Harry Potter Dan Kamar Rahasia 2
11. Klub Duel
KETIKA
Harry terbangun pada hari Minggu pagi, kamarnya dipenuhi sinar matahari
musim dingin dan lengannya sudah bertulang lagi, tetapi sangat kaku.
Dia segera duduk dan menoleh ke tempat tidur Colin, tetapi ternyata di
antara tempat tidurnya dan tempat tidur Colin telah dipasangi tirai
tinggi, yang kemarin dipasang untuk melindunginya berganti pakaian.
Me-lihat Harry sudah bangun, Madam Pomfrey datang membawa nampan sarapan
dan mulai menekuk dan menarik lengan, tangan, dan jari-jarinya.
"Semua
bagus," katanya, ketika Harry dengan cang-gung menyuapkan bubur dengan
tangan kirinya. "Se-sudah makan, kau boleh pulang."
Harry
berpakaian secepat dia bisa dan bergegas ke Menara Gryffindor. Dia
sudah ingin sekali bercerita kepada Ron dan Hermione soal Colin dan
Dobby, tetapi ternyata mereka tak ada di sana. Harry pergi lagi untuk
mencari mereka, dalam hati bertanya-tanya ke mana kiranya mereka dan
merasa agak sakit hati karena mereka tidak ingin tahu apakah tulangnya
bisa tumbuh lagi atau tidak.
Saat
Harry melewati perpustakaan, Percy Weasley keluar dari situ. Dia
kelihatan jauh lebih riang dari-pada ketika terakhir kali mereka
bertemu.
"Oh,
halo, Harry," sapanya. "Terbangmu hebat sekali kemarin, benar-benar
luar biasa. Gryffindor memimpin dalam perolehan angka untuk Piala
Asrama—kau men-dapat lima puluh angka!"
"Kau tidak melihat Ron atau Hermione?" tanya Harry.
"Tidak," kata Percy, senyumnya memudar.
"Mudah-mudahan Ron tidak berada di toilet anak perempuan yang lain..."
Harry
memaksakan tawa, mengawasi Percy meng-hilang, dan kemudian langsung
menuju toilet Myrtle Merana. Dia tak melihat alasan kenapa Ron dan
Hermione akan berada di sana lagi, tetapi setelah memastikan bahwa tak
ada Filch maupun Prefek, dia membuka pintunya dan mendengar suara mereka
dari dalam bilik terkunci.
"Ini
aku," katanya seraya menutup pintu di bela-kangnya. Terdengar bunyi
debam, cebur, dan pekik kaget tertahan dari dalam bilik, dan dilihatnya
mata Hermione mengintip dari lubang kunci.
"Harry!" serunya. "Kau membuat kami kaget sekali. Masuklah—bagaimana lenganmu?"
"Baik,"
kata Harry, menyelinap masuk ke dalam bilik. Sebuah kuali tua
bertengger di atas kloset, dan bunyi berderak di bawah tepi kuali
membuat Harry tahu mereka telah menyalakan api di bawahnya. Me-nyihir
api yang bisa dibawa- bawa dan tahan air adalah keahlian Hermione.
"Kami
tadinya mau menengokmu, tapi kemudian memutuskan untuk langsung mulai
merebus Ramuan Polijus," Ron menjelaskan, ketika Harry dengan susah
payah mengunci pintu bilik lagi. "Kami memutuskan ini tempat paling aman
untuk menyembunyikannya."
Harry
baru mulai bercerita tentang Colin, tetapi Hermione menyelanya. "Kami
sudah tahu, kami men-dengar Profesor McGonagall memberitahu Profesor
Flitwick tadi pagi. Itulah sebabnya kami memutuskan lebih baik kita
segera mulai saja..."
"Lebih
cepat kita mendengar pengakuan Malfoy, lebih baik," kata Ron geram.
"Tahukah kalian apa pendapatku? Dia marah sekali setelah pertandingan
Quidditch itu, lalu membalasnya pada Colin."
"Ada
lagi yang lain," kata Harry, mengawasi Hermione membuka ikatan
knotgrass dan melempar-kannya ke dalam kuali. "Dobby datang
mengunjungi-ku tengah malam."
Ron
dan Hermione menengadah keheranan. Harry menceritakan kepada mereka
semua yang diceritakan Dobby— atau yang tidak diceritakannya. Ron dan
Hermione mendengarkan dengan mulut ternganga.
"Kamar Rahasia sudah pernah dibuka sebelumnya?" kata Hermione.
"Jelas
kalau begitu," kata Ron dengan nada penuh kemenangan. "Lucius Malfoy
pastilah telah membuka Kamar Rahasia waktu dia bersekolah di sini dan
seka-rang dia memberitahu anak kesayangannya, si Draco, bagaimana
caranya. Jelas sekali. Sayang sekali Dobby tidak memberitahumu monster
seperti apa yang ada di dalamnya. Aku penasaran, bagaimana mungkin tak
ada orang yang melihatnya berkeliaran di sekolah."
"Mungkin
dia bisa membuat dirinya tidak kelihatan," kata Hermione, menekan
lintah-lintah ke dasar kuali. "Atau mungkin dia menyamar—pura-pura jadi
baju zirah atau entah apa. Aku sudah baca tentang Hantu Bunglon..."
"Kau
terlalu banyak membaca, Hermione," kata Ron sambil menuangkan serangga
sayap-renda mati di atas lintah-lintah. Dia meremas kantong serangga
yang sudah kosong dan berpaling menatap Harry.
"Jadi,
Dobby menghalangi kita naik kereta api dan mematahkan lenganmu..." Ron
geleng-geleng. "Tahu tidak, Harry? Kalau dia tidak berhenti berusaha
me-nyelamatkan hidupmu, dia akan membunuhmu."
Berita
bahwa Colin Creevey diserang dan sekarang terbaring bagai mayat di
rumah sakit sudah menyebar ke seluruh sekolah pada hari Senin pagi.
Suasana mendadak penuh desas-desus dan kecurigaan. Murid-murid kelas
satu sekarang ke mana-mana be-rombongan, seakan mereka takut akan
diserang kalau berani berjalan sendirian.
Ginny
Weasley, yang duduk di sebelah Colin Creevey dalam pelajaran Jimat dan
Guna-guna, bi-ngung dan ketakutan. Tetapi Harry merasa cara Fred dan
George menghiburnya malah membawa hasil yang sebaliknya. Fred dan George
bergiliran menyihir diri mereka menjadi berbulu atau dipenuhi bisul dan
melompat mengagetkan Ginny dari balik patung-patung. Mereka baru
berhenti ketika Percy, yang sa-ngat marah, berkata bahwa dia akan
menulis kepada Mrs Weasley dan memberitahunya bahwa Ginny di-hantui
mimpi buruk.
Sementara
itu, tanpa sepengetahuan para guru, per-dagangan jimat, amulet, dan
berbagai sarana per-lindungan, melanda sekolah dengan amat seru. Neville
Longbottom membeli bawang hijau besar berbau bacin, kristal runcing
ungu, dan ekor-kadal busuk sebelum anak-anak Gryffindor lainnya
mengingatkan bahwa dia tidak dalam bahaya: dia berdarah-murni, karena
itu tak mungkin diserang.
"Filch
adalah yang pertama mereka serang," katanya, wajahnya yang bundar
ketakutan, "dan semua tahu aku bisa dibilang nyaris Squib."
Dalam
minggu kedua Desember Profesor McGonagall berkeliling seperti biasanya,
mendaftar nama-nama mereka yang akan tinggal di sekolah selama liburan
Natal. Harry, Ron, dan Hermione mendaftar. Mereka sudah mendengar bahwa
Malfoy juga akan tinggal.
Bagi
mereka ini sangat mencurigakan. Liburan me-rupakan saat yang paling
tepat untuk menggunakan Ramuan Polijus dan mencoba mengorek pengakuan
darinya.
Sayangnya,
ramuan itu baru separo selesai. Mereka masih membutuhkan tanduk Bicorn
dan kulit ular pohon, dan satu- satunya tempat mereka bisa men-dapatkan
keduanya adalah lemari pribadi Snape. Harry sendiri merasa dia lebih
suka menghadapi monster legendaris Slytherin daripada tertangkap Snape
sedang merampok kantornya.
"Yang
kita perlukan," kata Hermione tegas, ketika sudah hampir tiba saatnya
mereka mengikuti dua jam pelajaran Ramuan, "adalah pengalihan perhatian.
Kemudian salah satu dari kita menyelinap ke dalam kantor Snape dan
mengambil yang kita perlukan."
Harry dan Ron memandang Hermione dengan cemas.
"Kurasa
lebih baik aku yang melakukan pencurian," Hermione melanjutkan dengan
tegas. "Kalian berdua akan dikeluarkan jika membuat kesalahan lain,
sedang-kan reputasiku masih bersih. Jadi yang perlu kalian lakukan
hanyalah menimbulkan cukup kegaduhan untuk membuat Snape sibuk selama
kira-kira lima menit."
Harry tersenyum lemah. Sengaja membuat ke-gaduhan di kelas Ramuan Snape sama amannya de-ngan menusuk mata naga tidur.
Pelajaran Ramuan bertempat di salah satu ruang bawah tanah yang luas. Pelajaran sore itu berlangsung seperti biasa.
Dua
puluh kuali berdiri menggelegak di antara meja-meja, yang di atasnya
ada timbangan kuningan serta stoples-stoples bahan. Snape hilir-mudik
menembus asap, melontarkan komentar-komentar menyengat tentang hasil
anak-anak Gryffindor, sementara anak-anak Slytherin terkikik-kikik
senang. Draco Malfoy, murid favorit Snape, ber-kali-kali mengarahkan
matanya yang menonjol seperti mata ikan kepada Ron dan Harry, yang tahu
betul kalau mereka membalas, mereka akan langsung men-dapat detensi
sebelum mereka sempat berkata "tidak adil".
Ramuan
Pembengkak Harry terlalu cair, tetapi pikirannya dipenuhi hal-hal lain
yang jauh lebih pen-ting. Dia sedang menunggu kode dari Hermione, dan
nyaris tidak mendengarkan ketika Snape berhenti di kualinya, mencemooh
ramuannya yang encer. Ketika Snape sudah berbalik dan pergi untuk
mengomeli Neville, Hermione memandang Harry dan mengang-guk.
Harry
dengan gesit membungkuk di balik kualinya, menarik keluar sebuah
kembang api Filibuster milik Fred dari kantongnya dan mengetuknya sekali
dan cepat dengan tongkatnya. Kembang api itu mulai mendesis. Tahu dia
hanya punya waktu beberapa detik, Harry menegakkan diri, membidik, dan
me-lemparkannya ke udara. Kembang api itu mendarat tepat di dalam kuali
Goyle.
Ramuan
Goyle meledak, mengguyur seluruh kelas. Anak- anak menjerit ketika
percikan Ramuan Pem-bengkak menciprati mereka. Malfoy bahkan tersiram
wajahnya dan hidungnya langsung membengkak se-besar balon. Goyle
terhuyung-huyung, tangannya me-nutupi matanya, yang sudah membesar
seukuran piring, sementara Snape berusaha menenangkan me-reka dan
mencari tahu apa yang terjadi. Di tengah kegemparan itu Harry melihat
Hermione diam-diam menyelinap keluar dari pintu.
Harry
berusaha tidak tertawa ketika dilihatnya Malfoy bergegas maju,
kepalanya tergantung rendah keberatan hidungnya yang menjadi sebesar
melon. Selagi separo kelas berjalan dengan susah payah ke meja Snape,
beberapa keberatan lengan yang sebesar pentungan dan yang lain tak bisa
bicara karena bibir-nya membengkak superbesar, Harry melihat Hermione
menyelinap balik ke dalam kelas, bagian depan jubahnya menggembung.
Setelah
semua minum seteguk penangkal dan ber-bagai bengkak sudah mengempis,
Snape melesat ke kuali Goyle dan menyendok sisa kembang api yang
terpilin hitam. Kelas menjadi hening.
"Kalau sampai kutemukan siapa yang melempar ini," bisik Snape, "akan kupastikan anak itu dikeluar-kan."
Harry
mengatur wajahnya dengan harapan semoga tampak seperti ekspresi
kebingungan. Snape me-mandangnya lurus- lurus, dan bel yang berdering
se-puluh menit kemudian betul- betul membuatnya lega.
"Dia
tahu aku pelakunya," Harry memberitahu Ron dan Hermione, sementara
mereka bergegas kembali ke toilet Myrtle Merana. "Ya, dia tahu."
Hermione memasukkan bahan- bahan baru ke dalam kuali dan mulai mengaduk
dengan bersemangat.
"Dua minggu lagi jadi," katanya riang.
"Snape tak akan bisa membuktikan itu kau," kata Ron meyakinkan Harry. "Apa yang bisa dia lakukan?"
"Kalau bicara tentang Snape, pasti itu adalah sesuatu yang jahat," kata Harry sementara ramuan itu berbuih menggelegak.
Seminggu
kemudian, Harry, Ron, dan Hermione se-dang berjalan menyeberangi Aula
Depan ketika me-reka melihat beberapa anak berkerumun di depan papan
pengumuman, membaca secarik perkamen yang baru saja dipasang. Seamus
Finnigan dan Dean Tho-mas memberi isyarat agar mereka mendekat. Mereka
kelihatan bersemangat sekali.
"Mereka mengadakan Klub Duel!" kata Seamus.
"Pertemuan pertama malam ini! Aku tak keberatan ikut pelajaran duel, pasti akan bermanfaat hari-hari ini."
"Apa? Kaupikir si monster Slytherin bisa berduel?" Ron menanggapi, tetapi dia juga membaca peng-umuman itu dengan penuh minat.
"Bisa berguna," katanya kepada Harry dan Hermione waktu mereka berangkat makan malam. "Kita ikut?"
Harry
dan Hermione sepakat, maka pukul delapan malam itu mereka bergegas
kembali ke Aula Besar. Meja-meja makan panjang sudah lenyap dan
pang-gung keemasan telah muncul di depan salah satu dinding, diterangi
seribu lilin yang melayang-layang di atasnya. Langit-langit sekali lagi
gelap pekat dan sebagian besar murid-murid tampaknya berkumpul di situ,
semua membawa tongkat dan kelihatan bergairah.
"Siapa
ya yang akan mengajar kita?" kata Hermione, ketika mereka mendekat ke
kerumunan anak-anak yang ramai berceloteh. "Ada yang bilang padaku
Flitwick juara duel waktu masih muda, mungkin dia yang akan mengajar."
"Asal
saja bukan...," Harry memulai, tapi mengakhiri dengan keluhan. Gilderoy
Lockhart berjalan ke pang-gung, tampak gemilang dalam jubah berwarna
merah tua keunguan, dan ditemani oleh, tak lain tak bukan, Snape, yang
seperti biasa berjubah hitam.
Lockhart
melambaikan tangannya menyuruh anak-anak diam, dan berseru, "Mendekat,
mendekat! Apa semua bisa melihatku? Semua bisa mendengarku? Bagus
sekali!
"Nah,
Profesor Dumbledore telah memberiku izin untuk membentuk klub duel
kecil ini, untuk melatih kalian semua, siapa tahu kalian perlu
mempertahankan diri seperti yang kualami dalam banyak kesempatan— untuk
detail yang lebih lengkap, baca saja buku-bukuku.
"Izinkan
aku memperkenalkan asistenku, Profesor Snape," kata Lockhart, tersenyum
lebar. "Dia mem-beritahu aku dia tahu juga sedikit-sedikit tentang duel
dan bersedia membantuku melakukan peragaan singkat sebelum kita mulai.
Nah, aku tak ingin kalian cemas—kalian masih akan memiliki ahli Ramuan
kalau aku sudah selesai menanganinya, tak usah takut!"
"Bukankah bagus kalau mereka saling bunuh?" gu-mam Ron di telinga Harry.
Bibir
atas Snape mencibir. Harry heran kenapa Lockhart masih tersenyum. Kalau
Snape memandang-nya seperti itu, Harry pastilah sudah kabur secepat
mungkin.
Lockhart
dan Snape berbalik untuk saling ber-hadapan dan membungkuk; paling
tidak Lockhart membungkuk, dengan tangan berputar-putar, semen-tara
Snape cuma mengedikkan kepala dengan jengkel. Kemudian mereka mengangkat
tongkat seperti pedang di depan mereka.
"Seperti
kalian lihat, kami memegang tongkat dalam posisi tempur yang diterima,"
Lockhart memberitahu penonton yang diam. "Pada hitungan ketiga, kami
akan melontarkan mantra pertama kami. Tak satu pun dari kami berdua
bermaksud membunuh, tentu."
"Aku tak yakin," gumam Harry, mengawasi Snape yang menyeringai memamerkan giginya.
"Satu—dua—tiga..."
Keduanya
mengayunkan tongkat tinggi-tinggi ke atas bahu. Snape berseru,
"Expelliarmus!" Cahaya me-rah menyilaukan berkilat menyambar dan
Lockhart terangkat. Dia terbang mundur keluar panggung, me-nabrak
dinding, merosot, dan akhirnya telentang di lantai.
Malfoy dan beberapa anak Slytherin lain bersorak.
Hermione berjingkat-jingkat panik. "Apakah dia tidak apa- apa?" pekiknya dari antara jari-jarinya.
"Siapa peduli?" kata Ron dan Harry bersamaan.
Lockhart bangun terhuyung-huyung. Topinya jatuh dan rambutnya yang ikal kini mencuat berdiri.
"Wah,
Anda berhasil!" katanya, tertatih-tatih kembali ke panggung. "Itu tadi
Mantra Pelepas Senjata—seperti yang kalian lihat, tongkatku hilang—ah,
terima kasih, Miss Brown. Ya, ide bagus sekali untuk menunjuk-kannya
kepada mereka, Profesor Snape, tapi kalau Anda tidak keberatan, bisa
kubilang jelas sekali apa yang akan Anda lakukan tadi. Kalau aku mau
meng-hentikan Anda, gampang sekali. Tapi, aku merasa ada baiknya
membiarkan anak-anak melihatnya..."
Snape
kelihatan siap membunuh. Profesor Lockhart akhirnya sadar juga, karena
dia berkata, "Cukup peragaannya! Aku akan turun ke antara kalian dan
memasang-masangkan kalian. Profesor Snape, kalau Anda bersedia
membantuku...." Mereka bergerak di antara anak-anak, memasang-masangkan
partner. Lockhart memasangkan Neville dengan Justin Finch-Fletchley,
tetapi Snape mencapai Harry dan Ron lebih dulu.
"Sudah waktunya memecah tim impian, kurasa," ejeknya.
"Weasley, kau bisa berpartner dengan Finnigan. Potter..." Harry otomatis bergerak mendekati Hermione.
"Kurasa
tidak," kata Snape, tersenyum dingin. "Mr Malfoy, kemari. Coba lihat
apa yang bisa kaulakukan terhadap si Potter yang terkenal ini. Dan kau,
Miss Granger, kau bisa berpartner dengan Miss Bulstrode."
Malfoy
mendatangi sok gagah, menyeringai som-bong. Di belakangnya berjalan
seorang anak perem-puan Slytherin yang mengingatkan Harry pada foto
hantu perempuan tua jelek sekali yang dilihatnya dalam buku Heboh dengan
Hantu. Tubuhnya besar dan kekar, dan rahangnya yang berat mencuat ke
depan dengan menantang. Hermione tersenyum lemah kepadanya, yang tidak
dibalasnya.
"Hadapi
partnermu!" seru Lockhart, yang sudah kembali berada di panggung. "Dan
membungkuk!" Harry dan Malfoy nyaris tidak menggerakkan kepala, saling
tidak melepas pandang.
"Tongkat
siap!" teriak Lockhart. "Pada hitunganku yang ketiga, ucapkan mantra
untuk melucuti lawanmu—hanya untuk melucuti mereka—kita tidak
menginginkan terjadinya malapetaka. Satu... dua... tiga..."
Harry
mengangkat tongkatnya ke atas bahu, tetapi Malfoy sudah bertindak pada
hitungan kedua, mantra-nya menghantam Harry begitu keras sampai Harry
merasa seakan kepalanya dipukul wajan. Dia ter-huyung, tetapi
kelihatannya dia tidak apa-apa, dan tanpa membuang waktu lagi, Harry
mengayunkan tongkatnya lurus-lurus ke arah Malfoy dan berteriak,
"Rictusempra!"
Cahaya keperakan meluncur menghantam perut Malfoy dan dia membungkuk, menciut-ciut.
"Kubilang
lucuti senjatanya saja!" teriak Lockhart kaget di atas kepala anak-anak
yang sedang bertanding, ketika Malfoy jatuh berlutut. Harry
menyerangnya dengan Mantra Gelitik, dan Malfoy nyaris tak bisa bergerak
saking sibuknya tertawa.
Harry
mundur, merasa tidak adil menyihir Malfoy yang masih di lantai, tetapi
dia keliru. Terengah kehabisan napas, Malfoy mengarahkan tongkatnya
kepada Harry, ber-kata tersedak,
"Tarantallegra!" dan detik berikutnya kaki Harry sudah bergerak menyentak-nyentak dengan cepat di luar kendalinya.
"Stop! Stop!" Lockhart berteriak-teriak, tetapi Snape segera mengambil tindakan.
"Finite Incantatem!" teriaknya. Kaki Harry berhenti menari. Malfoy berhenti tertawa, dan mereka bisa mendongak lagi.
Asap
kehijauan memenuhi panggung. Neville dan Justin terbaring di lantai,
terengah-engah. Ron me-megangi Seamus yang wajahnya sepucat tembok,
me-minta maaf untuk entah apa yang telah dilakukan tongkat patahnya.
Tetapi Hermione dan Millicent Bulstrode masih bergerak. Millicent
memiting Hermione dan Hermione mengerang kesakitan. Tong-kat keduanya
tergeletak terlupakan di atas panggung. Harry melompat menarik
Millicent. Susah sekali, ka-rena dia jauh lebih besar daripada Harry.
"Ya
ampun, ya ampun," kata Lockhart gugup dari antara kepala anak-anak,
memandang hasil duel. "Bangun, Macmillan... hati-hati, Miss Fawcett...
cubit keras-keras, darahnya akan langsung berhenti, Boot...
"Kurasa
ada baiknya kuajari kalian cara menangkal mantra tak bersahabat," kata
Lockhart, berdiri ke-bingungan di tengah aula. Dia melirik Snape, yang
mata hitamnya berkilat-kilat, dan segera membuang pandang. "Ayo, siapa
yang mau jadi pasangan sukarela—Longbottom dan Finch-Fletchley,
bagaimana kalau kalian berdua?"
"Ide
buruk, Profesor Lockhart," kata Snape, ber-kelebat mendekat bagai
kelelawar besar yang jahat. "Longbottom membuat malapetaka dengan mantra
yang paling sederhana. Kita akan mengirim entah apa yang tersisa dari
Finch-Fletchley ke rumah sakit dalam kotak korek api." Wajah Neville
yang bundar dan merah jambu semakin merah. "Bagaimana kalau Malfoy dan
Potter saja?" kata Snape dengan senyum licik.
"Ide
bagus!" kata Lockhart, memberi isyarat kepada Harry dan Malfoy agar
maju ke tengah aula, sementara anak-anak mundur untuk memberi mereka
tempat.
"Nah, Harry," kata Lockhart, "kalau Draco meng-acungkan tongkatnya ke arahmu, kautangkal begini."
Dia
mengangkat tongkatnya sendiri, berusaha me-lakukan gerakan mengentak
yang rumit dan tongkat-nya jatuh. Snape mencibir ketika Lockhart
buru-buru memungutnya, sambil berkata, "Whoops—tongkatku terlalu
bersemangat."
Snape
mendekati Malfoy, membungkuk dan berbisik di telinganya. Malfoy ikut
mencibir. Harry mendongak memandang Lockhart dengan gugup dan berkata,
"Profesor, bisakah Anda menunjukkan cara menangkal tadi sekali lagi?"
"Takut nih?" gumam Malfoy, sehingga Lockhart tidak bisa mendengarnya.
"Maumu," balas Harry dari sudut mulutnya.
Lockhart memegang bahu Harry dengan riang. "Lakukan saja apa yang kulakukan tadi, Harry!"
"Apa? Menjatuhkan tongkat saya?" Tetapi Lockhart tidak mendengarkannya.
"Tiga—dua—satu—mulai!" teriaknya.
Malfoy cepat-cepat mengangkat tongkatnya dan ber- teriak, "Serpensortia!"
Ujung
tongkatnya meledak. Harry mengawasi, ter-peranjat, ketika seekor ular
panjang hitam melesat dari ujung tongkat itu, terjatuh di lantai di
antara mereka berdua dan mengangkat kepalanya, siap me-nyerang.
Anak-anak menjerit- jerit, mundur ketakutan.
"Jangan
bergerak, Potter," kata Snape santai, jelas senang melihat Harry
berdiri bergeming, berhadapan dengan ular yang marah. "Akan
kulenyapkan..."
"Biar
aku saja!" teriak Lockhart. Diacungkannya tongkatnya ke arah si ular
dan terdengar letusan keras. Si ular, alih-alih lenyap, terbang setinggi
tiga meter dan terjatuh kembali di lantai dengan bunyi berdebam keras.
Marah
sekali, mendesis-desis berang, ular itu me-lata menuju Justin
Finch-Fletchley dan mengangkat kepalanya lagi, memamerkan taringnya,
siap menye-rang.
Harry
tidak tahu apa yang membuatnya berbuat begitu. Dia bahkan tidak sadar
telah memutuskan untuk melakukannya. Yang diketahuinya hanyalah kakinya
membawanya maju, seakan ada rodanya, dan bahwa dia berteriak bodoh
kepada si ular, "Jangan ganggu dia!" Dan ajaib sekali—tak bisa
dijelaskan—si ular terpuruk di lantai, jinak seperti slang air besar
hitam, matanya sekarang memandang Harry. Harry merasa ketakutannya
memudar. Dia tahu ular itu tidak akan menyerang siapa-siapa sekarang,
meskipun bagai-mana dia tahu, dia tidak bisa menjelaskannya.
Dia
menengadah menatap Justin, tersenyum, ber-harap Justin kelihatan lega,
atau bingung, atau bahkan berterima kasih. Tetapi Justin justru tampak
marah dan ketakutan.
"Kaupikir
apa yang kaulakukan?" teriaknya, dan sebelum Harry sempat berkata
apa-apa, Justin telah berbalik dan bergegas meninggalkan aula.
Snape
maju, melambaikan tongkatnya, dan si ular lenyap dalam kepulan asap
hitam. Snape juga me-natap Harry dengan cara yang tak terduga: tajam,
licik, dan penuh perhitungan, dan Harry tidak me-nyukainya. Dia juga
samar- samar menyadari bisik-bisik tak senang di seluruh ruangan.
Kemudian dia merasa ada yang menarik bagian belakang jubahnya.
"Ayo," kata Ron di telinganya. "Kita pergi—ayo..."
Ron
memimpinnya meninggalkan aula. Hermione bergegas mengiringi. Ketika
mereka akan melewati pintu, anak-anak di kanan-kiri mereka minggir
men-jauh, seakan takut akan kejangkitan sesuatu. Harry sama sekali tidak
tahu apa yang sedang terjadi, dan baik Ron maupun Hermione tidak
menjelaskan apa pun sampai mereka telah membawanya ke ruang rekreasi
Gryffindor yang kosong. Kemudian Ron men-dorong Harry ke kursi berlengan
dan berkata, "Kau Parselmouth. Kenapa kau tidak bilang pada kami?"
"Aku apa?"
"Parselmouth!" kata Ron. "Kau bisa bicara dengan ular!"
"Aku
tahu," kata Harry. "Maksudku, tadi itu baru kedua kalinya aku bicara
dengan ular. Aku pernah tak sengaja melepaskan boa pembelit dan membuat
sepupuku Dudley ketakutan di kebun binatang— ceritanya panjang—tapi ular
itu memberitahuku bahwa dia belum pernah melihat Brasil, dan tanpa
sengaja aku seolah telah membebaskannya. Itu sebelum aku tahu aku
penyihir..."
"Ular boa pembelit memberitahumu dia belum pernah melihat Brasil?" Ron mengulang lemas. "Jadi?" kata Harry.
"Pasti banyak orang di sini bisa melakukannya."
"Oh, tidak, mereka tak bisa," kata Ron. "Itu ke-mampuan yang sangat tidak umum. Harry, ini buruk sekali."
"Apa
yang buruk?" kata Harry, mulai jengkel. "Kenapa sih dengan kalian
semua? Dengar, kalau aku tidak melarang ular itu menyerang Justin..."
"Oh, itu yang kaukatakan padanya?" "Apa maksudmu? Kau ada di sana... kau men-dengarku."
"Aku mendengarmu bicara Parseltongue," kata Ron,
"bahasa
ular. Kau bisa saja ngomong entah apa. Tak heran Justin panik,
kedengarannya kau menyemangati si ular untuk melakukan sesuatu.
Mengerikan, tahu."
Harry melongo.
"Aku bicara bahasa lain? Tapi—aku tidak me-nyadarinya— bagaimana mungkin aku bisa bicara bahasa lain tanpa diriku sendiri tahu?"
Ron
menggeleng. Baik dia maupun Hermione ke-lihatan seolah baru saja
kematian teman. Harry tak mengerti apa yang begitu menyedihkan mereka.
"Kalian
mau memberitahuku apa salahnya meng-hentikan ular besar mencaplok
kepala Justin?" katanya. "Apakah penting bagaimana aku melakukannya,
asal hasilnya Justin tidak usah bergabung dengan Per-buruan
Tanpa-Kepala?"
"Itu
penting," kata Hermione, akhirnya bicara de-ngan suara tertekan,
"karena Salazar Slytherin ter-kenal justru karena kemampuannya bicara
dengan ular. Itulah sebabnya simbol asrama Slytherin adalah ular."
Harry ternganga.
"Persis," kata Ron. "Dan sekarang seluruh sekolah akan mengira kau cucu-cucu-cucu-cucu-cucunya atau entah keturunan keberapa..."
"Tapi aku bukan keturunannya," kata Harry dengan kepanikan yang tak dapat dijelaskannya.
"Susah dibuktikan," kata Hermione. "Dia hidup kira-kira seribu tahun yang lalu; bisa saja kau memang keturunannya."
Harry
terbaring tak bisa tidur selama berjam-jam ma-lam itu. Lewat celah
kelambu yang mengelilingi tem-pat tidur besarnya, dia memandang salju
yang mulai melayang turun melewati jendela menara, dan ber-tanya-tanya
dalam hati.
Mungkinkah dia keturunan Salazar Slytherin? Dia toh tak tahu-menahu tentang keluarga ayahnya.
Keluarga Dursley selalu melarangnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga penyihirnya.
Diam-diam,
Harry mencoba mengatakan sesuatu dalam Parseltongue. Kata-katanya tak
mau keluar. Rupanya dia harus berhadapan langsung dengan ular untuk bisa
melakukannya.
Tetapi aku di Gryffindor, pikir Harry. Topi Seleksi tidak akan menempatkanku di sana kalau aku punya darah Slytherin....
Ah,
kata suara kecil tidak menyenangkan di dalam otaknya. Tetapi Topi
Seleksi kan sebetulnya ingin menempatkanmu di Slytherin, apa kau tidak
ingat?
Harry
berbalik. Dia akan bertemu Justin besok di kelas Herbologi dan dia akan
menjelaskan bahwa dia justru menyuruh ular itu pergi, bukan mendekat,
dan (dia berpikir dengan marah sambil menggembungkan bantalnya) semua
orang bodoh seharusnya juga tahu.
Tetapi
paginya, salju yang mulai turun di malam hari telah berubah menjadi
badai salju, begitu hebatnya sehingga pelajaran Herbologi terakhir tahun
ajaran itu dibatalkan. Profesor Sprout ingin memakaikan kaus kaki dan
syal ke Mandrake-mandrake, tugas rumit yang tak bisa dipercayakannya
kepada orang lain. Apalagi sekarang, ketika penting sekali bagi
Man-drake-mandrake itu untuk segera tumbuh dan meng-hidupkan kembali Mrs
Norris dan Colin Creevey Harry resah, ia berceloteh terus tentang
Justin di sebelah perapian di ruang rekreasi Gryffindor, semen-tara Ron
dan Hermione menggunakan jam kosong mereka untuk main catur sihir.
"Astaga,
Harry" kata Hermione, putus asa, ketika salah satu menteri Ron bergulat
menjatuhkan perwira-nya dari kudanya dan menyeretnya keluar papan.
"Pergilah, cari Justin kalau itu begitu penting bagimu."
Maka Harry bangkit dan keluar lewat lubang lukisan, bertanya-tanya dalam hati di mana kiranya Justin.
Kastil
lebih gelap daripada biasanya di siang hari, karena salju tebal abu-abu
yang berpusar di semua jendela. Bergidik, Harry berjalan melewati
ruang-ruang kelas tempat pelajaran sedang berlangsung, menangkap
sedikit-sedikit apa yang sedang terjadi di dalam. Profesor McGonagall
sedang berteriak kepada seseorang yang, kedengarannya, telah mengubah
temannya menjadi luak. Melawan keinginan untuk melongok, Harry terus
berjalan, berpikir bahwa Justin mungkin menggunakan jam kosong ini untuk
me-ngerjakan PR, dan memutuskan untuk mengecek per-pustakaan lebih
dulu.
Serombongan
anak-anak Hufflepuff yang seharusnya ikut pelajaran Herbologi ternyata
memang duduk di bagian belakang perpustakaan, tetapi kelihatannya mereka
tidak sedang bekerja. Di antara deretan rak buku yang tinggi, Harry
bisa melihat bahwa kepala mereka berdekatan dan mereka kelihatannya
sedang terlibat obrolan mengasyikkan. Dia tidak bisa melihat apakah
Justin berada di antara mereka. Dia sedang berjalan ke arah mereka
ketika sesuatu yang mereka katakan tertangkap telinganya, dan dia
berhenti untuk mendengarkan, tersembunyi di Seksi Gaib—buku-buku yang
membahas tentang segala sesuatu yang tak ke-lihatan.
"Jadi,"
kata seorang anak laki-laki gemuk, "kusuruh Justin sembunyi di asrama
kita. Maksudku, kalau Potter sudah mengincarnya sebagai korban
berikutnya, lebih baik dia tidak menonjolkan diri dulu. Tentu saja,
Justin sudah menduga hal semacam ini akan terjadi sejak dia kelepasan
omong pada si Potter bahwa dia kelahiran-Muggle. Justin bilang padanya
dia sudah didaftarkan ke Eton. Itu bukan hal yang kaugembar- gemborkan
dengan adanya pewaris Slytherin yang berkeliaran, kan?"
"Kalau begitu kau yakin betul Potter-lah pelakunya, Ernie?" kata seorang anak perempuan berkepang pirang dengan cemas.
"Hannah,"
kata si gemuk sungguh-sungguh, "dia Parselmouth. Semua tahu itu tanda
penyihir hitam. Pernahkah kaudengar ada penyihir terhormat yang bisa
bicara dengan ular? Slytherin sendiri dijuluki si Lidah-ular."
Terdengar gumam-gumam seru, dan Ernie menerus-kan,
"Ingat
apa yang tertulis di dinding? Musuh sang Pewaris, Waspadalah. Potter
kan boleh dibilang bentrok dengan Filch. Yang berikutnya kita tahu,
kucing si Filch diserang. Anak kelas satu itu, si Creevey, mem-buat
Potter jengkel waktu pertandingan Quidditch, memotretnya ketika dia
tergeletak di lumpur. Yang kemudian kita tahu, Creevey diserang."
"Tapi
dia selalu kelihatan menyenangkan," kata Hannah tak yakin, "dan, yah,
dialah yang membuat Kau-Tahu-Siapa menghilang. Masa sih dia jahat?"
Ernie
merendahkan suaranya dengan penuh rahasia. Anak- anak Hufflepuff
membungkuk semakin dekat supaya bisa menangkap kata-kata Ernie.
"Tak
seorang pun tahu bagaimana dia bisa selamat dari serangan
Kau-Tahu-Siapa. Maksudku, dia masih bayi waktu itu terjadi. Mestinya kan
dia sudah hancur berkeping-keping. Hanya penyihir hitam berkekuatan
luar biasa yang bisa bertahan dari serangan semacam itu." Dia semakin
merendahkan suaranya, sehingga tinggal tak lebih dari bisikan, "Mungkin
itulah sebab-nya Kau-Tahu-Siapa ingin membunuhnya. Tak ingin ada
Pangeran Kegelapan lain menjadi saingannya. Aku ingin tahu, kira-kira
kekuatan apa lagi yang di-sembunyikan Potter?"
Harry
tak tahan lagi. Sambil berdeham keras, dia melangkah dari balik rak-rak
buku. Jika tidak semarah itu, dia akan melihat pemandangan yang
menyambut-nya tampak lucu. Semua anak Hufflepuff itu seolah dibuat
Membatu hanya karena melihat dirinya, dan wajah Ernie langsung pucat
pasi.
"Halo,"
kata Harry. "Aku mencari Justin Finch-Fletchley." Ketakutan terbesar
anak-anak Hufflepuff telah ter-bukti. Mereka semua ketakutan memandang
Ernie. "Mau apa kau mencari dia?" tanya Ernie dengan suara bergetar.
"Aku ingin memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi dengan ular itu di
Klub Duel," kata Harry.
Ernie
menggigit bibirnya yang pucat dan kemudian, setelah menghela napas
panjang, berkata, "Kami semua ada di sana. Kami melihat apa yang
terjadi."
"Kalau begitu kau melihat bahwa setelah aku bicara dengannya, ular itu mundur?" kata Harry.
"Yang
kulihat hanyalah," kata Ernie bandel, meski-pun dia bicara sambil
gemetaran, "kau bicara Parseltongue dan menggebah si ular ke arah
Justin."
"Aku tidak menggebah ular itu ke arahnya!" kata Harry suaranya gemetar saking marahnya. "Ular itu bahkan tidak menyentuhnya!"
"Tapi nyaris saja," kata Ernie. "Dan siapa tahu kau merencanakan sesuatu," dia menambahkan buru-buru,
"kuberitahukan
padamu bahwa kau bisa menelusuri keluargaku sampai sembilan generasi
penyihir ke belakang dan darahku sama murninya dengan siapa pun,
jadi..."
"Aku tak peduli darahmu darah macam apa!" kata Harry sengit. "Kenapa aku mau menyerang anak-anak kelahiran- Muggle?"
"Aku sudah dengar kau membenci Muggle yang tinggal bersamamu," kata Ernie tangkas.
"Tak mungkin tinggal bersama keluarga Dursley dan tidak membenci mereka," kata Harry. "Coba saja sendiri, aku ingin lihat."
Harry
berbalik dan menerobos keluar dari per-pustakaan, membuat Madam Pince,
yang sedang menggosok sampul keemasan buku mantra besar, me-liriknya
mencela.
Harry
berjalan asal saja di koridor, seperti orang buta, nyaris tidak
memperhatikan ke mana dia pergi, saking marahnya. Akibatnya dia menabrak
sesuatu yang sangat besar dan kokoh, yang membuatnya ter-pental jatuh
ke lantai.
"Oh, halo, Hagrid," kata Harry, memandang ke atas.
Wajah
Hagrid tersembunyi sepenuhnya oleh topi balaclava wol bersalju, tetapi
tak mungkin itu orang lain. Tubuhnya yang terbungkus dalam jubah tikus
mondoknya memenuhi hampir seluruh koridor. Tangannya yang besar
bersarung tangan menenteng bangkai seekor ayam jantan.
"Kau tak apa-apa, Harry?" katanya, menarik ke atas balaclava-nya supaya dia bisa bicara. "Kenapa kau tidak di kelas?"
"Dibatalkan," kata Harry seraya bangkit. "Ngapain kau di sini?" Hagrid mengangkat ayam jantan yang sudah lemas itu.
"Ayam
kedua yang dibunuh semester ini," dia men-jelaskan. "Kalau bukan rubah,
tentu momok pengisap darah, dan aku perlu izin Kepala Sekolah untuk
bikin pagar sihir sekeliling kandang ayam."
Dia
memandang Harry lebih teliti dari bawah alis tebalnya yang bertabur
salju. "Kau yakin kau tak apa-apa? Kau kelihatan panas dan banyak
pikiran." Harry tak bisa mengulangi apa yang dikatakan Ernie dan
anak-anak Hufflepuff lainnya tentang dia.
"Tidak apa-apa," katanya. "Lebih baik aku pergi, Hagrid. Berikutnya Transfigurasi, dan aku harus mengambil buku- bukuku."
Harry pergi, pikirannya masih dipenuhi ucapan-ucapan Ernie tentang dirinya.
"Justin sudah menduga hal semacam ini akan terjadi sejak dia kelepasan omong pada si Potter bahwa dia kelahiran- Muggle..."
Harry
menaiki tangga dan membelok ke koridor lain, yang gelap sekali.
Obor-obornya padam kena tiupan angin keras bersalju yang masuk lewat
ambang jendela yang lepas. Dia sudah sampai di tengah kori-dor ketika
terantuk sesuatu yang tergeletak di lantai. Ia langsung jatuh.
Harry menoleh untuk melihat apa yang membuat-nya jatuh, dan hatinya mencelos.
Justin
Finch-Fletchley terbaring di lantai, kaku dan dingin, ekspresi kaget
terpampang di wajahnya. Mata-nya menatap kosong ke langit-langit. Di
sebelahnya ada sosok lain, pemandangan paling ganjil yang per-nah
dilihat Harry.
Nick
si Kepala-Nyaris-Putus, tak lagi seputih mutiara dan transparan,
melainkan hitam berasap, melayang tak bergerak dalam posisi horizontal,
lima belas senti dari lantai. Kepalanya setengah putus dan ekspresi
wajahnya kaget, identik dengan ekspresi Justin.
Harry
bangun, napasnya terengah, putus-putus, jantungnya serasa
menggedor-gedor rusuknya. Dia memandang liar ke sepanjang koridor dan
melihat deretan labah-labah berlari secepat mungkin menjauhi kedua sosok
itu. Suara yang terdengar hanyalah suara teredam guru-guru dari
kelas-kelas di kanan-kirinya.
Dia
bisa lari dan tak seorang pun akan tahu dia pernah di situ. Tetapi dia
tak dapat begitu saja me-ninggalkan mereka lergeletak di situ... dia
harus men-cari bantuan. Akankah ada yang percaya dia sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kejadian ini?
Sementara dia berdiri di situ, panik, pintu di sebelah kanannya mendadak terbuka. Peeves, si hantu jail, melesat keluar.
"Wah
si potty wee Potter!" Peeves terkekeh, me-nyenggol kacamata Harry
sampai miring ketika me-lewatinya. "Sedang ngapain si Potter? Kenapa dia
sembunyi..."
Peeves
mendadak berhenti. Dia baru setengah jalan berjungkir-balik di udara.
Dengan kepala di bawah, dia melihat Justin dan Nick si
Kepala-Nyaris-Putus. Dia langsung berputar tegak lagi, mengisi
paru-parunya, dan sebelum Harry sempat mencegahnya, menjerit
keras-keras, "SERANGAN! SERANGAN! SERANGAN LAGI! ORANG MAUPUN HANTU TAK
ADA YANG SELAMAT! LARI! LARI! SELAMATKAN DIRI! SERANGAAAAN!"
Blak-blak-blak:
pintu demi pintu membuka di se-panjang koridor dan orang membanjir
keluar. Selama beberapa menit, keadaan sangat gempar dan kacau-balau,
sehingga ada kemungkinan Justin terinjak-injak dan anak-anak berdiri di
dalam tubuh Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Harry tergencet ke dinding
ketika guru-guru berteriak menyuruh diam. Profesor McGonagall datang
berlari-lari, diikuti murid-murid yang sedang mengikuti pelajarannya,
salah satunya masih berambut garis-garis hitam dan putih. Profesor
McGonagall menggunakan tongkatnya untuk membuat ledakan keras, yang
membuat anak-anak langsung diam, dan menyuruh semua kembali ke kelas
masing-masing. Begitu koridor kosong lagi, Ernie si Hufflepuff tiba,
tersengal-sengal, di tempat kejadian.
"Tertangkap basah!" Ernie menjerit, mukanya seputih tembok, mengacungkan telunjuknya secara dramatis kepada Harry.
"Cukup,
Macmillan!" kata Profesor McGonagall tajam. Peeves melambung-lambung di
atas, sekarang me-nyeringai jail, mengawasi pemandangan di bawah.
Peeves menyukai kekacauan. Ketika para guru mem-bungkuk memeriksa Justin
dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus, Peeves mendadak bernyanyi:
"Oh, Harry, kau keji, oh apa maumu. Kau bunuh murid- murid, kaupikir itu lucu..."
"Cukup,
Peeves!" bentak Profesor McGonagall, dan Peeves meluncur mundur, seraya
menjulurkan lidah kepada Harry Justin digotong ke rumah sakit oleh
Profesor Flitwick dan Profesor Sinistra dari jurusan Astronomi, tetapi
kelihatannya tak ada yang tahu apa yang harus dilaku-kan terhadap Nick
si Kepala-Nyaris-Putus. Akhirnya, Profesor McGonagall menyihir kipas
besar, yang diberi-kannya kepada Ernie dengan instruksi supaya
mengi-pasi Nick si Kepala-Nyaris-Putus sampai terangkat ke atas tangga.
Ernie pun mengipasi Nick, yang melayang seperti helikopter hitam.
Tinggal Harry dan Profesor McGonagall sendirian.
"Ikut aku, Potter," katanya. "Profesor," kata Harry segera,
"saya bersumpah saya tidak..."
"Ini di luar kemampuanku, Potter," kata Profesor McGonagall kaku.
Mereka
berjalan dalam diam, membelok di sudut dan Profesor McGonagall berhenti
di depan gargoyle— patung batu besar yang jelek sekali.
"Permen
jeruk!" katanya. Jelas ini kata sandinya, karena patung makhluk jelek
itu mendadak hidup, melompat minggir, dan dinding di belakangnya
ter-belah. Bahkan dalam keadaan ketakutan pada apa yang akan terjadi,
Harry masih tetap bisa kagum sekali. Di belakang dinding itu ada tangga
spiral, yang bergerak pelan ke atas, seperti eskalator. Saat dia dan
Profesor McGonagall melangkah menaiki anak tangganya, Harry mendengar
benturan dinding yang menutup di belakang mereka. Mereka meluncur ke
atas melingkar-lingkar, makin lama makin tinggi, sampai akhirnya, agak
pusing, Harry bisa melihat pintu kayu ek berkilat di depan, dengan
pengetuk pintu berbentuk griffon, makhluk menakjubkan ber-kepala dan
bersayap elang, tapi bertubuh singa.
Harry tahu ke mana dia dibawa. Ini pastilah kantor sekaligus tempat tinggal Dumbledore.
12. Ramuan Polijus
MEREKA
tiba di puncak tangga batu dan Profesor McGonagall mengetuk pintunya.
Pintu itu terbuka tanpa suara dan mereka masuk. Profesor McGonagall
menyuruh Harry menunggu dan meninggalkannya sendirian.
Harry
memandang berkeliling. Satu hal sudah jelas: dari semua kantor guru
yang pernah didatanginya, kantor Dumbledore-lah yang paling menarik.
Kalau tidak ketakutan setengah mati membayangkan dirinya akan
dikeluarkan dari sekolah, Harry akan senang sekali punya kesempatan
melihat- lihat.
Ruangan
itu besar dan bundar, penuh bunyi-bunyi kecil ganjil. Sejumlah
peralatan perak yang aneh ter-geletak di atas meja-meja berkaki
panjang-kurus, men-desing dan mengeluarkan gumpalan-gumpalan kecil asap.
Dindingnya dipenuhi lukisan para mantan ke-pala sekolah, pria dan
wanita, semuanya tertidur da-lam pigura masing masing. Ada juga meja
besar sekali berkaki seperti cakar, dan di atas rak di belakang meja
tergeletak sebuah topi sihir kumal bertambal—
Topi Seleksi.
Harry
ragu-ragu. Dengan hati-hati dipandangnya para penyihir yang tertidur di
dinding. Tentunya tidak apa-apa kalau dia menurunkan topi itu dan
memakai-nya sekali lagi? Hanya untuk melihat... untuk me-mastikan topi
itu memasukkannya ke asrama yang benar.
Hati-hati
dia berjalan ke balik meja, mengangkat topi itu dari raknya dan
menurunkannya pelan-pelan ke atas kepalanya. Topi itu terlalu besar dan
merosot menutupi matanya, persis seperti ketika dia memakai-nya dulu.
Harry menatap bagian dalam topi yang hitam, menunggu. Kemudian terdengar
suara kecil di telinganya, "Tergoda mau coba lagi ya, Harry Potter?"
"Eh, ya," gumam Harry "Eh—maaf mengganggu-mu—aku ingin tanya..."
"Kau bertanya-tanya dalam hati apakah aku me-masukkanmu ke asrama yang benar," kata si topi cerdik.
"Ya...
kau sangat sulit ditempatkan. Tetapi pendapatku masih sama dengan yang
kukatakan se-belumnya..." Jantung Harry melonjak gembira "...kau bisa
jadi penyihir hebat di Slytherin." Harry lemas. Dicengkeramnya ujung
topi dan di-tariknya. Topi itu menggantung lunglai di tangannya, kotor
dan kumal. Harry mengembalikannya ke rak, perasaannya terpukul sekali.
"Kau
keliru," katanya keras-keras kepada topi yang diam tak bersuara. Topi
itu tidak bergerak. Harry mundur, masih mengawasinya. Kemudian bunyi
ganjil seperti orang tercekik di belakangnya membuatnya berputar.
Ternyata
dia tidak sendirian. Pada tenggeran emas di belakang pintu berdiri
seekor burung yang ke-lihatannya sudah tua sekali, mirip kalkun yang
sudah dicabuti bulunya separo. Harry memandangnya dan si burung balas
memandangnya dengan galak, menge-luarkan bunyi tercekik lagi. Burung itu
kelihatannya sakit parah. Matanya sangat redup, dan bahkan sementara
Harry memandangnya, dua bulu rontok dari ekornya.
Harry
baru saja berkata dalam hati, Wah, gawat kalau burung piaraan
Dumbledore ini mati saat aku sedang sendirian bersamanya, ketika si
burung men-dadak menyala terbakar.
Harry
memekik kaget dan mundur sampai me-nabrak meja. Dengan panik dia
memandang ber-keliling kalau-kalau ada segelas air, tapi dilihatnya tak
ada segelas pun. Si burung, sementara itu, sudah menjadi bola api. Dia
memekik keras dan detik berikutnya, yang tinggal hanyalah seonggok abu
ber-asap di lantai.
Pintu
ruangan terbuka. Dumbledore masuk, ke-lihatan sangat muram. "Profesor,"
Harry tergagap, "burung Anda— saya tak bisa berbuat apa-apa—dia baru
saja terbakar..."
Betapa herannya Harry, Dumbledore tersenyum.
"Sudah waktunya," katanya. "Sudah berhari-hari dia kelihatan parah sekali. Aku sudah bilang padanya untuk jalan terus."
Dumbledore terkekeh melihat kekagetan di wajah Harry.
"Fawkes itu phoenix, Harry. Burung phoenix terbakar kalau sudah waktunya mati dan dilahirkan kembali dari abunya. Lihat dia..."
Harry
menunduk dan melihat burung kecil, keriput seperti baru menetas,
menjulurkan kepalanya dari dalam abu. Sama jeleknya dengan burung tua
tadi.
"Sayang
kau melihatnya pada Hari Terbakar," kata Dumbledore sambil duduk di
belakang mejanya. "Dia tampan sekali sebetulnya, bulunya merah dan
ke-emasan, bukan main indahnya. Makhluk luar biasa, phoenix itu. Mereka
bisa membawa beban yang berat sekali, air mata mereka berkhasiat
menyembuhkan, dan mereka hewan peliharaan yang sangat setia."
Dalam
kekagetannya melihat Fawkes terbakar, Harry sudah lupa untuk apa dia
berada di sini. Tetapi semua-nya langsung diingatnya kembali begitu
Dumbledore duduk di kursi berpunggung tinggi dan matanya yang biru pucat
memandangnya tajam.
Tetapi
sebelum Dumbledore bisa berkata apa-apa lagi, pintu kantornya berdebam
terbuka dan Hagrid menerobos masuk, matanya liar, topi balaclava-nya
ber-tengger di atas kepalanya yang berambut hitam awut-awutan dan
bangkai ayam jantannya masih berayun di tangannya.
"Bukan, Harry, Profesor Dumbledore!" kata Hagrid tegang.
"Aku bicara dengannya hanya beberapa detik sebelum anak itu ditemukan. Dia tak akan punya cukup waktu, Sir..."
Dumbledore
berusaha mengatakan sesuatu, tetapi Hagrid terus merepet,
melambai-lambaikan bangkai ayamnya dalam kebingungannya, membuat
bulu-bulu ayam itu beterbangan ke mana-mana.
"...Tak mungkin dia, aku mau sumpah di depan Kementerian Sihir kalau perlu..."
"Hagrid, aku..."
"...Anda
tangkap anak yang salah, Sir, aku tahu Harry tak pernah..." "Hagrid!"
kata Dumbledore keras. "Aku tidak ber-pendapat Harry-lah yang menyerang
anak-anak itu."
"Oh," kata Hagrid, ayam jantannya terkulai lemas di sisinya.
"Baiklah. Aku akan tunggu di luar kalau begitu, Kepala Sekolah."
Dan dia melangkah keluar, kelihatan malu.
"Anda
tidak berpendapat saya yang menyerang, Profesor?" Harry mengulang penuh
harap, sementara Dumbledore menyapu bulu-bulu ayam dari atas meja-nya.
"Tidak, Harry," kata Dumbledore, meskipun wajah-nya muram lagi. "Tapi aku tetap ingin bicara dengan-mu."
Harry menunggu dengan gugup sementara Dumbledore mengawasinya, ujung-ujung jarinya yang panjang-panjang mengatup.
"Aku harus bertanya padamu, Harry, apakah ada yang ingin kausampaikan kepadaku," katanya lembut. "Apa saja."
Harry
tak tahu harus bilang apa. Dia teringat te-riakan Malfoy, "Giliranmu
berikutnya, Darah-lumpur!" dan Ramuan Polijus, menggelegak tersembunyi
di da-lam toilet Myrtle Merana. Kemudian dia teringat suara tanpa tubuh
yang sudah didengarnya dua kali dan ucapan Ron, "Mendengar suara- suara
yang tak bisa di-dengar orang lain, bukan pertanda baik, bahkan di dunia
sihir sekalipun." Dia juga teringat apa yang dikatakan semua orang
tentang dia, dan ketakutannya yang semakin besar bahwa dia ada
hubungannya dengan Salazar Slytherin....
"Tidak,"kata Harry, "tidak ada, Profesor."
Serangan
ganda kepada Justin dan Nick si Kepala-Nyaris- Putus mengubah yang
sebelumnya kegugupan menjadi kepanikan besar. Anehnya, nasib Nick si
Kepala-Nyaris-Putus- lah yang paling membuat kha-watir orang-orang. Apa
yang mungkin berbuat begitu kepada hantu, orang-orang saling bertanya,
kekuatan mengerikan apa yang bisa merusak orang yang sudah mati?
Orang-orang berebut memesan tempat duduk di Hogwarts Express agar
anak-anak bisa pulang Na-tal nanti.
"Kalau
begini caranya, tinggal kita yang ada di sini," Ron berkata kepada
Harry dan Hermione. "Kita, Malfoy, Crabbe, dan Goyle. Wah, bukan main
asyiknya liburan Natal nanti."
Crabbe
dan Goyle, yang selalu melakukan apa yang dilakukan Malfoy, telah
mendaftar untuk tinggal selama liburan juga. Tetapi Harry senang
sebagian besar anak pulang. Dia sudah bosan menghadapi anak-anak yang
menghindarinya di koridor, seakan taringnya akan tumbuh mendadak atau
dia akan me-nyemburkan bisa; bosan pada bisik-bisik, tudingan-tudingan,
dan desisan setiap kali dia lewat.
Fred
dan George, meskipun demikian, menganggap semua ini sangat lucu. Mereka
sengaja berjalan di depan Harry di koridor-koridor, berteriak-teriak,
"Minggir! Beri jalan pada Slytherin, sihir jahat akan lewat..."
Percy sangat tidak menyetujui sikap mereka.
"Ini tidak lucu," katanya dingin.
"Oh, minggir, Percy," kata Fred. "Harry sedang buru-buru."
"Yeah, dia sedang menuju Kamar Rahasia untuk minum teh dengan pelayannya yang bertaring," kata George terkekeh.
Ginny juga tidak menganggap itu lucu.
"Aduh,
jangan dong," jerit Ginny setiap kali Fred menanyai Harry siapa yang
akan dia serang berikut-nya, atau George berpura-pura mengusir Harry
de-ngan untaian besar bawang putih setiap kali mereka bertemu.
Harry
tidak keberatan. Dia malah lega Fred dan George menganggap lucu
pendapat orang bahwa dia pewaris Slytherin. Tetapi sikap antik Fred dan
George rupanya menjengkelkan Draco Malfoy, yang tampak semakin masam
setiap kali dia melihat mereka mem-buat lelucon begitu.
"Itu
karena dia sebetulnya ingin sekali menyombong bahwa dialah pewaris
sebenarnya," kata Ron sok tahu. "Kau tahu, kan, dia paling benci kalau
ada yang mengalahkannya dalam hal apa pun, dan kau yang mendapat pujian
untuk segala pekerjaan kotornya."
"Tidak lama lagi," kata Hermione dengan nada puas.
"Ramuan Polijus sudah hampir siap. Kita akan segera mendengar pengakuannya."
Akhirnya
semester berakhir dan kesunyian setebal tumpukan salju di halaman
menyelimuti kastil. Alih-alih suram, Harry menganggapnya damai, dan dia
senang sekali hanya dia, Ron, dan Hermione yang tinggal di Menara
Gryffindor. Itu berarti mereka bisa bermain Jentikan Meletup. sekeras
mungkin tanpa mengganggu siapa pun, dan berlatih duel tanpa ada yang
melihat. Fred, George, dan Ginny memilih tinggal di sekolah daripada
mengunjungi Bill di Mesir bersama Mr dan Mrs Weasley. Percy, yang
mencela sikap me-reka yang dinilainya kekanak-kanakan, tidak melewat-kan
banyak waktu di ruang rekreasi Gryffindor. Dia sudah memberitahu mereka
dengan angkuh bahwa dia tinggal selama Natal karena tugasnyalah sebagai
Prefek untuk memberi dukungan kepada para guru dalam masa-masa sulit
ini.
Pagi
Hari Natal tiba, dingin dan putih bersalju. Harry dan Ron, yang hanya
tinggal berdua di kamar mereka, dibiingunkan pagi-pagi sekali oleh
Hermione, yang menerobos masuk. la sudah berpakaian lengkap dan membawa
hadiah untuk mereka berdua.
"Bangun,"
serunya keras-keras, seraya menarik gor-den jendela. "Hermione—kau
tidak boleh masuk ke sini," kata Ron, menaungi matanya yang silau.
"Selamat
Natal untuk kalian juga," kata Hermione, seraya melemparkan hadiah
untuk Ron. "Aku sudah bangun hampir sejam yang lalu, menambahkan
se-rangga sayap-renda ke ramuan. Sudah jadi sekarang."
Harry duduk, mendadak kantuknya hilang.
"Kau yakin?"
"Positif,"
kata Hermione, menggeser Scabbers si tikus supaya dia bisa duduk di
kaki tempat tidur besar Harry. "Kalau kita akan melakukannya, menurutku
sebaiknya malam ini."
Saat itu Hedwig meluncur masuk ke dalam kamar, membawa bungkusan amat kecil di paruhnya.
"Halo," kata Harry gembira, ketika Hedwig men-darat di tempat tidurnya, "kau sudah mau bicara padaku lagi?"
Hedwig
menggigit-gigit telinga Harry dengan sayang, yang bagi Harry merupakan
hadiah yang jauh lebih menyenangkan daripada hadiah yang di-bawanya,
yang ternyata dari keluarga Dursley. Mereka mengiriminya sebatang tusuk
gigi dan surat pendek yang isinya menyuruh Harry mencari tahu
kalau-kalau dia bisa tinggal di Hogwarts untuk liburan musim panas juga.
Hadiah-hadiah Natal Harry lainnya jauh lebih me-muaskan. Hagrid
mengiriminya sekaleng besar gulali, yang Harry putuskan akan dipanaskan
dulu sebelum dimakan; Ron menghadiahinya buku berjudul Terbang bersama
Cannons, buku yang memuat fakta-fakta me-narik tentang tim Quidditch
favoritnya; dan Hermione telah membelikannya pena mewah bulu elang.
Harry membuka hadiah terakhir dan menemukan jumper— rompi rajutan tanpa
kancing—baru dan kue plum besar dari Mrs Weasley. Harry menaruh kembali
kartu-nya. Perasaan bersalah kembali melandanya, ketika dia teringat
mobil Mr Weasley, yang tak pernah ke-lihatan lagi sehabis menabrak pohon
Dedalu Perkasa, dan rencana pelanggaran peraturan yang akan
dilaku-kannya bersama Ron berikutnya.
Tak
seorang pun, bahkan orang yang sedang ketakutan akan minum Ramuan
Polijus nanti, tidak bisa me-nikmati makan malam Natal di Hogwarts.
Aula
Besar kelihatan megah sekali. Di situ tak hanya ada selusin pohon Natal
berselimut salju dan untaian tebal holly dan mistletoe yang dipasang
bersilang-silang di langit-langit, tetapi salju sihiran berjatuhan,
hangat dan kering, dari langit- langit. Dumbledore memimpin mereka
menyanyikan beberapa lagu Natal favoritnya. Semakin banyak minuman keras
yang diteguk Hagrid dari pialanya, semakin menggelegar pula suaranya.
Percy, yang tidak menyadari Fred telah menyihir len-cana Prefek-nya
sehingga tulisannya sekarang menjadi "Pitak", berkali-kali bertanya
kepada mereka kenapa mereka cengar-cengir terus. Harry bahkan tidak
peduli pada Draco Malfoy yang—dari meja Slytherin—me-lontarkan
ejekan-ejekan keras tentang jumper barunya. Kalau mereka sedikit
beruntung, Malfoy akan me-nerima balasannya beberapa jam lagi.
Harry
dan Ron baru saja menghabiskan porsi ketiga puding Natal mereka, ketika
Hermione mengajak mereka meninggalkan aula untuk melaksanakan ren-cana
mereka malam itu.
"Kita
masih memerlukan sedikit bagian tubuh orang-orang yang menjadi sasaran
kita," kata Hermione tegas, seakan dia menyuruh mereka ke supermarket
untuk membeli bubuk pencuci. "Dan jelas, paling baik kalau kalian bisa
mendapatkan sesuatu dari Crabbe dan Goyle. Mereka kan sahabat Malfoy,
dia akan menceritakan segalanya kepada mereka. Dan kita juga perlu
memastikan Crabbe dan Goyle yang asli tidak muncul selagi kita
menginterogasi Malfoy.
"Aku
sudah memikirkan segalanya," Hermione me-neruskan dengan lancar,
mengabaikan wajah ke-heranan Harry dan Ron. Dia menunjukkan dua po-tong
kue cokelat besar. "Ini sudah kuberi Ramuan Tidur sederhana. Yang harus
kalian lakukan tinggal memastikan Crabbe dan Goyle menemukan kue-kue
ini. Kalian tahu betapa rakusnya mereka, mereka pasti akan memakannya.
Begitu mereka tertidur, cabut be-berapa helai rambut mereka dan
sembunyikan mereka dalam lemari sapu."
Harry dan Ron saling pandang dengan ragu-ragu.
"Hermione, kurasa tidak..."
"Hal itu bisa saja tidak berjalan sesuai rencana..."
Tetapi mata Hermione berkilau tajam, tak berbeda dengan kilau yang kadang-kadang tampak di mata Profesor McGonagall.
"Ramuan itu tak ada gunanya tanpa rambut Crabbe dan Goyle," katanya tegas. "Kalian ingin menyelidiki Malfoy, kan?"
"Oh, oke, oke," kata Harry. "Tetapi bagaimana denganmu? Rambut siapa yang akan kaucabut?"
"Aku
sudah punya rambut yang kuperlukan!" kata Hermione cerah, menarik
keluar sebuah botol kecil mungil dari dalam sakunya dan menunjukkan
kepada mereka sehelai rambut di dalamnya. "Ingat Millicent Bulstrode
yang bergulat denganku di Klub Duel? Rambutnya tertinggal di jubahku
ketika dia mencoba mencekikku! Dan dia pulang liburan Natal ini—jadi,
aku tinggal bilang pada anak-anak Slytherin bahwa aku batal pulang ke
rumah."
Ketika
Hermione sudah pergi untuk mengecek Ramuan Polijus lagi, Ron menoleh
kepada Harry de-ngan ekspresi seolah akan tertimpa malapetaka.
"Pernahkah kau mendengar rencana dengan begitu banyak hal yang bisa gagal?"
Betapa
herannya Harry dan Ron ketika tahap pertama rencana mereka berjalan
mulus seperti yang telah dikatakan Hermione. Mereka bersembunyi di Aula
Besar yang sudah kosong setelah acara minum teh Natal, menunggu Crabbe
dan Goyle yang tinggal berdua di meja Slytherin melahap porsi keempat
kue mereka. Harry sudah meletakkan kue cokelat di ujung pegangan tangga.
Ketika melihat Crabbe dan Goyle meninggalkan Aula Besar, Harry dan Ron
cepat-cepat bersembunyi di balik baju zirah di dekat pintu.
"Tolol
banget," bisik Ron, gembira luar biasa ketika Crabbe menyenggol Goyle
dan menunjuk kue itu dengan senang, lalu menyambarnya. Sambil nyengir
konyol, mereka langsung menjejalkan kue itu ke dalam mulut besar mereka.
Sesaat mereka berdua me-ngunyah dengan rakus, wajah mereka penuh
ke-menangan. Kemudian, tanpa perubahan ekspresi se-dikit pun, keduanya
roboh ke lantai.
Kesulitan
yang paling besar adalah menyembunyi-kan mereka di dalam lemari di
seberang ruangan. Begitu mereka sudah aman dijejalkan di antara
ember-ember dan kain pel, Harry mencabut dua rambut pendek kaku yang
tumbuh di dahi Goyle dan Ron mencabut beberapa helai rambut Crabbe.
Mereka juga mencuri sepatu Crabbe dan Goyle, karena sepatu mereka
kelewat kecil untuk ukuran kaki kedua anak Slytherin itu. Kemudian,
masih keheranan akan apa yang baru saja mereka lakukan, mereka berlari
ke toilet Myrtle Merana.
Mereka
nyaris tak bisa melihat gara-gara asap tebal hitam yang keluar dari
bilik tempat Hermione mengaduk isi kualinya. Dengan menarik jubah untuk
menutupi muka mereka, Harry dan Ron mengetuk pintu pelan.
"Hermione?"
Mereka
mendengar kunci diputar, dan kemudian Hermione muncul, wajahnya
berkilau dan kelihatan cemas. Di belakangnya mereka mendengar bunyi
blup-blup ramuan kental yang menggelegak. Tiga gelas besar sudah siap di
atas tempat duduk kloset.
"Berhasil?" tanya Hermione menahan napas.
Harry menunjukkan rambut Goyle.
"Bagus. Dan aku sudah mengambil jubah mereka dari tempat cucian," kata Hermione, mengangkat kan-tong kecil.
"Kalian perlu jubah lebih besar kalau sudah jadi Crabbe dan Goyle."
Ketiganya memandang kuali. Dari dekat, ramuan itu tampak seperti lumpur kental hitam yang menggelegak.
"Aku
yakin sudah melakukan segalanya dengan benar," kata Hermione, dengan
gugup membaca ulang halaman Ramuan-ramuan Paling Mujarab yang sudah
bebercak-bercak.
"Tampilannya
sudah seperti yang di-katakan buku... Begitu kita meminumnya, kita cuma
punya waktu tepat satu jam sebelum berubah menjadi diri kita lagi."
"Sekarang bagaimana?" bisik Ron. "Kita bagi menjadi tiga gelas, dan kita tambahkan rambutnya."
Hermione
memasukkan sendokan-sendokan besar cairan kental itu ke dalam
masing-masing gelas. Kemu-dian, dengan tangan gemetar dia menggoyang
botol-nya sampai rambut Millicent jatuh dari botol itu, ke dalam gelas
pertama.
Ramuan
itu mendesis keras seperti ceret yang airnya mendidih dan berbuih
banyak. Sedetik kemudian ramuan itu sudah berubah warna menjadi kuning
menjijikkan.
"Yaikkk—sari pati Millicent Bulstrode," kata Ron, me-mandangnya dengan jijik. "Pasti rasanya memuakkan."
"Masukkan rambutmu sekarang," kata Hermione.
Harry
menjatuhkan rambut Goyle ke dalam gelas yang di tengah dan Ron
memasukkan rambut Crabbe ke gelas terakhir. Kedua gelas itu mendesis dan
ber-buih: yang berisi rambut Goyle berubah warna men-jadi cokelat muda,
yang berisi rambut Crabbe menjadi cokelat tua kelam.
"Tunggu,"
kata Harry ketika Ron dan Hermione mau mengambil gelas mereka. "Kita
sebaiknya tidak meminumnya sama-sama di sini. Begitu kita berubah
menjadi Crabbe dan Goyle, tempat ini tak akan cukup. Dan Millicent
Bulstrode juga tidak kecil."
"Pemikiran bagus," kata Ron, membuka kunci pintu. "Kita minum dalam bilik yang berlainan."
Berhati-hati agar ramuan Polijus-nya tidak ada yang tercecer, Harry menyelinap ke dalam bilik yang di tengah.
"Siap?" dia berseru.
"Siap," terdengar jawaban Ron dan Hermione.
"Satu... dua... tiga..."
Seraya memencet hidungnya, Harry meminum ramuannya dalam dua tegukan. Rasanya seperti kol yang dimasak kelamaan.
Segera
saja bagian dalam tubuhnya mulai bergerak-gerak, seakan dia baru saja
menelan ular-ular hidup— Harry terbungkuk, bertanya-tanya dalam hati
apakah dia akan muntah—kemudian perutnya serasa terbakar, dan rasa panas
ini menjalar cepat dari perut ke ujung-ujung jari tangan dan kakinya.
Reaksi berikutnya begitu hebat, membuat Harry terpekik kaget dan jatuh
merangkak. Dia merasa seperti meleleh ketika kulit di seluruh tubuhnya
ditumbuhi gelembung-gelembung seperti lilin panas, dan di depan matanya
sendiri, tangannya mulai tumbuh, jari-jarinya menggemuk, kukunya
melebar, dan buku-buku jarinya bertonjolan besar-besar. Bahunya melebar,
rasanya sakit, dan denyut-denyut di dahinya memberitahunya rambutnya
sedang tumbuh merambat ke alisnya. Jubahnya sobek ketika dadanya
mengembang seperti tong pecah sampai lingkaran pengikatnya terlepas.
Kakinya sakit sekali terjepit sepatu yang ukurannya, terlalu kecil empat
nomor...
Dan
mendadak saja, seperti mulainya tadi, segalanya berhenti. Harry
berbaring menelungkup di lantai batu bilik yang dingin, mendengarkan
Myrtle yang ber-deguk merana di bilik paling ujung. Dengan susah payah
dia mengentakkan sepatunya sampai lepas dan berdiri. Beginilah rasanya
menjadi Goyle. Tangannya yang besar gemetar, dia melepas jubahnya, yang
menggantung kira-kira tiga puluh senti di atas mata kakinya, memakai
jubah yang disediakan Hermione, dan mengikat tali sepatu Goyle yang
seperti-perahu. Tangannya mau menyibakkan rambut dari matanya, tapi yang
terpegang olehnya hanya rambut pendek kaku bagai kawat, yang tumbuh
memenuhi dahinya. Kemudian dia menyadari bahwa kacamatanya mem-buat
pandangannya kabur, karena Goyle jelas tidak memerlukannya. Dilepasnya
kacamatanya, lalu dia ber-teriak, "Kalian berdua oke?" Suara serak Goyle
ter-dengar dari mulutnya.
"Yeah," terdengar dengkur berat Crabbe dari sebelah kirinya.
Harry
membuka pintu biliknya dan melangkah di depan cermin yang retak. Goyle
balik memandangnya dengan mata dalam yang suram. Harry menggaruk
telinganya. Begitu juga, Goyle.
Pintu
Ron terbuka. Mereka berpandangan. Dari po-tongan rambutnya yang seperti
batok kelapa sampai ke lengan gorilanya yang panjang, Ron tak bisa
di-bedakan dari Crabbe, hanya saja dia kelihatan pucat dan shock.
"Tak bisa dipercaya," kata Ron, mendekati cermin dan menekan-nekan hidung pesek Crabbe. "Tak bisa dipercaya."
"Lebih
baik kita segera berangkat," kata Harry, me-ngendurkan arloji yang
menjepit pergelangan tangan Goyle yang tebal. "Kita masih harus
menemukan ruang rekreasi Slytherin. Mudah-mudahan kita ketemu orang yang
bisa kita buntuti..."
Ron,
yang sejak tadi memandang Harry, berkata, "Kau tak tahu betapa anehnya
melihat Goyle berpikir." Dia menggedor pintu Hermione. "Ayo, kita harus
pergi..."
Suara tinggi melengking menjawabnya, "Aku—ku-rasa aku tidak akan keluar. Kalian jalan saja tanpa aku."
"Hermione, kami tahu Millicent Bulstrode jelek, tak akan ada yang tahu itu kau."
"Tidak—betul—aku tidak akan ikut. Kalian berdua bergegaslah, kalian membuang-buang waktu.".
Harry memandang Ron, kebingungan.
"Nah, kalau begitu, kau lebih mirip Goyle," kata Ron.
"Begitulah tampangnya setiap kali ditanya guru." "Hermione, apakah kau tidak apa-apa?" tanya Harry dari balik pintu.
"Baik—aku baik... Kalian pergilah...."
Harry
memandang arlojinya. Lima dari enam puluh menit mereka yang sangat
berharga telah lewat. "Kami akan menemuimu di sini nanti, oke?"
kata-nya. Harry dan Ron membuka pintu toilet hati-hati, memastikan
keadaan aman, lalu keluar. "Jangan mengayunkan tanganmu seperti itu,"
Harry bergumam kepada Ron.
"Eh?"
"Crabbe biasanya tangannya kaku..."
"Bagaimana kalau begini?"
"Yeah, itu lebih baik."
Mereka
menuruni tangga pualam. Yang mereka perlukan sekarang tinggal anak
Slytherin yang bisa mereka ikuti ke ruang rekreasi Slytherin, tapi tak
ada seorang pun.
"Ada ide?" gumam Harry.
"Anak-anak
Slytherin selalu datang untuk sarapan dari arah sana," kata Ron,
mengangguk ke pintu ruang bawah tanah. Baru saja dia selesai bicara,
se-orang gadis berambut panjang ikal muncul dari pintu.
"Maaf," kata Ron, bergegas mendekatinya, "kami lupa jalan ke ruang rekreasi kita."
"Apa?" kata gadis itu kaku. "Ruang rekreasi kita? Aku anak Ravenclaw."
Gadis itu pergi, menoleh curiga kepada mereka.
Harry
dan Ron bergegas menuruni tangga batu menuju kegelapan, langkah-langkah
mereka bergema keras ketika kaki raksasa Crabbe dan Goyle mengentak
lantai. Mereka merasa ini tidak akan semudah yang mereka harapkan.
Lorong-lorong
yang berputar-putar seperti labirin itu kosong. Mereka turun semakin
dalam di bawah sekolah, berkali-kali mengecek arloji untuk melihat
berapa lama lagi waktu yang masih tersisa. Setelah seperempat jam, tepat
ketika mereka mulai putus asa, mereka mendengar bunyi gerakan di depan.
"Ha!" kata Ron. "Itu salah satu dari mereka!"
Sosok
itu muncul dari ruang sebelah. Ketika mereka bergegas mendekat, mereka
kecewa. Ternyata bukan anak Slytherin, melainkan Percy.
"Apa yang kaulakukan di bawah sini?" tanya Ron heran. Percy tampak terhina.
"Itu," katanya kaku, "bukan urusanmu. Kau Crabbe, kan?"
"Ap—oh, yeah," kata Ron. "Kembalilah ke kamar kalian," kata Percy galak.
"Tidak aman berkeliaran di koridor gelap sekarang ini."
"Kau sendiri berkeliaran," tuduh Ron.
"Aku," kata Percy membusungkan dada, "Prefek. Tak ada yang akan menyerangku."
Tiba-tiba
terdengar suara di belakang Harry dan Ron. Draco Malfoy berjalan ke
arah mereka, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Harry senang
melihatnya.
"Di sini rupanya kalian," katanya, memandang me-reka.
"Apa
dari tadi kalian makan terus seperti babi di Aula Besar? Aku
mencari-cari kalian, aku ingin menunjukkan sesuatu yang benar-benar lucu
pada kalian."
Malfoy mengerling Percy dengan menghina.
"Dan
apa yang kaulakukan di sini, Weasley?" cibir-nya. Percy kelihatan
marah. "Kau harus menunjukkan sedikit rasa hormat kepada Prefek
sekolah!" katanya. "Aku tak suka sikap-mu!"
Malfoy
mencibir dan memberi isyarat pada Harry dan Ron untuk mengikutinya.
Harry nyaris minta maaf pada Percy, tapi untung langsung ingat dan
menahan diri. Dia dan Ron bergegas mengikuti Malfoy, yang berkata
ketika. mereka membelok ke lorong berikutnya, "Si Peter Weasley itu..."
"Percy," Ron otomatis membetulkannya.
"Apalah,"
kata Malfoy. "Kuperhatikan belakangan ini dia menyelinap ke mana-mana.
Dan aku tahu apa maunya. Dia pikir dia bisa menangkap pewaris Slytherin
sendirian."
Malfoy tertawa mengejek. Harry dan Ron bertukar pandang bergairah. Malfoy berhenti di depan tembok batu kosong dan lembap.
"Apa kata kuncinya?" tanyanya kepada Harry.
"Eh...," kata Harry.
"Oh
yeah—darah-murni!" kata Malfoy, tidak men-dengarkan ucapan Harry, dan
pintu batu yang ter-sembunyi di tembok itu menggeser terbuka Malfoy
masuk, diikuti Harry dan Ron.
Ruang
rekreasi Slytherin adalah ruang bawah tanah yang panjang dan rendah,
dengan tembok dan langit-langit batu kasar. Dari langit-langit itu
lampu-lampu kehijauan bergantung pada rantai. Api berderak dalam
perapian yang berukir rumit di depan mereka, dan beberapa anak Slytherin
mengelilinginya di kursi-kursi berukir.
"Tunggu
di sini," kata Malfoy kepada Harry dan Ron, memberi isyarat agar mereka
duduk di sepasang kursi kosong agak jauh dari perapian. "Akan
ku-ambil—ayahku baru saja mengirimnya..."
Bertanya-tanya
dalam hati apa yang akan ditunjuk-kan Malfoy kepada mereka, Harry dan
Ron duduk, berusaha kelihatan tidak canggung.
Malfoy muncul lagi beberapa saat kemudian, mem-bawa guntingan koran. Disodorkannya guntingan ko-ran itu ke bawah radung Ron.
"Ini akan membuatmu tertawa," katanya.
Harry
melihat mata Ron membelalak kaget. Ron membaca guntingan koran itu
cepat-cepat, dengan tawa yang dipaksakan, lalu diberikannya kepada
Harry.
Ternyata itu berita yang digunting dari Daily Prophet, bunyinya:
PENYELIDIKAN DI KEMENTERIAN SIHIR
Arthur
Weasley, Kepala Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle, hari ini
didenda lima puluh Galleon karena menyihir mobil Muggle.
Mr
Lucius Malfoy, anggota Dewan Sekolah Sihir Hogwarts, tempat mobil
tersihir itu mendarat beberapa waktu yang lalu, menelepon hari ini,
mengusulkan pemecatan Mr Weasley.
"Weasley
telah merusak reputasi Kementerian," Mr Malfoy berkata kepada reporter
kami. "Dia jelas tidak layak membuat peraturan untuk kita dan
Undang-undang Perlindungan Muggle-nya harus segera di-hapuskan."
Mr
Weasley tidak bisa dimintai komentar, meskipun istrinya menyuruh para
reporter untuk menyingkir, kalau tidak mereka akan melepas hantu
keluarga untuk menyerang para reporter.
"Nah?" kata Malfoy tak sabar, ketika Marry mengem-balikan guntingan koran itu kepadanya. "Apa me-nurutmu tidak lucu?"
"Ha, ha," kata Harry suram.
"Arthur
Weasley suka sekali pada Muggle, mestinya dia patahkan saja tongkatnya
jadi dua dan bergabung dengan mereka," kata Malfoy menghina. "Kau tak
akan tahu keluarga Weasley berdarah-murni, kalau melihat tingkah
mereka."
Wajah Ron—atau lebih tepatnya, Crabbe, berkeriut saking marahnya. "Kenapa sih kau?" bentak Malfoy.
"Sakit perut," keluh Ron.
"Pergi ke rumah sakit dong, dan tendang semua Darah- lumpur itu untukku," kata Malfoy terkekeh.
"Tahu
tidak, aku heran. Daily Prophet belum juga mem-beritakan tentang
serangan-serangan ini," katanya me-neruskan, berpikir-pikir. "Kurasa
Dumbledore berusaha menutupinya. Dia akan dipecat kalau kejadian ini
tidak segera dihentikan. Ayah selalu bilang Dumbledore hal terburuk yang
terjadi di sekolah ini. Dia suka anak-anak kelahiran-Muggle. Kepala
sekolah yang layak tidak akan menerima anak tolol seperti Creevey."
Malfoy
berpura-pura memotret, menjepret-jepret de-ngan kamera khayalan,
menirukan gaya Colin. "Potter, boleh aku memotretmu, Potter? Boleh aku
minta tanda tanganmu? Boleh dong aku menjilat sepatumu, Potter?"
Dia menurunkan tangannya dan memandang Harry dan Ron.
"Kenapa sih kalian berdua?"
Walaupun
terlambat, Harry dan Ron memaksa diri tertawa, tetapi Malfoy tampaknya
puas. Mungkin Crabbe dan Goyle memang selalu "telmi".
"Santo
Potter, sahabat para Darah-lumpur," kata Malfoy lambat-lambat. "Dia
satu lagi yang tak punya rasa sihir yang pantas. Kalau tidak, dia tak
akan bergaul dengan Granger si Darah-lumpur itu. Dan orang-orang mengira
dia-lah. pewaris Slytherin!"
Harry
dan Ron menunggu dengan napas tertahan. Malfoy jelas sebentar lagi akan
memberitahu mereka bahwa dialah pewarisnya. Tetapi...
"Kalau saja aku tahu siapa dia," kata Malfoy jengkel. "Aku bisa membantu mereka."
Rahang
Ron membuka lebar sehingga wajah Crabbe kelihatan lebih tolol dari
biasanya. Untungnya Malfoy tidak memperhatikan, dan Harry berpikir
cepat, berkata, "Kau pasti punya dugaan siapa yang ada di belakang semua
ini..."
"Kau
tahu aku tak tahu apa-apa, Goyle, berapa kali harus kukatakan
kepadamu?" bentak Malfoy. "Dan Ayah juga sama sekali tak mau bercerita
tentang ter-akhir kalinya Kamar Rahasia dibuka. Tentu saja, ke-jadiannya
lima puluh tahun yang lalu, jadi sebelum dia di sini, tapi dia tahu
tentang semua itu, dan dia bilang kejadian itu ditutup-tutupi dan akan
men-curigakan kalau aku tahu terlalu banyak tentangnya. Tetapi aku tahu
satu hal: terakhir kali Kamar Rahasia dibuka,
satu
Darah-lumpur meninggal. Jadi, pasti ting-gal tunggu waktu sebelum salah
satu dari mereka dibunuh kali ini... Mudah-mudahan saja si Granger,"
katanya girang.
Ron
mengepalkan tinju raksasa Crabbe. Merasa bahwa rahasia mereka bisa
terbongkar jika Ron me-ninju Malfoy, Harry melempar pandang
memperingat-kan dan berkata,
"Tahukah kau, apakah orang yang membuka Kamar Rahasia dulu itu berhasil ditangkap?"
"Oh, yeah... siapa pun orangnya, dia dikeluarkan," kata Malfoy. "Mungkin mereka masih di Azkaban."
"Az-kaban?" tanya Harry, bingung.
"Azkaban—penjara
penyihir, Goyle," kata Malfoy, me-mandangnya tak percaya. "Astaga,
kalau lebih telmi dari ini, kau akan jadi terbelakang."
Malfoy
duduk gelisah di kursinya dan berkata, "Ayah berpesan agar aku tidak
menonjolkan diri dan membiarkan pewaris Slytherin bertindak. Dia bilang
sekolah perlu dibersihkan dari semua sampah Darah-lumpur, tapi aku tak
boleh ikut campur. Tentu saja dia sendiri sedang banyak disorot sekarang
ini. Kalian tahu Kementerian Sihir merazia rumah kami minggu lalu?"
Harry berusaha memaksa wajah bodoh Goyle ikut prihatin.
"Yeah...,"
kata Malfoy. "Untunglah tidak banyak yang mereka temukan. Ayah punya
beberapa benda Ilmu Hitam yang sangat berharga. Tetapi untungnya kami
punya kamar rahasia di bawah lantai ruang tamu..."
"Ho!" kata Ron.
Malfoy
memandangnya. Begitu juga Harry. Wajah Ron memerah, bahkan rambutnya
pun memerah. Hidungnya juga pelan-pelan memanjang—waktu mereka telah
habis. Ron sedang kembali menjadi diri-nya, dan dari kengerian yang
terpancar di wajahnya, mestinya Harry juga.
Mereka berdua rnelompat bangun.
"Harus
minum obat untuk sakit perutku," gerutu Ron, dan tanpa berlama-lama
lagi mereka berlari me-nyeberangi ruang rekreasi Slytherin, menerobos
tem-bok batu dan bergegas menaiki tangga, berharap Malfoy tidak melihat
sesuatu yang aneh. Harry bisa merasakan sepatu besar Goyle kelonggaran
untuk kaki-nya dan dia harus mengangkat jubahnya saat tubuh-nya
mengecil. Mereka berlari menaiki tangga menuju Aula Depan, yang bising
dengan gedoran dari lemari tempat mereka mengurung Crabbe dan Goyle.
Setelah meninggalkan sepatu mereka di depan lemari, mereka berlari
menaiki tangga pualam dengan hanya berkaus kaki, menuju toilet Myrtle
Merana.
"Yah,
tidak sepenuhnya sia-sia," kata Ron tersengal, menutup pintu toilet dj
belakang mereka. "Kita me-mang belum tahu siapa yang melakukan
penyerangan ini, tapi aku akan menulis kepada Dad dan meminta-nya
memeriksa di bawah ruang tamu Malfoy."
Harry
memeriksa wajahnya di cermin retak. Dia sudah kembali normal. Dia
memakai kacamatanya sementara Ron menggedor pintu bilik Hermione.
"Hermione, keluar, banyak yang akan kami ceritakan..."
"Pergi!" lengking Hermione. Harry dan Ron berpandangan.
"Ada apa?" tanya Ron. "Kau pasti sudah balik jadi dirimu lagi sekarang, kami sudah..."
Tetapi Myrtle Merana tiba-tiba melayang menembus pintu bilik. Harry belum pernah melihatnya seriang itu.
"Ooooooh! Tunggu sampai kalian lihat sendiri," kata-nya.
"Mengerikan sekali!"
Mereka mendengar kunci diputar dan Hermione muncul, terisak-isak, jubahnya ditarik menutupi kepalanya.
"Ada
apa?" tanya Ron bingung. "Apa hidungmu masih hidung Millicent atau
apa?" Hermione menjatuhkan jubahnya dan Ron mundur sampai ke wastafel.
Wajah Hermione ditumbuhi bulu hitam. Matanya jadi kuning dan ada telinga runcing mencuat dari rambutnya.
"Itu
rambut ku-kucing!" lolongnya. "M-Millicent Bulstrode pastilah punya
kucing! Dan r-ramuan itu tidak boleh digunakan untuk berubah menjadi
binatang!"
"Uh, oh," kata Ron.
"Kau akan diledek habis-habisan," kata Myrtle senang.
"Tidak
apa-apa, Hermione," kata Harry buru-buru. "Kami akan membawamu ke rumah
sakit. Madam Pomfrey tak pernah mengajukan banyak per-tanyaan..."
Butuh waktu lama membujuk Hermione untuk me-ninggalkan toilet. Myrtle Merana melepas kepergian mereka dengan terbahak-bahak.
"Tunggu sampai ketahuan kau punya ekor!"
13. Buku Harian Yang Sangat Rahasia
HERMIONE
tinggal di rumah sakit selama beberapa minggu. Ketika anak-anak kembali
dari liburan Natal, desas- desus tentang ketidakmunculannya seru
sekali, karena tentu saja semua mengira dia telah diserang. Begitu
banyak anak yang datang ke rumah sakit, berusaha mengintipnya, sehingga
Madam Pomfrey me-ngeluarkan tirainya lagi dan memasangnya di se-keliling
tempat tidur Hermione, agar dia tidak malu sebab dilihat anak-anak
dengan wajah berbulu.
Harry dan Ron datang menengoknya setiap malam. Ketika semester baru dimulai, mereka membawakan-nya PR setiap hari.
"Kalau
aku yang ditumbuhi kumis kucing, aku sih libur dulu belajarnya," kata
Ron sambil meletakkan setumpuk buku di meja di sebelah tempat tidur
Hermione pada suatu malam.
"Jangan
bodoh, Ron, aku kan harus belajar supaya tidak ketinggalan," kata
Hermione tegas. Semangatnya sudah jauh lebih baik karena semua bulu
sudah meng-hilang dari wajahnya, dan matanya pelan-pelan sudah mulai
kembali berwarna cokelat. "Kurasa kalian belum dapat petunjuk baru?" dia
menambahkan dengan berbisik, supaya Madam Pomfrey tidak mendengarnya.
"Belum,"
kata Harry muram. "Aku begitu yakin Malfoy-lah orangnya," kata Ron,
untuk kira-kira keseratus kalinya. "Apa itu?" tanya Harry, menunjuk
benda keemasan yang mencuat dari bawah bantal Hermione.
"Cuma
kartu ucapan semoga cepat sembuh," kata Hermione buru-buru, berusaha
menjejalkannya supaya tidak kelihatan. Tetapi Ron lebih cepat darinya.
Ron menariknya, membuka dan membacanya keras-keras:
"Untuk
Miss Granger, semoga lekas sembuh, dari gurumu yang cemas, Profesor
Gilderoy Lockhart, Order of Merlin Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga
Pertahanan terhadap llmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes
Senyum-Paling- Menawan Witch Weekly."
Ron mendongak, menatap Hermione jijik.
"Kau tidur dengan kartu ini di bawah bantalmu?"
Tetapi Hermione tak perlu menjawab, diselamatkan oleh kedatangan Madam Pomfrey yang membawakan obatnya untuk malam itu.
"Si
Lockhart ini cowok penjilat yang paling memuja diri sendiri atau
bagaimana sih?" kata Ron kepada Harry ketika mereka meninggalkan kamar
Hermione dan menaiki tangga menuju Menara Gryffindor. Saking banyaknya
PR yang diberikan oleh Snape, sampai-sampai Harry berpikir baru akan
bisa menyelesaikannya kalau dia sudah kelas enam. Ron baru saja berkata
dia menyesal tidak bertanya kepada Hermione berapa buntut tikus yang
harus ditambahkan ke dalam ramuan Pendiri Bulu Kuduk, ketika terdengar
teriakan marah dari lantai di atas mereka.
"Si Filch," gumam Harry, ketika mereka bergegas menaiki tangga dan berhenti, menyembunyikan diri, memasang telinga tajam-tajam.
"Apakah
ada anak lain yang baru diserang?" kata Ron tegang. Mereka berdiri
diam, kepala mereka condong ke arah suara Filch, yang kedengarannya
histeris.
"...lebih
banyak lagi pekerjaan untukku! Mengepel se-panjang malum, seperti aku
tak punya cukup pekerjaan saja! Tidak, ini sudah kelewatan, aku akan ke
Dumbledore..." Langkah-langkah Filch menjauh dan mereka men-dengar pintu
ditutup keras-keras di kejauhan.
Mereka
menjulurkan kepala. Filch jelas baru saja berpatroli di tempat ia biasa
berjaga. Mereka sekali lagi berada di tempat Mrs Norris diserang.
Dengan tatapan sekilas mereka sudah melihat apa yang mem-buat Filch
berteriak-teriak. Genangan air membasahi sampai setengah koridor, dan
kelihatannya air masih merembes dari bawah pintu toilet Myrtle Merana.
Sekarang setelah Filch berhenti berteriak-teriak, mereka bisa mendengar
tangisan Myrtle bergaung dari dinding-dinding toilet.
"Kenapa lagi tuh dia?" tanya Ron.
"Ayo,
kita lihat," kata Harry, dan seraya mengangkat jubah sampai ke atas
mata kaki, mereka menginjak genangan air menuju pintu yang bertulisan
Rusak, mengabaikannya seperti biasa, dan masuk.
Myrtle
Merana sedang menangis, kalau ini mungkin, lebih keras dan lebih seru
daripada biasanya. Ke-lihatannya dia bersembunyi di dalam klosetnya yang
biasa. Toilet itu gelap, karena lilin-lilinnya padam ter-kena siraman
air yang telah membuat dinding dan lantai basah kuyup.
"Ada
apa, Myrtle?" tanya Harry. "Siapa itu?" deguk Myrtle sedih. "Mau
melempar benda lain lagi padaku?" Harry berjalan melintasi air ke
biliknya dan berkata, "Kenapa aku mau melempar sesuatu padamu?"
"Jangan
tanya aku," teriak Myrtle, muncul dengan luapan air yang tercurah ke
lantai yang sudah kuyup. "Aku di sini terus, tak pernah mengganggu orang
lain, dan ada orang yang menganggap lucu melempar-ku dengan buku..."
"Tapi
kau kan tidak sakit kalau ada yang me-lemparmu dengan sesuatu," kata
Harry tenang. "Maksudku, benda itu akan langsung menembusmu, kan?"
Dia
telah mengucapkan hal yang salah. Myrtle me-layang dan menjerit, "Biar
saja semua melempar buku kepada Myrtle, karena dia tidak bisa merasa!
Sepuluh angka kalau kau bisa melemparnya menembus perut-nya! Lima puluh
kalau bisa menembus kepalanya! Nah, ha ha ha! Permainan yang bagus
sekali, menurut-ku tidak!"
"Siapa sih yang melemparnya kepadamu?" tanya Harry.
"Aku
tak tahu... aku sedang duduk-duduk di leher angsa, memikirkan kematian,
dan buku itu jatuh begitu saja di atas kepalaku," kata Myrtle, menatap
mereka dengan marah. "Itu tuh bukunya, di sana, hanyut."
Harry
dan Ron mencari di bawah wastafel, ke arah yang ditunjuk Myrtle. Sebuah
buku kecil dan tipis tergeletak. Sampulnya hitam kumal dan basah kuyup
seperti halnya segala sesuatu di dalam toilet itu. Harry maju untuk
memungutnya, tetapi Ron mendadak menjulurkan tangan mencegahnya.
"Apa?" kata Harry.
"Kau gila?" kata Ron. "Bisa berbahaya."
"Berbahaya?" kata Harry, tertawa. "Mana mungkin sih?".
"Kau
akan heran," kata Ron, yang memandang buku itu dengan takut-takut.
"Beberapa buku yang disita Kementerian—Dad cerita padaku—ada yang bisa
membuat matamu terbakar. Dan siapa saja yang mem-baca Soneta Penyihir,
seumur hidup akan bicara dengan gaya pantun jenaka. Dan ada penyihir tua
wanita di Bath yang punya buku yang tak bisa berhenti dibaca! Terpaksa
kau akan ke mana- mana dengan buku itu di bawah hidungmu, mencoba
melakukan segala hal dengan satu tangan. Dan..."
"Baiklah, aku paham," kata Harry. Buku kecil itu tergeletak di lantai, tak jelas buku apa, dan basah kuyup.
"Yah, kita tidak akan tahu kalau kita tidak me-meriksanya," kata Harry, sambil berlari mengitari Ron dan memungut buku itu.
Harry
langsung melihat bahwa itu buku harian, dan tahun yang sudah memudar di
sampulnya mem-beritahunya bahwa usianya sudah lima puluh tahun. Harry
membukanya dengan bergairah. Di halaman pertama dia cuma bisa membaca
nama "T. M. Riddle" yang tintanya sudah luntur.
"Tunggu,"
kata Ron, yang sudah mendekat dengan hati- hati dan melihat melewati
bahu Harry "Aku tahu nama itu... T.M. Riddle mendapat penghargaan untuk
pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun yang lalu."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Harry keheranan.
"Karena
Filch menyuruhku menggosok trofinya kira-kira lima puluh kali waktu
detensi itu," kata Ron sebal. "Trofi itu yang kena muntahan siputku.
Kalau kau menggosok lendir dari nama tertentu selama satu jam, kau akan
mengingat nama itu juga."
Harry
hati-hati membuka halaman-halamannya yang basah. Semuanya kosong. Tak
ada bekas tulisan se-samar apa pun di halaman mana pun, bahkan "ulang
tahun Bibi Mabel" atau "dokter gigi, setengah empat", misalnya, juga
tidak.
"Dia tidak pernah menulis di sini," kata Harry kecewa.
"Kenapa ya ada orang yang ingin melenyapkannya dengan membuangnya ke dalam toilet?" tanya Ron ingin tahu.
Harry
membalik buku itu untuk memeriksa sampul belakangnya dan melihat nama
sebuah agen surat kabar di Vauxhall Road, London, tercetak di situ.
"Pastilah dia kelahiran-Muggle," kata Harry, berpikir-pikir,
"karena dia membeli buku harian di Vauxhall Road..."
"Yah,
tak banyak gunanya untukmu," kata Ron. Dia merendahkan suaranya, "Lima
puluh angka kalau kau bisa melemparkannya menembus hidung Myrtle."
Tetapi Harry mengantongi buku harian itu.
Hermione
meninggalkan rumah sakit tanpa kumis, tanpa ekor, dan tanpa bulu, pada
awal bulan Februari. Pada malam pertamanya berada kembali di Menara
Gryffindor, Harry menunjukkan buku harian T.M. Riddle dan menceritakan
kepadanya bagaimana me-reka mendapatkannya.
"Oooh,
siapa tahu buku ini punya kekuatan ter-sembunyi," kata Hermione
antusias, mengambil buku harian itu dan memeriksanya dengan teliti.
"Kalau
memang punya, buku itu menyembunyi-kannya dengan sangat baik," kata
Ron. "Mungkin bukunya malu. Aku tak tahu kenapa kau tidak mem-buangnya
saja, Harry."
"Aku
ingin sekali tahu kenapa ada orang yang mau melenyapkannya," kata
Harry. "Aku juga tak keberatan mengetahui bagaimana Riddle mendapatkan
peng-hargaan untuk pengabdian istimewa kepada Hogwarts."
"Bisa
karena apa saja," kata Ron. "Mungkin dia dapat tiga puluh OWL atau
menyelamatkan seorang guru dari cumi-cumi raksasa. Mungkin dia membunuh
Myrtle, itu akan menguntungkan banyak orang..."
Tetapi Harry bisa melihat dari ketertarikan di wajah Hermione, bahwa Hermione memikirkan apa yang dia sendiri pikirkan.
"Apa?" tanya Ron, memandang mereka bergantian.
"Yah,
Kamar Rahasia dibuka lima puluh tahun yang lalu, kan?" kata Harry.
"Begitu kata Malfoy." "Yeah...," kata Ron lambat-lambat. "Dan buku
harian ini usianya lima puluh tahun," kata Hermione, mengetuk-ngetuk
buku itu dengan bergairah.
"Jadi?"
"Oh,
Ron, bangun dong," gertak Hermione. "Kita tahu orang yang membuka Kamar
Rahasia sebelum ini dikeluarkan lima puluh tahun lalu. Kita tahu T.M.
Riddle mendapatkan penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah
lima puluh tahun lalu. Nah, bagaimana kalau Riddle mendapatkan
penghargaan istimewanya karena dia menangkap pewaris Slytherin? Buku
hariannya mungkin akan memberitahu kita segalanya: di mana Kamar Rahasia
itu, dan bagaimana membukanya dan makhluk macam apa yang tinggal di
dalamnya. Orang yang berada di belakang penyerangan- penyerangan kali
ini tidak ingin bukunya tergeletak di sembarang tempat, kan?"
"Teori
yang hebat sekali, Hermione," kata Ron, "ha-nya saja ada satu kendala
kecil. Tidak ada tulisan apa pun di dalam buku harian itu."
Tetapi Hermione mengeluarkan tongkatnya dari da-lam tas.
"Mungkin tintanya tinta yang tidak kelihatan!" dia berbisik. Diketuknya buku harian itu tiga kali, dan dia ber-kata,
"Aparecium!"
Tak
ada yang terjadi. Tidak putus asa, Hermione menjejalkan kembali
tongkatnya ke dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang kelihatannya
seperti setip merah cerah.
"Ini
Penampak, aku beli di Diagon Alley," katanya. Hermione menggosok
keras-keras pada halaman "satu Januari". Tak ada yang terjadi.
"Sudah
kubilang, tak ada yang bisa ditemukan di situ," kata Ron. "Riddle
mendapatkan buku harian itu sebagai hadiah Natal dan tak mau repot-repot
mengisi-nya."
Harry
tak bisa menjelaskan, bahkan kepada dirinya sendiri, kenapa dia tidak
membuang saja buku harian Riddle. Nyatanya, meskipun dia tahu buku
harian itu kosong, berulang-ulang tanpa sadar dia mengambil dan membuka-
bukanya, seakan itu buku cerita yang ingin diselesaikannya. Dan
meskipun Harry yakin tidak pernah mendengar nama T.M. Riddle
se-belumnya, nama itu rasanya berarti sesuatu baginya, rasanya seakan
Riddle adalah temannya waktu dia masih kecil sekali, dan sudah setengah
terlupakan. Tetapi ini aneh. Harry tak pernah punya teman sebelum masuk
Hogwarts. Dudley membuatnya tak punya teman.
Meskipun
demikian Harry bertekad untuk menge-tahui lebih banyak tentang Riddle.
Maka hari berikut-nya, pada jam istirahat, dia menuju ke ruang piala,
ditemani Hermione yang tertarik, dan Ron yang sama sekali tak yakin,
yang mengatakan kepada mereka dia sudah muak dengan ruang piala sehingga
seumur hidup tidak ke situ lagi pun tak apa- apa.
Trofi
emas Riddle yang berkilat ada dalam lemari di sudut. Tidak ada data
rinci tentang kenapa trofi itu dihadiahkan kepadanya ("Bagus, kalau ada
datanya, trofinya pasti lebih besar dan aku masih menggosok-nya," kata
Ron). Meskipun demikian, mereka menemu-kan nama Riddle di Medali tua
untuk Penyihir Berjasa, dan di daftar Ketua Murid lama.
"Kedengarannya
seperti Percy," kata Ron, me-ngernyitkan hidung dengan jijik. "Prefek,
Ketua Murid—mungkin juara kelas setiap tahun."
"Kau mengatakannya seakan itu hal buruk," kata Hermione agak sakit hati.
Matahari
sekarang mulai bersinar lemah menyinari Hogwarts lagi. Di dalam kastil,
suasana sudah lebih ceria. Tak ada lagi serangan sejak serangan
terakhir terhadap Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Madam Pomfrey
dengan gembira melaporkan bahwa Mandrake-mandrake sudah mulai murung dan
serba berahasia, yang berarti mereka sudah meninggalkan masa
kanak-kanak.
"Begitu
jerawat mereka menghilang, mereka akan siap untuk ganti pot lagi,"
Harry mendengarnya mem-beritahu Filch dengan lembut suatu sore. "Dan
se-sudah itu, tak lama lagi kita bisa memotong dan merebusnya. Kau akan
segera mendapatkan kembali Mrs Norris-mu.".
Mungkin
si pewaris Slytherin sudah kehilangan nyali, pikir Harry. Pastilah
risiko membuka Kamar Rahasia semakin lama semakin besar, dengan seluruh
sekolah waspada dan curiga. Mungkin monsternya, entah apa bentuknya,
sekarang bahkan sudah siap-siap tidur lagi untuk lima puluh tahun
mendatang....
Ernie
Macmillan dari Hufflepuff tidak berpandangan seceria itu. Dia masih
yakin bahwa Harry-lah yang bersalah, bahwa Harry telah "membocorkan
rahasia dirinya" di Klub Duel. Peeves tidak membantu: dia bolak-balik
muncul di koridor-
koridor sambil ber-nyanyi-nyanyi, "Oh, Harry, kau keji...,"
sekarang ma-lah sambil menari-nari.
Gilderoy
Lockhart tampaknya berpikir dia seorang dirilah yang membuat
serangan-serangan itu berhenti. Harry mendengarnya memberitahu Profesor
McGonagall ketika anak- anak Gryffindor sedang ber-baris untuk mengikuti
pelajaran Transfigurasi.
"Kurasa
tak akan ada kesulitan lagi, Minerva," kata-nya, mengetuk-ngetuk
hidungnya sok tahu dan mengedip. "Kurasa Kamar Rahasia sudah dikunci
untuk selamanya kali ini. Pelakunya pastilah tahu, tinggal soal waktu
saja sebelum aku menangkap mereka. Agak pintar juga berhenti sekarang,
sebelum aku menghajar mereka.
"Kau
tahu, yang diperlukan sekolah sekarang adalah pengobar semangat.
Mengguyur kenangan buruk se-mester lalu! Aku tak akan ngomong banyak
soal itu sekarang, tapi kurasa aku tahu apa yang bisa membuat anak-anak
lebih bergairah...."
Dia mengetuk hidungnya lagi dan pergi.
Ide
Lockhart tentang pengobar semangat menjadi jelas pada waktu sarapan
tanggal empat belas Februari. Harry hanya sempat tidur sebentar karena
malamnya dia latihan Quidditch sampai larut, dan dia bergegas turun ke
Aula Besar. la sudah agak terlambat. Sesaat dia mengira dirinya salah
masuk.
Dinding-dinding
dipenuhi bunga-bunga merah jambu besar norak. Yang lebih parah lagi,
konfeti berbentuk hati berjatuhan dari langit-langit biru pucat. Harry
berjalan ke meja Gryffindor. Ron tampak sebal, dan Hermione kelihatannya
agak geli.
"Ada apa ini?" Harry menanyai mereka, duduk, dan menyapu konfeti dari daging asapnya.
Ron
menunjuk ke meja guru, rupanya terlalu sebal untuk bicara. Lockhart
memakai jubah merah jambu norak sesuai warna dekorasi, melambaikan
tangan agar anak-anak diam. Wajah guru-guru di kiri-kanan-nya bagai
dipahat dari batu. Dari tempat duduknya Harry bisa melihat ada otot yang
berkedut di pipi Profesor McGonagall. Snape kelihatan seakan baru saja
dipaksa meminum semangkuk besar Skele-Gro.
"Selamat
Hari Valentine!" Lockhart berteriak. "Dan izinkan aku mengucapkan
terima kasih pada empat puluh enam orang yang sejauh ini sudah
mengirimiku kartu! Ya, aku berinisiatif mengatur kejutan kecil ini untuk
kalian semua—dan kejutan ini belum berakhir di sini!"
Lockhart
menepukkan tangan dan dari pintu-pintu yang menghadap ke Aula Depan
masuklah selusin kurcaci bertampang masam. Bukan sembarang kurcaci,
tapi. Lockhart membuat mereka semua memakai sayap keemasan dan membawa
harpa.
"Cupid-cupid
pengantar-kartuku yang ramah!" kata Lockhart berseri-seri. "Mereka akan
berkeliling sekolah hari ini, mengantar kartu Valentine kalian! Dan
ke-gembiraan tidak berakhir di sini! Aku yakin kolega-kolegaku juga
ingin bergabung dalam suasana penuh cinta ini! Kenapa tidak meminta
Profesor Snape untuk mengajar kalian membuat Ramuan Cinta! Dan,
ngomong-ngomong soal cinta, Profesor Flitwick tahu lebih banyak tentang
Jimat Pemikat dari penyihir mana pun yang pernah kutemui, si licik ini!"
Profesor
Flitwick membenamkan wajah di dalam tangannya. Tampang Snape seperti
mau mengatakan orang pertama yang memintanya membuat Ramuan Cinta akan
dicekoki racun.
"Hermione,
mudah-mudahan kau bukan salah satu dari yang empat puluh enam itu,"
kata Ron, sementara mereka meninggalkan Aula Besar untuk pelajaran
pertama mereka.
Hermione mendadak menjadi sangat sibuk mencari-cari daftar pelajaran di dalam tasnya dan tidak menjawab.
Sepanjang
hari itu para kurcaci tak henti-hentinya bermunculan di kelas untuk
mengantar kartu Valentine, sampai guru-guru menjadi jengkel sekali, dan
sorenya, ketika anak-anak Gryffindor sedang naik untuk pelajaran Jimat
dan Guna-guna, salah satu kurcaci mengejar Harry.
"Oi, kau! 'Arry Potter!" seru kurcaci berwajah sangat murung, menyodok-nyodok anak-anak untuk bisa mendekati Harry.
Dengan
wajah terasa amat panas memikirkan dia akan diberi kartu Valentine di
depan serombongan anak kelas satu, termasuk Ginny Weasley, Harry
ber-usaha menghindar. Si kurcaci memotong jalannya, dengan cara
menabrak-nabrak tulang kering anak-anak, dan berhasil menghadangnya
sebelum Harry bisa maju dua langkah.
"Ada pesan musikal yang harus kusampaikan sendiri kepada 'Arry Potter," katanya, seraya memetik harpa-nya dengan gaya mengancam.
"Tidak di sini," desis Harry, berusaha kabur.
"Diam
dulu!" gerutu si kurcaci, menyambar tas Harry dan menariknya. "Lepaskan
aku!" bentak Harry, balas menarik. Dengan bunyi cabikan keras, tasnya
robek jadi dua.
Buku-bukunya,
tongkat, perkamen, dan pena bulu bertebaran di lantai dan botol
tintanya jatuh di atas-nya, tintanya muncrat ke mana-mana.
Harry berjongkok gelagapan, berusaha mengumpul-kan semuanya sebelum si kurcaci mulai menyanyi, menyebabkan kemacetan di koridor.
"Ada
apa di sini?" terdengar suara dingin Draco Malfoy. Harry cepat-cepat
menjejalkan semuanya ke dalam tasnya yang robek, ingin sekali menjauh
se-belum Malfoy bisa mendengar lagu Valentine-nya. "Ribut-ribut apa
ini?" kata suara lain yang tak asing, ketika Percy Weasley tiba.
Panik,
Harry berusaha lari, tetapi si kurcaci menyam-bar lututnya, membuatnya
jatuh terjerembap ke lantai. "Baiklah," katanya sambil duduk di atas
pergelangan kaki Harry, "ini lagu Valentine-mu:
"Matanya sehijau acar kodok segar, Rambutnya sehitam papan tulis. Ingin sekali aku memilikinya,
Dia sungguh luar biasa, Pahlawan yang mengalahkan Pangeran Kegelapan."
Harry
bersedia memberikan seluruh emas di Gringotts jika dia bisa menghilang
di tempat saat itu juga. Memaksa diri ikut tertawa bersama yang lain,
Harry bangkit. Kakinya kebas sehabis diduduki kurcaci yang berat itu.
Sementara itu Percy berusaha sebisa mungkin membubarkan kerumunan anak-
anak, yang beberapa di antaranya tertawa sampai keluar air mata.
"Bubar,
bubar, bel sudah bunyi lima menit yang lalu, ke kelas sekarang,"
katanya, menyuruh pergi anak-anak kelas satu. "Dan kau, Malfoy."
Harry,
mengerling, melihat Malfoy membungkuk dan menyambar sesuatu. Sambil
menyeringai dia me-nunjukkannya kepada Crabbe dan Goyle, dan Harry sadar
dia mengambil buku harian Riddle.
"Kembalikan," kata Harry geram.
"Apa
nih yang ditulis Potter di sini?" kata Malfoy, yang jelas tidak
memperhatikan tahun yang tertera pada sampulnya, dan mengira dia
mendapatkan buku harian Harry sendiri. Suasana menjadi hening, karena
anak-anak langsung diam. Ginny memandang Harry dan buku harian itu
bergantian, tampak ketakutan sekali.
"Kembalikan, Malfoy," kata Percy tegas.
"Kalau sudah kubaca," kata Malfoy, melambai-lambaikan buku harian itu di depan Harry dengan mengejek.
Percy
berkata, "Sebagai Prefek sekolah...," tetapi Harry sudah kehabisan
kesabaran. Dia menarik tongkatnya dan berteriak, "Expelliarmus!" dan
sama seperti Snape yang melucuti Lockhart, buku harian itu melesat dari
tangan Malfoy, terbang ke udara. Ron, nyengir lebar, menangkapnya.
"Harry!" seru Percy keras. "Dilarang menggunakan sihir di koridor! Aku harus melaporkan ini, tahu!"
Tetapi
Harry tidak peduli. Dia berhasil mengalahkan Malfoy, dan itu layak
dibayar dengan lima angka dari Gryffindor kapan saja. Malfoy marah
sekali, dan ketika Ginny melewatinya untuk masuk ke kelasnya, dia
berteriak menghina kepadanya,
"Menurutku
Potter sama sekali tidak menyukai Valentine-mu!" Ginny menutupi
wajahnya dengan tangannya dan berlari ke kelas. Geram, Ron mencabut
tongkatnya juga, tetapi Harry menariknya menjauh. Ron tak perlu
menghabiskan jam pelajaran Jimat dan Guna-guna dengan bersendawa
memuntahkan siput.
Baru
setelah mereka tiba di kelas Profesor Flitwick, Harry menyadari ada
yang aneh dengan buku harian Riddle. Semua bukunya yang lain basah
kecipratan tinta merah. Tetapi buku harian itu sama bersihnya seperti
sebelum botol tinta menjatuhinya. Dia mencoba memberitahukan ini kepada
Ron, tetapi Ron mendapat kesulitan lagi dengan tongkatnya.
Gelembung-gelem-bung besar ungu bermunculan dari ujungnya dan Ron tidak
begitu tertarik pada hal lain.
Harry
masuk kamar sebelum anak-anak lain malam ini. Sebagian karena dia tak
tahan mendengar Fred dan George sekali lagi menyanyikan, "Matanya
sehijau acar kodok segar," dan sebagian lagi karena dia ingin memeriksa
buku harian Riddle lagi, dan dia tahu menurut Ron dia cuma membuang-
buang waktu saja.
Harry
duduk di tempat tidurnya dan membuka-buka halaman buku harian yang
kosong. Tak satu pun yang ada noda tintanya. Kemudian dia mengeluarkan
botol tinta baru dari lemari di sebelah tempat tidurnya, mencelupkan
pena bulunya ke dalamnya, dan menjatuhkan satu tetes ke halaman pertama
buku itu.
Tintanya
berkilau terang di atas kertas selama sedetik dan kemudian, seakan
diisap ke dalam halaman itu, menghilang. Tegang, Harry mencelupkan pena
bulunya untuk kedua kalinya dan menulis, "Namaku Harry Potter."
Kata-kata itu berkilau sejenak di halaman itu, lalu menghilang tanpa bekas juga. Kemudian, akhirnya, ada yang terjadi.
Muncul di halaman itu, dalam tintanya sendiri, rangkaian kata yang tak pernah ditulis Harry.
"Halo, Harry Potter. Namaku Tom Riddle. Bagaimana kau bisa mendapatkan buku harianku?"
Kata-kata itu juga mengabur dan hilang, tetapi Harry sudah sempat menulis balik.
"Ada yang membuangnya di toilet."
Dia menunggu tanggapan Riddle dengan bergairah.
"Untung
saja aku mencatat kenanganku dengan cara yang lebih bertahan daripada
tinta. Tapi dari dulu aku tahu, akan ada orang-orang yang tidak
menginginkan buku harian ini dibaca."
"Apa maksudmu?" Harry menulis, tintanya sampai menetes saking tegangnya dia.
"Maksudku
buku harian ini menyimpan kenangan akan peristiwa-peristiwa mengerikan.
Peristiwa-peristiwa yang di-sembunyikan. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts ini."
"Di
situlah aku sekarang," Harry cepat-cepat me-nulis. "Aku di Hogwarts,
dan akhir-akhir ini terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan. Apakah kau
tahu se-suatu tentang Kamar Rahasia?"
Jantung
Harry berdegup kencang. Jawaban Riddle muncul, tulisannya makin tidak
rapi, seakan dia ter-buru-buru ingin menceritakan segala hal yang
di-ketahuinya.
"Tentu
saja aku tahu tentang Kamar Rahasia. Pada zamanku bersekolah, mereka
mengatakan itu cuma legenda, bahwa kamar itu tidak ada, Tetapi itu
bohong. Dalam tahun kelimaku, kamar itu dibuka dan monsternya me-nyerang
beberapa murid, akhirnya malah membunuh satu di antaranya. Aku
menangkap orang yang membuka Kamar Rahasia itu dan dia dikeluarkan.
Tetapi Kepala Sekolah, Profesor Dippet, yang malu karena hal seperti itu
terjadi di Hogwarts, melarangku menceritakan yang sebenarnya. Cerita
yang dikeluarkan adalah anak perempuan itu meninggal dalam kecelakaan
yang aneh. Mereka memberiku trofi bagus, berkilau dan berukir, dan
memperingatkan aku untuk tutup mulut. Tetapi aku tahu peristiwa semacam
itu bisa terjadi lagi. Monster itu masih hidup dan orang yang punya
kekuasaan untuk melepaskannya tidak dipenjarakan.
Harry nyaris saja menyenggol botol tintanya dalam ketergesaannya untuk menulis balik.
"Sekarang
sedang terjadi lagi. Sudah tiga kali ada serangan dan tampaknya tak
seorang pun tahu siapa yang ada di belakangnya. Siapa dalang
serangan-serangan yang dulu?"
"Aku
bisa menunjukkannya kepadamu," muncul ja-waban Riddle. "Kau tak perlu
sekadar mempercayai kata-kataku. Aku bisa membawamu ke dalam kenanganku
pada malam aku menangkapnya."
Harry
ragu-ragu, pena bulunya terangkat di atas buku harian itu. Apa maksud
Riddle? Bagaimana dia bisa dibawa masuk ke dalam kenangan orang lain?
Cemas dia mengerling ke pintu kamar, ke asrama yang sekarang sudah
gelap. Ketika dia kembali me-mandang buku harian, dilihatnya kata-kata
baru se-dang terbentuk.
"Ayo, kutunjukkan padamu."
Harry berpikir sebentar dan kemudian menulis tiga huruf.
"Oke."
Halaman-halaman
buku harian itu mulai membuka cepat seakan tertiup angin kencang,
berhenti di tengah-tengah pada bulan Juni. Dengan mulut ter-nganga Harry
melihat kotak kecil untuk tanggal tiga belas Juni berubah menjadi layar
televisi mini. Dengan tangan sedikit gemetar, diangkatnya buku itu
untuk mendekatkan matanya ke layar kecil itu dan sebelum sadar apa yang
terjadi, dia terhuyung ke depan, layar itu membesar, dia merasakan
tubuhnya meninggalkan tempat tidur dan terperosok, kepala lebih dulu,
lewat lubang di halaman itu, ke dalam pusaran warna dan bayang-bayang.
Harry
merasa kakinya menginjak lantai keras, dan dia berdiri, gemetar, ketika
sosok-sosok yang bagai bayang- bayang kabur di sekitarnya mendadak
menjadi jelas.
Dia
langsung tahu berada di mana. Ruang bundar dengan lukisan-lukisan yang
sedang tidur ini adalah kantor Dumbledore—tetapi bukan Dumbledore yang
duduk di belakang meja. Seorang penyihir tua yang tampak ringkih,
berkepala botak dengan hanya be-berapa helai rambut putih, sedang
membaca surat diterangi cahaya lilin. Harry belum pernah melihat pria
ini.
"Maaf,"
katanya gemetar. "Saya tidak bermaksud mengganggu..." Tetapi si
penyihir tidak mendongak. Dia terus saja membaca, mengernyit sedikit.
Harry mendekat ke mejanya dan berkata gugup, "E. saya pergi saja, ya?"
Masih
saja si penyihir tidak mengacuhkannya. Ke-lihatannya malah dia tidak
mendengarnya. Mengira mungkin si penyihir tuli, Harry mengeraskan
suaranya.
"Maaf mengganggu Anda, saya akan pergi seka-rang,"
katanya, setengah berteriak.
Si
penyihir melipat surat itu seraya menghela napas, bangkit, berjalan
melewati Harry tanpa meliriknya, dan menarik terbuka gorden jendelanya.
Langit
di luar merah-jingga. Rupanya matahari sedang terbenam. Si penyihir
berjalan kembali ke mejanya, duduk, dan memutar-mutar ibu jarinya,
me-mandang pintu.
Harry
memandang berkeliling ruangan itu. Tak ada Fawkes si burung phoenix,
tak ada peralatan perak yang berputar. Ini Hogwarts pada zaman Riddle,
ber-arti penyihir tak dikenal itu adalah kepala sekolahnya, bukan
Dumbledore, dan dia, Harry, tak lebih dari bayangan, sama sekali tak
kelihatan bagi orang- orang dari lima puluh tahun lalu.
Terdengar ketukan di pintu kantor.
"Masuk," kata si penyihir tua dengan suara lemah.
Seorang
anak laki-laki kira-kira berusia enam belas tahun masuk, mencopot topi
kerucutnya. Lencana Prefek perak berkilauan di dadanya. Dia jauh lebih
jangkung daripada Harry, tetapi dia juga berambut hitam legam.
"Ah, Riddle," kata si kepala sekolah. "Anda ingin menemui saya, Profesor Dippet?" kata Riddle, kelihatan gugup.
"Duduklah,"
kata Dippet. "Aku baru saja membaca surat yang kaukirim kepadaku."
"Oh," kata Riddle. Dia duduk, kedua tangannya saling mencengkeram
erat-erat.
"Nak,"
kata Dippet lembut, "aku tak mungkin meng-izinkanmu tinggal di sekolah
selama musim panas. Tentunya kau ingin pulang berlibur?"
"Tidak,"
kata Riddle segera. "Saya lebih suka tinggal di Hogwarts daripada
pulang ke—ke..." "Kau tinggal di panti asuhan Muggle selama liburan,
kan?" kata Dippet ingin tahu.
"Ya, Sir," kata Riddle, wajahnya agak memerah.
"Kau kelahiran-Muggle?"
"Setengah-setengah,
Sir," kata Riddle. "Ayah Muggle, ibu penyihir." "Dan kedua
orangtuamu...?" "Ibu saya meninggal setelah melahirkan saya, Sir.
Orang-orang
di panti asuhan memberitahu saya, dia cuma hidup cukup lama untuk
memberi nama saya: Tom sesuai nama ayah saya, Marvolo sesuai nama kakek
saya."
Dippet mendecakkan lidah bersimpati.
"Masalahnya,
Tom," dia menghela napas, "sebetulnya kami bisa mengatur secara khusus
untukmu, tetapi dalam situasi seperti sekarang ini..."
"Maksud
Anda semua serangan itu, Sir?" kata Riddle, dan hati Harry mencelos.
Dia mendekat, takut ada yang ketinggalan tidak didengarnya.
"Persis,"
kata si kepala sekolah. "Nak, kau pasti sadar, betapa bodohnya aku
kalau mengizinkanmu tinggal di kastil setelah tahun ajaran berakhir.
Terutama kalau mengingat tragedi yang baru saja terjadi... ke-matian
anak perempuan yang malang itu... Kau akan jauh lebih aman di panti
asuhanmu. Terus terang saja, Kementerian Sihir sekarang bahkan sedang
mem-bicarakan kemungkinan menutup sekolah ini. Kita tak mendapat
kemajuan menemukan—eh— sumber se-mua ketidaknyamanan ini..."
Mata Riddle membesar.
"Sir—kalau orang itu tertangkap... Kalau semua ini dihentikan..."
"Apa
rnaksudmu?" kata Dippet, suaranya sedikit melengking. Dia duduk tegak
di kursinya. "Riddle, apakah rnaksudmu kau tahu sesuatu tentang
serangan-serangan ini?"
"Tidak,
Sir," kata Riddle buru-buru. Tetapi Harry yakin itu model "tidak" yang
sama seperti yang dia sendiri katakan kepada Dumbledore. Dippet terenyak
kembali di kursinya, kelihatan agak kecewa.
"Kau boleh pergi, Tom..."
Riddle bangkit dari kursinya dan keluar dari ruangan. Harry mengikutinya.
Mereka
menuruni tangga spiral, muncul di sebelah gargoyle di koridor gelap.
Riddle berhenti, begitu juga Harry, yang mengawasinya. Harry melihat
bahwa Riddle sedang berpikir serius. Dia menggigit-gigit bibir-nya,
dahinya berkerut.
Kemudian,
seakan mendadak telah mengambil ke-putusan, Riddle bergegas pergi.
Harry membuntuti-nya tanpa suara. Mereka tidak bertemu orang lain sampai
tiba di Aula Depan, ketika seorang penyihir pria jangkung berambut
pirang panjang dan ber-jenggot juga pirang panjang, memanggil Riddle
dari tangga pualam.
"Mau apa kau berkeliaran selarut ini, Tom?"
Harry ternganga memandang penyihir itu. Dia tak lain dan tak bukan adalah Dumbledore yang lima puluh tahun lebih muda.
"Saya baru dipanggil Kepala Sekolah, Sir," kata Riddle.
"Nah,
segeralah kembali ke kamarmu," kata, Dumbledore, memandang Riddle
dengan tatapan tajam yang sangat dikenal Harry. "Sebaiknya jangan
berkeliaran di koridor hari-hari ini. Apalagi sejak..."
Dumbledore
menarik napas berat, mengucapkan se-lamat tidur kepada Riddle dan
pergi. Riddle me-nunggunya lenyap dari pandangan, dan kemudian, bergerak
cepat, menuruni tangga batu menuju ke ruang bawah tanah. Harry
mengejarnya.
Tetapi
betapa kecewanya Harry Riddle tidak mem-bawanya ke lorong tersembunyi
atau terowongan rahasia, melainkan ke ruang bawah tanah yang di-gunakan
Harry untuk pelajaran Ramuan dengan Snape. Obor-obor belum dinyalakan,
dan ketika Riddle menutup pintunya sampai hampir rapat, Harry hanya bisa
melihat Riddle, berdiri tegak di sisi pintu, me-mandang lorong di luar.
Bagi
Harry rasanya mereka berada di situ paling sedikit satu jam. Yang bisa
dilihatnya hanyalah sosok Riddle di pintu, memandang keluar lewat celah,
me-nunggu seperti patung. Dan ketika Harry sudah ber-henti berharap dan
tegang, dan mulai ingin kembali ke masa kini, dia mendengar sesuatu
bergerak di luar.
Ada
yang merayap sepanjang lorong. Dia men-dengar entah siapa orangnya
melewati ruang bawah tanah tempat dia dan Riddle bersembunyi. Riddle,
diam bagai bayangan, menyelinap keluar dari pintu dan membuntutinya.
Harry berjingkat di belakangnya, lupa bahwa dia tak bisa didengar.
Selama kira-kira lima menit mereka mengikuti lang-kah kaki itu, sampai
Riddle mendadak berhenti, kepalanya condong ke arah suara-suara baru.
Harry mendengar bunyi pintu berderit terbuka, dan kemu-dian ada yang
berbisik serak.
"Ayo... harus bawa kau keluar dari sini... ayolah... masuk kotak ini..."
Harry rasanya kenal suara itu.
Riddle
tiba-tiba melompat dari sudut tempatnya mengintai. Harry melangkah di
belakangnya. Dia bisa melihat siluet seorang anak laki-laki tinggi besar
se-dang berjongkok di depan pintu terbuka, sebuah kotak yang sangat
besar di sebelahnya.
"Malam, Rubeus," kata Riddle tajam.
Anak itu membanting pintu sampai tertutup dan bangkit.
"Ngapain kau di bawah sini, Tom?" Riddle mendekat. "Sudah selesai," katanya. "Aku akan melaporkanmu,
Rubeus. Mereka sudah membicarakan kemungkinan menutup Hogwarts jika serangan-serangan tidak ber-henti."
"Apa maksud..."
"Kurasa
kau tidak bermaksud membunuh siapa-siapa. Tapi monster bukanlah
binatang piaraan yang baik. Kurasa kau cuma mengeluarkannya supaya dia
bisa berjalan-jalan dan..."
"Dia
tak pernah bunuh siapa-siapa!" kata anak ringgi besar itu, mundur
sampai ke pintu yang tertutup. Dari belakangnya, Harry bisa mendengar
bunyi ber-keresek dan klak-klik yang aneh.
"Ayolah, Rubeus," kata Riddle, semakin mendekat.
"Orangtua
anak perempuan yang meninggal itu akan ke sini besok. Paling sedikit
yang bisa dilakukan Hogwarts adalah memastikan monster yang mem-bunuh
anak mereka dibantai..."
"Bukan dia!" raung si anak, suaranya bergema di lorong yang gelap. "Dia tak akan membunuh! Tak akan pernah!"
"Minggir," kata Riddle, seraya menarik keluar tongkatnya.
Mantranya
menerangi lorong dengan sinar terang yang menyala. Pintu di belakang
anak tinggi besar itu berdebam terbuka, begitu kuat sampai si anak
terbang menabrak dinding di seberangnya. Dan dari dalamnya muncul
sesuatu yang membuat Harry me-ngeluarkan jeritan panjang yang
kelihatannya tak ada yang mendengarnya kecuali dia sendiri. Tampak
sesosok besar, pendek, berbulu dan kaki-kaki hitam yang ruwet, kilatan
banyak mata dan sepasang capit setajam silet. Riddle mengangkat
tongkatnya lagi, tetapi terlambat. Makhluk itu me-nabraknya sampai
terjengkang ketika dia lari, menyu-suri lorong dan menghilang dari
pandangan. Riddle terhuyung bangun, mengejarnya. Dia mengangkat
tongkatnya, tetapi anak tinggi besar itu melompat menerjangnya, merebut
tongkatnya dan membanting-nya ke lantai, sambil berteriak,
"JANGAAAAAAAN!"
Pemandangan
ini berputar, segalanya menjadi gelap pekat, Harry merasa dirinya
terjatuh dan dengan bunyi berdebum mendarat telentang di atas tempat
tidurnya di kamar asrama Gryffindor, buku harian Riddle tergeletak
terbuka di atas perutnya.
Sebelum dia sempat mengatur napasnya, pintu ka-mar terbuka dan Ron masuk.
"Kau di sini rupanya," katanya.
Harry duduk. Dia berkeringat dan gemetar.
"Ada apa?" tanya Ron, memandangnya dengan cemas.
"Hagrid, Ron. Hagrid-lah yang membuka Kamar Rahasia lima puluh tahun yang lalu."
14. Cornelius Fudge
Harry,
Ron, dan Hermione sudah lama tahu bahwa Hagrid punya kegemaran khusus
akan makhluk-makhluk besar mengerikan. Pada tahun pertama mereka di
Hogwarts, Hagrid mencoba membesarkan naga di dalam pondok papannya yang
kecil, dan masih perlu waktu lama sebelum mereka bisa melupakan anjing
raksasa berkepala tiga yang dinamakannya "Fluffy"—si bulu lembut. Dan
kalau, sebagai anak-anak, Hagrid mendengar ada monster disembunyikan di
suatu tempat di kastil, Harry yakin dia pasti akan berusaha sekuat
tenaga untuk bisa melihat monster itu. Mungkin sekali dia bahkan kasihan
pada si monster yang telah dikurung begitu lama, dan berpendapat si
monster pantas mendapat kesempatan untuk melemaskan kakinya yang banyak.
Harry bisa membayangkan Hagrid yang berusia tiga belas tahun mencoba
memakaikan kalung leher pada si monster.
Tetapi Harry sama yakinnya bahwa Hagrid tidak akan pernah berniat membunuh siapa pun.
Harry
setengah menyesal dia berhasil mengetahui bagaimana menggunakan buku
harian Riddle. Berulang-ulang Ron dan Hermione memintanya menceritakan
apa yang telah dilihatnya, sampai dia muak sekali bercerita kepada
mereka dan muak akan pembicaraan berputar-putar setelahnya.
"Riddle mungkin menangkap orang yang salah/' kata Hermione. "Mungkin monster lain yang menyerang orang- orang..."
"Berapa monster sih yang bisa disembunyikan di tempat ini?" tanya Ron jemu.
"Kita
sudah tahu bahwa Hagrid dikeluarkan," kata Harry sedih. "Dan
serangan-serangan itu pastilah berhenti setelah Hagrid dikeluarkan.
Kalau tidak, Riddle tak akan menerima penghargaannya."
Ron mencoba meninjaunya dari sudut lain.
"Riddle kedengarannya benar-benar mirip Percy— siapa suruh dia menangkap Hagrid?"
"Tapi monsternya sudah membunuh orang, Ron," kata Hermione.
"Dan
Riddle terpaksa harus kembali ke panti asuhan Muggle kalau Hogwarts
ditutup," kata Harry. "Aku tidak menyalahkannya kalau dia ingin tinggal
di sini..."
Ron menggigit bibir, kemudian berkata hati-hati, "Kau bertemu Hagrid di Knockturn Alley, kan, Harry?"
"Dia sedang membeli Pembasmi Siput Pemakan-Daging,"
kata Harry cepat-cepat.
Ketiganya diam. Setelah lama hening, Hermione mengutarakan pertanyaan yang paling sulit dengan ragu-ragu,
"Apakah menurut kalian sebaiknya kita pergi menanyai Hagrid tentang semua ini?"
"Akan jadi kunjungan yang menyenangkan," kata Ron.
"Halo, Hagrid, ceritakan kepada kami, apakah belakangan ini kau melepaskan sesuatu yang gila dan berbulu di kastil?"
Pada
akhirnya, mereka memutuskan tidak akan mengatakan apa-apa kepada
Hagrid, kecuali kalau ada serangan lain, dan sementara hari demi hari
berlalu tanpa bisikan dari suara tanpa tubuh, mereka punya harapan tak
perlu bicara dengan Hagrid tentang kenapa dia dikeluarkan. Sudah hampir
empat bulan sejak Justin dan Nick si Kepala- Nyaris-Putus dibuat
Membatu, dan hampir semua orang berpendapat bahwa si penyerang, siapa
pun dia, telah menyingkir untuk selamanya. Peeves akhirnya sudah bosan
dengan lagu "Oh, Harry, kau keji"-nya. Ernie Macmillan meminta Harry
dengan cukup sopan untuk mengulurkan seember jamur berlompatan dalam
pelajaran Herbologi pada suatu hari, dan pada bulan Maret beberapa
Mandrake mengadakan pesta yang keras dan bising di Rumah Kaca nomor
tiga. Ini membuat Profesor Sprout sangat gembira.
"Begitu
mereka mulai mencoba saling pindah ke dalam pot temannya, kita tahu
mereka sudah dewasa sepenuhnya," katanya kepada Harry. "Maka kita akan
bisa menyembuhkan anak-anak malang di rumah sakit itu."
Anak-anak
kelas dua diberi sesuatu yang baru untuk dipikirkan selama liburan
Paskah mereka. Sudah tiba waktunya memilih mata pelajaran mereka untuk
kelas tiga. Persoalan yang—setidaknya bagi Hermione— sangat serius.
"Bisa
mempengaruhi seluruh masa depan kita/' katanya kepada Harry dan Ron,
sementara mereka mempelajari daftar mata pelajaran baru, menandainya
dengan tanda centang.
"Aku cuma ingin tak ikut lagi pelajaran Ramuan," kata Harry.
"Tidak
bisa," kata Ron muram. "Semua mata pelajaran lama masih harus diikuti,
kalau tidak aku pasti sudah meninggalkan Pertahanan terhadap Ilmu
Hitam."
"Tapi itu kan penting sekali!" kata Hermione, kaget.
"Tidak, kalau Lockhart yang mengajar," kata Ron. "Aku tidak belajar apa-apa dari dia kecuali jangan melepas pixie."
Neville
Longbottom dikirimi surat oleh semua penyihir dalam keluarganya, semua
memberinya nasihat yang berbeda- beda tentang apa yang harus dipilih.
Cemas dan bingung, dia duduk membaca daftar mata pelajaran dengan lidah
terjulur, menanyai anak-anak apakah menurut mereka Arithmancy
kedengarannya lebih sulit daripada Rune Kuno. Rune adalah huruf-huruf
alfabet kuno yang digunakan di Eropa Utara sekitar abad ketiga sampai
ketiga belas. Selain alfabet, pelajaran Rune Kuno mencakup mantra-mantra
kuno, juga puisi, sajak, ataupun lagu-lagu kuno yang mistis dan sulit
dipahami. Dean Thomas, yang seperti Harry dibesarkan dalam keluarga
Muggle, akhirnya memejamkan mata dan menotol- notolkan tongkatnya pada
daftar, kemudian memilih mata pelajaran yang ditunjuk si tongkat.
Hermione tidak mendengarkan nasihat siapa pun, tetapi memilih semua mata
pelajaran.
Harry
tersenyum muram pada diri sendiri ketika memikirkan apa yang akan
dikatakan Paman Vernon dan Bibi Petunia jika dia mencoba mendiskusikan
kariernya di dunia sihir dengan mereka. Bukannya tak ada yang
membimbingnya. Percy Weasley dengan senang hati bersedia berbagi
pengalaman.
"Tergantung
maumu ke mana, Harry," katanya. "Tak pernah terlalu awal untuk
memikirkan masa depan, jadi kusarankan Ramalan. Orang menganggap Telaah
tentang Muggle pilihan yang enteng, tapi aku pribadi berpendapat
penyihir harus punya pemahaman menyeluruh tentang komunitas non-sihir,
terutama jika merencanakan untuk bekerja bersama mereka—lihat saja
ayahku, sepanjang waktu dia harus menangani urusan Muggle. Abangku,
Charlie, dari dulu suka bekerja di luar ruangan, jadi dia memilih
Pemeliharaan Satwa Gaib. Pilih sesuai kekuatanmu, Harry"
Tapi
satu-satunya yang menurut Harry benar-benar dilakukannya dengan baik
hanyalah Quidditch. Pada akhirnya, dia memilih pelajaran-pelajaran baru
yang sama dengan Ron, dengan perhitungan kalau dia tidak bisa
mengikutinya, dia punya teman yang baik untuk membantunya.
Pertandingan
Quidditch berikutnya bagi Gryffindor adalah melawan Hufflepuff. Wood
memaksa timnya latihan setiap malam sehabis makan, sehingga Harry nyaris
tak punya waktu kecuali untuk Quidditch dan mengerjakan PR. Meskipun
demikian sesi latihan mulai membaik, atau paling tidak bertambah kering,
dan pada malam sebelum pertandingan hari Sabtu, Harry naik ke kamarnya
untuk mengembalikan sapunya, merasa kesempatan Gryffindor untuk
memenangkan Piala Quidditch tidak pernah sebaik ini.
Tetapi
suasana hatinya yang gembira tidak berlangsung lama. Di puncak tangga
yang menuju ke kamar, dia bertemu Neville Longbottom, yang kelihatan
kalut.
"Harry—aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Aku baru saja menemukan..."
Memandang Harry ketakutan, Neville mendorong pintu kamar sampai terbuka.
Isi
koper Harry dilemparkan ke mana-mana. Jubahnya tergeletak robek di
lantai. Seprai dan selimut dicopot dari tempat tidurnya dan laci lemari
di sebelah tempat tidurnya ditarik terbuka, isinya bertebaran di atas
kasur.
Harry berjalan ke tempat tidurnya, melongo, menginjak beberapa halaman Tamasya dengan Troll yang lepas.
Ketika
dia dan Neville sedang menarik selimut kembali ke atas tempat tidurnya,
Ron, Dean, dan Seamus masuk. Dean mengumpat keras.
"Apa yang terjadi, Harry?"
"Entahlah," kata Harry. Tetapi Ron memeriksa jubah-jubah Harry. Semua kantongnya menggantung keluar.
"Ada orang yang mencari-cari sesuatu," kata Ron. "Ada yang hilang?"
Harry
mulai memunguti semua barangnya dan melemparkannya ke dalam kopernya.
Setelah melemparkan buku Lockhart yang terakhir, barulah dia sadar apa
yang tidak ada.
"Buku harian Riddle hilang," katanya pelan kepada Ron.
"Apa?"
Harry
mengedikkan kepala ke arah pintu kamar dan Ron mengikutinya keluar.
Mereka bergegas kembali ke ruang rekreasi Gryffindor, yang sudah
setengah kosong, dan bergabung dengan Hermione, yang duduk sendirian,
membaca buku berjudul Mempelajari Rune Kuno dengan Mudah.
Hermione kaget sekali mendengar berita itu.
"Tapi—hanya anak Gryffindor yang bisa mencurinya—tak ada anak lain yang tahu kata kunci kita..."
"Justru itu," kata Harry.
Mereka terbangun keesokan harinya disambut sinar matahari yang cerah dan angin sepoi menyegarkan.
"Kondisi
sempurna untuk Quidditch!" kata Wood antusias di meja Gryffindor,
sambil mengisi piringpiring anggota timnya dengan telur aduk. "Harry,
ayo, kau perlu sarapan yang cukup."
Harry
sejak tadi cuma memandang meja Gryffindor yang penuh, bertanya-tanya
dalam hati kalau-kalau pemilik baru buku harian Riddle ada di depan
matanya. Hermione sudah mendesaknya untuk melaporkan pencurian ini,
tetapi Harry tidak mau. Nanti dia terpaksa harus menceritakan kepada
seorang guru tentang buku harian ini, dan berapa orang yang tahu kenapa
Hagrid dikeluarkan lima puluh tahun lalu? Dia tak ingin menjadi orang
yang mengungkit-ungkitnya.
Selagi
dia meninggalkan Aula Besar bersama Ron dan Hermione untuk mengambil
peralatan Quidditch-nya, daftar kesulitan Harry yang sudah banyak
bertambah dengan kesulitan baru yang sangat serius. Harry baru saja
menginjakkan kaki di tangga pualam, ketika dia mendengar suara itu lagi,
"Bunuh kali ini... biar kurobek... kucabik..."
Harry berteriak keras, Ron dan Hermione sampai melompat kaget.
"Suara itu!" kata Harry, menoleh melewati bahunya. "Aku baru saja mendengarnya lagi—karian dengar?"
Ron menggeleng, terbelalak. Tetapi Hermione menempelkan tangan ke dahinya.
"Harry—kupikir aku baru saja mengerti! Aku harus ke perpustakaan!"
Dan dia berlari menaiki tangga.
"Apa yang dia mengerti?" tanya Harry bingung, masih memandang berkeliling, mencoba menebak dari mana datangnya suara itu.
"Jauh lebih banyak daripada yang kupahami," kata Ron geleng-geleng kepala.
"Tetapi kenapa dia harus ke perpustakaan?"
"Karena
itulah yang dilakukan Hermione," kata Ron, mengangkat bahu. "Kalau
ragu-ragu, pergi ke perpustakaan." Harry berdiri ragu-ragu, mencoba
mendengarkan suara itu lagi, tetapi anak-anak sekarang berduyun-duyun
keluar dari Aula Besar di belakangnya, bicara keras-keras, keluar lewat
pintu depan menuju ke lapangan Quidditch.
"Lebih baik kau cepat naik," kata Ron. "Sudah hampir pukul sebelas—pertandingan akan dimulai'
Harry
berlari ke Menara Gryffindor, mengambil Nimbus Dua Ribu-nya dan
bergabung dengan kerumunan yang berduyun- duyun menyeberangi halaman,
tetapi pikirannya masih di kastil, bersama suara tanpa tubuh. Ketika dia
memakai jubah merahnya di dalam kamar ganti, satu-satunya yang
membuatnya terhibur hanyalah semua orang sekarang ada di luar untuk
menonton pertandingan.
Kedua
tim berjalan memasuki lapangan di bawah tepukan riuh-rendah. Oliver
Wood melakukan pemanasan dengan terbang mengelilingi tiang-tiang gol.
Madam Hooch melepas bola-bolanya. Anak-anak Hufflepuff, yang bermain
dengan seragam kuning kenari, berdiri bergerombol, mengadakan diskusi
terakhir soal taktik.
Harry sedang menaiki sapunya ketika Profesor McGonagall setengah berlari datang memasuki lapangan, membawa megafon ungu besar.
Hati Harry terasa seberat batu.
"Pertandingan
hari ini dibatalkan," seru Profesor McGonagall lewat megafon, berbicara
kepada stadion yang penuh sesak. Terdengar gemuruh "buu-buu" kecewa dan
teriakan-teriakan. Oliver Wood, tampak terpukul, mendarat dan berlari
mendekati Profesor McGonagall tanpa turun dari sapunya.
"Tapi, Profesor!" teriaknya. "Kami harus main... piala... Gryffindor..."
Profesor
McGonagall tidak mengacuhkannya dan melanjutkan berteriak lewat
megafonnya, "Semua anak diminta kembali ke ruang rekreasi asrama
masing-masing. Di sana Kepala Asrama akan memberi keterangan yang lebih
jelas. Secepat mungkin, ayo, ayo!"
Kemudian dia menurunkan megafon dan memberi isyarat kepada Harry agar mendekat.
"Potter, kurasa lebih baik kau ikut aku...."
Harry
yang bertanya-tanya dalam hati bagaimana Profesor McGonagall bisa
mencurigainya kali ini, melihat Ron meninggalkan rombongan anak-anak
yang mengeluh. Ron berlari mengejar mereka menuju kastil. Betapa
herannya Harry, Profesor McGonagall tidak keberatan.
"Ya, mungkin lebih baik kau juga ikut, Weasley."
Beberapa
anak yang berjalan di sekitar mereka menggerutu karena pertandingannya
dibatalkan, yang lain kelihatan cemas. Harry dan Ron mengikuti Profesor
McGonagall kembali ke sekolah dan menaiki tangga pualam. Tetapi mereka
tidak dibawa ke kantor siapa-siapa kali ini.
"Ini
akan sedikit mengagetkan," kata Profesor McGonagall dengan suara lembut
yang mengejutkan ketika mereka mendekati rumah sakit. "Baru saja ada
serangan lain... serangan ganda lain."
Organ-organ dalam tubuh Harry serasa berjumpalitan. Profesor McGonagall membuka pintu, dan Harry dan Ron masuk.
Madam
Pomfrey sedang membungkuk di atas anak kelas lima berambut ikal. Harry
mengenalinya sebagai anak Ravenclaw yang pernah mereka tanyai jalan
menuju ruang rekreasi Slytherin. Dan di tempat tidur di sebelahnya
adalah...
"Hermione!" Ron mengerang.
Hermione terbaring diam, matanya terbuka, pandangannya kosong.
"Mereka
ditemukan dekat perpustakaan," kata Profesor McGonagall. "Kurasa kalian
berdua tidak bisa menjelaskan ini? Ini ditemukan di lantai di sebelah
mereka..."
Profesor McGonagall memegang cermin bundar kecil.
Harry dan Ron menggelengkan kepala, keduanya menatap Hermione.
"Aku
akan menemani kalian kembali ke Menara Gryffindor," kata Profesor
McGonagall berat. "Aku toh harus memberi penjelasan kepada anak-anak."
"Semua
murid sudah harus kembali ke ruang rekreasi asrama mereka paling lambat
pukul enam sore. Tak seorang murid pun diizinkan meninggalkan asrama
setelah waktu itu. Kalian akan ditemani seorang guru ke semua kelas
setiap ganti pelajaran. Murid-murid dilarang ke kamar kecil tanpa
ditemani guru. Semua latihan Quidditch dan pertandingan ditunda. Tak
akan ada lagi kegiatan di malam hari/'
Anak-anak
Gryffindor yang memenuhi ruang rekreasi mendengarkan Profesor
McGonagall dalam diam. Dia menggulung perkamen yang tadi dibacanya dan
berkata dengan suara agak tercekat, "Tak perlu kutambahkan bahwa belum
pernah aku sesedih ini. Mungkin sekolah akan ditutup jika pelaku di
balik serangan-serangan ini tidak berhasil ditangkap. Aku mengimbau
siapa saja yang merasa tahu sesuatu tentang serangan-serangan ini untuk
melapor."
Profesor McGonagall memanjat keluar lubang lukisan dengan agak canggung, dan anak-anak Gryffindor langsung ramai.
"Itu
berarti dua anak Gryffindor jatuh, belum lagi satu hantu Gryffindor,
satu Ravenclaw, dan satu Hufflepuff," kata sahabat si kembar Weasley,
Lee Jor-dan, sambil menghitung dengan jari-jarinya. "Apakah tidak ada
guru yang sadar bahwa anak-anak Slytherin semua selamat? Bukankah sudah
jelas sekali semua malapetaka ini datangnya dari Slytherin? Pewaris
Slytherin, monster Slytherin—kenapa mereka tidak mengeluarkan saja semua
anak Slytherin?" teriaknya, disambut anggukan dan tepukan di sana-sini.
Percy
Weasley duduk di kursi di belakang Lee, tetapi sekali ini dia tampaknya
tak ingin mengemukakan pendapatnya. Dia tampak pucat dan terpukul.
"Percy
shock," George memberitahu Harry perlahan. "Anak Ravenclaw itu—Penelope
Clearwater—dia Prefek. Kurasa Percy tidak menyangka si monster akan
berani menyerang Prefek/' Tetapi Harry hanya setengah mendengarkan. Dia
tak bisa melenyapkan bayangan Hermione yang terbaring di tempat tidur
rumah sakit, seakan terpahat dari batu. Dan jika pelakunya tidak segera
ditangkap, berarti seumur hidup dia akan tinggal lagi bersama keluarga
Dursley. Tom Riddle menyerahkan Hagrid, karena bila tidak dia harus
tinggal di panti asuhan Muggle kalau sekolah ditutup. Harry sekarang
paham betul bagaimana perasaan Riddle.
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron pelan di telinga Harry. "Apakah menurutmu mereka mencurigai Hagrid?"
"Kita
harus bicara dengannya," kata Harry, mengambil keputusan. "Aku tak
percaya dia pelakunya kali ini, tetapi kalau dulu dia melepas
monsternya, dia akan tahu bagaimana caranya masuk ke Kamar Rahasia, dan
itu sudah awal yang bagus."
"Tetapi McGonagall bilang kita harus tinggal di menara kita kecuali untuk mengikuti pelajaran..."
"Kurasa," kata Harry lebih pelan, "sudah waktunya mengeluarkan jubah tua ayahku lagi."
Harry
hanya mewarisi satu benda dari ayahnya: Jubah Gaib panjang keperakan,
yang bisa membuat pemakainya tidak kelihatan. Jubah itu satu-satunya
kesempatan bagi mereka agar bisa menyelinap keluar dari sekolah, untuk
mengunjungi Hagrid tanpa diketahui siapa pun. Mereka pergi tidur pada
jam yang biasa, menunggu sampai Neville, Dean, dan Seamus berhenti
mendiskusikan Kamar Rahasia dan akhirnya tertidur, kemudian mereka
bangun, berpakaian lagi, dan me-nyelubungkan jubah itu ke tubuh mereka.
Perjalanan
melewati koridor-koridor kastil yang kosong sungguh tidak nyaman.
Harry, yang sudah beberapa kali berjalan-jalan di kastil pada malam
hari, belum pernah melihatnya begitu ramai setelah matahari terbenam.
Para guru, Prefek, dan hantu berpatroli di koridor berpasangan,
memeriksa kalau-kalau ada kegiatan yang tidak biasa. Jubah Gaib tidak
membuat suara mereka tak bisa didengar, dan mereka tegang sekali ketika
ibu jari kaki Ron terantuk sesuatu hanya beberapa meter dari tempat
Snape berjaga. Untunglah Snape bersin hampir pada saat bersamaan dengan
Ron mengumpat. Maka betapa leganya mereka ketika tiba di pintu depan
yang terbuat dari kayu ek dan membukanya.
Malam
itu cerah dan berbintang. Mereka bergegas menuju jendela-jendela pondok
Hagrid yang terang, dan baru melepas Jubah Gaib ketika sudah tiba di
depan pintu.
Beberapa
saat setelah mereka mengetuk, Hagrid membuka pintunya. Mereka ternyata
berhadapan dengan Hagrid yang membidikkan panah ke arah mereka. Fang, si
anjing besar, menyalak keras di belakangnya.
"Oh," kata Hagrid, menurunkan senjatanya dan menatap mereka. "Ngapain kalian berdua di sini?"
"Untuk apa itu?" tanya Harry, menunjuk busur sambil melangkah masuk.
"Tidak... tidak apa-apa," gumam Hagrid. "Aku kira... tidak penting... Duduklah... aku buat teh..."
Kelihatannya
Hagrid tak sadar apa yang dilakukannya. Dia nyaris membuat apinya
padam, menuangkan air dari ceret ke api, dan kemudian memukul jatuh teko
teh dengan gerakan gugup tangannya yang besar.
"Kau tidak apa-apa, Hagrid?" tanya Harry. "Apakah kau sudah dengar tentang Hermione?"
"Oh, aku dengar," kata Hagrid, suaranya agak tercekat.
Dia
berulang-ulang mengerling gugup ke jendela. Dia menuang air mendidih ke
dalam dua cangkir besar untuk mereka berdua (lupa mencelupkan kantong
tehnya) dan sedang menaruh sepotong kue buah di atas piring ketika
terdengar ketukan keras di pintu.
Hagrid
menjatuhkan kue buahnya. Harry dan Ron bertukar pandang panik, kemudian
kembali menye-lubungkan Jubah Gaib ke tubuh mereka dan mundur ke sudut.
Hagrid memastikan mereka sudah tersembunyi, menyambar busurnya, dan
membuka pintu sekali lagi.
"Selamat malam, Hagrid."
Ternyata yang datang Dumbledore. Dia masuk, kelihatan serius sekali, diikuti orang kedua yang bertampang sangat aneh.
Pria
asing ini bertubuh pendek bulat dengan rambut abu- abu kusut dan wajah
cemas. Dia memakai pakaian campur aduk aneh: setelan bergaris-garis,
dasi merah tua, jubah hitam panjang, dan sepatu bot ungu berujung
runcing. Lengannya mengepit topi hijau-jeruk-limau.
"Itu bos Dad!" bisik Ron kaget. "Cornelius Fudge, Menteri Sihir!"
Harry menyikut keras Ron, menyuruhnya diam.
Hagrid
sudah pucat dan berkeringat. Dia menge-nyakkan diri di salah satu
kursinya dan memandang Dumbledore dan Cornelius Fudge berganti-ganti.
"Kabar
buruk, Hagrid," kata Fudge lugas. "Sangat buruk. Harus datang. Empat
serangan pada anak-anak kelahiran- Muggle. Sudah terlalu jauh.
Ke-menterian harus bertindak."
"Bukan
saya," kata Hagrid dengan pandangan memohon kepada Dumbledore, "Anda
tahu saya tak pernah lakukan itu, Profesor Dumbledore, Sir..."
"Aku
ingin mencamkan ini, Cornelius, bahwa Hagrid mendapatkan kepercayaanku
sepenuhnya," kata Dumbledore, mengernyit kepada Fudge.
"Begini,
Albus," kata Fudge, salah tingkah. "Riwayat masa lalu Hagrid
merugikannya. Kementerian harus melakukan sesuatu—dewan sekolah sudah
menghubungi kami."
^
Meskipun demikian, sekali lagi kukatakan, Cornelius, bahwa
menyingkirkan Hagrid tidak akan membantu sedikit pun," kata Dumbledore.
Mata birunya dipenuhi api yang belum pernah dilihat Harry.
"Cobalah
melihatnya dari sudut pandangku," kata Fudge, meremas-remas topinya.
"Aku di bawah banyak tekanan. Harus dilihat melakukan sesuatu. Kalau
nanti ternyata bukan Hagrid, dia akan dikembalikan il»in tak akan
disebut-sebut lagi. Tapi aku harus membawanya sekarang. Harus. Tidak
menjalankan kewajibanku kalau..."
"Bawa saya?" kata Hagrid, gemetar. "Bawa saya ke mana?"
"Cuma
untuk sementara waktu," kata Fudge, tanpa berani menatap Hagrid. "Bukan
hukuman, Hagrid, lebih untuk berjaga-jaga. Kalau nanti ada orang lain
yang ditangkap, kau akan dikeluarkan dengan permohonan maaf penuh..."
"Tidak ke Azkaban, kan?" seru Hagrid parau.
Sebelum Fudge bisa menjawab, terdengar ketukan keras lagi di pintu.
Dumbledore membukanya. Kali ini giliran Harry disikut rusuknya: dia terpekik kaget.
Mr
Lucius Malfoy melangkah masuk ke pondok Hagrid, berselubung jubah
perjalanan hitam panjang, senyumnya dingin dan puas. Fang mulai
menggeram.
"Sudah di sini, Fudge," katanya senang. "Bagus, bagus..."
"Mau apa kau ke sini?" kata Hagrid berang. "Keluar dari rumahku!"
"Hagrid,
percayalah, aku sama sekali tak senang berada di—eh... kausebut ini
rumah?" kata Lucius Malfoy mencemooh sambil memandang berkeliling pondok
kecil itu. "Aku tadi mampir di sekolah dan diberitahu Kepala Sekolah
ada di sini."
"Dan
apa persisnya yang kauinginkan dariku, Lucius?" kata Dumbledore. Dia
bicara dengan sopan, tetapi api masih menyala-nyala di mata birunya.
"Hal
yang sangat tidak enak, Dumbledore," kata Mr Malfoy santai,
mengeluarkan gulungan panjang per-kamen, "tetapi dewan sekolah merasa
sudah waktunya kau menyingkir. Ini Perintah Penskorsan—kau akan
menemukan keseluruhan dua belas tanda tangan di sini. Kami merasa kau
sudah kehilangan sentuhanmu. Berapa serangan yang sudah terjadi? Dua
lagi sore ini, kan? Dengan kecepatan begini, tak akan ada anak
kelahiran-Muggle yang tersisa di Hogwarts, dan kita semua tahu itu akan
jadi kehilangan besar bagi sekolah."
"Oh,
Lucius," kata Fudge, kelihatan kaget. "Dumbledore diskors... jangan,
jangan... itu hal terakhir yang kita inginkan sekarang ini..."
"Pengangkatan—atau
penskorsan—kepala sekolah adalah urusan dewan sekolah, Fudge," kata Mr
Malfoy lancar. "Dan karena Dumbledore sudah gagal menghentikan serangan-
serangan ini..."
"Tapi,
Lucius, kalau Dumbledore tidak bisa menghentikannya...," kata Fudge,
yang bagian atas bibirnya berbintik-bintik keringat sekarang, "aku mau
mengatakan, siapa yang bisa?"
"Kita lihat saja nanti," kata Mr Malfoy dengan senyum menyebalkan. "Tetapi karena kami berdua belas sudah memutuskan..."
Hagrid melompat bangun, kepalanya yang berambut lebat awut-awutan menyentuh langit-langit.
"Dan berapa yang sudah kauancam dan kauperas sebelum mereka setuju, Malfoy, eh?" raung Hagrid.
"Wah, wah, kau tahu, sifatmu yang berangasan begitu akan menyulitkanrnu hari-hari ini, Hagrid," kata Mr Malfoy.
"Kusarankan kau jangan berteriak begitu pada penjaga Azkaban. Mereka sama sekali tak akan senang."
"Kau
tak boleh ambil Dumbledore!" teriak Hagrid, membuat Fang meringkuk dan
merintih di keranjangnya. "Bawa dia pergi, dan anak-anak
kelahiran-Muggle tak punya harapan sama sekali! Berikutnya akan terjadi
pembunuhan!"
"Tenangkan dirimu, Hagrid!" kata Dumbledore tajam. Dia menatap Lucius Malfoy.
"Kalau dewan menginginkan aku diganti, Lucius, aku tentu saja akan mundur."
"T-tapi...," gagap Fudge.
"Tidak!" geram Hagrid.
Dumbledore tidak mengalihkan matanya yang biru cemerlang dari mata Lucius yang dingin abu-abu.
"Meskipun
demikian," kata Dumbledore, berbicara sangat lambat dan jelas, sehingga
tak seorang pun dari mereka tidak menangkap semua ucapannya, "kau akan
tahu bahwa aku hanya akan benar-benar meninggalkan sekolah ini kalau
sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini. Kau juga akan tahu bahwa
bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang
memintanya."
Sejenak, Harry nyaris yakin mata Dumbledore terarah ke sudut tempat dia dan Ron bersembunyi.
"Sikap
sentimental yang layak dikagumi," kata Malfoy, membungkuk. "Kami semua
akan kehilangan—eh—caramu yang sangat individual dalam mengatur
segalanya, Albus, dan hanya berharap peng-gantimu akan bisa mencegah—ah—
'pembunuhan'"
Malfoy
melangkah ke pintu pondok, membukanya, dan membungkuk mempersilakan
Dumbledore keluar. Fudge, gelisah meremas-remas topinya, menunggu Hagrid
berjalan mendahuluinya. Tetapi Hagrid tetap di tempatnya, menarik napas
dalam-dalam, dan berkata hati-hati, "Kalau ada yang mau tahu sesuatu,
yang harus mereka lakukan hanya ikuti labah-labah. Labah-labah akan bawa
mereka ke yang benar! Cuma itu yang mau kukatakan/'
Fudge memandangnya keheranan.
"Baiklah,
aku ikut," kata Hagrid, memakai mantel kulit tikus mondoknya. Tetapi
ketika dia sudah akan keluar dari pintu mengikuti Fudge, dia berhenti
lagi dan berkata keras-keras,
"Dan harus ada yang kasih makan Fang selama aku tak ada." Pintu berdebam tertutup dan Ron menarik lepas Jubah Gaib.
"Kita
dalam kesulitan sekarang," katanya serak. "Tak ada lagi Dumbledore.
Sama saja dengan mereka menutup sekolah malam ini. Akan terjadi serangan
tiap hari kalau Dumbledore tak ada."
Fang mulai melolong, menggaruk-garuk pintu yang tertutup.
15. Aragog
Musim
panas merayapi halaman sekeliling kastil. Langit dan danau sama-sama
berubah biru cerah, dan bunga-bunga sebesar kol bermekaran di dalam
rumah-rumah kaca. Tetapi tanpa Hagrid yang bisa dilihat dari jendela
kastil, berjalan kian kemari di halaman diiringi Fang, Harry merasa ada
yang tidak benar dengan pemandangan di luar itu. Sama seperti di dalam
kastil, suram karena terjadinya peristiwa-peristiwa mengerikan.
Harry dan Ron sudah berusaha mengunjungi Hermione, tetapi sekarang rumah sakit tidak menerima pengunjung.
"Kami
tidak mau ambil risiko/' Madam Pomfrey memberitahu mereka lewat celah
di pintu. "Tidak, maaf, ada kemungkinan si penyerang muncul lagi untuk
menghabisi anak-anak yang malang ini...."
Dengan
kepergian Dumbledore, ketakutan menyebar— hal yang tak pernah terjadi
sebelumnya— sehingga matahari yang menghangatkan tembok kastil - di luar
kelihatannya berhenti di jendela-jendela bersekat. Nyaris tak ada wajah
di sekolah yang tidak tampak cemas dan tegang, dan kalau ada tawa yang
terdengar di koridor, tawa itu terdengar nyaring dan tidak wajar, dan
segera dihentikan.
Harry
tak henti-hentinya mengulangi kata-kata terakhir Dumbledore untuk
dirinya sendiri. "Aku hanya akan benar- benar meninggalkan sekolah ini
kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini... Bantuan akan
selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang memintanya." Tetapi
apa gunanya kata-kata itu? Siapa persisnya yang harus mereka mintai
bantuan, kalau semua orang sama bingung dan takutnya seperti mereka?
Petunjuk
Hagrid tentang labah-labah lebih mudah dimengerti—kesulitannya adalah,
kelihatannya di kastil tak tersisa lagi seekor labah-labah pun yang bisa
mereka ikuti. Harry mencari-cari ke mana pun dia pergi, dibantu (dengan
agak enggan) oleh Ron. Mereka dihambat, tentu saja, oleh kenyataan
bahwa mereka tidak diizinkan berjalan ke mana- mana sendiri, melainkan
harus berombongan dengan anak- anak Gryffindor lain. Sebagian besar
teman mereka tampaknya senang ditemani oleh para guru dari kelas ke
kelas, tetapi bagi Harry ini sangat menjengkelkan.
Meskipun
demikian, ada satu anak yang kelihatannya sangat menikmati suasana
penuh teror dan kecurigaan. Draco Malfoy berjalan sok gagah berkeliling
sekolah seakan dia baru ditunjuk jadi Ketua Murid. Harry tidak menyadari
apa yang membuat Malfoy begitu senang, sampai pelajaran Ramuan,
kira-kira dua minggu sesudah Dumbledore dan Hagrid pergi. Waktu itu
Harry, yang kebetulan duduk tepat di belakang Malfoy, mendengarnya
menyombongkan diri kepada Crabbe dan Goyle.
"Dari
dulu aku sudah menduga, Ayah-lah yang akan berhasil menyingkirkan
Dumbledore," katanya, tanpa berusaha memelankan suaranya. "Aku kan sudah
bilang, Ayah menganggap Dumbledore kepala sekolah paling buruk yang
pernah dipunyai sekolah ini. Mungkin sekarang kita akan dapat kepala
sekolah yang layak. Orang yang tidak menginginkan Kamar Rahasia dikunci.
McGonagall tidak akan bertahan lama, dia cuma mengisi kekosongan..."
Snape melewati Harry, tidak berkomentar tentang tempat duduk dan kuali Hermione yang kosong.
"Sir," kata Malfoy keras-keras. "Sir, kenapa Anda tidak melamar untuk jabatan kepala sekolah?"
"Wah,
wah, Malfoy," kata Snape, meskipun dia tidak bisa menyembunyikan senyum
bibir-tipisnya. "Profesor Dumbledore hanya diskors oleh dewan sekolah.
Dia akan segera kembali bersama kita."
"Yeah,
betul," kata Malfoy, mencibir. "Saya yakin Anda akan mendapat dukungan
Ayah, Sir, kalau Anda ingin mengisi jabatan ini. Saya akan bilang pada
Ayah, Anda guru paling hebat di sini, Sir..."
Snape
menyeringai ketika dia berkeliling ruang bawah tanah. Untunglah dia
tidak melihat Seamus Finnigan, yang berpura-pura muntah ke dalam
kualinya. !
"Aku
heran para Darah-lumpur belum juga mengepak tas mereka/' Malfoy
meneruskan. "Berani taruhan lima Galleon, yang berikutnya pasti mati.
Sayang bukan si Granger..."
Untunglah
saat itu bel berdering. Mendengar kata-kata terakhir Malfoy tadi, Ron
sudah melompat bangun dari tempat duduknya, dan dalam kesibukan
anak-anak membereskan tas dan buku-buku, tak ada yang memperhatikan dia
mencoba menyerang Malfoy.
"Biar
kuberi pelajaran dia," geram Ron ketika Harry dan Dean memegangi
lengannya. "Aku tak peduli, aku tidak perlu tongkatku, akan kubunuh dia
dengan tangan kosong..."
"Ayo
cepat, aku harus mengantar kalian semua ke Herbologi," bentak Snape
kepada anak-anak, dan mereka pun berangkatlah, beriringan, dengan Harry,
Ron, dan Dean paling belakang. Ron masih berusaha melepaskan diri. Baru
aman melepasnya ketika Snape sudah mengantar mereka sampai ke luar
kastil, dan mereka melewati petak-petak kebun sayur menuju ke
rumah-rumah kaca.
Kelas Herbologi sangat muram. Kini sudah dua orang dari mereka tak ada, Justin dan Hermione.
Profesor
Sprout menyuruh mereka memangkasi dahan dan ranting-ranting kering
pohon ara Abyssinia. Harry sedang akan melempar sepelukan dahan kering
ke tumpukan kompos ketika ternyata dia berhadapan dengan Ernie
Macmillan. Ernie menarik napas dalam-dalam dan berkata, sangat resmi,
"Aku cuma ingin mengatakan, Harry, bahwa aku menyesal telah
men-curigaimu. Aku tahu kau tak akan pernah menyerang Hermione Granger,
dan aku minta maaf untuk semua yang pernah kukatakan. Kita berada di
perahu yang sama sekarang, dan, yah..."
Dia mengulurkan tangannya yang gemuk dan Harry menjabatnya.
Ernie- dan temannya Hannah bergabung dengan Harry dan Ron,-memangkas pohon ara yang sama.
"Si
Draco Malfoy itu," kata Ernie, mematahkan ranting- ranting kering, "dia
kelihatannya senang sekali dengan semua kejadian ini, ya? Tahu tidak,
kupikir mungkin dialah si pewaris Slytherin."
"Pintar sekali kau," komentar Ron, yang kelihatannya tidak semudah Harry memaafkan Ernie.
"Menurutmu Malfoy-kah orangnya, Harry?" tanya Ernie.
"Bukan," kata Harry tegas sekali sehingga Ernie dan Hannah keheranan menatapnya.
Sesaat kemudian, Harry melihat sesuatu yang membuatnya memukul tangan Ron dengan gunting tanamannya.
"Ouchl Apa sih mak..."
Harry menunjuk ke tanah kira-kira satu meter dari mereka. Beberapa labah-labah besar bergegas di atas tanah.
"Oh, yeah," kata Ron, mencoba, dan gagal, untuk tampak senang. "Tapi kita tidak bisa mengikuti mereka sekarang..."
Ernie dan Hannah mendengarkan dengan ingin tahu. Harry melihat para labah-labah itu berlari menjauh.
"Kelihatannya mereka menuju Hutan Terlarang..."
Dan Ron kelihatan makin tidak senang mendengar ini.
Pada
akhir pelajaran, Profesor Snape mengantar mereka ke kelas Pertahanan
terhadap Ilmu Hitam. Harry dan Ron sengaja berjalan berlama-lama di
belakang yang lain agar bisa bicara tanpa didengar siapa pun.
"Kita
harus memakai Jubah Gaib lagi," kata Harry kepada Ron. "Kita bisa
membawa Fang. Dia sudah terbiasa masuk ke hutan bersama Hagrid, mungkin
dia bisa membantu."
"Betul,"
kata Ron, yang gugup memelintir tongkatnya dengan jari-jarinya.
"Eh—bukankah—bukankah katanya ada manusia serigala di dalam Hutan
Terlarang?" dia menambahkan, ketika mereka duduk di tempat biasa, di
tempat duduk paling belakang di kelas Lockhart.
Harry
yang lebih suka tidak menjawab pertanyaan itu, berkata, "Ada hal-hal
baik juga di sana. Centaurus-nya baik- baik. Juga unicorn-nya."
Ron
belum pernah masuk Hutan Terlarang. Harry pernah ke sana sekali, dan
berharap tidak perlu masuk hutan itu lagi. Lockhart melompat masuk ke
dalam kelas dan anak-anak memandangnya keheranan. Semua guru yang lain
lebih muram dari biasanya, tetapi Lockhart kelihatan penuh semangat.
"Ayolah," serunya, tersenyum ke seluruh kelas, "kenapa semua murung begini?"
Anak-anak bertukar pandang putus asa, tetapi tak seorang pun menjawab.
"Apakah
kalian tidak menyadari/' kata Lockhart, bicara lambat-lambat, seakan
mereka semua agak bodoh, "bahaya telah lewat! Pelakunya sudah dibawa
pergi?"
"Siapa bilang?" kata Dean Thomas keras.
"Anak
muda, Menteri Sihir tidak akan menangkap Hagrid kalau dia tidak yakin
seratus persen bahwa Hagrid bersalah," kata Lockhart dengan nada seperti
menjelaskan bahwa satu ditambah satu sama dengan dua.
"Oh, bisa saja dia menangkap Hagrid, walaupun tidak yakin," kata Ron, lebih keras daripada Dean.
"Aku
bangga pada diriku sendiri karena aku tahu sedikit lebih banyak tentang
penangkapan Hagrid daripada kau, Mr Weasley," kata Lockhart dengan nada
puas diri.
Ron sudah akan membantah, tetapi kalimatnya berhenti di tengah ketika Harry menendangnya keras-keras di bawah meja.
"Kita tidak berada di sana, ingat?" gumam Harry.
Tetapi
keriangan Lockhart yang menjijikkan, komentar- komentarnya yang
menunjukkan bahwa dari dulu dia berpendapat Hagrid tak ada gunanya,
keyakinannya bahwa urusan penyerangan ini sekarang sudah beres,
menjengkelkan Harry begitu rupa sehingga ingin sekali rasanya dia
melemparkan buku Heboh dengan Hantu ke muka tolol Lockhart. Tetapi
alih-alih begitu, dia berusaha puas dengan menulis pesan kepada Ron:
"Yuk kita lakukan malam ini."
Ron
membaca pesan itu, menelan ludah dengan susah, dan menoleh ke
sebelahnya, ke tempat kosong yang biasanya diduduki Hermione.
Pemandangan ini kelihatannya menguatkan tekadnya, dan dia mengangguk.
Ruang
rekreasi Gryffindor selalu ramai hari-hari ini, karena setelah pukul
enam sore, anak-anak Gryffindor tak bisa pergi ke tempat lain. Mereka
juga punya banyak hal untuk dibicarakan, sehingga akibatnya ruang
rekreasi sering belum kosong sampai lewat tengah malam.
Harry
mengambil Jubah Gaib dari dalam kopernya sehabis makan malam, dan
melewatkan malam itu duduk di atasnya, menunggu ruangan kosong. Fred dan
George menantang Harry dan Ron untuk bermain Jentikan Meletup dan Ginny
menonton mereka, sangat lesu, di kursi yang biasa diduduki Hermione.
Harry dan Ron berkali-kali kalah dengan sengaja, agar permainan cepat
selesai. Meskipun demikian, sudah lewat tengah malam ketika Fred,
George, dan Ginny akhirnya pergi tidur.
Harry
dan Ron menunggu bunyi dua pintu kamar yang tertutup di kejauhan,
sebelum menyambar Jubah Gaib, menyelubungkannya ke tubuh mereka dan
melompati lubang lukisan.
Perjalanan
di dalam kastil tak.kalah sulitnya, mereka harus menghindari para guru.
Akhirnya mereka tiba di Aula Depan, menggeser selot gerendel di pintu
depan, menyelinap keluar, berusaha tidak membual suara, dan melangkah ke
lapangan rumput yang ditimpa cahaya bulan.
"Tentu
saja," kata Ron tiba-tiba, selagi mereka berjalan di atas rumput yang
gelap, "bisa saja kita sampai di hutan dan ternyata tidak ada yang bisa
diikuti. Para labah-labah itu siapa tahu tidak ke sana. Aku tahu
kelihatannya mereka bergerak ke arah sana, tapi..."
Suaranya mengabur penuh harap.
Mereka
tiba di pondok Hagrid, tampak suram dan menyedihkan dengan
jendela-jendelanya yang gelap. Ketika Harry mendorong pintunya, Fang
seperti gila saking girangnya melihat mereka. Cemas Fang bisa
membangunkan semua orang di kastil dengan gong-gongannya yang keras,
mereka buru-buru memberinya gulali dari dalam kaleng di atas perapian,
yang membuat gigi-gigi Fang saling menempel.
Harry meninggalkan Jubah Gaib di atas meja Hagrid. Mereka tidak memerlukannya di dalam hutan yang gelap gulita.
"Ayo,
Fang, kita jalan-jalan," kata Harry, membelai kakinya, dan Fang
melompat dengan riang gembira keluar rumah mengikuti mereka, berlari ke
tepi hutan dan mengangkat satu kakinya di pohon sycamore besar.
Harry mengeluarkan tongkatnya, menggumamkan,
"humosl" dan cahaya kecil muncul di ujung tongkatnya, sekadar cukup bagi mereka untuk melihat jalan setapak mencari labah-labah.
"Ide bagus," kata Ron. "Aku mau juga menyalakan tongkatku, tapi kau tahu, kan—malah akan meledak atau entah apa..."
Harry
mengetuk bahu Ron, menunjuk ke rerumputan. Dua ekor labah-labah berlari
menjauh dari cahaya tongkat ke dalam kegelapan bayang-bayang pepohonan.
"Oke/' Ron menghela napas, seakan menyerah pada nasib untuk menerima yang paling buruk. "Aku siap. Ayo, kita berangkat."
Maka,
dengan Fang berlarian di sekitar mereka, mengendus-endus akar pohon dan
dedaunan, mereka memasuki hutan. Diterangi cahaya dari tongkat Harry,
mereka mengikuti rombongan kecil labah-labah yang semakin bertambah,
bergerak sepanjang jalan setapak. Mereka berjalan selama kira-kira dua
puluh menit, tanpa bicara, memasang telinga tajam-tajam untuk mendengar
bunyi lain selain dahan patah atau gemeresik dedaunan. Kemudian, ketika
pepohonan sudah semakin rapat, sehingga bintang- bintang di langit tak
lagi kelihatan, dan tongkat Harry bersinar sendiri dalam lautan
kegelapan, mereka melihat labah-labah pemandu mereka meninggalkan jalan
setapak.
Harry
berhenti, mencoba melihat ke mana labah-labah itu pergi, tetapi segala
sesuatu di luar lingkaran cahaya kecilnya gelap gulita. Belum pernah dia
masuk ke hutan sampai sejauh ini. Dia masih ingat jelas, Hagrid
melarangnya meninggalkan jalan setapak ketika dia di sini beberapa waktu
lalu. Tetapi Hagrid entah berapa kilometer jauhnya dari sini sekarang,
mungkin duduk dalam sel di Azkaban, dan dia juga sudah berpesan untuk
mengikuti labah-labah.
Sesuatu yang basah menyentuh tangan Harry, dan dia melompat ke belakang, menginjak kaki Ron, tapi ternyata cuma hidung Fang.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Harry kepada Ron, yang cuma kelihatan matanya, yang memantulkan cahaya tongkatnya.
"Kita sudah sampai sejauh ini," kata Ron.
Maka
mereka mengikuti kelebat bayang-bayang labah- labah menembus pepohonan.
Mereka tak bisa bergerak cepat sekarang, ada akar-akar pohon dan
tunggul menghalangi mereka, yang nyaris tak tampak dalam kegelapan.
Harry bisa merasakan napas panas Fang di tangannya. Lebih dari sekali,
mereka harus berhenti, supaya Harry bisa berjongkok dan menemukan
labah-labah itu dengan cahaya tongkatnya.
Mereka
berjalan selama paling tidak setengah jam, jubah mereka
tersangkut-sangkut pada dahan-dahan yang rendah dan semak berduri.
Setelah beberapa saat, mereka memperhatikan bahwa tanah kelihatannya
melandai, meskipun pepohonan masih serapat sebelumnya.
Kemudian mendadak Fang menggonggong keras, bergema, membuat Harry dan Ron melompat kaget sekali.
"Apa?" kata Ron keras, memandang berkeliling dalam kegelapan yang pekat, memegangi siku Harry kuat-kuat.
"Ada yang bergerak di sana," kata Harry tertahan.
"Dengar... Kedengarannya sesuatu yang besar."
Mereka
mendengarkan. Agak jauh di sebelah kanan mereka, sesuatu yang besar itu
mematahkan dahan-dahan ketika dia mencari jalan menerobos pepohonan.
"Oh tidak," kata Ron. "Oh tidak, oh tidak, oh..." "Diam,"
kata Harry cemas. "Dia akan mendengarmu."
"Mendengari?" kata Ron dengan suara tinggi melengking yang tidak wajar. "Dia sudah dengar. Fang!"
Kegelapan serasa menekan bola mata mereka ketika mereka berdiri ketakutan, menunggu. Terdengar gemuruh aneh, kemudian sunyi.
"Sedang apa dia?" tanya Harry.
"Mungkin bersiap-siap menyerang," kata Ron.
Mereka menunggu, gemetar, nyaris tak berani bergerak.
"Apa
menurutmu dia sudah pergi?" bisik Harry "Entahlah..." Kemudian, di
sebelah kanan mereka, mendadak muncul sinar terang benderang, begitu
menyilaukan dalam gelap, sehingga mereka berdua mengangkat tangan untuk
menutupi mata. Fang mendengking dan berusaha lari, tetapi tersangkut
belukar berduri dan mendengking lebih keras lagi.
"Harry!" Ron berteriak, suaranya lega sekali. "Harry, mobil kita!"
"Apa?"
"Ayo!"
Harry
gelagapan mengikuti Ron mendekati cahaya itu, terhuyung dan terantuk,
dan sebentar kemudian mereka telah tiba di lapangan terbuka.
Mobil
Mr Weasley berdiri, kosong, di tengah lingkaran pepohonan yang rapat,
di bawah atap dahan-dahan yang lebat, lampu depannya menyala terang.
Ketika Ron dengan ternganga berjalan mendekatinya, mobil itu bergerak
perlahan menyongsongnya, persis seperti anjing besar hijau toska yang
menyambut tuannya.
"Rupanya
selama ini ada di sini!" kata Ron senang, berjalan mengelilingi mobil
itu. "Lihat. Hutan telah membuatnya liar..." Kanan-kiri mobil itu
tergores dan berlumur lumpur. Rupanya dia berkeliling hutan sendiri.
Fang sama sekali tidak tertarik pada mobil itu. Dia berada dekat-dekat
Harry, yang bisa merasakan anjing itu gemetar. Setelah napasnya mulai
teratur, Harry memasukkan tongkatnya ke dalam jubahnya lagi.
"Dan
kita mengira dia akan menyerang kita!" kata Ron, bersandar pada mobil
itu dan membelainya. "Selama ini aku bertanya-tanya sendiri ke mana
perginya dia!"
Harry
menyipitkan mata, memandang berkeliling tanah yang terang untuk
mencari-cari labah-labah, tetapi mereka semua sudah menyingkir dari
silaunya cahaya lampu mobil.
"Kita
kehilangan jejak," katanya. "Ayo, kita cari mereka." Ron tidak
menanggapi. Dia tidak bergerak. Matanya terpaku ke satu titik kira-kira
tiga meter dari tanah, tepat di belakang Harry. Wajahnya pucat pasi,
ngeri.
Harry
bahkan tak sempat menoleh. Terdengar bunyi klak- klik keras, dan
mendadak dia merasa sesuatu yang panjang dan berbulu mencengkeram
pinggangnya dan mengangkatnya dari tanah, terbalik, sehingga dia
menggantung dengan kepala di bawah. Memberontak, ketakutan, dia
mendengar bunyi klak-klik lagi dan melihat kaki Ron meninggalkan tanah
juga, mendengar Fang merintih dan melolong—saat berikutnya Harry sudah
diayun ke dalam pepohonan yang gelap.
Dengan
kepala di bawah, Harry melihat bahwa makhluk yang memeganginya berjalan
dengan enam kaki yang sangat panjang dan berbulu. Dua kakinya yang
paling depan, yang letaknya di bawah sepasang penjepit hitam berkilat,
mencengkeramnya erat-erat. Di belakangnya, dia bisa mendengar satu lagi
makhluk yang sama, tak diragukan lagi membawa Ron. Mereka bergerak ke
jantung hutan. Harry bisa mendengar Fang berkutat melepaskan diri dari
monster ketiga, mendengking keras, tetapi Harry tak bisa menjerit,
kalaupun dia ingin. Rasanya dia sudah meninggalkan suaranya di mobil di
lapangan terbuka tadi.
Harry
tak pernah tahu berapa lama dia berada dalam cengkeraman makhluk itu.
Dia cuma tahu kegelapan mendadak cukup pudar sehingga dia bisa melihat
tanah yang berselimut dedaunan sekarang dipenuhi labah-labah. Menoleh ke
samping, dia menyadari bahwa mereka telah tiba di tepi tanah kosong
yang membentuk semacam lubang besar. Tak ada pohon di situ, sehingga
bintang-bintang bersinar menerangi pemandangan paling mengerikan yang
pernah dilihatnya.
Labah-labah.
Bukan labah-labah kecil-kecil seperti yang muncul ke atas daun di
tanah. Labah-labah sebesar kereta kuda, bermata delapan, berkaki
delapan, hitam, berbulu, bertubuh raksasa. Labah-labah besar yang
membawa Harry menuruni tanah yang melandai, menuju ke jaring berkabut
berbentuk kubah yang berada persis di tengah lubang, sementara
kawan-kawannya berkerumun mengelilinginya,
mengatup-ngatupkan capit mereka dengan bergairah melihat tangkapannya.
Harry
jatuh ke tanah dalam posisi merangkak ketika si labah-labah
melepaskannya. Ron dan Fang jatuh berdebam di sebelahnya. Fang tak lagi
melolong, melainkan meringkuk diam di tempat. Ron kelihatan persis
seperti yang dirasakan Harry. Mulutnya terpentang lebar dalam jeritan
tanpa suara dan matanya terbeliak.
Harry
tiba-tiba sadar bahwa labah-labah yang menjatuhkannya mengatakan
sesuatu. Susah ditangkap, karena dia mengatupkan capitnya bersamaan
dengan setiap kata yang diucapkannya.
"Aragog!" dia memanggil. "Aragog!"
Dan
dari tengah jaring kubah berkabut, seekor labah-labah seukuran gajah
kecil muncul, sangat perlahan. Ada warna biru di tengah hitamnya tubuh
dan kakinya, dan pada kepalanya yang jelek bercapit, semua matanya putih
seperti susu. Dia buta.
"Ada apa?" dia berkata, mengatup-ngatupkan capitnya dengan cepat.
"Manusia," jawab si labah-labah yang menangkap Harry.
"Hagrid-kah?" tanya Aragog, bergerak mendekat, kedelapan matanya yang seputih susu bergerak-gerak ke segala arah,
"Orang asing," kata labah-labah yang membawa Ron.
"Bunuh mereka," perintah Aragog mengatupkan capit dengan jengkel. "Aku sedang tidur..."
"Kami teman Hagrid," Harry berteriak. Jantungnya serasa meninggalkan dadanya dan berdenyut di tenggorokannya.
Klik, klik, klik, bunyi capit para labah-labah di sekeliling lubang besar.
"Hagrid belum pernah mengirim orang ke lubang kami,"
katanya lambat-lambat.
"Hagrid dalam kesulitan," kata Harry, bernapas cepat sekali. "Itulah sebabnya kami datang."
"Kesulitan?" tanya si labah-labah tua, dan Harry merasa mendengar nada cemas dalam suaranya. "Tetapi kenapa dia mengirimmu?"
Harry
berpikir akan berdiri, tetapi membatalkannya. Dia menduga kakinya tak
akan sanggup menopangnya. Jadi dia bicara dari tanah, setenang mungkin.
"Mereka mengira, di sekolah, bahwa Hagrid telah melepas—se-sesuatu—untuk menyerang anak-anak. Mereka membawanya ke Azkaban."
Aragog
mengatup-ngatupkan capitnya dengan murka dan di sekeliling lubang,
bunyi itu dipantulkan oleh rombongan labah-labah yang ikut mengatupkan
capit mereka. Semacam tepuk tangan, hanya saja tepuk tangan biasanya
tidak membuat Harry ketakutan.
"Tetapi itu sudah lama sekali," kata Aragog marah.
"Bertahun-tahun
yang lalu, aku masih ingat betul. Itulah sebabnya mereka menyuruhnya
meninggalkan sekolah. Mereka yakin akulah monster yang tinggal di dalam
apa yang mereka sebut Kamar Rahasia. Mereka mengira Hagrid telah membuka
kamar itu dan me lepasku."
"Dan kau... kau tidak berasal dari Kamar Rahasia?" tanya Harry, yang bisa merasakan dahinya bersimbah keringat dingin.
"Aku!" kata Aragog, mengatupkan capitnya dengan gusar.
"Aku
tidak dilahirkan di kastil. Aku berasal dari negeri yang jauh. Seorang
pengelana memberikan aku kepada Hagrid waktu aku masih berupa telur.
Hagrid masih anak-anak, tetapi dia merawatku, menyembunyikan aku dalam
lemari di kastil,
memberi
makan aku sisa-sisa makanan dari meja. Hagrid teman baikku, dan dia
orang baik. Ketika aku ditemukan dan dituduh telah menyebabkan kematian
seorang anak perempuan, dia melindungiku. Aku hidup di hutan ini sejak
saat itu. Hagrid masih mengunjungiku. Dia bahkan mencarikan istri
untukku, Mosag, dan kalian lihat bagaimana keluarga kami telah
berkembang, semua berkat kebaikan Hagrid."
Harry mengeluarkan sisa keberaniannya.
"Jadi, kau tak pernah—tak pernah menyerang siapa ...
"Tak
pernah," kata si labah-labah tua serak. "Sebetulnya itu naluriku,
tetapi karena menghormati Hagrid, aku tak pernah melukai orang. Mayat
anak perempuan yang dibunuh itu ditemukan di dalam toilet. Aku tak
pernah melihat bagian lain kastil kecuali lemari tempat aku tumbuh.
Bangsa kami menyukai kegelapan dan keheningan..."
"Tetapi
kalau begitu... Tahukah kau apa yang membunuh anak perempuan itu?"
tanya Harry. "Karena entah apa pun dia, dia sudah muncul kembali dan
menyerang orang-orang lagi..."
Kata-katanya
ditenggelamkan oleh suara klak-klik yang keras sekali dan keresekan
banyak kaki panjang yang bergerak dengan marah. Sosok-sosok besar hitam
bergerak- gerak di sekelilingnya.
"Makhluk
yang tinggal di kastil itu," kata Aragog, "adalah makhluk kuno yang
sangat ditakuti oleh kami, labah-labah, lebih daripada makhluk-makhluk
lain. Aku masih ingat betul, bagaimana aku memohon-mohon pada Hagrid
untuk melepaskan aku, ketika aku merasa binatang itu berkeliaran di
sekolah."
"Binatang apa?" desak Harry.
Lebih banyak klak-klik keras, lebih banyak keresekan, para labah-labah kelihatannya semakin mendekat, mengepung mereka.
"Kami
tidak bicara tentang itu!" kata Aragog galak. "Kami tidak menyebut
namanya. Aku bahkan tidak memberitahu Hagrid nama makhluk mengerikan
itu, meskipun dia menanyakannya padaku, berulang kali."
Harry
tidak ingin memaksakan soal itu, apalagi semua labah-labah menddkat
dari segala jurusan. Aragog kelihatannya sudah lelah bicara. Dia
perlahan berjalan mundur ke jaring kubahnya, tetapi teman-teman
labah-labahnya terus merayap mendekati Harry dan Ron.
"Kalau begitu kami pergi dulu," teriak Harry putus asa kepada Aragog, mendengar daun-daun ber-gemeresik di belakangnya.
"Pergi?" kata Aragog lambat-lambat. "Kurasa tidak..."
"Tapi—tapi..."
"Anak-anakku
tidak mencelakai Hagrid karena kularang. Tetapi aku tak bisa
menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan daging segar, ketika
daging itu datang sendiri dengan sukarela ke tengah-tengah kami. Selamat
tinggal, teman Hagrid."
Harry
berbalik. Hanya satu meter lebih dari mereka, menjulang tinggi dinding
kokoh labah-labah. Mereka mengatup-ngatupkan capit, mata mereka yang
banyak berkilat-kilat di kepala hitam jelek mereka.
Bahkan
saat mencabut tongkatnya, Harry sadar tongkat itu tak ada gunanya. Ada
terlalu banyak labah-labah. Tetapi ketika dia berusaha berdiri, siap
mati dalam pertempuran, terdengar bunyi keras. Kilatan cahaya terang
benderang menyinari lubang.
Mobil
Mr Weasley menerjang turun, lampu depannya menyala terang, klaksonnya
menjerit-jerit, menabrak para labah-labah hingga menepi. Beberapa
labah-labah terlempar dan mendarat terbalik, kaki mereka yang banyak
menendang- nendang ke udara. Mobil berdecit berhenti di depan Harry dan
Ron, dan pintu-pintunya berdebam terbuka.
"Ambil
Fang!" jerit Harry, meluncur ke tempat duduk depan. Ron menyambar
pinggang Fang, dan melemparnya. Fang mendengking, terlempar ke tempat
duduk belakang. Pintu-pintu menutup keras. Ron tidak menyentuh gas,
tetapi mobil itu tidak memerlukannya. Mesinnya menderu dan mereka
melesat, menabrak lebih banyak lagi labah-labah. Mereka meluncur mendaki
lereng, keluar dari lubang, dan segera saja menerobos hutan,
dahan-dahan pepohonan melecut jendela-jendelanya ketika mobil itu dengan
cerdik berzig-zag melewati celah-celah yang cukup lebar, mengikuti
jalan setapak yang rupanya sudah dikenalnya.
Harry mengerling Ron. Mulutnya masih terbuka dalam jerit tanpa suara, tetapi matanya tak lagi terbeliak. ,
"Kau tak apa-apa?"
Ron memandang lurus ke depan, tak bisa bicara.
Mereka
menerobos belukar, Fang melolong keras di tempat duduk belakang, dan
Harry melihat kaca spion melipat menutup ketika mereka melewati pohon ek
besar. Setelah sepuluh menit perjalanan yang bising dan penuh
guncangan, pohon-pohon mulai jarang, dan Harry bisa melihat petak-petak
langit lagi.
Mobil
berhenti begitu mendadak, sehingga mereka nyaris terlempar ke kaca
depan. Mereka sudah tiba di tepi hutan. Fang melemparkan diri ke jendela
saking cemasnya ingin segera keluar, dan ketika Harry membuka pintu dia
melesat melewati pepohonan, kembali ke pondok Hagrid, ekornya di antara
dua kaki belakangnya. Harry juga keluar dan setelah kira-kira satu
menit, Ron kelihatannya sudah bisa merasakan kaki-_ nya, dan dia ikut
keluar. Leher Ron masih kaku, dan dia masih terus memandang ke depan.
Harry mengelus mobil dengan penuh terima kasih ketika mobil itu berbalik
ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan.
Harry
kembali ke pondok Hagrid untuk mengambil Jubah Gaib-nya. Fang gemetar
di bawah selimut di dalam keranjangnya. Ketika Harry keluar lagi, Ron
sedang muntah- muntah di kebun labu.
"Ikuti
labah-labah/' kata Ron lemas, menyeka mulutnya dengan lengan jubahnya.
"Aku tak akan pernah memaafkan Hagrid. Kita beruntung masih hidup."
"Pasti dia mengira Aragog tidak akan melukai teman- temannya," kata Harry.
"Itulah
masalah Hagrid!" kata Ron, memukul-mukul dinding pondok. "Dia selalu
beranggapan monster tidak seburuk penampilannya, dan lihat saja
akibatnya, sekarang dia di mana! Di sel di Azkaban!" Ron gemetar tak
terkendali sekarang. "Apa gunanya mengirim kita ke hutan? Apa yang kita
temukan, aku mau tahu?" *
"Bahwa
Hagrid tidak pernah membuka Kamar Rahasia," kata Harry, menyelubungkan
Jubah Gaib ke tubuh Ron dan memapahnya agar dia bisa jalan. "Dia tak
bersalah."
Ron mendengus keras. Jelas, menurut pendapatnya, menetaskan Aragog di dalam lemari tidak termasuk kategori tak bersalah.
Ketika
kastil sudah semakin dekat, Harry menarik jubahnya untuk memastikan
kaki mereka tersembunyi, kemudian mendorong pintu depan yang berderit.
Hati-hati mereka menyeberangi Aula Depan, menaiki tangga pualam, menahan
napas ketika melewati koridor-koridor yang dipatroli penjaga- penjaga
yang waspada. Akhirnya mereka tiba di ruang rekreasi Gryffindor yang
aman. Api di perapian telah berubah menjadi abu berpendar. Mereka
melepas jubah dan menaiki tangga melingkar menuju ke kamar.
Ron
menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa bersusah- susah berganti
pakaian. Tetapi Harry tidak begitu mengantuk. Dia duduk di pinggir
tempat tidurnya, berpikir keras tentang semua yang dikatakan Aragog.
Makhluk
yang bersembunyi di suatu tempat di kastil, pikirnya, kedengarannya
sejenis monster Voldemort—bahkan monster-monster lain tidak mau menyebut
namanya. Tetapi dia dan Ron tidak lebih tahu makhluk apa itu, atau
bagaimana dia membuat korban-korbannya Membatu. Bahkan Hagrid pun tidak
tahu apa yang ada di dalam Kamar Rahasia.
Harry melempar kakinya ke atas tempat tidur dan bersandar ke bantalnya, menatap bulan yang mengintipnya lewat jendela menara.
Dia
tak tahu apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka telah terbentur
jalan buntu di mana-mana. Riddle telah menangkap orang yang salah,
pewaris Slytherin berhasil lolos, dan tak seorang pun tahu apakah orang
yang sama, atau orang lain, yang telah membuka Kamar Rahasia kali ini.
Tak ada lagi orang lain yang bisa ditanyai. Harry berbaring, masih
memikirkan apa yang dikatakan Aragog.
Dia
sudah mulai mengantuk, ketika apa yang tampaknya merupakan harapan
terakhir mereka terlintas di benaknya dan dia mendadak duduk tegak.
"Ron," desisnya dalam gelap. "Ron!"
Ron terbangun sambil mendengking seperti Fang, memandang liar ke sekelilingnya, dan menatap Harry.
"Ron—anak
perempuan yang mati itu. Aragog bilang dia ditemukan di toilet," kata
Harry, mengabaikan dengkur Neville dari sudut. "Bagaimana kalau dia
tidak pernah meninggalkan toilet? Bagaimana kalau dia masih di sana?"
Ron menggosok matanya, mengernyit dalam cahaya bulan. Dan kemudian dia paham.
"Maksudmu kan bukan—oh, Myrtle Merana?"
16. Kamar Rahasia
SUDAH
puluhan kali kita berada di dalam toilet itu, dan jaraknya cuma tiga
bilik dari kita," kata Ron getir waktu sarapan keesokan harinya, "dan
kita mestinya bisa menanyainya, dan sekarang..."
Mencari
labah-labah sudah susah. Menghilang cukup lama dari pengawasan guru
supaya bisa masuk ke toilet anak perempuan, toilet anak perempuan yang
letaknya persis di sebelah tempat serangan pertama terjadi, akan nyaris
tak mungkin.
Tetapi
sesuatu terjadi dalam jam pelajaran pertama mereka, Transfigurasi, yang
membuat Kamar Rahasia terlupakan untuk pertama kalinya dalam beberapa
minggu terakhir ini. Sepuluh menit setelah pelajaran dimulai, Profesor
McGonagall memberitahu mereka ujian akan dimulai pada tanggal satu Juni,
seminggu lagi.
"Ujian?"
lolong Seamus Finnigan. "Kami masih akan ujian?" Terdengar ledakan
keras di belakang Harry ketika tongkat Neville Longbottom tergelincir,
melenyapkan salah satu kaki mejanya. Profesor McGonagall mengembalikan
keadaan meja itu dengan lambaian tongkatnya sendiri, lalu berpaling,
mengernyit, kepada Seamus.
"Tujuan
utama sekolah ini tetap dibuka pada saat seperti ini adalah agar kalian
bisa menerima pendidikan," katanya tegas. "Ujian, karena itu, akan
berlangsung seperti biasa, dan aku percaya kalian semua sudah belajar
dengan tekun."
Belajar
dengan tekun! Tak pernah terpikir oleh Harry akan ada ujian pada saat
suasana kastil seperti ini. Terdengar banyak gumam memberontak di
seluruh ruangan, yang membuat Profesor McGonagall mengernyit semakin
galak.
"Instruksi
Profesor Dumbledore adalah menjaga agar sekolah berlangsung senormal
mungkin," katanya. "Dan itu, tak perlu kutunjukkan, berarti mencari tahu
berapa banyak yang sudah kalian pelajari tahun ini."
Harry
menunduk memandang sepasang kelinci putih yang seharusnya diubah
menjadi sandal. Apa yang sudah dipelajarinya tahun ini? Rasanya dia tak
bisa memikirkan sesuatu yang bisa berguna dalam ujian.
Tampang
Ron seolah dia baru saja diberitahu dirinya harus tinggal seumur hidup
di Hutan Terlarang. "Bisakah kaubayangkan aku ujian dengan ini?" dia
bertanya kepada Harry, mengangkat tongkatnya, yang baru saja mulai
bersuit keras.
Tiga hari sebelum ujian hari pertama, Profesor McGonagall menyampaikan pengumuman lain sewaktu sarapan.
"Ada berita baik," katanya, dan Aula Besar, alih-alih menjadi sunyi, malah meledak ribut sekali.
"Dumbledore akan kembali!" beberapa anak berteriak senang.
"Pewaris Slytherin sudah berhasil ditangkap!" pekik seorang anak perempuan di meja Ravenclaw.
"Pertandingan Quidditch akan diadakan lagi!" teriak Wood penuh semangat.
Ketika
hiruk-pikuk sudah reda, Profesor McGonagall berkata, "Profesor Sprout
telah memberitahuku bahwa Mandrake-mandrake sudah siap dipotong,
akhirnya. Malam ini, kita akan bisa menghidupkan kembali anak-anak yang
sudah dibuat Membatu. Tak perlu kuingatkan kepada kalian bahwa salah
satu dari mereka mungkin bisa memberitahu kita siapa, atau apa, yang
menyerang mereka. Aku berharap tahun mengerikan ini akan berakhir dengan
kita menangkap si pelaku."
Anak-anak
bersorak riuh-rendah. Harry memandang ke meja Slytherin dan sama sekali
tidak heran melihat Draco Malfoy tidak ikut bersorak. Tetapi Ron
kelihatan lebih riang daripada beberapa hari belakangan ini.
"Kalau
begitu, kita tak perlu lagi meria nyai MyrlM" katanya kepada Harry.
"Hermione mungkin punya semua jawabannya kalau mereka membangunkannya!
Hati-hati saja, dia akan sewot sekali kalau tahu tiga hari lagi kita
ujian. Dia belum belajar. Mungkin baginya lebih baik jika dia dibiarkan
Membatu sampai ujian selesai."
Saat
itu Ginny Weasley datang dan duduk di sebelah Ron. Dia kelihatan tegang
dan gugup, dan Harry memperhatikan tangannya saling remas di atas
pangkuannya.
"Ada apa?" tanya Ron, mengambil bubur lagi.
Ginny
tidak mengatakan apa-apa, tetapi memandang ke sekeliling meja
Gryffindor. Wajahnya menampakkan ketakutan yang mengingatkan Harry akan
seseorang, meskipun dia tak bisa ingat siapa.
"Bilang saja," kata Ron, memandang adiknya.
Harry
mendadak sadar Ginny seperti siapa. Dia mengayun- ayun ke depan dan ke
belakang sedikit di kursinya, persis seperti Dobby ketika akan
menyampaikan informasi terlarang.
"Aku harus memberitahu kalian sesuatu," Ginny komat- kamit, berhati-hati agar tidak memandang Harry.
"Apa itu?" tanya Harry.
Ginny kelihatan seakan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. "Apa?"- tanya Ron.
Ginny
membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Harry mencondongkan
tubuh ke depan dan berkata pelan, sehingga hanya Ginny dan Ron yang bisa
mendengarnya.
"Apakah sesuatu tentang Kamar Rahasia? Apakah kau melihat sesuatu? Orang yang bersikap aneh?"
Ginny menarik napas dalam-dalam dan tepat saat itu, Percy Weasley muncul, kelihatan lelah dan pucat.
"Kalau kau sudah selesai sarapan, aku akan duduk di situ, Ginny. Aku lapar sekali. Aku baru saja bebas tugas patroli."
Ginny
melompat seakan kursinya disetrum listrik, sekilas melempar pandang
ketakutan kepada Percy, lalu lari pergi. Percy duduk dan menyambar
cangkir dari tengah meja.
"Percy!" tegur Ron marah. "Dia baru saja mau memberitahu kami sesuatu yang penting!"
Baru setengah jalan meneguk tehnya, Percy tersedak.
"Soal apa?" tanyanya, batuk-batuk.
"Aku bertanya kalau-kalau dia melihat sesuatu yang aneh, dan dia baru akan berkata..."
"Oh—itu—itu tak ada hubungannya dengan Kamar Rahasia," kata Percy segera.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ron, alisnya terangkat.
"Yah,
eh, kalau kau mau tahu, Ginny, eh, berpapasan denganku kemarin dulu
waktu aku—yah, tak usah kukatakan deh. Yang jelas, dia melihatku
melakukan sesuatu dan aku, um, aku memintanya agar tidak menceritakannya
kepada orang lain. Kukira dia akan menepati janjinya. Bukan apa-apa
sebetulnya, hanya saja aku lebih suka..."
Belum pernah Harry melihat Percy salah tingkah seperti itu.
"Apa yang kaulakukan, Percy?" tanya Ron, nyengir. "Ayo, beritahu kami, kami tidak akan tertawa."
Percy tidak ikut tersenyum.
"Tolong ambilkan roti kadet, Harry. Aku lapar sekali."
Harry
tahu seluruh misteri mungkin bisa dipecahkan besok tanpa bantuan
mereka, tetapi dia tak akan melewatkan kesempatan berbicara dengan
Myrtle— dan betapa senangnya dia ketika ternyata kesempatan itu datang,
menjelang tengah hari, ketika mereka sedang diantar ke kelas Sejarah
Sihir oleh Gilderoy Lockhart.
Lockhart
yang sudah sering meyakinkan mereka bahwa semua bahaya telah lewat,
tapi ternyata dia keliru, sekarang yakin sepenuhnya bahwa tak ada
gunanya mengantar mereka melewati koridor-koridor. Rambutnya tidak
selicin biasanya. Rupanya dia berjaga hampir semalaman, berpatroli di
lantai empat.
"Catat
kata-kataku," katanya, mengantar mereka membelok di sudut, "kata-kata
pertama yang akan keluar dari mulut anak-anak yang Membatu itu pastilah,
'Hagrid-lah pelakunya.' Terus terang saja, aku heran Profesor
McGonagall menganggap semua tindakan pengamanan ini perlu."
"Saya setuju, Sir," kata Harry, membuat Ron menjatuhkan buku-bukunya saking kagetnya.
"Terima
kasih, Harry," kata Lockhart anggun, sementara mereka menunggu deretan
panjang anak-anak Hufflepuff lewat. "Maksudku, kami para guru sudah
punya cukup banyak tugas. Dan sekarang kami masih harus mengantar
murid-murid dari kelas ke kelas, dan berjaga sepanjang malam..."
"Betul,"
kata Ron, yang sudah paham. "Kenapa Anda tidak meninggalkan kami di
sini saja, Sir, kan cuma tinggal lewat satu koridor lagi."
"Kau
tahu, Weasley, kurasa sebaiknya begitu," kata Lockhart. "Aku
benar-benar harus pergi dan menyiapkan pelajaran untuk kelasku yang
berikut."
Dan Lockhart bergegas pergi.
"Menyiapkan pelajaran," Ron mencemooh di belakangnya.
"Paling-paling pergi untuk menggulung rambutnya."
Mereka
membiarkan anak-anak Gryffindor lain ber-jalan mendahului mereka, lalu
menyelinap ke lorong samping dan bergegas ke toilet Myrtle Merana.
Tetapi ketika mereka sedang saling memberi selamat untuk rencana brilian
mereka...
"Potter! Weasley! Sedang apa kalian?"
Profesor McGonagall-lah yang menegur mereka, dan bibirnya membentuk garis yang supertipis.
"Kami mau—kami mau...," Ron tergagap, "kami mau pergi melihat..."
"Hermione," sambung Harry. Baik Ron maupun Profesor McGonagall menatapnya.
"Kami
sudah lama tidak melihatnya, Profesor," Harry melanjutkan buru-buru,
menginjak kaki Ron, "dan kami pikir kami akan menyelinap ke rumah sakit,
dan memberitahu dia Mandrake-nya sudah hampir siap dan, eh, supaya dia
tak usah cemas."
Profesor
McGonagall masih menatapnya, dan sejenak Harry mengira dia akan meledak
marah, tetapi ketika dia berbicara, suaranya parau aneh.
"Tentu
saja," katanya, dan Harry, terheran-heran, melihat air mata berkilauan
menggenangi matanya yang menyerupai manik-manik. "Tentu saja, aku sadar
semua ini paling berat untuk teman-teman mereka yang sudah... aku
mengerti. Ya, Potter, tentu saja kalian boleh menengok Miss Granger. Aku
akan memberi tahu Profesor Binns ke mana kalian pergi. Katakan kepada
Madam Pomfrey aku sudah memberikan izinku."
Harry
dan Ron pergi, nyaris tak mempercayai bahwa mereka lolos dari detensi.
Ketika berbelok di sudut, sayup- sayup mereka mendengar Profesor
McGonagall membuang ingus.
"Itu," kata Ron sungguh-sungguh, "adalah cerita paling bagus yang pernah kaubuat."
Mereka
tak punya pilihan sekarang selain pergi ke rumah sakit, dan memberitahu
Madam Pomfrey bahwa mereka sudah mendapat izin Profesor McGonagall
untuk menengok Hermione.
Madam Pomfrey mengizinkan mereka masuk, tetapi dengan enggan.
"Tak
ada gunanya bicara dengan orang yang Membatu," katanya, dan mereka
harus mengakui dia benar, ketika mereka sudah duduk di sebelah tempat
tidur Hermione. Jelas Hermione sama sekali tidak sadar dia kedatangan
tamu, dan memberitahunya agar jangan cemas sama saja dengan bicara pada
lemari di sebelah tempat tidurnya.
"Kira-kira
dia melihat penyerangnya tidak, ya?" kata Ron, memandang sedih wajah
Hermione yang kaku. "Karena kalau dia mengendap-endap dari belakang
mereka, tak seorang pun akan tahu..."
Tetapi
Harry tidak memandang wajah Hermione. Dia lebih tertarik pada
tangannya. Tangan itu terkepal, tergeletak di atas selimutnya, dan
ketika membungkuk mendekat, Harry melihat secarik kertas teremas dalam
genggamannya.
Setelah yakin Madam Pomfrey tak ada di dekat-dekat situ, dia menunjukkan kertas itu kepada Ron.
"Coba keluarkan," bisik Ron, menggeser kursinya supaya Harry terhalang dari pandangan Madam Pomfrey.
Bukan
pekerjaan gampang. Tangan Hermione mencengkeram kertas itu erat sekali,
sehingga Harry yakin kertas itu akan robek. Sementara Ron berjaga, dia
menarik dan memilin, dan akhirnya, setelah sepuluh menit yang tegang,
kertasnya lepas.
Ternyata
itu halaman yang dirobek dari buku perpustakaan yang sudah sangat tua.
Harry meratakannya dengan bergairah dan Ron membungkuk lebih dekat untuk
ikut membacanya.
Dari
banyak binatang dan monster menyeramkan yang menjelajahi negeri kita,
tak ada yang lebih menakjubkan ataupun lebih mematikan daripada
Basilisk, yang juga dikenal sebagai Raja Ular. Ular ini, yang bisa
mencapai ukuran raksasa, dan hidup sampai ratusan tahun, ditetaskan dari
telur ayam, yang dierami oleh katak. Cara Basilisk membunuh sangat luar
biasa, karena selam taringnya yang mematikan dan berbisa, Basilisk
mempunyai pandangan maut, dan semua yang terkena sorot matanya akan
langsung mati. Labah-labah melarikan diri dari Basilisk, karena Basilisk
adalah musuhnya yang paling ganas, dan Basilisk sendiri hanya
menghindari kokok ayam jantan, yang bisa berakibat fatal untuknya.
Dan di bawahnya tertulis satu kata, dalam tulisan tangan yang dikenali Harry sebagai tulisan Hermione. Pipa.
Harry merasa seakan ada orang yang menyalakan lampu dalam otaknya.
"Ron,"
katanya menahan napas, "ini dia. Ini jawabannya. Monster di dalam Kamar
Rahasia itu Basilisk—ular raksasa! Itulah sebabnya aku selama ini
mendengar suara itu di mana- mana sementara tak ada satu orang lain pun
yang mendengarnya. Itu karena aku mengerti Parseltongue..."
Harry memandang tempat-tempat tidur di sekitarnya.
"Basilisk
membunuh orang dengan cara memandangnya. Tetapi tak seorang pun
meninggal—karena tak seorang pun langsung menatap matanya. Colin
melihatnya lewat kameranya. Si Basilisk membakar seluruh filmnya, tetapi
Colin hanya Membatu. Justin... Justin pastilah melihat Basilisk itu
menembus Nick si Kepala-Nyaris-Putus! Nick yang menerima sorot matanya
sepenuhnya, tetapi dia tidak bisa mati lagi... dan Hermione dan Prefek
Ravenclaw itu ditemukan dengan sebuah cermin di sebelah mereka. Hermione
baru saja menyadari monsternya adalah Basilisk. Aku berani taruhan apa
saja, dia memperingatkan orang pertama yang dijumpainya agar
melihat-lihat semua sudut dengan cermin dulu! Dan gadis itu mengeluarkan
cerminnya—dan..."
Mulut Ron ternganga.
"Dan Mrs Norris?" tanyanya tak sabar.
Harry berpikir keras, membayangkan pemandangan pada malam Hallowe'en.
"Air...," katanya lambat-lambat, "air yang meluap dari toilet Myrtle Merana. Mrs Norris pastilah cuma melihat - bayangannya..."
Harry membaca lagi kertas di tangannya dengan bersemangat. Semakin dibaca, tulisan itu semakin masuk akal.
"Kokok
ayam jantan bisa berakibat fatal untuknya!" dia membaca keras-keras.
"Ayam-ayam jantan Hagrid dibunuhi! Si pewaris Slytherin tidak
menginginkan ada ayam jantan di sekitar kastil begitu Kamar Rahasia
sudah dibuka! Labah-labah melarikan diri darinya! Semuanya cocok!"
"Tetapi bagaimana caranya si Basilisk berkeliaran di kastil?" tanya Ron. "Ular besar menakutkan... Pasti ada yang melihat..."
Harry menunjuk kata yang telah ditulis Hermione di bagian bawah halaman itu.
"Pipa," katanya. "Pipa... Ron, ular itu menggunakan pipa air. Aku selama ini mendengar suara-suara itu di dalam dinding..."
Ron mendadak mencengkeram lengan Harry.
"Jalan masuk ke Kamar Rahasia!" katanya serak.
"Bagaimana kalau jalan masuknya toilet? Bagaimana kalau jalan masuknya dalam..."
"...toilet Myrtle Merana," kata Harry.
Mereka dipenuhi ketegangan, nyaris tak percaya.
"Ini
berarti," kata Harry, "aku bukan satu-satunya Parselmouth di sekolah.
Pewaris Slytherin juga. Begitulah cara mereka mengontrol si Basilisk."
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron, yang matanya berkilat-kilat. "Kita langsung ke McGonagall?"
"Kita ke ruang guru saja," kata Harry, melompat bangun.
"Dia
akan ke sana sepuluh menit lagi, sudah hampir istirahat." Mereka
berlari turun. Tak ingin ditemukan berlama-lama di koridor yang lain,
mereka langsung ke ruang guru yang kosong. Ruang itu besar, berdinding
papan, penuh dengan kursi-kursi kayu gelap. Harry dan Ron berjalan
mondar- mandir, terlalu tegang untuk duduk.
Tetapi bel istirahat tak pernah berdering.
Sebagai gantinya, menggema di seluruh koridor, terdengar suara McGonagall, dikeraskan secara sihir.
"Semua murid diminta kembali ke asrama masing-masing. Semua guru diminta kembali ke ruang guru. Segera."
Harry berpaling, memandang Ron. "Bukan karena ada serangan lagi, kan? Tidak seka-rang?
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron, ketakutan. Kembali ke asrama?"
"Tidak,"
kata Harry, memandang berkeliling. Ada lemari pakaian jelek di sebelah
kirinya, penuh berisi mantel-mantel para guru. "Di dalam sini. Kita
dengar ada apa. Kemudian kita bisa memberitahu mereka apa yang telah
kita ketahui."
Mereka
bersembunyi di dalam lemari, mendengar gemuruh ratusan orang bergerak
di lantai atas, dan pintu ruang guru berdebam terbuka. Dari antara
lipatan-lipatan mantel yang berbau lembap, mereka melihat guru-guru
memasuki ruangan. Beberapa di antara mereka tampak bingung, yang lain
sangat ketakutan. Kemudian Profesor McGonagall tiba.
"Sudah terjadi," katanya kepada ruang guru yang sunyi.
"Ada anak yang dibawa oleh si monster. Ke dalam Kamar Rahasia."
Profesor
Flitwick memekik. Profesor Sprout menekap mulutnya. Snape mencengkeram
punggung kursi erat-erat, dan bertanya, "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Pewaris
Slytherin," kata Profesor McGonagall, yang pucat pasi, "meninggalkan
pesan lain. Tepat di bawah pesan pertama. Kerangkanya akan tergeletak di
Kamar Rahasia selamanya."
Air mata Profesor Flitwick bercucuran.
"Siapa?" tanya Madam Hooch, yang karena lututnya lemas, sudah terenyak ke kursi. "Murid yang mana?"
"Ginny Weasley," kata Profesor McGonagall.
Harry merasakan Ron merosot tanpa suara ke dasar lemari.
"Kita
terpaksa harus memulangkan semua murid besok pagi," kata Profesor
McGonagall.. "Habislah riwayat Hogwarts. Dumbledore selalu berkata..."
Pintu ruang guru terbuka lagi. Sesaat, Harry yakin Dumbledore yang datang. Tetapi ternyata Lockhart, dan wajahnya berseri-seri.
"Maaf,
maaf—ketiduran—aku sudah ketinggalan apa nih?" Tampaknya dia tidak
menyadari bahwa guru-guru yang lain memandangnya dengan tatapan yang
mirip sekali kebencian.
Snape melangkah maju.
"Orang
yang tepat," katanya. "Orang yang sangat tepat. Ada anak perempuan yang
baru saja ditangkap monster, Lockhart. Dibawa ke Kamar Rahasia, lagi.
Saatmu telah tiba akhirnya."
Lockhart memucat.
"Betul,
Gilderoy," Profesor Sprout ikut bicara. "Bukankah kau baru bilang
semalam bahwa kau sudah lama tahu di mana jalan masuk ke Kamar Rahasia?"
"Aku—yah, aku..., " ujar Lockhart gelagapan.
"Ya, bukankah kau bilang padaku kau yakin kau tahu apa yang ada dalam kamar itu?" ujar Profesor Flitwick.
"M-masa? Aku tidak ingat..."
"Aku
jelas ingat betul kau bilang kau menyesal tidak menangani si monster
sebelum Hagrid ditangkap," kata Snape. "Bukankah kau bilang semua
kejadian ini ditangani dengan ceroboh dan bahwa kau seharusnya diberi
kebebasan penuh dari awal?"
Lockhart memandang bergantian kolega-koleganya yang berwajah membatu.
"Aku... aku benar-benar belum pernah... Kalian mungkin salah paham..."
"Kami
menyerahkannya kepadamu, kalau begitu, Gilderoy," kata Profesor
McGonagall. "Malam ini waktu yang ideal sekali untuk bertindak. Kami
akan memastikan semua orang tidak mengganggumu. Kau akan bisa menangani
si monster sendirian. Kebebasan penuh akhirnya kaudapatkan."
Lockhart
memandang putus asa ke sekeliling ruangan, tetapi tak seorang pun
menolongnya. Dia sama sekali tak kelihatan tampan lagi. Bibirnya
gemetar, dan dengan absennya senyum pamer-giginya yang biasa, dagunya
kelihatan lemah dan ditumbuhi jenggot serabutan.
"B-baiklah," katanya. "A-aku—aku akan ke kantorku, b- bersiap-siap."
Dan dia meninggalkan ruangan.
"Baik,"
kata Profesor McGonagall, yang lubang hidungnya mekar, "kita bebas dari
gangguannya. Kepala-kepala asrama harus memberitahu murid-murid mereka
apa yang telah terjadi. Sampaikan kepada mereka Hogwarts Express akan
membawa mereka pulang besok pagi-pagi. Guru-guru yang lain, tolong cek
dan pastikan tak ada anak yang masih tertinggal di luar asrama mereka."
Para guru bangkit, dan keluar satu demi satu.
Hari
itu mungkin hari terburuk dalam kehidupan Harry. Dia, Ron, Fred, dan
George duduk bersama di sudut di ruang rekreasi Gryffindor, tak sanggup
berkata apa-apa. Percy tidak ada di sana. Dia pergi mengirim burung
hantu kepada Mr dan Mrs Weasley, kemudian mengurung diri di kamarnya.
Belum
pernah sore hari berjalan selambat itu, juga belum pernah Menara
Gryffindor sepenuh itu, tetapi begitu sunyi. Menjelang terbenamnya
matahari, Fred dan George pergi tidur, tak sanggup lagi terus duduk di
sana.
"Ginny
tahu sesuatu, Harry," kata Ron, bicara untuk pertama kalinya sejak
mereka memasuki lemari pakaian di ruang guru. "Itulah sebabnya dia
ditangkap. Sama sekali bukan soal sepele tentang Percy. Dia tahu sesuatu
tentang Kamar Rahasia. Itulah sebabnya dia di...," Ron mengusap matanya
dengan kalut. "Maksudku, dia berdarah-murni. Tak mungkin ada alasan
lain." ,
Harry
bisa melihat matahari yang sedang terbenam, merah darah, di bawah batas
cakrawala. Belum pernah dia merasa sesedih dan seputus asa ini. Kalau
saja ada sesuatu* yang bisa dilakukannya. Apa saja.
"Harry," kata Ron, "menurutmu apakah ada sedikit saja kemungkinan dia belum—kau tahu..."
Harry tak tahu harus mengatakan apa. Dia tak bisa membayangkan kemungkinan Ginny masih hidup.
"Tahu
tidak?" kata Ron. "Kurasa kita harus menemui Lockhart. Beritahu dia apa
yang kita ketahui. Dia akan mencoba memasuki Kamar Rahasia. Kita bisa
memberitahu dia di mana kamar itu menurut dugaan kita, dan memberitahu
dia Basilisk-lah yang ada di dalamnya."
Karena Harry tak bisa memikirkan hal lain yang bisa dilakukan, dan karena dia ingin melakukan sesuatu, dia setuju.
Anak-anak
Gryffindor di sekeliling mereka begitu sedih dan kasihan kepada Weasley
bersaudara, sehingga tak seorang pun dari mereka berusaha mencegah
ketika mereka bangkit, menyeberangi ruangan, dan keluar lewat lubang
lukisan.
Kegelapan
sedang turun ketika mereka berjalan menuju kantor Lockhart.
Kedengarannya sedang banyak kesibukan berlangsung di dalam. Mereka bisa
mendengar bunyi bergeser, gedebak-gedebuk, dan langkah-langkah kaki
bergegas.
Harry
mengetuk pintu dan mendadak di dalam sunyi. Kemudian pintu terkuak
sedikit sekali dan mereka melihat sebelah mata Lockhart mengintip.
"Oh...
Mr Potter... Mr Weasley...” katanya, menguak pintu sedikit lebih lebar.
"Aku sedang agak sibuk, kalau kalian bisa cepat..."
"Profesor, kami punya informasi untuk Anda," kata Harry.
"Kami rasa ini akan membantu Anda."
"Eh—yah—ini tidak terlalu...," Sisi wajah Lockhart yang tampak oleh mereka kelihatan sangat salah tingkah.
"Maksudku—yah—baiklah."
Dia membuka pintu dan mereka masuk.
Kantornya
sudah hampir kosong. Dua koper besar terbuka di lantai.
Jubah-jubah—hijau-kumala, ungu, biru tua—dilipat buru-buru dan ditumpuk
dalam salah satu koper. Buku-buku campur aduk berantakan di koper
satunya. Foto-foto yang sebelumnya memenuhi dinding kini dijejalkan
dalam kardus di atas meja. "Anda mau pergi?" tanya Harry.
"Eh,
yah, ya," kata Lockhart sambil menarik lepas poster dirinya yang
sebesar badannya dari balik pintu, dan mulai menggulungnya. "Panggilan
penting... tak bisa dihindari... harus pergi..."
"Bagaimana dengan adik saya?" tanya Ron tegun.
"Yah,
soal itu—sayang sekali," kata Lockhart, menghindari tatapan mereka
ketika dia menarik laci dan mulai memindahkan isinya ke dalam tas. "Tak
ada yang lebih menyesal dariku..."
"Anda guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam!" kata Harry.
"Anda tak bisa pergi sekarang! Tidak sementara Ilmu Hitam sedang berlangsung seru di sini!"
"Yah,
aku harus bilang... waktu aku menerima pekerjaan ini...," Lockhart
bergumam, sekarang menumpuk kaus kaki di atas jubah-jubahnya, "tak
disebut-sebut di rincian tugasku... tak kukira..."
"Maksud Anda, Anda melarikan diril" tanya Harry tak percaya. "Setelah semua yang Anda tulis dalam buku Anda?"
"Buku bisa menyesatkan!" kata Lockhart mengelak.
"Anda yang menulis semua buku itu!" teriak Harry.
"Nak,"
kata Lockhart, menegakkan diri dan mengernyit kepada Harry. "Gunakan
akal sehatmu. Buku-bukuku tidak akan selaris itu kalau orang tidak
beranggapan aku telah mengalami peristiwa-peristiwa itu. Tak ada yang
mau membaca tentang penyihir pria buruk dan tua dari Armenia, meskipun
dia memang menyelamatkan sebuah desa dari ancaman manusia serigala.
Tampang jeleknya tidak akan menarik dipajang di sampul depan. Cara
berpakaiannya sama sekali tak berselera. Dan penyihir wanita yang
mengusir Banshee Bandon berbibir sumbing. Maksudku, mana menarik sih..."
"Jadi Anda yang menerima pujian untuk begitu banyak hal yang dilakukan orang-orang lain?" kata Harry tak percaya.
"Harry,
Harry," kata Lockhart, menggelengkan kepala tak sabar, "tidak
sesederhana itu. Perlu kerja keras. Aku harus melacak orang-orang ini.
Menanyai mereka, bagaimana tepatnya mereka berhasil melakukan apa yang
mereka lakukan. Kemudian aku harus memantrai mereka dengan Jampi Memori,
supaya mereka tak ingat lagi pernah melakukan itu. Kalau ada satu hal
yang kubanggakan, Jampi Memori-ku itulah. Tidak gampang, Harry, perlu
banyak kerja keras. Tidak sekadar menandatangani buku dan ber-foto untuk
publisitas, tahu. Kalau ingin terkenal, kau harus siap kerja keras
lama."
Dia menutup keras kedua kopernya dan menguncinya.
"Coba kulihat," katanya. "Kurasa sudah semuanya. Ya. Hanya tinggal satu hal."
Dia menarik keluar tongkatnya dan berbalik menghadapi mereka.
"Maaf
sekali, anak-anak, tetapi aku harus memantrai kalian dengan Jampi
Memori sekarang. Tak bisa kubiarkan kalian menyebarkan rahasiaku ke
mana-mana. Nanti aku tak bisa jual buku lagi..."
Harry
mencabut tongkatnya tepat waktu. Lockhart baru mengangkat tongkatnya,
ketika Harry berseru, "Expelliarmusl" Lockhart terpental ke belakang,
jatuh di atas kopernya. Tongkatnya terbang tinggi ke udara. Ron
menangkapnya dan melemparnya ke luar jendela.
"Mestinya
Profesor Snape jangan diizinkan mengajari kami mantra itu/7 kata Harry
berang, menendang koper Lockhart ke pinggir. Lockhart memandangnya,
sekali lagi lemas. Harry masih mengacungkan tongkatnya kepadanya.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Lockhart lemah. "Aku tak tahu di mana Kamar Rahasia itu. Tak ada yang bisa kulakukan."
"Anda
beruntung," kata Harry, memaksa Lockhart berdiri dengan todongan
tongkat. "Kami rasa kami tahu di mana kamar itu. Dan apa yang ada di
dalamnya. Ayo berangkat."
Mereka
menggiring Lockhart keluar dari kantornya dan turun melewati tangga
terdekat, menyusuri koridor gelap yang di dindingnya terpampang
pesan-pesan berkilat, menuju pintu toilet Myrtle Merana.
Mereka menyuruh Lockhart masuk lebih dulu. Harry senang melihatnya gemetar.
Myrtle Merana sedang duduk di tangki air di bilik paling ujung.
"Oh, kau," katanya ketika melihat Harry. "Kau mau apa kali ini?"
"Mau tanya padamu bagaimana kau meninggal," kata Harry.
Seluruh penampilan Myrtle langsung berubah. Seakan dia amat tersanjung ditanyai seperti itu.
"Ooooh> sungguh mengerikan," katanya senang.
"Terjadinya
di sini ini. Aku meninggal dalam bilik ini. Aku masih ingat benar. Aku
sedang bersembunyi karena Olive Hornby mengolok-olok kacamataku.
Pintunya terkunci dan aku sedang menangis. Dan kemudian kudengar ada
yang masuk. Dia mengatakan sesuatu yang aneh. Bahasa lain, kupikir
begitu. Tetapi yang membuatku kaget, yang bicara anak laki- laki. Jadi
kubuka pintu, untuk menyuruhnya pergi dan menggunakan toiletnya sendiri,
dan kemudian...'7 Myrtle seakan menggelembung penting, wajahnya
bercahaya, "aku mati."
"Bagaimana?" tanya Harry.
"Entahlah,"
kata Myrtle dengan suara rendah. "Aku cuma ingat melihat sepasang mata
kuning besar. Seluruh tubuhku mendadak macet dan tiba-tiba saja aku
sudah melayang- layang..." Dia memandang Harry dengan pandangan
menerawang. "Dan kemudian aku kembali ke sini. Soalnya aku bertekad akan
menghantui Olive Hornby. Oh, dia menyesal sekali menertawakan
kacamataku."
"Di mana tepatnya kau melihat mata itu?" tanya Harry.
"Di sekitar situ," kata Myrtle, menunjuk ke arah wastafel di depan biliknya.
Harry dan Ron bergegas ke wastafel itu. Lockhart berdiri jauh-jauh dari mereka, wajahnya diliputi kengerian.
Kelihatannya
seperti wastafel biasa. Mereka memeriksanya senti demi senti,
luar-dalam, termasuk pipa di bawahnya. Dan kemudian Harry melihatnya:
ada gambar ular kecil mungil digoreskan pada sisi salah satu keran
tembaga.
"Keran itu tak pernah bisa dipakai," kata Myrtle ceria/
ketika Harry berusaha memutarnya.
"Harry," kata Ron, "katakan sesuatu. Dalam Parseltongue."
"Tapi...'
Harry berpikir keras. Dia baru dua kali bicara Parseltongue, dan saat
itu dia berhadapan dengan ular yang sebenarnya. Dia berkonsentrasi
menatap ukiran kecil mungil itu, berusaha membayangkan itu ular yang
sebenarnya.
"Buka," katanya.
Dia memandang Ron, yang menggeleng.
"Bukan Parseltongue," katanya.
Dia
kembali menatap ular itu, memaksa dirinya mempercayai ular itu hidup.
Jika Harry menggerakkan kepalanya, cahaya lilin membuat ular itu seakan
bergerak.
"Buka," katanya.
Hanya
saja bukan kata itu yang didengarnya. Desis aneh meluncur dari mulutnya
dan segera saja keran itu berkilau- kilau mengeluarkan cahaya putih
menyilaukan dan mulai berputar. Detik berikutnya, wastafelnya mulai
bergerak. Malah wastafel itu menghilang, meninggalkan pipa besar yang
menganga terbuka, cukup besar bagi orang dewasa untuk meluncur ke
dalamnya.
Harry mendengar Ron terpekik tertahan dan dia mendongak lagi. Harry sudah membulatkan tekad.
"Aku akan turun ke sana," katanya.
Dia
tak bisa tidak pergi, tidak sekarang setelah mereka menemukan jalan
masuk ke Kamar Rahasia. Tidak ketika ada kemungkinan, bahkan yang paling
kecil, paling samar, paling liar sekalipun, bahwa Ginny masih hidup.
"Aku juga," kata Ron. Hening sejenak.
"Yah,
kelihatannya kalian tidak memerlukan aku' kata Lockhart, senyumnya yang
biasa membayang. "Aku akan..." Tangannya menjangkau pegangan pintu,
tetapi baik Ron maupun Harry mengacungkan tongkat mereka ke arahnya.
"Anda boleh masuk duluan," gertak Ron.
Dengan wajah pucat dan tanpa tongkat, Lockhart mendekati lubang.
"Anak-anak," katanya, suaranya lemah, "anak-anak, apa gunanya?"
Harry menyodok punggung Lockhart dengan tongkatnya. Lockhart memasukkan kaki ke dalam lubang.
"Kurasa
tidak...," dia baru mau berkata, tetapi Ron mendorongnya, dan dia
meluncur lenyap dari pandangan. Harry segera mengikuti. Dia turun ke
dalam pipa, kemudian melepas pegangannya.
Rasanya
seperti meluncur di luncuran gelap, licin, tak berujung. Dia bisa
melihat pipa-pipa yang bercabang ke segala arah, tetapi tak satu pun
yang sebesar pipa yang diluncurinya. Pipa itu berbelit dan berbelok,
melandai curam ke bawah, dan Harry tahu dia sedang terjatuh ke bawah
sekolah jauh lebih dalam dari ruang bawah tanah. Di belakangnya, dia
bisa mendengar Ron, berdebum pelan di belokan-belokan.
Dan
kemudian, tepat ketika Harry mulai mencemaskan apa yang akan terjadi
kalau dia menghantam tanah, pipanya menjadi datar dan dia meluncur dari
ujungnya. Dengan bunyi gedebuk basah ia mendarat di lantai lembap
terowongan batu gelap. Terowongan itu cukup besar untuk berdiri di
dalamnya. Lockhart berdiri agak jauh di depannya, berlumur lendir dan
sepucat hantu. Harry minggir ketika Ron berdesing turun dari dalam pipa
itu.
"Pasti kita berkilo-kilo meter di bawah sekolah," kata Harry, suaranya bergaung di terowongan gelap itu.
"Di bawah danau, mungkin," kata Ron, menyipitkan mata, memandang ke dinding gelap berlendir.
Ketiganya berbalik untuk memandang kegelapan di depan mereka.
"Lumos!"
gumam Harry kepada tongkatnya, dan tongkat itu menyala lagi. "Ayo," dia
mengajak Ron dan Lockhart, dan mereka pun berangkat, langkah-langkah
mereka berkecipak keras di lantai yang basah.
Terowongan
itu amat gelap, sehingga mereka hanya bisa melihat jarak sangat pendek
di depan mereka. Bayang-bayang mereka di tembok yang basah tampak
mengerikan dalam cahaya tongkat.
"Ingat," Harry berkata pelan, ketika mereka berjalan maju hati-hati, "begitu ada gerakan, langsung tutup mata rapat- rapat...."
Tetapi
lorong itu sesunyi kuburan, dan bunyi mengejutkan yang pertama kali
mereka dengar adalah derak keras ketika Ron menginjak sesuatu yang
ternyata tengkorak tikus. Harry merendahkan tongkatnya untuk memeriksa
lantai dan melihat lantai itu dipenuhi tulang binatang-binatang kecil.
Berusaha keras tidak membayangkan bagaimana keadaan Ginny jika mereka
menemukannya, Harry memimpin, menikung di belokan gelap di terowongan
itu.
"Harry, ada sesuatu di depan sana...” kata Ron serak, mencengkeram bahu Harry.
Mereka
terpaku, memandang. Harry cuma bisa melihat garis sesuatu yang sangat
besar dan melengkung, tergeletak tepat di depan terowongan. Benda itu
tidak bergerak.
"Mungkin
dia tidur," Harry mendesah, menoleh kepada dua rekannya. Tangan
Lockhart menutupi matanya rapat-rapat. Harry berpaling kembali untuk
memandang benda itu, jantungnya berdegup begitu kencang sampai sakit
rasanya.
Sangat
perlahan, matanya menyipit serapat mungkin asal masih bisa melihat,
Harry mengendap-endap maju, tongkatnya terangkat tinggi.
Cahaya
tongkat menimpa kulit ular raksasa, hijau terang, beracun, tergeletak
melingkar dalam keadaan kosong di lantai di depan terowongan. Makhluk
yang melepas kulit itu paling sedikit panjangnya enam meter.
"Astaga!" kata Ron lemas.
Mendadak ada gerakan di belakang mereka. Lutut Gilderoy Lockhart tak kuat lagi menyangganya.
"Bangun," kata Ron tajam, mengacungkan tongkatnya ke arah Lockhart.
Lockhart bangkit—kemudian dia menerjang Ron, membuatnya jatuh terjengkang.
Harry
melompat maju, tetapi terlambat. Lockhart sudah menegakkan diri,
tongkat Ron di tangannya dan senyum gigi- berkilau kembali terpampang di
wajahnya.
"Petualangan berakhir di sini, anak-anak!" katanya.
"Aku
akan membawa sepotong kulit ini ke sekolah, memberitahu mereka aku
sudah tertambal menye tamatkan anak perempuan itu, dan kalian berdua
secara tragis menjadi gila melihat tubuh anak perempuan yang
tercabik-cabik itu. Ucapkan selamat tinggal pada ingatan kalian."
Dia mengangkat tongkat Ron yang ber-Spellotape tinggi di atas kepalanya dan berteriak, "Obliviatel"
Tongkat
meledak dengan kekuatan bom kecil. Harry melindungi kepala dengan kedua
lengannya dan berlari, tergelincir gulungan kulit ular, menghindar dari
potongan- potongan besar langit-langit terowongan yang bergemuruh
runtuh. Saat berikutnya, dia berdiri sendirian, menatap dinding kokoh
karang yang rusak.
"Ron!" dia berteriak. "Kau tak apa-apa? Ron!"
"Aku
di sini!" terdengar suara samar Ron dari balik dinding runtuhan karang.
"Aku baik-baik saja. Tapi si sinting ini tidak— dia kena ledakan
tongkat."
Terdengar bunyi "duk" dan jeritan keras "ow!" Kedengarannya Ron baru saja menendang tulang kering Lockhart.
"Bagaimana sekarang?" suara Ron terdengar putus asa.
"Kita tidak bisa menembusnya. Perlu waktu lama sekali..." Harry mendongak memandang langit-langit terowongan.
Retakan-retakan
besar telah bermunculan. Dia belum pernah mencoba memecahkan sesuatu
sebesar karang-karang ini dengan sihir, dan sekarang tampaknya bukan
saat yang baik untuk mencobanya— bagaimana kalau seluruh terowongan
malah runtuh?
Terdengar
lagi bunyi "duk" dan "ow!" dari balik dinding karang. Mereka
membuang-buang waktu. Ginny sudah berjam-jam berada di Kamar Rahasia.
Harry tahu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan.
"Tunggu di situ' teriaknya kepada Ron. "Jaga Lockhart. Aku akan jalan terus. Kalau aku tidak kembali dalam waktu satu jam..."
Kesunyian yang menyusul begitu sarat arti.
"Akan kucoba menggeser beberapa karang ini/' kata Ron, yang kedengarannya berusaha memantapkan suaranya.
"Supaya kau bisa—bisa lewat nanti. Dan, Harry..."
"Sampai nanti," kata Harry, berusaha menyuntikkan rasa percaya diri ke dalam suaranya yang bergetar.
Dan dia berjalan maju sendirian, melewati kulit ular raksasa.
Segera
saja bunyi samar-samar Ron yang berusaha keras menggeser karang tak
kedengaran lagi. Terowongan itu berbelok dan menikung berkali-kali.
Seluruh saraf di tubuh Harry menggelenyar tak nyaman. Dia ingin
terowongan berakhir, tetapi takut apa yang akan ditemukannya. Dan
kemudian, akhirnya, ketika dia merayap membelok di tikungan berikutnya,
dia melihat dinding kokoh di depannya. Di dinding itu terpahat dua ekor
ular yang saling berbelit, mata mereka dari zamrud besar berkilau.
Harry
mendekat, kerongkongannya terasa sangat kering. Tak perlu membayangkan
ular batu ini hidup, karena mata mereka, aneh sekali, sudah tampak
hidup.
Harry bisa menebak apa yang harus dilakukannya. Dia berdeham, dan mata zamrud itu kelihatannya berkedip.
"Buka," kata Harry, dalam desisan rendah.
Kedua
ular itu memisahkan diri. Ketika dinding membelah terbuka,
masing-masing bagian menggeser licin lalu lenyap, dan Harry, gemetar
dari kepala sampai ke kaki, berjalan masuk.
17. Pewaris Slytherin
HARRY
berdiri di ujung kamar sangat panjang berpenerangan remang-remang.
Pilar-pilar batu berbelit dengan lebih banyak ular pahatan menjulang
tinggi, menyangga langit-langit yang lenyap dalam kegelapan, memantulkan
bayang-bayang gelap panjang menembus cahaya suram kehijauan yang
memenuhi tempat itu.
Dengan
jantung berdegup sangat keras, Harry berdiri mendengarkan keheningan
yang menusuk. Mungkinkah si Basilisk bersembunyi di sudut remang-remang,
di balik pilar? Dan di manakah Ginny?
Dia
mengeluarkan tongkatnya dan bergerak maju di antara pilar-pilar ular.
Setiap langkah hati-hatinya dipantulkan menjadi gema keras oleh
dinding-dinding yang suram. Matanya dijaganya agar tetap menyipit, siap
dipejamkan kalau ada gerakan sekecil apa pun. Lubang-lubang mata ular
batu yang kosong rasanya mengikutinya. Lebih dari sekali, dengan hati
mencelos, Harry mengira salah satu di antaranya bergerak.
Kemudian,
ketika dia berhadapan dengan pasangan pilar terakhir, tampak patung
setinggi kamar itu menjulang, tegak berlatarkan dinding belakang.
Harry
harus menjulurkan leher untuk mendongak ke wajah raksasa di atas.
Kesannya antik dan seperti monyet, dengan jenggot panjang tipis yang
terjulur hampir sampai ke ujung jubah batunya. Di bawah jubah itu dua
kaki abu-abu yang luar biasa besar berdiri kokoh di lantai kamar yang
licin. Dan di antara dua kaki itu, terbaring menelungkup sosok kecil
berjubah hitam dengan rambut merah manyala.
"Ginny!"
Harry bergumam, melompat mendekatinya dan berlutut. "Ginny! Jangan
mati! Jangan mati dong!" Dilemparnya tongkatnya ke pinggir, diraihnya
bahu Ginny dan dibaliknya tubuhnya. Wajahnya seputih pualam, dan sama
dinginnya. Tetapi matanya terpejam, jadi dia tidak Membatu. Tetapi,
kalau begitu, tentunya dia...
"Ginny, bangunlah," Harry bergumam putus asa, mengguncang-guncangnya. Kepala Ginny terkulai lunglai dari kanan ke kiri.
"Dia tak akan bangun," terdengar suara pelan. Harry terlonjak kaget dan berputar pada lututnya.
Seorang
anak laki-laki jangkung berambut hitam sedang bersandar ke pilar yang
paling dekat, mengawasi. Tepi-tepi tubuhnya mengabur aneh, seakan Harry
memandangnya lewat jendela berkabut. Namun jelas sekali siapa dia.
"Tom—Tom Riddle?"
Riddle mengangguk, tanpa melepas pandangannya dari wajah Harry.
"Apa maksudmu, dia tak akan bangun?" kata Harry putus asa. "Dia tidak—dia tidak.,.?"
"Dia masih hidup," kata Riddle. "Tapi hanya sekadarnya."
Harry
terpaku memandang anak laki-laki itu. Tom Riddle bersekolah di Hogwarts
lima puluh tahun lalu, tetapi sekarang dia berdiri di situ, cahaya
berkabut bersinar di sekelilingnya, tak sehari pun lebih tua dari
usianya waktu itu, yakni enam belas tahun.
"Apakah kau hantu?" tanya Harry ragu-ragu.
"Memori," kata Riddle pelan. "Diawetkan dalam buku harian selama lima puluh tahun."
Riddle
menunjuk ke lantai dekat jari-jari kaki raksasa si patung. Di situ
menggeletak terbuka buku harian kecil hitam yang ditemukan Harry di
toilet Myrtle Merana. Sejenak dia heran, bagaimana buku itu bisa sampai
di situ—tetapi ada hal- hal lebih mendesak yang harus ditangani.
"Kau
harus membantuku, Tom," kata Harry, mengangkat kepala Ginny lagi. "Kita
harus keluar dari sini. Ada Basilisk... aku tak tahu dia ada di mana,
tetapi dia bisa datang setiap saat. Tolonglah aku..."
Riddle
tidak bergerak. Harry, bersimbah keringat, berhasil setengah mengangkat
Ginny dari lantai, dan membungkuk untuk memungut tongkatnya lagi.
Tetapi tongkatnya sudah tak ada.
"Apakah kau melihat...?"
Dia menengadah. Riddle masih mengawasinya— memilin tongkat Harry dengan jari-jarinya.
"Terima kasih/7 kata Harry, mengulurkan tangan meminta tongkatnya.
Senyum merekah di sudut-sudut bibir Riddle. Dia terus menatap Harry dengan santai memilin-milin tongkatnya.
''Dengar/' kata Harry mendesak, lututnya merosot terbebani berat Ginny, "kita harus pergi! Kalau Basilisk datang..."
"Dia tidak akan datang kalau tidak dipanggil," kata Riddle tenang.
Harry menurunkan kembali Ginny ke lantai, tak kuat lagi menggendongnya.
"Apa maksudmu?" katanya. "Sini, kembalikan tongkatku, siapa tahu aku nanti memerlukannya."
Senyum Riddle melebar.
"Kau tidak akan memerlukannya," katanya. Harry memandangnya heran.
"Apa maksudmu, aku tidak akan...?"
"Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan ini, Harry Potter," kata Riddle. "Menunggu kesempatan melihatmu. Bicara denganmu."
"Dengar," kata Harry, kehabisan kesabaran, "kurasa kau tidak paham. Kita berada di Kamar Rahasia. Kita bisa bicara nanti."
"Kita akan bicara sekarang," kata Riddle, masih tersenyum lebar, dan mengantongi tongkat Harry.
Harry terbelalak menatapnya. Ada hal sangat ganjil terjadi di sini.
"Bagaimana Ginny bisa jadi seperti ini?" tanyanya lambat- lambat.
"Nah, itu baru pertanyaan menarik," kata Riddle ramah.
"Dan
ceritanya panjang. Kurasa alasan sebenarnya Ginny Weasley seperti ini
adalah karena dia membuka hatinya dan menumpahkan semua rahasianya
kepada orang asing yang tidak kelihatan."
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Harry.
"Buku
harian," kata Riddle. "Buku harian/cw. Si kecil Ginny sudah
berbulan-bulan menulis dalam buku itu, mencurahkan kepadaku segala
kecemasan dan ketakutannya: bagaimana kakak-kakaknya menggodanya,
bagaimana dia masuk ke sekolah ini dengan jubah dan buku bekas. Dan
betapa...," mata Riddle berkilat-kilat, "...menurut perasaannya si Harry
Potter yang terkenal, hebat, dan baik hati itu tidak akan pernah
menyukainya..."
Selama berbicara, mata Riddle tidak pernah meninggalkan wajah Harry. Di dalam matanya tampak rasa lapar.
'"Membosankan
sekali harus mendengarkan masalah- masalah konyol anak perempuan
sebelas tahun," dia meneruskan. "Tetapi aku sabar. Aku membalas
tulisannya. Aku penuh simpati, aku baik hati. Ginny jadi sangat
menyayangiku. Tak seorang pun pernah mengerti aku seperti kau, Tom...
Aku senang sekali mendapat buku harian ini untuk curhat... Rasanya
seperti punya teman yang bisa kubawa- bawa di sakuku..."
Riddle tertawa, melengking, dingin, tawa yang tidak cocok untuknya. Tawanya membuat bulu kuduk Harry berdiri.
"Walaupun aku sendiri yang bilang, Harry, aku selalu bisa memikat orang-orang yang kuperlukan.
Jadi
Ginny mencurahkan jiwanya kepadaku, dan kebetulan memang jiwanyalah
yang kuinginkan. Aku semakin lama menjadi semakin kuat dengan melahap
ketakutannya yang paling dalam, rahasianya yang paling gelap. Aku
menjadi berkuasa, jauh lebih berkuasa daripada Miss Weasley kecil. Cukup
berkuasa untuk mulai «memberi makan Miss Weasley dengan beberapa
rahasiai, mulai menuangkan sedikit jiwaku ke dalam dirinya..."
"Apa maksudmu?" kata Harry, yang mulutnya sudah menjadi amat kering.
"Apakah
kau belum menebaknya, Harry Potter?" kata Riddle pelan. "Ginny Weasley
membuka Kamar Rahasia. Dia mencekik ayam-ayam jantan sekolah dan menulis
pesan- pesan ancaman di dinding. Dia melepas Ular Slytherin kepada
empat anak Darah-lumpur, dan kucing si Squib."
"Tidak," bisik Harry.
"Ya,"
kata Riddle kalem. "Tentu saja, awalnya dia tidak tahu apa yang
dilakukannya. Menggelikan sekali. Sayang kau tidak bisa melihat
tulisan-tulisan baru di buku hariannya... Jauh lebih menarik daripada
sebelumnya... Dear Tom" dia menirukan, mengawasi wajah Harry yang ngeri,
"kurasa aku kehilangan ingatanku. Ada bulu-bulu ayam jantan menempel di
jubah-jubahku dan aku tak tahu bagaimana bulu-bulu itu bisa ada di
situ. Dear Tom, aku tak bisa ingat apa yang kulakukan pada malam
Hallowe'en, tetapi ada kucing yang diserang, dan bagian depan jubahku
kena cipratan cat. Dear Tom, Percy berkali-kali berkata aku pucat dan
tidak seperti biasanya. Kurasa dia mencurigaiku... Hari ini ada serangan
lagi dan aku tidak tahu di mana aku saat itu. Tom, apa yang harus
kulakukan? Kurasa aku akan jadi gila... Kurasa akulah yang menyerang
orang-orang itu, Tom!"
Tangan Harry mengepal, kuku-kukunya menancap dalam ke telapak tangannya. -
"Butuh waktu lama sekali bagi si kecil Ginny yang bodoh untuk berhenti mempercayai buku hariannya/' kata Riddle.
"Tetapi
akhirnya dia menjadi curiga dan mencoba membuangnya. Dan saat itulah
kau masuk, Harry. Kau menemukan buku harian itu, dan aku tak bisa lebih
senang lagi. Dari begitu banyak orang yang bisa memungut buku harian
itu, kaulah orangnya, orang yang paling ingin kutemui..."
"Dan
kenapa kau ingin menemuiku?" kata Harry. Kemarahan menjalari seluruh
tubuhnya dan perlu usaha keras untuk membuat suaranya mantap.
"Yah,
begini, Ginny menceritakan padaku segalanya tentangmu, Harry," kata
Riddle. "Seluruh sejarahmu yang menakjubkan." Matanya menatap bekas luka
di dahi Harry, dan ekspresinya menjadi semakin lapar. "Aku sadar aku
harus tahu lebih banyak tentangmu, bertemu kau kalau bisa. Maka aku
memutuskan untuk menunjukkan padamu prestasiku yang terkenal,
penangkapan Hagrid si tolol berbadan besar, untuk mendapatkan
kepercayaanmu."
"Hagrid temanku," kata Harry, suaranya sekarang bergetar.
"Dan kau menjebaknya, kan? Kukira kau membuat kekeliruan, tetapi..."
Riddle memperdengarkan lagi tawanya yang melengking.
"Persoalannya
adalah memilih mempercayai katakataku atau kata-kata Hagrid, Harry.
Nah, bisa kaubayangkan, bagaimana tampaknya kejadian itu bagi si tua
Armando Dippet. Di satu pihak, Tom Riddle, anak miskin tetapi cemerlang,
yatim-piatu tetapi begitu pemberani, Prefek sekolah, pelajar teladan;
di pihak lain Hagrid yang canggung bertubuh besar, setiap dua minggu
sekali bikin onar, mencoba membesarkan anak serigala di bawah tempat
tidurnya, menyelinap ke dalam Hutan Terlarang untuk bergulat dengan
troll. Tetapi kuakui, bahkan aku sendiri heran betapa mulusnya rencanaku
berjalan. Kukira pasti ada orang yang menyadari bahwa Hagrid tak
mungkin pewaris Slytherin. Aku perlu waktu lima tahun penuh untuk
mengetahui segala sesuatu tentang Kamar Rahasia dan menemukan jalan
masuknya... mana mungkin Hagrid punya otak untuk itu, atau untuk
kekuasaan!
"Hanya
guru Transfigurasi, Dumbledore", yang tampaknya beranggapan Hagrid
tidak bersalah. Dia membujuk Dippet untuk mempertahankan Hagrid dan
melatihnya menjadi pengawas binatang liar. Ya, kurasa Dumbledore mungkin
sudah menebak. Dumbledore tak pernah menyukaiku, tidak seperti
guru-guru lainnya..."
"Pasti Dumbledore tahu betul orang seperti apa kau," kata Harry, giginya mengertak.
"Yah,
dia memang mengawasiku dengan ketat sekali setelah Hagrid dikeluarkan,
sungguh menjengkelkan," kata Riddle seenaknya. "Aku tahu tak akan aman
membuka Kamar Rahasia lagi selama aku masih di sekolah. Tetapi aku tak
mau menyia-nyiakan tahuntahun panjang yang telah kuhabiskan untuk
mencari keterangan tentangnya. Kuputuskan untuk meninggalkan buku
harian, mengawetkan diriku yang berusia enam belas tahun di dalam
halaman-halamannya, sehingga pada suatu hari nanti, kalau mujur, aku
akan bisa membimbing orang lain mengikuti langkahku dan menyelesaikan
pekerjaan mulia Slytherin."
"Kau
belum menyelesaikannya," kata Harry penuh kemenangan. "Tak ada yang
meninggal kali ini, bahkan si kucing pun tidak. Beberapa jam lagi Cairan
Mandrake akan siap dan semua yang Membatu akan sembuh lagi."
"Bukankah
sudah kukatakan kepadamu," kata Riddle tenang, "bahwa membunuh
Darah-lumpur tak berarti lagi bagiku? Sudah beberapa bulan ini, target
baruku adalah— kau."
Harry terbeliak menatapnya.
"Bayangkan
betapa jengkelnya aku ketika kali berikutnya buku harianku dibuka,
Ginny-lah yang menulis kepadaku, bukan kau. Rupanya dia melihatmu
membawa buku harian itu, dan dia panik. Bagaimana kalau kau sampai tahu
cara kerjanya, dan aku membocorkan semua rahasianya kepadamu? Bagaimana
kalau, lebih buruk lagi, kuberitahu kau siapa yang mencekiki ayam-ayam
jantan itu? Jadi, anak bodoh itu menunggu sampai kamarmu kosong dan
mencurinya. Tetapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Jelas bagiku kau
sedang mengikuti jejak pewaris Slytherin. Dari semua yang telah
diceritakan Ginny kepadaku, aku tahu kau bersedia melakukan apa saja
untuk memecahkan misteri ini—apalagi kalau salah sal u korbannya adalah
sahabatmu. Dan Ginny memberitahuku bahwa seluruh sekolah geger karena
kau bisa bicara Parseltongue...
"Jadi
kusuruh Ginny menulis pesan terakhirnya di dinding dan kubawa ke bawah
sini untuk menunggu. Dia memberontak dan menangis dan menjadi sangat
membosankan. Tetapi tak banyak lagi kehidupan di dalam dirinya. Dia
sudah menuangkan terlalu banyak ke dalam buku harian, ke dalam diriku.
Cukup untuk membuatku meninggalkan halaman-halaman buku harian itu
akhirnya. Aku sudah menunggu kemunculanmu sejak kami tiba di sini. Aku
tahu kau akan datang. Aku punya banyak pertanyaan untukmu, Harry
Potter."
"Apa misalnya?" sembur Harry, tangannya tetap terkepal.
"Yah,"
kata Riddle, tersenyum menyenangkan, "bagaimana bayi tanpa bakat sihir
istimewa bisa berhasil mengalahkan penyihir terhebat sepanjang zaman?
Bagaimana kau bisa selamat hanya dengan bekas luka, sementara kekuatan
Lord Voldemort hancur?"
Ada kilat merah aneh di mata Riddle yang kelaparan.
"Apa pedulimu bagaimana aku bisa selamat?" kata Harry lambat-lambat. "Voldemort muncul sesudah zamanmu."
"Voldemort," kata Riddle pelan, "adalah masa lalu, masa kini, dan masa depanku, Harry Potter..."
Dia menarik keluar tongkat Harry dari dalam sakunya dan mulai mencoretkannya di udara, menulis tiga kata yang berpendar-pendar:
TOM MARVOLLO RIDDLE Kemudian dilambaikannya tongkat itu sekali, dan huruf- huruf namanya berubah susunan:
I
AM LORD VOLDEMORT Aku Lord Voldemort "Kaulihat?" bisik Riddle. "Itu
nama yang sudah kupakai waktu aku di Hogwarts, yang hanya kuberitahukan
kepada teman-temanku yang paling akrab, tentu. Kaupikir aku akan
menggunakan nama Muggle ayahku yang kotor selamanya? Di dalam tubuhku
mengalir darah Salazar Slytherin sendiri, dari pihak ibuku. Kaupikir aku
mau mempertahankan nama Muggle biasa yang jahat, yang meninggalkanku
bahkan sebelum aku lahir hanya karena dia tahu istrinya penyihir? Tidak,
Harry, kuciptakan nama baru untukku, nama yang aku tahu semua penyihir
di mana pun suatu hari nanti tak akan berani menyebutnya, kalau aku
sudah menjadi penyihir paling hebat di dunia!"
Otak
Harry kelihatannya macet. Dia menatap tercengang pada Riddle, si anak
yatim-piatu yang setelah dewasa membunuh orangtua Harry, dan begitu
banyak orang lain... Akhirnya dia memaksa diri bicara.
"Kau bukan," katanya, suaranya yang tenang penuh kebencian.
"Bukan apa?" bentak Riddle.
"Bukan
penyihir paling hebat di dunia," kata Harry, bernapas cepat. "Maaf
mengecewakanmu, tetapi penyihir paling hebat di dunia adalah Albus
Dumbledore. Semua bilang begitu. Bahkan ketika kau masih kuat, kau tidak
berani mencoba mengambil alih Hogwarts. Dumbledore tahu betul orang
seperti apa kau sewaktu kau masih di sekolah, dan dia masih membuatmu
takut sekarang, di mana pun kau bersembunyi hari-hari ini."
Senyum telah lenyap dari wajah Riddle, digantikan oleh tampang yang sangat jelek.
"Dumbledore telah terusir dari kastil ini hanya karena kenangan akan diriku!" dia mendesis.
"Dia tidak sepenuhnya pergi seperti yang kaukira!" balas Harry. Dia ngomong asal saja, ingin menakut-nakuti Riddle.
Dia sendiri berharap apa yang dikatakannya benar-benar terjadi.
Riddle membuka mulut, tetapi lalu terpaku.
Terdengar
suara musik entah dari mana. Riddle berpaling untuk memandang kamar
yang kosong. Musik terdengar semakin keras, menimbulkan perasaan ngeri,
seram, tak wajar. Musik itu membuat rambut di kepala Harry berdiri dan
menyebabkan hatinya membengkak dua kali lipat besarnya. Kemudian, ketika
musik itu mencapai ketinggian tertentu sehingga Harry bisa merasakannya
bergetar di dalam tulang- tulang rusuknya, tiba-tiba berkobar nyala api
di puncak salah satu pilar.
Seekor
burung merah sebesar angsa muncul, menyerukan musiknya yang aneh ke
langit-langit yang berbentuk kubah. Burung itu memiliki ekor keemasan
bercahaya di ekornya yang sepanjang ekor burung merak. Dan cakarnya yang
keemasan berkilat-kilat, mencengkeram gumpalan kain kumal.
Sedetik
kemudian, burung itu terbang lurus ke arah Harry. Dia menjatuhkan kain
kumal dalam cengkeramannya ke kaki Harry, kemudian mendarat di bahunya.
Ketika dia melipat sayapnya yang besar, Harry mendongak dan melihat
paruhnya yang panjang, tajam keemasan, dan matanya yang seperti
manik-manik.
Burung itu berhenti bernyanyi. Dia berdiri diam dan hangat di sisi pipi Harry, menatap tajam Riddle.
"Itu phoenix..." kata Riddle, balas memandangnya dengan galak.
"Fawkes?" desah Harry, dan dia merasa cakar keemasan si burung meremas bahunya dengan lembut.
"Dan itu...," kata Riddle, sekarang mengawasi kain kumal yang dijatuhkan Fawkes, "itu Topi Seleksi tua milik sekolah."
Memang betul. Bertambal, berjumbai, dan kotor, topi itu tergeletak tak bergerak di kaki Harry.
Riddle
mulai tertawa lagi. Dia terbahak-bahak begitu keras sehingga seluruh
kamar dipenuhi suara tawanya, seakan sepuluh Riddle terbahak bersamaan.
"Inilah
yang dikirimkan Dumbledore kepada pembelanya! Burung penyanyi dan topi
tua! Kau merasa berani, Harry Potter? Kau merasa aman sekarang?"
Harry
tidak menjawab. Dia mungkin tidak tahu apa gunanya Fawkes ataupun si
Topi Seleksi, tetapi dia tak lagi sendirian, dan dia menunggu Riddle
berhenti tertawa dengan keberanian yang semakin meningkat.
"Kembali
ke persoalan kita, Harry," kata Riddle, masih tersenyum lebar. "Dua
kali—di masa lalumu, di masa depanku—kita sudah bertemu. Dan dua kali
aku gagal membunuhmu. Bagaimana kau bisa selamat? Ceritakan padaku
semuanya. Makin lama kau bicara," dia menambahkan pelan, "makin lama kau
hidup."
Harry
berpikir cepat, menimbang-nimbang kemungkinannya. Riddle memiliki
tongkatnya. Dia, Harry, memiliki Fawkes dan si Topi Seleksi. Tak satu
pun dari keduanya bisa banyak membantu dalam duel. Kelihatannya memang
buruk. Tetapi semakin lama Riddle berdiri di sana, semakin berkurang
kehidupan di dalam tubuh Ginny... dan sementara itu, Harry tiba-tiba
menyadari, garis bentuk Riddle menjadi semakin nyata, semakin tegas.
Kalau memang dia dan Riddle harus berduel, lebih cepat lebih baik.
"Tak
ada yang tahu kenapa kau kehilangan kekuatanmu ketika kau menyerangku,"
Harry berkata mendadak. "Aku sendiri juga tak tahu. Tetapi aku tahu
kenapa kau tak bisa membunuhku. Karena ibuku meninggal demi
menyelamatkanku. Ibuku yang kelahiran-Muggle biasa," dia menambahkan,
gemetar menahan marah. "Dia mencegahmu membunuhku. Dan aku sudah melihat
dirimu yang sebenarnya. Aku melihatmu tahun lalu. Kau hancur-hancuran.
Kau nyaris tidak hidup. Itulah hasilnya semua kekuasaanmu. Kau
menyembunyikan diri. Kau jelek, kau busuk!"
Wajah Riddle berkeriut. Kemudian dia memaksakan senyum mengerikan.
"Jadi,
ibumu meninggal karena menyelamatkanmu. Ya, itu mantra-penangkal yang
manjur. Aku bisa melihatnya sekarang—tak ada yang istimewa pada dirimu,
ternyata. Selama ini aku bertanya-tanya sendiri. Karena ada kemiripan-
kemiripan aneh di antara kita berdua, Harry Potter. Bahkan kau sendiri
pun tentunya telah menyadarinya. Kita berdua berdarah-campuran,
yatim-piatu, dibesarkan oleh Muggle. Mungkin hanya kita berdualah
Parselmouth yang pernah bersekolah di Hogwarts sejak Slytherin yang
Agung sendiri. Bahkan tampang kita berdua pun mirip... Tetapi, ternyata,
cuma keberuntungan sajalah yang menyelamatkanmu dariku. Cuma itu saja
yang ingin kuketahui."
Harry berdiri tegang, menunggu Riddle mengangkat tongkatnya. Tetapi senyum seram Riddle mengembang lagi.
"Nah,
Harry, aku akan memberi sedikit pelajaran bagimu. Ayo, kita adu
kekuatan. Lord Voldemort, pewaris Salazar Slytherin, dengan Harry Potter
yang terkenal ditambah senjata-senjata terbaik yang diberikan
Dumbledore kepadanya."
Riddle
melempar pandang geli ke arah Fawkes dan Topi Seleksi, kemudian
berjalan menjauh. Harry, ketakutan merayapi kakinya yang kebas, melihat
Riddle berhenti di antara pilar-pilar tinggi dan mendongak menatap wajah
batu Slytherin, jauh tinggi di atasnya dalam keremangan. Riddle membuka
mulutnya lebar-lebar dan mendesis—tetapi Harry mengerti apa yang
dikatakannya.m "Bicaralah padaku, Slytherin, yang terhebat dari Empat
Sekawan Hogwarts."
Harry berpaling^ untuk memandang patung itu. Fawkes berayun di bahunya.
Wajah
batu raksasa Slytherin bergerak. Lumpuh ketakutan, Harry melihat
mulutnya membuka, makin lama makin lebar, membentuk lubang hitam yang
besar sekali.
Dan ada sesuatu yang bergerak di dalam mulut patung itu. Sesuatu sedang merayap naik dari dalam tubuhnya.
Harry
mundur sampai membentur dinding kamar yang dingin, dan ketika
memejamkan mata rapat-rapat, dia merasakan sayap Fawkes menyapu pipinya
waktu burung itu melesat kabur. Harry ingin berteriak, "Jangan
tinggalkan aku!" Tapi kesempatan apa yang dimiliki phoenix jika
berhadapan dengan raja ular?
Sesuatu
yang luar biasa besar jatuh menimpa lantai batu kamar. Harry merasakan
lantai bergetar. Dia tahu apa yang sedang terjadi, dia bisa
merasakannya, nyaris bisa melihat si ular raksasa melepas gulungannya
dari mulut Slytherin. Kemudian dia mendengar suara desis Riddle, "Bunuh
dia."
Si
Basilisk bergerak ke arah Harry, dia bisa mendengar tubuhnya yang berat
menggeleser berat dan lambat di lantai berdebu. Dengan mata masih
terpejam rapat-rapat, Harry mulai berlari menyamping, tangannya terulur,
mencari jalan. Riddle tertawa....
Harry
terantuk sesuatu. Dia jatuh keras menimpa lantai batu dan mulutnya
berdarah. Si ular paling-paling tinggal satu meter darinya, dia bisa
mendengarnya datang.
Terdengar
bunyi ledakan keras^ persis di atasnya dan kemudian sesuatu yang berat
menghantam Harry keras sekali sampai dia terempas menabrak dinding.
Menunggu taring-
taring
menghunjam tubuhnya, dia mendengar desisan menggila, dan ada yang
membabi-buta memukul-mukul pilar. Harry tak tahan lagi. Dia membuka
matanya sedikit,
sekadar cukup untuk mengintip apa yang sedang terjadi.
Si
ular raksasa, berwarna hijau terang, berbisa, sebesar batang pohon ek,
telah mengangkat tubuhnya tinggi ke atas dan kepalanya yang tumpul
meliak-liuk bagai orang mabuk di antara pilar-pilar. Ketika Harry
gemetar, siap memejamkan mata kalau kepala itu menoleh, dia melihat apa
yang telah mengalihkan perhatian si ular.
Fawkes
beterbangan mengelilingi kepala si ular, dan si Basilisk
mengatup-ngatupkan moncongnya yang bertaring panjang dan pipih seperti
pedang, mau melahapnya.
Fawkes
menukik. Paruhnya yang panjang keemasan tenggelam menghilang dari
pandangan dan mendadak semburan darah hitam mengguyur lantai. Ekor si
ular membanting-banting, nyaris mengenai Harry, dan sebelum Harry sempat
memejamkan mata, dia menoleh. Harry memandang tepat ke wajahnya dan
melihat bahwa matanya, kedua matanya yang besar, kuning, bulat menonjol,
telah dilubangi si phoenix. Darah membanjir ke lantai, dan si ular
menyembur-nyembur kesakitan.
"Jangan!"
Harry mendengar Riddle menjerit. "Tinggalkan burung itu! Tinggalkan
burung itu! Anak itu di belakangmu! Kau masih bisa membaurnya! Bunuh
dia!"
Si
ular yang sudah buta berayun, bingung, tapi masih membawa maut. Fawkes
mengitari kepalanya, menyerukan lagunya yang menyeramkan, mematuk-matuk
hidung si Basilisk yang bersisik, sementara darah mengucur terus dari
matanya yang hancur.
"Tolong aku, tolong aku," Harry bergumam panik, "siapa saja, entah siapa!"
Ekor si ular melecut lantai lagi. Harry menghindar. Sesuatu yang lunak mengenai wajahnya.
Si
Basilisk telah menyapu Topi Seleksi ke tangan Harry. Harry
menyambarnya. Tinggal itu yang dia punya, satu- satunya kesempatannya.
Dipakainya topi itu di kepalanya dan dilemparnya tubuhnya tiarap ke
lantai ketika ekor si Basilisk mengayun di atasnya lagi.
Tolong aku... tolong aku... Harry membatin, matanya terpejam rapat di bawah topinya. Tolonglah aku!
Tak ada suara yang menjawab. Alih-alih menjawab si topi mengerut, seakan ada tangan tak kelihatan yang meremasnya kuat-kuat.
Sesuatu
yang sangat keras dan berat jatuh berdebum di atas kepala Harry, nyaris
membuatnya pingsan. Bintang- bintang berkelap-kelip di depan matanya.
Harry mencengkeram ujung topi untuk menariknya lepas dan merasa ada
sesuatu yang panjang dan keras di bawahnya. Sebatang pedang perak
berkilat telah muncul di dalam topi, pegangannya bertabur batu-batu
mirah berkilauan sebesar telur.
"Bunuh anak itu. Jangan pedulikan burung itu! Anak itu di belakangmu! Kau bisa membaui dia!"
Harry
sudah berdiri, siap. Kepala si Basilisk mulai merendah, tubuhnya
bergulung, menghantam pilar-pilar ketika dia berputar untuk
menghadapinya. Harry bisa melihat rongga matanya yang besar berdarah,
melihat mulutnya yang menganga lebar, cukup lebar untuk menelannya
sekali lahap, dikitari taring sepanjang pedangnya, pipih,
berkilat-kilat, beracun....
Si
ular menerjang membabi-buta. Harry menghindar dan menabrak dinding
kamar. Ular itu menerjang lagi, dan lidahnya yang bercabang mengibas
mengenai sisi tubuh Harry. Harry mengangkat pedang dengan kedua
tangannya.
Si
Basilisk menerjang lagi, dan kali ini sasarannya tepat. Harry melempar
seluruh berat tubuhnya ke pedangnya dan menghunjamkannya ke
langit-langit mulut si ular sampai ke pangkalnya.
Tetapi
ketika darah mengguyur lengan Harry, dia merasakan kesakitan luar biasa
di atas sikunya. Sebuah taring panjang beracun terbenam makin lama
makin dalam di lengannya dan patah ketika si Basilisk terjungkal
menyamping, lalu jatuh menggeliat-geliat ke lantai.
Harry
menggelosor jatuh dari dinding. Dia mencengkeram taring yang
menyebarkan racun ke seluruh tubuhnya dan merenggutnya lepas dari
lengannya. Tetapi dia tahu sudah terlambat. Rasa sakit yang luar biasa
menyebar luas, pelan dan pasti, dari lukanya. Bahkan ketika dia
menjatuhkan taring itu dan menatap darahnya sendiri yang membasahi
jubahnya, pandangannya menjadi berkabut. Kamar itu mengabur dalam
pusaran warna samar.
Sekelebat warna merah melayang melewatinya dan Harry mendengar bunyi cakar yang mendarat pelan di sebelahnya.
"Fawkes”
kata Harry susah payah. "Kau luar biasa, Fawkes..." Dia merasa si
burung meletakkan kepalanya yang indah tepat di tempat taring si ular
menusuknya.
Dia bisa mendengar langkah-langkah kaki yang bergaung mendekat, dan kemudian bayang-bayang gelap bergerak di depannya.
"Mati kau, Harry Potter," terdengar suara Riddle di atasnya.
"Mati. Bahkan burung Dumbledore pun tahu. Kaulihat apa yang dilakukannya, Potter? Dia menangis."
Harry mengejapkan mata. Kepala Fawkes hilang-timbul. Air mata besar-besar bagai mutiara bergulir di bulunya yang berkilauan.
"Aku akan duduk di sini dan menontonmu mati, Harry Potter. Tenang-tenang saja, aku tidak buru-buru kok."
Harry merasa mengantuk. Segala sesuatu di sekitarnya rasanya berpusing.
"Jadi
beginilah akhir si Harry Potter yang terkenal," terdengar suara Riddle
yang rasanya dari kejauhan. "Sendirian di dalam Kamar Rahasia,
ditinggalkan oleh teman-temannya, dikalahkan akhirnya oleh Pangeran
Kegelapan yang dengan bodoh ditantangnya. Kau akan segera berkumpul
dengan ibu Darah-lumpurmu tersayang, Harry... Dia memberimu dua belas
tahun pinjaman... tetapi Lord Voldemort berhasil mengalah-kanmu
akhirnya, seperti yang kauketahui pasti akan terjadi'
Kalau ini kematian, pikir Harry, tidak terlalu buruk. Bahkan rasa sakitnya pun meninggalkannya....
Tetapi
apakah ini kematian? Alih-alih semuanya menjadi gelap, Kamar Rahasia
rasanya kembali jelas. Harry menggeleng pelan dan dilihatnya Fawkes,
masih membaringkan kepalanya di lengan Harry. Genangan air mata berkilau
bagai mutiara mengelilingi lukanya— hanya saja tak ada luka.
"Pergi, burung," kata Riddle tiba-tiba. "Jauh-jauh dari anak itu. Pergi, kataku!"
Harry
mengangkat kepalanya. Riddle mengacungkan tongkat Harry kepada Fawkes.
Terdengar letusan seperti senapan dan Fawkes melesat terbang lagi dalam
pusaran emas dan merah tua.
"Air mata phoenix..." kata Riddle perlahan, memandang lengan Harry. "Tentu saja... berkhasiat menyembuhkan... aku lupa...."
Dia
memandang wajah Harry. "Tetapi tak ada bedanya. Malah, aku lebih suka
begini. Hanya kau dan aku, Harry Potter... kau dan aku...."
Dia mengangkat tongkatnya.
Kemudian, dengan kepak keras sayapnya, Fawkes kembali melayang di atas dan ada yang terjatuh ke pangkuan Harry— buku harian.
Sesaat,
baik Harry maupun Riddle, dengan tongkat masih terangkat, memandang
buku harian itu. Kemudian, tanpa berpikir, tanpa pertimbangan, seakan
sudah sejak semula dia berniat melakukannya, Harry menyambar taring
Basilisk dari lantai di sebelahnya dan menghunjamkannya tepat ke jantung
buku.
Terdengar
jeritan panjang, mengerikan, tajam menusuk. Tinta menyembur dari buku
harian itu, deras sekali, mengguyur tangan Harry, membanjiri lantai.
Riddle menggeliat dan meliuk, menjerit dan menggapai-gapai, dan
kemudian...
Dia
telah pergi. Tongkat Harry terjatuh berdentang ke lantai dan kemudian
sunyi. Sunyi kecuali bunyi tes, tes, tes tinta yang masih terus mengalir
dari buku harian. Racun si Basilisk telah membakar dan meninggalkan
lubang berdesis di tengahnya.
Gemetar
sekujur tubuhnya, Harry bangkit dengan limbung. Kepalanya serasa
berputar, seakan dia baru saja bepergian berkilo-kilometer dengan bubuk
Floo. Perlahan, dipungutnya tongkat dan Topi Seleksi dan, dengan
sentakan keras, dicabutnya pedang yang berkilat-kilat dari langit-langit
mulut si Basilisk.
Kemudian
terdengar rintihan pelan dari ujung kamar. Ginny bergerak. Sementara
Harry bergegas mendekatinya, Ginny duduk. Matanya yang tercengang
bergerak dari sosok raksasa Basilisk yang telah mati, ke arah Harry
dengan jubahnya yang basah kuyup oleh darah, dan kemudian ke buku harian
di tangannya. Ginny bergidik, menghela napas dalam-dalam, dan air mata
mulai membanjiri wajahnya.
"Harry—oh,
Harry—aku berusaha memberitahumu waktu s- sarapan, tapi aku t-tak bisa
mengatakannya di depan Percy. Akulah pelakunya, Harry—tetapi aku— aku
b-bersumpah itu b- bukan mauku—R-Riddle memaksaku, dia m-membawaku ke
sini—dan—bagaimana kau membunuh makhluk i-itu? D-di mana Riddle? Yang
terakhir kuingat adalah dia keluar dari dalam buku hariannya..."
"Tak
apa-apa," kata Harry, mengangkat buku harian itu, dan menunjukkan
lubang taring kepada Ginny. "Riddle sudah tamat riwayatnya. Lihat! Dia
dan si Basilisk. Ayo, Ginny, kita keluar dari sini..."
"Aku
akan dikeluarkan!" Ginny tersedu, ketika Harry membantunya berdiri
dengan kikuk. "Aku sudah menunggu- nunggu kesempatan masuk Hogwarts
sejak B-Bill datang dan s-sekarang aku harus pergi dan—a-apa yang akan
dikatakan Mum dan Dad?"
Fawkes
menunggu mereka, melayang-layang di pintu masuk kamar. Harry mendorong
Ginny maju, mereka melangkahi gulungan bangkai Basilisk yang tak
bergerak, menembus keremangan, dan kembali ke terowongan. Harry
mendengar pintu-pintu batu menutup di belakang mereka dengan bunyi desis
pelan.
Setelah beberapa menit menelusuri terowongan gelap, telinga Harry menangkap bunyi karang digeser pelan di kejauhan.
"Ron!" teriak Harry, mempercepat langkahnya. "Ginny selamat! Dia bersamaku!"
Didengarnya
Ron bersorak tersekat. Mereka menikung di belokan berikutnya dan
melihat wajah Ron yang bersemangat melongok dari lubang cukup besar yang
telah berhasil dibuatnya di reruntuhan karang.
"Ginny!"
Ron menjulurkan tangan ke dalam lubang untuk menarik Ginny lebih dulu.
"Kau masih hidup! Aku tak percaya! Apa yang terjadi?"
Dia berusaha memeluk Ginny, tetapi Ginny mendorongnya, terisak-isak.
'Tetapi kau tak apa-apa, Ginny," kata Ron, tersenyum kepadanya. "Semuanya sudah berakhir, sudah—dari mana datangnya burung itu?"
Fawkes sudah menukik turun dan melewati lubang.
"Dia milik Dumbledore," kata Harry, menjejalkan diri untuk melewati lubang sempit itu.
"Dan bagaimana kau bisa punya pedang?" tanya Ron, tercengang melihat senjata berkilat-kilat di tangan Harry.
"Akan kujelaskan kalau kita sudah keluar dari sini," kata Harry, mengerling pada Ginny. "Tapi..."
"Nanti
saja," Harry berkata buru-buru. Menurutnya bukan ide bagus memberitahu
Ron sekarang siapa yang membuka Kamar Rahasia. Tidak di depan Ginny,
paling tidak. "Di mana Lockhart?"
"Di
belakang situ," kata Ron, nyengir dan mengedik-kan kepala ke ujung
lorong, ke arah pipa air. "Dia parah banget. Ayo, kita lihat."
Dipimpin Fawkes, yang sayap merah lebarnya mengeluarkan cahaya lembut keemasan di dalam kegelapan,
mereka berjalan kembali ke mulut pipa. Gilderoy Lockhart sedang duduk di sana, bersenandung tenang sendiri.
"Ingatannya
hilang," kata Ron. "Jampi Memori-nya berbalik menyerangnya sendiri, dan
bukan menyerang kita. Sama sekali tak ingat siapa dirinya, atau di mana
dia, atau siapa kita. Kusuruh dia ke sini dan menunggu di sini. Dia
berbahaya bagi dirinya sendiri."
Lockhart menatap mereka semua dengan ramah.
"Halo' katanya. "Tempat yang aneh, ya? Kalian tinggal di sini?"
"Tidak," kata Ron, mengangkat alis ke arah Harry.
Harry membungkuk lalu menengadah, memandang pipa panjang gelap itu.
"Sudahkah kaupikirkan bagaimana kita bisa kembali ke atas lewat pipa ini?" tanyanya kepada Ron.
Ron
menggelengkan kepala, tetapi Fawkes si phoenix telah menukik turun dan
sekarang melayang-layang di depan Harry, mata manik-maniknya cemerlang
di dalam kegelapan. Dia menggoyang-goyangkan bulu-bulu ekornya yang
panjang keemasan. Harry menatapnya ragu-ragu.
"Kelihatannya
dia ingin kau memegang...," kata Ron, kelihatan bingung. "Tetapi kau
terlalu berat bagi seekor burung untuk ditarik ke atas."
"Fawkes,"
ujar Harry, "bukan burung biasa." Dia cepat- cepat berbalik, menghadapi
teman-temannya. "Kita harus saling berpegangan. Ginny, pegang tangan
Ron. Profesor Lockhart..."
"Maksudnya Anda," kata Ron tajam kepada Lockhart.
"Anda memegang tangan Ginny yang satunya."
Harry
menyelipkan pedang dan Topi Seleksi ke ikat pinggangnya, Ron memegang
bagian belakang jubahnya, dan Harry mengulurkan tangan memegang bulu
ekor Fawkes yang anehnya terasa panas.
Rasa
ringan luar biasa terasa mengaliri sekujur tubuhnya dan saat
berikutnya, dengan bunyi berdesing, mereka terbang ke atas menembus
pipa. Harry bisa mendengar Lockhart yang bergantung di bawahnya berkata,
"Luar biasa! Luar biasa! Ini seperti sihir!" Udara dingin menerpa wajah
dan rambut Harry, dan belum puas dia menikmatinya, perjalanan itu sudah
berakhir—mereka berempat mendarat di lantai basah toilet Myrtle Merana.
Dan saat Lockhart meluruskan topinya, wastafel yang menyembunyikan pipa
air itu terpasang kembali ke tempatnya semula.
Myrtle terbelalak menatap mereka.
"Kau masih hidup," katanya bingung kepada Harry.
"Janganlah sebegitu kecewa," kata Harry suram sambil melap bercak darah dan lendir dari kacamatanya.
"Oh,
bukan begitu... aku sudah berpikir, kalau kau mati, dengan senang hati
kupersilakan kalau mau berbagi toilet denganku," kata Myrtle, wajahnya
merona perak.
"Urgh!"
kata Ron, ketika mereka meninggalkan toilet menuju koridor gelap dan
kosong di depannya. "Harry! Kurasa Myrtle naksir kau! Kau punya saingan,
Ginny!"
Tetapi air mata tetap bercucuran tanpa suara membanjiri wajah Ginny.
"Ke mana sekarang?" tanya Ron, cemas memandang Ginny. Harry menunjuk.
Fawkes
memimpin di depan, menebarkan cahaya keemasan di sepanjang koridor.
Mereka berjalan mengikutinya, dan beberapa saat kemudian, ternyata
mereka tiba di depan kantor Profesor McGonagall.
Harry mengetuk dan mendorong pintunya terbuka.
18. Pahala Untuk Dobby
SEJENAK
hening ketika Harry, Ron, Ginny, dan Lockhart berdiri di depan pintu,
berlumur kotoran dan lendir, dan (khusus Harry) darah. Kemudian
terdengar jeritan.
"Ginny!"
Jeritan
Mrs Weasley, yang semula duduk menangis di depan perapian. Dia melompat
bangun, diikuti oleh Mr Weasley, dan keduanya berlari memeluk anak
perempuan mereka.
Tetapi
Harry memandang melampaui mereka. Profesor Dumbledore berdiri di
sebelah perapian, wajahnya berseri-seri. Di sebelahnya, Profesor
McGonagall menghela napas dalam- dalam untuk menenangkan diri, tangannya
mencengkeram dadanya. Fawkes menderu melewati telinga Harry dan
mendarat di bahu Dumbledore, tepat ketika Harry dan Ron ditarik ke dalam
pelukan erat Mrs Weasley.
"Kau menyelamatkannya! Kau menyelamatkannya! Bagaimana caranya?"
"Kurasa kita semua ingin tahu," kata Profesor McGonagall lemas.
Mrs
Weasley melepaskan Harry. Harry ragu-ragu sejenak, kemudian dia
berjalan ke meja dan meletakkan Topi Seleksi, pedang bertatahkan batu
mirah, dan apa yang tersisa dari buku harian Riddle di atasnya.
Kemudian
dia mulai menceritakan segalanya kepada mereka. Selama hampir
seperempat jam dia bicara kepada pendengar yang hening, asyik menyimak.
Harry bercerita bahwa dia mendengar suara tanpa tubuh; bagaimana
Hermione akhirnya menyadari bahwa suara Basilisk di dalam pipalah yang
didengar Harry; bagaimana dia dan Ron mengikuti labah-labah ke dalam
hutan, bahwa Aragog memberitahu mereka di mana korban terakhir Basilisk
meninggal; bagaimana dia menerka bahwa Myrtle Merana-lah korbannya, dan
bahwa jalan masuk ke Kamar Rahasia mungkin berada di toiletnya....
"Bagus
sekali," Profesor McGonagall mendorongnya untuk melanjutkan, ketika
Harry berhenti, "jadi, kau menemukan di mana jalan masuknya—melanggar
seratus peraturan sekolah untuk sampai ke situ, kalau boleh
kutambahkan—tetapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari sana
hidup-hidup, Potter?"
Maka
Harry, suaranya sekarang sudah serak karena kebanyakan bicara,
menceritakan tentang kedatangan Fawkes yang tepat waktu dan tentang Topi
Seleksi yang memberinya pedang. Tetapi kemudian dia bimbang dan
berhenti. Sejauh ini dia berhasil menghindar menyebutkan buku harian
Riddle— ataupun Ginny. Ginny berdiri dengan kepala tersandar di bahu Mrs
Weasley, dan air mata masih terus bergulir tanpa suara di pipinya.
Bagaimana kalau dia dikeluarkan? pikir Harry panik. Buku harian Riddle
sudah tidak berfungsi... Bagaimana mereka bisa membuktikan Riddle-lah
yang memaksa Ginny melakukan semua itu?
Mengikuti nalurinya, Harry memandang Dumbledore, yang tersenyum samar, nyala api memantul dari kacamata bulan- separonya.
"Yang paling menarik bagiku' kata Dumbledore lembut,
"adalah
bagaimana Lord Voldemort berhasil memikat Ginny, sementara
sumber-sumberku mengatakan dia sedang bersembunyi di hutan-hutan
Albania."
Lega—kelegaan yang hangat, menyenangkan—menjalari sekujur tubuh Harry.
"A-apa tadi?" kata Mr Weasley kaget. "Kau-Tahu-Siapa? Me-memikat Ginny? Tapi Ginny tidak... Ginny belum... kan?"
"Gara-gara buku harian ini," kata Harry buru-buru, mengangkatnya dan menunjukkannya kepada Dumbledore.
"Riddle menulis di dalamnya waktu berusia enam belas tahun."
Dumbledore
mengambil buku harian dari tangan Harry dan memandang ingin tahu
melewati hidungnya yang panjang bengkok ke halaman-halamannya yang
terbakar dan basah.
"Brilian," katanya lirih. "Tentu saja, dia mungkin murid paling brilian yang pernah dipunyai Hogwarts."
Dia berpaling, menghadapi suami-istri Weasley, yang tampak amat bingung.
"Cuma
sedikit sekali yang tahu bahwa Lord Voldemort dulu bernama Tom Riddle.
Aku sendiri mengajarnya, lima puluh tahun yang lalu, di Hogwarts. Dia
menghilang setelah meninggalkan sekolah... berkelana ke tempat-tempat
jauh... terbenam begitu dalam di dunia Sihir Hitam, bergaul dengan yang
terburuk dari bangsa kita, .menjalani berbagai transformasi sihir yang
membahayakan, sehingga ketika dia muncul kembali sebagai Lord Voldemort,
dia nyaris tak dikenali lagi. Hampir tak ada yang menghubungkan Lord
Voldemort dengan anak pandai dan tampan yang dulu pernah menjadi Ketua
Murid di sini."
"Tetapi Ginny," kata Mrs Weasley, "apa hubungan Ginny kami dengan—dengan—dia?"
"B-buku hariannya!" Ginny tersedu. "A-aku menulis di dalamnya dan dia membalas sepanjang tahun..."
"Ginny!"
kata Mr Weasley kaget. "Apa tak ada yang kaupelajari dariku? Apa yang
selalu kukatakan kepadamu? Jangan pernah mempercayai apa saja yang bisa
berpikir sendiri kalau kau tidak bisa melihat di mana otaknya disimpan.
Kenapa buku harian itu tidak kautunjukkan kepadaku atau ibumu? Barang
mencurigakan seperti itu, kan sudah jelas penuh sihir hitam!"
"A-aku
tidak tahu," isak Ginny. "Aku menemukannya di dalam salah satu buku
yang dibelikan Mum. K-kupikir ada orang yang meninggalkannya di situ dan
kemudian lupa..."
"Miss
Weasley harus segera dibawa ke rumah sakit," Dumbledore menyela dengan
tegas. "Peristiwa ini merupakan cobaan berat baginya. Tak akan ada
hukuman. Penyihir-penyihir yang lebih tua dan bijaksana darinya telah
diperdayakan oleh Lord Voldemort." Dia melangkah ke pintu dan
membukanya. "Istirahat di tempat tidur dan mungkin minum secangkir besar
cokelat panas mengepul. Cokelat selalu membuatku gembira," dia
menambahkan, mengedip ramah kepada Ginny. "Temui Madam Pomfrey. Dia
belum tidur. Dia baru saja membagikan jus Mandrake—kukira korban-korban
Basilisk bisa segera bangun kapan saja."
"Jadi Hermione sembuh!" kata Ron senang.
"Tak ada kerusakan yang permanen," kata Dumbledore.
Mrs Weasley membawa Ginny keluar, dan Mr Weasley mengikuti, masih tampak sangat terguncang.
"Kau
tahu, Minerva," kata Profesor Dumbledore sambil berpikir-pikir kepada
Profesor McGonagall, "kurasa semua ini layak dirayakan dengan pesta
meriah. Boleh aku minta tolong kau untuk memberitahu dapur?"
"Baiklah," kata Profesor McGonagall singkat, ikut bergerak ke pintu. "Kupasrahkan penanganan Potter dan Weasley kepadamu, ya?"
"Tentu," kata Dumbledore.
Profesor
McGonagall pergi, dan Harry dan Ron menatap Dumbledore dengan bimbang.
Apa persisnya maksud Profesor McGonagall, penanganan mereka?
Tentunya—tentunya— mereka tidak akan dihukum, kan?
"Aku
masih ingat telah memberitahu kalian berdua bahwa aku terpaksa akan
mengeluarkan kalian kalau kalian melanggar peraturan sekolah lagi," kata
Dumbledore.
Ron membuka mulut, ngeri.
"Itu
menunjukkan bahwa yang terbaik dari kita pun kadang-kadang harus
menarik kembali kata-katanya," Dumbledore meneruskan, tersenyum. "Kalian
berdua akan menerima Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian kepada
Sekolah dan—coba kupikir—ya, kurasa masing-masing dua ratus angka untuk
Gryffindor."
Ron menjadi merah jambu secemerlang bunga-bunga Valentine Lockhart dan menutup mulutnya lagi.
"Tetapi
salah satu dari kita rupanya menyembunyikan perannya dalam petualangan
berbahaya ini," Dumbledore menambahkan. "Kenapa begitu rendah hati,
Gilderoy?"
Harry
tersentak kaget. Dia sama sekali lupa tentang Lockhart. Dia menoleh dan
melihat Lockhart berdiri di sudut ruangan, masih tersenyum tak jelas
Ketika Dumbledore menyapanya, Lockhart menoleh ke belakang untuk melihat
siapa yang diajak bicara Dumbledore.
"Profesor
Dumbledore," kata Ron buru-buru, "terjadi kecelakaan di Kamar Rahasia.
Profesor Lockhart "Aku profesor?" tanya Lockhart tercengang “Ya ampun,
aku pelupa benar, ya?"
"Dia
mau menyihir kami dengan Jampi Memori, tetapi tongkatnya malah berbalik
menyerang dia sendiri," Ron menjelaskan kepada Dumbledore,
"Astaga," kata Dumbledore, geleng-geleng, jenggot peraknya yang panjang bergetar. "Tertebas pedang sendiri, Gilderoy!"
"Pedang?" kata Lockhart tolol.
"Tak punya pedang. Anak itu yang punya." Dia menunjuk Harry. "Kau bisa pinjam dia."
"Maukah
kau membawa Profesor Lockhart ke rumah sakit juga?" Dumbledore berkata
kepada Ron. "Aku masih akan bicara beberapa patah kata dengan Harry...."
Lockhart berjalan santai keluar. Ron melempar pandang ingin tahu ke arah Dumbledore dan Harry sebelum dia menutup pintu.
Dumbledore menuju salah satu kursi di dekat perapian.
"Duduklah, Harry," katanya, dan Harry duduk, merasa gugup sekali.
"Pertama-tama, Harry, aku ingin berterima kasih kepadamu," kata Dumbledore, matanya berbinar-binar lagi.
"Kau
pastilah menunjukkan kesetiaan yang sungguh-sungguh kepadaku di dalam
Kamar Rahasia. Tak ada hal lain kecuali itu yang bisa memanggil Fawkes
kepadamu."
Dia
membelai si phoenix, yang sudah terbang turun dan hinggap di lututnya.
Harry nyengir salah tingkah ketika Dumbledore menatapnya.
"Jadi,
kau bertemu Tom Riddle," kata Dumbledore merenung. "Kubayangkan dia
pasti sangat tertarik padamu..." Mendadak sesuatu yang selama ini
mengganggu pikiran Harry tercetus dari mulutnya.
"Profesor Dumbledore... Riddle mengatakan saya mirip dia. Kemiripan yang aneh, katanya..."
"Ah, begitu, ya?" kata Dumbledore, memandang tajam Harry dari bawah alisnya yang tebal. "Don bagaimana menurutmu, Harry?"
"Saya
rasa saya tidak mirip dia!" kata Harry, lebih keras daripada yang
dimaksudkannya. "Maksud saya, saya—saya di Gryffindor, saya..."
Tetapi dia terdiam, keraguan yang selama ini menghantuinya, kini muncul kembali di benaknya.
"Profesor,"
katanya lagi setelah diam beberapa saat, "Topi Seleksi memberitahu saya
bahwa—bahwa saya akan berhasil dengan gemilang di Slytherin. Selama
beberapa waktu semua orang mengira saya pewaris Slytherin... karena saya
bisa bicara Parseltongue..."
"Kau
bisa bicara Parseltongue, Harry," kata Dumbledore tenang, "karena Lord
Voldemort—yang adalah keturunan terakhir Salazar Slytherin yang
tersisa—bisa bicara Parseltongue. Kecuali aku keliru, dia mentransfer
sebagian kekuasaannya kepadamu pada malam dia memberimu bekas luka itu.
Bukan sesuatu yang sebetulnya ingin dilakukannya, aku yakin..."
"Voldemort memasukkan sedikit dirinya ke dalam diri saya?" tanya Harry, tercengang. "Kelihatannya begitu."
"Jadi,
saya seharusnya di Slytherin," kata Harry, memandang Dumbledore dengan
tatapan putus asa. "Topi Seleksi bisa melihat kekuatan Slytherin di
dalam diri saya, dan dia..."
"Memasukkanmu ke Gryffindor' kata Mimbledore tenang.
"Dengarkan
aku, Harry. Kau kebetulan punya banyak kemampuan yang sang.il dihargai
Slytherin dalam murid-murid yang dipilihnya sendiri. Kemampuannya
sendiri yang sangat langka, Parseltongue... panjang akal... ketetapan
hati... kecenderungan mengabaikan peraturan," dia menambahkan, kumisnya
bergetar lagi. "Tetapi Topi Seleksi toh menempatkanmu di Gryffindor. Kau
tahu kenapa. Coba pikir."
"Topi itu menempatkan saya di Gryffindor," kata Harry pasrah, "hanya karena saya tak mau ditempatkan di Slytherin...."
"Tepat,"
kata Dumbledore, wajahnya berseri-seri lagi. "Itu yang membuatmu sangat
berbeda dengan Tom Riddle. Pilihan kitalah, Harry, yang menunjukkan
orang seperti apa sebenarnya kita, lebih dari kemampuan kita." Harry
duduk terpaku di kursinya, terpesona. "Kalau kau ingin bukti, Harry,
bahwa kau cocok untuk Gryffindor, kusarankan kau memeriksa ini dengan
teliti."
Dumbledore
menjangkau pedang perak berlumur darah di atas meja Profesor McGonagall
dan menyerahkannya kepada Harry. Dengan bingung Harry membaliknya,
batu-batu mirahnya menyala tertimpa cahaya api. Dan kemudian dia melihat
nama yang terukir tepat di bawah pangkalnya.
Godric Gryffindor.
"Hanya Gryffindor sejati yang bisa menarik keluar pedang itu dari dalam topi, Harry," kata Dumbledore sungguh- sungguh.
Selama
beberapa saat tak ada yang bicara. Kemudian Dumbledore menarik salah
satu laci meja Profesor McGonagall, dan mengeluarkan pena bulu dan
sebotol tinta.
"Yang
kauperlukan, Harry, adalah makanan dan tidur. Kusarankan kau turun dan
ikut pesta, sementara aku menulis ke Azkaban—kita memerlukan pengawas
binatang liar kita kembali ke sini. Dan aku harus menulis iklan untuk
Daily Prophet juga," dia menambahkan seraya berpikir-pikir. "Kita
memerlukan guru baru untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Astaga,
kelihatannya kita menghabiskan para guru itu, ya?"
Harry
bangkit dan menyeberangi ruangan menuju pintu. Baru saja dia mau meraih
pegangannya, pintu terbuka keras sekali, sehingga memantul balik dari
dinding.
Lucius
Malfoy berdiri di depan pintu, wajahnya murka. Gemetar ketakutan di
bawah lengannya, tampak Dobby yang terbungkus perban tebal.
"Selamat malam, Lucius," kata Dumbledore ramah.
Mr
Malfoy nyaris menabrak jatuh Harry ketika dia menerobos masuk. Dobby
bergegas menyusulnya. Dia mendekam di tepi jubah Mr Malfoy wajahnya
ketakutan dan terhina.
"Jadi!"
kata Lucius Malfoy, mata dinginnya terpancang pada Dumbledore "Kau
kembali Dewan sekolah menskorsmu, tetapi kau masih merasa pantas kembali
ke Hogwarts."
"Ah, begini, Lucius," kala Durnbledore tersenyum tulus,
"kesebelas
anggota dewan yang lain mengontak ku hari ini. Rasanya seperti
terperangkap dalam hujan salju burung hantu, jujur saja mereka mendengar
bahwa putri Arthur Weasley telah terbunuh dan menginginkan aku segera
kembali kesini mereka kelihatannya berpendapat aku orang yang paling
baik untuk posisi ini, ternyata. Mereka juga menyampaikan cerita-cerita
aneh kepadaku. Beberapa di antara mereka kelihatannya mengira kau telah
mengancam akan mengutuk keluarga mereka jika mereka tidak setuju
menskorsku."
Mr Malfoy menjadi lebih pucat dari biasanya, tetapi matanya masih tetap berupa goresan kemarahan.
"Jadi—apakah kau sudah berhasil menghentikan serangan- serangan itu?" cemoohnya. "Sudahkah kau tangkap pelakunya?"
"Sudah," kata Dumbledore, tersenyum.
"Nah?" kata Mr Malfoy tajam. "Siapa?"
"Orang
yang sama seperti sebelumnya, Lucius," kata Dumbledore. "Tetapi kali
ini Lord Voldemort bertindak lewat orang lain. Dengan perantaraan buku
harian ini."
Dumbledore
mengangkat buku hitam kecil dengan lubang besar di tengahnya, mengawasi
Mr Malfoy dengan tajam. Tetapi Harry mengawasi Dobby.
Peri-rumah
itu bersikap sangat aneh. Matanya yang besar menatap Harry penuh arti,
tak henti-hentinya dia menunjuk- nunjuk buku harian, kemudian Mr Malfoy,
dan kemudian memukul kepalanya keras-keras dengan tinjunya sendiri.
"Begitu...," kata Mr Malfoy lambat-lambat kepada Dumbledore.
"Rencana
yang hebat," kata Dumbledore dengan suara datar, masih menatap
lurus-lurus mata Mr Malfoy. "Karena jika Harry ini...," Mr Malfoy
sekilas melempar pandang tajam ke arah Harry, "dan temannya, Ron, tidak
menemukan buku ini, wah... Ginny Weasley mungkin saja yang harus
menanggung semua kesalahannya. Tak seorang pun akan bisa membuktikan dia
tidak bertindak atas kemauannya sendiri..."
Mr Malfoy tidak berkata apa-apa. Wajahnya mendadak kaku seperti topeng.
"Dan
bayangkan," Dumbledore melanjutkan, "apa yang akan terjadi kemudian...
Keluarga Weasley adalah salah satu dari keluarga berdarah-murni yang
paling terkemuka. Bayangkan dampaknya pada Arthur Weasley dan Undang-
Undang Perlindungan Muggle-nya, jika anak perempuannya sendiri ditemukan
menyerang dan membunuhi anak-anak kelahiran-Muggle. Untung sekali buku
harian ini ditemukan, dan kenangan Riddle dihapus darinya. Siapa yang
tahu apa konsekuensinya kalau tidak..." Mr Malfoy memaksa diri bicara.
"Untung
sekali," katanya kaku Dan masih saja, di belakang punggung Mr Malfoy,
Dobby menunjuk-nunjuk, mula-mula ke buku Harian kemudian ke Lucius
Malfoy, dan setelah itu meninju kepalanya sendiri.
Dan
Harry mendadak paham. Dia mengangguk kepada Dobby, dan Dobby mundur ke
sudut, sekarang memelintir telinganya sebagai hukuman.
"Tidakkah Anda ingin tahu bagaimana Ginny memperoleh buku harian itu, Mr Malfoy?" kata Harry.
Lucius Malfoy berpaling menghadapinya.
"Bagaimana aku bisa tahu bagaimana anak bodoh itu memperolehnya?" timpalnya.
"Karena
Anda yang memberikannya kepadanya," kata Harry. "Di Flourish and
Blotts. Anda mengambil buku Transfigurasi-nya yang sudah bekas-pakai,
dan menyelipkan buku harian itu ke dalamnya, kan?"
Harry melihat tangan putih Mr Malfoy mengepal dan membuka.
"Buktikan," dia mendesis.
"Oh,
tak ada yang bisa membuktikannya," kata Dumbledore, tersenyum kepada
Harry. "Tidak sekarang, setelah Riddle lenyap dari buku itu. Sebaliknya,
kusarankan kepadamu, Lucius, jangan lagi membagi-bagikan barang- barang
sekolah tua milik Voldemort. Kalau ada lagi barangnya yang jatuh ke
tangan tak bersalah, kurasa Arthur Weasley, salah satunya, akan
memastikan barang-barang itu dilacak sampai kepadamu...."
Sesaat
Lucius Malfoy berdiri diam, dan Harry dengan jelas melihat tangan
kanannya berkedut, seakan dia ingin sekali meraih tongkatnya. Tetapi
akhirnya dia menoleh kepada peri- rumahnya.
"Kita pulang, Dobby!"
Dia
membuka pintu dengan kasar dan si peri bergegas mendekatinya. Mr Malfoy
menendangnya keluar pintu. Mereka bisa mendengar Dobby menjerit-jerit
kesakitan sepanjang koridor. Sejenak Harry berdiri, berpikir keras.
Kemudian dia mendapat ide.
"Profesor Dumbledore," katanya buru-buru, "bolehkah saya mengembalikan buku harian itu kepada Mr Malfoy?"
"Tentu, Harry," kata Dumbledore tenang. "Tetapi bergegaslah. Pesta, ingat."
Harry
menyambar buku harian itu dan berlari meninggalkan kantor. Dia bisa
mendengar jerit kesakitan Dobby yang samar- samar ketika berbelok di
sudut Cepat-cepat, seraya dalam hati bertanya-tanya apakah rencananya
bisa berhasil, Harry melepas salah satu sepatunya, menarik kaus kakinya
yang kotor, berlendir, dan menjejalkan buku harian itu ke dalamnya.
Kemudian dia berlari sepanjang koridor yang gelap.
Dia berhasil mengejar mereka di puncak tangga.
"Mr Malfoy," katanya terengah, mengerem larinya dan berhenti di depan mereka, "saya membawa sesuatu untuk Anda."
Dan dijejalkannya kaus kaki bau itu ke tangan Lucius Malfoy.
"Apa ...?"
Mr Malfoy menarik lepas kaus kaki itu dari buku hariannya, melemparnya, memandang marah buku rusak itu sebelum menatap Harry.
"Kau
akan berakhir tragis seperti orangtuamu suatu hari nanti, Harry
Potter," katanya pelan “Mereka juga orang yang suka ikut campur'
Dia berbalik mau pergi.
"Ayo, Dobby. Ayo!"
Tetapi
Dobby tak bergerak dia memegangi kaus kaki Harry yang berlendir
menjijikkan dan memandangnya seakan kaus kaki harta tak ternilai.
"Tuan telah memberi Dobby kaus kaki “ kata si peri takjub.
"Tuan memberikannya kepada Dobby?”
"Apa?" gertak Mr Malfoy “Apa katamu?”
"Dobby mendapat kaus kaki," kata Dobby tak percaya.
"Tuan melemparnya dan Dobby menangkapnya, dan Dobby— Dobby bebas."
Lucius Malfoy berdiri terpaku, terbelalak menatap si peri. Kemudian dia menerjang Harry.
"Kau membuatku kehilangan pelayan, Nak!"
Tetapi Dobby berteriak, "Kau tak boleh melukai Harry Potter!"
Terdengar
letusan keras, dan Mr Malfoy terlempar ke belakang. Dia
berguling-guling, dan jatuh terpuruk di dasar tangga. Dia bangkit,
wajahnya penuh kemurkaan. Dia menarik keluar tongkatnya, tetapi Dobby
mengangkat jari panjangnya, mengancam.
"Kau
harus pergi sekarang," katanya galak, menunjuk ke bawah ke arah Mr
Malfoy. "Kau tak boleh menyentuh Harry Potter. Kau harus pergi
sekarang."
Lucius
Malfoy tak punya pilihan lain. Dengan pandangan membara ke arah mereka
berdua, dia menyampirkan mantelnya ke tubuhnya dan bergegas lenyap dari
pandangan.
"Harry
Potter membebaskan Dobby!" kata si peri nyaring, menatap Harry. Bulan
yang bersinar dan tampak dari jendela terdekat, terpantul dari matanya
yang menonjol. "Harry Potter membebaskan Dobby!"
"Cuma itulah yang bisa kulakukan, Dobby," kata Harry, nyengir. "Berjanjilah, jangan mencoba menyelamatkan hidupku lagi."
Wajah buruk si peri mendadak dihiasi senyum lebar yang memamerkan gigi-giginya.
"Aku cuma mau tanya satu hal, Dobby," kata Harry, ketika Dobby memakai kaus kaki Harry dengan tangan gemetar.
"Kau memberitahuku bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, ingat? Nah..."
"Itu
petunjuk, Sir," kata Dobby, matanya melebar seakan ini sudah jelas.
"Dobby memberi Harry Potter petunjuk. Pangeran Kegelapan, sebelum dia
mengubah namanya, namanya boleh disebut dengan bebas, kan?"
"Betul,"
kata Harry lemas. "Yah, aku lebih baik pergi sekarang. Ada pesta, dan
sahabatku, Hermione, mestinya sudah bangun sekarang..."
Dobby melingkarkan lengannya ke sekeliling pinggang Harry dan memeluknya.
"Harry Potter jauh lebih hebat daripada yang Dobby tahu!"
dia terisak. "Selamat tinggal, Harry Potter!"
Dan dengan bunyi lecutan keras, Dobby menghilang.
Harry
sudah beberapa kali ikut pesta di Hogwarts, tetapi belum pernah ada
yang seperti ini. Semua orang memakai piama dan perayaan berlangsung
semalam suntuk. Harry tak tahu apakah bagian paling menyenangkan adalah
ketika Hermione berlari ke arahnya, berteriak-teriak, "Kau
memecahkannya! Kau memecahkannya!" atau Justin bergegas datang dari meja
Hufflepuff untuk menjabat tangannya dan tak henti-hentinya meminta maaf
karena telah mencurigainya. Atau ketika Hagrid muncul pada pukul
setengah empat pagi, meremas bahu Harry dan Ron begitu keras sehingga
mereka terjungkal ke piring kue mereka, atau empat ratus angka yang
diperolehnya bersama Ron untuk Gryffindor yang menjamin Piala Asrama
tetap menjadi milik mereka selama dua tahun berturut-turut. Atau saat
Profesor McGonagall berdiri untuk menyampaikan kepada mereka bahwa semua
ujian dibatalkan sebagai hadiah dari sekolah ("Oh, tidak!" jerit
Hermione), atau Dumbledore yang mengumumkan bahwa, sayang sekali,
Profesor Lockhart tak akan bisa kembali pada tahun ajaran berikutnya,
karena dia perlu pergi untuk memperoleh kembali ingatannya. Cukup banyak
guru yang ikut bersorak bersama anak-anak menyambut pengumuman ini.
"Sayang," kata Ron sambil mengambil donat selai. "Aku mulai suka padanya."
Sisa
semester musim panas itu berlalu dalam kekaburan teriknya cahaya
matahari. Hogwarts sudah kembali normal, dengan hanya sedikit perbedaan.
Semua pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dibatalkan ("tapi kita
kan sudah banyak latihan," kata Ron kepada Hermione yang menggerutu) dan
Lucius Malfoy dipecat dari dewan sekolah. Draco tak lagi gagah-gagahan
berkeliaran ke sana kemari di sekolah seakan dia pemilik tempat itu. Dia
sekarang malah kelihatan marah dan mendongkol. Sebaliknya, Ginny
Weasley sudah gembira lagi.
Terlalu
cepat, tiba saatnya untuk pulang naik Hogwarts Express. Harry, Ron,
Hermione, Fred, George, dan Ginny mendapat satu kompartemen untuk
mereka. Mereka memanfaatkan betul jam-jam terakhir ketika mereka masih
diizinkan melakukan sihir sebelum liburan. Mereka bermain Jentikan
Meletup, menghabiskan sisa kembang api Filibuster milik Fred dan George,
dan berlatih melucuti senjata masing- masing dengan sihir. Harry sudah
mahir sekali melakukan trik ini.
Mereka sudah hampir tiba di King7s Cross ketika Harry ingat sesuatu.
"Ginny—apa yang kaulihat dilakukan Percy, dan Percy melarangmu bilang pada siapa-siapa?"
"Oh, itu," kata Ginny terkikik geli. "Percy punya pacar."
Fred menjatuhkan setumpuk buku ke kepala George.
"Apa?"
"Anak
Ravenclaw yang Prefek itu, Penelope Clearwater," kata Ginny. "Kepada
dialah Percy menulis sepanjang musim panas yang lalu. Dia kencan dengan
anak itu sembunyi- sembunyi di berbagai tempat di sekolah. Aku tak
sengaja masuk ke kelas tempat mereka sedang berciuman suatu hari. Percy
cemas sekali waktu Penelope—kalian tahu—diserang. Kalian tidak akan
meledeknya, kan?" Ginny menambahkan dengan cemas.
"Mimpi pun tidak," kata Fred, yang tampak gembira sekali, seakan ulang tahunnya dimajukan.
"Jelas tidak," kata George, terkekeh-kekeh.
Hogwarts Express memperlambat kecepatan dan. akhirnya berhenti.
Harry mengeluarkan pena bulu dan secarik per-kamen dan menoleh kepada Ron dan Hermione.
"Ini
namanya nomor telepon," dia memberitahu Ron, menuliskan nomor dua kali,
merobek perkamen-nya menjadi dua, dan memberikannya kepada mereka. "Aku
memberitahu ayahmu bagaimana caranya menggunakan telepon musim panas
yang lalu, dia akan tahu. Teleponlah aku di rumah keluarga Dursley, oke?
Aku tak akan tahan melewatkan dua bulan hanya bicara dengan Dudley..."
"Tapi
bibi dan pamanmu akan bangga, kan?" kata Hermione, sementara mereka
turun dari kereta api dan bergabung dengan kerumunan yang berdesakan
menuju palang rintangan yang tersihir. "Kalau mereka mendengar apa yang
kaulakukan tahun ini?"
"Bangga?"
kata Harry. "Kau gila? Dalam semua petualangan itu aku bisa mati, tapi
aku tidak mati juga? Mereka akan marah besar...."
Dan bersama-sama mereka melewati gerbang menuju ke dunia Muggle.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar