput Sebastien di bandara, Tara sempat kesal dengannya.
Sebenarnya
ketika ia pergi menjemput Sebastien di bandara, suasana hati Tara masih
bagus sekali. Melihat sosok Sebastien yang keluar dari pintu kedatangan
di bandara saja hatinya langsung melonjak dan ia segera melambai-lambai
dengan gembira.
Suasana hati Tara mulai berubah ketika mereka sudah berada dalam mobil dan ia bertanya tentang perjalanan Sebastien ke Nice.
“Bagaimana Nice?” tanyanya sementara mereka meninggalkan bandara.
Sebastien tersenyum lebar. “Semuanya baik-baik saja,” jawabnya puas. Ia menoleh ke arah Tara dan mengedipkan sebelah mata. “Aku juga bertemu seorang gadis di sana.”
“Lagi-lagi,” Tara mendesah. Ia sudah bosan mendengar kisah cinta kilat Sebastien.
“Tunggu dulu,” sela Sebastien. “Ini tidak seperti sebelumnya.”
“Apa bedanya?”
“Gadis ini berbeda. Aku benar-benar suka padanya.”
Mobil sempat oleng begitu Tara mendengar kata-kata Sebastien.
“Ya Tuhan! Hati-hati, Tara. Kau hampir menabrak mobil di sebelahmu!” seru Sebastien memperingatkan.
“Berbeda? Berbeda bagaimana?” tanya Tara sambil memaksakan tawa sumbang. “Bukankah semua gadis sama saja bagimu?”
“Aku serius,” sahut Sebastien. Dan suaranya memang terdengar serius. “Juliette berbeda,” Ia mengulangi.
Juliette? Pemilik nama semacam itu pasti kurus kering dengan rambut panjang dan lurus berwarna kuning jagung. Warna kuning jagung mengingatkan Tara pada orang-orangan sawah.
Jangan-jangan si Juliette memang mirip orang-orangan sawah. Tara tidak bisa menahan diri untuk berpikir yang tidak-tidak.
“Ih, alasan usang,” gumamnya jengkel. Kenapa mobil di depan itu begitu lamban? Ia membunyikan klakson berkail-kali dengan bernafsu.
“Sungguh,” Sebastien berusaha meyakinkannya.
Tara semakin tidak sabar dan akhirnya menyalip mobil di depannya itu.
“Tara, apakah menurutmu aku sedang jatuh cinta?” Sebastien melanjutkan. Ia sama sekali tidak sadar Tara berharap bisa meninju mulutnya. “Kau tahu, ternyata dia juga tinggal di Paris. Dia pergi ke Nice karena urusan kerja, sama seperti aku. Katanya dia akan kembali ke Paris dalam beberapa hari ini. Akan kukenalkan padamu nanti.”
Tidak! Tara tidak ingin berkenalan dengan gadis-gadis yang terlibat dengan Sebastien. Ia tidak pernah berniat berkenalan dengan mereka dan selama ini Sebastien juga tidak pernah memperkenalkan mereka. Kenapa sekarang harus berubah?
“Itu konyol,” gumam Tara kesal.
“Apanya?”
“Segala tetek-bengek tentang jatuh cinta itu. Memangnya orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Aku tahu kau tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya.”
Tara mendengus meremehkan.
“Tara, kenapa kau mengebut begitu? Pelan-pelan saja.”
“Aku sedang buru-buru,” jawabnya ketus. “Kau kira aku orang yang tidak punya kerjaan?”
“Jadi, apa yang terjadi selama aku di Nice?” tanya Sebastien, berusaha mengalihkan pembicaraan. Gadis yang duduk di sampingnya itu jelas-jelas sedang naik darah. “Akhir pekanmu menyenangkan?”
Tadinya Tara ingin bercerita tentang pertemuannya dengan Tatsuya Fujisawa, tapi sekarang
tidak jadi. Suasana hatinya telanjur jelek dan ia tidak ingin mengobrol panjang-lebar.
“Tidak lebih baik daripada akhir pekanmu,” sahutnya dengan nada ketus yang sama.
“Kok tiba-tiba marah?” tanya Sebastien dengan nada bergurau.
“Aku tidak marah,” tukas tara, walaupun nada suaranya jelas-jelas marah.
Sebastien mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tidak bisa bermain tebak-tebakan dan ia tidak mau disuruh meneba isi pikiran wanita. Terlalu rumit dan ia tahu ia takkan berhasil menebak dengan benar. “Baiklah. Walaupun aku tidak tahu apa kesalahanku, aku minta maaf,” katanya tulus, berharap dengan begitu kekesalan Tara akan mereda.
“Kalau tidak tahu kesalahanmu, tidak perlu minta maaf!”
Oke, ia salah langkah. Sebastien mengerutkan kening dengan bingung. Ada apa dengan Tara hari ini?
“Hari ini kau aneh sekali, Tara Dupont. Kau sedang ada masalah?”
Perhatian dalam suara Sebastien membuat amarah Tara agak reda. Ia menggeleng.
“Kau tahu kau selalu bisa bercerita padaku kalau ada masalah,” kata Sebastien lagi dengan bersungguh-sungguh. “Aku akan membantumu.”
Tara memaksakan seulas senyum. “Aku tidak apa-apa. Hanya saja ada seseorang yang membuat darahku mendidih.”
“Katakan padaku siapa orang itu,” kata Sebastien cepat. “Akan kuberi pelajaran siapa pun yang mengganggumu.”
Tara tertawa kecil. Inilah Sebastien Giraudeau yang dikenal dan disukainya. Walaupun Tara gadis yang blak-blakan, pada dasarnya ia tetap konservatif. Ia tidak suka terang-terangan terhadap laki-laki. Selama ini ia sudah berusaha menunjukkan perasaannya, tapi kenapa laki-laki itu tidak memahaminya? Apa lagi yan bisa ia lakukan?
* * *
Sebastien sudah menunggunya ketika Tara sampai di restoran Italia itu. Tara heran melihat Sebastien duduk sendirian.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara begitu ia berdiri di depan Sebastien.
Sebastien mengangkat wajah dari menu yang sedang dibacanya. Ia tersenyum lebar, lalu berdiri dari kursinya. Ia menunggu Tara menarik kursi dan duduk, baru duduk kembali.
“Di mana Tatsuya?” tanya Tara sekali lagi. Ia melihat ke sekeliling restoran, berharap menemukan sosok Tatsuya di sana. Mungkin sedang ke toilet?
“Dia tidak bisa ikut,” sahut Sebastien sambil membolak-balikkan menu yang dipegangnya.
“Oh?” Tara berhenti mencari dan memandang Sebastien. Tatsuya tidak datang? Oh...
Sebastien melanjutkan, “Tadi aku sudah menelepon untuk mengajaknya, tapi katanya dia ada urusan lain. Akhir-akhir ini kami semua memang sibuk sekali karena proyek hotel itu, apalagi Tatsuya yang harus dengan cepat mempelajari semuanya dari awal karena dia bergabung di tengah-tengah proyek yang sedang berjalan. Hari ini aku bahkan belum sempat bertemu dengannya. Aku juga tidak melihatnya sepanjang hari kemarin.”
Oke, Tara akui ia sedikit kecewa. Sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Tatsuya. Banyak yang ingin ia tanyakan pada laki-laki itu. Terlebih lagi tentang surat yang ditulisnya ke stasiun radio. Begitu mengingat surat itu, Tara tidak bisa menahan senyum. Tatsuya Fujisawa benar-benar membangkitkan rasa ingin tahunya. Kapan laki-lak itu akan menulis surat lagi?
“Kenapa senyam-senyum sendiri?”
Tara menatap Sebastien dan mengerjapkan mata. “Tidak apa-apa,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Hanya saja aku teringat...”
Kata-katanya dipotong dering ponsel Sebastien.
“Sebentar,” gumam Sebastien sambil merogoh saku celananya. Ia menatap layar ponsel dan raut wajahnya menjadi cerah.
Tara mengerutkan kening. Ia mendapat firasat jelek. Telepon itu pasti dari gadis yang ditemui Sebastien di Nice. Pasti... Pasti...
Sebastien buru-buru menempelkan ponsel ke telinga. “Juliette? Kau sudah kembali ke Paris?”
Nah, benar, kan? Memang si orang-orangan sawah itu yang menelepon.
Sebastien mendengarkan sebentar, lalu tertawa dan berkata, “Tentu saja aku punya waktu sekarang.”
Tara melotot. Apa katanya?
Sebastien tidak memandangnya. Laki-laki itu berkonsentrasi penuh dengan lawan bicaranya di telepon. “Oke, aku ke sana sekarang. Sampai jumpa.”
Tara menahan napas. Jangan katakan....
Sebastien menutup ponsel dan memandang Tara.
Jangan berani-berani....
Tara balas menatap Sebastien. Ia tidak mau bertanya karena ia takut mendengar jawaban Sebastien.
“Tara, maafkan aku,” kata Sebastien, tapi ia tidak terlihat menyesal. Ia malah terlihat gembira, matanya berkilat-kilat dan wajahnya berseri. “Kau ingat Juliette? Gadis yang pernah kuceritakan padamu?”
Tidak! Tidak ingat! Tidak mau ingat!
Sebastien meneruskan, “Ternyata dia sudah kembali ke Paris. Dia menelepon dan mengajakku makan siang.”
Tara harus berusaha keras menahan emosinya. “Sekarang?” tanyanya jengkel. “Bukankah kita sekarang sedang makan?”
Temannya itu seperti sama sekali tidak mengerti perasaannya. Sebastien malah tertawa dan berkata ringan, “Maaf, aku akan mentraktirmu lain kali. Oke? Sekarang aku harus pergi.”
Tara
nyaris tidak percaya melihat Sebastien bangkit dari kursi, meraih
jaket, lalu melambai ke arahnya dan keluar dari restoran. Tara tidak
bisa berkata apa-apa, tidak bisa melakukan apa-apa. Ia begitu
tercengang. Ia hanya bisa terdiam melihat Sebastien masuk ke mobilnya
lalu melaju pergi.
Apa artinya itu? Sebastien meninggalkannya. Sebelum ini Sebastien tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah. Walaupun lelaki itu punya banyak kekasih, tapi Tara selalu mendapat perhatian utamanya. Sebastien sendiri yang berkata begitu. Tara ingat Sebastien pernah berkata kalau Tara adalah gadis nomor satunya. Tentu saja Tara tahu Sebastien hanya menganggapnya sebagai teman baik, mungkin juga sebagai adiknya, tapi tidak masalah. Tara senang.
Tara menunduk menatap taplak meja yang putih. Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat tangan kananya dan ditempelkan di dadanya. Sakit.
Enam
HARI itu sungguh menyebalkan. Perasaan Tara tidak membaik sepanjang sisa hari itu. Ditambah lagi ia terpaksa harus menerima omelan dari Charles Gilou, atasannya yang sudah berusia lebih dari setengah abad dan superkeras, karena penampilannya dinilai buruk saat siaran. Charles bukan orang yang suka bertanya-tanya tentang masalah pribadi bawahannya dan ia juga tidak peduli. Yang penting baginya adalah seorang penyiar harus selalu terdengar ceria, profesional, dan tanpa beban begitu masuk ke ruang siaran.
Tara keluar dari ruangan Charles sambil menggerutu dalam hati. Sebastien brengsek! Laki-laki itu yang membuat perasaannya kacau seperti ini. Hari ini benar-benar tidak menyenangkan. Ia ingin cepat-cepat pulang saja. Ia bahkan tidak ingin makan malam. Ia mau langsung pulang dan tidur.
“Bagaimana? Charles mengamuk?” tanya Élise simpatik begitu Tara masuk ke ruang kerja.
Tara mengembuskan napas panjang dan berat. Ia memandang Élise, lalu mengangguk lesu. “Hari ini menyebalkan sekali,” gumamnya, lalu menjatuhkan diri ke kursi.
Élise tersenyum menghibur. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau tahu sendiri Charles orang yang seperti apa. Tuan Sempurna yang mengharapkan semua orang juga sempurna seperti dirinya.”
Tara hanya mendesah dan cemberut.
“Ngomong-ngomong, Sabtu nanti kau datang, kan?” tanya Élise mengalihkan pembicaraan.
Tara mengerjapkan mata. “Sabtu? Datang ke mana?”
“Tentu saja ke pesta ulang tahunku. Kau ini bagaimana sih? Sudah lupa?”
“Astaga! Itu kan masih lama,” protes Tara, lalu melirik kalender mejanya. “Masih seminggu lagi.”
“Aku hanya ingin memastikan,” Élise membela diri. “Datang, kan?”
Tara mengangkat bahu. “Tentu saja! Selama ada makanan gratis, aku pasti datang.”
Élise mendengus dan tertawa. “Aku juga sudah mengundang Sebastien. Dia bertanya padaku apakah dia boleh mengajak seorang temannya.”
Tara meringis. “Pasti si orang-orangan sawah itu,” gumamnya murung.
“Siapa?”
“Pacar barunya.”
“Oh,” gumam Élise. Sepertinya ia memahami apa yang dirasakan temannya. “Jadi kubilang pada Sebastien bahwa dia boleh membawa temannya.”
Tara meringis lagi. “Sedang apa kau?” tanyanya ketika melihat Élise asyik mengutak-atik laptop-nya. Ia tidak ingin membicarakan Sebastien lagi. Suasana hatinya buruk gara-gara Sebastien.
“Oh, aku sedang membaca e-mail yang masuk,” sahut Élise tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Tak kusangka banyak sekali e-mail masuk yang menanyakan tentang Monsieur Fujitatsu.”
“Hm? Monsieur Fujitatsu?”
Élise mengangguk. “Tentu saja kebanyakan e-mail itu dari wanita. Mereka merasa Monsieur Fujitatsu itu laki-laki yang sangat romantis. Mereka berharap bisa mendengar kelanjutan kisahnya.”
Tara tersenyum sendiri mendengar kata-kata temannya.
“Sebenarnya aku sendiri juga penasaran kapan Monsieur Fujitatsu kita ini akan menulis surat lagi kepada kita,” lanjut Élise. “Aku merasa seperti sedang mendengar cerita bersambung. Membuatku gemas.”
“Jangan-jangan kau juga salah satu penggemarnya?” goda Tara.
Élise hanya tertawa kecil dan melanjutkan pekerjaannya.
Saat itu ponsel Tara berdering.
“Allô?”
“Allô, Tara-chan. Kuharap kau sedang tidak sibuk.”
Senyum Tara langsung mengembang dan semangatnya bangkit begitu mendengar suara laki-laki itu. “Tatsuya!” serunya gembira. “Bagaimana kau bisa tahu nomor teleponku?”
“Tadi aku menelepon ke stasiun radio dan katanya kau sedang siaran, jadi aku sekalian meminta nomor ponselmu,” sahut Tatsuya di ujung sana. “Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa ikut makan siang bersamamu dan Sebastien tadi.”
Tara mengangkat bahunya acuh tak acuh dan berkata, “Tidak apa-apa. Tadi kami juga tidak jadi makan siang. Sebastien punya rencana lain.”
“Kedengarannya kau sedang kesal.”
“Tidak, aku tidak kesal,” bantah Tara. Memangnya kedengaran jelas bahwa ia sedang kesal?
“Ya sudah,” sahut Tatsuya. Ia pintar membaca situasi dan tidak mau berdebat dengan Tara.
“Sebenarnya aku ingin mengajak kalian makan malam. Aku menelepon Sebastien, tapi katanya dia tidak bisa.”
“Jangan hiraukan dia,” kata Tara. Sebastien pasti sedang bersama si orang-orangan sawah.
“Aku bisa menemanimu makan malam. Di mana?”
“Di tempatku,” jawab Tatsuya bangga. “Aku akan memasak udon.”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Ia berusaha berhenti merasa heran dengan setiap jawaban
Tatsuya yang tidak digua. “Kau bisa masak?” tanyanya.
“Tentu saja. Kenapa tidak?”
“Bisa dimakan?”
Tara mendengar Tatsuya tertawa. “Semua temanku suka makan masakanku,” sahutnya.
Tara ikut tertawa. “Baiklah, aku akan datang. Berikan alamat rumahmu.”
* * *
“Kau benar-benar pintar memasak.”
Tatsuya menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Tara balas menatapnya sambil tersenyum lebar. “Terima kasih,” kata Tatsuya.
“Aku kenyang sekali,” keluh Tara senang. Ia menepuk-nepuk perutnya dengan pelan dan puas.
Mereka
berdua baru selesai makan dan sedang duduk-duduk di sofa panjang dan
memandang ke luar jendela. Tara yang memaksa Tatsuya menggeser sofa ke
depan jendela agar mereka bisa duduk dan makan sambil memandangi Sungai
Seine di bawah sana.
“Apartemenmu bagus,” kata Tara sambil bangkit dan berjalan berkeliling ruangan.
Tatsuya mengangguk. “Disewa oleh perusahaan.”
“Ini foto siapa?”
Tatsuya menoleh dan melihat Tara sudah berdiri di dekat televisi dan memerhatikan foto seorang wanita yang ada di atas televisi. Kapan ia meletakkan foto itu di sana? Tatsuya tidak ingat. Ia bangkit dan menghampiri gadis itu.
“Cantik,” gumam Tara sambil mengamati wanita berambut hitam panjang sebahu di dalam foto.
Kerongkongan Tatsuya tercekat. Ia tersenyum lemah dan berkata, “Tentu saja. Ini almarhumah ibuku.”
“Oh?” Tara mengangkat wajahnya dan menatap Tatsuya. “Kalau boleh tahu, kapan...”
Dengan
perlahan Tatsuya mengambil foto ibunya dari tangan Tara dan
mengamatinya dengan perasaan bercampur aduk. Dadanya mulai terasa sesak.
“Musim gugur tahun lalu,” sahutnya pelan. “Kanker.”
“Oh,” gumam gadis itu agak kaget. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya sambil mengembalikan foto itu ke atas televisi. Kemudian ia tersenyum. “Karena itulah aku tidak suka musim gugur.”
Tara membalas senyumannya. Tatsuya merasa dadanya lebih ringan sekarang. Perasaannya lebih baik. Kenapa senyum gadis itu bisa membuatnya merasa seperti itu? Tiba-tiba saja ia ingin menceritakan isi hatinya kepada Tara, berharap dengan begitu ia bisa lebih lega, berharap bebannya tidak seberat sekarang.
“Kau ingat aku pernah bilang aku sedang mencari seseorang?” tanyanya ketika mereka sudah duduk kembali di sofa dan memandang ke luar jendela.
Tara menoleh ke arahnya, menunggunya melanjutkan.
Tatsuya menarik napas dan menatap Tara. “Aku sedang mencari cinta pertama ibuku.”
Alis Tara terangkat, tapi ia tidak berkomentar karena merasa Tatsuya masih ingin melanjutkan kata-katanya.
“Sebelum bertemu dengan ayahku, ibuku pernah jatuh cinta dengan seorang pria Prancis....
Cinta pertamanya. Karena itu ibuku memintaku mencarinya.”
“Kau tahu kenapa ibumu memintamu mencari cinta pertamanya?” tanya Tara.
“Untuk menyerahkan surat yang ditulis ibuku kepadanya,” sahut Tatsuya.
Alasan sebenarnya bukan hanya itu, tapi Tatsuya merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan. Nanti kalau semuanya sudah beres, ia akan menceritakannya. Nanti...
“Lalu kenapa kau lesu begitu?” tanya Tara lagi. “Apakah kau merasa ibumu mengkhianatimu dan ayahmu? Karena ibumu memintamu mencari cinta pertamanya?”
Tatsuya terdiam sesaat, lalu menjawab, “Sedikit, kurasa.”
Tara menepuk-nepuk pundaknya. Tatsuya menoleh dan melihat gadis itu tersenyum. “Kau anak yang baik,” katanya menghibur. “Sungguh.”
Tatsuya tertawa kecil.
“Jadi kau sudah menemukan orang itu?”
Tatsuya mengangguk.
Mata Tara melebar. “Benarkah?”
“Aku belum bertemu muka dengannya,” sahut Tatsuya cepat. “Aku sudah punya nomor teleponnya, hanya saja aku belum berani menghubunginya.”
“Kenapa?”
“Karena aku masih bingung dengan apa yang harus kukatakan padanya. Bagaimana reaksinya begitu bertemu denganku? Apakah dia masih ingat pada ibuku? Banyak yang harus kupersiapkan sebelum aku bertemu dengannya nanti.”
“Tapi kau tentu tahu cepat atau lambat kau tetap harus menghadapinya,” kata Tara mengingatkan.
“Ya, aku tahu,” sahut Tatsuya enggan, lalu memandang gadis di sampingnya. “Dan aku akan memberitahumu bila aku sudah bertemu dengannya.”
“Oke,” kata Tara dengan senyum lebar. Ia senang Tatsuya memutuskan berbagi cerita dengannya. Itu artinya laki-laki itu percaya padanya. Sambil mendesah, ia kembali memandang ke luar jendela. “Aah... pemandangan Sungai Seine dari sini indah sekali.”
Tatsuya memerhatikan gadis yang sedang mengagumi Sungai Seine dengan tatapan menerawang itu. Mengherankan sekali. Keberadaan gadis itu membuatnya santai, seperti sekarang. Juga membuat perasaannya senang. Gadis itu seperti obat penenang. Sejak ibunya meninggal Tatsuya selalu merasa tersiksa bila harus datang ke Paris. Ia tidak pernah merasa tenang. Tapi sekarang? Jangan tanya bagaimana, tapi gadis bernama Tara Dupont ini telah membuat hari-harinya di Paris menjadi lebih mudah.
Lebih mudah, tapi tidak berarti sudah tidak menyakitkan. Semakin lama di Paris, perasaannya semakin tidak menentu. Ia tahu ia harus segera menyelesaikannya, tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Ia masih terus mengumpulkan keberanian. Ia juga tidak tahu sampai kapan ia baru bisa mengumpulkan keberanian yang cukup untuk menemui orang itu. Orang yang sudah lama dicarinya. Orang yang tanpa sengaja dilihatnya di jalan dua hari yang lalu.
“Ngomong-ngomong, kau tahu, tidak, kau sekarang punya banyak penggemar?” tanya Tara tiba-tiba.
Tatsuya menoleh. “Maksudmu?”
Tara menatapnya dan tertawa. “Para pendengar kami sangat tertarik dengan e-mail yang kaukirimkan, termasuk temanku, Élise, yang juga penyiar Je me souviens.... Cerita-ceritamu membuat mereka penasaran.”
“Oh ya?”
Tara mengangguk. “Monsieur Fujitatsu membuat acara itu semakin populer. Inbox e-mail kami kebanjiran surat yang menanyakan tentang si „laki-laki misterius yang romantis.‟”
Tatsuya tertawa kecil.
“Terutama mereka penasaran sekali dengan gadis di bandara itu,” tambah Tara.
“Kau juga penasaran,” sela Tatsuya sambil tersenyum.
“Baiklah, aku juga,” aku Tara, lalu cepat-cepat menambahkan, “Maukah kau terus menulis surat ke acara itu?”
“Kau mau aku bercerita tentang gadis yang kutemui di bandara waktu itu?” tanya Tatsuya.
“Tentang apa saja.”
Tatsuya berpikir sebentar, lalu berkata, “Akan kukabulkan keinginanmu kalau kau mau pergi jalan denganku kapan-kapan.”
Mata Tara membesar dan ia tersenyum. “Kau mengajakku kencan?” Ia merasa gembira dengan rencana itu.
Tatsuya pura-pura berpikir keras, lalu mengangguk-angguk. “Sepertinya begitu.”
Kemudian gadis itu tertawa. Saat itu Tatsuya baru menyadari ia sangat suka melihat Tara Dupont tertawa.
Tujuh
“KALAU boleh jujur, dulunya aku sama sekali tidak suka Paris. Aku juga benci musim gugur.”
Tara baru akan mulai memusatkan perhatian pada naskah acaranya ketika ia mendengar Élise membacakan surat dari Monsieur Fujitatsu di radio. Ia mengangkat alis, mengerjapkan mata, lalu meletakkan naskahnya. Ia membesarkan volume radio kecilnya dan bertopang dagu. Senyumnya mengembang. Ternyata Tatsuya menepati janjinya.
“Tetapi akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi.... Paris berubah menjadi kota yang indah tepat di depan mataku dan musim gugur juga mulai terasa menyenangkan. Gadis itu yang membuat segalanya berubah. Dia sangat suka kota ini dan sangat suka musim gugur. Mengherankan sekali.... Aku tidak pernah menganggap diriku gampang dipengaruhi, tetapi kenapa gadis ini dengan mudahnya membuatku berubah pikiran?
“Gadis Musim Gugur, bukankah kau sudah janji mau menerima ajakan kencanku? Kau punya waktu hari ini?”
Tara hampir tidak percaya mendengar permintaan kencan yang langsung dan terbuka itu. Belum pernah ada yang mengajaknya kencan lewan radio. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berdering.
“Allô?”
“Allô, Gadis Musim Gugur,” sapa laki-laki di ujung sana.
Tatsuya. Senyum Tara melebar.
“Gadis Musim Gugur?” tanya Tara sambil menahan tawa.
“Ya,” sahut Tatsuya. “Kau sedang mendengarkan radio, kan?”
“Mm-hmm.”
“Berati kau sudah mendengar penyiarnya membacakan suratku?”
“Mm-hmm.”
“Jadi kau tentu tahu kalau kaulah gadis aneh yang menyukai musim gugur dalam ceritaku tadi.” Tatsuya tertawa. “Dan aku menunggu jawabanmu.”
“Kau selalu memakai cara ini kalau ingin mengajak seorang gadis kencan?” gurau Tara.
“Melalui radio?” Tatsuya balas bertanya. “Tidak. Ini yang pertama kali. Aku sedang merasa
kreatif. Bagaimana? Mau menemaniku hari ini?”
Tara tidak perlu waktu untuk berpikir. “Dengan senang hati, Monsieur Fujitatsu,” sahutnya, lalu tertawa.
* * *
Sejak hari itu Tatsuya sering menulis surat ke Je me souviens...
dan membuat Tara selalu menanti-nantikan acara itu. Isi suratnya selalu
mengenai hal-hal yang sepele namun anehnya berkesan, seperti ...
“Sebelumnya aku sudah tahu dia suka Paris, musim gugur (tentu saja!), Sungai Seine, sate kambing, cat kuku warna-warni, dan mengoceh panjang-lebar. Kemarin aku baru tahu dia juga suka nonton film-film klasik. Salah satu film favoritnya sepanjang masa, menurut pengakuannya, adalah Breakfast At Tiffany‟s. Tentu bisa ditebak juga bahwa Audrey Hepburn adalah aktris favoritnya dan Moon River adalah lagu kesukaannya. Kalian punya lagu itu? Bisa putarkan untuknya? Dia pasti senang sekali.”
...
“Astaga! Dia menangis tersedu-sedu ketika kami menonton DVD My Girl di tempatku, terutama di bagian ketika tokoh yang diperankan si kecil Macaulay Culkin meninggal dunia. Walaupun dia menghabiskan seluruh persediaan tisuku, aku sama sekali tidak keberatan. Aku malah senang, karena dia mengaku itu pertama kalinya dia mengizinkan dirinya menangis di depan orang lain saat sedang menonton film.”
...
“Kepalaku pusing sekali hari ini. Badan juga terasa tidak enak. Semua itu karena aku terpaksa menuruti permintaannya. Dia membujukku—nyaris memaksa!—menemaninya ke Disneyland kemarin. Bukan hanya menemaninya ke tempat bermain untuk anak-anak balita itu, tetapi juga menemaninya mencoba seluruh permainan mengerikan di sana. Kau tahu, kan, jenis permainan yang bisa membuat jantung copot, mengobrak-abrik isi perut, dan menjungkirbalikkan otak? Dengan rendah hati kuakui aku sama sekali tidak tahan dengan permainan seperti itu. Tapi harap dicatat, aku tidak mengeluh. Setidaknya sedikit pengorbananku itu membuatnya senang.”
...
“Ternyata dia bisa memasak! Aku sudah pernah mencoba masakannya dan dia hampir sama jagonya denganku. Hari ini giliran siapa yang memasak makan malam ya? Dia atau aku? Aku lupa. Pokoknya hari ini makan malam di tempatnya saja.
“Gadis Musim Gugur, aku akan ke sana sepulang kerja.”
...
“Aku
ingin tahu apa yang dilakukannya sekarang? Kurasa dia sedang
mendengarkan radio sambil bertopang dagu dan tersenyum-senyum sendiri.
Nah, sekarang ia menaikkan alisnya karena heran, lalu keningnya
berkerut. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berpikir bagaimana aku
bisa menebak dengan benar. Tentu saja aku tahu. Karena aku sering
memerhatikannya. Karena sering memerhatikannya, tanpa sadar aku jadi
mengenal semua kebiasaannya.”
* * *
“Kaukira
sedang menulis buku harian?” tanya Tara dengan ponsel menempel di
telinganya. Ia berusaha terdengar kesal, tetapi tidak bisa menahan diri
untuk tersenyum lebar.
“Bukankah kau yang memintaku terus menulis ke acara itu karena kau bilang aku punya banyak penggemar yang harus dipuaskan?” balas Tatsuya ceria.
Tara menarik napas dan menyerah. “Baiklah, aku harus berterima kasih padamu karena telah memuaskan para pendengar kami.”
Tatsuya tertawa. “Jangan hanya mengucapkan terima kasih. Kau ada acara malam ini?”
“Tidak. Kau punya rencana apa?”
“Aku dengar ada restoran baru yang enak. Mau coba?”
“Tentu saja. Kau yang traktir?”
Tatsuya menghela napas dengan berlebihan. “Bukankau kau yang ingin berterima kasih padaku?”
“Astaga! Baiklah, baiklah. Aku yang traktir hari ini,” kata Tara pura-pura tidak sabar. “Di mana kita bertemu nanti?”
Ketika akhirnya ia menutup ponsel, Tara melihat Élise sedang memerhatikannya sambil tersenyum-senyum.
“Boleh aku tahu siapa itu tadi? Laki-laki, kan?” tanya Élise dengan nada menggoda.
“Sebastien?”
Tara menggeleng.
Alis Élise terangkat. Heran dan agak kaget. “Bukan?” tanyanya sambil menggeleng, mengikuti gerakan Tara. “Lalu siapa?”
Tara menggigit bibir dan tersenyum. Kemudian ia menumpukan kedua siku di meja dan mencondongkan badan ke depan. Élise menyingkirkan laptop dan ikut mencondongkan tubuh sehingga kepala mereka berdekatan.
“Kau bisa menjaga rahasia?” tanya Tara dengan suara rendah penuh rahasia.
Kedua alis Élise terangkat. “Tentu saja,” sahutnya cepat. “Kau kan kenal aku.”
“Orang yang tadi meneleponku,” bisik Tara dengan nada misterius, “adalah Monsieur Fujitatsu.”
Mata Élise membesar. “Yang benar?” serunya terkejut.
Tara tersenyum lebar dan mengangguk. “Namanya Tatsuya Fujisawa. Dia teman Sebastien.”
“Jangan-jangan kau adalah gadis... Gadis Musim Gugur?” tebak Élise.
Tara tertawa pelan. “Julukan itu memang kedengaran konyol.”
Élise terdiam sejenak dan berpikir-pikir. “Kau tahu siapa gadis yang ditemuinya di bandara? Di suratnya yang pertama kali itu? Jangan-jangan...”
Dengan menyesal Tara menggeleng. “Aku tahu apa yang kaupikirkan, tapi sayang sekali, aku bukan gadis yang ditemuinya di bandara atau di kelab. Aku sendiri juga penasaran sekali siapa gadis itu.”
“Oh?”
Tara bangkit. “Nah, sekarang aku permisi dulu. Aku ada janji makan malam. Oh ya, Élise, jangan katakan pada siapa pun tentang Tatsuya. Oke? Ini rahasia kita berdua.”
“Tara,” panggil Élise tiba-tiba. “Ajak dia ke pesta ulang tahunku.”
“Siapa? Tatsuya? Kenapa?”
“Ayolah,” bujuk Élise dengan mata berbinar-binar. “Aku ingin tahu seperti apa orangnya. Tampan?”
“Wah? Bukankah kau sudah punya pacar?” Tara balas bertanya dengan nada bergurau.
“Tidak ada hubungannya,” bantah Élise. “Jangan takut. Aku tidak akan merebutnya darimu. Ajak dia. Oke?”
Tara tertawa. “Aku tidak takut kau merebutnya. Baiklah, aku akan mengajaknya. Tapi aku tidak tahu apakah dia bersedia datang atau tidak.”
Delapan
TATSUYA menatap kertas di tangannya, lalu beralih menatap pemandangan Sungai Seine di luar jendela. Ia mengembuskan napas panjang dan kembali menatap nomor telepon yang tertera di kertas yang dipegangnya itu. Akhirnya ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi nomor tersebut.
Jantungnya
berdebar keras dan sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel
dibenamkan ke saku celananya sementara menunggu hubungan tersambung.
Kemudian...
“Allô?”
Tatsuya mendengar suara orang itu di ujung sana. Suara seorang pria yang bernada rendah dan dalam. Sesaat ia tidak bisa bersuara. Gugup. Ia sadar ia tidak bisa mundur lagi. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Allô?” Suara orang itu terdengar lagi.
Kali ini Tatsuya mengumpulkan segenap tenaga dan keberaniannya dan menjawab, “Bon soir. Benarkah ini Monsieur Jean-Daniel Lemercier?” Nama itu diucapkannya dengan berat sekali.
Sesaat tidak terdengar jawaban, lalu, “Benar, saya sendiri,” sahut pria di ujung sana.
“Selamat malam, Monsieur,” Tatsuya mengulangi. “Saya minta maaf karena mengganggu Anda malam-malam begini, tapi saya berharap bisa bertemu dan berbicara dengan Anda.”
Lawan bicaranya bertanya dengan nada curiga, “Kalau boleh tahu mengenai apa? Dan dengan siapa saya bicara?”
Tatsuya menarik napas. “Ini tentang Sanae Fujisawa,” sahutnya pelan dan jelas.
“Sanae Fujisawa?” pria itu mengulangi, seakan nama itu tidak membangkitkan ingatan apa-apa.
“Mungkin Anda lebih mengenalnya dengan nama Sanae Nakata,” Tatsuya menambahkan dengan cepat. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Jean-Daniel Lemercier masih ingat? Ingatkah ia pada gadis yang ditemuinya di Jepang hampir tiga puluh tahun yang lalu? Apakah ia masih ingat apa yang terjadi saat itu?
“Nakata?” Nada suara yang terdengar di ujung sana berubah. “Maksudmu, Sanae Nakata?”
Tatsuya tidak menjawab. Ia menunduk dan memejamkan mata. Pria itu masih ingat. Ternyata masih ingat....
“Tunggu sebentar. Tolong katakan padaku apa hubunganmu dengan Sanae? Siapa ini?”
Tatsuya menarik napas dengan susah payah.
“Nama saya Tatsuya Fujisawa. Sanae Nakata adalah ibu saya,” sahut Tatsuya akhirnya. “Dan saya berharap bisa bertemu dengan Anda, Monsieur. Ada yang ingin saya bicarakan.... Besok siang? Baiklah, saya pasti datang.”
* * *
Sebastien
meneguk air putih yang disuguhkan sambil melirik jam tangannya. Tara
sudah terlambat 23 menit, tapi Sebastien tidak heran. Ia tidak berharap
gadis itu bisa muncul tepat waktu, karena itu sama artinya dengan
berharap salju turun di bulan Juli.
Hari ini Sebastien mengajak Tara makan siang untuk menebus acara makan siang mereka yang batal beberapa hari yang lalu. Sebastien sudah bersiap-siap menghadapi Tara Dupont yang marah-marah atau Tara Dupont yang merajuk, tapi tadi ketika ia menelepon Tara, gadis itu kedengarannya riang-riang saja. Memang agak aneh, tapi Sebastien berpikir mungkin gadis itu menunggu sampai mereka bertemu muka dan setelah itu Tara akan memuntahkan kekesalannya karena ditinggalkan begitu saja di restoran waktu itu.
Baiklah, Sebastien mengaku ia memang salah, tapi Sebastien yakin bisa menenangkan Tara. Ia sudah lama mengenal gadis itu dan ia tahu bagaimana harus menghadapinya.
Pintu bistro kecil itu terbuka dan Sebastien mengangkat wajah. Tara masuk dan memandang berkeliling ruangan. Sebastien mengangkat sebelah tangan untuk menarik perhatiannya. Gadis itu melihatnya dan langsung tersenyum. Oh, kelihatannya Tara tidak marah.
“Bonjour,” sapa Tara sambil menempelkan pipinya di pipi Sebastien. “Maaf, aku agak terlambat.”
“Aku sudah terbiasa menunggu,” gurau Sebastien.
Aneh... Gadis ini sungguh terlihat biasa-biasa saja. Tidak kesal. Tidak marah.
“Kau tidak mengajak Tatsuya?” tanya Tara setelah ia duduk dan melepas jaketnya.
Sebastien menggeleng. “Tidak,” sahutnya, masih berusaha menebak-nebak jalan pikiran Tara.
Apakah gadis itu benar-benar tidak kesal dengan kejadian hari itu? “Tadi aku sudah mengajaknya, tapi katanya dia punya janji makan siang dengan seseorang, jadi dia tidak bisa ikut.”
“Oh?” gumam Tara, lalu membuka menu yang ada di meja. “Kau sudah pesan?”
Pelayan datang menanyakan pesanan. Setelah masing-masing menyebutkan apa yang mereka inginkan, si pelayan mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Sebastien baru akan membuak mulut untuk bertanya ketika ponsel Tara berdering.
“Allô?”
Sebastien melihat senyum Tara mengembang.
“Oh, hai! Kau sedang di mana?” tanya gadis itu. “Di jalan?... Aku? Aku sedang makan siang bersama Sebastien.” Tara mengangkat wajahnya menatap Sebastien.
Siapa? Sebastien bertanya pada Tara tanpa suara. Pasit orang yang kenal dengannya juga, karena Tara menyebut-nyebut namanya. Tara memberi isyarat dengan tangannya supaya Sebastien menunggu sebentar.
“Tidak apa-apa. Aku sudah tahu dari Sebastien... Ya, katanya kau punya janji makan siang dengan seseorang,” lanjut gadis itu di telepon. “Dengan siapa?... Oh, baiklah. Nanti saja baru kauceritakan padaku.”
Alis Sebastien terangkat. Lho...?
Tara diam sejenak sambil mengangguk-angguk, lalu berkata, “Sibuk sampai malam?... Mm, aku masih harus siaran nanti... Oke. Sampai nanti.”
Sebastien menunggu sampai Tara mematikan ponsel, lalu bertanya, “Siapa yang menelepon tadi?”
“Tatsuya,” jawab gadis itu polos.
“Tatsuya?” ulang Sebastien. Ia nyaris tidak percaya pada pendengarannya. Apa maksudnya ini? Ia semakin bingung. “Bagaimana Tatsuya bisa meneleponmu? Maksudku, bukankah kalian baru bertemu sekali?”
Tara mengerjapkan matanya, lalu seakan baru menyadari sesuatu, ia bergumam, “Aaah... Benar juga. Aku lupa memberitahumu.”
“Apa?”
Tara tersenyum lebar. “Sebenarnya kami sudah sering bertemu. Kau benar, Sebastien. Dia memang oran gyang baik dan sangat menyenangkan.”
Sebastien mengangkat tangannya, meminta Tara bercerita lebih pelan. “Aku sudah ketinggalan banyak. Coba ceritakan dari awal.”
Tara pun menceritakan semuanya. Setelah selesai ia mengerutkan kening. “Tapi ngomong-ngomong, Tatsuya belum memberitahumu soal ini?”
Sebastien menggeleng. “Di kantor sibuk sekali, jadi kami jarang sekali bertemu,” sahutnya. “Kalaupun bertemu, kami hanya sempat membicarakan masalah pekerjaan. Tidak ada waktu banyak untuk mengobrol. Setiap hari di kantor dia bekerja seperti mesin.”
Tara mengerjapkan mata. “Oh?”
Pelayan datang lagi dan membawakan pesanan mereka. Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Sebastien membuka mulut. “Ngomong-ngomong, kau tidak marah padaku?”
Tara mengangkat wajah dan menatap Sebastien dengan pandangan bertanya.
“Hari itu acara makan siang kita batal.”
“Oh... itu,” gumam Tara. Ia mendesis pelan dan mengangguk-angguk. “Sewaktu kau meninggalkanku demi si orang-orangan saw... maksudku, pacarmu itu?”
“Dia bukan pacarku,” Sebastien membela diri. “Setidaknya, belum bisa dibilang pacar.”
“Terserahlah.”
“Lalu, kau tidak marah?” tanya Sebastien lagi.
Tara meletakkan garpunya dan menatap Sebastien dengan tatapan tidak sabar. “Tentu saja aku marah,” katanya jengkel. “Siapa yang tidak marah kalau ditinggalkan begitu saja padahal kau yang lebih dulu mengajakku makan siang.” Lalu sikapnya melunak. “Tapi setelah itu Tatsuya mengajakku makan malam. Kau tahu makanan selalu membuatku terhibur. Dia memasak udon dan mengundangku makan di tempatnya. Ternyata dia pintar sekali memasak. Sayang sekali waktu itu kau tidak bisa ikut. Makan malamnya sangat menyenangkan.”
Sebastien membetulkan letak kacamatanya dengan kening berkerut. Sebenarnya apa yang sedang terjadi antara dua orang itu? Walaupun Tara tidak mengatakan apa-apa, kenapa Sebastien merasa sepertinya gadis itu menyukai Tatsuya?
* * *
Akhirnya Tatsuya berhadapan dengannya.
Jean-Daniel Lemercier yang saat ini duduk di hadapannya adalah seorang pria berusia sekitar lima puluhan yang tampan, tinggi, dan berambut cokelat. Matanya bersinar cerdas. Penampilannya rapi dan terawat.
“Jadi Sanae sudah meninggal dunia?” gumam pria yang lebih tua itu sambil menyesap kopinya dengan perlahan. Suara dan sinar matanya mengandung penyesalan.
Tatsuya mengangguk tanpa menyahut.
Mereka berdua berada di restoran mewah di sebuah hotel berbintang. Mereka sepakat bertemu di sana pada jam makan siang. Ketika Tatsuya tiba di sana, Jean-Daniel Lemercier sudah datang lebih dulu dan menunggunya. Pria itu langsung bertanya mengenai ibunya dan Tatsuya mengatakan ibunya sudah meninggal dunia.
“Tepatnya kapan?” tanya Jean-Daniel Lemercier tanpa menatap Tatsuya. Kelihatannya pria itu agak terguncang dengan kabar itu.
Tatsuya menyahut datar, “Setahun yang lalu.”
Pria yang duduk di hadapannya itu mengangguk muram, dan bertanya lagi, “Dia tidak menderita, bukan?”
Tatsuya terdiam beberapa detik. “Tidak.”
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara, lalu Jean-Daniel Lemercier memecah keheningan. “Aku turut menyesal,” katanya tulus. “Apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantu?”
Tatsuya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja, di depan pria itu. Ia segera menarik kembali tangannya ketika menyadari tangannya sedikit gemetar.
Jean-Daniel Lemercier menatap surat yang disodorkan, lalu beralih menatap Tatsuya. “Apa ini?” tanyanya bingung.
“Ini surat yang ditulis ibuku sebelum Beliau meninggal dunia,” jawab Tatsuya. Ia mengangkat wajah dan memandang Jean-Daniel Lemercier yang sudah memegang surat itu.
“Tapi surat ini ditujukan untukmu,” kata pria itu begitu melihat nama yang tertulis di amplop.
Tatsuya mengangguk. “Memang benar. Tapi saya ingin Anda membacanya, Monsieur. Ibu juga ingin Anda membacanya, karena Beliau menulisnya dalam bahasa Prancis.”
Jean-Daniel Lemercier menurut dan mulai membaca. Kemudian raut wajahnya berubah dan keningnya berkerut. Ia menatap Tatsuya dengan pandangan bertanya.
Tatsuya merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Ia semakin gugup. Telapak tangannya terasa lembap. Inilah yang selalu dikhawatirkannya. Saat ini. Ketika rahasia mulai terbongkar.
Ia bahkan sudah mempersiapkan diri dengan berbagai reaksi yang akan diterimanya.
“Ibu tidak pernah berkata apa pun ketika masih hidup. Seperti yang Anda baca di surat itu, Ibu berharap saya bisa bertemu dengan Anda,” kata-katanya semakin berat, “karena ternyata Anda adalah ayah kandung saya.”
Jean-Daniel Lemercier menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan tetap menatap surat di tangannya. Wajahnya pucat.
Selama beberapa saat, tidak ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tatsuya bisa mendengar debar jantungnya sendiri. Ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan pria yang duduk di hadapannya itu. Pria itu menatap lekat-lekat surat yang dipegangnya. Sebelah tangannya bertopang pada lengan kursi dan mengusap-usap pelipisnya.
Tatsuya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana perasaan Jean-Daniel Lemercier? Apakah ia marah? Sedih? Bingung? Kaget?
Tatsuya menarik napas. “Dalam suratnya Ibu berkata kalau kalian sempat menjalin hubungan. Saya tidak tahu kenapa Anda meninggalkan Ibu ketika Ibu sedang hamil....”
“Aku tidak tahu... ibumu hamil,” sela Jean-Daniel Lemercier. Ia menatap Tatsuya lurus-lurus. Sinar matanya hangat dan bersungguh-sungguh.
Tatsuya menatap mata itu dan tidak menemukan kemarahan di sana. Tidak ada. Ia mendapati dirinya memercayai pria itu.
Pria yang lebih tua itu melanjutkan, “Aku sama sekali tidak tahu. Kalau aku tahu... aku...”
Tatsuya
memaksakan seulas senyum. “Saya tidak menyalahkan Anda, Monsieur.
Bagaimanapun juga Ibu akhirnya menikah dengan Kenichi Fujisawa, ayah
saya. Ayah saya orang yang sangat baik. Tidak pintar, tidak kaya, tapi
sangat baik. Ayah menerima Ibu apa adanya dan selalu menganggap saya
anak kandungnya sendiri. Tidak ada yang harus disesalkan.”
Jean-Daniel Lemercier masih shock. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
Tatsuya melanjutkan. “Saya harap Anda tidak salah paham dengan tujuan saya menemui Anda. Saya tidak kekurangan apa pun, jadi saya tidak ingin meminta apa pun dari Anda. Saya hanya sekadar menuruti permintaan almarhumah ibu saya. Ibu saya ingin agar saya dan ayah kandung saya saling mengenal. Dan sekarang kita... sudah berkenalan, Monsieur.”
Pria yang lebih tua itu menarik napas berat, lalu bertanya, “Apakah kau marah pada ibumu karena tidak memberitahumu lebih awal?”
Tatsuya menunduk. Ia tidak mengira pria itu akan menanyakan hal itu, karena itu ia tidak bisa menjawab. Sebenarnya ya, ia sempat merasa marah. Marah karena dibohongi begitu lama, tapi sekarang...
“Aku harap kau tidak marah kepada ibumu.” Tatsuya mendengar suara rendah pria itu. “Aku yakin kau tahu ibumu sungguh tidak bermaksud menyakitimu.”
Tatsuya menatap wajah pria yang ternyata adalah ayah kandungnya. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat reaksi seperti ini dari Jean-Daniel Lemercier. Tadinya ia mengira pria itu akan membantah, menolak semua penjelasan, tidak bersedia mengakui apa pun, dan menuntut bukti. Kalaupun pria itu menolak percaya, Tatsuya tidak peduli. Ia tidak berusaha mendapat pengakuan. Ia hanya ingin bertemu dengan ayah kandungnya, seperti yang diinginkan ibunya. Tapi pria di hadapannya sekarang ini begitu berbeda. Ia merasa lega.
“Apakah Anda sendiri marah pada Ibu karena tidak mengatakan apa pun tentang kehamilannya?” Tatsuya mendengar dirinya sendiri bertanya.
Jean-Daniel Lemercier berpikir sejenak. “Marah bukan kata yang tepat,” sahutnya pelan.
“Aku hanya heran. Tapi mungkin karena kami putus hubungan dan aku pergi dari Jepang, dia berpikir aku tidak akan peduli padanya lagi.”
“Anda sudah berkeluarga, Monsieur?” tanya Tatsuya lagi. Tiba-tiba saja ia ingin lebih mengenal ayah kandungnya.
Jean-Daniel Lemercier tersenyum lemah. “Aku pernah menikah. Itu terjadi beberapa tahun setelah aku meninggalkan Jepang dan kembali ke Paris,” sahutnya. “Aku punya seorang anak perempuan. Namanya Victoria. Mungkin lain kali akan kukenalkan kau kepadanya.”
Tatsuya memaksakan seulas senyum. Ia tidak yakin sudah siap berkenalan dengan anggota keluarga Lemercier yang lain. “Tidak perlu terburu-buru, Monsieur. Kita baru saja berkenalan hari ini.”
Ayah kandungnya mengangguk kecil. “Kau benar,” katanya. “Pelan-pelan saja. Kita punya banyak waktu. Aku berharap kita bisa saling mengenal sedikit demi sedikit.”
Tatsuya menunduk dan menarik napas pelan. Awal yang baik, pikirnya. Tidak seperti yang ditakutkannya selama ini. Jean-Daniel Lemercier memang sangat terkejut dan kebingungan, tapi pria itu bisa mengatasinya dengan baik. Syukurlah...
“Tatsuya?”
Tatsuya mengangkat kepalanya dan melihat Jean-Daniel Lemercier sedang memandangnya dengan mata yang bersinar ramah.
“Aku senang kau datang mencariku,” katanya sungguh-sungguh.
Sembilan
TATSUYA keluar dari restoran dan mengembuskan napas panjang. Selesai! Mimpi buruknya berakhir sudah. Beban yang selama ini mengimpit dadanya terangkat sudah. Kalau dipikir-pikir, dulu ia bertindak bodoh. Kenapa ia harus menunggu selama itu untuk bertemu dengan ayah kandungnya sendiri? Kenapa?
Tentu saja karena ia takut. Saat itu ia takut ayah kandungnya akan menolak percaya dan takut situasinya malah semakin parah. Ia juga akan frustrasi. Walaupun ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak butuh pengakuan, tapi bagaimana jadinya bila kau tahu orang itu adalah ayah kandungmu dan dia menolakmu? Siapa pun tidak suka ditolak, terlebih oleh orangtua kandung sendiri.
Namun terbukti ketakutannya tidak beralasan sama sekali karena Jean-Daniel Lemercier sangat berbeda dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Tatsuya senang akhirnya mereka berhasil melalui saat-saat sulit itu.
Tiba-tiba saja Paris terlihat jauh lebih indah. Daun-daun yang berguguran tidak lagi terasa tragis baginya. Tatsuya menghirup udara dalam-dalam, seakan ingin menghilangkan sisa masalah yang mengganjal di dada. Di saat-saat seperti ini orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah gadis yang seperti obat penenang baginya. Tara Dupont.
Ia
mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa tombol, dan menmpelkan benda
itu ke telinga. Ia menunggu sebentar. Begitu terdengar suara di ujung
sana, senyumnya otomatis mengembang.
“Tara-chan, kau punya waktu?... Sebentar saja... Ya, sekarang... Aku ingin bertemu denganmu.”
* * *
“Ayah kandungmu?” Mata Tara terbelalak. Ia mengibaskan-ngibaskan tangan, lalu bertanya sekali lagi, “Kau tadi bilang, ayah kandungmu?”
“Mm-hmm,” sahut Tatsuya santai.
Mereka berdua duduk di bangku panjang di pinggir jalan, di bawah pohon-pohon yang daunnya berwarna cokelat, tidak jauh dari stasiun radio tempat Tara bekerja. Tatsuya baru saja menceritakan tentang pertemuannya dengan cinta pertama ibunya yang juga adalah ayah kandungnya.
Tara terpana, kaget dengan berita itu. Kejutan lain dari Tatsuya Fujisawa. Kemudian ia menatap Tatsuya dengan ragu-ragu. “Apa yang kaurasakan sekarang?” tanyanya hati-hati.
Tatsuya tersenyum. “Aku lega semuanya sudah selesai.”
“Ayah kandungmu itu... orang baik?”
Tatsuya mengangguk. “Mm... Kelihatannya begitu.”
Tara
terdiam. Ia belum pernah menemui masalah seperti ini sebelumnya, jadi
tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur ataupun mendukung Tatsuya.
Tiba-tiba pundaknya terasa berat. Ia menoleh dan melihat kepala Tatsuya
bersandar di pundaknya. Ia terkesiap dan wajahnya memanas.
“Tatsuya, kau sedang apa?” tanyanya heran.
“Sebentar saja,” gumam Tatsuya, tanpa mengangkat kepala. “Biarkan aku begini sebentar saja. Aku capek sekali.”
Tara pun berhenti bergerak-gerak. Ia bahkan menahan napas dan berusaha meredakan debar jantungnya yang semakin cepat, takut Tatsuya mendengarnya.
“Aku baru tahu sekarang kenapa ibuku selalu memaksaku belajar bahasa Prancis sejak aku kecil,” gumam Tatsuya dengan mata terpejam. “Ternyata Ibu ingin aku bisa bertemu dengan ayahku suatu hari nanti.”
Beberapa saat kemudian Tatsuya mengangkat kepala dan menatap Tara sambil tersenyum.
“Lega sekali karena masalahku sudah selesai,” katanya. “Bagaimana kalau kita merayakannya malam ini?”
Tara bertepuk tangan. “Ah, benar! Kau pernah janji mau masak kari. Malam ini? Oke?”
Tatsuya tergelak. Ia mengulurkan sebelah tangan dan menyentuh kepala Tara. “Oke.”
Saat itu Tara hanya bisa tercengang. Sesaat ketika Tatsuya membelai kepalanya, ia tidak bisa merasakan degup jantungnya sendiri.
* * *
Tatsuya baru saja duduk di depan meja kerjanya ketika Sebastien menghambur masuk ke ruangan.
“Di sini rupanya,” kata Sebastien sambil berdiri di hadapannya.
Tatsuya memandang temannya dengan bingung. “Sebastien? Ada masalah?”
Sebastien mengibaskan tangannya. “Bukan masalah pekerjaan. Aku datang ke sini untuk menanyakan sesuatu yang pribadi.”
Tatsuya menyandarkan tubuh dan mendengarkan.
“Aku sudah mendengar dari Tara bahwa kalian berdua sering bertemu,” kata Sebastien sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Tatsuya.
Tatsuya mengangguk sekali. “Ya, benar,” sahutnya. Lalu ia teringat sama sekali belum pernah memberitahu Sebastien tentang hubungannya dengan Tara.
Sebastien berhenti mondar-mandir dan menatapnya sambil berkacak pinggang. “Apa tujuanmu?” tanyanya langsung.
Tatsuya mengerjapkan mata. “Apa tujuanku?”
Sebastien menarik kursi dan duduk di hadapan Tatsuya. Raut wajahnya serius. “Dengar,” katanya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Tara sudah seperti adikku sendiri. Aku tidak mau kau mempermainkannya.”
“Astaga! Sebastien...”
“Aku serius, Tatsuya,” sela Sebastien. “Aku tidak tahu bagaimana bentuk hubungan kalian, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu. Jangan main-main dengannya.”
Tatsuya menghela napas dan mengangkat kedua tangan. “Sebastien, aku mengerti maksudmu.
Tapi kenapa kau tiba-tiba bersikap begini? Apakah kau selalu begini dengan setiap laki-laki yang dekat dengannya?”
“Tidak,” sahut Sebastien. “Karena sebelum ini Tara tidak pernah menunjukkan gejala-gejala ia menyukai laki-laki mana pun.”
Alis Tatsuya terangkat. Tiba-tiba percakapan ini menjadi menarik.
“Lalu maksudmu sekarang dia menunjukkan gejala-gejala itu?” tanya Tatsuya tanpa bisa menahan rasa senang yang tiba-tiba saja terbit dalam hatinya.
“Demi Tuhan! Tatsuya, jangan senyum-senyum begitu. Aku tidak sedang bercanda,” kata
Sebastien tidak sabar. “Dengar, aku merasa dia mulai menyukaimu. Jadi kalau kau tidak serius dengannya, cepat-cepatlah menyingkir. Aku tidak ingin Tara sakit hati atau semacamnya gara-gara kau.”
Itu kabar yang bagus sekali. Senyum Tatsuya elebar, lalu berubah menjadi tawa kecil.
“Tatsuya, kau dengar atau tidak?” tanya Sebastien dengan nada datar.
Tatsuya mengangkat kedua tangannya. “Aku mengerti, Teman. Sungguh, aku mengerti maksudmu.” Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan melanjutkan, “Tenang saja, Sebastien. Aku tidak main-main dengan Tara-chan. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Sebastien menatapnya dengan heran. “Tara-chan?”
* * *
“Tara, dari mana saja kau?” tanya Élise begitu Tara kembali ke meja kerjanya.
Tara menghela napas dan tersenyum. Hatinya berbunga-bunga.
Élise menatapnya dengan pandangan menyelidik. “Baru bertemu seseorang?”
Tara mengangguk-angguk, menikmati rasa penasaran temannya.
Élise menengadah, lalu kembali menatap Tara. “Pasti bukan Sebastien.”
Alis Tara terangkat. Bagaimana temannya bisa menebak begitu? Ia membuka mulut, “Bagaim...”
Tepat pada saat itu ponselnya berdering. Tara mengangkat jari telunjuknya menyuruh Élise menunggu sebentar, lalu menjawab ponselnya.
“Halo?... Oh, Papa!” Tara memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan. “Malam ini? Tidak bisa... Mm, aku sudah punya janji... Oke, lain kali saja.... Aku akan ke tempat
Papa kalau tidak sibuk.... Hari ini Papa boleh makan bersama salah satu pacar Papa.... Oke?... Oke... Sampai jumpa.”
“Dengan Monsieur Fujitatsu?” tanya Élise langsung.
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya. “Apa?” Lalu ia teringat pembicaraan mereka sebelum ayahnya menelepon. “Ooh... Bagaimana kau bisa tahu?”
Élise tersenyum puas. “Jangan meremehkan Élise Lavoie. Aku pandai menebak yang masalah begini. Kau sadar, tidak, akhir-akhir ini kau sering menyebut-nyebut nama Tatsuya?”
Tara berpikir-pikir, lalu menggeleng.
“Dulu kau sering menyebutnama Sebastien,” jelas Élise. “Tapi sekarang kau lebih sering menyebut nama Tatsuya. Dulu kau menunggu-nunggu telepon dari Sebastien, sekarang kau tersenyum seperti orang gila kalau Tatsuya menelepon. Kau tentu tahu apa artinya semua itu.”
Oh... Memangnya dia begitu? Tara tidak merasa ia melakukan semua yang dikatakan Élise. Ia memang senang setiap kali mendapat telepon dari Tatsuya, tapi apakah ia sering membicarakan Tatsuya? Hmm...
“Kau sadar apa artinya?” tanya Élise sekali lagi.
“Apa?”
“Kau menyukainya.”
“Siapa?”
“Tatsuya, tentu saja. Siapa lagi?”
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya. “Benarkah?”
Élise mendesah. “Kau sungguh tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”
Tara
menggeleng-geleng. Ia tidak tahu perasaannya. Sungguh. Bukankah selama
ini ia menyukai Sebastien? Masa begitu mudahnya ia beralih ke laki-laki
lain?
“Coba jawab pertanyaanku,” kata Élise serius. “Ketika kau bersama Tatsuya Fujisawa, apakah kau merasa bahagia?”
Tara berpikir sebentar, lalu mengangguk.
“Ketika kalian mengobrol, apakah kau pernah merasa bosan?”
Tara cepat-cepat menggeleng. Tidak pernah. Laki-laki itu tidak pernah membuatnya bosan. Malah selalu mengejutkannya.
“Apakah jantungmu berdebar dua kali lebih cepat setiap kali dia menatapmu atau tersenyum kepadamu?”
Tara berpikir lagi, dan akhirnya mengangguk. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti berdegup.
“Tadi... Ketika aku menemuinya tadi,” katanya perlahan. “Dia sempat menyentuh kepalaku. Seperti ini.” Ia menyentuh puncak kepalanya sendiri dengan telapak tangannya.
“Hanya sebentar, tapi jantungku langsung tidak keruan. Aku belum pernah merasa seperti ini.
Apa yang terjadi, Élise?”
Élise menopang dagunya dengan sebelah tangan dan tersenyum senang. “Lihat saja dirimu. Aku sudah mengatakannya padamu. Apa perlu kuulangi?”
“Tapi, Élise, bukankah aku menyukai Sebastien?” tanya Tara bingung. Ia tahu ia kedengarannya seperti orang bodoh karena bertanya pada orang lain mengenai perasaannya sendiri. “Bagaimana mungkin aku bisa menyukai dua orang sekaligus? Itu tidak benar.”
Élise menghela napas. “Baiklah, aku akan bertanya lagi.”
Tara memandang temannya, berharap Élise punya cara untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat.
“Ketika kau bersama Sebastien, apakah kau merasa bahagia?” Élise mengulangi pertanyaannya.
Tara mengangguk. Ya, tentu saja. Sangat menyenangkan bersama Sebastien.
“Ketika kalian mengobrol, apakah kau pernah merasa bosan?”
Tara menggeleng. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan.
“Apakah jantungmu berdebar dua kali lebih cepat setiap kali dia menatapmu atau tersenyum kepadamu?”
Kali ini Tara tidak langsung menjawab. Ia mengetuk dagunya dengan ujung jari telunjuk dan berpikir. Tidak, sepertinya jantungnya tidak berdebar kencang kalau bersama Sebastien. Ia memang senang bersama laki-laki itu, tapi tidak ada perasaan seperti napas tercekat, jantung berdebar kencang, atau bahkan jantung seakan berhenti berdetak. Biasa saja.
Tara menggeleng pelan.
Élise tersenyum puas. “Nah, lihat, kan? Kau menyukai mereka berdua, hanya saja rasa sukamu berbeda antara Sebastien dan Tatsuya.”
Tara mengerjapkan matanya seakan baru tersadar dari mimpi.
“Kau menyukai Sebastien sebagai teman, tapi kau menykai Tatsuya sebagai laki-laki,” Élise menyimpulkan.
Tara masih tetap diam.
“Ngomong-ngomong, kau sudah mengajaknya ke pestaku?” tanya Élise.
Sepuluh
“INI tempatnya?” tanya Tatsuya ketika mereka tiba di depan kelab mewah bernama La Vue.
Tara mengangguk. “Ini kelab paling keren di Paris,” katanya bangga. “Kau pernah ke sini?”
Tatsuya tersenyum dan mengangguk. “Pernah. Satu kali.”
Masih jelas sekali dalam ingatannya ketika ia datang ke kelab ini. Di sinilah ia bertemu kembali dengan si gadis dari bandara itu. Ia juga penasaran apakah si “Hugo” masih menjadi bartender di tempat ini.
“Kelab yang bagus, bukan? Ini salah satu kelab milik ayahku,” lanjut Tara sambil menarik tangan Tatsuya. “Ayo, masuk.”
* * *
“Hei, dia tampan,” bisik Élise di dekat Tara. “Tangkapan yang bagus.”
Tara mendesis dan menyiku lengan temannya, takut Tatsuya yang duduk di sebelahnya mendengar apa yang baru dikatakan Élise.
“Tangkapan? Memangnya dia ikan?” tukas Tara lirih.
Élise tidak peduli dan melanjutkan, “Kau beruntung. Kalau aku belum punya Olivier, sudah kurebut dia darimu.”
Tara tertawa. Ia memerhatikan temannya meneguk bir yang tersisa di botol sampai habis.
Sepertinya Élise sudah agak mabuk, tapi dia tidak sendirian. Sebastien juga sudah terlihat mabuk karena mereka minum terus sejak tadi. Berbotol-botol bir dan gelas-gelas koktail kosong bertebaran di meja bundar itu.
Élise hanya mengundang beberapa orang untuk merayakan hari ulang tahunnya. Selain Élise dan pacarnya, Olivier, yang hadir di sana hanya Tara, Tatsuya, Sebastien, dan Juliette.
Seperti yang sudah diduga Tara, Sebastien mengajak pacar barunya untuk dikenalkan kepada teman-temannya.
Harus Tara akui ia merasa agak kecewa karena Juliette sama sekali berbeda dari dugaannya. Juliette yang duduk tepat di hadapannya ini berwajah cantik, bermata hijau dan berambut hitam panjang bukan kuning jagung. Dan dengan menyesal Tara harus mengakui tidak ada orang-orangan sawah yang terlihat seseksi itu.
“Sepertinya bukan cuma aku yang punya pikiran merebut Tatsuya darimu,” kata Élise tiba-tiba.
Tara menoleh dengan cepat ke arah Tatsuya dan melihat Juliette sedang berbicara dengan laki-laki itu. Wajahnya dekat sekali dengan Tatsuya. Sesekali wanita itu tersenyum lebar dan mempertontonkan barisan giginya yang putih dan rapi. Sebastien asyik mengobrol dengan Olivier sehingga tidak terlalu memerhatikan pacarnya yang duduk di sampingnya sedang berusaha selingkuh... dan yang semakin lama semakin dekat dengan Tatsuya. O-oh, tunggu sebentar!
“Kau mau minum lagi? Biar kuambilkan,” kata Tatsuya menawarkan sambil menunjuk gelas Juliette yang sudah kosong.
“Tentu saja,” sahut Juliette dengan senyum manis yang membuat Tara naik darah.
Wanita itu baru akan membuka mulut lagi dan Tara langsung tahu apa yang ingin dikatakannya. Secepat kilat, sebelum Juliette sempat mengucapkan apa pun, Tara menyela dengan suara keras—hampir seperti teriakan pernyataan perang zaman dulu, “Tatsuya, kau mau ke bar? Aku ikut!”
Tara bangkit dari kursi dengan cepat dan melemparkan senyum yang tak kalah manisnya ke arah Juliette yang membalasnya dengan senyum sopan. Wanita itu bahkan tidak boleh bermimpi ingin mendekati Tatsuya. Coba saja kalau berani.
Tara mengikuti Tatsuya ke bar yang ramai.
“Ternyata kau baik sekali,” komentar Tara dengan nada sinis begitu mereka berdiri berdampingan di meja bar.
“Hm? Baik bagaimana?” tanya Tatsuya tidak mengerti.
“Kenapa kau harus mengambilkan minuman untuknya?” tanya Tara ketus, sama sekali tidak memandang Tatsuya. Ia tahu ia terdengar kekanak-kanakan, tetapi ia tidak bisa menahan diri.
Karena tidak mendengar jawaban, Tara melirik Tatsuya sekilas dan mendapati laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Tara, lalu mengalihkan pandangan lagi. Ia merasa Tatsuya bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap matanya dan itu berbahaya.
“Tara Dupont,” panggil Tatsuya. “Coba pandang aku.”
Karena Tatsuya memanggilnya dengan lembut, Tara tidak punya pilihan lain selain berpaling dengan enggan dan memandang Tatsuya.
“Kau cemburu?” tanya laki-laki itu. Senyumnya makin lebar.
“Tidak,” cetus Tara langsung. Siapa yang cemburu? Tidak ada.
Tatsuya tertawa kecil. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Tara. Jantung Tara langsung meloncat tidak beraturan.
“Aku menawarinya minuman lagi sebagai alasan untuk menyingkir dari sana,” kata Tatsuya sambil menatap mata Tara.
“Sungguh?”
Tatsuya mengangguk.
“Kau tidak tertarik padanya?”
Tatsuya menggeleng.
“Sedikit pun tidak?”
Tatsuya berpikir sejenak. “Yah... Dia memang cantik sekali,” gumamnya.
Tara mengerutkan kening.
“Tapi tidak, dia bukan tipeku,” lanjut Tatsuya tenang. Ia berpaling ke arah Tara. “Makanya kau tidak perlu cemas. Kau tahu, kulitmu bisa cepat keriput kalau kau berkerut seperti itu terus.”
Tara mendengus walaupun dalam hatinya senang mendengar ucapan Tatsuya—sebelum laki-laki itu bicara tenang keriput dan semacamnya itu. Untuk menutupi rasa malunya, ia hanya menggerutu tidak jelas.
“Kau mau minum lagi?” tanya Tatsuya.
Tara mengangguk dan mencari-cari bartender yang entah ada di mana.
“Kau tahu, pada saat-saat seperti sekarang inilah aku senang dengan posisiku sebagai anak bos,” kata Tara sambil tersenyum lebar ketika akhirnya ia berhasil melihat bartender di ujung sana.
Tatsuya tidak sempat bertanya apa maksudnya karena Tara sudah memalingkan wajah.
“Édouard!” seru gadis itu sambil melambai-lambaikan tangan ke arah bartender botak yang sedang melayani seorang tamu.
Begitu tahu siapa yang menyerukan namanya, bartender yang dipanggil Édouard itu segera menghampiri mereka dengan senyum lebar yang ramah. “Hai, Tara. Mau pesan apa?”
Tara menatap Tatsuya dengan senyum puas. “Anak bos selalu mendapat pelayanan utama.”
Tatsuya memandang bartender di hadapan mereka dan bertanya pada Tara, “Édouard?”
Tara mengangguk. Ia memperkenalkan kedua pria itu. “Édouard, ini temanku, Tatsuya. Tatsuya, ini Édouard. Dia sudah cukup lama bekerja di sini. Salah satu bartender favorit ayahku,” jelas Tara. “Tapi sayangnya, bukan favoritku, karena dia tidak pernah mengizinkanku minum banyak.”
“Koreksi,” sela Édouard dengan senyum lebar. “Aku tidak pernah mengizinkanmu minum sampai mabuk.”
“Tapi mabuk itu menyenangkan,” gurau Tara.
“Coba katakan itu lagi kalau kau sedang muntah-muntah,” balas Édouard.
Tara mengibaskan tangannya. “Kau terdengar persis seperti ibuku. Ibu tidak pernah mengizinkan aku minum sedikit pun selama aku tinggal di Jakarta. Membosankan. Padahal aku tidak pernah minum sampai mabuk. Aku tahu batasnya.” Ia memiringkan kepalanya ke arah
Tatsuya dan berkata, “Temanku ingin menambah minuman.”
Édouard mengalihkan perhatiannya kepada Tatsuya dan ekspresinya agak berubah. Keningnya berkerut seakan berusaha mengingat-ingat. “Oh, bukankah kau yang...?”
Tatsuya tersenyum. “Wah, masih ingat padaku?”
Édouard menjentikkan jari. “Kau yang waktu itu ada di sini.”
Tara memandang mereka dengan heran. Apa yang sedang mereka bicarakan ini? “Kalian saling kenal?” tanyanya.
“Tidak juga,” sahut Tatsuya. “Aku mengenalnya dengan nama Hugo, tapi ternyata namanya bukan Hugo.”
Tara masih tidak mengerti.
Édouard tiba-tiba menunjuk Tatsuya dengan penuh semangat dan berkata kepada Tara, “Tanyakan padanya!”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. “Apa?”
“Sudah kubilang kau selalu memanggilku dengan nama lain begitu kau sudah mabuk. Kau tidak pernah percaya padaku,” celoteh Édouard menggebu-gebu. “Sekarang kau boleh tanya padanya. Dia dengar sendiri ketika kau tidak mau berhenti minum dan terus memanggilku Hugo.”
Tara melongo. Apa yang sedang dibicarakan Édouard? Hugo siapa? Siapa yang mabuk? Apa hubungannya dengan Tatsuya?
“Kau
ingat hari Sabtu itu ketika kau baru kembali dari Indonesia?” Édouard
menjelaskan dengan nada tidak sabar ketika melihat Tara masih
terbengong-bengong. “Malam itu kau datang ke sini untuk minum-minum
sendirian karena kau bilang Sebastien pergi entah ke mana. Ingat?”
Oh... Tara ingat hari itu. Ia memang kesal setengah mati pada Sebastien karena tidak datang menjemputnya di bandara. Ia bahkan sudah menunggu lama di kafe bandara. Lalu malamnya ia datang ke La Vue untuk minum-minum.
“Saat itu temanmu ini juga ada di sini,” kata Édouard sambil menunjuk Tatsuya, lalu ia mengerutkan kening. “Tunggu dulu... waktu itu kau sudah kenal dengannya?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada Tatsuya, jadi Tatsuya menggeleng.
“Jadi kalian baru berkenalan setelah itu?” tanya Édouard lagi.
Tatsuya mengangguk sambil tersenyum.
Tara memandang Tatsuya dengan bingung. “Kita pernah bertemu di sini?” tanyanya ragu. Ia menggali ingatannya, tetapi tetap tidak menemukan petunjuk apa pun yang mengarah pada pertemuannya dengan Tatsuya di kelab ini. Aneh... Ia bukan orang yang gampang melupakan sesuatu. Ia malah bisa dikategorikan sebagai orang yang punya ingatan baik.
Tatsuya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. “Ternyata kau benar-benar sudah mabuk malam itu. Kau bahkan tidak ingat pernah berbicara padaku? Kau juga tidak ingat pernah memanggilnya dengan nama Hugo?”
Kenapa Hugo terdengar tidak asing? Tara berpikir-pikir. Lalu ia teringat e-mail yang dikirim Tatsuya ke acara Je me souviens.... Kelab tempat Tatsuya bertemu gadis di bandara... Hugo si bartender... Gadis di bandara...?
“Kau sudah ingat?” tanya Tatsuya.
Tara menatap laki-laki itu dengan mata yang melebar. “E-mail yang kau kirimkan ke stasiun radio... Kejadian itu adalah ketika kau bertemu denganku? Di sini? Jadi... jadi itu artinya gadis yang kautemui di bandara itu...”
“Kau, Tara-chan,” Tatsuya menyelesaikan kalimat Tara.
“Oh?”
Tara mengerjap-ngerjapkan mata. Tercengang. Bagaimana bisa? Apakah dia sedang bermimpi? Tapi bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah berpikir dirinya adalah gadis yang telah membuat Tatsuya terpesona di bandara.
Seakan merasakan keraguan Tara, Tatsuya menatap lurus-lurus ke mata Tara. “Kaulah yang kulihat di kafe bandara. Saat itu kopermu menyenggol koperku. Dan malam harinya, kaulah yang kutemui di sini ketika aku sedang menunggu temanku. Kau sudah mabuk dan masih tidak mau mengakuinya. Malah memanggil orang dengan nama yang salah. Kau benar-benar tidak ingat?”
Tara tidak bisa berkata apa pun. Kenapa ia sama sekali tidak ingat pernah melihat Tatsuya? Ia memang ingat kalau ia masuk ke kafe bandara dengan darah mendidih karena Sebastien tidak datang menjemputnya, karena itu ia tidak sadar dan tidak peduli kopernya menyenggol benda apa pun. Lalu malam itu, ia juga masih kesal sehingga memutuskan untuk minum-minum sebentar. Memang saat itu ia ingat ada seseorang di dekatnya ketika ia berbicara dengan Édouard, tapi ia tidak ingat wajah orang itu. Ternyata itu Tatsuya?
“Tapi kau tidak menunjukkan tanda-tanda kau pernah melihatku,” gumam Tara masih bingung.
“Tentu saja tidak,” sahut Tatsuya tegas. “Aku tidak ingin kau menganggapku penguntit atau semacamnya. Lagi pula kau sendiri tidak sadar kau pernah bertemu denganku.”
Tara merenung. Mungkinkah itu sebabnya ia merasa ada sesuatu yang tidak asing ketika Sebastien pertama kali memperkenalkannya kepada Tatsuya? Mungkinkah itu karena tanpa sadar ia mengingat wajah Tatsuya? Hmm... sepertinya bukan itu.
“Kau tahu betapa terkejutnya aku ketika melihatmu lagi bersama Sebastien?” Tatsuya melanjutkan. “Gadis yang membuatku terpesona di bandara ternyata adalah teman Sebastien Giraudeau. Aku nyaris tidak percaya pada penglihatanku. Dan nyaris tidak percaya karena akhirnya aku bisa berkenalan denganmu.”
* * *
“Kenapa kalian berdua lama sekali?” protes Sebastien ketika Tara dan Tatsuya kembali ke meja. “Hanya mengambil minuman.”
Pesta minuman kembali dilanjutkan. Malam semakin larut dan suasana semakin meriah.
Tatsuya merasa gembira. Inilah pertama kali nya ia merasa bebas sejak menginjakkan kakinya di Paris.
Tapi perasaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Ketika mereka asyik mengobrol, tiba-tiba Tara menyelutuk, “Lho, Papa! Papa!”
Semua orang menoleh, termasuk Tatsuya. Dan saat itulah kegembiraannya langsung sirna tak berbekas.
Tara bangkit dari kursi dan menyongsong seorang pria tinggi berambut cokelat yang menghampiri meja mereka. Kening Tatsuya berkerut bingung melihat sosok pria yang terasa tidak asing itu.
“Papa,” seru Tara gembira sambil merentangkan kedua tangannya.
“Victoria, ma chérie,” kata pria itu dan merangkul Tara.
Saat itulah Tatsuya melihat wajah pria itu dengan jelas dan darahnya mendadak membeku.
Papa...? Victoria...?
Tara menarik lengan pria itu ke meja mereka dan berkata pada teman-temannya dengan nada bangga, “Teman-teman, bagi kalian yang belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik kelab yang keren ini.”
Tatsuya duduk mematung. Matanya terbelalak menatap pria di hadapannya. Dunia seakan hening seketika. Ia tidak bisa mendengar suara di sekitarnya, tidak bisa merasakan jantungnya berdebar, tidak bisa merasakan darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Ia bahkan tidak bisa menghirup udara.
Ayah Tara tersenyum ramah dan mengamati wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja bundar itu, sampai pandangannya terhenti pada Tatsuya dan ekspresinya berubah. Heran... dan terkejut.
Tatsuya bisa merasakan kekagetan di mata pria itu. Tatsuya memahaminya. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Pria yang sekarang ini sedang merangkul pundak Tara memang diperkenalkan sebagai ayah Tara, tetapi Tatsuya lebih mengenalnya dengan nama Jean-Daniel Lemercier, orang yang baru diketahuinya sebagai ayah kandungnya.
Sebelas
UNTUK beberapa detik yang menegangkan, mereka berdua bertatapan. Hanya bertatapan. Terlalu kaget dan bingung untuk bersuara. Tanpa sadar Tatsuya berbisik, “Monsieur...”
“Kalian berdua sudah saling mengenal?”
Tatsuya tersentak mendengar suara Tara. Ia menoleh ke arah gadis itu yang memandang ayahnya dan Tatsuya bergantian. Gadis itu heran, tapi tidak merasa curiga sedikit pun.
Ayahnya baru akan membuka mulut, tapi Tatsuya buru-buru menyela, “Tidak, kami belum pernah bertemu.”
Tatsuya memandang ayah Tara, meminta pria itu mengikuti apa yang dikatakannya. Memohon dengan matanya supaya ayahnya itu tidak berkata apa-apa.
“Aku pernah mendengar ayahmu adalah... eh, Jean-Daniel Lemercier yang punya banyak restoran di Prancis,” Tatsuya berbohong dengan susah payah. Lidahnya terasa berat, suaranya juga terdengar agak serak.
Tara mengangkat alis dan mengerjapkan mata. “Lemercier? Aneh sekali.” Lalu ia tersenyum kepada ayahnya. “Lemercier adalah nama ayahku sewaktu masih muda sekali,” jelasnya sambil menggandeng lengan ayahnya. “Sejak mulai menjalankan bisnis kelab dan restoran.
Papa mengganti namanya menjadi Dupont. Sejarahnya panjang. Lain kali akan kujelaskan.”
Tara sama sekali tidak merasakan ketegangan yang ada di antara kedua pria itu. Ia masih tetap ceria dan tersenyum lebar.
“Papa, Papa sudah kenal Sebastien dan Élise, bukan?” kata Tara sambil menunjuk teman-temannya yang duduk mengelilingi meja bundar itu. “Dan ini Juliette, itu Olivier, pacar Élise.
Dan ini Tatsuya Fujisawa.” Tara melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan menggandeng lengan Tatsuya. “Dia arsitek dari Jepang yang akan bekerja sama dengan perusahaan ayah Sebastien untuk proyek pembangunan hotel di sini. Dan perlu Papa ketahui, bahasa Prancis-nya lancar sekali.”
“Arsitek yang hebat, Monsieur,” tambah Sebastien dengan senyum lebar. “Tidak heran Tara suka padanya.”
Tatsuya melihat wajah ayah Tara langsung memucat.
“Diamlah, Sebastien,” omel Tara dengan wajah yang memerah. “Kau sudah mabuk.” Ia berdeham dan melanjutkan perkenalannya, “Tatsuya, ini ayahku, Jean-Daniel Dupont,” Tara melanjutkan.
Tatsuya menjulurkan tangannya yang tiba-tiba saja terasa amat sangat berat. Ketika Jean-Daniel Dupont menjabat tangannya, tangan pria itu terasa dingin. Ataukah tangannya sendiri yang dingin?”
“Apa kabar, Monsieur?” gumam Tatsuya.
Jean-Daniel Dupont juga menggumamkan sesuatu, tapi Tatsuya tidak mendengar jelas.
“Kau teman Victoria?” Terdengar pertanyaan yang lebih jelas dari pria itu.
Tatsuya tidak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa.
Melihat kedua laki-laki itu berpandangan dalam diam, Tara juga ikut diam, lalu seakan menyadari sesuatu, ia menoleh ke arah Tatsuya dan berkata, “Kau pasti bingung kenapa ayahku memanggilku Victoria. Nama lengkapku Victoria Dupont. Memang nama yang lebih mirip nama Inggris bukan Prancis, karena ibuku yang memberiku nama. Semua orang memanggilku Tara, hanya ayahku yang masih suka memanggilku Victoria.”
Tatsuya masih belum menemukan suaranya kembali.
“Monsieur, silakan bergabung dengan kami,” Élise menawarkan.
Entah bagaimana caranya, Jean-Daniel Dupont berhasil menyunggingkan senyum ramah yang agak kaku dan menggeleng. “Tidak usah. Kalian anak-anak muda saja yang bersenang-senang.
Aku hanya mampir untuk melihat-lihat keadaan kelab. Silakan, silakan...”
“Oh ya, waktu itu Papa bilang ada yang ingin Papa bicarakan denganku,” Tara mengingatkan.
“Kata Papa itu masalah penting.”
Tubuh Tatsuya menegang. Ia bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Jean-Daniel Dupont dengan putrinya. Pasti tentang putra yang baru ditemuinya. Tentang dirinya. Ia menahan napas menunggu jawaban Jean-Daniel Dupont.
“Tidak apa-apa, ma chérie,” sahut ayahnya. Matanya bertemu dengan mata Tatsuya. “Tidak terlalu penting. Lain kali saja kita bicarakan.”
Tara mengangkat alisnya. “Lho?”
Tepat pada saat itu Élise berkata ia ingin menambah minuman. Tatsuya mengambil kesempatan itu dan menawarkan diri untuk mengambilkan minuman untuknya. Ia perlu menyingkir dari sana untuk sementara. Supaya ia b isa bernapas kembali. Ketika ia berjalan pergi, ia sempat mendengar ucapan Jean-Daniel Dupont kepada putrinya.
“Bisa ikut Papa sebentar, Victoria?” tanya ayahnya dengan nada mendesak.
* * *
Apa yang ingin dibicarakan ayahnya? Kenapa kesannya serius begitu?
Tara mengikuti ayahnya keluar kelab. Angin bertiup lumayan kencang dan Tara harus merapatkan jaket yang dikenakannya.
“Ada apa, Papa?” tanya Tara penasaran. Mendadak saja ayahnya terlihat lelah. “Papa tidak enak badan?”
Ayahnya menggeleng, lalu bertanya, “Ma chérie, sudah berapa lama kau mengenalnya?” tanya ayahnya.
“Siapa? Tatsuya?” tanya Tara.
Ayahnya mengangguk tidak sabar. “Ya, Tatsuya.”
Wah... kenapa ayahnya tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu? Sepertinya ayahnya ingin tahu lebih banyak tentang Tatsuya. Apakah jelas terlihat kalau Tara tertarik pada Tatsuya? Ia heran karena pertanyaan ayahnya tadi adalah pertanyaan yang umumnya ditanyakan para orangtua begitu mengetahui anak mereka tertarik pada seseorang. Namun Tara memang tidak berniat menyembunyikan apa pun dari ayahnya.
“Oh, belum lama. Dia teman Sebastien dan Sebastien mengenalkannya padaku.” Tara menatap ayahnya dengan mata berbinar-binar. “Menurut Papa bagaimana?”
Ayahnya mengangkat alis. “Apanya?”
“Tatsuya Fujisawa,” sahut Tara. “Menurut Papa bagaimana?”
Ayahnya terlihat agak gugup. “Entahlah... Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”
Tara hanya tersenyum. Sebenarnya ia berharap dalam hati ayahnya sependapat dengannya.
Tatsuya laki-laki yang baik dan sopan. Ia yakin ayahnya tidak akan keberatan kalau ia mengakui perasaannya terhadap Tatsuya.
“Ma chérie,” panggil ayahnya dengan nada was-was. “Kau menyukai pemuda itu?”
Tara memandang ayahnya dan menimbang-nimbang. Apakah ayahnya bisa membaca pikirannya? Apakah ia bisa memberitahu ayahnya? Sekarang?
“Ya,” jawab Tara akhirnya. Ia tidak pernah berbohong kepada ayahnya dan ia memutuskan sebaiknya ia mengakui sekarang.
Tara sudah bersiap-siap menghadapi serbuan pertanyaan ayahnya, tapi aneh sekali, ayahnya hanya tertegun mendengar jawabannya. Air mukanya berubah cemas dan gelisah.
“Papa, ada apa?” tanya Tara ketika ayahnya masih tetap diam. Kenapa ayahnya tidka bertanya apa-apa? Ia baru saja mengakui ia menyukai seorang laki-laki dan bukankah sebagai orangtua sudah sewajarnya ayahnya bertanya macam-macam?
“Tidak apa-apa,” gumam ayahnya.
Tara berusaha menebak-nebak apa yang menjadi beban pikiran ayahnya, tapi tidak menemukan alasan apa pun. “Aku dan Tatsuya memang baru saling mengenal,” katanya berusaha menjelaskan lebih jauh, “tapi aku merasa dia orang yang baik dan menyenangkan. Dia tipe laki-laki yang diincar kebanyakan wanita untuk dijadikan suami.”
Tara bermaksud bergurau, tetapi begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, ayahnya terkesiap kaget.
“Kau mau menikah dengannya?” tanya ayahnya dengan nada panik yang tidak dipahami Tara.
Tara mengerjap-ngerjapkan mata dan menggeleng. “Tidak,” jawabnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang memicu reaksi ayahnya. “Aku memang menyukainya, tapi aku tidak sedang merencanakan pernikahan. Kenapa Papa tiba-tiba punya pikiran begitu?”
“Tidak, Papa tidak berpikir seperti itu,” gumam ayahnya cepat-cepat.
Tara menangkap kilatan lega di mata ayahnya dan ia semakin heran.
“Ma chérie,” panggil ayahnya lagi. “Coba jelaskan tentang hubungan kalian berdua kepada Papa.”
Aneh sekali, kenapa ayahnya panik begitu? Apakah ayahnya takut ia akan menikah dengan Tatsuya?
* * *
Tatsuya
sama sekali tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia hanya duduk diam di
pinggir jendela apartemennya dan memandangi Sungai Seine. Jam sudah
menunjukkan pukul 02.24 dini hari dan ia tidak mengantuk sedikit pun.
Begitu pulang dari La Vue dua jam yang lalu, ia berusaha tidur karena
kepalanya berat sekali. Tetapi setelah setengah jam berjuang untuk
terlelap dan sia-sia, ia menyerah lalu bangkit dari tempat tidur.
Ia tahu ia harus berpikir, tapi ia tidak ingin berpikir. Kepalanya sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu-lalang di benaknya sampai ia tidak tahu lagi harus berpikir apa. Semakin dipikir, ia semakin tertekan.
Pasti ada kesalahan. Tidak mungkin ia dan Tara punya ayah yang sama. Pasti ada kesalahan....
Tatsuya menarik napas berat, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadanya terasa sakit. Bernapas ternyata bisa juga menyakitkan.
Kenapa
harus Jean-Daniel Dupont...? Kenapa harus ayah Tara...? Mungkin ia
bukan anak Jean-Daniel Dupont.... Mungkin ibunya salah.... Ayah
kandungnya bukan Jean-Daniel Dupont.... Bukan... Demi Tuhan! Ia
sungguh-sungguh berharap Jean-Daniel Dupont bukan ayah kandungnya.
Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Ia tetap duduk diam di pinggir jendela, sepanjang malam, tanpa bergerak, dan nyaris tanpa bernapas, sampai langit berubah warna dari hitam menjadi biru, lalu biru muda. Saat itulah Tatsuya baru menyadari hari sudah terang dan ia tidak tidur semalaman.
Tidak mudah memaksa dirinya bergerak, tapi ia sadar ia harus pergi ke kantor. Tatsuya bergerak dengan perlahan dan kaku, seperti robot yang sudah usang. Ia mencuci muka dan berganti pakaian dengan lesu. Ia sebenarnya bermaksud sarapan, tetapi merasa tidak bernafsu. Ia baru akan keluar dari apartemennya ketika ponselnya berdering.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melirik layar ponsel. Orang itu.
“Halo,” kata Tatsuya ketika ponsel sudah ditempelkan ke telinga. Ia hampir tidak mengenali suaranya sendiri. Suaranya terdengar aneh dan jauh.
“Tatsuya.” Terdengar suara rendah Jean-Daniel Dupont di seberang sana.
“Ya, Monsieur,” sahut Tatsuya datar.
“Kurasa kita harus bicara,” kata Jean-Daniel Dupont. “Tentang apa yang terjadi kemarin malam.”
Tatsuya menghela napas berat. Bernapas masih tetap menyakitkan. “Ya. Baiklah, Monsieur.”
“Kita bisa bertemu siang ini?”
Tatsuya terdiam. Cepat atau lambat hal ini harus dihadapi. Tatsuya harus menyelesaikan masalah ini.
“Tidak masalah,” kata Tatsuya akhirnya. “Katakan di mana dan jam berapa. Saya akan datang.”
* * *
“Teman,
tampangmu berantakan sekali,” komentar Sebastien ketika masuk ke kantor
Tatsuya siang itu. Tadinya ia berencana mengajak Tatsuya makan bersama
mengingat mereka jarang sekali bertemu sejak terlibat langsung dalam
proyek hotel itu. Tapi begitu masuk ke ruangan Tatsuya, ia melihat
temannya duduk bersandar dengan tampang tertekan.
Tatsuya menoleh dan tersenyum tipis.
“Sakit kepala karena mabuk kemarin?” goda Sebastien.
Tatsuya menggeleng. “Kau yang mabuk berat kemarin malam,” sahutnya pelan. Namun keadaan Sebastien terlihat jauh lebih baik daripada dirinya saat ini.
Sebastien
tertawa. “Ya, sepertinya begitu. Pagi tadi kepalaku masih sakit seperti
dihantam palu. Tapi kenapa tampangmu kusut begitu?”
“Kurang tidur,” jawab Tatsuya pendek. Ia memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela.
Sebastien merasa aneh karena temannya berubah pendiam. “Mau makan siang denganku?” ia menawarkan.
Tatsuya menoleh dan melirik jam tangannya. Ia bangkit dan meraih jaketnya. Ia tersenyum meminta maaf pada Sebastien. “Maaf, Sebastien. Aku ada janji dengan orang lain. Lain kali saja kita makan bersama.”
“Janji dengan Tara?” goda Sebastien, berusaha menyembunyikan kebingungannya atas sikap Tatsuya.
Sebastien heran melihat gerakan Tatsuya tiba-tiba terhenti. “Bukan, bukan dengannya,” sahut Tatsuya datar. Ia menoleh ke arah Sebastien. “Sampai nanti.”
Sebastien mengerutkan kening setelah Tatsuya menghilang di balik pintu. Ada apa dengan Tatsuya hari ini? Apa yang membuatnya bad mood tadi? Tara? Bukankah mereka baik-baik saja kemarin? Mungkinkah mereka bertengkar?
Ah, bingung. Sebastien menggeleng-geleng dan memutuskan untuk bertanya pada Tara saja karena gadis itu pasti ingin memuntahkan isi hatinya kalau sedang kesal.
* * *
“Anda sudah memberitahu Tara?” tanya Tatsuya tanpa memandang pria yang duduk di hadapannya.
“Tidak... Belum,” sahut Jean-Daniel Dupont.
Mereka kembali bertemu di restoran tempat pertama kali mereka bertemu. Mereka berdua sama-sama hanya memesan minuman karena tidak lapar. Tatsuya sendiri merasa nafsu makannya tiba-tiba hilang entah ke mana. Ia tidak bisa makan dan tidak bisa tidur. Sebenarnya ia malah tidak ingin melakukan apa-apa.
Jean-Daniel Dupont yang ada di hadapannya kali ini sepertinya bertambah tua beberapa tahun sejak terakhir kali Tatsuya melihatnya. Wajahnya juga terlihat lelah dan pucat. Ia pasti juga mencemaskan keadaan ini.
“Monsieur,” panggil Tatsuya pelan, masih memandangi taplak meja di hadapannya. “Kenapa mengubah nama Anda?”
Jean-Daniel Dupont terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Lemercier itu nama ayah kandungku,” ia memulai. “Beliau meninggal ketika aku berumur delapan tahun. Kemudian ibuku menikah lagi dengan pria bernama Dupont yang membuka usaha restoran. Ayah tiriku tidak pernah memaksaku mengubah nama jadi selama masa remajaku aku tetap menggunakan nama Lemercier.”
Tatsuya diam dan mendengarkan.
“Lalu ayah tiriku yang baik ini mulai sakit-sakitan. Beliau dan ibuku tidak punya anak dan aku tahu Beliau berharap aku bisa melanjutkan usahanya. Aku juga tahu, walaupun tidak pernah meminta, Beliau sangat berharap aku menjadi anaknya yang sah di mata hukum.” Jean-Daniel Dupont menghela napas lagi. “Singkat kata, aku memenuhi harapannya. Aku mengganti namaku dan melanjutkan usahanya.”
“Anda mengganti nama Anda setelah kembali dari Jepang?” tanya Tatsuya walaupun ia sudah tahu jawabannya.
Jean-Daniel Dupont mengangguk. “Aku sedang berlibur di Tokyo ketika mendapat kabar ayahku sakit. Karena itu liburanku harus dipersingkat. Aku harus meninggalkan Jepang dan kembali ke Prancis.”
Tatsuya mengangguk pelan. “Jadi Anda bertemu dengan ibuku ketika sedang berlibur di Jepang?”
“Ya.”
“Kalian saling menyukai? Maksudku, waktu itu.”
“Ya.”
Tatsuya mengangkat wajahnya dan menatap Jean-Daniel Dupont. “Lalu kenapa...?”
“Aku tidak akan mencari-cari alasan,” Jean-Daniel Dupont menjelaskan. “Saat mendengar kabar ayahku sakit, aku langsung kembali ke Prancis. Aku dan ibumu kehilangan kontak. Berakhir begitu saja.”
Mereka berdua terdiam. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
“Aku sudah bertanya pada Victoria,” Jean-Daniel Dupont memecah keheningan. “Dia bilang Sebastien yang mengenalkan kalian berdua. Sepertinya hubungan kalian cukup baik... dan dekat.”
Tatsuya tidak menjawab.
“Kau...,” Jean-Daniel Dupont melanjutkan. Nada suaranya ragu. “Bagaimana perasaanmu terhadap Victoria?”
Tatsuya tetap diam. Bagaimana perasaannya terhadap Tara Dupont? Bagaimana perasaannya terhadap... adik perempuannya? Tolong jangan memintanya menjawab...
“Kau... menyukainya?”
Mendengar
pertanyaan Jean-Daniel Dupont, pundak Tatsuya terasa berat. Ia
membenamkan tangan ke saku jaketnya dan mengembuskan napas.
“Tatsuya.”
“Monsieur,” kata Tatsuya pelan, tapi pasti. Ia menatap kosong ke cangkir kopi di atas meja.
“Apakah Tara putri kandung Anda?”
Jean-Daniel Dupont tidak langsung menjawab. Ia kaget karena tidak menyangka Tatsuya akan bertanya seperti itu. Tatsuya hanya bisa berharap pria itu memahami bahwa pertanyaannya tidak bertujuan menghina siapa pun.
“Benar,” sahut Jean-Daniel Dupont. “Dia memang putri kandungku. Tidak ada keraguan tentang itu.”
Tatsuya memejamkan mata. Satu kemungkinan gagal....
“Apakah Anda yakin aku putra kandung Anda?” tanya Tatsuya lagi.
Jean-Daniel Dupont tidak menjawab.
“Apakah Anda pernah berpikir mungkin ibuku salah?” Tatsuya melanjutkan. “Mungkin Anda bukan ayah kandungku. Mungkin ayah kandungku orang lain yang...”
Ia segera menghentikan kata-katanya begitu menyadari apa yang baru dikatakannya. Astaga! Apakah ia baru menuduh ibunya terlibat dengan pria lain? Memangnya ia pikir ibunya itu wanita seperti apa? Tatsuya memarahi dirinya dalam hati. Ia tidak percaya apa yang sudah dipikirkannya.
“Tatsuya,” panggil Jean-Daniel Dupont.
Tatsuya menghela napas dan mengembuskannya dengan keras. “Maafkan aku,” katanya lirih.
“Aku tidak bermaksud meragukan ibuku. Hanya saja...”
Suaranya mulai serak. Kepalanya berputar-putar. Demi Tuhan! Apa yang sedang terjadi pada dirinya?
Ia berdeham dan berkata, “Mungkin yang dimaksud ibuku bukan Anda.”
“Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini,” gumam Jean-Daniel Dupont.
Semua kemungkinan harus ditelusuri. Tatsuya tidak bisa hidup dalam kebimbangan seperti ini. Terlalu menyakitkan. Ia harus tahu pasti.
“Monsieur,” katanya. “Bagaimana kalau kita menjalani tes DNA?”
Tatsuya tidak pernah berpikir dirinyalah yang akan mengajukan permintaan itu ketika ia mulai mencari ayah kandungnya. Saat itu ia tidak memerlukan pengakuan ayah kandungnya, jadi ia tidak peduli apakah ayah kandungnya akan mengakuinya atau menolaknya. Tapi sekarang keadaannya lain. Ia tidak bisa terjerat dalam lingkaran menyesakkan ini. Ia harus tahu. Harus....
Tatsuya merasa pria yang duduk di hadapannya itu tidak terlalu terkejut dengan permintaannya. Mungkin Jean-Daniel Dupont juga sudah memperkirakan hal itu.
“Tes DNA?” ulang pria itu. “Kau ingin memastikan...”
“Apakah Anda adalah ayah kandungku,” Tatsuya melanjutkan kata-kata Jean-Daniel Dupont.
Jean-Daniel Dupont terdiam cukup lama, seakan mempertimbangkan usul Tatsuya. Apakah ia akan menganggap usulnya keterlaluan atau masuk akal?
“Baiklah,” akhirnya pria itu menyetujui dan Tatsuya mendesah lega. “Kapan?”
“Lebih cepat lebih baik.”
Ini satu-satunya harapannya.... Harapan terakhirnya.
Dua Belas
“SYUKURLAH Olivier sudah boleh pulang sore ini,” kata Élise sambil memegang dadanya dan menghela napas lega.
Tara yang berjalan di sampingnya hanya tertawa. “Tidak perlu berlebihan begitu, Élise.
Pacarmu hanya menjalani operasi usus buntu biasa.”
Ia baru saja menemani Élise mengurus administrasi Olivier sebelum keluar dari rumah sakit. Sekarang mereka sedang berjalan kembali ke kamar tempat pacar Élise dirawat.
“Tapi tetap saja aku khawatir selama dia dioperasi,” kata Élise tidak peduli. “Kau pasti juga akan begitu kalau Tatsuya yang menjalani operasi usus buntu.”
Tara tersenyum kecil dan mengangkat bahu. Mungkin saja.
Élise memandangnya dengan tatapan menyelidik. “Kenapa? Ada apa dengan Tatsuya?”
Tara menghela napas dan menggeleng. “Tidak apa-apa,” sahutnya. “Hanya saja dua-tiga hari terakhir ini dia sepertinya agak pendiam.”
“Hm?”
“Dia tidak banyak bicara,” Tara berusaha menjelaskan. “Dia sedang sibuk dan banyak pekerjaan sehingga kami tidak sempat bertemu, hanya bisa bicara sekali di telepon, tapi itu juga cuma sebentar. Mungkin ini perasaanku saja.”
“Mungkin saja,” sahut Élise. “Kau sudah bertanya padanya? Mungkin dia sedang ada masalah atau apa.”
“Tidak, dia tidak pernah berkata apa-apa. Aku juga belum bertanya,” kata Tara dan memutuskan dalam hati ia akan bertanya nanti.
“Ngomong-ngomong, terima kasih kau mau datang menjenguk Olivier,” kata Élise ketika mereka sudah sampai di depan pintu kamar Olivier.
“Tidak masalah,” kata Tara ringan. “Aku sudah lama mengenal Olivier dan baru kali ini aku melihatnya terbaring tidak berdaya di tempat tidur. Biasanya dia selalu bergerak, tidak bisa diam. Perubahan kecil seperti ini pasti bagus baginya.”
“Apanya yang bagus?” Élise mendengus. “Sepanjang hari kerjanya hanya menggerutu karena belum diizinkan berkeliaran.”
Tara tertawa. “Élise, kau masuk saja dulu. Aku mau ke toilet.”
Élise melambai dan masuk ke kamar rawat, sedangkan Tara terus berjalan menyusuri koridor ke toilet.
Baru saja ia akan membelok memasuki toilet wanita, langkah kakinya terhenti. Matanya terpaku pada punggung seorang pria yang sedang berjalan menjauhi meja perawat tidak jauh dari sana. Ia mengerjapkan mata.
“Papa?” gumamnya pada diri sendiri.
Ia bergegas berbalik dan berlari-lari kecil menyusul ayahnya yang akan berjalan menjauhinya.
“Papa!” serunya ketika ia merasa jaraknya sudah cukup dekat sehingga ayahnya bisa mendengarnya.
Ayahnya menoleh dan... Apakah hanya perasaannya ataukah ayahnya terperanjat melihatnya?
“Ma chérie?” gumam ayahnya setelah Tara berdiri di hadapannya. “Sedang apa kau di sini?”
Tara tersenyum lebar walaupun dalam hati agak heran melihat ayahnya memandang ke sekeliling dengan gelisah.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya bukan Tatsuya saja yang terlihat aneh belakangan ini. Tara juga merasa ayahnya berubah. Selalu gelisah. Ia sudah berusaha mencari tahu, tapi ayahnya selalu meyakinkan segalanya baik-baik saja.
“Pacar Élise sedang dirawat di sini. Operasi usus buntu. Aku datang menjenguknya,” jawab Tara. “Papa sendiri sedang apa di sini?”
Ayahnya tidak langsung menjawab dan Tara langsung merasa waswas.
“Papa sakit?” tanyanya cemas.
Ayahnya menggeleng. “Tidak, Papa tidak sakit. Papa juga... datang menjenguk teman.”
Tara mengangkat alisnya. “Oh, begitu. Siapa?”
“Eh... Kau tidak kenal,” ayahnya mengelak, lalu mengalihkan pembicaraan, “Bagaimana keadaan Olivier? Baik-baik saja?”
Tara mengangguk. “Ya, besok sudah boleh pulang ke rumah.”
Ayahnya mengangguk-angguk tanpa perhatian. “Baiklah, kalau begitu,” kata ayahnya cepat.
“Papa harus kembali ke kantor. Kau masih akan tinggal di sini?”
“Mm,” sahut Tara. Ia heran melihat sikap ayahnya yang terburu-buru, sangat bertolak belakang dengan sikap tenang ayahnya yang biasa. Apakah penyakit temannya membuatnya cemas? “Papa pulang saja dulu.”
Setelah memerhatikan ayahnya yang berjalan keluar dari rumah sakit, Tara kembali berjalan ke toilet sambil terus memikirkan ayahnya. Jangan-jangan penyakin teman ayahnya itu tidak bisa disembuhkan. Makanya ayahnya khawatir. Baiklah, ia akan bertanya pada ayahnya nanti.
Siapa tahu ayahnya butuh teman mengobrol.
Tara keluar dari toilet dan berjalan kembali ke kamar rawat Olivier. Ketika ia melewati jendela kaca besar yang menghadap ke halaman samping rumah sakit, sekali lagi langkah kakinya terhenti. Ia membalikkan tubuh, menempelkan kedua telapak tangan di kaca dan memandang ke luar. Pandangannya terarah pada seorang laki-laki yang duduk sendirian di bangku kayu panjang di taman kecil rumah sakit itu.
Oh... Tatsuya? Langsung saja wajah Tara berseri-seri dan senyum senang tersungging di bibirnya.
Hari ini penuh kejutan. Ia bertemu ayahnya dan Tatsuya di rumah sakit yang sama. Ia cepat-cepat berbalik arah dan berlari-lari kecil ke arah pintu keluar.
Ketika ia sampai di pekarangan samping rumah sakit, ia mendapati laki-laki itu masih duduk merenung di bangku yang sama. Hari ini angin bertiup kencang dan Tara menggigil. Ia baru ingat ia meninggalkan jaket dan syalnya di kamar rawat Olivier sebelum menemani Élise mengurus administrasi tadi.
Tiba-tiba Tatsuya bangkit dan mulai berjalan. Tara cepat-cepat berlari menyusul sambil berseru memanggilnya.
Tatsuya berhenti dan menoleh. Ia juga menampilkan wajah terkejut setelah melihat siapa yang memanggilnya.
Tatsuya berhenti dan menoleh. Ia juga menampilkan wajah terkejut setelah melihat siapa yang memanggilnya.
“Tara-chan,” katanya kaget. “Sedang apa kau di sini?”
Tara merasa lucu karena Tatsuya menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan ayahnya tadi.
“Aku datang menjenguk Olivier yang baru menjalani operasi usus buntu,” sahutnya. “Kau sendiri? Kau tidak sakit, bukan?”
Tatsuya menggeleng. “Aku juga datang menjenguk teman.”
Tara tersenyum dan alisnya berkerut. “Hari ini banyak sekali teman kita yang sakit, ya?”
Tatsuya memandangnya tidak mengerti tapi Tara hanya tertawa kecil dan mengibaskan tangan.
“Kau sepertinya sedang tidak sehat,” kata Tara sambil mengamati wajah Tatsuya yang pucat.
Tatsuya mengusap wajah dengan sebelah tangan. “Hanya kurang tidur.”
Tara memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil lagi.
“Di mana jaketmu?” tanya Tatsuya dengan kening berkerut. “Kenapa keluar memakai baju setipis ini?”
Tara tertawa kecil. “Jaketku tertinggal di kamar Olivier.”
“Olivier?”
“Pacar Élise. Kau kan pernah bertemu dengannya ketika pesta ulang tahun Élise waktu itu,”
Tara mengingatkan. “Dia baru menjalani operasi usus buntu dan dirawat di sini.”
“Oh,” gumam Tatsuya linglung.
Tara tidak yakin laki-laki itu memahami kata-katanya karena sepertinya Tatsuya memikirkan hal lain.
Tatsuya kembali mengamati Tara dari kepala sampai ke kaki. “Kau kedinginan,” katanya.
Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari saku mantel, menggenggam kedua tangan Tara dan menariknya mendekat.
Tara mengerjapkan mata dan tercengang. Tapi ia menurut saja ketika Tatsuya menariknya ke dalam pelukannya sehingga mantel cokelat panjang yang dikenakan laki-laki itu bisa membungkus tubuh mereka berdua. Tara menyadari kedua lengan Tatsuya merangkul seluruh tubuhnya dengan mudah. Ia tidak pernah mengganggap dirinya bertubuh mungil, tapi ternyata ia begitu kecil dalam pelukan Tatsuya. Ia senang dengan kenyataan itu.
“Bagaimana? Agak mendingan?”
Tara mendengar suara Tatsuya di samping kepalanya. Ia tidak sanggup bersuara, hanya bisa mengangguk. Memeluk Tatsuya seperti ini membuat jantungnya serasa berhenti berdetak dan napasnya tercekat. Mereka begitu dekat sehingga ia bisa merasakan debar jantung laki-laki itu. Rasanya hangat dan sangat nyaman, seakan ia sedang melayang di awan.
“Aaah... Musim gugur ini dingin sekali,” desah Tatsuya.
Tara mengangguk lagi di bahu Tatsuya. Ia bisa merasakan Tatsuya tersenyum. Untuk beberapa saat mereka berdiri berpelukan seperti itu, di bawah pohon-pohon dengan daun berwarna kecokelatan di taman rumah sakit. Tara berdoa dalam hati ia bisa selamanya merasakan perasaan bahagia ini.
Namun sikap Tatsuya masih tetap membuatnya bingung. Beberapa hari terakhir Tara merasa Tatsuya berubah pendiam dan sepertinya agak menjaga jarak darinya, dan sekarang laki-laki itu tiba-tiba memeluknya seolah itu hal yang paling wajar di dunia. Apa yang sedang dipikirkan Tatsuya?
“Tatsuya?” panggil Tara di bahu Tatsuya.
“Hm?”
“Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Tatsuya menghela napas. “Tidak ada.”
“Pekerjaanmu di kantor baik-baik saja?”
“Mm.” Tatsuya mengangguk.
“Proyekmu lancar?”
“Mm.” Tatsuya mengangguk lagi.
Kalau bukan masalah pekerjaan, pasti ada hubungannya dengan masalah keluarga. Mungkin tentang ayah kandungnya yang baru ditemuinya waktu itu?
“Bagaimana dengan ayah kandungmu?” tanya Tara hati-hati. “Kau bertemu dengannya lagi?”
Tara merasa pelukan Tatsuya agak menegang.
“Tidak ada masalah,” gumam laki-laki itu cepat, lalu balas bertanya, “Kenapa kau bertanya hal yang aneh-aneh?”
“Karena kau berubah pendiam belakangan ini,” gumam Tara tidak yakin. “Dan sekarang kau tiba-tiba saja... memelukku.” Suaranya semakin pelan ketika mengucapkan kata-kata terakhir.
“Kau tidak suka?” tanya Tatsuya dengan nada bercanda.
Tara cepat-cepat menggeleng. Pipinya terasa panas. “Bukan... Maksudku...,” ia berusaha menjelaskan dengan tergagap-gagap, “aduh, kau pasti tahu maksudku.”
Tatsuya tertawa pelan dan mempererat pelukannya. “Aku hanya sedang pusing karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada masalah serius.”
Aku sedang meyakinkan diri sendiri, batin Tatsuya sadar sekali akan hal itu.
“Sungguh?” tanya Tara. Ia ingin merasa benar-benar yakin.
“Gara-gara mengejar waktu aku cuma bisa tidur tujuh jam dalam tiga hari terakhir ini,”
Tatsuya menjelaskan. “Karena itu sekarang aku capek sekali.”
“Sebastien pernah bilang kau bekerja sepanjang hari seperti mesin. Tolong ingat kau bukan mesin. Kau tentu tahu kalau tidak istirahat kau bisa sakit nantinya. Mesin juga bisa meledak kalau dipakai terus-menerus tanpa henti. Kau dengar?”
Tatsuya tertawa lagi mendengar ocehan Tara. Suara gadis itu membuatnya merasa hangat.
“Karena itulah sekarang aku memelukmu,” sahutnya. “Aku bisa mengisi ulang tenagaku.”
“Tatsuya, jangan bercanda,” kata Tara sambil berusaha melepaskan pelukannya, tapi Tatsuya tidak membiarkannya.
“Aku tidak bercanda, Tara-chan,” kata laki-laki itu sambil menatap mata Tara. Mata kelabu yang hangat dan dalam. Lalu laki-laki itu tersenyum. “Kau membuatku merasa lebih baik.
Menyenangkan sekali memelukmu seperti ini, sampai-sampai aku takut tidak akan sanggup melepaskan diri lagi.”
ketika mengucapkan kalimat terakhir itu, tatapan Tatsuya agak menerawang, seakan sedang bicara pada diri sendiri.
Lalu Tara mengejutkan dirinya sendiri dengan bertanya,k “Memangnya kau berniat melepaskan diri?”
Tatapan Tatsuya kembali terpusat padanya. Laki-laki itu tertegun sejenak, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Kalau memang boleh, aku tidak berniat melepaskan diri.”
Tara mengerjapkan mata lagi. Kalau boleh? Apakah Tatsuya sedang meminta izinnya? Tapi Tara tidak mau bertanya lagi karena tadi ia sudah melontarkan pertanyaan konyol yang membuatnya malu sendiri. Dan jawaban Tatsuya sudah membuat wajahnya panas. Aneh sekali
laki-laki
ini bisa membuatnya merasakan apa yang sedang dirasakannya saat ini.
Tapi Tara tidak mau memikirkannya sekarang. Untuk saat ini ia akan
membiarkan dirinya sendiri menikmati kebersamaannya dengan Tatsuya
Fujisawa.
“Tatsuya,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Kau tahu, kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku tidak bisa membantu, tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik.”
Beberapa saat Tatsuya tidak menjawab, lalu ia bergumam, “Jangan khawatirkan aku, Tara-chan. Aku tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.”
* * *
Seharusnya aku tidak melakukannya.
Tatsuya menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil dan memejamkan mata.
Tadi ia baru saja menjalani tes DNA bersama Jean-Daniel Dupont di rumah sakit. Semuanya berjalan seperti mimpi. Setelah selesai menjalani tes, ia langsung pergi tanpa berbicara dengan pria itu. Ia sedang tidak ingin bicara. Ia terlalu tegang untuk bicara. Karena ingin menjernihkan pikiran, ia memutuskan duduk sebentar di bangku taman rumah sakit.
Ia sedang memikirkan tentang hasil tes yang akan diterimanya tiga hari lagi. Apa hasilnya? Bagaimana selanjutnya? Apa yang harus dilakukannya? Banyak sekali pertanyaan yang berkelebat dalam beaknya, tapi sayangnya tidak ada jawaban yang memuaskan. Ia sibuk bergumul dengan pikirannya sendiri sampai gadis itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Baru saja ia memikirkan tentang Tara dan sekarang gadis itu langsung ada di hadapannya dengan wajah berseri-seri dan senyum ceria tersungging di bibirnya. Begitu melihat Tara, entah bagaimana Tatsuya merasa beban pikirannya berkurang dan hatinya terasa hangat.
Aneh sekali... Kenapa hanya melihat gadis itu saja ia bisa merasa gembira?
Seharusnya aku tidak melakukannya, pikir Tatsuya lagi. Seharusnya aku tidak memeluknya.
Tetapi pada kenyataannya ia memang ingin memeluk Tara. Saat itu ia tidak berpikir sama sekali. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya hal yang wajar. Rasanya wajar sekali memeluk Tara Dupont. Rasanya menyenangkan. Untuk sesaat sepertinya ia bisa melupakan masalahnya, melepaskan ketegangan di pundaknya dan bernapas dengan lega. Hanya saja, memeluk Tara Dupont juga menimbulkan kesadaran baru.
Dan masalah baru.
Tatsuya membuka matanya kembali dan menatap kosong ke langit-langit mobil.
Entah sejak kapan perasaan ini timbul dalam dirinya, tapi setelah apa yang dilakukannya tadi, ia sadar ia tidak sanggup menjauhi Tara Dupont. Ia sudah jatuh terlalu dalam dan tidak bisa keluar lagi.
Tidak bisa keluar... atau tidak mau keluar?
Entahlah. Yang pasti ini artinya masalah.
Tiga Belas
AMPLOP tipis di tangannya ini terasa berat. Rasanya begitu berat sampai Tatsuya harus memegangnya dengan kedua tangan. Apakah ia sudah siap membuka amplop itu?
Tatsuya berjalan ke taman di samping rumah sakit, duduk di bangku kayu yang pernah didudukinya pada hari ia menjalani tes DNA.
Mungkin seharusnya ia menelepon Jean-Daniel Dupont. Pria itu pasti juga khawatir.
Tidak... Tatsuya ingin memastikan sendiri terlebih dahulu.
Dengan tangan yang agak gemetar, ia merobek amplop putih itu dan mengeluarkan secarik kertas yang terlipat rapi. Matanya mulai membaca tulisan di kertas itu. Semakin ia membaca, pelipisnya semakin berdenyut-denyut.
Tidak... Tidak...
Begitu selesai membaca, kedua tangannya terkulai lemas dan ia memejamkan mata erat-erat.
Napasnya berat dan terputus-putus. Dunianya mendadak gelap dan runtuh di depan matanya.
Harapan terakhirnya... Satu-satunya harapan yang dimilikinya hilang sudah.
Ia, Tatsuya Fujisawa, memang anak kandung Jean-Daniel Dupont.
Empat Belas
“ALLÔ!”
Sebastien
mengangkat wajah dari kertas-kertas yang berserakan di meja dan melihat
Tara mengintip dari celah pintu kantornya yang terbuka.
“Tara!” serunya gembira. “Tumben kau datang ke kantorku. Ayo, masuks aja.”
Tara menghampiri Sebastien dengan senyum lebar. “Apa kabar, Sebastien?”
Sebastien bangkit dan merangkul Tara. “Tadinya capek setengah mati, tapi begitu melihatmu datang semangatku langsung naik,” katanya.
Tara mendengus dan tertawa. “Simpan saja rayuanmu untuk gadis lain.”
Sebastien kembali duduk di kursi. “Kenapa kau tiba-tiba datang ke sini?”
Tara memandang berkeliling. Kantor Sebastien punya nasib yang sama dengan apartemen Tara. Berantakan. “Sebenarnya aku datang untuk menemui Tatsuya,” sahut Tara ringan.
Sebastien langsung memejamkan mata dan memasang raut wajah terluka. “Aduh, harga diriku... Kukira kau datang untuk menemuiku.”
Tara mendorong bahu Sebastien dengan main-main. “Yah, karena aku tidak berhasil menemuinya, aku datang ke tempatmu. Kau tahu ke mana perginya?"”
Sebastien mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin mengunjungi lokasi proyek.” Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, “Akhir-akhir ini dia agak aneh. Sepanjang hari bekerja tanpa henti. Kalaupun berhenti, dia hanya melamun. Tapi setelah itu dia sibuk lagi.”
Tara mengerjapkan mata. Ia tidak salah. Tatsuya memang agak aneh belakangan ini.
Ternyata Sebastien juga merasakannya.
Ternyata Sebastien juga merasakannya.
“Kau tau ada apa dengannya?” tanya Sebastien.
Tara menggeleng. Ia justru berharap Sebastien bisa menawarkan penjelasan untuk pertanyaan itu. “Aku pernah bertanya, tapi katanya dia hanya capek bekerja,” sahut Tara seadanya. Ia menatap Sebastien dengan mata disipitkan. “Itu salahmu,” gerutunya. “Kenapa membiarkannya bekerja terus tanpa henti?”
Sebastien mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Wah, itu bukan salahku. Bukan aku yang memaksanya bekerja. Dia sendiri yang ingin melakukannya.” Sebastien memiringkan kepala. “Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya, makanya dia harus bekerja sebagai pelampiasan. Itu teoriku.”
Tara mengembuskan napas panjang. “Begitukah?”
Sebastien mengangkat bahu, lalu bertanya, “Ngomong-ngomong, kenapa kau mencarinya?”
Tara ikut mengangkat bahu karena merasa alasannya sederhana saja. “Hanya ingin mengajaknya makan siang.”
Sebastien bisa melihat kekecewaan Tara. Perasaan gadis itu mudah ditebak. Tara Dupont bukan orang yang bisa menutupi perasaannya.
“Karena Tatsuya tidak ada, bagaimana kalau aku saja yang menggantikannya?” Sebastien menawarkan.
Alis Tara terangkat. “Kau tidak sibuk?”
Sebastien menatap tumpukan kertas dan map di meja kerja, lalu menggeleng dengan yakin.
“Karena kau sangat membutuhkan sahabatmu ini, aku bisa menyisihkan sedikit waktu,” guraunya.
“Kau tidak ada janji dengan pacar barumu?” selidik Tara.
“Tidak ada pacar.”
“Yang kemarin itu?” desak Tara. “Yang namanya Julia atau apa itu.”
“Juliette? Hah! Aku sudah dicampakkannya,” kata Sebastien ringan.
“Dicampakkan? Kau?”
Sebastien mengibaskan tangan dan tersenyum masam. “Tidak penting sama sekali, tapi akan kuceritakan nanti. Janji. Aku masih ingat kau orang yang gampang penasaran,” katanya cepat. “Sekarang kau ingin makan apa? Kita pesan saja dan minta diantarkan ke sini. Kau tidak keberatan, bukan, kalau kita makan di sini saja?”
“Baiklah,” kata Tara sambil memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. “Dan, Sebastien, aku mau sate kambing!”
“Bistro itu jauh, ma chérie,” desah Sebastien.
Tara mengangkat bahu. “Lalu kau mau makan apa?”
Sebastien baru saja meraih gagang telepon untuk menelepon rumah makan Prancis kesukaannya ketika ia teringat sesuatu. Ia menatap Tara dan bertanya, “Ngomong-ngomong, apakah kau tahu hari ini hari ulang tahun Tatsuya?”
* * *
Tatsuya
menghentikan langkah ketika melewati ruang kerja Sebastien yang
pintunya setengah terbuka. Dari celah pintu ia melihat Sebastien sedang
duduk di kursinya sambil tertawa. Bukan Sebastien Giraudeau yang membuat
langkahnya berhenti, tapi gadis yang duduk di hadapannya. Tara Dupont
sedang bercerita dengan gembira. Tangan kanannya yang memegang garpu
bergerak-gerak dengan ekspresif.
Tatsuya tidak bisa mendengar tepatnya apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu, hanya bisa mendengar suara tawa mereka. Tangannya baru terangkat akan mendorong pintu itu ketika tiba-tiba ia mengurungkan niat. Matanya terpaku pada tangannya yang terangkat.
Tangan itu masih mencengkeram kertas yang memuat hasil tes DNA yang baru diterimanya tadi pagi.
Selama beberapa detik tadi ia sempat melupakan hasil tes itu, tapi sekarang ia diingatkan lagi kepada mimpi buruk yang mendadak menjadi kenyataan ini.
Tidak, sekarang ini ia tidak sanggup menghadapi Tara Dupont. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ia masih belum memutuskan apa-apa.
Ia menurunkan tangan dengan perlahan dan tanpa suara ia pun membalikkan tubuh dan berlalu.
* * *
“Allô, Teman. Dari mana saja kau seharian ini?”
Tatsuya menoleh dan mendapati Sebastien sudah berdiri di depan meja kerjanya.
“Oh, halo, Sebastien,” balasnya pelan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Tara sudah
pulang.
“Dari mana saja kau seharian ini?” ulang Sebastien.
Tatsuya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ada sedikit urusan.”
Sebastien mengangguk-angguk, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin menyadari keengganan Tatsuya. Sebagai gantinya ia berkata, “Tadi Tara datang ke sini.”
Tatsuya mengangguk, tapi pandangannya menerawang. Ia sudah melihat Tara tadi dan sekarang ia sangat merindukan gadis itu. Perasaan ini membuatnya amat sangat tertekan.
Sebastien memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Hm? Kau tahu?”
Tatsuya mengangguk lagi. Kali ini ia menatap Sebastien untuk menegaskan. “Tadi aku melihatnya di ruang kerjamu,” sahutnya, berusaha mengendalikan suaranya tetap tenang dan datar.
“Lho? Lalu kenapa kau tidak masuk saja dan bergabung dengan kami?” tanya Sebastien heran.
Tatsuya tersenyum tipis. “Kalian sedang mengobrol. Aku tidak ingin mengganggu.”
Bukan, itu alasan yang lemah dan dibuat-buat. Kenyataannya adalah ia hanya tidak sanggup bertemu muka dengan Tara Dupont.
Sebastien menarik sebuah kursi dan duduk. Wajahnya terlihat serius. “Hei, Teman,” katanya dengan nada bersungguh-sungguh. “Kuharap kau tidak salah paham dengan apa yang kaulihat tadi.”
Tatsuya memandang Sebastien tidak mengerti.
“Tadi Tara datang untuk menemuimu. Karena kau tidak ada, aku menemaninya makan siang,” jelas Sebastien.
Tatsuya tersenyum. “Aku tahu, Sebastien. Aku sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu.”
Mereka
berdua terdiam. Tatsuya memandang ke luar jendela, tapi tidak
benar-benar memerhatikan sesuatu. Pandangannya kosong. Ia berharap
pikirannya juga bisa kosong, tidak serumit sekarang.
“Kau tahu, kau terlihat agak aneh belakangan ini.”
Tatsuya kembali menoleh menatap Sebastien dengan alis terangkat. “Aneh?” tanyanya. Tidak, ia tidak aneh seperti yang dikatakan Sebastien. Hanya saja dunianya runtuh dan ia terjebak di dalamnya. Sekarang ini ia sedang mencari jalan keluar dari kekacauan itu.
“Ada apa?” tanya Sebastien. “Ada masalah apa? Ada yang bisa kubantu?”
Tatsuya menghela napas. Ia tidak bisa menceritakannya. “Tidak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum untuk meyakinkan Sebastien. Dan dirinya sendiri.
“Tara juga mencemaskan dirimu,” tambah Sebastien. Ia mengamati reaksi Tatsuya.
Tatsuya
menunduk, lalu mengangguk-angguk pelan. “Aku hanya capek. Kurang tidur.
Tapi aku tidak apa-apa.” Ia menatap Sebastien. “Sungguh,” tambahnya.
“Bagaimana kalau kita minum-minum sore nanti?” usul Sebastien demi menaikkan sedikit semangat teman baiknya itu. Kelihatannya Tatsuya butuh sedikit minuman untuk menenangkan diri. Tapi kalau dinilai dari kondisinya sekarang, mabuk-mabukan juga tidak ada salahnya.
Tatsuya tertawa kecil. “Tidak, terima kasih.”
“He, kau yang harus traktir karena hari ini hari ulang tahunmu, kan?” kata Sebastien.
Tatsuya tertegun. Benar, hari ini hari ulang tahunnya. Bagaimana ia bisa lupa hari ulang tahunnya sendiri? Seharusnya ia merasa bahagia hari ini, tapi kenyataannya ia malah mendapat mimpi buruk. Ironis sekali hidup ini.
Sebelum Tatsuya bisa menanggapi kata-kata Sebastien, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Ia meraih benda itu dan melihat tulisan yang muncul di layar ponsel. Raut wajahnya berubah serius. Ia menatap Sebastien dan berkata, “Maaf, Sebastien. Aku harus menerima telepon ini.”
Sebastien memahami isyarat itu. Tatsuya ingin menjawab telepon itu tanpa didengar orang lain. Sebastien mengangguk dan bangkit dari kursi. “Baiklah, tapi ingat, Teman, percakapan ini belum selesai.”
Setelah Sebastien keluar dari ruangan dan menutup pintu, barulah Tatsuya menjawab telepon.
“Kau sudah menerimanya?” tanya Jean-Daniel Dupont di seberang sana. Suarnaya mendesak. Cemas.
“Ya,” gumam Tatsuya.
“Lalu?”
Tatsuya tidak menjawab. Hanya menarik napas. Ia tidak sanggup menjawab.
“Seperti yang kita perkirakan?” tanya Jean-Daniel Dupont lagi. Suaranya tidak lagi terdengar mendesak.
Tatsuya masih tidak bisa menemukan suaranya.
“Tatsuya,” panggil pria itu. Nadanya melembut. “Bagaimana keadaanmu?”
Tatsuya menopangkan kedua sikunya di meja dan sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel menekan keningnya.
Kacau, pikirannya sedang kacau, tapi ia tidak bisa mengatakannya.
“Kau mau membicarakannya?” Jean-Daniel menawarkan. Suaranya terdengar cemas. “Kita harus bicara, Tatsuya. Kau tahu itu.”
Apa yang bisa dibicarakan? Apakah bisa menyelesaikan masalah ini?
“Kau sudah memberitahu Victoria?”
Kali ini Tatsuya memberikan reaksi. “Tidak,” jawabnya cepat. “Kuharap Anda tidak melakukannya lebih dulu, Monsieur.”
“Dia harus tahu, Tatsuya.”
Tatsuya mengembuskan napas. Aku tahu. Demi Tuhan! Aku tahu....
“Biar aku sendiri yang memberitahunya,” putus Tatsuya. “Aku yang akan mengatakannya.”
Jean-Daniel Dupont tidak menjawab.
“Tolonglah, Monsieur,” pinta Tatsuya lirih. “Biar aku yang bicara dengan Tara.”
Setelah diam beberapa saat, Jean-Daniel berkata dengan suara serak, “Aku sungguh menyesal keadaannya menjadi seperti ini. Maafkan aku.”
Tatsuya memejamkan mata. Aku juga.
* * *
Sepanjang
hari Tatsuya membenamkan diri dalam pekerjaan, tidak membiarkan dirinya
beristirahat, karena begitu ia diam sebentar saja, pikirannya akan
melayang kembali ke masalah yang satu itu. Ia terus menyibukkan diri
tanpa henti, sampai ponselnya berbunyi. Ia menatap tulisan yang muncul
di layar ponsel dan dadanya tiba-tiba terasa sakit.
Tara.
Ia bimbang. Apakah ia akan menjawab telepon itu atau tidak. Akhirnya ia memutuskan membiarkan ponselnya terus berdering. Setelah beberapa lama, deringannya berhenti. Tatsuya menarik napas dan baru akan kembali melanjutkan pekerjaan ketika ponselnya berdering lagi.
Tatsuya merasa tidak tega. Akhirnya ia membulatkan tekad dan menjawab telepon itu.
“Allô?” Suaranya terdengar dingin di telinganya sendiri.
“Tatsuya, kenapa kau tadi tidak mengangkat teleponku?” Suara Tara yang ceria terdengar di ujung sana. Begitu mendengar suara yang begitu dirindukannya, Tatsuya langsung merasa sesak napas. Dadanya terasa berat.
Karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu, Tatsuya hanya bergumam tidak jelas dan bertanya, “Ada apa mencariku?”
“Bisa keluar malam ini?”
Tatsuya menunduk. “Tidak bisa.”
“Tidak bisa?” Nada kecewa terdengar dalam suara Tara.
“Maafkan aku. Banyak sekali pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini,” Tatsuya berbohong.
Ia merasa perlu berbohong walaupun berbohong tidak pernah membuatnya merasa lebih baik.
Apalagi berbohong kepada Tara.
“Kita bertemu setelah pekerjaanmu selesai,” desak Tara. Gadis itu tidak mau menyerah.
“Tidak apa-apa. Aku akan menunggumu.”
“Tara-chan, lain kali saja....”
“Tidak bisa,” potong Tara keras kepala. “Harus hari ini.”
Tatsuya tidak menjawab. Ia merasa keyakinan dirinya mulai goyah.
“Tapi, Tara-chan, aku sungguh-sungguh tidak tahu kapan pekerjaanku akan selesai.”
“Tidak apa-apa. Aku akan menunggu,” kata Tara tegas. “Datang saja kalau kau sudah selesai. Jam berapa pun. Aku akan menunggu.”
* * *
Tara
melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jam
19.15. Tatsuya belum terlihat di mana pun. Tara sendiri sudah tiba di bistro itu
satu jam sebelumnya. Kue ulang tahun yang tadi dibelinya sudah
dititipkan kepada pelayan. Begitu Tatsuya datang, ia akan memberi tanda
kepada pelayan untuk mengeluarkan kue itu. Ini akan menjadi kejutan bagi
Tatsuya.
Begitu ia mendengar dari Sebastien kalau hari ini hari ulang tahun Tatsuya, Tara segera membuat rencana. Ia pergi membeli kue dan juga hadiah. Ia memang agak kesulitan mencari hadiah yang cocok karena belum tahu apa yang disukai dan tidak disukai Tatsuya, tapi akhirnya ia menemukan sesuatu yang menurutnya cocok.
Akhir-akhir ini Tatsuya memang bersikap sedikit aneh, tetapi itu mungkin karena kelelahan. Tadinya laki-laki itu bahkan tidak mau diajak keluar. Tidak apa-apa. Tara memang tidak suka menunggu, karena menurutnya menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan di dunia. Tetapi demi merayakan ulang tahun Tatsuya, ia rela. Lagi pula tadi ia sudah berjanji akan menunggu, sampai jam berapa pun.
* * *
Tara kembali melirik jam tangannya. Hampir jam 20.00
Ia memandang berkeliling. Bistro itu ramai. Setiap hari bistro ini selalu dipadati pengunjung karena suasananya nyaman dan menyenangkan. Makanan yang disajikan juga sangat enak. Para tamu di sekelilingnya makan bersama pasnagan, teman atau keluarga. Hanya Tara yang duduk sendiri. Tiba-tiba saja ia merasa begitu kesepian. Kalau saja Tatsuya bisa cepat datang.
* * *
Jam 21.28. Tara melirik pintu masuk bistro.
Masih tidak terlihat batang hidung Tatsuya. Tara menarik napas dan
mengembuskannya dengan keras. Ia mengeluarkan ponsel dan menatap benda
itu.
Tidak, ia tidak akan menelepon Tatsuya. Tadi ia sudah bilang akan menunggu laki-laki itu.
Kalau Tara meneleponnya sekarang, akan terasa konyol. Ia melemparkan ponsel itu ke meja dan menggigit bibir dengan kening berkerut bimbang.
* * *
Jam 22.02. Bistro sudah
mulai sepi dan pelayan-pelayan sibuk membersihkan meja. Tara
mengembuskan napas panjang dan mengetuk-ngetuk ponsel yan gada di meja
dnegna ujung jari telunjuk.
“Cepatlah datang,” gumamnya pelan.
Lalu seakan menjawab doanya, terdengar denting bel halus pada saat pintu bistro terbuka. Tara mengangkat wajah dan melihat Tatsuya berdiri di sana. Begitu melihat sosok yang sudah begitu dikenalnya itu, rasa lega menyerbu dirinya. Rasanya ia bisa menangis. Ia begitu gembira sampai-sampai ia harus menahan diri supaya tidak berlari dan memeluk laki-laki itu.
Tara memasang ekspresi kecewa dan menatap Tatsuya ketika lkai-laki itu sudah berdiri di hadapannya. “Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu?” tanyanya.
Tatsuya tersenyum tipis. Ia terlihat sangat lelah. “Maafkan aku,” gumamnya.
“Tapi aku senang kau datang,” kata Tara sambil tersenyum lebar. “Aku tahu kau pasti datang.”
* * *
Tatsuya harus memaksa kakinya melangkah masuk ke bistro itu.
Ia sudah mengulur waktu selama mungkin. Ia tetap tinggal di kantor
walaupun pekerjaannya sudah selesai. Ia tidak ingin bertemu dengan Tara.
Ia berharap gadis itu tidak menunggunya. Tapi akhirnya ia tidak bisa
menahan diri untuk tidak pergi ke sana. Sepanjang perjalanan ia berharap
Tara sudah tidak ada di sana. Ia berharap gadis itu sudah pulang karena
sudah tidak sabar menunggu.
Tetapi begitu sampai di depan bistro, ia melihat Tara masih ada di sana. Sendirian. Tidak ada tamu lain selain gadis itu. Hatinya pun terasa sakit seakan diremas-remas.
Sepertinya malam ini ia harus memberitahu gadis itu tentang rahasia yang nyaris membuatnya gila ini. Tentang Tara, ayahnya, dan Tatsuya sendiri. Segitiga aneh yang melibatkan hubungan darah dan perasaan yan gtak terungkapkan. Tidak ada cara lain. Ia harus memberitahu Tara sebelum semuanya bertambah rumit, sebelum ia jatuh....
Tidak, sebenarnya ia sudah jatuh terlalu dalam. Tetapi mungkin bila ia bisa jujur pada gadis itu, ia bisa mencari jalan untuk merangkak keluar dari jurang yang amat dalam ini. Mungkin ia masih bisa menyelamatkan hatinya.
Entah berapa lama ia berdiri di sana, ia sendiri tidak tahu. Ia hanya berdiri di sana sambil berusaha menemukan kembali sisa-sisa kendali dirinya. Setelah merasa cukup tenang, ia melangkah masuk.
“Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu?” tanya gadis itu begitu Tatsuya menghampirinya. Tara menatap langsung ke matanya, dan ia takut gadis itu bisa membaca pikirannya.
Aku tahu. Maafkan aku.... Maafkan aku....
“Tapi aku senang kau datang.”
Tatsuya melihat Tara tersenyum. Senyum yang membuat Tatsuya merasa hatinya ditusuk-tusuk. Gadis itu sama sekali tidak marah padany akarena sudah menunggu berjam-jam.
“Aku tahu kau pasti datang,” tambah Tara yakin.
“Ada yang ingin kukatakan padamu,” kata Tatsuya sambil duduk di hadapan gadis itu, berusaha keras tidak menatap matanya. Ini harus diselesaikan sekarang, sementara ia masih punya keberanian.
“Tunggu dulu,” sela Tara. “Kau harus melihat kejutanku dulu.”
Tatsuya mengangkat alis. Kata-kata yang sudah tersusun di otaknya buyar. “Kejutan apa?”
“Perayaan ulang tahunmu,” sahut Tara ceria.
Tepat pada saat itu juga, seorang pelayan menghampiri meja dengan membawa kue dengan sebatang lilin menyala di atasnya.
Tatsuya terpana melihat kue yang diletakkan di depannya itu, terlebih lagi ketika tiga pelayan mulai menyanyikan lagu ulang tahun untuknya. Ia sampai kehilangan kata-kata.
“Aku membelinya tadi sore,” kata Tara setelah lagu berakhir.
“Sungguh,” gumam Tatsuya. “Kau tidak perlu repot-repot begitu.”
Tara menggeleng. “Tidak repot sama sekali. Hari ini hari ulang tahunmu. Tentu saja harus dirayakan.”
Tatsuya diam saja dan menatap kue di hadapannya yang bertuliskan “Selamat Ulang Tahun, Tatsuya.”
“Ucapkan satu permintaan sebelum meniup lilinnya,” kata Tara, menyadarkannya dari lamunan.
“Permintaan?”
Tara menatapnya dan mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Kau tentu tahu permintaan yang diucapkan saat kita berulang tahun akan selalu terkabul, bukan?”
Tatsuya mendengus pelan dan diam-diam tersenyum masam. Yang benar saja. Permintaan? Tentu saja dia punya permintaan. Ia sudah meneriakkan permintaannya dalam hati berulang-ulang selama beberapa hari terakhir ini. Ia bahkan yakin Tuhan pun bisa mendengar teriakan hatinya. Namun ia masih cukup waras untuk menyadari keinginannya tidak akan pernah terkabul. Sekarang ini ia bahkan sudah tidak berani bermimpi untuk berharap.
“Ayo, cepat,” desak Tara. “Nanti lilinnya meleleh.”
Tatsuya menurut. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian membuka mata dan meniup lilin di kue itu.
Tara dan pelayan-pelayan itu bertepuk tangan. Setelah menyalami Tatsuya, pelayan-pelayan tersebut meninggalkan mereka berdua.
“Apa yang kauminta tadi?” tanya Tara. Gadis itu ingin tahu, seperti biasa.
Tatsuya tersenyum dan mengulurkan tangan hendak menyentuh kepala Tara, tapi dengan cepat menyadari apa yang akan dilakukannya dan menarik kembali tangannya. Ia menggeleng dan mengalihkan pandangan dari wajah Tara. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Kalau kukatakan, harapanku tidak akan terkabul,” elaknya.
Tara tersenyum manis, lalu merogoh tas tangannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru dan menyerahkannya kepada Tatsuya.
“Hadiah,” katanya dengan senyum lebar.
Tatsuya menerima hadiah yang disodorkan dengna perasaan campur aduk.
“Baiklah,” kata Tara dengan mata berbinar-binar. “Semoga kau suka.”
Tatsuya melakukan seperti yang diminta. Ia membuka kotak kecil sederhana itu dan mengeluarkan sebuah jam saku antik berwarna emas, lengkap dengan rantainya. Dan di tutup jam saku itu terukir kata “Fujitatsu”.
“Selamat ulang tahun, Tatsuya,” kata Tara. “Aku memberimu jam saku itu supaay kau lebih memerhatikan waktu. Jangan bekerja terus-terusan. Kau harus ingat ada waktunya untuk istirahat.”
Tatsuya mengangkat wajah dan menatap langsung ke mata Tara. Gadis itu membalas tatapannya dengan senyum lebar yang selalu sanggup membuat Tatsuya melupakan semua beban masalah.
“Nah, sekarang apa yang ingin kaukatakan padaku tadi?” tanya Tara, menyadarkan Tatsuya akan kenyataan yang ada.
Tatsuya tidak langsung menjawab. Ia menatap gadis itu, lalu jam saku yang ada dalam genggamannya, dan kembali menatap Tara. Ia memaksakan seulas senyum tipis. “Akus enang melihatmu lagi.”
Tuhan, tolonglah dia.... Ia sungguh tidak bisa memberitahu gadis itu. Tidak bisa. Mulutnya seakan terkunci. Lidahnya seakan tidak berfungsi.
Tara mengangkat kedua alis, lalu tertawa.
Tuhan, tolonglah dia.... Ia tidak bisa memberitahu gadis itu bahwa mereka punya ayah yang sama.
Ia tidak bisa....
Lima Belas
“ANEH,” gumam Tara sambil menatap ponselnya.
“Kenapa?” tanya Élise tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop.
Tara mengerutkan kening dan menggigit-gigit bibir. “Ponselnya tidak aktif.”
“Ponsel siapa?”
“Tatsuya.”
Kali ini Élise memandang Tara sekilas, lalu kembali menatap layar laptop. “Mungkin dia sibuk dan tidak bisa menjawab telepon.”
Tara menopangkan kedua siku di meja dan memiringkan kepala. “Tadi Sebastien bilang Tatsuya pergi ke lokasi proyek. Bisa jadi dia memang sibuk.”
“Mm.” Élise mengangguk, tidak terlalu peduli dengan pacar temannya yang tidak mau menjawab telepon. Menurutnya itu hanya masalah biasa.
“Kau tahu....,” Tara memulai, tetapi ragu sejenak.
“Apa?”
Tara kembali mengerutkan kening. “Kau selalu berkata ini perasaanku saja, tapi aku benar-benar merasa Tatsuya berubah.”
Élise memandang temannya sekilas, lalu menutup laptop supaya bisa memusatkan perhatian pada Tara. “Coba katakan, berubah seperti apa?” tanyanya.
Tara mengangkat bahu. “Dia berubah pendiam,” kata Tara pelan. “Selalu melamun. Sepertinya dia sedang ada masalah berat, tapi tidak mau menceritakannya padaku. Kalau kutanya dia selalu bilang dia hanya capek.”
“Sejak kapan kau merasa dia berubah?”
“Hmm... Dia masih seperti biasa saat pesta ulang tahunmu,” jawab Tara sambil berpikir-pikir, lalu ia teringat sesuatu. “Ah, ayahku juga aneh.”
Alis Élise terangkat. Kenapa tiba-tiba pembicaraan ini jadi beralih ke ayah Tara?
“Ayahmu kenapa?” tanyanya.
“Ayahku pernah bertanya padaku tentang Tatsuya.”
“Lalu?”
“Biasanya dia tidak pernah mencampuri masalah pergaulanku.”
“Mungkin ayahmu bisa merasakan kau suka pada Tatsuya.”
Tara terdiam sejenak. “Entahlah,” katanya. “Tapi dia memang bertanya padaku. Dan aku menjawab aku menyukai Tatsuya.”
“Bagaimana reaksinya?”
“Gelisah. Sepertinya dia tidak senang.”
Mereka berdua tidak mengatakan apa-apa. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Kemudian
Tara menggeleng. “Tidak bisa. Aku penasaran sekali. Aku harus bertanya
pada ayahku. Dia harus menceritakan padaku apa yang sedang
dipikirkannya.”
* * *
Tara
tiba di kantor ayahnya. Setelah memberi salam pada resepsionis gedung
yang sudah mengenalnya, ia langsung masuk ke lift. Ruangan sekretaris
kosong karena saat itu jam makan siang. Tara langsung berjalan ke kantor
ayahnya. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu. Baru saja ia akan membuka
mulut untuk menyapa ketika ia mendengar suara ayahnya.
“Kau belum memberitahunya?”
Tara melongok ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas namun rapi itu. Ayahnya duduk membelakangi meja kerja, membelakangi pintu, dan ternyata sedang berbicara di telepon.
“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” kata ayahnya lagi. Suaranya rendah dan berat. “Tapi bagaimanapun juga, kau tahu kita harus memberitahunya.”
Tara mengerjapkan mata. Memberitahukan apa kepada siapa?
“Tatsuya.”
Mendengar ayahnya menyebut nama Tatsuya, Tara langsung bergeming dan menahan napas.
Apakah ayahnya sedang berbicara dengan Tatsuya?
“Tatsuya, aku tahu apa yang kaurasakan padanya. Dan aku yakin kau juga tahu apa yang dirasakannya terhadapmu. Kau mau membiarkannya terus seperti ini?”
Tara tetap diamt idak bergerak. Otaknya berputar keras. Apa yang sedang dibicarakan ayahnya?
“Kau tahu ini tidak boleh.”
Apa yang tidak boleh?
“Baiklah, baiklah... Aku tidak akan memaksamu. Aku yakin kau tahu apa yang terbaik dalam situasi seperti ini. Aku hanya tidak mau Victoria terluka.”
Aku? Tara terkesiap. Mereka sedang membicarakan dirinya?
Ia masih menahan napas, masih berdiri di ambang pintu dengan sebelah tangan mencengkeram pegangan pintu, dan belum pulih dari rasa terkejutnya ketika ayahnya memutar kursi kembali menghadap meja kerja untuk mengembalikan gagang telepon ke tempatnya—dan menghadap ke pintu. Saat itulah ia melihat Tara berdiri mematung di sana.
“Ma chérie?” Kekagetan ayahnya tidak sempat ditutupi. Tentu saja ia tidak pernah menyangka putrinya akan berdiri di sana dan mendengarkan pembicaraannya.
Tara mengerutkan kening dan menatap ayahnya. Ia bisa merasakan ayahnya menyembunyikan sesuatu darinya. Dan ia ingin tahu sekarang juga.
“Papa sedang bicara dengan siapa tadi?” tuntutnya. Ia penasaran, tapi juga takut mendengar jawaban ayahnya.
“Ma chérie...” Ayahnya bangkit dari kursi dengan pelan.
“Dengan Tatsuya?” desak Tara. Ayahnya tidak langsung menjawab, berarti memang benar ada yang disembunyikannya.
Bahu ayahnya merosot. “Apa yang kaudengar tadi?”
Tara menggeleng-geleng. “Papa membicarakan tentang aku.”
Ayahnya berjalan mengelilingi meja dan menghampirinya.
“Papa menyuruhnya mengatakan sesuatu kepadaku,” kata Tara sambil menatap mata ayahnya. Ia mundur selangkah. “Apa itu?”
Ayahnya tidak membalas tatapannya dan tidak menjawab, juga tidak berusaha mendekati Tara lagi.
“Papa,” desak Tara. “Apa yang ingin Papa katakan padaku? Jangan-jangan Papa melarangku berhubungan dengan Tatsuya?”
Kali ini ayahnya memandangnya dan Tara tercekat. Ada apa ini? Sepertinya masalah ini sangat serius. Rasa takut mulai merayapi dirinya.
“Benarkah? Papa ingin aku berhenti menemuinya?” gumam Tara kecewa. Biasanya ayahnya tidak pernah mencampuri urusan pribadinya. Kenapa sekarang?
Ayahnya menarik napas. “Ma chérie,” kata ayahnya lirih. “Papa tidak memintamu berhenti menemuinya.”
“Lalu?”
Ayahnya menatap Tara dan berkata, “Jangan menyukainya.”
“Apa?” Tara semakin bingung. Ia mengangkat kedua tangan dengan gerakan putus asa. “aku tidak mengerti. Kenapa?”
“Pokoknya, jangan menyukainya,” kata ayahnya. Kali ini dengan suara yang sedikit keras. Ia membalikkan badan.
Tara mendengus dan tertawa sumbang. “Aneh sekali. Ini seperti cerita opera sabun murahan di televisi.”
Ayahnya tidak menjawab.
“Kenapa aku tidak boleh menyukainya?” desak Tara lagi. Suaranya semakin keras. Ia tak mau menyerah sebelum tahu alasan di balik semua omong kosong ini.
“Jangan katakan itu, ma chérie,” kata ayahnya pelan.
Tara mengangkat bahu tidak peduli. Ayahnya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Itu membuatnya makin frustrasi. “Jangan katakan apa? Bahwa aku suka padanya? Tapi aku memang menyukainya, Papa.”
Ayahnya menggeleng-geleng. “Jangan. Demi Tuhan! Jangan menyukainya seperti itu.”
“Kenapa? Katakan padaku kenapa tidak boleh?” seru Tara putus asa. “Papa pasti punya alasan!”
Tepat saat itu ponsel Tara berdering. Tara memejamkan mata kuat-kuat dan mengatur napas.
Dengan marah ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Ia baru akan mematikan ponsel itu ketika melihat tulisan yang muncul di layar.
Sebastien.
Ia menempelkan ponsel ke telinga dan langsung berkata, “Sebastien, maaf. Nanti—Apa?”
Begitu mendengar apa yang dikatakan Sebastien, seluruh tubuh Tara seakan disiram air dingin.
“Dia terluka? Dia tidak apa-apa? Apa yang terjadi?... Ya, ya... Aku akan ke sana... Sekarang.”
Setelah menutup ponselnya, ia mendengar ayahnya bertanya, “Ada apa?”
“A-ada kecelakaan di lokasi proyek,” sahut Tara panik. Pertengkarannya dengan ayahnya terlupakan seketika. “Tatsuya...”
Ayahnya mencengkeram lengannya. “Tatsuya kenapa?”
“Sebastien hanya bilang sekarang sedang dibawa ke... eh, rumah sakit,” kata Tara dengan susah payah. Otaknya kacau. “Aku harus ke sana sekarang.”
“Papa akan mengantarmu.”
Saat itu Tara sudah kalut dan tidak sempat merasa heran kenapa ayahnya juga ikut panik.
Enam Belas
“SEBASTIEN!”
Mendengar suara Tara, Sebastien segera mengangkat kepala dan berdiri dari kursi. Tara berlari-lari menghampirinya dengan raut wajah cemas.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Tara dengan panik dan napas terengah.
Sebastien memegang kedua bahu Tara dan berusaha menenangkannya. “Jangan khawatir.
Dokter sedang bersamanya sekarang ini.”
“Apa yang terjadi?” Kepanikan Tara masih belum mereda. Matanya yang bersinar ketakutan menatap lurus-lurus ke mata Sebastien.
“Duduk dulu,” kata Sebastien sambil menuntun Tara ke kursi. “Tatsuya tertimpa balok kayu.”
Napas Tara langsung tercekat dan Sebastien cepat-cepat menambahkan, “Tapi tidak apa-apa.
Jangan panik dulu. Tadi kata Dokter tangannya retak, tapi tidak parah. Luka di kepalanya juga bisa dijahit tanpa masalah. Selain itu dia hanya mengalami luka ringan di bagian punggung.”
Dengan cepat Tara bangkit dari kursi. “Aku boleh melihatnya sekarang?”
Sebastien menarik tangan Tara supaya duduk kembali dan menepuk-nepuk tangannya.
“Sekarang dokter sedang memeriksanya. Sabar saja. Tatsuya tidak apa-apa.”
“Kau yakin?” tanya Tara cemas.
Sebastien mengangguk. Saat itulah ia baru melihat ayah Tara juga ada di sana. Ia berdiri dan menyapa pria itu.
“Anda juga datang, Monsieur?” kata Sebastien.
Jean-Daniel Dupont mengangguk muram. “Kebetulan Victoria sedang bersamaku ketika kau menelepon.”
Sebastien mengangguk-angguk.
“Siapa dokter yang merawatnya?” tanya Jean-Daniel Dupont.
“Dokter Laurent Delcour,” jawab Sebastien.
Jean-Daniel Dupont mengangguk. “Dia teman baikku. Dia dokter yang cekatan.” Ia menepuk-nepuk bahu putrinya dengan pelan. “Tenang saja.”
Tak lama kemudian seorang dokter dan dua perawat keluar dari kamar rawat. Tara langsung menghambur ke arah dokter berambut putih dan berkacamata itu.
“Dokter Delcour, bagaimana keadaannya?” tanya Tara cepat.
Dokter Laurent Delcour membetulkan letak kacamatanya dan menatap gadis yang sudah dikenalnya sejak dulu itu. “Tara?”
“Bagaimana keadaannya, Laurent?”
Dokter itu mengalihkan pandangan ke arah Jean-Daniel Dupont. “Jean-Daniel? Kalian mengenal pasien ini?”
Tara mengangguk-angguk cepat.
Dokter Laurent Dupont tersenyum menenangkan. “Dia baik-baik saja. Untunglah balok kayu itu tidak menghantam bagian yang vital. Dia hanya mengalami gegar otak ringan dan luka-lukanya sudah dibalut.”
“Boleh aku melihatnya sekarang?” tanya Tara.
“Silakan saja,” sahut sang dokter. “Tetapi dia belum sadarkan diri. Biarkan saja dia beristirahat sebentar.”
Tanpa berkata apa-apa, Tara bergegas masuk ke kamar tempat Tatsuya dirawat. Sebelum masuk ia sempat mendengar Dokter Laurent Delcour bertanya pada ayahnya, “Kalian sudah menghubungi keluarganya, Jean-Daniel?”
* * *
Tatsuya
terbaring di tempat tidur dengan tangan kiri dibebat rapat dan kepala
diperban. Tara berdiri diam di tepi ranjang, tidak mau membangunkan
laki-laki itu. Kelihatannya Tatsuya baik-baik saja. Napasnya teratur dan
tidak ada luka mengerikan di wajah dan tubuhnya.
“Bodoh,” gumam Tara pada Tatsuya yang sedang tertidur. “Kenapa kau bisa sampai terluka?”
Yang ditanya hanya diam dengan mata terpejam.
“Kau taruh di mana matamu? Kenapa tidak hati-hati?” gumam Tara lagi. “Kau tahu aku sangat ketakutan? Sekali lagi kau begitu akan ku... Aku akan...”
“Kenapa kau marah-marah pada orang sakit?” sela Sebastien pelan.
Tara mengamati Tatsuya yang terbaring dengan mata terpejam. Dadanya turun-naik dengan teratur seiring dengan napasnya. Kelihatannya tenang dan damai. Tara merasa sangat lega.
“Apakah tidak apa-apa dia tidak sadarkan diri?” tanya Tara tanpa mengalihkan tatapannya dari Tatsuya.
Sebastien tahu Tara berbicara kepadanya. Ia mengangkat bahu walaupun Tara tidak melihatnya dan menjawab, “Entahlah. Tapi kurasa tidak apa-apa. Dokter Delcour juga bilang sebaiknya dia beristirahat.”
“Oh?”
“Dia memang sangat butuh istirahat. Kau tahu sendiri belakangan ini dia bekerja tanpa henti dan hanya tidur beberapa jam selama berhari-hari,” Sebastien melanjutkan. “Jadi biarkan saja dia tidur.”
Tara mendesah dan mengangguk. “Kau benar,” katanya. “Syukurlah dia tidak terluka parah.” Ia menyentuh tangan Tatsuya yang dibebat.
“Entah apa yang sedang dipikirkannya waktu itu,” gerutu Sebastien pelan.
Tara menoleh ke arahnya. “Apa?”
Sebastien mendecakkan lidah dengan menyesal. Ia mengayunkan sebelah tangannya ke arah Tatsuya yang terbaring di ranjang. “Entah apa yang sedang dipikirkannya waktu itu,” ulangnya. “Dia hanya berdiri terpaku di tempat sambil melamun. Walaupun kami sudah berteriak-teriak supaya dia menghindar, tapi dia sama sekali tidak mendengar.”
Tara kembali memandang Tatsuya. Ia teringat kejadian di kantor ayahnya sebelum ia menerima telepon dari Sebastien. Apakah kecelakaan ini ada hubungannya dengan telepon ayahnya dengan Tatsuya? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang mengganggu pikiran kedua pria itu? Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Ia harus berbicara lagi dengan ayahnya. Ayahnya harus menjawab. Harus.
“Sebastien, kau masih tetap di sini, bukan?” tanya Tara.
Sebastien mengangguk. “Tentu saja. Kau mau ke mana?”
“Aku ingin mencari ayahku dan Dokter Delcour,” katanya pendek. Ia berjalan ke pintu dan membukanya. Ia berbalik. “Aku akan segera kembali.”
Ia diberitahu salah seorang perawat bahwa Dokter Delcour ada di ruang kerjanya. Setelah berterima kasih pada perawat itu, Tara berjalan ke ruang kerja Dokter Delcour. Ia yakin ayahnya sekarang sedang bersama dokter itu. Kedua pria itu bersahabat baik sejak masih muda, hampir seperti saudara kandung.
Tara sudah tahu letak ruang kerja Dokter Delcour, jadi sama sekali tidak kesulitan mencarinya. Ia membelok dan mempercepat langkah. Ruang kerja Dokter Delcour ada di ujung koridor ini.
Begitu ia tiba di depan pintu ruang kerja sang dokter, ia menyadari pintu tidak tertutup rapat. Saat itu juga ia mendengar suara Dokter Delcour.
“Kau serius, Jean-Daniel?”
Kening Tara berkerut. Suara Dokter Delcour terdengar kaget. Ia bimbang sesaat. Apakah ia akan menguping diam-diam?
Ya.
Ia menarik kembali tangannya dari gagang pintu dan memasang telinga dengan hati-hati sekali. Kedua orang yang berada di ruangan itu tidak menyadari keberadaannya. Ia bisa melihat ayahnya duduk membelakangi pintu dan Dokter Delcour duduk bersandar di kursinya sambil menggeleng-geleng.
Apa yang sedang mereka bicarakan?
“Kau sedang mengatakan padaku bahwa pasien bernama Tatsuya Fujisawa itu anak Sanae Nakata?” tanya Dokter Delcour dengan nada tidak percaya.
Kerutan di kening Tara semakin dalam. Apakah mereka mengenal almarhumah ibu Tatsuya? Bagaimana bisa?
“Begitulah, Laurent,” sahut ayah Tara. Suaranya berat dan muram. “Aku juga sama terkejutnya sepertimu sekarang—bahkan lebih—ketika dia datang mencariku.”
Dokter Laurent Delcour mengerutkan alis. “Untuk apa dia mencarimu?”
“Karena Sanae Nakata sudah meninggal setahun yang lalu. Kanker.”
“Oh,” gumam Dokter Delcour, jelas-jelas terkejut. Kedua pria itu sama-sama terdiam sejenak, lalu Dokter Delcour kembali berkata dengan nada menerawang, “Bagaimanapun kalian sudah lama kehilangan kontak. Tapi kenapa anaknya bisa datang mencarimu?”
“Karena dia ingin aku membaca surat yang ditulis almarhumah ibunya.”
Dokter Delcour terlihat bingung. “Teman, jelaskanlah padaku. Aku tidak mengerti.”
Tara melihat ayahnya menutup wajah dengan kedua tangan dan mendesah keras. Jelas sekali kalau ayahnya sedang gelisah dan putus asa.
“Aku butuh nasihatmu, Laurent,” kata ayahnya tanpa daya. “Aku bingung setengah mati.”
Dokter Delcour tetap diam dan membiarkan temannya menumpahkan isi hatinya.
“Masalahnya adalah Victoria,” kata ayah Tara pelan.
Tara mengerjapkan mata. Dirinya? Ada apa dengan dirinya? Tanpa disadarinya, jantungnya berdebar keras dan tangannya terkepal karena terlalu tegang.
“Ada apa dengan Tara?” Dokter Delcour menyuarakan pikiran Tara.
“Putriku menyukainya.”
Dokter Delcour mengangkat bahu. “lalu? Kau keberatan karena kau dulu sempat punya hubungan dengan Sanae? Bagaimanapun itu hanya hubungan singkat saat liburan.”
Tara tidak berani bernapas. Ayahnya memang mengenal almarhum ibu Tatsuya. Dan mereka berdua sempat punya hubungan?
Karena yang ditanya tidak menjawab, Dokter Delcour melanjutkan, “Astaga! Teman, yang benar saja! Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Walaupun aku hanya tahu wanita itu dari cerita-ceritamu, tapi aku yakin dia tidak keberatan putrimu berhubungan dengan putranya.”
Tara mendengar ayahnya tertawa sumbang. Tawa putus asa yang dipaksakan. Nyaris mirip dengusan.
“Aku juga tidak akan keberatan dengan hubungan mereka,” sahut ayahnya pelan, namun jelas, “kalau Tatsuya bukan anakku juga.”
Apa?!
Tara tercengang. Jantungnya serasa berhenti berdebar. Napasnya tercekat. Ia tidak percaya pada pendengarannya. Apa yang dikatakan ayahnya tadi?
Dokter Delcour juga terperanjat. “Apa katamu?”
Ayah Tara menjelaskan dengan nada pasrah. “Dia membawa surat yang ditulis ibunya sebelum meninggal. Dia memintaku membacanya. Di dalam surat itu Sanae menulis dengan jelas sekali bahwa aku adalah ayah kandung Tatsuya. Selama ini aku sama sekali tidak tahu Sanae ternyata hamil. Dia tidak memberitahuku. Kami kehilangan kontak begitu saja setelah aku meninggalkan Jepang.”
Dokter Delcour tidak bisa berkata-kata.
“Tatsuya datang karena ingin menemuiku,” lanjut ayah Tara dengan nada datar yang sama, seakan sedang melamun. “Dia sama sekali tidak meminta apa pun dariku. Ia bahkan tidak butuh pengakuanku karena katanya dia sudah punya ayah yang mengasihi dan membesarkannya selama ini. Katanya dia hanya ingin bertemu denganku sekali saja. Hanya itu.
“Tentu saja aku terguncang mendengar berita itu, aku bisa menerimanya. Aku bersedia memikul tanggung jawab atas keadaan ini. Semuanya bisa diatasi... sampai aku tahu Victoria ternyata sudah mengenal Tatsuya. Dan hubungan mereka membuatku cemas.”
“Kau yakin dia anak kandungmu?” tanya Dokter Delcour hati-hati. Pertanyaan yang wajar mengingat situasi yang mereka hadapi. Pertanyaan yang juga mengandung harapan.
Ayah Tara mengangguk lemah. “Begitu tahu Victoria putriku, Tatsuya sendiri yang meminta tes DNA. Aku bisa merasakan rasa frustrasinya, Laurent. Dan begitu menerima hasil tesnya, aku tahu harapannya hancur. Dia memang putraku.”
Tara menyadari suara ayahnya bergetar ketika berkata, “Semua ini terjadi karena salahku. Kau juga tahu, bukan? Aku telah menghancurkan putraku. Dan kalau Victoria tahu tentang ini, dia juga akan hancur. Laurent, aku menghancurkan kedua anakku. Darah dagingku sendiri.”
Kaki Tara mendadak lemas. Ia memutar tubuh dan harus bersandar di tembok supaya tidak jatuh. Apa yang dikatakan ayahnya tadi...? Putranya...? Tatsuya?
Ia merasa pusing, seakan seluruh darah di tubuhnya terserap keluar. Tangannya dingin dan selain itu ia tidak bisa merasakan apa pun. Bahunya tegang. Dadanya berat sekali. Paru-parunya tidak mau berfungsi. Ia tidak bisa bernapas.
Kepalanya serasa berkabut. Tidak bisa berpikir apa pun.
Pandangannya buram. Tidak bisa melihat apa pun.
Telinganya berdenging. Tidak bisa mendengar apa pun.
Ia berbalik dengan pelan, berjalan menjauhi pintu dengan linglung. Baru berjalan beberapa langkah, kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya dan ia jatuh terduduk di lantai. Kepalanya disandarkan ke dinding. Matanya menatap kosong.
Putra ayahnya... Tatsuya... Putra ayahnya... Putra ayahnya...
Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya. Kemudian banyak hal yang bermunculan dalam ingatannya.
Tatsuya pernah bercerita ia mencari cinta pertama ibunya, sekaligus ayah kandungnya....
Aku mencari cinta pertama ibuku....
Kekagetan Tatsuya dan ayahnya ketika mereka bertemu di La Vue pada malam ulang tahun Élise....
Aku pernah mendengar ayahmu adalah... eh, Jean-Daniel Lemercier yang punya banyak restoran di Prancis....
Tatsuya yang mulai bersikap aneh dan menjaga jarak....
Kalau memang boleh, aku tidak berniat melepaskan diri....
Ayahnya yang melarangnya berhubungan dengan Tatsuya....
Jangan menyukainya.... Jangan. Demi Tuhan! Jangan menyukainya seperti itu....
Tiba-tiba saja Tara tahu kenapa sejak pertama kali bertemu Tatsuya, ia merasa laki-laki itu sepertinya tidak asing. Dulu ia tidak tahu kenapa, tetapi sekarang semuanya mendadak jelas.
Tatsuya mengingatkan Tara pada ayahnya!
Caranya berjalan, caranya tersenyum, caranya berbicara. Dan matanya. Astaga! Mata itu.
Mata Tatsuya sama dengan mata Jean-Daniel Dupont. Sama dengan mata Tara sendiri. Mereka bertiga memiliki mata berwarna abu-abu.
Ternyata bukan lensa kontak... Tatsuya tidak memakai lensa kontak. Tara baru menyadari Tatsuya tidak pernah berkata ia memakai lensa kontak. Tara sendiri yang beranggapan begitu.
Kenapa baru sekarang ia menyadarinya?
Kenapa harus Tatsuya?
Tara menekan telapak tangannya ke dada. Sakit...
Tujuh Belas
TARA tidak kembali ke kamar rawat Tatsuya. Ia langsung berjalan keluar dari rumah sakit. Kepalanya sakit dan jantungnya berdebar cepat sekali. Terlalu cepat. Ia perlu berpikir. Sendirian.
Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di apartemennya. Dalam keadaan setengah sadar ia masuk ke kamar tidur dan duduk meringkuk di ranjang. Tetap diam seperti itu dengan pandangan kosong.
Entah sudah berapa lama ia duduk diam seperti itu. Keheningan yang menyelimuti apartemennya tiba-tiba dipecahkan dering ponsel. Tara tersentak dan sesaat kesadarannya kembali. Ia baru menyadari langit di luar jendela sudah gelap dan kamar tidurnya juga gelap gulita. Pasti sudah lama ia duduk seperti itu. Ia tidak menghitung waktu. Ia juga tidak peduli.
“Allô?” katanya begitu ponsel sudah menempel di telinga. Semuanya terdengar kering.
“Kau ada di mana?” tanya Sebastien langsung. Tara bisa membayangkan Sebastien pasti kebingungan.
Tara tidak menjawab.
Sebastien juga tidak menunggu jawabannya. “Tatsuya sudah sadar,” katanya cepat dan lega.
Kening Tara berkerut dan ia menelan ludah. Kenapa begitu mendengar nama itu saja hatinya terasa perih?
“Allô? Tara, kau dengar? Tatsuya sudah sadar,” ulang Sebastien.
“Mm,” gumam Tara dengan napas tercekat.
“Aku akan mengantarnya pulang nanti. Kau akan datang?”
Tara berusaha mengatur napasnya dan memaksa dirinya berkata, “Tidak... Aku tidak bisa ke sana sekarang.”
“Kenapa?”
“Ada... sedikit urusan,” elak Tara. “Aku akan menjenguknya besok.”
Bohong... Itu bohong... Ia tidak akan siap bertemu dengan Tatsuya besok.
“Oh?” Sebastien terdengar heran.
“Dia baik-baiks aja?” tanya Tara.
“Ya, dia sehat sekali. Dia bahkan sudah tidak sabar ingin keluar dari rumah sakit.”
Tara mengembuskan napas lega. “Baguslah.”
“Ada apa, Tara?”
Tara agak kaget mendengar pertanyaan Sebastien, lalu ia ingat Sebastien adalah orang yang paing memahami dirinya di dunia ini. Tentu saja Sebastien bisa merasakan kegugupan Tara, keengganan Tara pergi ke rumah sakit, kebisuan Tara.
“Tidak apa-apa,” Tara berbohong lagi. “Aku sedang sibuk sekarang. Nanti akan kutelepon lagi, Sebastien.”
Tara langsung menutup ponsel dan mematikannya. Ia tidak ingin diganggu. Oleh siapa pun. Ia butuh sendirian.
* * *
Tara
tidak tidur semalaman. Anehnya ia tidak mengantuk, hanya saja ia merasa
tidak bertenaga, tidak bisa dan tidak ingin melakukan apa pun. Tetapi
tentu saja itu tidak mungkin. Ia masih harus siaran, kalau tidak Charles
akan mengamuk. Dan ia harus ceria. Jangan lupa itu.
Sepanjang hari ia menghindari telepon dari Sebastien dan ayahnya. Juga Tatsuya. Oh ya, laki-laki itu juga menelponnya, tapi ia tidak sanggup menjawab telepon siapa pun. Ia takut dirinya tidak akan kuat menghadapi kenyataan. Akhirnya ia mematikan ponsel dan menjejalkannya ke dalam laci meja kerja.
Sepanjang hari itu Tara bekerja seperti orang linglung. Saat siaran ia memaksakan diri tersenyum dan pura-pura ceria, tetapi begitu selesai siaran, ia kembali seperti mayat hidup.
“Tara, ada apa denganmu hari ini?” tanya Élise ketika Tara kembali ke meja kerjanya. “Kau sakit?”
Tara tidak menatap temannya. Ia hanya menggeleng pelan dan duduk bersandar.
“Biasanya suaramu sudah terdengar ke mana-mana dan kau selalu tidak bisa diam,” desak Élise sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia semakin khawatir melihat tindak-tanduk temannya. “Hari ini kau bahkan tidak bersuara. Ada apa?”
Tara menyunggingkan senyum tipis dan menggeleng. “Tidak apa-apa, Élise.” Ia tidak bisa menceritakannya pada Élise. Tidak kepada siapa pun.
Élise masih ingin mendesak Tara, tetapi ia harus siaran sekarang juga. Akhirnya ia menyerah dan berkata, “Setelah siaran nanti kau harus menceritakan segalanya kepadaku. Aku tidak tahan melihatmu begini.”
Tara tidak menjawab. Juga tidak memandang temannya.
Élise mengamati temannya dengan prihatin. Entah apa yang mengganggu pikiran Tara, tapi itu pasti masalah yang sangat berat sampai-sampai ia tidak bisa membicarakannya.
“Kau bisa percaya padaku, Tara,” kata Élise lagi karena merasa temannya sedang membutuhkan dukungan.
Tara memandang Élise sekilas dan menunduk kembali. Kemudian ia memejamkan mata dan menggeleng pelan.
“Ada apa?” tanya Élise cemas.
“Kepalaku pusing,” gumam Tara sambil memijat-mijat pelipisnya. Kemudian ia bangkit dari kursi dan meraih tas. “Maaf. Aku pergi dulu.”
Élise terlalu bingung sampai tidak bisa berkata apa-apa dan hanya memandangi Tara yang berjalan keluar dari ruangan. Ada apa dengan Tara? Apakah tadi ia mengucapkan kata-kata yang salah?
* * *
Ke mana Tara?
Tatsuya memasukkan kembali ponselnya ke saku jas. Gerakannya agak kaku karena tangan kirinya yang dibebat dan bahunya yang masih sakit. Sejak ia keluar dari rumah sakit, ia belum berhasil menghubungi Tara.
Tatsuya sudah mendengar dari Jean-Daniel Dupont bahwa Tara tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka di telepon. Jean-Daniel menceritakan apa yang terjadi kepada Tatsuya dan meyakinkannya ia sama sekali belum mengatakan apa pun kepada Tara.
Tatsuya teringat sifat Tara yang gampang penasaran. Kalau gadis itu memang belum tahu yang sebenarnya, seharusnya sekarang ini ia sedang berusaha mencari tahu. Seharusnya sekarang ini ia sedang merongrong ayahnya, atau bahkan Tatsuya. Bukannya menghilang seperti ini. Tatsuya sudah menelepon ke stasiun radio dan Élise berkata Tara sudah pulang dari tadi. Sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Pergi begitu saja.
Ke mana gadis itu?
Tiba-tiba Tatsuya ingat. Mungkinkah dia ada di sana?
* * *
Tidak seperti biasanya, berdiri di puncak Arc de Triomphe dan memandangi kota Paris dari ketinggian tidak memberikan kedamaian.
Tara datang ke tempat itu untuk menenangkan diri dan berpikir, tetapi setelah begitu lama berdiri di sana, ia tetap belum memutuskan apa pun. Ia masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya, masih belum bisa menerima kenyataan, masih berharap semua ini mimpi buruk dan ia akan segera terbangun.
Pikirannya kosong, karena hati kecilnya menolak berpikir. Ia tidak merasakan apa pun, karena sarafnya menolak merasakan. Lebih baik ia tidak berpikir. Lebih baik sarafnya mati rasa. Kalau tidak, ia takkan sanggup menanggung rasa sakit ini. Terlalu besar.
Sudah berapa lama ia berdiri di sini? Sepertinya akhir-akhir ini waktu berlalu begitu saja tanpa sepengetahuannya. Tetapi ia menikmati kesunyian dan kesendiriannya.
“Sudah kuduga kau ada di sini.”
Suara itu menembus benteng kabut hitam di sekeliling Tara. Ia mengangkat wajah dan menoleh dengan cepat. Napasnya tercekat ketika mendapati Tatsuya berdiri di sampingnya.
Tara terpana. Apakah ia sedang bermimpi? Mungkin saja. Tatsuya menatapnya dengan matanya yang lembut, tersenyum kepadanya dengan cara yang sudah sangat dikenal... dan disukainya.
Lalu Tatsuya mengulurkan tangan kanannya dan membelai kepala Tara. Tara bisa merasakan sentuhan itu. Ternyata ini bukan mimpi. Tatsuya sungguh ada di sampingnya, tersenyum kepadanya, berbicara kepadanya.
“Kau tahu berapa lama aku mencarimu?” tanya Tatsuya sambil mengembuskan napas. “Aku sudah berlari mengelilingi kota Paris demi mencarimu.”
Begitu melihat laki-laki itu dan mendengar suaranya, mendadak saraf Tara kembali bekerja.
Berbagai macam perasaan membanjiri dirinya. Saat itulah ia menyadari betapa ia merindukan Tatsuya. Amat sangat...
Tatsuya menarik kembali tangannya dan memasang tampang heran. “Kenapa diam saja? Tidak mau bicara padaku?”
Tara mendapati dirinya tersenyum tipis dan bergumam, “Berlari keliling Paris?”
Tatsuya tertawa. “Kau tidak percaya? Tidak percaya?”
Tanpa menunggu jawaban Tara, ia meraih sebelah tangan Tara dan ditempelkan di dadanya.
Tara terlalu kaget untuk bereaksi. Matanya terbelalak menatap mata Tatsuya, mulutnya mendadak kering dan napasnya tertahan.
“Kau bisa merasakan debar jantungku?” tanya Tatsuya pelan. Matanya menatap ke dalam mata Tara.
Telapak tangannya menempel di dada Tatsuya dan tangannya gemetar dalam genggaman Tatsuya. Ia bisa merasakan debar jantung laki-laki itu. Berdebar kencang di bawah telapak tangannya.
“Kau merasakan jantungku berdebar keras? Cepat?”
Suara Tatsuya seakan menghipnotisnya. Tara tidak bisa mengalihkan tatapannya dari mata Tatsuya. Ia juga tidak bisa menjawab.
“Ini karena dirimu.”
Tara menahan napas. Ia bisa merasakan debar jantung Tatsuya, tetapi tidak bisa merasakan debar jantungnya sendiri.
Tatsuya tersenyum. “Ini karena aku telah berlari engelilingi Paris demi mencarimu. Kau percaya sekarang?”
Laki-laki itu begitu manis. Begitu baik. Hati Tara sakit sekali karena perasaan yang dirasakannya terhadap Tatsuya. Air mata mulai membasahi pipinya.
“Jangan menangis,” gumam Tatsuya smabil menghapus air mata Tara dengan ibu jari.
Mendengar ucapan itu, air matanya bukannya berhenti, malah mengalir semakin deras.
“Aku minta maaf karena membuatmu cemas,” kata Tatsuya sungguh-sungguh. “Tapi keadaanku baik-baik saja. Sungguh. Dokter juga bilang tanganku hanya perlu dibebat selama tinggal minggu. Aku baik-baik saja.”
Laki-laki itu salah mengerti, tapi Tara tidak berusaha menjelaskan. Biarlah Tatsuya mengira ia menangis karena alasan itu, karena bagaimanapun juga ia tidak bisa menjelaskan alasan sebenarnya.
Sebelum Tara sempat menyadarinya, Tatsuya telah melingkarkan sebelah lengan di pundaknya. Tatsuya memeluknya sebelum ia bisa menolak. Tetapi ia tahu ia tidak mungkin bisa menolak.
“Jangan menangis lagi,” bisik Tatsuya sambil tetap mendekapnya. “Aku minta maaf.”
Tara menangis di bahu Tatsuya. Air matanya tidak mau berhenti. Mengalir terus tanpa bisa ditahan. Ia berharap air mata itu bisa meredakan rasa sakit di dadanya, tetapi tidak bisa.
Semakin ia menangis, semakin sakit dadanya.
* * *
Tatsuya
baru menyadari ia sangat merindukan Tara. Ia baru menyadarinya ketika
akhirnya menemukan gadis itu berdiri di puncak Arc de Triomphe. Melihat
punggung gadis itu saja bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Saat
itu juga ia menyadari sia-sia saja ia berusaha menghindari Tara selama
ini. Ia bisa saja menghindari gadis itu, tapi ia tidak bisa menghindari
perasaannya. Segalanya bertambah rumit. Meskipun begitu, Tatsuya tidak
ingin memikirkannya sekarang.
Tara sudah berhenti menangis dan terlihat lebih tenang. Walaupun Tatsuya tidak mengerti kenapa gadis itu menangis seperti tadi, ia tidak berusaha bertanya. Ia yakin Tara akan memberitahunya kalau memang mau. Ia tidak akan memaksa. Yang bisa dilakukannya hanya mencoba menghibur gadis itu, karena jelas sekali Tara membutuhkannya.
Tatsuya menarik napas dan berkata, “Kau benar.”
Tara menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya.
Ia melirik gadis itu dan tersenyum. “Pemandangan dari sini sangat menakjubkan.”
Tara
membalas senyumnya. “Ini salah satu tempat kesukaanku di seluruh
dunia,” gumamnya, lalu wajahnya berubah murung. “Tempat
persembunyianku.”
Mereka berdua terdiam. Menikmati pemandangan sore kota Paris, menikmati embusan angin musim gugur, menikmati kesunyian.
Tiba-tiba Tatsuya bertanya, “Mau menemaniku jalan-jalan?”
Tara menoleh.
“Malam ini saja,” lanjut Tatsuya. Ia sudah membuat keputusan. “Kita lupakan semua masalah dan bersenang-senang sebentar. Kita pergi makan malam, lalu menonton film, teater, apa saja. Jalan-jalan di sepanjang Sungai Seine juga boleh. Apa saja yang kauinginkan. Bagaimana?”
Seulas senyum menghiasi bibir Tara. “Apa saja yang kuinginkan?”
Tatsuya mengangguk. “Apa saja.”
“Kau merasa sehat?” tanya Tara sambil memandangi tangan kiri Tatsuya yang dibebat.
“Badanmu tidak sakit?”
“Aku baik-baik saja,” sahut Tatsuya cepat. “Luka kecil seperti ini bukan masalah sama sekali.”
Tatsuya sungguh ingin melupakan semua masalah yang mengganggu pikirannya selama ini. Juga rahasia itu. Ia ingin melupakan kenyataan sebentar. Hari ini saja. Ia tidak ingin mengingat kenyataan Tara adalah adiknya. Malam ini saja. Ia ingin mencurahkan perasaannya terhadap gadis itu tanpa rasa bersalah.
Mereka berpandangan, lalu Tara mengangguk. “Baiklah.”
Tatsuya mengulurkan tangan. Setelah ragu sesaat, Tara menyambut uluran tangannya. Ketika tangan gadis itu berada dalam genggamannya, Tatsuya merasa dirinya utuh kembali.
* * *
Malam
itu berjalan sempurna. Mereka makan malam di sebuah restoran Prancis
yang menyenangkan di daerah Champs-Élysées, kemudian menonton film
Hollywood yang di-dub ke dalam bahasa Prancis. Dari Rive Droite,
mereka menyeberangi Sungai Seine ke Rive Gauche. Mereka mengunjungi
Menara Eiffel namun hanya bisa mengagumi dari luar. Sudah terlalu malam
dan jam berkunjung sudah habis berjam-jam yang lalu. Lalu mereka pergi
ke Île de la Cité, juga ke Notre Dame. Tentu saja katedral itu juga
sudah ditutup untuk umum.
“Kita memilih waktu yang payah untuk berkunjung,” desah Tatsuya sambil mengagumi arsitektur Gotik yang menakjubkan dari katedral yang selesai dibangun sekitar abad 12 itu.
Tara tersenyum. “Kurasa tidak ada arsitek yang tidak suka memandangi Notre Dame,” katanya. Lalu ia mengangkat tangannya yang menunjuk ke atas. “Kau tahu, kalau kita naik ke Menara Utara, kita bisa melihat banyak gargoyle yang bagus. Kau pasti suka.”
Tatsuya mendongak mengikuti arah yang ditunjuk Tara.
Tara melanjutkan, “Kita juga bisa melihat kota Paris dari atas sana.”
“Kita benar-benar harus memerhatikan jam berkunjung kita lain kali,” gumam Tatsuya dengan nada menyesal.
Tara tersentak dan menurunkan tangannya. Sesaat ia kembali menginjak bumi dan dihadapkan pada kenyataan. Apakah akan ada lain kali? Ia meragukannya. Tetapi ia tidak mau menghadapi kenyataan sekarang. Mereka sudah berjanji, walaupun hanya malam ini, mereka akan bersenang-senang dan melupakan segala masalah.
“Lain kali kita harus menyusun jadwal,” kata Tara akhirnya. Biarlah ia bermimpi bisa tetap bersama Tatsuya setelah malam ini. “Dan ingatkan aku untuk mengajakmu ke taman kecil di belakang katedral. Dari sana kita bisa mendapat pemandangan terbaik Notre Dame.”
Tatsuya memandangnya, lalu mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya. “Oke.”
* * *
Ketika
malam itu harus berakihr, Tara merasa tidak rela. Perlahan-lahan
kenyataan mulai menghampiri dan ia belum siap menerimanya. Ia
bertanya-tanya dalam hati bolehkah ia hidup dalam mimpi? Apa yang
terjadi kalau ia tidak mau menerima kenyataan? Apa yang akan terjadi?
Tatsuya mengantarnya sampai ke apartemennya. Laki-laki itu juga terlihat bimbang. Beberapa saat mereka masih berpegangan tangan. Lalu Tatsuya menyerah. Dengan perlahan ia melepaskan genggamannya dan melepaskan tangan Tara.
“Selamat malam, Tara-chan,” katanya sambil memaksakan seulas senyum. Ia mengulurkan tangan dan memegang kepala Tara sekilas.
Begitu Tatsuya berbalik pergi. Tara merasa sebagian hatinya tercabik, sebagian dirinya ikut pergi. Tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa diam memandangi punggung Tatsuya yang semakin menjauh. Setelah sosok Tatsuya menghilang, ia baru membalikkan tubuh dengan pelan. Ketika mengeluarkan kunci pintu, ia baru menyadari tangannya gemetar.
Ia mendesah keras. Ia belum ingin masuk ke apartemennya. Ia butuh udara segar.
Beberapa saat kemudian ia menyadari dirinya berjalan menyusuri Sungai Seine. Ia tidak sedang menikmati pemandangan sungai, tidak juga memerhatikan sekelilingnya. Kemudian ia menghentikan langkah. Dengan gerakan ragu, ia mengeluarkan ponsel.
Ia ingin menelepon ayahnya dan bertanya tentang apa yang didengarnya waktu itu di rumah sakit. Tetapi apakah dirinya sendiri sudah siap menerima kenyataan? Apakah ia siap menerima apa pun jawaban ayahnya?
Tidak.
Namun hati kecilnya menyimpan harapan rapuh bahwa apa yang didengarnya waktu itu salah.
Pasti ada penjelasan yang masuk akal di balik semua itu. Tatsuya Fujisawa pasti bukan anak kandung ayahnya. Pasti ada kesalahan. Harapan kecil yan gsia-sia itulah yang mendorongnya menelepon ayahnya.
Maksud awal Tara adalah ingin bertanya tentang apa yang didengarnya waktu itu, tetapi begitu mendengar suara ayahnya di ujung sana, tanpa disadari air matanya langsung mengalir.
“Allô?” Suara ayahnya terdengar lagi. “Ma chérie, ada apa?”
“Apa yang sudah Papa lakukan?” Itulah kata-kata yang pertama kali meluncur dari mulutnya. Suaranya bergetar.
“Apa?”
Tara mulai menangis dan suaranya tersendat-sendat. “Apa yang... sudah... Papa lakukan?”
Tubuhnya gemetar hebat dan ia terisak-isak di luar kendali. Tiba-tiba saja seluruh rasa sakit datang membanjiri tubuhnya. Dan yang paling terasa sakit adalan hatinya. Ia menekan telapak tangannya di dada, seakan berusaha menutupi luka yang menganga di sana.
“Ma chérie... Papa tidak mengerti.”
„Kenapa... kenapa...” Sulit berbicara ketika sedang tersedu-sedu, tetapi Tara berusaha keras. “Kenapa Tatsuya... b-bisa menjadi... anak Papa?”
Ayahnya tidak menjawab.
Tara masih tetap tersedu-sedu. “Bo-bohong, kan?” tanyanya dengan nada putus asa.
“Itu bohong, kan, Papa?”
“Kau ada di mana sekarang?”
“Jawab aku... Papa,” katanya lemah. Terlalu banyak menangis menghabiskan tenaganya.
“Katakan... itu bohong...”
“Katakan kau ada di mana. Papa akan segera ke sana dan menjemputmu. Setelah itu baru kita bicara.”
Tara menggeleng keras. “Papa... jawab... sekarang...”
Diam sejenak di ujung sana, lalu, “Papa minta maaf, ma chérie. Papa sangat menyesal. Papa minta maaf.”
Itu jawaban yang paling ditakutinya. Setitik harapan kecilnya musnah sudah. Kenyataan menghantam kepalanya, merobek-robek jantungnya dan menguras darah dari tubuhnya.
“Victoria... Ma chérie...”
“B-bagaimana sekarang... P-papa?” gumam Tara di sela-sela tangisnya. “Ba-bagaimana sekarang?... Aku harus... bagaimana?...” Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk menahan tangisnya yang semakin kencang. Belum pernah ia menangis sesedih ini. Ini pertama kalinya ia tersedu-sedu di luar kendali.
Ia memutuskan hubungan dan jatuh terduduk di tanah. Kedua tangannya menutupi wajah, bahunya berguncang keras dan tubuhnya masih bergetar. Kemudian ia membisikkan pengakuannya, “Papa... Papa... aku... mencintainya.”
Delapan Belas
TATSUYA baru saja tiba di apartemennya ketika ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponsel dan tertegun.
“Allô?” katanya begitu menempelkan ponsel ke telinga. Ia menyalakan lampu ruang tengah dan berjalan ke dapur.
“Tatsuya.” Suara Jean-Daniel Dupont terdengar panik. “Tatsuya, kau sedang bersama Victoria?”
Tatsuya bimbang sejenak. “Tidak,” jawabnya.
“Kau bertemu dengannya tadi?” Suara Jean-Daniel semakin mendesak.
Tatsuya mengerutkan kening. Ada apa ini? Apakah pria ini kesal? Marah? Ia harus jujur atau berbohong?
“Tadi sempat bertemu sebentar,” sahut Tatsuya pelan.
Terdengar sentakan napas di ujung sana. “Kau sudah memberitahunya?”
“Memberitahu apa, Monsieur?”
“Masalah itu,” sahut Jean-Daniel dengan kalut. “Kau sudah memberitahu Victoria tentang masalah itu?”
Tatsuya bingung sesaat, lalu, “Belum...”
“Tapi dia sudah tahu!”
Seketika Tatsuya membeku. “Dia sudah tahu?” ulangnya, seakan tidak mendengar dengan jelas tadi.
Jean-Daniel nyaris berteriak saking gugupnya, “Dia baru saja meneleponku dan dia menangis.”
“Menangis?” Ia mulai bertingkah seperti orang tolol yang terus mengulangi kata-kata orang lain.
“Aku tidak pernah mendengar putriku menangis seperti itu,” kata Jean-Daniel cepat.
“Sepertinya dia nyaris histeris.”
Histeris...? Otak Tatsuya berputar. Tadi ketika ia bersama Tara, gadis itu kelihatannya biasa-biasa saja, walaupun sedikit pendiam. Ia hanya berpikir Tara sedang punya masalah dan nanti perasaannya akan membaik dengan sendirinya. Tetapi kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Tara menghindarinya, berubah pendiam, dan sikapnya aneh sekali tadi. Benarkah dia sudah tahu?
“Aku tidak bisa menghubunginya, Tatsuya.” Terdengar suara Jean-Daniel lagi. “Dia tidak ada di apartemennya dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Carilah dia, Tatsuya. Tolong...”
Tatsuya mematikan telepon dan tetap diam di tempat, membiarkan dirinya berpikir terlebih dahulu. Saat itu rasa cemas mulai menjalari dirinya. Di mana Tara sekarang? Bukankah tadi ia sudah mengantar gadis itu pulang ke apartemennya?
Seakan baru tersadar dari mimpi, Tatsuya segera berbalik dan menghampur keluar dari pintu.
Baru saja ia keluar, ponselnya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelpon, ia langsung menjawab.
“Tara-chan?”
Terdengar tawa riang di ujung sana. “Sayang sekali, bukan, Teman,” kata Sebastien sambil terkekeh. “Ini aku. Maaf, membuatmu kecewa.”
“Sebastien?”
“Teman, aku bosan sekali malam ini. Keluarlah dan temani aku minum,” kata Sebastien.
“Sebastien, kebetulan kau menelepon,” kata Tatsuya dengan napas memburu.
“Kenapa? Sepertinya kau panik.”
“Kau tahu di mana Tara?”
“Tidak. Aku belum menghubunginya hari ini. Atau tepatnya, dia tidak mau menjawab telepon....”
“Ayahnya baru meneleponku,” sela Tatsuya cepat, memotong penjelasan Sebastien. “Dia sangat mencemaskan Tara dan memintaku mencarinya.”
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” tanya Sebastien. Nada suaranya berubah serius.
“Nanti akan kujelaskan, Teman. Sekarang bantulah kami mencairnya. Kau lebih mengenalnya. Kau tentu tahu di mana kemungkinan dia berada.”
“Kau membuatku gugup, Tatsuya,” kata Sebastien. Ia jelas-jelas masih bingung, tetapi sepertinya memutuskan tidak banyak bertanya lagi. “Baiklah, aku akan mencoba mencarinya.
Kalau aku berhasil menemukannya, aku akan menghubungimu.”
* * *
Tara Dupont menghilang?
Sebastien benar-benar bingung. Selama bertahun-tahun mengenal Tara, ia belum pernah mendengar Tara menghilang tanpa kabar dan ayahnya mencemaskannya. Berarti ini masalah yang cukup serius.
Ia mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Matanya menatap jalanan di depan tetapi otaknya mulai memikirkan tempat-tempat yang mungkin didatangi Tara sendiri. Ia meraih ponsel dan menghubungi La Vue.
“Allô? Édouard, apakah kau melihat Tara di sana?... Tidak? Dia sama sekali tidak datang hari ini?... Mm, oke. Terima kasih... Oh, tidak apa-apa. Aku hanya sedang mencarinya.... Ngomong-ngomong, bisa tolong telepon aku kalau Tara tiba-tiba datang ke sana?... Oke, terima kasih.”
Sebastien memutar otak lagi. Ke mana gadis bodoh itu malam-malam begini? Sudah hampir tengah malam begini....
Sebastien melajukan mobilnya menyusuri Sungai Seine, ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok seseorang yang dikenalnya berdiri di tepi jembatan.
“Tara?” gumamnya pada diri sendiri, lalu mengerutkan kening. “Apa yang dilakukannya di sana?”
* * *
Tara
menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat remang seperti kaca
besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi
jalan. Air sungai itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan
bila terjun ke sungai itu. Mati beku.
Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakan sakit ini lagi.
Sedikit dorongan. Satu kali dorongan saja.
Tetapi tubuhnya tetap bergeming. Terpaku di tempat. Tidak mau bergerak.
Rasa sakit di dadanya kian menusuk. Nyaris tak tertahankan. Ia tidak sanggup menanggungnya lagi. Tuhan, tolonglah aku.... Ambillah rasa sakit ini dariku....
Ia kembali mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap permukaan sungai.
Tiba-tiba ada yang mencengkeram lengannya dan menariknya dengna kasar menjauhi pagar jembatan. Tara terperanjat dan nyaris kehilangan keseimbangan. Ia memutar kepala dengan cepat dan langsung berhadapan dengan Sebastien yang menatapnya dengan kening berkerut tidak senang.
“Sebastien?” gumamnya dengan suara seperti tercekik. Matanya terbelalak kaget. Ia sama sekali tidak berharap bisa bertemu Sebastien di saat seperti ini.
“Apa yang sedang kaulakukan di sini, Tara Dupont?” tanya Sebastien keras. Ia masih mencengkeram lengan Tara.
Perlahan-lahan kesadaran mulai meresap kembali ke dalam diri Tara dan ia mengerjap-ngerjapkan mata. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Sebastien. “Aduh... Lepaskan tanganku. Sakit.”
Sebastien melonggarkan cengkeramannya, tetapi tidak benar-benar melepaskannya.
“Kau habis menangis?” tanya Sebastien pelan. Ia menatap lurus ke mata Tara.
Tara memaksakan seulas senyum dan mengelak dari tatapan Sebastien. “Hanya sedikit. Sebentar. Memangnya tidak boleh?”
Sebastien menarik napas. “Ada apa denganmu?”
Tara tidak menjawab.
“Mau menceritakannya kepadaku?”
Pandangan Tara kembali berkabut. “Temanku, Sebastien,” gumamnya dengan suara seakan sedang bermimpi. “Kau mau tahu apa yang baru saja akan kulakukan?”
Sebastien tidak yakin ia berani mendengar jawabannya.
“Tadinya aku ingin melompat.”
“Apa?” Sebastien benar-benar kaget. “Coba katakan sekali lagi.”
Tara masih tidak menatapnya. “Aku ingin melompat.”
Tanpa alasan yang jelas Sebastien berkata, “Kau tidak bisa berenang.”
Tara tersenyum dan menatap permukaan sungai dengan tatapan menerawang. “Aku tahu.”
“Kenapa?
Ada apa denganmu?” seru Sebastien sambil mengguncang tubuh Tara,
berharap dengan begitu gadis itu akan tersadar kembali.
Tara mengangkat sebelah tangannya dan menempelkannya di dada. “Karena sakit sekali rasanya. Di sini. Sakit sekali, Sebastien.”
Sebastien tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Ia masih shock mendengar Tara tadi berniat bunuh diri.
“Tapi untunglah kau datang,” kata Tara. Ia berpaling menatap Sebastien dan tersenyum.
Senyum setengah hati. Matanya berkaca-kaca. “Karena kau datang, aku jadi tahu apa yang seharusnya kulakukan.”
“Apa maksudmu?”
Tara meletakkan kedua tangannya di bahu Sebastien. “Temani aku minum, Teman. Ayo kita minum sampai mabuk. Aku ingin minum sampai rasa sakit ini tidak terasa lagi. Minum sampai mati.”
“Jangan bicara sembarangan,” gerutu Sebastien. Baru pertama kali ia melihat temannya bersikap seperti ini. Dan ia tidak suka apa yang dilihatnya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Pandangan Tara kembali kosong.
“Baiklah, baiklah,” kata Sebastien akhirnya. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Tara. “Kau mau minum? Akan kutemani. Ayo, kita pergi.”
Sebastien sama sekali tdiak tahu apa yang terjadi pada Tara, walaupun ia merasa temannya itu sedang putus asa. Ia akan bertanya pada Tara nanti. Sekarang ini ia tahu jelas lebih baik ia menemani gadis itu daripada membiarkannya sendirian. Lebih baik ada dia yang mengawasi Tara karena kalau dibiarkan sendirian, hanya Tuhan yang tahu apa yang bisa dilakukan gadis itu.
* * *
“Kau sungguh-sungguh mau membiarkannya mabuk?” tanya Édouard ketika membawakan tequila sunrise pesanan
Tara. Tara sudah menghabiskan botol bir pertamanya dan sekarang akan
memulai botol kedua. “Kalau kau masih ingat, dia sudah minum dua gelas tequila sunrise.”
Sebelum Sebastien sempat menjawab, Tara mengangkat sebelah tangannya dan mengibas-ngibas. “Claude, tidak usah banyak bicara dan berikan minuman itu,” katanya. Ia meraih gelas yang diletakkan Édouard dengan ragu-ragu.
Édouard memandangi Sebastien dan menghela napas. “Dia sudah mabuk. Lagi-lagi dia tidak ingat namaku.”
Tara langsung menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.
“Astaga! Pelan-pelan saja... Pelan-pelan saja,” kata Édouard agak cemas melihat kelakuan anak majikannya.
Tara memejamkan mata rapat-rapat dan mendesis ketika merasakan minuman beralkohol itu mengalir menuruni tenggorokannya.
Kepala Édouard berputar cepat ke arah Sebastien yang dari tadi diam saja. “Kau yang bertanggung jawab?” tanya Édouard langsung.
Sebastien mengangguk.
Bartender berkepala plontos itu pun mengangkat tangan dan berkata ringan, “Baiklah, aku akan meninggalkan kalian.”
Ketika Édouard berlalu, Tara mulai meneguk bir kedua. Tiba-tiba Sebastien ingat ia belum menelepon Tatsuya dan memberitahunya ia sudah menemukan Tara. Ia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan menghubungi Tatsuya.
“Allô? Tatsuya? Ini aku.... Ya, aku sudah menemukannya.... Dia bersamaku sekarang. Jangan khawatir. Kami ada di La Vue.... Datang saja ke sini....”
“Jangan datang!” seru Tara tiba-tiba.
Sebastien terlompat kaget dan menatap Tara dengan heran.
Kemudian Tara menutup wajah dengan kedua tangan dan berkata lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan, “Jangan suruh dia datang. Jangan malam ini.”
Sebastien masih bingung. “Tapi, Tara... Ini Tatsuya. Dia...”
“Jangan malam ini,” potong Tara. “Malam ini kami sudah berjanji melupakan semua masalah dan bersenang-senang.”
Sebastien tidak paham apa yang dikatakan Tara.
“Jadi jangan malam ini,” Tara mengulangi kata-katanya. “Aku akan menemuinya besok.
Sepertinya Tatsuya bisa mendengar apa yang dikatakan Tara, karena setelah terdiam beberapa saat, ia meminta Sebastien menjaga Tara. Katanya ia akan memberitahu ayah Tara dan berkata akan menemui Tara besok, sesuai keinginan gadis itu. Setelah itu ia memutuskan hubungan.
Sebastien memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dengan perlahan. Keningnya berkerut. Apa yang terjadi antara Tara dan Tatsuya?
“Tara, kau tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Atau sudah terjadi?” tanya Sebastien, berusaha memulai percakapan.
Tara menggeleng tanpa memandangnya. Ia kembali meneguk birnya.
Sebastien tidak mau menyerah begitu saja. “Karena Tatsuya?”
Diam sejenak, lalu Tara mengangguk pelan.
“Kau bilang hatimu sakit. Karena Tatsuya?”
Tara mengangguk lagi.
Jadi Tatsuya yang telah menyakiti hatinya, pikir Sebastien kecewa.
“Tara, kau tahu benar aku akan selalu membantumu. Kalau kau ingin aku membantumu, kau harus menceritakan masalahnya kepadaku,” kata Sebastien lagi.
Tara menghela napas, lalu mengangkat bahu acuh tak acuh. “Besok saja,” gumamnya ringan.
Sebastien
tidak mendesak lebih jauh lagi. Baiklah, Tara bilang ia akan
menjelaskannya besok. Maka Sebastien akan menunggu sampai besok.
Ketika akhirnya Tara berniat membuka botol bir ketiganya, Sebastien terpaksa harus menghentikannya dan mengantarnya pulang. Gadis itu sudah mabuk berat dan sama sekali tidak bisa berjalan dengan benar tanpa dibantu.
Begitu tiba di apartemennya, Tara langsung menghambur ke kamar mandi dan membanting pintu. Sebastien tidak buru-buru menyusulnya. Samar-samar ia bisa mendengar Tara muntah di kamar mandi. Ini pertama kalinya ia melihat Tara mabuk. Sebastien tidak tega meninggalkannya dalam keadaan begitu. Ia melepaskan jaket dan berjalan ke dapur untuk membuat secangkir tisane1 untuk Tara.
Keadaan Tara sungguh berantakan dan kacau-balau ketika ia keluar dari kamar mandi. Tanpa berkata apa-apa, ia menyesap sedikit tisane yang disodorkan Sebastien, lalu merangkak naik ke tempat tidur dan meringkuk di balik selimut.
Setelah mematikan lampu, Sebastien keluar dari kamar tidur Tara dan berdiri di ruang tengah. Mengingat Tara sepertinya sedang mengalami depresi berat, ia memutuskan bermalam di apartemen Tara. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan Tara bila tiba-tiba terbangun dan depresi sial itu kembali menyerangnya?
* * *
Keesokan
paginya, Sebastien sedang memanggang roti ketika Tara keluar dari kamar
tidurnya sambil memegangi kepala dengan sebelah tangan.
1 teh herbal
“Selamat pagi, Mademoiselle Dupont,” sapa Sebastien ringan.
Tara menghentikan langkahnya dan mengerjap-ngerjapkan mata, kaget melihat Sebastien berdiri di dapurnya dengan pisau roti di tangan.
“Kau kelihatan kacau,” kata Sebastien setelah mengamati Tara dari atas sampai bawah.
“Kepalamu sakit?”
Tara menghampiri meja makan kecilnya, menarik kursi dan duduk. “Kau tidak pulang semalam?” tanyanya dengan suara serak.
Sebastien meletakkan secangkir tisane di hadapan Tara.
“Aku benci tisane,” gerutu Tara. “Aku mau kopi saja.”
“Jadilah anak baik dan minum tisane itu,” kata Sebastien, lalu meletakkan piring berisi roti di meja. “Dan ya, aku memang tidak pulang semalam. Kau benar-benar mabuk dan aku tidak tega membiarkanmu sendirian.”
Tara tersenyum tipis dan menyesap tisane-nya dengan patuh. Kemudian ia bangkit.
“Kau mau ke mana?” tanya Sebastien buru-buru. “Kau harus sarapan dulu. Aku sudah beli croissant tadi.”
Tara mengibaskan tangan tanpa menoleh. “Aku mau cuci muka dulu, Ibu,” guraunya. “Nanti aku kembali dan memakan croissant-mu itu. Oh ya, sekalian goreng telur untukku. Oke?”
“Memangnya aku pembantumu?” seru Sebastien, tetapi Tara sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. Diam-diam ia senang melihat perubahan dalam diri gadis itu. Pagi ini Tara terlihat lebih tenang. Ia bahkan sempat bergurau. Bukankah itu awal yang menjanjikan?
Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi bel pintu. Sebastien beranjak ke pintu dan membukanya.
Ia agak kaget ketika mendapati siapa yang ada di depan pintu. “Oh... Allô, Tatsuya.”
Tatsuya juga terlihat kaget melihat Sebastien. “Sebastien?”
Sebastien-lah yang lebih dulu pulih dari kekagetannya. Ia minggir sedikit dan menggerakkan tangan. “Masuklah dulu. Kau datang menemui Tara, bukan?”
Tatsuya melangkah masuk dan mengangguk. “Kau sendiri?”
Sebastien berdeham dan berjalan kembali ke dapur. Tatsuya mengikutinya.
“Aku tidur di sini semalam,” sahut Sebastien, lalu cepat-cepat menambahkan, “di sofa ruang tamu, tentu saja. Semalam Tara mabuk dan... depresi.”
Sebastien mengamati Tatsuya, ingin melihat reaksi temannya itu atas kata-katanya barusan.
Tetapi Tatsuya tidak bereaksi. Hanya diam dan memandang ke arah lain.
“Oh ya, Tara sedang di kamar mandi,” kata Sebastien sambil menunjuk pintu kamar mandi.
“Kami baru saja mau sarapan. Kau sudah sarapan?”
Tatsuya baru hendak menjawab ketika pintu kamar mandi terbuka dan Tara melangkah ke luar sambil mengeringkan wajah dengan sehelai handuk kecil. Begitu melihat siapa yang datang, ia membeku dan matanya terbelalak. Tapi hanya sesaat. Setelah itu sikap Tara berubah biasa, namun wajahnya memucat.
“Allô, Tatsuya,” sapanya ringan. “Baru datang?”
Tatsuya tidak menyahut. Ia hanya menatap Tara dengan kening berkerut bingung. Gadis itu berjalan melewatinya ke meja makan.
“Kau sudah menggoreng telur untukku?” tanya Tara pada Sebastien.
Sebastien mengangguk. Suasananya aneh sekali. Ia sendiri tidak mengerti. Kalau tidak salah kemarin Tara mengalami depresi parah dan semua itu ada hubungannya dengan Tatsuya.
Kemarin juga ia menolak berbicara dengan laki-laki itu. Tapi kenapa pagi ini mendadak saja Tara bersikap biasa, seakan tidak pernah terjadi apa-apa? Sungguh, ada yang aneh di sini.
Tara berpaling ke arah Tatsuya. “Duduklah dan ikut sarapan bersama kami.”
Sebastien menatap Tatsuya yang masih berdiri mematung. Laki-laki itu memandang Tara lekat-lekat. Selain itu Sebastien juga bisa melihat berbagai macam perasaan melintas di mata Tatsuya.
“Tara,” panggil Tatsuya pelan.
Tara langsung berpaling ke arah Sebastien dan berkata, “Oh, Sebastien, aku belum memberitahumu, ya? Aku dan Tatsuya bersaudara.”
* * *
“Aku dan Tatsuya bersaudara.”
Tatsuya menatap Tara dengan pandangan tidak percaya, sedangkan gadis itu dengan tenang menggigit roti panggangnya. Sejak tadi Tatsuya sudah merasa sikap Tara sangat aneh. Terlihat biasa-biasa saja, bahkan agak dingin. Dan ia mengucapkan kata-kata itu dengan mudahnya.
Padahal semalam menurut ayahnya, Tara histeris. Tadi juga Sebastien baru memberitahunya Tara depresi. Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi pada diri gadis itu sekarang? Apa yang dipikirkannya?
Sebastien jelas-jelas terperanjat dan kebingungan. Ia menatap Tara dan Tatsuya bergantian, lalu bertanya, “Apa? Bagaimana?”
Tara
menjawab, “Kami berdua punya ayah yang sama.” Ia berpikir sejenak. “Itu
artinya saudara seayah, ya? Atau saudara tiri?” Lalu mengangkat bahu,
“Pokoknya begitulah.”
Tatsuya dan Sebastien berdiam diri. Terlalu kaget untuk berkata-kata.
“Aku tidak memberitahumu lebih cepat karena sebenarnya aku juga baru tahu,” lanjut Tara.
Ia memandang Sebastien sambil tersenyum meminta maaf. “Ini kejutan besar, bukan? Tapi kami berhasil mengatasinya.” Ia berpaling ke arah Tatsuya. “Bukan begitu, Tatsuya?”
“Tara, apa-apaan ini?” kata Tatsuya tidak sabar. Ia sungguh tidak mengerti sikap Tara. Apa maksudnya? Apakah gadis itu ingin berpura-pura semuanya baik-baik saja?
Tara menatap lursu ke matanya. Senyumnya sedikit memudar. “Ini kenyataan,” katanya pelan. “Aku yakin kita bisa mengatasinya dengan baik. Aku bisa.”
“Tara...”
“Aku bisa menganggapmu sebagai kakak,” sergah Tara cepat.
Tatsuya terdiam.
“Sungguh. Aku bisa.”
Tatsuya tidak percaya. Tidak mungkin segalanya beres dalam semalam.
“Kau ingin kita langsung bersikap sopan dan menjaga jarak seperti sekarang?” cetus Tatsuya.
“Kau ingin aku memandang enteng masalah ini?”
Tara masih menatapnya dan berkata dengan nada lelah, “Kalau kau punya usul lain yang lebih baik, aku siap mendengarkan.”
Kenyataan adalah kenyataan. Tara benar. Tetapi kenapa dada Tatsuya masih terasa berat dan sakit?
Sesaat Tatsuya melupakan Sebastien yang memandangi mereka berdua dengan bingung.
“Tungu dulu, kalian berdua. Sebelum aku menjadi gila, sebaiknya kalian jelaskan padaku apa yang kalian bicarakan ini?”
Tatsuya menghela napas, lalu mengembuskannya dengan keras. Ia berkacak pinggang dan menatap Tara. “Tanyakan saja padanya,” sahutnya muram. “Sepertinya dia sudah memikirkan segalanya. Aku pergi dulu.”
Tanpa megnhiraukan Sebastien, Tatsuya berjalan ke pintu dengan langkah lebar dan hati kesal.
* * *
Sebastien
tidak berhasil menyusul Tatsuya. Masih dengan perasaan bingung ia
kembali ke dapur dan mendapati Tara tetap duduk di krusinya. Ia
mendengar tarikan napas gadis itu yang berat dan tersendat-sendat.
Ketika semakin dekat, ia melihat Tara menempelkan telapak tangannya di
dada. Bibirnya bergetar. Matanya menatap meja makan dengan tatapan
kosong, namun Sebastien melihat matanya berkaca-kaca.
Gadis itu sedang berusaha keras menahan tangis.
Sembilan Belas
“KURASA
dia baik-baik saja,” kata Sebastien setelah ragu sesaat. Ia
mengangguk-angguk dan memandang pria yang duduk di hadapannya.
Jean-Daniel Dupont menggeleng pelan, seakan tidak percaya pada jawaban Sebastien. Sebastien sendiri sebenarnya tidak yakin jawaban yang diberikan itu benar adanya, tetapi apa lagi yang bisa diberikannya sebagai jawaban?
Tadi pagi Jean-Daniel Dupont meneleponnya dan meminta bertemu di kafe ini. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Sebastien sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakan. Tentu saja mengenai Tara. Sikap Tara Dupont membuat semua orang bingung, termasuk Sebastien. Gadis itu dari luar kelihatan baik-baik saja. Walaupun begitu, semua orang yang kenal dengannya tahu keadaannya tidak baik. Suatu saat ia bekerja seperti biasa, berbicara seperti biasa, tertawa seperti biasa. Tetapi di lain waktu ia murung, sering melamun, dan seakan tidak sadar. Hanya saja orang-orang di sekitarnya tidak tahu apa yan bisa mereka lakukan untuk membantunya.
Jadi ketika Jean-Daniel menanyakan pendapatnya tentang keadaan Tara, Sebastien hanya bisa memberikan jawaban ragu seperti itu.
Jean-Daniel mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di antara bibirnya. Ia melirik Sebastien. “Kau tidak keberatan kalau aku merokok, bukan?” tanyanya sambil mengacungkan bungkus rokoknya.
Sebastien menggeleng.
“Sial,” umpat Jean-Daniel. Ia menyalakan rokoknya dan mulai mengepulkan asap. “Setahun terakhir ini aku sudah berhenti merokok. Tara yang memaksaku berhenti. Tapi sekarang aku benar-benar membutuhkan ini.”
“Tara sudah mencari Anda?” tanya Sebastien. “Untuk meminta penjelasan, maksudku.”
Jean-Daniel mengangguk. “Minggu lalu,” jawabnya. “Dia datang dan menuntut penjelasan.”
“Lalu?” desak Sebastien ketika Jean-Daniel terdiam.
“Dia menerimanya dengan baik,” lanjut pria yang lebih tua itu. “Sangat baik malah.” Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap dengan perlahan. “Dia mendengarkan seluruh ceritaku tanpa menyela. Setelah itu dia hanya mengangguk dan berkata, „Aku mengerti, Papa‟. Sejak saat itu dia tidak pernah menyebut-nyebut masalah itu lagi. Aku juga tidak berani mengungkit soal Tatsuya karena... entahlah, mungkin aku takut pada reaksinya nanti.”
Sebastien membetulkan letak kacamatanya. Ia memahami perasaan ayah Tara, karena ia sendiri juga merasakannya. Ia ingat malam itu, sekitar seminggu yang lalu, ketika ia menemukan Tara di tepi jembatan. Saat itu Tara mengaku ia nyaris bunuh diri. Gadis itu begitu depresi sampai-sampai Sebastien tidak berani meninggalkannya sendiri. Tetapi keesokan paginya Tara langsung berubah. Ia bersikap seakan-akan malam sebelumnya tidak pernah ada.
Tara kembali seperti semula, walaupun tidak tepat seperti dulu. Sebastien masih sering menghubunginya, mengobrol dengannya, makan dengannya. Tetapi gadis itu tidak pernah menyebut-nyebut nama Tatsuya lagi. Tidak pernah sekali pun sejak Tatsuya meninggalkan apartemennya pagi itu. Dan Sebastien tidak berani mengungkit-ungkit masalah itu. Sama seperti ayah Tara. Ia takut pada reaksi yang akan timbul bila ia menyebut nama Tatsuya.
Bagaimana kalau gadis itu depresi lagi dan kembali berpikir untuk melompat ke Sungai Seine?
“Bagaimana dengan Tatsuya?” tanya Jean-Daniel tiba-tiba, membuyarkan lamunan Sebastien.
Sebastien mengangkat wajah dan tersenyum tipis. “Sama saja,” sahutnya.
Sementara Tara kembali seperti dulu, Tatsuya Fujisawa berubah menjadi orang lain. Sebastien jarang bertemu dengannya di kantor, apalagi berbicara dengannya. Tatsuya selalu sibuk, atau sengaja menyibukkan diri untuk menghindar. Ia bekerja tiga kali lebih keras daripada sebelumnya. Sebastien juga mendengar dari orang-orang yang bekerja dekat dengan Tatsuya bahwa sikap Tatsuya berubah. Ia menjadi sangat tegang, keras, dan selalu dalam suasana hati yang buruk. Orang-orang mengira semua itu karena trauma dari kecelakaan yang dialaminya, tetapi Sebastien tahu alasannya lebih dari itu.
“Anda sudah bicara dengan Tatsuya?” tanya Sebastien.
“Tentu saja,” gumam Jean-Daniel. “Tapi dia juga tidak bicara banyak. Dia hanya bilang dia lega Tara sudah tahu. Dia lega semuanya sudah jelas.”
Jean-Daniel mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. “Anak itu sudah pasrah,” katanya muram.
Sebastien menarik napas. “Terus terang saja, Monsieur, kurasa memang hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukan dalam keadaan ini.”
Jean-Daniel menatap kosong ke luar jendela kafe dan bertanya, “Menurutmu, apakah mereka nantinya—suatu hari nanti... entah kapan, entah berapa lama, tetapi suatu hari nanti—bisa melupakan perasaan mereka sekarang?”
Sebastien menatap Jean-Daniel Dupont, tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Mungkin Jean-Daniel juga tidak mengharapkan jawaban pasti.
* * *
Élise sesekali melirik Tara yang sedang membaca majalan Elle di
meja kerjanya. Sebelah tangannya menopang dagu dan tangan yang satu
lagi membalik-balikkan halaman majalah. Tara terlihat biasa-biasa saja.
Lalu kenapa Élise merasa gugup?
“Tara,” panggilnya.
“Mm?” gumam Tara tanpa mengangkat wajah.
Élise baru membuka mulut, lalu mengurungkan niat. Ia ingat peringatan Sebastien untuk tidak mengungkit-ngungkit soal Tatsuya di depan Tara, kecuali gadis itu sendiri yang membahasnya.
Beberapa
minggu terakhir ini memang agak membingungkan bagi Élise. Ia tidak tahu
apa masalah sebenarnya, namun ia yakin akan satu hal. Masalah itu pasti
berhubungan dengan Tatsuya Fujisawa. Apakah hubungan mereka tidak
berhasil? Mereka sedang bertengkar? Mungkin saja, tapi Élise merasa
masalahnya lebih berat daripada itu.
Saat itu Charles Gilou masuk ke ruangan sambil tersenyum lebar dan menyapa semua orang di sana.
“Sepertinya Charles sedang gembira hari ini,” kata Tara tiba-tiba.
Élise menoleh ke arah temannya yang sedang memandangi atasan mereka sambil tersenyum. Ia mengangkat bahu. “Tumben sekali,” sahut Élise tidak peduli.
Charles menghampiri mereka. “Allô, semuanya,” sapanya. “Bukankah dunia terlihat indah saat acara kita mendapat rating tinggi?”
Tara tersenyum sopan dan Élise meringis.
Charles bertepuk tangan meminta perhatian. “Aku akan mentraktir kalian semua minum malam ini. Bagaimana?”
Semua orang berseru setuju dan bertepuk tangan. Jarang-jarang atasan mereka ini mau berbaik hati seperti itu.
“Kau ikut?” tanya Élise kepada Tara.
Sebelum Tara sempat menjawab, Charles berkata kepada Élise, “Ngomong-ngomong, kita tidak mendapat surat dari Monsieur Fujitatsu lagi?”
Élise cepat-cepat berpaling ke arah Tara dan berdoa semoga ia tidak mendengar kata-kata Charles, tetapi Tara mendengarnya dengan jelas. Matanya masih terpaku ke majalah di depannya, tetapi sikap tubuhnya berubah.
“Tidak, Charles,” sahut Élise cepat, berharap atasannya itu tidak membahas soal itu lagi.
Harapannya tidak terkabul.
“Sayang sekali. Dia salah satu alasan acara kita mendapat rating tinggi,” lanjut Charles tanpa menyadari bencana yang akan disebabkannya. “Élise, bagaimana kalau kau menyapa Monsieur Fujitatsu saat siaran nanti dan memintanya menulis....”
Élise buru-buru berdiri dan menyela dengan suara lantang, “Charles, ada yang ingin kutanyakan.”
Charles berdeham. “Ada apa?” tanyanya, agak kesal karena disela.
Élise mendorongnya menjauh dari meja dan mengajaknya ke luar ruangan. Ia belum tahu apa yang akan ditanyakannya kepada atasannya, tapi yang penting menjauhkan Charles dari Tara. Mungkin sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat daripada keadaan bertambah parah.
Ketika Élise kembali ke ruangan, Tara sudah tidak ada di meja kerjanya.
* * *
Jam berapa sekarang?
Tatsuya melirik tangan kirinya, lalu menyadari kebodohannya. Ia tidak memakai jam tangan karena tangan kirinya masih dibebat. Kemudian ia merogoh saku jas dan mengeluarkan jam sakunya. Ketika benda itu sudah ada dalam genggamannya, ia tertegun.
Jam saku hadiah dari Tara.
Napasnya tertahan. Ia cepat-cepat memasukkan kembali jam saku itu ke saku jas dan menarik napas panjang dan perlahan.
Segalanya sudah diatur. Ia tidak boleh membiarkan hal-hal kecil seperti ini mengacaukan rencananya. Ia meyakinkan dirinya itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan sebelum segalanya tambah berantakan. Bagaimanapun juga, masalah ini tidak memiliki jalan keluar yang menyenangkan. Menghadapi masalah ini seperti berjaaln di terowongan gelap yang tak berujung. Sama sekali tidak ada cahaya yang tampak.
Tatsuya menoleh dan melihat sebuah kafe tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia harus duduk sebentar. Duduk dan menenangkan piiran, mengkaji ulang rencananya.
Ia baru akan masuk ke kafe itu ketika mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat seorang wanita muda berambut hitam panjang sedang berjalan menghampirinya sambil tersenyum lebar.
Ah, bukankah wanita itu wanita yang diajak Sebastien ke pesta ulang tahun Élise di La Vue?
La Vue... Di tempat itulah mimpi buruknya dimulai....
“Tatsuya, bukan?”
Suara wanita itu menembus otaknya dan memaksanya kembali memusatkan perhatian pada kenyataan.
“Juliette?” gumam Tatsuya tidak yakin.
Senyum wanita itu bertambah lebar dan saat itu juga Tatsuya yakin ia tidak salah menyebut nama. “Aku senang kau masih ingat padaku,” kata Juliette puas. Ia melirik tangan Tatsuya yang dibebat. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?”
Tatsuya menggerakkan tangannya sedikit. “Hanya kecelakaan kecil. Tidak ada masalah serius.”
“Kau ada janji dengan seseorang?” tanya Juliette dan menunjuk kafe di depan mereka.
Tatsuya menggeleng. “Tidak.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kutemani kau minum kopi?” Juliette menawarkan. Tanpa menunggu jawaban Tatsuya, ia mendorong pintu kaca kafe itu dan masuk.
* * *
Tara
duduk bersandar di kursi dan menatap kopinya yang sudah dingin. Ia sama
sekali belum menyentuh kopinya sejak tadi. Ia hanya duduk menyendiri di
sudut kafe tanpa memerhatikan sekelilingnya.
Ia tidak menyangka ia masih akan bereaksi seperti itu bila mendengar nama Tatsuya disebut-sebut. Ia mengira dirinya sudah siap menerima kenyataan. Ia mengira dirinya sudah siap menghadapi Tatsuya tanpa merasakan apa-apa. Ternyata ia salah. Buktinya, tadi ketika Charles menyebut-nyebut Monsieur Fujitatsu, napasnya tercekat, tenggorokannya tersumbat dan air matanya nyaris tumpah ke luar. Sampai kapan penderitaan seperti ini baru bisa berakhir?
Dengan enggan ia melirik jam tangannya. Ia harus kembali ke stasiun radio. Ia harus siaran. Ia bangkit dan meraih tasnya. Ketika ia menegakkan tubuh, matanya menangkap sosok yang sudah sangat dikenalnya di pintu kafe. Seketika itu juga ia membeku.
Tatsuya...
Laki-laki itu sedang tersenyum. Ya Tuhan... Sudah berapa lama ia tidak melihat senyum itu?
Mata Tara tidak bisa lepas dari sosok Tatsuya.
Tatsuya sedang tersenyum pada seorang wanita berambut hitam. Tara ingat siapa wanita itu. Juliette, mantan pacar Sebastien. Apa yang sedang mereka berdua lakukan di sini... bersama?
Tara
tahu ini tidak boleh, tetapi ia tidak bisa mencegah rasa sakit yang
menghunjam dadanya. Melihat Tatsuya bersama wanita itu membuat hatinya
perih. Begitu perih sampai ia ingin menangis.
Demi Tuhan! Apa yang sedang dipikirkannya? Ia tidak boleh cemburu. Tidak boleh! Bagaimana mungkin ia bisa merasa cemburu? Laki-laki itu saudaranya!
Tara menelan ludah dengan susah payah. Udara di kafe itu mendadak terasa sesak. Ia butuh udara segar. Ia tidak bisa bernapas. Tara bergegas menuju pintu sebelum Tatsuya sempat
melihatnya.
Ketika hampir mencapai pintu, ia menabrak seorang pelayan. Tanpa
menoleh, Tara menggumamkan permintaan maaf dan segera melarikan diri
dari tempat itu.
Begitu keluar dari kafe dan merasakan angin menerpa wajahnya, perasaan Tara lebih baik. Walaupun begitu ia tetap melangkah dengan cepat. Setelah agak jauh dan merasa aman, ia memperlambat langkah.
Mendengar nama laki-laki itu sudah cukup buruk. Melihatnya secara langsung membuat hati dan pikirannya bertabrakan. Melihatnya bersama wanita lain membuat dadanya sesak. Membuatnya mati rasa.
Ia berhenti melangkah dan menyadari kedua tangannya terkepal erat dalam saku mantelnya. Kuku-kukunya menancap di telapak tangannya tapi ia tidak merasa sakit. Butuh usaha keras untuk memaksa jari-jari tangannya membuka.
Ia juga menyadari napasnya agak terengah-engah. Apakah tadi ia berjalan cepat sekali? Ia duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan dan mengatur napas.
“Tara-chan?”
Suara itu membuatnya terlompat berdiri. Dengan sekali sentakan, kepalanya berputar dan matanya terbelalak ketika mendapati Tatsuya berdiri di sana. Di depannya.
Ini mimpi. Tidak mungkin Tatsuya ada di sana. Ini pasti akibat ia terlalu merindukannya.
Merindukan seseorang setiap saat bisa mengakibatkan halusinasi. Tatsuya berdiri di sana sambil tersenyum. Tidak mungkin.
Sadarlah, Tara.... Bangunlah... Buka matamu dan lihatlah kenyataan.... Tatsuya tidak ada di sana.... Jangan bermimpi lagi.... Kau sudah terlalu sering bermimpi sampai kau merasa
dirimu sendiri mulai gila....
“Ternyata benar,” kata Tatsuya lagi. “Aku merasa melihatmu di kafe itu. Sudah kuduga aku tidak mungkin salah. Ternyata memang benar kau.”
Tatsuya sedang berbicara. Ini bukan mimpi?
“Tatsuya,” bisiknya serak.
Tatsuya mendekatinya, lalu duduk. Tara ragu sejenak, namun mengikuti tindakan Tatsuya. Ia duduk kembali di bangku itu, agak jauh dari Tatsuya.
Beberapa lama mereka saling diam. Membiarkan suara-suara di sekitar mereka mengisi kesunyian. Bunyi mobil-mobil berlalu-lalang, para pejalan kaki yang berbicara dan tertawa.
Tara memang merasa sangat gugup, tapi anehnya sekaligus merasa tenang. Berada di dekat Tatsuya selalu membuatnya tenang.
“Ini pasti sangat berat bagimu,” kata Tatsuya, tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka.
Tara tidak menjawab. Tidak bergerak. Matanya menatap ke depan. Kosong.
“Aku ingin minta maaf atas tindakan dan ucapanku di apartemenmu waktu itu,” lanjut Tatsuya. Suaranya agak bergetar.
Diam sejenak, lalu Tara berbisik, “Aku juga.”
Tatsuya menunduk menatap sepatunya. “Aku menyesal... atas semua yang terjadi.”
Tara bersusah payah menelan bongkahan pahit yang tersangkut di tenggorokannya. “Aku juga,” bisiknya lagi.
Mereka kembali berdiam diri. Kemudian Tatsuya mengangkat wajah dan menoleh ke arah Tara.
“Kau tidak usah khawatir,” katanya pelan. “Segalanya akan membaik.”
Perlahan-lahan Tara memutar kepalanya menatap Tatsuya. Mata kelabu laki-laki itu begitu dalam, begitu tulus, dan menyiratkan begitu banyak penderitaan serta luka. Tara tidak sanggup membalas tatapannya dan memalingkan wajah.
“Apakah dengan melihatku saja membuatmu sedih?” tanya Tatsuya. Nada suaranya begitu pelan dan tidak berdaya.
Tara tidak bisa menjawab. Matanya sudah mulai kabur karena air mata. Jangan menangis.... Jangan menangis sekarang....
Ia mendengar Tatsuya menghela napas. “Ada yang ingin kukatakan padamu,” katanya.
“Karena itu aku mengejarmu sampai ke sini.”
Tara masih tidak mau menatap Tatsuya.
“Aku akan pulang ke Jepang.”
Kedua tangan Tara kembali terkepal erat di dalam saku mantelnya dan ia menggigit bibir. Untuk sesaat jantungnya serasa berhenti berdetak.
Pulang ke Jepang...?
“Aku sudah mengatur semuanya,” lanjut Tatsuya datar. “Pekerjaanku di sini akan kulanjutkan di Jepang. Pasti tidak masalah. Lagi pula ada pekerjaan lain di Jepang yang harus dikerjakan secepatnya.” Ia berhenti sejenak. “Dengan begini akan lebih mudah bagi kita. Bukankah begitu?”
Memang benar. Melihat bayangan laki-laki itu saja hati Tara terasa sakit. Tetapi bagaimana kalau Tara sama sekali tidak bisa melihatnya? Bahkan bayangannya pun tidak. Bagaimana?
Apa yang akan terjadi padanya?
“Aku ingin memberitahumu lebih dulu sebelum memberitahu Sebastien,” kata Tatsuya.
“Berapa lama?” tanya Tara tanpa memandang Tatsuya.
Tatsuya tidak langsung menjawab. Dengan suara berat akhirnya ia menjawab, “Aku... tidak akan kembali lagi ke Paris.”
Tidak akan kembali lagi.... Tidak akan kembali lagi....
Tara berusaha mengendalikan napasnya yang terputus-putus. Bernapaslah dengan normal.... Tarik... Keluarkan... Tarik... Keluarkan...
“Tara-chan.”
Dengan enggan Tara menoleh. Tatsuya menatap langsung ke matanya, lalu tersenyum. Senyum yang selalu disukai Tara. Tapi sayangnya Tara tidak bisa membalas senyumannya. hatinya terlalu hancur untuk tersenyum.
“Aku sangat senang bisa mengenalmu,” kata Tatsuya. Ia mengucapkan setiap kata dengan pelan, jelas dan tegas. “Terima kasih.”
Kali ini Tara tidak mampu mengalihkan tatapannya dari mata Tatsuya.
Tatsuya berdiri, dan Tara mengikutinya. Mereka berdiri berhadapan dan berpandangan.
Setelah bimbang sesaat, Tatsuya mengulurkan tangan kanannya yang tidak berbebat. Tara menatap tangan yang terjulur itu, lalu kembali menatap mata Tatsuya. Dengan agak gemetar ia menyambut uluran tangan Tatsuya.
Kehangatan genggaman tangan Tatsuya mengalir ke tubuh Tara, mengisi hati dan jiwanya, juga semakin membuat hatinya serasa diremas-remas. Apakah ini terakhir kalinya ia bisa merasakan Tatsuya menggenggam tangannya?
Lalu tiba-tiba Tatsuya menarik tangan Tara dengan pelan namun yakin, menarik Tara mendekatinya, menarik Tara ke dalam pelukannya.
Tara terpana, tercengang, tapi sama sekali tidak menghindar atau menolak. Ia membiarkan Tatsuya melingkarkan sebelah lengannya di sekeliling tubuhnya. Ia membiarkan Tatsuya
memeluknya
dengan erat, sama seperti ketika laki-laki itu memeluknya di taman
rumah sakit.
Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Tatsuya. Saat itu, ia berharap waktu bisa berhenti. Ia rela memberikan apa saja asalkan waktu berhenti saat itu.
Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Tatsuya. Saat itu, ia berharap waktu bisa berhenti. Ia rela memberikan apa saja asalkan waktu berhenti saat itu.
“Aku tidak pernah menyesal mengenalmu,” gumam Tatsuya sekali lagi. “Percayalah padaku.”
Tara menelan ludah dan air matanya sudah nyaris jatuh. Ia mengangguk. Ia percaya.
Tatsuya melonggarkan pelukannya dan mundur selangkah supaya bisa menatap mata Tara.
“Berjanjilah padaku kau akan baik-baik saja,” katanya.
Tara menggeleng. Ia tidak sanggup berjanji. Ia tahu ini kata-kata perpisahan. Ia belum siap.
Jangan pergi, pintanya dalam hati.
“Tara-chan,” panggil Tatsuya. “Berjanjilah.”
Tara menggigit bibirnya. Wajah Tatsuya terlihat buram di matanya karena terhalang air mata.
Akhirnya ia mengangguk.
Jangan pergi....
Tatsuya tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan membelai kepala Tara. Betapa Tara menyukai sentuhan Tatsuya itu. Tapi ia juga menyadari itu untuk yang terakhir kalinya.
“Terima kasih,” gumam Tatsuya. Ia menarik kembali tangannya dan memasukkannya ke saku jas. “Selamat tinggal, Tara-chan.”
Jangan pergi... jangan pergi....
Tara ingin meneriakkan kata-kata itu, memohon Tatsuya untuk tidak meninggalkannya, tapi suaranya tidak bisa keluar. Ia hanya bisa memohon dalam hati sementara Tatsuya membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Kumohon... jangan pergi....
Isakan pertama melompatkeluar dari tenggorokannya dan ia harus menutup mulut dengan tangan supaya Tatsuya tidak mendengarnya. Tetapi melihat punggung Tatsuya yang semakin jauh, Tara sama sekali tidak bisa mengendalikan tangisnya. Isakannya bertambah keras dan ia harus membekap mulut dengan kedua tangan, namun itu juga tidak membantu.
* * *
Tatsuya
tahu Tara menangis. Ketika ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, ia
mendengar isakan gadis itu. Butuh tekad kuat dan segenap kendali dirinya
untuk tidak berbalik dan kembali memeluk Tara. Ia tahu bila ia berbalik
dan melihat Tara lagi, ia tidak akan sanggup meninggalkan gadis itu.
Ia tahu keputusannya ini adalah yang terbaik. Satu-satunya yang bisa dilakukan. Tara tidak bertanya kapan ia akan pulang ke Jepang. Ia yakin Tara tidak berani bertanya. Juga tidak berani mendengar jawabannya. Tatsuya sendiri tidak menawarkan diri untuk memberitahu Tara, karena ia tidak sanggup.
Hatinya sakit sekali ketika memeluk Tara, tapi jauh lebih sakit ketika ia melepaskan pelukannya. Tidak apa-apa... Saat ia meninggalkan Paris, hatinya tidak akan sakit lagi. Ia yakin itu. Karena pada saat itu, hatinya juga akan mati. Tidak akan merasakan apa-apa lagi.
Dua Puluh
HARI
ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar dan ia merasa tidak
bertenaga. Hari ini Tatsuya akan pulang ke Jepang. Tidak akan kembali ke
Paris lagi.
Awalnya ia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Tatsuya akan pulang ke Jepang, tetapi akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bertanya pada Sebastien. Sebastien memberitahunya dan bertanya apa yang akan dilakukannya. Terus terang saja, Tara tidak tahu. Ia tidak berencana melakukan apa-apa. Ia hanya ingin tahu. Ingin merasa yakin.
Tara tidak masuk kerja hari ini dengan alasan sakit. Ia memang sakit. Sangat sakit. Ia tidak bisa melakukan apa pun, hanya duduk di ranjangnya dan melamun.
Apakah ia perlu menelepon Tatsuya?
Apakah ia perlu mengantarnya ke bandara?
Apakah ia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali lagi?
Tidak, sebaiknya ia tidak melakukan semua itu. Itu hanya akan lebih menghancurkan dirinya.
Biar Sebastien saja yang akan mengantar Tatsuya ke bandara. Biar Sebastien saja yang mengucapkan selamat tinggal. Tara sendiri tidak sanggup melakukannya.
Sebastien juga berjanji akan meneleponnya bila Tatsuya sudah pergi.
Tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menempelkannya ke telinga. “Allô?”
“Tara?”
“Élise?” gumam Tara dan bahunya merosot.
“Aku meneleponmu untuk memberitahu supaya kau mendengarkan siaranku nanti.”
“Kenapa?”
“Ini penting sekali.” Suara Élise terdengar serius.
“Katakan padaku, Élise,” desak Tara.
“Monsieur Fujitatsu menulis e-mail lagi.”
Tara menahan napas.
“Dan ini e-mail terakhirnya.”
* * *
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari e-mail Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
“Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
“Aku
pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa
sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak
mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya
pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya
kepadaku.
Selama ini aku tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya.
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja—tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami—dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidka boleh kudapatkan. Kata-kataku ungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
“Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti—aku tidak tahu kapan—rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar di telinganya. “Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendengar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan Élise yang membacakan surat Tatsuya.
“Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya.”
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu.
Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.
Dua Puluh Satu
SEBULAN
sudah berlalu sejak Tatsuya meninggalkan Paris. Walaupun tidak bisa
mengembalikan hidupnya seperti sebelum ia mengenal Tatsuya, tapi Tara
berusaha menjalani hari-harinya senormal mungkin. Tatsuya masih muncul
dalam pikirannya setiap hari tanpa bisa dicegah, tapi Tara berusaha
tidak sedih dan menangis lagi.
Tatsuya tidak pernah menghubunginya sejak meninggalkan Paris, jadi Tara tidak tahu bagaimana keadaannya. Tara tidak bisa menahan diri untuk penasaran, tetapi pada akhirnya ia meyakinkan dirinya sendiri keadaan seperti sekarang adalah yang terbaik.
Segalanya
berjalan baik, setidaknya sebaik yang bisa dilakukan dalam situasi ini,
sampai Tara menerima telepon yang mengabarkan berita buruk itu.
* * *
Mobil
ayahnya mogok lagi sehingga Tara terpaksa harus menyetir mobil dan
menjemput ayahnya karena mereka akan keluar makan bersama.
“Papa belum siap-siap?” tanya Tara begitu pintu apartemen ayahnya dibuka.
Ayahnya tersenyum meminta maaf dan berkata, “Maaf, ma chérie. Papa tadi ketiduran. Kalau kau mau menunggu sebentar, Papa akan siap dalam beberapa menit.”
Tara melangkah masuk ke apartemen ayahnya sambil menggerutu, “Mana ada laki-laki yang meminta wanita menunggu? Biasanya Papa yang suka mewanti-wanti supaya aku tidak terlambat menjemput. Sekarang? Tapi tidak apa-apa. Aku akan menunggu dengan tenang dan sabar kalau Papa berjanji tidak akan mengomel soal mobilku. Asal tahu saja, mobilku belum sempat kucuci selama... aku lupa sudah berapa lama aku tidak mencuci mobil. Yang penting bagian dalam mobilnya masih bersih.”
“Baiklah, Papa janji,” kata ayahnya cepat sebelum menghilang ke dalam kamar mandi.
Tara tersenyum kecut. Ia tahu ayahnya hanya berjanji agar ia berhenti menggerutu. Nanti ayahnya pasti mengomel juga begitu melihat kondisi mobilnya yang menyedihkan.
Ia menjatuhkan pantatnya ke sofa dan baru akan menyalakan televisi ketika telepon berdering. Ia menoleh sejenak ke kamar mandi, lalu ke arah telepon di meja kecil di samping televisi itu.
“Papaaaa!” panggilnya keras.
“Tolong jawab teleponnya, ma chérie,” ayahnya balik berseru dari kamar mandi.
Tara bangkit dan berjalan ke telepon. “Allô?” katanya begitu gagang telepon menempel di telinga.
“Allô?” suara seorang wanita membalas dengan nada ragu.
Tara mencibir. Pasti salah satu kekasih baru ayahnya.
“Ya? Anda ingin berbicara dengan siapa?” tanya Tara datar.
“Eh... apakah... Monsieur Lemercier?” tanya wanita itu lagi. Suaranya terdengar gugup dan jauh. Ditambah lagi ia mengucapkan kata-kata itu dalam bahasa Prancis yang payah sekali.
Tara baru akan membuka mulut, ketika ia tersentak. Lemercier? Kenapa wanita ini menyebut nama lama ayahnya? Siapa wanita ini?
“Siapa ini?” tanya Tara sambil mengerutkan kening.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya ia menjauhkan gagang telepon dan Tara bisa mendengar wanita itu berbicara dengan seseorang di dekatnya. Tara bisa mendengarnya, tapi tidak memahami kata-katanya, karena wanita itu berbicara dalam bahasa asing.
“Allô? Siapa ini?” tanya Tara lagi.
Wanita itu kembali berbicara, “Inggris... oke?”
“No problem,” kata Tara begitu menyadari wanita itu tidak bisa berbahasa Prancis.
Mendengar Tara bisa berbahasa Inggris, wanita itu mendesah lega dan kata-katanya mengalir lancar dalam bahasa Inggris berlogat asing. “I‟m calling from Japan and I‟m looking for Monsieur Lemercier.”
Menelepon dari Jepang? Tara menahan napas dan melirik pintu kamar mandi. Ayahnya masih belum keluar.
“I‟m Tara,” katanya sambil berusaha terdengar tenang. “My father cannot answer the phone right now. Would you like to leave a message?”
“Oh... Tara?” Suara wanita itu terdengar semakin jauh, tapi anehnya Tara merasa sepertinya wanita itu mengenalnya. “Tara Dupont?”
Tara mengerutkan kening. Wanita ini jelas tahu siapa dirinya. “Do I know you?”
“No,” jawab wanita itu cepat. “Sorry. My name is Keiko and I‟m calling because of Tatsuya-san. Tatsuya Fujisawa.”
Nama itu...
“He‟s very sick.”
Jantung Tara seakan berhenti berdetak. Apa katanya?
“There‟s an accident at work. His father, Kenichi Fujisawa—he‟s standing beside me right now—he asked me to call Monsieur Lemercier and tell him about this.”
Tara mulai panik.... Tubuhnya mendadak dingin.... Darahnya seakan terserap keluar dari tubuhnya. Kecelakaan? Kecelakaan seperti apa? Parahkah? Apa yang terjadi pada Tatsuya?
“Can you come here? With Monsieur Lemercier? Come to Tokyo?”
Kenapa wanita ini meminta mereka pergi ke Tokyo? Kenapa? Jangan-jangan... Tidak, tidak. Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Berpikir positif. Tarik napas... Jangan panik...
“Why... how...,” Tara menelan ludah ketika mendengar suaranya sendiri terdengar serak dan seperti tercekik. Banyak sekali pertanyaan yang melintas dalam benaknya, tetapi lidahnya terasa berat. Akhirnya ia hanya bisa bertanya, “How is he?... Is he okay?”
“He‟s in a coma.”
Gagang telepon itu terlepas dari tangan Tara dan jatuh dengan suara keras ke lantai.
“Ada apa? Victoria?” tanya ayahnya yang ternyata sudah keluar dari kamar mandi.
Tara tidak menjawab. Ia membiarkan ayahnya memungut gagang telepon itu. “Allô? Siapa ini?”
Kaki Tara mendadak lemas dan tidak bisa menopang tubuhnya. Ia jatuh terduduk di lantai. Ia tidak punya tenaga untuk bicara ataupun bergerak. Napasnya terputus-putus. Sebelah tangannya menopang tubuhnya di lantai, sebelah tangan lagi memegang dada, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerbu dirinya. Ia merasa dingin. Dingin sekali. Begitu dinginnya sampai
tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya buram, pendengarannya tidak jelas, seakan telinganya disumbat, namun samar-samar ia bisa mendengar ayahnya masih berbicara di telepon.
Kepalanya berputar-putar. Ia mendongak dan melihat perabotan di sekelilingnya seakan nyaris jatuh dan menimpanya. Ia menarik napas sekali lagi. Hal terakhir yang didengarnya sebelum kesadarannya menghilang seluruhnya adalah ayahnya menyerukan namanya. Lalu segalanya menjadi gelap.
* * *
Yang
pertama dilihatnya ketika ia sadarkan diri adalah langit-langit putih.
Bukan langit-langit kamarnya. Tara menoleh ke samping dan mendapati
ayahnya sedang duduk di dekatnya dengan raut wajah cemas. Kemudian
otaknya mulai bekerja kembali dan ia ingat kejadian sebelum ia jatuh
pingsan. Sekarang ia berbaring di sofa ruang tengah apartemen ayahnya.
Ia bergegas bangkit, tapi gerakan tiba-tiba itu membuat kepalanya
pusing.
“Kau sudah sadar, ma chérie?” tanya ayahnya sambil membantunya duduk.
“Bagaimana keadaannya?” Tara balas bertanya. Ia menatap kedua mata ayahnya dengan perasaan takut. “Ayah sudah bicara dengan wanita itu?”
Ayahnya mengangguk pelan.
“Ceritakan padaku, Papa,” desak Tara. Ia mengguncang-guncang lengan ayahnya.
“Kecelakaan itu sangat parah, ma chérie,” ayahnya memulai dengan suara serak. Itu pertanda buruk. Sangat buruk.
Tara menggeleng-geleng, menolak untuk percaya. “Tapi dia akan baik-baik saja, kan?”
Ayahnya menarik napas. “Tatsuya masih hidup, tapi kata dokter dia tidak akan bisa bertahan lama.”
“Tidak! Itu bohong!” Tara mulai histeris.
“Victoria...”
“Jangan!” Tara menutup kedua telinganya dan menahan isakan yang akan keluar dari mulutnya.
“Kita akan meminta pendapat dokter lain,” kata ayahnya, pelan tapi pasti. “Pasti ada cara lain.”
Tara tidak menjawab. Ia sadar ayahnya juga berusaha meyakinkan diri sendiri.
“Papa harus ke Jepang,” kata ayahnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Tara.
Kemudian ia menatap Tara. “Kau ikut?”
Tara memandang ayahnya, lalu menunduk. Bagaimana kalau perkiraan dokter benar?
Bagaimana kalau Tatsuya tdiak bisa... Tara menelan ludah. Biasanya ia selalu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi yang terburuk. Tetapi kali ini ia tidak yakin ia sanggup menerima hasil terburuk itu.
Selama sebulan sejak Tatsuya meninggalkan Paris, Tara selalu berpikir suatu hari nanti ia akan bisa bertemu dengan Tatsuya lagi. Entah bagaimana perasaannya nanti, tetapi ia yakin mereka akan bertemu lagi. Walaupun hatinya akan sakit, walaupun ia akan menangis, tetapi setidaknya ia tahu ia akan melihat Tatsuya lagi. Bila ia melihat Tatsuya baik-baik saja, ia sendiri juga akan baik-baik saja. Itulah yang dipercayainya selama ini.
Tetapi sekarang? Kemungkinan ia takkan pernah bisa melihat Tatsuya lagi membuatnya merinding. Ia bahkan tidak berani berpikir apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia dipaksa menghadapi kenyataan terburuk itu.
Dua Puluh Dua
BEGITU tiba di Tokyo, mereka langsung check-in di hotel, lalu pergi ke rumah sakit tempat Tatsuya dirawat.
Ini pertama kalinya Tara menginjakkan kaki di Jepang, tetapi ia sama sekali tidak berminat melihat-lihat. Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, dan dari hotel ke rumah sakit, ia tetap memandang lurus ke depan. Hatinya sama sekali tidak tenang dan ketika mereka tiba di rumah sakit, ia menyadari kedua tangannya terkepal begitu erat sampai terasa sakit.
Di rumah sakit itu ia bertemu dengan ayah Tatsuya. Ia tetap diam dan menjaga jarak sementara ayahnya menyapa dan bersalaman dengan ayah Tatsuya.
Usia Kenichi Fujisawa pasti tidak jauh berbeda dari Jean-Daniel Dupont, tetapi pria kurus itu terlihat jauh lebih tua daripada Jean-Daniel. Tua dan lelah. Di raut wajahnya yang dipenuhi guratan penderitaan, Tara merasa ia pria yang sabar, pendiam, dan bijak. Matanya memancarkan kesedihan mendalam, tetapi juga menyiratkan rasa terima kasih melihat Tara dan ayahnya bersedia datang menjenguk putranya.
Kenichi Fujisawa hanya bisa berbahasa Jepang, sementara bahasa Jepang ayah Tara amat terbatas, karena itulah Kenichi didampingi seorang gadis muda berambut panjang yang saat itu berperan sebagai penerjemah.
“Tara-san?”
Tara tersentak dari lamunannya dan menoleh. Gadis penerjemah itu menatapnya sambil tersenyum ramah. Kenichi Fujisawa menggumamkan beberapa patah kata dalam bahasa Jepang kepada Tara. Tara tidak mengerti. Ia memandang gadis penerjemah itu dengan pandangan bertanya.
“I‟m glad that we can finally meet, but I‟m sorry we have to meet in this kind of situation,” kata gadis itu, menerjemahkan setiap kata yang diucapkan Kenichi Fujisawa.
Tara tidak sanggup menjawab. Ia hanya bisa mengangguk dan berusaha menahan air mata.
Pria itu berbicara lagi. Gadis penerjemah itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata pada Tara, “Thank you for coming. It means a lot to my son. Looks like he is waiting for you. That‟s why he keeps breathing and doesn‟t willing to let go.”
Tara membasahi bibirnya yang kering dan menelan ludah. Tangannya gemetar dan ia segera memasukkannya ke saku mantel. Jangan menangis sekarang....
Saat itu seorang dokter menghampiri mereka. Jean-Daniel dan Kenichi Fujisawa segera menyambut sang dokter. Untungnya dokter itu bisa berbahasa Inggris. Ayah Tara bertanya apakah ia boleh masuk dan melihat keadaan Tatsuya. Sang dokter mengangguk dan mempersilakan kedua pria itu masuk. Ayahnya memandang Tara dan mengajaknya ikut masuk, tetapi Tara menggeleng. Ia belum siap.
“Papa masuk saja dulu,” bisiknya pelan. “Aku akan menyusul.”
Seakan memahami apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya, gadis penerjemah itu menghampiri Tara dan menyentuh lengannya.
“Enggak apa-apa,” katanya dalam bahasa Indonesia.
Tara menoleh dan menatapnya heran.
Gadis itu tersenyum. “Tatsuya-san pernah bilang kamu bisa berbahasa Indonesia. Aku harap kamu enggak keberatan. Kupikir lebih nyaman bicara dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris.”
Tara ingat. Tatsuya pernah bercerita tentang tetangganya yang bisa berbahasa Indonesia.
Ternyata gadis ini.
“Ayo kita duduk di sana,” ajak gadis itu. Ia menuntun Tara ke bangku tunggu di depan kamar rawat Tatsuya.
Tara menurut tanpa perlawanan. Setelah duduk, ia menoleh ke arah gadis itu. “Pardon... Maaf, aku belum tahu namamu.”
“Oh, aku lupa bilang,” kata gadis itu dan tersenyum meminta maaf. “Namaku Keiko Ishida, tetangga Tatsuya-san. Ayahnya memintaku menelepon kalian waktu itu, sekaligus menjadi penerjemah.”
“Kau tahu... bagaimana keadaan Tatsuya sekarang?” tanya Tara. Ia menyadari suaranya yang bergetar dan tersendat-sendat, tapi ia tidak peduli.
Keiko mengalihkan pandangan dan menarik napas. “Sama sekali enggak baik,” akunya terus terang. “Kecelakaan itu parah sekali. Yang kudengar adalah waktu itu dia sedang mengunjungi lokasi proyek dan terjatuh dari tingkat tiga gedung yang sedang dibangun.”
Tara mengggigil dan memejamkan mata erat-erat. Ia tidak sanggup membayangkan Tatsuya yang terjatuh dari ketinggian seperti itu.
“Sejak terjatuh sampai sekarang, dia belum sadar,” lanjut Keiko. “Kata dokter luka di kepalanya sangat parah. Dia enggak mungkin bisa bertahan lebih dari empat puluh delapan jam. Tapi nyatanya dia bisa. Dia masih bernapas walaupun sudah lewat tiga hari. Dokter juga bingung.”
Tara merasa ada yang meninju jantungnya. Berulang-ulang.
“Dia memang masih bernapas, tetapi masih belum sadar. Dan Dokter sudah berterus terang enggak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka sudah meminta ayah Tatsuya-san bersiap-siap.”
Tara membuka mulutnya dengan takut-takut. “Quoi...? Siap-siap untuk...?”
Pertanyaan bodoh. Apakah ia sungguh ingin mendengar jawabannya?
“Untuk menerima yang terburuk,” sahut Keiko muram.
Udara di sekeliling Tara sepertinya bertambah berat. Lagi-lagi ia kehabisan napas. Ia butuh udara.
“Ayah Tatsuya-san percaya Tatsuya-san sedang menunggu kalian,” kata Keiko. “Karena itulah dia terus bertahan hidup.”
Sebelah tangan Tara terangkat ke dada. Tarik napas... Keluarkan... Tarik... Keluarkan... Air matanya menetes.
“Aku... enggak mau menemuinya,” gumamnya pelan, lalu menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Keiko menoleh dan menatapnya dengan heran. “Kenapa?”
“J‟ai peur... Aku takut,” aku Tara. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan menggigil lagi.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya Keiko cemas.
“Tadi kamu bilang dia sedang menunggu kami,” Tara melanjutkan tanpa menghiraukan pertanyaan Keiko. “Kalau itu benar, apa yang akan terjadi begitu kami bertemu?”
Keiko tidak menjawab. Sepertinya ia tahu ke mana arah pertanyaan Tara.
“Dia akan berhenti menunggu?” tanya Tara.
Keiko belum sempat menjawab, karena saat itu pintu kamar Tatsuya terbuka dan Kenichi Fujisawa melangkah ke luar. Ia berbicara sebentar dengan Keiko, lalu menyerahkan sesuatu kepada gadis itu. Ia menoleh ke arah Tara, tersenyum samar, dan masuk kembali ke kamar.
“Ada apa?” tanya Tara tegang. Ia merasa mulai panik. “Ada yang terjadi?”
Keiko menggeleng cepat. “Enggak, enggak apa-apa. Ayah Tatsuya-san hanya menyuruhku pulang dan istirahat.”
Tara mengembuskan napas pelan. Lega.
“Kamu mau ikut? Tatsuya-san tinggal di gedung apartemen yang sama denganku. Kamu mau melihat apartemennya?”
Tara menatap Keiko. “Boleh?”
Keiko tersenyum dan menunjukkan benda yang diserahkan Kenichi Fujisawa kepadanya tadi.
Kunci.
“Ayah Tatsuya-san yang memintaku mengajakmu,” kata Keiko.
* * *
Tara berdiri di depan pintu apartemen Tatsuya. Sendirian. Keiko sudah masuk ke apartemennya sendiri.
“Kalau sudah selesai, aku ada di apartemen sebelah,” kata Keiko sebelum menyerahkan kunci apartemen Tatsuya kepada Tara.
Tara menggenggam erat kunci yang terasa dingin di tangannya. Ia mengumpulkan seluruh tekad dan keberaniannya, lalu memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya. Pintu pun terbuka.
Ketika ia melangkah masuk, ia merasa seakan melangkah masuk pribadi Tatsuya. Suasana apartemen Tatsuya meliputi dirinya, membawanya masuk ke kehidupan Tatsuya. Dadanya berdebar-debar dan ia merasa gugup. Ia ingin melihat sendiri bagaimana hidup Tatsuya. Ingin merasakannya. Ia ingin melihat apa yang dilihat Tatsuya, ingin merasakan apa yang diraskaan Tatsuya. Ia ingin memahami Tatsuya.
Apartemen Tatsuya tidak terlalu besar. Tara melangkah masuk dengan perlahan dan melihat berkeliling. Sinar matahari masuk melalui pintu kaca yang menuju beranda, dan melalui jendela ruang makan, menerangi seluruh ruangan. Tara mengulurkan tangan dan menyentuh perabotan di sana. Meja makan... kursi... sofa... rak buku... televisi... tirai jendela.... Ia mengamati setiap foto yang tergantung di dinding ruang tengah. Kebanyakan adalah foto keluarga. Tidak ada foto diri.
Langkah Tara terhenti di depan sebuah pintu geser yang terbuka, ragu sejenak, lalu melongokkan kepala ke dalam. Kelihatannya seperti ruang kerja kecil. Sebagian besar diisi rak-rak tinggi yang dipenuhi buku. Ia berjalan mendekati salah satu rak itu dan mengamati buku-buku yang tersusun rapi di sana. Ada beberapa buku biografi orang terkenal, juga novel fiksi-ilmiah, namun sebagian besar adalah buku tentang arsitektur.
Tara beralih ke meja kerja yang penuh berbagai gulungan kertas dan denah rancangan. Jemarinya menyentuh kertas-kertas di meja yang penuh coretan tangan dalam huruf kanji Jepang. Tulisan tangan Tatsuya.
Tatsuya bekerja di meja ini.... Menulis di sini....
Matanya terasa panas dan tenggorokannya tercekat. Ia menggigit bibir dan mengerjapkan mata untuk mengusir air mata yang mulai terbit.
Dengan perlahan, seakan sedang bermimpi dan ingin menikmati mimpi itu selama mungkin, ia keluar dari ruang kerja Tatsuya dan berjalan ke ruangan lain yang dibatasi hanya dengan rak buku yang tinggi. Kamar tidur Tatsuya.
Kamar tidur ini berukuran sedikit lebih kecil daripada ruang kerja tadi, tetapi terasa lebih lega. Mungkin karena kamar tidur ini memiliki jendela. Tara mengedarkan pandangan. Ranjang dengan seprai biru tua di dekat jendela itu masih kusut, bekas ditiduri, dan belum sempat dibereskan.
Tiba-tiba saja Tara bisa membayangkan Tatsuya yang bangun pada pagi hari itu, bangkit dari tempat tidur, berjalan ke lemari pakaiannya, dan keluar dari kamar tidur menuju kamar mandi. Bersiap-siap berangkat kerja. Sama sekali tidak menduga nantinya ia akan mengalami kecelakaan parah.
Tara menghampiri lemari pakaian dua pintu itu dan membukanya. Ia menyentuh setiap pakaian yang tergantung di sana, berharap ia bisa merasakan Tatsuya. Lalu tangannya yang gemetar berhenti bergerak. Ia menyentuh jaket cokelat yang sudah sangat dikenalnya. Tangannya meluncur turun di sepanjang lengan jaket itu.
Tatsuya sering memakai jaket ini ketika di Paris. Tara ingat ia pertama kali melihat Tatsuya memakainya ketika laki-laki itu bertemu dengannya di restoran bersama Sebastien. Tanpa disadari Tara tersenyum mengingat saat itu ia hanya memberikan nilai tujuh setengah untuk Tatsuya, namun dengan cepat naik menjadi delapan ketika Tatsuya mengucapkan nama Tara. Lama-kelamaan nilai Tatsuya terus naik sampai Tara tidak peduli dengan hitungannya lagi.
Merasa ia sudah nyaris larut dalam kesedihan, Tara memalingkan wajah ke arah meja kecil di seberang tempat tidur. Mirip meja kerja, tapi bukan. Meja ini memberikan kesan yang lebih pribadi. Di meja ada laptop dalam keadaan terbuka namun layarnya kosong, beberapa buku dan memo. Tara menarik kursi dan duduk menghadap meja itu. Tangannya mengelus perlahan permukaan meja, lalu menyentuh laci di depannya dan membukanya.
Sejenak ia tidak bisa merasakan detak jantungnya ketika melihat apa yang ada di dalam laci. Tangannya kembali gemetar ketika mengeluarkan foto-foto itu. Lima lembar foto.
Foto-foto Tara sendiri.
Foto pertama adalah foto dirinya yan gmenguap dengan sebelah tangan menutupi mulut. Melihat latar belakang foto itu, Tara tahu di mana foto itu diambil. Di Museé Rodin. Bersama Tatsuya. Tara melihat sebaris tulisan di balik foto.
“Dia menguap...”
Kapan Tatsuya memotretnya? Kenapa ia tidak sadar?
Foto kedua menunjukkan dirinya duduk di tepi jendela dan memandang ke luar jendela. Tara mengenali apartemen yang ditempati Tatsuya di Paris. Ia membalikkan foto dan membaca.
“Melamun sambil memandangi Sungai Seine...”
Foto ketiga. Dirinya berada di dapur apartemennya sendiri, mengangkat panci dengan dua tangan. Ia kembali membalikkan foto itu.
“Dia pintar memasak...”
Foto keempat adalah foto close-up dirinya yang tersenyum lebar.
“Dia tersenyum...”
Foto terakhir membuatnya tidak bisa bernapas. Ia menyadari ternyata ia sudah menangis ketika air matanya menetes ke foto yang dipegangnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tangis, tetapi tidak berhasil.
Dalam foto itu ia melihat dirinya dan Tatsuya. Ia ingat dengan jelas di mana mereka saat itu. Di Disneyland Paris. Saat itu mereka meminta bantuan pengunjung lain untuk mengambil foto mereka berdua. Mereka mengenakan bando berbentuk telinga Mickey Mouse dan tersenyum lebar ke arah kamera. Sebelah lengan Tatsuya merangkul leher Tara dan tangan yang lain memegang es krim vanila. Tatsuya terlihat sangat tampan saat itu. Tampan dan bahagia.
Dengan tangan yang masih gemetar, Tara membalikkan foto itu.
“Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup...”
Tangannya terkulai lemas dan tanpa sengaja menyentuh laptop yang ada di meja. Layar laptop yang semula gelap pun menyala.
Tara menatap layar yang mulai jelas. Alisnya berkerut samar ketika ia melihat apa yang muncul di layar. E-mail?
To : Fujisawa Tatsuya
From : Sebastien Giraudeau
Subject : Re: bagaimana keadaannya?
Tara membaca isi e-mail tersebut, kemudian ia mulai mencari e-mail lainnya. Begitu menemukan daftar e-mail yang masuk di inbox, tanpa sadar Tara menahan napas. Setelah membulatkan tekad, ia mulai membaca satu per satu e-mail tersebut.
Semakin lama pandangannya semakin kabur, dadanya semakin berat, dan napasnya semakin sulit.
Hanya tangisannya yang bergema di apartemen itu. Tara membiarkan dirinya menangis dengan keras. Menangisi dirinya, menangisi Tatsuya, menangisi nasib, menangisi kenyataan. Ia menangis sampai kehabisan napas dan kelelahan. Namun saat itu pun air matanya tidak mau berhenti menengalir.
Dua Puluh Tiga
PEGANGAN
pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkeraman Tara. Butuh
keberanian besar untuk masuk ke kamar rawat Tatsuya. Ia harus menguasai
dirinya terlebih dahulu.
Hari sudah sore ketika ia tiba kembali di rumah sakit. Ayahnya melihat kedatangannya dan segera memeluknya. Saat itu juga Tara tahu ia akan kehilangan Tatsuya.
“Papa sudah mencobanya,” gumam ayahnya.
Tara menatap ayahnya dan menyadari ayahnya habis menangis.
“Papa bahkan sudah meminta pendapat Laurent Delcour, tetapi hasilnya sama saja,” lanjut ayahnya. Suaranya serak karena emosi.
Papa sudah meminta pendapat Dr. Delcour.... Ternyata tetap tidak bisa membantu....
“Kau mau menemuinya?” tanya ayahnya sambil mengusap wajah.
Tara menunduk dan tidak menyahut. Ia menghela napas tanpa suara dan akhirnya mengangguk.
Dan di sinilah ia, berdiri dengan tegang di depan kamar rawat Tatsuya dengan tangan mencengkeram pegangan pintu. Ia memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui Tatsuya dengan wajah basah karena air mata. Tatsuya tidak akan senang melihatnya.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Tidak pernah membuat siapa pun tenang. Begitu menusuk... Dingin...
Pertama-tama matanya melihat sosok Tatsuya yang terbaring tak bergerak di ranjang, lalu berbagai selang dan kabel yang menghubungkan tubuh Tatsuya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar ranjang. Dengan susah payah Tara mengalihkan pandangannya ke arah mesin-mesin yang menunjukkan kondisi vital Tatsuya. Ia tidak memahami sebagian besar mesin itu, hanya saja matanya terpaku pada mesin yang menunjukkan detak jantung Tatsuya.
Monitor itu masih menampilkan garis tidak teratur. Jantung Tatsuya masih berdetak. Ia masih hidup....
Langkah Tara terasa berat ketika ia menghampiri sisi ranjang. Wajah Tatsuya nyaris tidak terlihat jelas di balik semua perban dan masker oksigen. Mata Tatsuya terpejam. Terlihat tenang sekali. Seolah tidur.
Tara harus mengatakan sesuatu. Diam saja juga tidak ada gunanya. Kalau ia bicara, apakah Tatsuya bisa mendengarnya? Apakah Tatsuya akan terbangun begitu mendengar suaranya? Apakah harapannya terlalu berlebihan? Apakah salah mengharapkan keajaiban?
Tara menatap wajah Tatsuya dan bergumam pelan, “Kau bukan Putri Tidur, kau tahu? Kenapa kau tidak bangun saja sebelum aku membuat keributan?”
Ia diam, mengharapkan jawaban yang ia tahu tidak akan diterimanya. Tatsuya tetap bergeming.
Tara duduk di kursi yang disediakan di sisi ranjang. Ia menghela napas dan menunduk.
“Aku... tadi pergi ke apartemenmu,” gumamnya. Suaranya lirih. Hanya sebesar itulah tenaga
yang bisa dikerahkannya untuk bicara. “Apartemenmu lumayan berantakan. Tempat tidur belum dibereskan....” Ia mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali ketika merasa matanya perih.
“Kuharap kau tidak keberatan aku melihat-lihat. Kau tahu aku sangat gampang penasaran. Aku ingin mendapat sedikit gambaran bagaimana hidupmu di Jepang.”
Tara mendesah pelan. “Aku juga... Aku juga sudah melihat foto-foto itu.”
Ia mengamati wajah Tatsuya, berharap melihat sedikit reaksi. Tapi tidak ada sama sekali.
“Aku sama sekali tidak sadar kau memotretku. Bagaimana cara kau melakukannya? Kau mau tahu foto yang paling kusukai? Foto kita berdua di Disneyland. Kau terlihat konyol sekali dengan telinga Mickey Mouse.... Sebenarnya aku sendiri juga terlihat konyol.” Ia meremas-remas tangannya sendiri. “Saat itu aku sangat bahagia. Itu saat-saat yang menyenangkan.”
Tara kembali menunduk. “Selain itu aku juga membaca e-mail-mu.... Kau tahu, e-mail yang kaukirimkan kepada Sebastien. Juga e-mail Sebastien untukmu.”
Air matanya menetes ke kepalan tangan yang ditumpukan di kedua lututnya. Sial! Kenapa ia tidak bisa mengendalikan air matanya? Dengan cepat ia mengusap mata.
“Selama ini kau tidak pernah menghubungiku. Ternyata kau masih berhubungan dengan Sebastien.”
Ia memaksa diri mengangkat wajah dan menatap wajah Tatsuya.
“Terima kasih.” Suaranya gemetar. Tangannya juga. “Terima kasih atas semua yang sudah kaulakukan untukku. Aku selalu senang bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan.
Saat-saat bersamamu adalah saat-saat paling membahagiakan. Aku selalu mengira saat itu
bisa bertahan selamanya.”
Bolehkah ia bersikap egois sekarang? Bolehkah ia meminta Tatsuya agar tetap bersamanya?
Ia
menatap Tatsuya dan matanya melebar. Apakah ia salah lihat? Tidak...
Sebelah mata Tatsuya yang tidak tertutup perban sepertinya basah.
Tatsuya menangis...! Tatsuya bisa mendengarnya...!
Air mata Tara semakin deras. Ia mencondongkan tubuhnya dan menyentuh lengan Tatsuya dengan perlahan.
“Tatsuya,” panggilnya, lalu membekap mulutnya sendiri ketika ia mulai terisak. “Kau bisa mendengarku? Kau mendengar semua kataku?”
Setetes air mata bergulir turun dari mata Tatsuya yang terpejam, namun Tatsuya sama sekali tidak bergerak.
Tara mulai terisak. “Jangan marah padaku kalau aku menangis sekarang.” Ia menggeleng.
“Biarkan aku menangis. Hari ini saja.” Ia menarik napas dengan susah payah. “Dengarkan aku.
Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja. Kau dengar aku, Tatsuya? Aku baik-baik saja. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa. Aku janji.”
Tara memegang lengan Tatsuya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya menutup mulut. “Aku akan baik-baik saja,” isaknya pelan. “Aku akan selalu menyayangimu.” Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu....
Lalu Tara mendengar bunyi panjang dan datar yang membuatnya bulu kuduknya meremang. Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang terlihat di sana. Dan bunyi panjang dan monoton itu....
Segalanya seakan berlangsung dalam gerakan lambat. Ia memutar kepala dan menatap Tatsuya. Wajah Tatsuya masih tenang seperti sebelumnya. Kepala Tara berputar kembali ke monitor yang menunjukkan garis lurus itu.
Sebelum ia sempat berpikir, pintu kamar terbuka dan orang-orang berpakaian putih menerobos masuk. Ia tidak menyadari ayahnya menariknya menjauh dari ranjang dan memeluknya. Sosok Tatsuya menghilang ditelan kerumunan orang berbaju putih itu.
Namun kenyataannya usaha dokter dan perawat yang mengelilingi ranjang Tatsuya tidak membuahkan hasil. Tara melihat mereka perlahan-lahan menjauh dari ranjang. Matanya beralih menatap monitor yang tetap menunjukkan garis lurus itu.
Tidak berubah... Mereka gagal menyelamatkan Tatsuya.
Ia merasa tubuh ayahnya gemetar. Ayahnya menangis. ia juga melihat Kenichi Fujisawa menangis sambil memeluk tubuh putranya. Tara membenamkan wajah di dada ayahnya dan menangis bersamanya.
Jangan marah padaku kalau aku menangis.... Hari ini saja.... Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa.... Aku janji....
Epilog
Rabu, 21 November
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastien Giraudeau
Subject : Bagaimana keadaannya?
Sebastien, apakah dia baik-baik saja?
Kamis, 22 November
From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya
Subject : Re: Bagaimana keadaannya?
Tara baik-baik saja walaupun masih murung. Dia masih sangat sedih, tapi itu wajar saja menurutku. Sejak kau pergi, dia mengurung diri di apartemennya selama dua hari. Tidak bekerja dan menolak bicara. Tapi setelah itu dia membaik. Dia sudah kembali bekerja. Tentu saja kadang-kadang masih pendiam dan suka melamun, tapi dia baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir.
Kamis, 29 November
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastien Giraudeau
Subject : (None)
Sahabatku yang baik, bagaimana keadaannya sekarang?
Ngomong-ngomong, kau tidak memberitahunya tentang ini, bukan?
Jumat, 30 November
From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya
Subject : Re: (None)
Kau tahu betapa susahnya aku merahasiakan sesuatu darinya? Tapi kau tenang saja, Teman. Tara sama sekali tidak tahu aku sudah menjadi semacam mata-mata tidak resmi bagimu.
Tara
sekarang ini sedang pergi berbelanja bersama Élise. Malam nanti kami
ada janji makan malam bersama. Oh, dia sudah semakin ceria. Dia sudah
tertawa seperti dulu. Dan kalau kau ingin tahu, dia juga selalu makan
tepat waktu. Dia sangat sehat. Tidak sakit apa pun.
Minggu, 02 Desember
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastien Giraudeau
Subject : Trims
Maafkan aku kalau aku memintamu menjadi “mata-mata”. Aku lega mendengar dia baik-baik saja. Dia sangat beruntung punya teman sepertimu.
Terima kasih, Sebastien.
Senin, 03 Desember
From : Sebastien Giraudeau
To : Fujisawa Tatsuya
Subject : Kau sendiri?
Hei, aku sama sekali tidak keberatan menjadi mata-mata. Aku tahu kau mencemaskan Tara, sama seperti kami di sini. Tapi kau tentu sudah tahu, Tara itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa bertahan.
Bagaimana denganmu sendiri? Kau baik-baik saja?
Tatsuya terpekur menatap layar laptop-nya. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi
dan membaca ulang e-mail dari Sebastien, khususnya kalimat terakhir. Apakah dirinya baik-baik saja setelah meninggalkan Paris dan kembali ke kehidupan normalnya di Tokyo?
Kehidupan normal...? Kehidupan normal itu seperti apa...? Ia sudah lupa.
Ia
teringat permohonan yang dibuatnya ketika merayakan ulang tahunnya
bersama Tara dulu. Gadis itu memaksanya mengucapkan permohonan. Katanya
permohonan saat ulang tahun akan terkabul.
“Ucapkan satu permintaan sebelum meniup lilinnya,” kata Tara waktu itu.
“Permintaan?”
“Kau tentu tahu kalau permintaan yang diucapkan saat kita berulang tahun akan selalu terkabul, bukan? Ayo, cepat. Nanti lilinnya meleleh.”
Saat itu Tatsuya punya banyak permohonan yang ia tahu tidak akan bisa terkabul. Kenyataan tidak akan bisa diubah. Tetapi ketika ia memandang Tara dan melihatnya tersenyum, ia tahu apa yang diinginkannya.
Sekarang ini ia hanya punya satu keinginan di atas segalanya. Satu permohonan.
Ia ingin Tara Dupont selalu bahagia. Walaupun itu berarti ia harus menyerahkan seluruh hidupnya.
Tatsuya menatap layar laptop dan mulai mengetik.
Selasa, 04 Desember
From : Fujisawa Tatsuya
To : Sebastien Giraudeau
Subject : Re: Kau sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar