Harry Potter Dan Kamar Rahasia 1
Harry Potter And The Chamber Of Screts
J.K. Rowling
Harry Potter Dan Kamar Rahasia
1. Ulang Tahun Paling Buruk
BUKAN
untuk pertama kalinya pertengkaran meledak di meja makan rumah Privet
Drive nomor empat. Sebelumnya Mr Vernon Dursley telah terbangun
pagi-pagi buta oleh bunyi uhu-uhu keras dari kamar ke-ponakannya, Harry.
"Untuk ketiga kalinya minggu ini!" raungnya. "Kalau kau tidak bisa mengontrol burung hantu itu, dia harus pergi!"
Harry
mencoba, sekali lagi, untuk menjelaskan. "Dia bosan," katanya. "Dia
biasa beterbangan di luar. Kalau aku boleh melepasnya di malam hari..."
"Apa aku kelihatan bbdoh?" kata Paman Vernon geram, seserpih telur goreng bergantung pada kumis-nya yang lebat.
"Aku tahu apa yang akan terjadi kalau burung hantu itu dibiarkan lepas."
Dia bertukar pandang geram dengan istrinya, Petunia.
Harry
mencoba berargumentasi, tetapi kata-katanya tenggelam oleh sendawa
Dudley yang keras dan pan-jang. Dudley adalah anak Mr dan Mrs Dursley.
"Aku mau tambah daging asap."
"Masih banyak di wajan, Manis," jawab Bibi Petunia, matanya terharu menatap anak laki-lakinya yang supergemuk.
"Kami harus memberimu makan banyak-banyak selagi ada kesempatan... aku tak senang men-dengar tentang makanan di sekolahmu..."
"Omong
kosong, Petunia, aku tak pernah kelaparan waktu aku di Smeltings," kata
Paman Vernon mem-protes. "Dudley mendapat cukup makanan. Ya kan, Nak?"
Dudley, yang luar biasa gemuknya sampai pantatnya melimpah di kiri-kanan kursi dapur, menyeringai dan menoleh kepada Harry.
"Ambilkan wajannya."
"Kau lupa kata sihirnya," kata Harry jengkel.
Dampak
kalimat sederhana pada keluarga itu sung-guh luar biasa. Dudley
tersedak dan terjatuh dari kursinya keras sekali sampai menggetarkan
seluruh dapur. Mrs Dursley menjerit dan menutup mulutnya. Mr Dursley
melompat bangun, urat- urat berdenyutan di pelipisnya.
"Maksudku kata 'tolong'!" kata Harry cepat-cepat. "Aku tidak bermaksud..."
"BUKANKAH SUDAH KULARANG," gelegar pamannya dari seberang meja, "MENGUCAPKAN KATA 'S' ITU DI DALAM RUMAH KITA?"
"Tapi aku..."
"BERANI-BERANINYA KAU MENGANCAM DUDLEY!" raung Paman Vernon, menggebrak meja dengan tinjunya.
"Aku cuma..."
"KUPERINGATKAN KAU! AKU TAK MENGIZINKAN KEABNORMALANMU DISEBUT-SEBUT DI BAWAH ATAP RUMAH INI!"
Harry bergantian memandang wajah keunguan pamannya dan wajah pucat bibinya, yang sedang berusaha membantu Dudley bangun.
"Baiklah," kata Harry, "baiklah..."
Paman
Vernon duduk kembali, tersengal seperti ba-dak bercula satu yang
kehabisan napas. Dia memandang Harry lewat sudut matanya yang kecil
tajam.
Sejak
Harry pulang untuk liburan musim panas, Paman Vernon memperlakukannya
seperti bom yang bisa meledak setiap waktu, karena Harry bukan anak
biasa. Sebetulnya, dia memang sama sekali bukan anak biasa.
Harry
Potter adalah penyihir—penyihir yang baru melewatkan tahun pertamanya
di Sekolah Sihir Hogwarts. Dan jika keluarga Dursley tidak senang
menerimanya selama liburan, itu bukan apa-apa di-banding perasaan Harry.
Harry
merasa sangat rindu pada Hogwarts sehingga rasanya dia sakit perut
terus-menerus. Dia merindukan kastilnya, dengan lorong-lorong rahasia
dan hantu-hantunya, pelajaran-pelajarannya (walaupun mungkin tidak
merindukan Snape, guru pelajaran Ramuan-nya), surat-surat yang dibawa
oleh burung-burung hantu, makan bersama di Aula Besar, tidur di tempat
tidurnya di menara asrama, mengunjungi si pengawas binatang liar,
Hagrid, di pondoknya di dekat Hutan Terlarang, dan terutama Quidditch,
olahraga paling populer di dunia sihir (enam tiang gawang tinggi, empat
bola terbang, dan empat belas pemain di atas sapu terbang).
Semua
buku pelajaran Harry tongkat, jubah, kuali, dan sapu top Nimbus Dua
Ribu-nya dikunci di dalam lemari di bawah tangga oleh Paman Vernon
begitu Harry tiba di rumah. Apa pedulinya keluarga Dursley kalau Harry
kehilangan tempat di tim Quidditch asramanya karena dia tidak berlatih
selama musim panas? Apa urusannya bagi keluarga Dursley jika Harry
kembali ke sekolah tanpa mengerjakan PR-PR-nya? Keluarga Dursley
termasuk yang oleh para penyihir disebut Muggle (tak memiliki setetes
pun darah penyihir di nadi mereka) dan bagi mereka memiliki penyihir
dalam keluarga adalah aib yang sangat memalukan. Paman Vernon bahkan
telah meng-gembok burung hantu Harry, Hedwig, di dalam sangkarnya, untuk
mencegahnya membawa surat-surat kepada siapa pun di dunia sihir.
Tampilan
Harry sama sekali lain dari keluarganya. Paman Vernon gemuk dan tanpa
leher, dengan kumis hitam besar. Bibi Petunia kurus berwajah kuda.
Dudley berambut pirang, kulitnya agak merah jambu, jadi kesannya seperti
babi. Harry, sebaliknya, kecil dan kurus, dengan mata hijau cemerlang
dan rambut hitam pekat yang selalu berantakan. Dia memakai kacamata
bundar, dan di dahinya ada bekas luka berbentuk sambaran kilat.
Bekas
luka inilah yang membuat Harry istimewa, bahkan sebagai penyihir. Bekas
luka ini satu-satunya petunjuk akan masa lalu Harry yang misterius,
alasan kenapa dia ditinggalkan di depart pintu rumah keluarga Dursley
sebelas tahun yang lalu.
Pada
usia satu tahun, Harry, entah bagaimana ber-hasil selamat dari serangan
penyihir hitam jahat ter-hebat sepanjang zaman, Lord Voldemort, yang
nama-nya pun tak berani disebutkan oleh banyak penyihir. Orangtua Harry
tewas dalam serangan Voldemort, tetapi Harry selamat dengan bekas luka
sambaran kilatnya, dan—tak seorang pun tahu kenapa—kekuatan Voldemort
punah pada saat dia gagal mem-bunuh Harry.
Maka
Harry dibesarkan oleh kakak almarhum ibu-nya dan suaminya. Dia
melewatkan sepuluh tahun bersama keluarga Dursley, tak pernah memahami
kenapa dia tak putus-putus membuat hal-hal aneh terjadi walaupun dia tak
bermaksud melakukannya. Dia mempercayai cerita keluarga Dursley bahwa
bekas lukanya didapatnya dalam kecelakaan lalu lintas yang menewaskan
orangtuanya.
Dan
kemudian," tepatnya setahun yang lalu, Hogwarts menulis surat kepada
Harry, dan kisah yang sebenarnya pun terungkap. Harry bersekolah di
sekolah sihir. Di situ dia dan bekas lukanya terkenal... tetapi sekarang
tahun ajaran telah usai, dan dia kem-bali bersama keluarga Dursley
selama musim panas, kembali diperlakukan seperti anjing yang habis
ber-guling-guling di sampah bau.
Keluarga
Dursley bahkan tidak ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Harry
yang kedua belas. Tentu saja, harapannya tidak rnuluk-muluk, mereka
belum pernah memberinya hadiah yang layak, apalagi kue ulang tahun—tapi
kalau sama sekali melupakannya...
Saat
itu Paman Vernon berdeham dengan lagak sok penting dan berkata, "Nah,
seperti kita semua tahu, hari ihi hari yang sangat penting."
Harry mendongak, nyaris tak berani mempercayai-nya.
"Hari ini aku mungkin akan membuat transaksi terbesar dalam karierku," kata Paman Vernon.
Harry
kembali memakan roti panggangnya. Tentu saja, pikirnya getir, yang
sedang dibicarakan Paman Vernon adalah acara makan malam konyol itu.
Sudah dua minggu ini tak ada hal lain yang dibicarakannya. Ada pemborong
kaya dan istrinya yang akan datang untuk makan malam dan Paman Vernon
berharap mendapat pesanan besar darinya (perusahaan Paman Vernon
memproduksi bor).
"Kurasa
kita harus mengulang susunan acara kita sekali lagi," kata Paman
Vernon. "Kita semua harus siap di posisi masing-masing pukul delapan
nanti. Petunia, kau di...?"
"Di kamar tamu," kata Bibi Petunia segera, "siap menyambut kedatangan mereka di rumah kita dengan anggun."
"Bagus, bagus. Dan Dudley?"
"Aku siap membuka pintu." Dudley memasang se-nyum tolol. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason?"
"Mereka
akan menyukai Dudley!" seru Bibi Petunia terpesona. "Hebat, Dudley,"
kata Paman Vernon. Kemudian dia berpaling kepada Harry. "Dan kau?" "Aku
akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di
sana," kata Harry datar.
"Tepat,"
kata Paman Vernon menyebalkan. "Aku akan membawa mereka masuk,
memperkenalkan kau, Petunia, dan menuang minuman untuk mereka. Pukul
delapan seperempat..."
"Akan kuumumkan makan malam telah siap," kata Bibi Petunia.
"Dan Dudley, kau akan bilang..."
"Boleh
kuantar Anda ke ruang makan, Mrs Mason?" kata Dudley, menawarkan
lengannya yang gemuk pada wanita yang tak kelihatan. "Gentleman kecilku
yang sempurna," kata Bibi Petunia terharu.
"Dan kau?" kata Paman Vernon kejam kepada Harry.
"Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," kata Harry bosan.
"Persis. Sekarang, kita harus berusaha memberikan beberapa pujian selama makan malam. Petunia, ada ide?"
"Vernon bercerita Anda pemain golf yang hebat, Mr Mason... Gaun Anda indah sekali, di mana Anda membelinya, Mrs Mason...?"
"Sempurna... Dudley?"
"Bagaimana
kalau: 'Kami harus menulis karangan tentang pahlawan yang kami kagumi
di sekolah, Mr Mason, dan saya menulis tentang Anda.'"
Ini
sudah kelewatan, baik bagi Bibi Petunia maupun Harry, walaupun dengan
alasan berbeda. Bibi Petunia menangis saking terharunya dan memeluk
anaknya, sedangkan Harry membungkuk ke bawah meja, supaya mereka tidak
melihatnya tertawa.
"Dan
kau?" Harry berusaha membuat wajahnya serius ketika muncul dari bawah
meja. "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura
tidak ada di sana," katanya.
"Suami-istri
Mason sama sekali tak tahu-menahu tentang kau dan harus tetap begitu.
Setelah makan malam selesai, kaubawa Mrs Mason kembali ke ruang tamu
untuk minum kopi, Petunia, dan aku akan meng-arahkan pembicaraan ke bor.
Kalau beruntung, transaksi bisa kuselesaikan dan kontrak sudah
ditanda-tangani sebelum Berita Pukul Sepuluh Malam. Kita akan membeli
rumah berlibur di Majorca pada jam sekian besok malam."
Harry
tidak bisa ikut senang mendengar kabar ini. Menurut perasaannya, di
Majorca pun keluarga Dursley tidak akan lebih menyukainya daripada di
rumah ini.
"Baik—aku
berangkat ke kota untuk mengambil jas malam untukku dan Dudley. Dan
kau," gertaknya pada Harry, "jangan mengganggu bibimu sementara dia
membersihkan rumah."
Harry
keluar lewat pintu belakang. Cuaca amat cerah. Dia menyeberangi
halaman, mengenyakkan diri di bangku kebun dan bernyanyi pelan, "Happy
birthday to me... happy birthday to me..."
Tak
ada kartu, tak ada hadiah, dan dia akan me-lewatkan malam ini dengan
berpura-pura bahwa dia tak ada. Dia memandang sedih ke pagar tanaman.
Belum pernah dia merasa kesepian seperti itu. Lebih dari segalanya di
Hogwarts, bahkan lebih daripada bermain Quidditch, dia merindukan
sahabat-sahabat-nya. Ron Weasley dan Hermione Granger. Meskipun
demikian, mereka rupanya sama sekali tidak merindu-kannya. Tak seorang
pun dari mereka berdua menulis surat kepadanya musim panas ini, meskipun
Ron sudah mengatakan akan meminta Harry datang menginap di rumahnya.
Sudah
puluhan kali, Harry hampir membuka kan-dang Hedwig dengan sihir dan
mengirimnya kepada Ron dan Hermione dengan membawa surat, tetapi terlalu
besar risikonya. Penyihir yang masih di bawah umur tidak diperkenankan
menggunakan sihir di luar sekolah. Harry tidak memberitahukan aturan ini
kepada keluarga Dursley. Mereka takut Harry akan mengubah mereka
menjadi kumbang pupuk. Dan Harry tahu, rasa takut itulah yang mencegah
mereka mengunci dirinya di dalam lemari di bawah tangga, bersama tongkat
dan sapunya.
Selama
dua minggu pertama, Harry menikmati menggumamkan kata-kata omong kosong
dan melihat Dudley kabur dari ruangan secepat kaki gemuknya bisa
membawanya. Tetapi lama tak ada kabar dari Ron dan Hermione membuat
Harry merasa terkucil dari dunia sihir, sehingga bahkan mempermainkan
Dudley pun sudah tak menarik lagi—dan sekarang Ron dan Hermione telah
melupakan hari ulang tahunnya.
Dia
rela memberikan apa pun untuk mendapatkan kabar dari Hogwarts. Bahkan
kabar dari penyihir mana pun? Dia bahkan akan senang kalau bisa melihat
musuh besarnya, Draco Malfoy, sekadar meyakinkan bahwa segalanya bukan
hanya mimpi....
Bukan
berarti dia senang terus sepanjang waktu di Hogwarts. Di pengujung
semester terakhir mereka, Harry telah berhadapan dengan, tak lain dan
tak bukan, Lord Voldemort sendiri. Voldemort mungkin sudah bukan apa-apa
dibanding ketika berkuasa dulu, tetapi dia masih tetap mengerikan dan
licik, masih bertekad ingin berkuasa kembali. Harry berhasil lolos dari
cengkeraman Voldemort untuk kedua kalinya, tetapi nyaris saja. Bahkan
sekarang, setelah lewat be-berapa minggu, Harry masih terbangun di malam
hari, mandi keringat dingin, bertanya-tanya dalam hati di mana
Voldemort sekarang, teringat wajahnya yang pucat kelabu, matanya yang
liar....
Harry
mendadak duduk tegak di bangku kebun. Sejak tadi, sambil melamun, dia
memandang pagar tanaman—dan pagar itu balas memandangnya. Dua mata hijau
besar muncul di antara dedaunan.
Harry
melompat bangun tepat ketika terdengar suara ejekan dari seberang
kebun. "Aku tahu hari apa hari ini," Dudley menyanyi, berjalan berat ke
arahnya.
Mata besar itu berkedip lalu lenyap.
"Apa?"
tanya Harry, tanpa melepas pandangan dari tempat mata itu tadi berada.
"Aku tahu hari apa hari ini," ulang Dudley, tiba di belakang Harry.
"Bagus sekali," kata Harry. "Jadi akhirnya kauhafal nama- nama hari."
"Hari
ini hari ulang tahunmu," cemooh Dudley. "Kenapa kau tidak menerima satu
kartu pun? Apa kau tidak punya teman di tempat sinting itu?"
"Jangan
sampai ibumu dengar kau menyebut-nyebut sekolahku," kata Harry dingin.
Dudley menarik celananya yang melorot ke pantat-nya yang gemuk. "Kenapa
kau terus memandang pagar?" tanyanya curiga. "Aku sedang mencoba
memutuskan mantra apa yang paling baik untuk membakarnya," kata Harry.
Dudley langsung terhuyung mundur, wajahnya yang gemuk kelihatan panik.
"Tidak
b-boleh—Dad bilang kau tidak boleh me-menyihir— dia bilang dia akan
mengusirmu—dan kau tak punya tempat lain—kau tak punya teman yang bisa
menerimamu..."
"Jiggery pokery!" kata Harry tegas. "Hocus pocus... squiggly wiggly..."
"MUUUUUUM!" raung Dudley, yang tersandung kakinya"
sendiri dalam ketergesaannya berlari kembali ke rumah.
"MUUUUM! Dia melakukan yang tak boleh itu!"
Harry
harus membayar mahal untuk kesenangan sesaat itu. Karena baik Dudley
maupun pagarnya sama sekali tak bercacat, Bibi Petunia tahu dia tidak
betul-betul menyihir. Tetapi Harry tetap harus me-nunduk menghindar
ketika Bibi Petunia mengayunkan wajan bersabun ke kepalanya. Kemudian
Bibi Petunia menyuruhnya bekerja, dengan ancaman dia tidak akan diberi
makan sampai pekerjaannya selesai.
Sementara
Dudley bermalas-malasan menontonnya sambil makan es krim, Harry
membersihkan jendela, mencuci mobil, memotong rumput, merapikan
petak-petak bunga, menggunting dan menyirami mawar, dan mengecat ulang
bangku kebun. Matahari bersinar terik sekali, membakar tengkuknya. Harry
tahu dia seharusnya tidak terpancing ledekan Dudley, tetapi Dudley
mengatakan hal yang persis sedang Harry pikirkan... mungkin dia tak
punya teman di Hogwarts....
Sayang
sekali mereka tak bisa melihat Harry Potter sekarang, pikirnya jengkel,
sementara dia menebarkan pupuk kandang di kebun bunga. Punggungnya
sakit, keringat bercucuran di wajahnya.
Sudah pukul setengah delapan malam ketika akhir-nya, kelelahan, dia mendengar Bibi Petunia me-manggilnya.
"Masuk! Dan berjalan di atas koran!"
Harry
masuk dengan senang ke dapur yang mengilap. Di atas lemari es sudah
siap puding untuk malam ini, dihiasi seonggok krim dan violet berlapis
gula. Daging panggang sedang berdesis di dalam oven.
"Makan
cepat! Mr dan Mrs Mason sebentar lagi datang!" kata Bibi Petunia galak,
seraya menunjuk dua iris roti dan segumpal kecil keju di atas meja
dapur. Bibi Petunia sudah memakai gaun malam ber-warna merah jambu
salem.
Harry
mencuci tangan dan segera menghabiskan makan malamnya yang
rrtengenaskan. Begitu dia se-lesai, Bibi Petunia langsung menyingkirkan
piringnya. "Naik! Cepat!"
Ketika
melewati pintu ruang duduk, sekilas Harry melihat Paman Vernon dan
Dudley memakai jas dan dasi kupu-kupu. Baru saja dia tiba di atas
tangga, bel pintu berdering dan wajah marah Paman Vernon muncul di kaki
tangga.
"Ingat—suara sekecil apa pun...."
Harry
berjingkat menuju kamarnya, menyelinap ma-suk, menutup pintu, dan
berbalik untuk mengempas-kan diri ke atas tempat tidurnya.
Celakanya, sudah ada yang duduk di atas tempat tidurnya.
2. Peringatan Dobby
HARRY
berhasil tidak menjerit, tetapi nyaris saja. Makhluk kecil di tempat
tidur itu bertelinga lebar seperti kelelawar dan bermata hijau menonjol
sebesar bola tenis. Harry langsung tahu bahwa dialah yang pagi tadi
mengawasinya dari pagar tanaman.
Ketika mereka saling pandang, Harry mendengar suara Dudley dari ruang depan. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason?"
Makhluk
itu meluncur turun dari tempat tidur dan membungkuk rendah sekali
sehingga ujung hidungnya yang panjang dan kurus menyentuh karpet. Harry
memperhatikan makhluk itu memakai sesuatu yang kelihatannya seperti
sarung bantal usang, dengan robekan untuk lubang lengan dan kaki.
"Eh—halo," kata Harry gugup.
"Harry Potter!" kata makhluk itu, dengan suara melengking yang Harry yakin pasti terdengar sampai ke bawah tangga.
"Sudah lama Dobby ingin bertemu Anda, Sir... Sungguh kehormatan besar..."
"Te-terima
kasih," kata Harry merayap sepanjang dinding dan terenyak di kursinya,
di sebelah Hedwig, yang sedang tidur di dalam sangkarnya yang besar. Dia
ingin bertanya,
"Kau ini apa?" tetapi rasanya tidak sopan, maka sebagai gantinya dia bertanya, "Kau siapa?"
"Dobby, Sir. Cukup Dobby saja. Dobby si peri-rumah,"
jawab makhluk itu.
"Oh—begitu?"
kata Harry. "Eh—bukannya aku mengusir atau apa, tapi—ini bukan saat
yang baik bagiku untuk menerima peri-rumah di kamarku."
Tawa Bibi Petunia yang melengking dibuat-buat ter-dengar dari ruang tamu. Peri itu menunduk lesu.
"Bukannya aku tidak senang bertemu kau," kata Harry cepat-cepat, "tetapi, eh, apakah ada alasan khu-sus kenapa kau di sini?"
"Oh
ya, Sir," kata Dobby bersemangat. "Dobby da-tang untuk memberitahu
Anda, Sir... susah, Sir... enaknya Dobby mulai dari mana, ya..."
"Silakan duduk," kata Harry sopan, menunjuk tem-pat tidurnya.
Betapa kagetnya dia, air mata si peri langsung bercucuran—dia tersedu-sedu.
"S-silakan duduk!" dia meraung. "Belum pernah... sekali pun belum pernah..."
Harry mendengar suara-suara di bawah terhenti.
"Maaf," dia berbisik. "Aku tak bermaksud menghina-mu."
"Menghina Dobby!" si peri tersedak. "Belum pernah Dobby dipersilakan duduk oleh seorang penyihir— seakan kita sederajat..."
Harry,
berusaha berkata "Shh!" dan sekaligus kelihatan lega, mengantar Dobby
kembali ke tempat tidurnya. Dobby duduk di situ, cegukan, tampak seperti
boneka besar yang jelek sekali. Akhirnya dia berhasil menguasai diri.
Mata besarnya yang masih berair menatap Harry penuh pemujaan.
"Pasti kau belum banyak bertemu penyihir yang sopan,"
kata Harry, berusaha menghiburnya.
Dobby
menggeleng. Kemudian, mendadak saja, dia melompat dan mulai
membentur-benturkan kepalanya keras- keras ke jendela, seraya
berteriak-teriak, "Dobby jelek! Dobby jelek!"
"Jangan—kau kenapa?" desis Harry, melompat bangun dan menarik Dobby kembali ke tempat tidur.
Hedwig terbangun sambil memekik luar biasa keras dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan liar ke jeruji sangkarnya.
"Dobby
harus menghukum diri sendiri, Sir," kata si -peri yang matanya jadi
agak juling. "Dobby hampir saja menjelek- jelekkan keluarga Dobby,
Sir...."
"Keluargamu?"
"Keluarga
penyihir tempat Dobby mengabdi, Sir... Dobby kan peri-rumah—terikat
untuk mengabdi dan melayani satu rumah dan satu keluarga selamanya...."
"Apa mereka tahu kau di sini?" tanya Harry ingin tahu. Dobby bergidik.
"Oh,
tidak, Sir, tidak... Dobby nantinya harus meng-hukum diri dengan sangat
menyedihkan karena da-tang menemui Anda, Sir. Dobby harus menjepit
telinganya di pintu oven. Kalau sampai mereka tahu, Sir..."
"Tapi apa mereka tidak akan melihat kalau kau menjepit telingamu di pintu oven?"
"Dobby
meragukannya, Sir. Dobby selalu harus menghukum diri karena sesuatu,
Sir. Mereka membiar-kan saja Dobby begitu, Sir. Kadang-kadang mereka
malah mengingatkan Dobby untuk melakukan hu-kuman tambahan..."
"Tetapi kenapa kau tidak pergi saja? Maksudku, kabur?"
"Peri-rumah
harus dibebaskan, Sir. Dan keluarga itu tidak akan pernah membebaskan
Dobby... Dobby akan melayani keluarga itu sampai mati, Sir..."
Harry terbelalak.
"Dan
kukira keadaanku sudah parah sekali karena harus tinggal di sini
sebulan lagi," katanya. "Ceritamu membuat keluarga Dursley nyaris
manusiawi. Apakah ada yang bisa membantumu? Bisakah aku membantu-mu?"
Langsung saja Harry menyesal bicara begitu. Dobby tersedu-sedu lagi saking berterima kasihnya.
"Diamlah," bisik Harry panik, "diamlah. Kalau ke-luarga Dursley sampai dengar, kalau mereka tahu kau di sini..."
"Harry
Potter bertanya apakah dia bisa membantu Dobby... Dobby sudah mendengar
kehebatan Anda, Sir, tapi tentang kebaikan Anda, Dobby tak pernah
tahu..."
Harry,
yang wajahnya terasa panas, berkata, "Apa pun yang kaudengar tentang
kehebatanku adalah omong kosong besar. Aku bahkan bukan juara di antara
teman-teman seangkatanku. Juaranya Hermione, dia..."
Tetapi Harry mendadak berhenti, karena memikirkan Hermione terasa menyakitkan.
"Harry Potter rendah hati dan sederhana," kata Dobby penuh kekaguman, matanya yang seperti bola berbinar-binar.
"Harry Potter tidak menyebut-nyebut kemenangannya atas Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut."
"Voldemort?" kata Harry.
Dobby menutup telinga kelelawarnya dan menge-rang. "Ah, jangan sebut namanya, Sir! Jangan sebut namanya!"
"Sori,"
kata Harry cepat-cepat. "Aku tahu banyak orang tidak menyukainya.
Temanku Ron..." Dia berhenti lagi. Memikirkan Ron juga menyakit-kan.
Dobby membungkuk ke arah Harry, matanya se-besar lampu sorot.
"Dobby
mendengar cerita," katanya serak, "bahwa Harry Potter bertemu si
Pangeran Kegelapan itu untuk kedua kalinya, baru beberapa minggu lalu...
bahwa Harry Potter sekali lagi berhasil lolos."
Harry mengangguk dan mata Dobby mendadak berkilau oleh air mata.
"Ah,
Sir," isaknya, mengusap wajahnya dengan salah satu ujung sarung bantal
butut yang dipakainya. "Harry Potter sungguh gagah berani! Dia sudah
meng-hadapi banyak bahaya! Tetapi Dobby datang untuk melindungi Harry
Potter, untuk memperingatkannya, meskipun karena itu Dobby harus
menjepit telinganya di pintu oven nanti... Harry Potter tidak boleh
kembali ke Hogwarts."
Kesunyian
yang menyusul hanya dipecahkan oleh dentang- denting garpu dan pisau
dari bawah dan sayup-sayUp suara Paman Vernon di keja'uhan.
"A-apa?"
Harry tergagap. "Tapi aku harus kembali— sekolah mulai tanggal satu
September. Itu saja yang membuatku masih di sini. Kau tak tahu bagaimana
rasanya di sini. Aku tidak, termasuk salah satu dari mereka. Aku lebih
cocok di duniamu—di Hogwarts."
"Tidak,
tidak, tidak," lengking Dobby, menggeleng-gelengkan kepalanya
keras-keras sampai telinganya menampar-nampar. "Harry Potter harus
tinggal di tem-pat di mana dia aman. Dia terlalu hebat, terlalu baik,
sayang kalau kami sampai kehilangan dia. Kalau Harry Potter kembali ke
Hogwarts, nyawanya dalam bahaya."
"Kenapa?" tanya Harry kaget.
"Ada
rencana rahasia, Harry Potter. Rencana untuk membuat hal-hal yang
paling mengerikan terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts tahun ini," bisik
Dobby, menda-dak seluruh tubuhnya gemetaran. "Dobby sudah tahu selama
berbulan- bulan, Sir. Harry Potter tidak boleh membahayakan dirinya. Dia
terlalu penting, Sir!"
"Hal mengerikan apa?" tanya Harry segera. "Siapa yang merencanakannya?"
Dobby membuat suara tersedak aneh dan kemudian membentur-benturkan kepalanya dengan liar ke din-ding.
"Baiklah!"
seru Harry, menyambar lengan si peri untuk menghentikan perbuatannya.
"Kau tak bisa me-ngatakannya, aku mengerti. Tetapi kenapa kau
mem-peringatkan aku?" Pikiran tak enak mendadak melintas di benaknya.
"Tunggu— ini tidak ada hubungannya dengan Vol—sori—dengan Kau-
Tahu-Siapa, kan? Kau tinggal menggeleng atau mengangguk," cepat-cepat
Harry menambahkan ketika, dengan mengkha-watirkan, kepala Dobby sudah
mengarah lagi ke dinding.
Perlahan-lahan, Dobby menggelengkan kepala. "Bukan—
bukan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, Sir."
Tetapi
mata Dobby melebar dan dia kelihatannya mencoba memberi Harry petunjuk.
Meskipun demi-kian, Harry sama sekali tidak paham.
"Dia tidak punya adik laki-laki, kan?" Dobby menggeleng, matanya menjadi lebih lebar dari sebelumnya.
"Yah,
kalau begitu, aku tak bisa memikirkan siapa lagi yang punya kesempatan
untuk melakukan hal-hal mengerikan di Hogwarts," kata Harry. "Maksudku,
paling tidak di sana ada Dumbledore—kau tahu siapa Dumbledore, kan?"
Dobby menundukkan kepala.
"Albus
Dumbledore adalah kepala sekolah terhebat yang pernah dimiliki
Hogwarts. Dobby tahu itu, Sir. Dobby sudah mendengar kehebatan
Dumbledore me-nyaingi kehebatan Dia yang Namanya Tak Boleh Di-sebut pada
puncak kekuasaannya. Tetapi, Sir," suara Dobby merendah menjadi bisikan
mendesak, "ada kekuasaan-kekuasaan yang Dumbledore tidak... ke-kuasaan
yang penyihir baik tidak..."
Dan
sebelum Harry bisa mencegahnya, Dobby me-lompat turun dari tempat
tidur, menyambar lampu meja Harry dan mulai memukuli kepalanya dengan
jeritan-jeritan memekakkan telinga.
Di
bawah mendadak sunyi. Dua menit kemudian, dengan jantung berdegup liar,
Harry mendengar Paman Vernon masuk, seraya berkata, "Dudley pasti lupa
mematikan televisinya. Dasar ceroboh anak itu!"
"Cepat!
Masuk lemari pakaian!" desis Harry, men-dorong Dobby masuk, menutup
pintu lemari, dan melempar dirinya ke atas tempat tidur tepat ketika
pegangan pintu bergerak.
"Setan!
Kau-ini-ngapain-sih?" kata Paman Vernon dengan gigi mengertak, wajahnya
sangat dekat ke wajah Harry. "Kau baru saja membuat berantakan
leluconku tentang pemain golf Jepang... kalau bikin suara sekali lagi,
kau akan menyesal telah dilahir-kan!"
Paman Vernon meninggalkan kamar dengan mengentakkan kakinya. Gemetaran, Harry mengeluarkan Dobby dari lemari pakaian.
"Tahu,
kan, bagaimana di sini?" katanya. "Paham, kan, kenapa aku harus kembali
ke Hogwarts? Hogwarts satu- satunya tempat di mana aku punya— yah,
kupikir aku punya teman."
"Teman yang bahkan menulis surat pun tidak kepada Harry Potter?" kata Dobby licik.
"Kurasa mereka—tunggu," kata Harry, keningnya berkerut.
"Bagaimana kau tahu teman-temanku tidak menulis kepadaku?"
Dobby menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah.
"Harry Potter tidak boleh marah kepada Dobby— Dobby melakukannya demi kebaikan..."
"Apakah kau yang mengambil surat-suratku?"
"Dobby
membawanya, Sir," kata si peri. Dengan gesit ia menjauh dari jangkauan
Harry, lalu menarik keluar setumpuk tebal amplop dari dalam sarung
bantal yang dipakainya. Harry bisa mengenali tulisan Hermione yang rapi,
tulisan cakar ayam Ron yang berantakan, dan bahkan coretan yang
kelihatannya dikirim oleh si pengawas binatang liar Hogwarts, Hagrid.
Dobby menatap Harry dengan cemas.
"Harry
Potter tidak boleh marah... Dobby ber-harap... kalau Harry Potter
mengira teman-temannya melupakannya... Harry Potter mungkin tidak ingin
kembali ke sekolah, Sir..."
Harry tidak mendengarkan. Dia berusaha merebut surat- surat itu, tetapi Dobby melompat menjauh.
"Ini
akan diberikan kepada Harry Potter, Sir, kalau dia berjanji kepada
Dobby bahwa dia tidak akan kembali ke Hogwarts. Ah, Sir, ini bahaya yang
tak boleh Anda hadapi! Katakan Anda tidak akan kembali, Sir!"
"Tidak," kata Harry marah. "Kembalikan surat teman- temanku!"
"Kalau begitu Harry Potter tidak memberikan pilihan lain kepada Dobby," kata si peri sedih.
Sebelum Harry bisa bergerak, Dobby sudah melesat ke pintu kamar, membukanya—dan melompat turun.
Dengan
mulut kering, jantung berdegup kencang, Harry melompat mengejarnya,
berusaha tidak mem-buat suara. Dia melompati enam anak tangga terakhir,
mendarat seperti kucing di atas karpet, celinguk.in mencari Dobby. Dari
ruang makan didengarnya Paman Vernon berkata, "...ceritakan kepada
Petunia cerita lucu tentang tukang ledeng Amerika itu, Mr Mason, dia
sudah ingin sekali dengar..."
Harry berlari ke dapur dan hatinya mencelos.
Puding
mahakarya Bibi Petunia, gundukan krim dan gula itu, sekarang melayang
dekat langit-langit. Di atas lemari di sudut, Dobby meringkuk.
"Jangan,"
kata Harry serak. "Tolong, jangan... me-reka akan membunuhku..." "Harry
Potter harus bilang dia tidak akan kembali ke sekolah..."
"Dobby... tolong..."
"Katakan, Sir..."
"Tidak bisa!"
Dobby memandangnya sedih.
"Kalau begitu Dobby terpaksa melakukannya, Sir, untuk kebaikan Harry Potter sendiri."
Puding
itu terjatuh ke lantai dengan bunyi me-mekakkan. Krim memercik ke
jendela dan dinding, sementara piringnya pecah. Diiringi bunyi seperti
lecutan cemeti, Dobby menghilang.
Terdengar
jeritan dari ruang makan dan Paman Vernon berlari ke dapur, menemukan
Harry, berdiri kaku saking kagetnya—dari kepala sampai kaki belumur
puding Bibi Petunia.
Awalnya,
kelihatannya Paman Vernon akan bisa me-nutupi kejadian itn ("cuma
keponakan kami—sangat bingung— bertemu orang asing membuatnya cemas,
maka kami minta dia tinggal saja di atas..."). Paman Vernon meminta
suami-istri Mason yang shock kembali ke ruang makan. Lalu ia mengancam
akan menghajar Harry sampai nyawanya tinggal seujung rambut se-telah
tamunya pulang nanti. Diberinya Harry alat pel. Bibi Petunia mengambil
es krim dari lemari es dan Harry, masih gemetaran, mulai membersihkan
dapur.
Paman Vernon mungkin masih akan bisa me-nyelesaikan transaksinya—kalau bukan gara-gara si burung hantu.
Bibi
Petunia sedang mengedarkan kotak permen pedas untuk sehabis makan
.ketika seekor burung hantu serak melesat masuk lewat jendela ruang
ma-kan, menjatuhkan sepucuk surat ke atas kepala Mrs Mason, dan melesat
keluar lagi. Mrs Mason menjerit seakan melihat hantu dan berlari keluar
rumah, ber-teriak-teriak menuduh mereka gila. Sebelum bergegas menyusul
istrinya, Mr Mason masih sempat memberi-tahu keluarga Dursley bahwa
istrinya takut setengah mati pada segala macam burung dan bertanya
apakah begini cara mereka bergurau.
Harry
berdiri di dapur, mencengkeram gagang pel untuk menopangnya ketika
Paman Vernon men-dekatinya, matanya yang kecil berkilat licik.
"Baca ini!" desisnya galak, seraya mengacung-acung-kan surat yang dibawa burung hantu tadi. "Ayo— baca!"
Harry mengambilnya. Surat itu tidak berisi ucapan selamat ulang tahun.
Mr Potter yang terhormat,
Kami
baru saja menerima laporan mata-mata bahwa Mantra Melayang baru saja
digunakan di tempat tinggal Anda malam ini pada pukul sembilan lewat dua
belas menit.
Seperti
Anda ketahui, penyihir di bawah-umur tidak diperkenankan menggunakan
sihir di luar sekolah, dan jika Anda menggunakan sihir lagi, Anda bisa
dikeluar-kan dari sekolah (Dekrit Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di
Bawah-Umur, 1875, Paragraf C).
Kami
juga meminta Anda mengingat bahwa kegiatan sihir apa pun yang berisiko
menarik perhatian anggota komunitas non-sihir (Muggle) adalah
pelanggaran serius, sesuai peraturan ke-13 Konfederasi Internasional
Undang-undang Kerahasiaan Sihir.
Selamat menikmati liburan!
Hormat kami, Mafalda Hopkirk Departemen Penggunaan Sihir yang Tidak Pada Tempatnya Kementerian Sihir
Harry mendongak dari suratnya dan menelan ludah.
"Kau
tidak memberitahu kami kau tidak diizinkan menggunakan sihir di luar
sekolah," kata Paman Vernon, kilatan liar menari-nari di matanya.
"Lupa... tidak ingat sama sekali, pasti begitu alasanmu..."
Dia
menghadapi Harry seperti anjing buldog besar, dengan mulut menyeringai.
"Yah, aku punya kabar untukmu... aku akan mengurungmu... kau tak akan
pernah kembali ke sekolah itu... tak pernah... dan kalau kau mencoba
menyihir dirimu lepas dari ku-rungan—mereka akan mengeluarkanmu!"
Dan sambil tertawa seperti orang gila, dia menyeret Harry kembali ke atas.
Paman
Vernon membuktikan kekejaman icata-kata-nya. Esok paginya, dia membayar
orang untuk me-masang jeruji pada jendela Harry. Dia sendiri me-masang
pintu-kucing di pintu kamar, supaya sedikit makanan bisa didorong masuk
tiga kali sehari. Mereka mengeluarkan Harry untuk ke kamar mandi sehari
dua kali, pagi dan sore. Selain waktu itu, dia dikurung di kamarnya
sepanjang waktu.
Tiga
hari kemudian, keluarga Dursley belum me-nampakkan tanda-tanda berbelas
kasihan dan Harry tidak melihat jalan keluar dari keadaannya itu. Dia
berbaring di tempat tidurnya, memandang matahari terbenam di balik
jeruji jendelanya, dan sedih sekali memikirkan apa yang akan terjadi
padanya.
Apa
gunanya menyihir dirinya keluar dari kamarnya kalau, gara-gara itu,
Hogwarts akan mengeluarkannya? Tapi hidup di Privet Drive tak
tertahankan lagi. Seka-rang setelah keluarga Dursley tahu mereka tidak
akan terbangun sebagai kelelawar pemakan buah, dia telah kehilangan
satu-satunya senjata. Dobby mungkin telah menyelamatkan Harry dari
bencana mengerikan di Hogwarts, tetapi melihat keadaannya ini, dia toh
mungkin akan mati kelaparan juga.
Pintu-kucing
berderik dan tangan Bibi Petunia mun-cul, mendorong semangkuk sup
kaleng ke dalam ka-mar. Harry, yang perutnya melilit kelaparan, melompat
dari tempat tidurnya dan menyambarnya. Sup itu dingin, tetapi dia
meminum separonya sekali teguk. Kemudian dia menyeberang kamar menuju
sangkar Hedwig, dan menuang sayur yang sudah lembek di dasar mangkuk itu
ke piring kosong Hedwig.
Hedwig
menyisiri bulunya dan melempar pandangan jijik ke arah Harry "Tak ada
gunanya menolak makan, cuma ini yang kita punya," kata Harry muram.
Ditaruhnya
mangkuk kosong itu di lantai di sebelah pintu- kucing, lalu dia kembali
berbaring di tempat tidurnya, malah merasa lebih lapar daripada sebelum
makan sup tadi.
Seandainya
dia masih hidup sebulan lagi, apa yang akan terjadi jika dia tidak
muncul di Hogwarts? Akan-kah seseorang dikirim untuk mencari tahu kenapa
dia tidak kembali? Apakah mereka akan berhasil mem-buat keluarga
Dursley mengizinkannya pergi?
Ruangan
mulai gelap. Kelelahan, perutnya keron-congan, otaknya dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan sama yang tak bisa dijawab, Harry tertidur.
Tidurnya gelisah.
Dia
bermimpi dijadikan tontonan di kebun binatang, dengan kartu bertulisan
"Penyihir di Bawah Umur" menempel di kandangnya. Orang-orang memandang
ingin tahu kepadanya lewat jeruji, sementara dia ter-baring, kelaparan
dan lemah, di atas tempal tidur jerami. Dilihatnya wajah Dobby di tengah
kerumunan dan dia berteriak, minta bantuan, tetapi Dobby ber-seru,
"Harry Potter aman di situ, Sir!" lalu lenyap. Kemudian keluarga Dursley
muncul dan Dudley men-derak- derakkan jeruji kandang, menertawakannya.
"Hentikan!"
gumam Harry, ketika derak jeruji itu membuat kepalanya berdenyut sakit.
"Jangan gauggu aku... hentikan... aku sedang mencoba tidur...."
Harry
membuka matanya. Cahaya bulan menerobos masuk lewat jeruji jendela. Dan
memang ada orang yang memandang ingin tahu lewat jeruji jendela: anak
yang wajahnya berbintik-bintik, berambut merah, dan berhidung panjang.
Ron Weasley ada di luar jendela Harry.
3. The Burrow
"RON!" desah Harry, merayap ke jendela dan men-dorongnya ke atas, agar mereka bisa bicara lewat jeruji.
"Ron, bagaimana kau—apa i...?"
Harry
ternganga ketika sadar sepenuhnya apa yang dilihatnya. Ron menjulurkan
tubuhnya dari jendela belakang mobil tua berwarna hijau toska, yang
di-parkir di tengah udara. Fred dan George, kakak kembar-nya, nyengir
kepada Harry dari tempat duduk depan.
"Baik-baik saja, Harry?"
"Apa
yang terjadi?" tanya Ron. "Kenapa kau tidak membalas surat-suratku?
Sudah dua belas kali kuminta kau datang, kemudian Dad pulang dan bilang
kau mendapat peringatan resmi gara-gara menggunakan sihir di depan
Muggle..."
"Bukan aku—dan bagaimana dia tahu?"
"Dia kerja di Kementerian Sihir," kata Ron. "Kau kan tahu kita dilarang menggunakan sihir di luar sekolah..."
"Aneh juga kau ngomong begitu,". kata Harry, me-mandang mobil yang melayang itu.
"Oh,
ini tidak masuk hitungan," kata Ron. "Kami cuma pinjam. Ini punya Dad,
bukan kami yang me-nyihirnya. Tetapi menyihir di depan Muggle, di tempat
kau tinggal..."
"Sudah
kubilang itu bukan aku—tapi perlu waktu lama untuk menjelaskannya
sekarang. Bisakah kau-katakan kepada mereka di Hogwarts bahwa keluarga
Dursley mengurungku dan tidak mengizinkanku kem-bali, dan jelas aku
tidak bisa menyihir diriku keluar kamar, karena Kementerian Sihir nanti
mengira itu kedua kalinya aku menyihir dalam waktu tiga hari, jadi..."
"Berhenti ngoceh," kata Ron. "Kami datang untuk membawamu pulang bersama kami."
"Tapi kalian juga tidak bisa menyihirku bebas..."
"Tidak
perlu," kata Ron, mengedikkan kepalanya ke arah tempat duduk depan
sambil menyeringai. "Kau lupa siapa yang bersamaku." "Ikat ini di
sekeliling jeruji-jeruji itu," kata Fred, melempar ujung seuntai tambang
kepada Harry.
"Kalau
keluarga Dursley bangun, mati aku," kata Harry, ketika dia mengikatkan
tambang erat-erat ke satu jeruji sementara Fred menekan pedal gas
kuat-kuat.
"Jangan
khawatir," kata Fred. "Sekarang kau mundur." Harry mundur ke tempat
remang-remang di sebelah Hedwig. Hedwig rupanya menyadari betapa
penting-nya kejadian ini sehingga dia diam tak bersuara. Derum mobil
semakin keras, dan mendadak, dengan bunyi berkelontangan, jeruji-jeruji
itu berhasil dicabut dari jendela sewaktu Fred meluncurkan mobil ke
atas—Harry berlari kembali ke jendela dan melihat jeruji itu
bergelantungan kira-kira semeter dari tanah. Terengah-engah, Ron
menariknya ke dalam mobil.
Harry mendengarkan dengan cemas, tetapi tak ter-dengar suara dari kamar tidur keluarga Dursley.
Ketika jeruji sudah aman di tempat duduk belakang bersama Ron, Fred memundurkan mobil sedekat mungkin ke jendela Harry.
"Masuk," kata Ron.
"Tetapi
semua keperluan Hogwarts-ku... tongkat-ku... sapuku..." "Di mana?"
"Dikunci di lemari di bawah tangga, dan aku tidak bisa keluar dari kamar
ini..." "Tak jadi soal," kata George dari tempat duduk depan. "Minggir,
Harry."
Fred
dan George memanjat hati-hati lewat jendela, masuk ke kamar Harry.
Harry kagum sekali melihat George mengeluarkan jepit rambut biasa dari
sakunya dan mulai mengotak-atik kunci pintu.
"Banyak
penyihir menganggap mempelajari trik Muggle semacam ini buang-buang
waktu," kata Fred, "tapi menurut kami ini kecakapan yang layak
di-pelajari, walaupun agak lambat."
Terdengar bunyi klik pelan dan pintu terbuka.
"Nah—kami akan mengambil kopermu. Ambil apa saja yang kauperlukan dari kamarmu dan ulurkan pada Ron," bisik George.
"Awas, anak tangga yang paling bawah berderit,"
Harry balik berbisik, ketika si kembar menghilang di puncak tangga yang gelap.
Harry bergerak gesit di kamarnya, mengumpulkan barang- barangnya dan menyerahkannya kepada Ron.
Kemudian dia membantu Fred dan George meng-gotong kopernya ke atas. Harry mendengar Paman Vernon terbatuk.
Akhirnya,
terengah-engah, mereka tiba di puncak tangga, lalu membawa koper itu ke
jendela kamar. Fred memanjat kembali ke dalam mobil untuk menarik koper
bersama Ron, sementara Harry dan George mendorong dari kamar. Senti
demi senti koper itu bergerak melewati jendela.
Paman Vernon terbatuk lagi. "Sedikit lagi," sengal Fred, yang menarik dari dalam mobil. "Dorong keras-keras...."
Harry dan George mendorong koper itu dengan bahu dan koper itu pun meluncur dari jendela ke .tempat duduk belakang mobil.
"Oke, kita berangkat," bisik George.
Tetapi ketika Harry memanjat ambang jendela, ter-dengar jerit nyaring di belakangnya, diikuti gelegar suara Paman Vernon.
"BURUNG HANTU SIALAN!"
"Aku lupa Hedwig!"
Harry
berlari kembali ke seberang kamar ketika lampu di atas tangga loteng
menyala. Dia menyambar sangkar Hedwig, berlari ke jendela, dan
menyerahkan-nya kepada Ron. Dia sedang memanjat lemari lacinya ketika
Paman Vernon menggedor pintu yang sudah tak terkunci—dan pintu berdebam
terbuka.
Sedetik
Paman Vernon berdiri terpaku di depan pintu, kemudian dia melenguh
seperti banteng terluka dan melesat mengejar Harry, menyambar
pergelangan kakinya.
Ron, Fred, dan George meraih lengan Harry dan menarik sekuat tenaga. "Petunia!" raung Paman Vernon. "Dia kabur! DIA KABUR!"
Weasley
bersaudara menyentak keras sekali dan kaki Harry terlepas dari
cengkeraman Paman Vernon. Begitu Harry sudah di dalam mobil dan
membanting pintunya menutup, Ron berteriak, "Tancap, Fred!" dan mobil
itu tiba-tiba saja meluncur menuju bulan.
Harry
tak bisa mempercayainya—dia bebas. Dia menurunkan kaca jendela mobil,
angin malam me-ngibarkan rambutnya. Dia memandang atap rumah-rumah di
Privet Drive yang semakin menjauh. Paman Vernon, Bibi Petunia, dan
Dudley, ketiganya menatap terpana dari jendela kamar Harry.
"Sampai
musim panas tahun depan!" seru Harry. Weasley bersaudara terbahak dan
Harry bersandar kembali ke tempat duduknya, nyengir lebar sekali.
"Keluarkan
Hedwig," katanya kepada Ron. "Dia bisa terbang mengikuti kita. Sudah
lama sekali dia tak punya kesempatan merentangkan sayapnya."
George
menyerahkan jepit rambut kepada Ron dan sesaat kemudian Hedwig sudah
meluncur riang gem-bira dari jendela mobil, lalu melayang-layang
meng-ikuti mereka seperti hantu.
"Jadi—bagaimana ceritanya, Harry?" kata Ron tak sabar.
"Apa yang terjadi?"
Harry
menceritakan kepada mereka semua tentang Dobby, peringatan yang
diberikannya kepada Harry, dan musibah puding violet. Terjadi kesunyian
yang panjang setelah Harry mengakhiri ceritanya. Mereka kaget.
"Sangat mencurigakan," kata Fred akhirnya.
"Jelas mengada-ada," George menyetujui. "Jadi dia bahkan tidak mau memberitahu siapa yang me-rencanakan semua ini?"
"Kurasa
dia tak bisa," kata Harry. "Sudah kukatakan, setiap kali nyaris buka
rahasia, dia langsung mem-bentur-benturkan kepalanya ke dinding."
Harry melihat Fred dan George berpandangan.
"Kalian mengira dia bohong kepadaku?" kata Harry.
"Yah,"
kata Fred, "coba pikirkan—peri-rumah punya kekuatan gaib sendiri,
tetapi mereka biasanya tidak bisa menggunakannya tanpa izin tuan mereka.
Kurasa si Dobby itu sengaja dikirim untuk mencegahmu kem-bali ke
Hogwarts. Ada yang mau mempermainkanmu. Apa di sekolah ada yang dendam
padamu?"
"Ada," Harry dan Ron langsung menjawab ber-samaan.
"Draco Malfoy," Harry menjelaskan.
"Dia membenci-ku."
"Draco Malfoy?" kata George, menoleh.
"Bukan anak Lucius Malfoy, kan?"
"Mestinya. Itu bukan nama yang sangat umum, kan?" kata Harry.
"Kenapa?"
"Aku dengar Dad bicara tentang dia," kata George. "Dia pendukung besar Kau-Tahu-Siapa."
"Dan
waktu Kau-Tahu-Siapa menghilang," kata Fred, menoleh memandang Harry,
"Lucius Malfoy kembali, katanya dia tidak bermaksud melakukan semua itu.
Omong kosong— Dad berpendapat dia orang dekat Kau-Tahu-Siapa."
Harry
tak pernah mendengar desas-desus tentang keluarga Malfoy sebelumnya,
dan ini sama sekali tidak mengejutkannya. Kalau dibandingkan dengan
Malfoy, Dudley Dursley tampak seperti anak yang baik, bijak-sana, dan
penuh perasaan.
"Aku
tak tahu apakah keluarga Malfoy punya peri-rumah...," kata Harry.
"Siapa pun pemiliknya, tentulah keluarga penyihir yang sudah
turun-temurun dan kaya raya," kata Fred.
"Yeah,
Mum ingin sekali kami punya peri-rumah untuk menyetrika," kata George.
"Tapi yang kami punya hanyalah hantu konyol di loteng dan jembalang yang
berkeliaran di kebun. Peri-rumah adanya di rumah-rumah besar, kastil,
dan tempat-tempat seperti itu. Kau tak akan menemukannya di rumah
kami...."
Harry
diam. Melihat fakta bahwa Draco Malfoy biasanya memiliki segala sesuatu
yang paling baik, keluarganya pastilah bergelimang uang sihir. Dia bisa
membayangkan Malfoy berkeliaran di rumah besar. Mengirim pelayan rumah
untuk mencegah Harry kem-bali ke Hogwarts kelihatannya juga jenis hal
yang akan dilakukan Malfoy. Bodohkah Harry menanggapi Dobby secara
serius?
"Tapi aku senang kami datang mengambilmu," kata Ron.
"Aku cemas sekali ketika kau tidak membalas satu pun suratku. Mulanya kukira Errol yang salah..."
"Siapa Errol?"
"Burung
hantu kami. Dia sudah tua sekali. Bukan untuk pertama kalinya dia
pingsan waktu mengantar surat. Jadi kemudian kucoba meminjam Hermes..."
"Siapa?"
"Burung hantu yang Mum dan Dad belikan untuk Percy ketika dia diangkat jadi Prefek," kata Fred dari tempat duduk depan.
"Tapi Percy tak mau meminjamkannya padaku," kata Ron.
"Katanya dia sendiri memerlukannya."
"Tingkah
Percy aneh sekali sepanjang musim panas ini," kata George, dahinya
berkerut. "Dia mengirim banyak surat dan melewatkan banyak waktu
mengu-rung diri dalam kamarnya... Maksudku, berapa kali sih kita perlu
menggosok lencana Prefek? Kau menyetir terlalu ke barat, Fred," katanya
menambahkan, me-nunjuk kompas di dasbor. Fred memutar roda kemudi.
"Apakah ayah kalian tahu kalian membawa mobil ini?"
tanya Harry, sudah menduga jawabannya.
"Eh,
tidak," kata Ron, "dia harus bekerja malam ini. Mudah- mudahan kita
bisa mengembalikannya ke garasi sebelum Mum menyadari kita
menerbang-kannya."
"Apa sih pekerjaan ayah kalian di Kementerian Sihir?"
"Dia bekerja di departemen paling membosankan," kata Ron. "Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle."
"Apa?"
"Segala
sesuatu yang ada hubungannya dengan menyihir barang-barang buatan
Muggle. Soalnya siapa tahu barang itu nantinya kembali ke toko atau
rumah Muggle. Seperti tahun lalu, ada penyihir tua wanita meninggal dan
peralatan minum tehnya dijual ke toko barang antik. Ada Muggle perempuan
yang mem-belinya, membawanya pulang, dan menjamu teman-nya dengan
peralatan ini. Benar-benar kacau-balau— selama berminggu-minggu Dad
harus kerja lembur."
"Apa yang terjadi?"
"Teko
tehnya ngamuk dan menyemburkan teh men-didih ke seluruh ruangan, dan
seorang laki-laki harus dibawa ke rumah sakit dengan penjepit gula
menjepit hidungnya. Dad panik. Cuma ada dia dan satu pe-nyihir tua
bernama Perkins di kantor. Mereka harus menggunakan Jimat Memori dan
segala macam man-tra lainnya untuk menutupi peristiwa ini..."
"Tetapi ayahmu... mobil ini..."
Fred
tertawa. "Yeah, Dad tergila-gila pada segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan Muggle. Gu-dang kami penuh dengan barang-barang
Muggle. Dia membongkarnya, memantrainya, dan merakitnya kem-bali. Kalau
dia merazia rumah kami sendiri, dia pasti harus langsung menangkap
dirinya sendiri. Mum sam-pai kesal."
"Itu
jalan utamanya," kata George menyipitkan mata, memandang ke bawah
melalui kaca depan. "Sepuluh menit lagi kita sampai... untunglah, sudah
mulai terang...."
Semburat pucat kemerahan sudah mulai tampak di ufuk timur.
Fred menurunkan mobilnya dan Harry melihat petak-petak ladang dan gerumbul-gerumbul pohon yang gelap.
"Kita sudah hampir sampai di tepi desa," kata George.
"Ottery St Catchpole..."
Mobil terbang itu semakin lama semakin rendah. Tepi lingkaran matahari yang merah jingga sekarang berkilau di antara pepohonan.
"Pendaratan!"
kata Fred, ketika dengan entakan kecil mereka menyentuh tanah. Mereka
mendarat di sebelah garasi yang hampir roboh di halaman kecil itu, dan
Harry untuk pertama kalinya melihat rumah Ron.
Tampaknya
dulunya rumah ini kandang babi besar, tetapi kamar-kamar ekstra sudah
ditambahkan di sana-sini sampai rumah ini menjadi beberapa tingkat dan
miring sekali, sehingga seolah rumah ini masih ber-tahan berdiri karena
disihir (yang, Harry mengingat-kan dirinya, mungkin memang benar). Empat
atau lima cerobong asap bertengger di atas atap merahnya. Papan miring
yang ditancapkan di tanah dekat pintu masuk bertulisan "The
Burrow"—Liang. Di sekeliling pintu depan bertebaran sepatu bot dan kuali
yang sudah sangat berkarat. Beberapa ayam cokelat gemuk sedang
mematuk-matuk di halaman.
"Tidak seberapa," kata Ron.
"Ini hebat," kata Harry riang, teringat Privet Drive.
Mereka turun dari mobil.
"Nah,
kita ke atas diam-diam," kata Fred, "dan tunggu sampai Mum memanggil
kita untuk sarapan. Kemudian, Ron, kau turun sambil bilang, 'Mum, coba
lihat siapa yang muncul semalam!' Mum akan senang sekali melihat Harry,
dan tak seorang pun perlu tahu kita menerbangkan mobil."
"Betul," kata Ron. "Ayo, Harry, aku tidur di..."
Wajah Ron berubah pucat, matanya terpaku ke rumah. Yang lain segera berbalik.
Mrs
Weasley berjalan tegap menyeberangi halaman, membuat ayam-ayam
menyebar. Untuk wanita pen-dek, gemuk, berwajah ramah, mengherankan
sekali betapa miripnya dia dengan harimau bergigi pedang sekarang.
"Ah," kata Fred.
"Oh," kata George.
Mrs
Weasley berhenti di depan mereka, tangannya di pinggul, memandang
bergantian wajah-wajah ber-salah itu. Dia memakai celemek berbunga-bunga
de-ngan tongkat mencuat keluar dari sakunya.
"Jadi,"
katanya. "Pagi, Mum," kata George, dengan suara yang di-anggapnya riang
membujuk. "Tahukah kalian betapa cemasnya aku?" kata Mrs Weasley dalam
bisikan maut.
"Maaf, Mum, tapi soalnya, kami harus..."
Ketiga anak Mrs Weasley lebih tinggi daripadanya, tetapi mereka mengerut ketika kemarahannya meledak.
"Tempat
tidur kosong! Tak ada pesan! Mobil lenyap... bisa tabrakan... gila
rasanya aku saking cemasnya... apa kalian pedulil... belum pernah,
seumur hidupku... tunggu sampai ayah kalian pulang, kami tak pernah
dapat kesulitan begini dari Bill atau Charlie atau Percy..."
"Prefek Percy yang sempurna," gumam Fred.
"KAU
SEHARUSNYA MENCONTOH PERCY!" teriak Mrs Weasley, menusukkan jari ke
dada Fred. "Kau bisa mati, kau bisa kelihatan, kau bisa membuat ayahmu
kehilangan pekerjaannya..."
Kemarahan
Mrs Weasley rasanya berlangsung ber-jam-jam. Dia berteriak-teriak
sampai serak, sebelum menoleh pada Harry, yang mundur menjauh.
"Aku senang sekali bertemu kau, Nak," katanya.
"Mari masuk dan sarapan."
Mrs
Weasley berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah, sedangkan
Harry—setelah dengan gugup me-lirik Ron, yang mengangguk membesarkan
hatinya— mengikutinya.
Dapurnya
kecil dan agak penuh sesak. Ada meja kayu dan kursi-kursi di tengahnya
dan Harry duduk di tepi tempat duduknya, memandang berkeliling. Dia
belum pernah berada dalam rumah penyihir.
Jam
di dinding di depannya cuma punya satu jarum dan sama sekali tak ada
angkanya. Mengitari tepinya ada tulisan- tulisan seperti "Waktu membuat
teh", "Waktu memberi makan ayam-ayam", dan "Kau terlambat". Buku-buku
ditumpuk tiga- tiga di atas rak perapian, buku-buku dengan judul seperti
Sihir Sendiri Kejumu, Jampi-jampi dalam Memanggang, dan Sajian dalam
Semenit—Sungguh Ajaib! Dan kecuali telinga Harry mengelabuinya, radio
tua di sebelah tempat cuci piring baru saja mengumumkan bahwa acara
berikutnya adalah "Jam Sihir, dengan penyanyi pe-nyihir wanita terkenal,
Celestina Warbeck."
Mrs
Weasley mondar-mandir dengan berisik, me-nyiapkan sarapan dengan agak
serampangan, meman-dang sebal anak- anaknya sementara dia melemparkan
sosis ke dalam wajan. Sekali-sekali dia menggumam-kan kalimat seperti,
"Tak tahu apa yang ada di pikiran kalian," dan "Tak akan pernah
mempercayainya."
"Aku
tidak menyalahkanmu, Nak," katanya meyakin-kan Harry, menuang delapan
atau sembilan sosis ke dalam piringnya. "Arthur dan aku mencemaskanmu
juga. Baru semalam kami katakan kami sendiri akan da tang menjemputmu
kalau sampai hari Jumat kau tidak membalas surat Ron. Tapi sungguh
kelewatan," (sekarang dia menambahkan tiga telur goreng ke piling
Harry),
"menerbangkan mobil ilegal, menye-berang separo negeri—
bisa kelihatan siapa saja...."
Dia
menjentikkan tongkatnya sambil lalu ke perabot di tempat cuci piring
yang langsung mulai mencuci sendiri, berdentang-denting lembut di latar
belakang.
"Langit mendung, Mum!" kata Fred.
"Jangan bicara waktu makan!" bentak Mrs Weasley.
"Mereka membuatnya kelaparan, Mum!" kata George.
"Dan
kau juga!" kata Mrs Weasley, tetapi ekspresi wajahnya lebih lembut
ketika dia mulai mengiris roti untuk Harry dan mengolesinya dengan
mentega.
Pada
saat itu sesosok tubuh kecil berambut merah— memakai gaun tidur
panjang—muncul di pintu, meng-alihkan perhatian semua orang. Sosok itu
menjerit kecil, dan berlari keluar lagi.
"Ginny," kata Ron pelan kepada Harry. "Adikku. Dia ngomong tentang kau terus sepanjang musim panas."
"Yeah,
dia mau minta tanda tanganmu, Harry," Fred nyengir, tetapi dia
menangkap pandangan ibunya dan segera menundukkan wajah di atas
piringnya, tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada lagi yang di-bicarakan
sampai keempat piring bersih, dalam waktu yang singkat sekali.
"Ya ampun, aku capek," Fred menguap, akhirnya meletakkan pisau dan garpunya. "Aku mau tidur dan..."
"Tidak
boleh," potong Mrs Weasley. "Salahmu sendiri kau tidak tidur semalaman.
Kau akan membersihkan jembalang di kebun untukku, mereka sudah tak
ter-kontrol lagi."
"Oh, Mum..."
"Dan
kalian berdua juga," katanya mendelik pada Ron dan Fred. "Kau boleh
tidur, Nak," katanya me-nambahkan kepada Harry. "Kau tidak meminta
meteka menerbangkan mobil brengsek itu."
Tetapi
Harry yang sama sekali tidak mengantuk, buru-buru berkata, "Saya akan
membantu Ron. Saya belum pernah melihat pembersihan jembalang..."
"Kau
baik sekali, Nak, tapi itu pekerjaan mem-bosankan," kata Mrs Weasley.
"Coba kita lihat dulu apa kata Lockhart tentang masalah ini."
Dan
dia menarik sebuah buku berat dari tumpukan di atas rak perapian.
George mengerang. "Mum, kami sudah tahu bagaimana membersihkan kebun
dari jembalang." Harry memandang sampul buku Mrs Weasley. Judulnya
ditulis dengan huruf-huruf emas indah:
Penuntun Penanganan Hama Rumah Gilderoy Lockhart.
Di
sampul itu terpampang foto besar penyihir yang amat tampan, dengan
rambut pirang berombak dan mata biru cerah. Seperti biasanya di dunia
sihir, foto itu bergerak-gerak. Si penyihir, yang Harry duga ada-lah
Gilderoy Lockhart, tak henti-hentinya mengedip nakal kepada mereka
semua. Mrs Weasley menunduk tersenyum kepadanya.
"Oh,
dia hebat sekali," katanya, "dia tahu betul ten-tang hama-hama rumah.
Ini buku yang bagus sekali...." "Mum naksir dia," kata Fred dalam
bisikan yang sangat jelas.
"Jangan
ngaco, Fred," kata Mrs Weasley, pipinya merona merah jambu. "Baiklah,
kalau kalian merasa lebih tahu dari Lockhart, kalian boleh keluar dan
langsung mulai. Awas, kalau sampai masih ada satu saja jembalang di
kebun waktu aku memeriksanya nanti."
Menguap
dan menggerutu, Ron dan kedua kakak-nya berjalan ogah-ogahan keluar,
diikuti Harry. Kebun mereka luas, dan dalam pandangan Harry, begitulah
seharusnya kebun. Keluarga Dursley tidak akan me-nyukainya—ada banyak
ilalang, rumputnya perlu di-potong—tetapi ada pohon- pohon yang
batangnya ber-bonggol-bonggol di sekeliling tembok, tanaman-tanaman yang
belum pernah dilihat Harry melimpah dengan lebatnya dari setiap petak
bunga, dan ada kolam besar penuh kodok.
"Muggle juga punya jembalang kebun lho," Harry memberitahu Ron ketika mereka menyeberang ke kebun.
"Yeah,
aku sudah melihat apa yang mereka sebut jembalang," kata Ron,
membungkuk dengan kepala tenggelam di semak bunga peoni. "Seperti Santa
Claus gemuk membawa tangkai pancing...."
Terdengar bunyi baku hantam seru, semak peoni bergetar, dan Ron menegakkan diri. "Ini jembalang," katanya suram.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit si jembalang.
Makhluk
itu sama sekali tidak seperti Santa Claus, melainkan bertubuh kecil,
kulitnya kasar, dengan kepala besar botak menonjol persis kentang. Ron
me-megangnya agak jauh, sementara si jembalang me-nendang-nendangnya
dengan kakinya yang kecil ber-tanduk. Ron mencengkeram pergelangan
kakinya dan menjungkirkannya.
"Ini
yang harus kaulakukan," katanya. Ron mengangkat si jembalang ke atas
kepalanya ("Lepas-kan aku!") lalu mulai memutar-mutarnya dalam
ling-karan besar seperti laso. Melihat kekagetan di wajah Harry, Ron
menambahkan, "Ini tidak melukai mereka— kau cuma harus membuatnya benar-
benar pusing, supaya mereka tidak bisa menemukan jalan pulang ke lubang
jembalangnya."
Dilepasnya kaki si jembalang dan jembalang itu melayang enam meter ke atas dan jatuh di padang di seberang pagar.
"Payah," kata Fred. "Aku pasti bisa melempar jem-balangku sampai melewati tunggul itu."
Harry
belajar dengan cepat untuk tidak merasa terlalu kasihan kepada si
jembalang. Dia memutuskan untuk menjatuhkan saja jembalang pertama yang
di-tangkapnya ke balik pagar. Tetapi si jembalang, yang bisa merasakan
kelemahan, menancapkan gigi-giginya yang setajam silet ke jari Harry dan
Harry dengan susah payah mengibaskannya sampai...
"Wow, Harry—pasti ada lima belas meter tuh..."
Segera saja udara dipenuhi jembalang yang beterbangan.
"Lihat,
kan, mereka tidak terlalu pintar," kata George, menyambar lima atau
enam jembalang se-kaligus. "Begitu mereka tahu pembersihan jembalang
dimulai, mereka malah keluar untuk melihat. Mestinya kan malah ngumpet."
Tak lama kemudian gerombolan jembalang di pa-dang mulai melangkah lesu, menjauh.
"Mereka
akan kemibali," kata Ron, ketika mereka mengawasi para jembalang
menghilang ke balik pagar di sisi lain padang. "Mereka senang di sini...
Dad terlalu lunak terhadap mereka, dia menganggap me-reka lucu..."
Saat itu terdengar pintu depan terbanting.
"Dia pulang!" kata George. "Dad pulang!"
Mereka bergegas menyeberangi kebun, kembali ke rumah.
Mr
Weasley duduk lesu di kursi dapur dengan kacamata dilepas. Dia kurus,
hampir botak, tetapi sisa rambut yang masih ada sama merahnya dengan
ram-but anak-anaknya. Dia memakai jubah hijau panjang yang berdebu dan
kelihatan habis dipakai bepergian.
"Bukan
main semalam," gumamnya, meraih teko teh sementara mereka duduk
mengelilinginya. "Sem-bilan penyerbuan. Sembilan! Dan si Mundungus
Fletcher mencoba menyihirku ketika aku berbalik..."
Mr Weasley meneguk tehnya dan menghela napas. "Ada yang ditemukan, Dad?" tanya Fred ber-semangat.
"Yang
kudapat hanyalah beberapa kunci pintu yang mengerut dan ceret yang
menggigit," kata Mr Weasley menguap. "Tapi ada barang-barang kotor yang
bukan bagian departemenku. Mortlake dibawa pergi gara-gara
mempertanyakan beberapa binatang sejenis mu-sang yang sudah tua sekali,
tapi itu tugas Komite Jimat Eksperimental, untungnya..."
"Untuk apa orang membuat kunci mengerut?" tanya George.
"Cuma
untuk memancing Muggle," keluh Mr Weasley. "Jual kepada mereka kunci
yang terus menge-rut sampai akhirnya menghilang, sehingga mereka tidak
bisa menemukannya sewaktu memerlukannya... Tentu saja, susah sekali
meyakinkan orang, karena tak ada Muggle yang mau mengakui kunci mereka
mengerut makin lama makin kecil— mereka akan ngo-tot mengatakan mereka
lagi-lagi kehilangan kunci. Untung saja, para Muggle ini akan berusaha
dengan segala macam cara untuk mengabaikan kejadian gaib, bahkan kalau
itu terjadi di depari mereka... tapi barang-barang yang telah diambil
bangsa kita untuk disihir, kalian tidak akan percaya..."
"SEPERTI MOBIL, MISALNYA?"
Mrs
Weasley telah muncul, membawa penyodok panjang seperti memegang pedang.
Mata Mr Weasley langsung terbuka lebar. Dia memandang istrinya de-ngan
perasaan bersalah.
"Mo-mobil, Molly sayang?"
"Ya, Arthur, mobil," kata Mrs Weasley, matanya berkilat.
"Bayangkan,
penyihir yang membeli mobil tua karatan dan memberitahu istrinya yang
ingin dilakukannya dengan mobil itu hanyalah mem-bongkarnya untuk
mengetahui bagaimana cara kerja-nya, padahal ternyata dia menyihir mobil
itu agar bisa terbang."
Mr Weasley mengejapkan mata.
"Yah,
Sayang, kurasa dia tidak melanggar hukum karena melakukan itu, bahkan
jika, eh, dia mungkin seharusnya, lebih baik, uhm, memberitahu istrinyn
yang sebenarnya... Selalu ada peluang untuk lolos dalam peraturan, kau
akan tahu... sejauh dia tidak bermaksud menerbangkan mobil itu. Fakta
bahwa mobil itu bisa terbang tidak akan..."
"Arthur
Weasley, kau mengatur agar ada peluang lolos ketika kau menulis
peraturan itu!" teriak Mrs Weasley. "Hanya supaya kau bisa terus
bermain-main dengan semua rongsokan Muggle di garasimu itu! Dan supaya
kau tahu, Harry tiba pagi ini dengan mobil yang tidak akan kauterbangkan
itu!"
"Harry?" ujar Mr Weasley bingung. "Harry siapa?" Dia memandang berkeliling, melihat Harry, dan ter-lonjak.
"Astaga, Harry Pptter-kah? Senang sekali bertemu kau, Ron sudah cerita banyak tentang..."
"Anak-anakmu
menerbangkan mobil itu ke rumah Harry dan kembali lagi ke sini tadi
pagi!" teriak Mrs Weasley. "Apa komentarmu tentang itu, eh?"
"Betulkah kalian menerbangkannya?" tanya Mr Weasley bersemangat. "Apakah bisa terbang lancar? Mak-maksudku,"
dia terbata-bata, ketika kilat ke-marahan terpancar dari mata Mrs Weasley, "kalian lancang, anak-anak—lancang sekali..."
"Kita
tinggalkan mereka," gumam Ron kepada Harry, ketika Mrs Weasley siap
meledak. "Ayo, ku-tunjukkan kamarku." Mereka menyelinap keluar dari
dapur dan menuruni lorong sempit sampai ke tangga yang tidak rata, yang
berzig-zag sampai ke atas. Pada bordes ketiga, ada pintu yang sedikit
terbuka. Harry sempat melihat sepasang mata cokelat cemerlang sebelum
pintu itu menutup dengan keras.
"Itu
Ginny," kata Ron. "Kau tak tahu, betapa aneh-nya bagi dia menjadi
pemalu begini. Biasanya mulut-nya tak pernah berhenti mengoceh..."
Mereka menaiki dua tangga lagi sampai tiba di pintu yang catnya mengelupas dan ada papan kecil bertulisan "Kamar Ronald".
Harry
masuk, kepalanya nyaris menyentuh atap yang miring. Dia mengejap.
Rasanya seperti masuk perapian: segala sesuatu dalam kamar Ron
bernuafisa jingga terang: seprai, dinding, bahkan langit-langitnya.
Kemudian Harry menyadari bahwa Ron telah me-nutup hampir setiap senti
dinding kamarnya yang kusam dengan poster tujuh penyihir pria dan wanita
yang sama, semuanya memakai jubah jingga cemer-lang, membawa sapu, dan
melambai-lambai dengan bersemangat.
"Tim Quidditch-mu?" tanya Harry.
"Chudley
Cannons," kata Ron, menunjuk seprai jingganya, yang dihiasi dua huruf C
raksasa berwarna hitam dan peluru meriam yang sedang meluncur.
"Peringkat kesembilan-di liga." Buku-buku sihir Ron ditumpuk sembarangan
di satu sudut, di sebelah setumpuk komik yang semua-nya tampaknya
mengisahkan Petualangan Martin Miggs, si Muggle Gila. Tongkat sihir Ron
tergeletak di atas tangki ikan penuh telur kodok di ambang jendela, di
sebelah tikus gemuknya, Scabbers, yang sedang tiduran di sepetak sinar
matahari.
Harry
melangkahi satu pak kartu Mengocok-Sendiri di lantai dan melongok ke
luar dari jendela yang kecil mungil. Di padang jauh di bawah, dia bisa
melihat serombongan jembalang menyelinap lewat pagar tanaman, satu demi
satu kembali ke kebun keluarga Weasley. Kemudian dia menoleh memandang
Ron, yang menatapnya dengan gelisah, seakan me-nunggu komentarnya.
"Kamarnya
agak kecil," kata Ron cepat-cepat. "Tidak seperti kamarmu di rumah
Muggle. Dan persis di bawah tempat si hantu loteng. Dia selalu
memukul-mukul pipa dan mengerang-erang..."
Tetapi Harry nyengir lebar sambil berkata, "Ini ru-mah paling hebat yang pernah kudatangi." Telinga Ron langsung merah.
4. Di Flourish And Blotts
HIDUP
di The Burrow sama sekali berbeda dengan hidup di Privet Drive.
Keluarga Dursley menghendaki segalanya rapi dan teratur; rumah keluarga
Weasley penuh dengan hal-hal aneh dan tak terduga. Harry kaget sekali
ketika pertama kali dia melihat ke dalam cermin di atas tungku di dapur
dan cermin itu ber-teriak, "Masukkan kemejamu, yang rapi!" Hantu di
loteng melolong dan menjatuhkan pipa setiap kali dia merasa suasana
terlalu sepi, dan ledakan-ledakan kecil dari kamar Fred dan George
dianggap normal. Meskipun demikian, yang bagi Harry luar biasa tentang
hidup di rumah keluarga Ron bukanlah cermin yang bisa bicara ataupun si
hantu bising, melainkan kenyataan bahwa semua orang di rumah itu
tampaknya me-nyukainya.
Mrs Weasley meributkan kaus kaki Harry dan ber-usaha memaksanya tambah tiga kali setiap makan.
Mr
Weasley ingin Harry duduk di sebelahnya di meja makan, supaya dia bisa
membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup bersama
Muggle,
memintanya menjelaskan bagaimana bekerjanya hal-hal seperti steker listrik atau sistem pos.
"Mengagumkan!"
katanya setelah Harry menjelaskan bagaimana menggunakan telepon.
"Cerdik betul, berapa banyak cara yang telah ditemukan Muggle untuk bisa
hidup tanpa sihir."
Harry
mendapat berita dari Hogwarts pada suatu pagi yang cerah kira-kira
seminggu setelah dia tiba di The Burrow. Ketika dia dan Ron turun untuk
sarapan, Mr dan Mrs Weasley serta Ginny sudah duduk di meja dapur.
Begitu melihat Harry, Ginny tak sengaja menjatuhkan mangkuk buburnya ke
lantai, menimbul-kan bunyi berkelontang yang keras. Ginny kelihatan-nya
jadi sangat mudah menjatuhkan barang-barang setiap kali Harry memasuki
ruangan. Dia menyusup ke bawah meja untuk mengambil mangkuknya dan
muncul lagi dengan wajah berpendar merah seperti matahari yang sedang
terbenam. Berpura-pura tidak melihat semua ini, Harry duduk dan
mengambil roti panggang yang ditawarkan Mrs Weasley.
"Surat
dari sekolah," kata Mr Weasley, menyerahkan amplop perkamen kekuningan
yang sama kepada Harry dan Ron, yang alamatnya ditulis dengan tinta
hijau. "Dumbledore sudah tahu kau di sini, Harry— orang itu tahu
segalanya. Kalian berdua dapat surat juga," katanya menambahkan, ketika
Fred dan George muncul, masih memakai piama.
Selama
beberapa menit suasana sunyi ketika mereka semua membaca surat mereka.
Surat Harry memberi-tahunya agar naik Hogwarts Express seperti biasanya
dari Stasiun King's Cross pada tanggal 1 September. Juga ada daftar
buku- buku baru yang diperlukannya untuk tahun ajaran berikutnya.
Murid kelas dua membutuhkan:
Kitab Mantra Standar, Tingkat 2 oleh Miranda Goshawk
Duel dengan Dracula oleh Gilderoy Lockhart Gaul dengan Goblin oleh Gilderoy Lockhart
Heboh dengan Hantu oleh Gilderoy Lockhart
Tamasya dengan Troll oleh Gilderoy Lockhart
Vakansi dengan Vampir oleh Gilderoy Lockhart
Mengembara dengan Manusia Serigala oleh Gilderoy Lockhart
Yakin dengan Yeti oleh Gilderoy Lockhart Fred,
yang sudah selesai membaca daftarnya sendiri, melongok daftar Harry.
"Kau disuruh beli semua buku Lockhart juga!" kata-nya.
"Guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pastilah fansnya—taruhan, pasti penyihir wanita."
Setelah berkata begitu, tertatap olehnya mata ibunya dan Fred cepat-cepat menyibukkan diri dengan selai.
"Buku-buku itu tidak murah," kata George, sekilas memandang orangtuanya. "Buku-buku Lockhart benar-benar mahal...."
"Bisa
kita beli," kata Mrs Weasley, tetapi dia kelihatan cemas, "Kurasa kita
bisa membeli banyak keperluan Ginny dari yang bekas-pakai."
"Oh, kau sudah masuk Hogwarts tahun ini?" Harry bertanya kepada Ginny.
Ginny
mengangguk, rona merah menjalar sampai ke akar rambutnya yang merah
manyala, dan sikunya masuk ke mangkuk mentega. Untunglah tak seorang pun
melihat kecuali Harry, karena tepat saat itu, kakak Ron yang nomor
tiga, Percy, masuk. Dia sudah berpakaian, lencana Prefek Hogwarts-nya
disematkan ke baju rajutannya.
"Selamat pagi, semua!" kata Percy cepat. "Hari yang indah."
Dia
duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, tetapi langsung melompat
berdiri lagi, menarik dari bawah-nya kemoceng yang bulu abu-abunya sudah
lusuh— paling tidak semula Harry menyangka itu kemoceng, sampai
dilihatnya kemoceng itu bernapas.
"Errol!"
kata Ron, mengambil burung hantu yang lemas itu dari tangan Percy dan
menarik keluar se-pucuk surat dari balik sayapnya. "Akhirnya—dia
mem-bawa balasan Hermione. Aku menulis padanya, mem-beritahu kami akan
mencoba membebaskanmu dari keluarga Dursley."
Ron
membawa Errol ke tempat hinggap di dekat pintu belakang dan mencoba
menenggerkannya di situ, tetapi Errol langsung terpuruk lagi. Akhirnya
Ron membaringkannya di atas papan pengering, se-raya bergumam,
"Kasihan." Kemudian dirobeknya sampul surat Hermione dan dibacanya
suratnya keras-keras:
Halo Ron, dan Harry kalau kau ada,
Kuharap
segalanya berjalan lancar dan Harry baik-baik saja dan kau tidak
melakukan sesuatu yang me-langgar hukum untuk membebaskannya, Ron,
karena itu akan menyulitkan Harry juga. Aku cemas 'sekali dan kalau
Harry tak apa-apa, tolong segera beritahu aku, tapi mungkin lebih baik
kaugunakan burung hantu yang lain, karena kalau sekali lagi disuruh
mengirim surat, kurasa burung hantu yang ini lewat deh.
Aku
sibuk sekali belajar, tentu saja—"Bagaimana mungkin?" kata Ron ngeri.
"Kita kan sedang libur!"—dan kami akan ke London Rabu depan untuk
membeli buku-buku baruku. Bagaimana kalau kita ber-temu di Diagon Alley?
Beritahu aku apa yang terjadi begitu kau sempat.
Salam hangat dari Hermione.
"Wah,
kita bisa sekalian pergi dan membeli semua kebutuhan kalian kalau
begitu," kata Mrs Weasley, mulai membereskan meja. "Apa yang akan kalian
lakukan hari ini?" Harry, Ron, Fred, dan George sudah merencanakan akan
ke lapangan terbuka kecil milik keluarga Weasley. Tempat itu
dikelilingi pepohonan sehingga tidak ke-lihatan dari desa di bawah. Itu
berarti mereka bisa berlatih Quidditch di sana, asal mereka tidak
terbang terlalu tinggi. Mereka tidak bisa memakai bola Quidditch yang
sesungguhnya, karena akan sulit men-jelaskannya kalau bola itu lolos dan
terbang di atas desa. Sebagai gantinya mereka saling melempar apel
untuk ditangkap. Mereka bergiliran menaiki Nimbus Dua Ribu Harry, sapu
yang sangat hebat. Sapu tua Ron, Bintang Jatuh, sering sekali didului
kupu-kupu yang lewat.
Lima
menit kemudian mereka mendaki bukit, de-ngan sapu di atas bahu. Mereka
sudah menanyai Percy kalau-kalau dia mau ikut, tetapi Percy mengata-kan
dia sibuk. Sejauh ini Harry cuma bertemu Percy pada waktu makan. Dia
berkurung terus di kamar-nya.
"Pingin
tahu deh dia sebetulnya ngapain," kata Fred sambil mengerutkan kening.
"Tidak biasanya dia begitu. Hasil ujiannya keluar sehari sebelum hasil
kalian diumumkan. Dua belas OWL dan dia nyaris tidak kelihatan senang."
"Ordinary
Wizarding Levels—Level Sihir Umum," George menjelaskan, melihat wajah
kebingungan Harry. "Bill dapat dua belas juga. Kalau tidak hati-hati,
kita akan punya Ketua Murid satu lagi dalam keluarga. Malu betul kita."
Bill
adalah putra sulung keluarga Weasley. Dia dan adiknya, Charlie, sudah
lulus dari Hogwarts. Harry belum pernah bertemu mereka berdua, tetapi
dia tahu Charlie ada di Rumania, mempelajari naga, dan Bill di Mesir
bekerja untuk bank penyihir, Gringotts.
"Entah
bagaimana Mum dan Dad akan bisa mem-belikan semua keperluan sekolah
kita tahun ini," kata George setelah diam sesaat. "Lima set buku-buku
Lockhart! Dan Ginny perlu jubah dan tongkat dan macam-macam lagi...."
Harry
diam saja Dia merasa agak tidak enak. Ter-simpan di dalam ruangan besi
bawah tanah di Gringotts di London, ada sejumlah harta peninggalan
orangtuanya. Tentu saja, hanya di dunia sihir dia punya uang. Kau tidak
bisa menggunakan Galleon, Sickle, dan Knut di toko Muggle. Dia tak
pernah menyebut-nyebut simpanannya di Gringotts kepada keluarga Dursley.
Dia memperkirakan penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang ada
hubungan-nya dengan sihir tidak mencakup setumpuk besar emas.
Mrs
Weasley membangunkan mereka semua pagi-pagi Rabu berikutnya. Setelah
dengan cepat melahap sarapan berupa enam sandwich daging asap untuk
masing-masing, mereka memakai mantel dan Mrs Weasley mengambil vas bunga
dari rak di atas tungku dapur, lalu mengintip ke dalamnya.
"Sudah hampir habis, Arthur," katanya menghela napas.
"Kita harus beli lagi hari ini... ah, tamu lebih dulu! Kau duluan, Harry!"
Dan dia menyodorkan vas itu kepada Harry.
Harry bingung memandang mereka semua meng-awasinya.
"A-apa yang harus kulakukan?" katanya tergagap.
"Dia belum pernah bepergian dengan bubuk Floo," kata Ron tiba-tiba. "Sori, Harry, aku lupa."
"Belum pernah?" kata Mr Weasley. "Jadi bagaimana kau sampai di Diagon Alley untuk membeli keperluan sekolahmu tahun lalu?"
"Aku naik kereta bawah tanah..."
"Oh ya?" kata Mr Weasley ingin tahu. "Apa ada eskapator? Bagaimana caranya..."
"Tidak sekarang, Arthur," kata Mrs Weasley. "Bubuk Floo jauh lebih cepat, Nak, tapi entahlah, kalau kau belum pernah..."
"Tidak
apa-apa, Mum," kata Fred. "Harry, lihat kami dulu." Fred mengambil
sejumput bubuk berkilau dari vas bunga, melangkah ke perapian dan
menaburkan bu-buk itu ke nyala api.
Dengan
deru keras api berubah menjadi hijau zamrud dan menjulang lebih tinggi
dari Fred, yang melangkah ke dalamnya sambil berteriak, "Diagon Alley!"
dan langsung menghilang.
"Ngomongnya
harus jelas, Nak," Mrs Weasley mem-beritahu Harry, ketika George
memasukkan tangan ke dalam vas. "Dan keluarnya harus di perapian yang
benar..."
"Di
mana?" tanya Harry gugup, ketika api menderu dan melenyapkan George
dari pandangan juga. "Yah, ada banyak perapian penyihir yang bisa
di-pilih, kan, tapi asal kau ngomongnya jelas..."
"Dia akan baik-baik saja Molly, jangan terlalu cemas," kata Mr Weasley, sambil menjumput bubuk Floo juga.
"Tapi, kalau dia tersesat, bagaimana kita harus men-jelaskan kepada bibi dan pamannya?"
"Mereka tidak akan keberatan," Harry menenang-kannya.
"Dudley akan menganggapnya lucu sekali kalau aku tersesat di cerobong asap. Jangan khawatir."
"Baiklah...
kalau begitu... kau berangkat sesudah Arthur," kata Mrs Weasley
"Setelah masuk perapian, katakan ke mana tujuanmu..."
"Dan
rapatkan sikumu," Ron menasihati. "Dan pejamkan matamu," kata Mrs
Weasley. "Angus-nya..." "Jangan gelisah dan bergerak-gerak," kata Ron.
"Nanti kau bisa jatuh ke perapian yang salah..." "Tapi jangan panik dan
buru-buru keluar juga. Tung-gu sampai kau melihat Fred dan George."
Sambil berusaha keras mengingat semua ini, Harry mengambil sejumput
bubuk Floo dan berjalan ke per-apian. Dia menarik napas dalam-dalam,
menaburkan bubuk ke nyala api dan melangkah masuk. Apinya terasa bagai
angin hangat. Harry membuka mulut dan langsung tertelan olehnya banyak
abu panas.
"D-dia-gon Alley," katanya terbatuk.
Rasanya
seakan Harry tersedot lubang yang besar sekali. Dia seperti berpusar
sangat cepat... deru keras memekakkan telinganya... dia berusaha agar
matanya tetap terbuka, tetapi pusaran api hijau membuatnya pusing...
sesuatu yang keras menyodok sikunya dan Harry segera merapatkannya ke
tubuhnva, masih terus berpusar, terus... sekarang rasanya ada
tangan-tangan dingin menampar mukanya... mengintip lewat kaca-matanya,
dilihatnya samar-samar serangkaian perapian dan sekilas-sekilas tampak
ruangan di baliknya... sandwich daging asapnya bergolak di dalam
perutnya... Dia memejamkan lagi matanya, berharap pusaran ini segera
berhenti, dan kemudian—Harry jatuh ter-jerembap di lantai batu yang
dingin dan kacamatanya pecah.
Pusing
dan memar, berlumur angus, Harry dengan amat hati-hati bangun,
memegangi kacamata ke depan matanya. Dia sendirian, tetapi di mana dia,
dia sama sekali tak tahu. Yang dia tahu hanyalah dia berdiri di perapian
baru, di tempat yang kelihatannya toko sihir besar dengan penerangan
remang-remang—tetapi tak satu pun barang-barang yang dijual di sini akan
masuk dalam daftar sekolah Hogwarts.
Sebuah
kotak kaca di dekat Harry berisi tangan keriput di atas bantal, satu
pak kartu bernoda darah, dan sebuah mata kaca mendelik. Topeng-topeng
me-nyeramkan menyeringai dari dinding, tulang-tulang manusia berbagai
bentuk dan ukuran bertebaran di meja pajang, dan peralatan berpaku tajam
berkarat bergantungan dari langit-langit. Yang lebih parah lagi, jalan
sempit yang bisa dilihat Harry lewat kaca toko yang berdebu jelas bukan
Diagon Alley.
Lebih
cepat dia meninggalkan tempat ini lebih baik. Dengan hidung masih perih
gara-gara jatuh meng-hantam lantai perapian tadi, Harry berjalan cepat
tanpa suara menuju pintu. Tetapi belum lagi separo jalan, dua orang
muncul di balik kaca—dan salah satunya orang terakhir yang ingin ditemui
Harry saat dia sedang tersesat, berlumur angus, dan kacamatanya pecah:
Draco Malfoy.
Harry
cepat-cepat memandang berkeliling dan me-lihat lemari besar hitam di
sebelah kirinya. Dia melesat masuk dan menarik pintunya, sampai tinggal
celah sedikit untuk mengintip. Beberapa detik kemudian bel berdentang
dan Malfoy masuk ke dalam toko.
Laki-laki
yang masuk di belakangnya pastilah ayah-nya. Wajahnya sama, pucat dan
runcing, dan matanya pun sama, abu-abu dingin. Mr Malfoy menyeberangi
ruangan, melihat barang-barang yang dipamerkan, dan membunyikan bel di
meja pajangan, sebelum menoleh kepada anaknya dan berkata, "Jangan
sentuh apa-apa, Draco."
Malfoy, yang sudah tiba di mata kaca, berkata, "Katanya aku akan dibelikan hadiah."
"Aku bilang aku akan membelikanmu sapu balap," kata ayahnya, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja pajangan.
"Apa
gunanya sapu kalau aku tidak masuk tim asrama?" kata Malfoy, tampangnya
cemberut dan marah. "Harry Potter dapat Nimbus Dua Ribu tahun lalu.
Izin khusus dari Dumbledore supaya dia bisa main untuk Gryffindor.
Padahal sih dia tidak hebat-hebat amat, cuma karena dia terkenal saja...
terkenal gara-gara punya bekas luka konyol di dahinya..."
Malfoy membungkuk, mengamati rak penuh teng-korak.
"...semua menganggapnya pintar, Potter yang hebat, dengan bekas luka dan sapunya..."
"Kau
sudah menceritakannya padaku paling tidak dua belas kali," kata Mr
Malfoy, dengan pandangan yang menyuruhnya diam. "Dan kuingatkan kau
bahwa tidaklah—bijaksana— memperlihatkan bahwa kau ku-rang menyukai
Harry Potter, mengingat sebagian besar bangsa kita menganggapnya sebagai
pahlawan yang membuat Pangeran Kegelapan menghilang... ah, Mr Borgin."
Seorang laki-laki tua bungkuk muncul di belakang meja, menyeka rambutnya yang berminyak dari wajahnya.
"Mr
Malfoy, senang sekali bertemu Anda lagi," kata Mr Borgin dengan suara
selicin rambutnya. "Gem-bira—dan Tuan Muda Malfoy, juga—sungguh
me-nyenangkan. Apa yang bisa saya bantu? Harus saya tunjukkan kepada
Anda, baru datang hari ini, dan harganya pun sangat bersaing..."
"Aku tidak mau beli hari ini, Mr Borgin, tapi jual," kata Mr Malfoy. "Jual?" Senyum agak memudar dari wajah Mr Borgin.
"Kau
sudah dengar, tentunya, bahwa Kementerian melakukan razia lagi," kata
Mr Malfoy, mengeluarkan gulungan perkamen dari saku dalamnya dan
mem-bukanya untuk dibaca Mr Borgin. "Aku punya be-berapa—ah—barang di
rumah yang bisa bikin aku malu, kalau Kementerian datang..."
Mr
Borgin menjepitkan kacamata tanpa gagang ke hidungnya dan membacanya.
"Kementerian tidak akan menyusahkan Anda, Sir, tentunya?"
Mr Malfoy mencibir.
"Aku
belum didatangi. Nama Malfoy masih di-hormati, tapi Kementerian semakin
suka mencampuri urusan orang lain. Ada desas-desus tentang adanya
Undang-undang Perlindungan Muggle baru—tak di-ragukan lagi si kutu busuk
goblok pecinta Muggle Arthur Weasley berada di belakang semua itu..."
Harry
berang sekali. "...dan seperti yang kaulihat, beberapa racun ini bisa
kelihatan..." "Saya mengerti, Sir, tentu saja," kata Mr Borgin. "Coba
saya lihat..." "Boleh aku beli itu?" sela Draco, menunjuk tangan keriput
di bantal.
"Ah,
Tangan Kemuliaan!" kata Mr Borgin, meninggal-kan daftar Mr Malfoy dan
bergegas mendatangi Draco. "Taruh lilin, dan lilin ini hanya akan
memberikan cahaya kepada pemegangnya! Sahabat terbaik para pencuri dan
penjarah! Selera anak Anda hebat, Sir."
"Kuharap
anakku akan jadi lebih dari sekadar pen-curi atau penjarah, Borgin,"
kata Mr Malfoy dingin dan Mr Borgin buru- buru berkata, "Tidak
menyindir, Sir, tidak bermaksud menyindir..."
"Meskipun
kalau angka-angkanya tidak bertambah baik," kata Mr Malfoy lebih dingin
lagi, "mungkin dia hanya pantas jadi pencuri dan penjarah."
"Bukan salahku," bantah Draco. "Semua guru punya anak emas, si Hermione Granger..."
"Kukira
kau akan malu bahwa anak perempuan yang bukan berasal dari keluarga
sihir mengalah-kanmu dalam semua ujian," tukas Mr Malfoy.
"Ha!" kata Harry dalam hati, senang melihat Draco kelihatan malu dan marah.
"Di semua tempat sama," kata Mr Borgin dengan suaranya yang licin. "Darah penyihir nilainya sudah berkurang di mana- mana..."
"Bagiku tidak," kata Mr Malfoy, cuping hidung panjangnya mekar.
"Tidak, Sir, bagi saya juga tidak, Sir," kata Mr Borgin, membungkuk rendah.
"Kalau
begitu, mungkin kita bisa kembali ke daftar-ku," kata Mr Malfoy pendek.
"Aku agak terburu-buru, Borgin, aku ada urusan penting di tempat lain
hari ini."
Mereka
mulai tawar-menawar. Harry mengawasi de-ngan cemas ketika Draco semakin
lama semakin dekat ke tempat persembunyiannya, melihat-lihat
barang-barang yang dijual. Dia berhenti untuk mengamati gulungan tali
panjang untuk menggantung orang dan membaca sambil menyeringai kartu
yang disandarkan pada kalung opal yang bagus sekali; Hati- hati: Jangan
Sentuh. Dikutuk—Sampai Hari Ini Sudah Minta Korban Sembilan Belas Muggle
Pemiliknya.
Draco berbalik dan melihat lemari persis di depan-nya. Dia mendekat... mengulurkan tangannya ke pegangan pintu...
"Baik," kata Mr Malfoy di meja pajangan.
"Ayo, Draco!" Harry menyeka dahinya ke lengan bajunya ketika Draco berbalik.
"Selamat
siang, Mr Borgin, kutunggu kau di rumah besok untuk mengambil
barang-barang itu." Begitu pintu tertutup, Mr Borgin menanggalkan sopan
santunnya. "Selamat siang sendiri saja, Mister Malfoy, dan jika cerita
yang beredar benar, kau belum menjual setengah dari yang kausembunyikan
di istanamu..."
Sambil
menggerutu sebal Mr Borgin menghilang ke ruang belakang. Harry menunggu
selama semenit, siapa tahu dia muncul lagi. Kemudian, sepelan mung-kin,
dia menyelinap keluar dari lemari, melewati kotak-kotak kaca, dan
keluar lewat pintu toko.
Sambil
menempelkan kacamatanya yang pecah ke wajahnya, Harry memandang
berkeliling. Dia berada di jalan kecil kumuh berisi toko-toko yang
semuanya menjual barang- barang untuk ilmu hitam. Toko yang baru saja
ditinggalkannya, Borgin and Burkes, kelihatan-nya yang paling besar,
tetapi di seberangnya ada etalase yang memajang kepala-kepala yang sudah
me-ngerut mengerikan, dan di dua toko sesudahnya ada-kandang besar
berisi banyak labah-labah raksasa yang berjalan ke sana kemari. Dua
penyihir laki-laki kumal mengawasinya dari bayang-bayang pintu, seraya
saling bergumam. Dengan gelisah Harry berjalan, memegangi kacamatanya
selurus mungkin dan berharap bisa me-nemukan jalan keluar dari tempat
ini.
Papan
nama kusam yang tergantung di atas toko yang menjual lilin beracun
memberitahunya bahwa dia berada di Knockturn Alley. Ini tidak membantu,
karena Harry belum pernah mendengar nama tempat ini. Rupanya dia tidak
bicara cukup jelas gara-gara mulutnya penuh abu sewaktu berada di
perapian keluarga Weasley. Harry berusaha tetap tenang dan memikirkan
apa yang akan dilakukannya.
"Tidak tersesat, kan, Nak?" kata suara di telinganya, membuatnya terlonjak.
Seorang
nenek sihir berdiri di depannya, membawa nampan yang kelihatannya
berisi kuku-kuku utuh manusia. Dia menyeringai kepada Harry, memamerkan
gigi-giginya yang berlumut. Harry mundur.
"Aku tak apa-apa, terima kasih," katanya, "aku cuma..."
"HARRY! Sedang apa kau di sini?"
Jantung
Harry melompat. Si nenek sihir juga me-lompat. Kuku-kuku dari nampannya
berjatuhan ke atas kakinya, dan dia mengutuk ketika sosok tinggi besar
Hagrid, pengawas binatang liar di Hogwarts, berjalan mendekati mereka,
mata- kumbangnya yang hitam berkilat-kilat di atas jenggot dan
berewoknya yang lebat.
"Hagrid!" Harry berseru parau dengan lega. "Aku tersesat... bubuk Floo..."
Hagrid
menyambar kerah baju Harry dan menarik-nya jauh- jauh dari si nenek
sihir, menyenggol nampan-nya sampai jatuh. Teriakan si nenek mengikuti
mereka sepanjang jalan kecil yang berkelok-kelok sampai mereka tiba di
tempat terang. Harry melihat gedung pualam seputih salju yang dikenalnya
di kejauhan: Bank Gringotts. Hagrid telah membawanya ke Diagon Alley.
"Kau
berantakan!" kata Hagrid pedas, mengibas abu dari tubuh Harry begitu
kerasnya sampai Harry nyaris tercebur ke dalam tong berisi kotoran naga
di luar toko obat. "Berkeliaran di Knockturn Alley, ke-lewatan—tempat
yang harus dihindari, Harry—jangan sampai ada yang lihat kau di sana..."
"Aku
sadar itu," kata Harry, menunduk ketika Hagrid mau mengibasnya lagi.
"Sudah kubilang, aku tersesat—kau sendiri ngapain di sana?"
"Aku sedang cari Pembasmi Siput Pemakan-Daging," kata Hagrid geram. "Mereka hancurkan kol sekolah. Kau tidak sendirian?"
"Aku menginap di rumah keluarga Weasley, tapi kami terpisah," Harry menjelaskan. "Aku harus men-can mereka..."
Mereka berjalan berdua.
"Kenapa
kau tidak pernah balas suratku?" tanya Hagrid, sementara Harry
berlari-lari kecil di sebelahnya (dia harus melangkah tiga kali untuk
mengimbangi setiap langkah bot besar Hagrid). Harry menjelaskan tentang
Dobby dan keluarga Dursley.
"Muggle brengsek," gerutu Hagrid. "Kalau aku tahu..."
"Harry! Harry! Di sini!"
Harry
mendongak dan melihat Hermione Granger berdiri di undakan putih paling
atas Gringotts. Dia berlari turun menyongsong mereka, rambutnya yang
lebat berkibar di belakangnya.
"Kenapa kacamatamu? Halo, Hagrid... Oh, senang sekali bertemu kalian berdua lagi... Kau mau ke Gringotts, Harry?"
"Kalau keluarga Weasley sudah kutemukan," kata Harry.
"Kau tak perlu tunggu lama," Hagrid nyengir.
Harry
dan Hermione memandang berkeliling. Tam-pak Ron, Fred, George, Percy,
dan Mr Weasley berlari-lari ke arah mereka di jalan yang padat itu.
"Harry,"
Mr Weasley tersengal. "Kami berharap kau cuma kejauhan satu
perapian..." Dia menyeka kepala botaknya yang berkilauan. "Molly sudah
panik—itu dia datang."
"Kau keluar di mana?" tanya Ron.
"Knockturn Alley," jawab Harry muram.
"Luar biasa!" komentar Fred dan George bersamaan.
"Kami belum pernah diizinkan ke sana," kata Ron iri.
"Mestinya
memang tidak," gerutu Hagrid. Mrs Weasley kini sudah kelihatan, berlari
dengan tas tangannya berayun liar di satu tangan, sementara Ginny
bergantung di tangan lainnya.
"Oh,
Harry—oh, Nak—kau bisa tersesat entah di mana..." Terengah kehabisan
napas, dia menarik keluar sikat pakaian dari dalam tasnya dan mulai
menyikat abu yang tidak berhasil dibersihkan Hagrid. Mr Weasley
mengambil kacamata Harry, mengetuknya dengan tongkatnya, dan
mengembalikannya pada Harry, sudah baru lagi.
"Aku
harus pergi," kata Hagrid, yang tangannya dijabat erat-erat oleh Mrs
Weasley ("Knockturn Alley! Coba kalau kau tidak menemukannya, Hagrid!").
"Sampai ketemu di Hogwarts!" Dan dia pergi, lebih tinggi sebahu
daripada siapa pun juga di jalan yang padat itu.
"Coba
tebak siapa yang kulihat di Borgin and Burkes?" kata Harry kepada Ron
dan Hermione ketika mereka menaiki undakan Gringotts. "Malfoy dan
ayahnya."
"Apa Lucius Malfoy membeli sesuatu?" tanya Mr Weasley tajam di belakang mereka.
"Tidak, dia jual."
"Ah, jadi dia cemas," kata Mr Weasley puas. "Oh, ingin rasanya menangkap Lucius Malfoy karena se-suatu...."
"Hati-hati,
Arthur," kata Mrs Weasley tajam, semen-tara mereka dipersilakan masuk
ke bank oleh goblin yang membungkuk di pintu. "Keluarga itu bikin
ma-salah, jangan menyuap lebih daripada yang bisa kau-kunyah."
"Jadi
menurutmu aku bukan tandingan Lucius Malfoy?" kata Mr Weasley jengkel,
tetapi perhatiannya langsung beralih ke orangtua Hermione, yang sedang
berdiri gelisah di depan meja panjang di dalam aula pualam besar itu,
menunggu Hermione memperkenal-kan mereka.
"Wah,
kalian Muggle!" kata Mr Weasley senang. "Kita harus minum! Apa yang
kalian pegang itu? Oh, kalian menukar uang Muggle. Molly, lihat!" Dengan
bersemangat ditunjuknya selembar uang sepuluh pound di tangan Mr
Granger.
"Sampai
ketemu di dalam," kata Ron kepada Hermione, ketika keluarga Weasley dan
Harry diantar ke ruangan besi bawah tanah mereka oleh goblin Gringotts
yang lain.
Ruangan
besi itu dicapai dengan kereta kecil, di-kendarai goblin, yang meluncur
kencang di atas rel kereta kecil melewati lorong-lorong bawah tanah
bank. Harry menikmati perjalanannya yang berkecepatan supertinggi menuju
ke ruangan besi keluarga Weasley. Ketika ruangan itu dibuka, dia merasa
sangat tidak enak, jauh lebih tidak enak daripada sewaktu dia berada di
Knockturn Alley. Hanya ada seonggok kecil Sickle perak di dalamnya, dan
hanya ada sekeping Galleon emas. Mrs Weasley meraba-raba sudut-sudutnya
sebelum meraup semuanya ke dalam tasnya. Harry merasa lebih tidak enak
lagi ketika mereka tiba di ruangan besinya. Dia berusaha menutupi isinya
dari pandangan selagi dia buru- buru memasukkan bergenggam-genggam koin
ke dalam tas kulit.
Kembali
di undakan pualam di luar, mereka ber-pisah. Percy bergumam tak jelas
bahwa dia perlu pena baru. Fred dan George sudah melihat teman mereka
dari Hogwarts, Lee Jordan. Mrs Weasley dan Ginny akan ke toko jubah
bekas. Mr Weasley men-desak suami-istri Granger ke Leaky Cauldron untuk
minum.
"Kita
semua bertemu di Flourish and Blotts sejam lagi untuk membeli buku-buku
sekolahmu," kata Mrs Weasley, mengajak Ginny pergi. "Dan jangan
berani-berani ke Knockturn Alley selangkah pun jangan!" dia berteriak
kepada punggung si kembar yang men-jauh.
Harry,
Ron, dan Hermione berjalan menyusuri jalan batu berkelok. Uang emas,
perak, dan perunggu yang bergemerincing di saku Harry menuntut
dibelanjakan, maka dia membeli tiga es krim stroberi-kacang besar yang
mereka nikmati dengan gembira sambil berjalan, melihat-lihat isi etalase
yang menarik. Ron memandang penuh ingin satu set lengkap jubah Chudley
Cannons di etalase Peralatan Quidditch Berkualitas sampai Hermione
menariknya untuk membeli tinta dan per-kamen di toko sebelahnya. Di toko
Lelucon Sihir Gambol and Japes, mereka bertemu Fred, George, dan Lee
Jordan, yang sedang membeli "Kembang Api Awal-Basah, Tanpa-Panas Dr
Filibuster", dan di toko kecil barang-barang rongsokan yang penuh
tongkat patah, timbangan kuningan yang sudah butut, dan jubah-jubah tua
bernoda bercak-bercak ramuan, mereka me-nemukan Percy, sedang asyik
membaca buku kecil sangat membosankan berjudul Prefek yang Meraih
Ke-kuasaan.
"Telaah
tentang para Prefek Hogwarts dan karier yang mereka rintis," Ron
membaca keras-keras dari sampul belakangnya. "Kedengarannya menarik
sekali...."
"Pergi," Percy membentak.
"Tentu
saja, si Percy itu sangat ambisius, dia sudah merencanakan segalanya...
cita-citanya menjadi Men-teri Sihir...," Ron memberitahu Harry dan
Hermione pelan, ketika mereka meninggalkan Percy bersama bukunya.
Satu
jam kemudian, mereka menuju Flourish and Blotts. Bukan hanya mereka
yang menuju toko buku itu. Ketika sudah dekat, mereka heran sekali
melihat gerombolan orang yang berdesakan di depan pintu, mau masuk.
Alasan untuk ini dinyatakan oleh spanduk besar yang digelar di antara
dua jendela atas:
GILDEROY LOCKHART akan menandatangani autobiografinya AKU YANG AJAIB hari ini pukul 12.30 - 16.30
"Kita bisa bertemu dia!" pekik Hermione. "Maksudku, hampir seluruh buku yang ada di daftar kita karangannya!"
Gerombolan
orang itu kelihatannya sebagian besar terdiri atas para penyihir wanita
seusia Mrs Weasley. Seorang penyihir pria bertampang bingung berdiri di
depan pintu,
berkata, "Tenang, Ibu-ibu... jangan dorong-dorongan... awas bukunya ketabrak..."
Harry
Ron, dan Hermione ikut berdesakan masuk. Antrean panjang memanjang
sampai ke bagian bela-kang toko, tempat Gilderoy Lockhart menandatangani
bukunya. Mereka masing- masing menyambar buku Heboh dengan Hantu, dan
menyelinap di antara orang-orang yang antre sampai tiba di tempat
keluarga Weasley berdiri bersama Mr dan Mrs Granger.
"Oh,
kalian sudah datang, bagus," kata Mrs Weasley Dia bicara seakan
kehabisan napas dan tak henti-hentinya merapikan rambutnya. "Sebentar
lagi kita bisa bertemu dia...." Gilderoy Lockhart akhirnya tampak, duduk
di bela-kang meja dikelilingi foto-foto besar wajahnya sendiri, semua
mengedipkan mata dan memamerkan gigi yang putih berkilau kepada para
pengunjung. Lockhart yang sesungguhnya memakai jubah biru bunga
for-get-me-not yang persis warna matanya, topi sihirnya yang berbentuk
kerucut terpasang gaya di atas ram-butnya yang berombak.
Seorang
laki-laki pendek bertampang menyebalkan melesat ke sana kemari,
memotret dengan kamera besar hitam yang setiap kali mengeluarkan asap
ungu bersamaan dengan menyalanya lampu blitz yang me-nyilaukan.
"Minggir kau," dia menggertak Ron, sambil mundur agar bisa mengambil gambar dengan lebih baik. "Ini untuk Daily Prophet."
"Uh, dasar sok," gerutu Ron, menggosok kakinya yang tadi diinjak si fotografer.
Gilderoy
Lockhart mendengarnya. Dia mendongak. Dia melihat Ron—dan kemudian dia
melihat Harry. Dia terbelalak. Kemudian dia melompat bangun dan
berteriak keras, "Tak mungkin itu Harry Potter?"
Kerumunan
orang menyibak, berbisik-bisik seru. Lockhart bergegas maju, meraih
lengan Harry dan menariknya ke depan. Orang-orang bertepuk tangan. Wajah
Harry serasa terbakar ketika Lockhart menjabat tangannya, berpose untuk
si fotografer, yang memotret gila-gilaan, menyebar asap tebal di atas
keluarga Weasley.
"Senyum
yang lebar, Harry," kata Lockhart sambil memamerkan giginya yang
berkilau. "Berdua, kau dan aku layak menghiasi halaman depan."
Ketika
dia akhirnya melepas tangan Harry, jari-jari Harry nyaris kebas. Dia
mencoba menyelinap kembali kepada keluarga Weasley, tetapi Lockhart
melingkarkan lengannya ke bahu Harry dan menariknya rapat-rapat ke
sisinya.
"Ibu-ibu
dan Bapak-bapak," katanya keras, me-lambaikan tangan agar pengunjung
diam. "Sungguh saat yang luar biasa. Saat yang paling tepat bagiku untuk
mengumumkan sesuatu yang sudah kusimpan selama beberapa waktu ini!
"Ketika
Harry masuk ke Flourish and Blotts hari ini, dia hanya ingin membeli
autobiografi saya, yang de-ngan senang hati akan saya hadiahkan
kepadanya sekarang, gratis..." orang-orang bertepuk tangan lagi, "...dia
sama sekali tak tahu," Lockhart melanjutkan, mengguncang tubuh Harry,
membuat kacamatanya melorot ke ujung hidungnya, "bahwa dalam waktu dekat
dia sendiri akan mendapatkan jauh lebih banyak daripada buku saya, Aku
yang Ajaib. Dia dan teman-teman sekolahnya, sebenarnya, akan mendapat
aku yang ajaib yang sesungguhnya. Ya, Ibu-ibu dan Bapak-bapak, dengan
senang dan bangga saya umumkan bahwa bulan September ini saya akan
mengisi jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam di Sekolah Sihir
Hogwarts!"
Orang-orang
bersorak dan bertepuk tangan dan Harry tahu-tahu dihadiahi seluruh
karya Gilderoy Lockhart. Sedikit terhuyung karena keberatan, dia
ber-hasil menyingkir dari pusat perhatian ke tepi ruangan, tempat Ginny
berdiri di sebelah kuali barunya.
"Ini untukmu," Harry bergumam kepadanya, me-nuang buku-bukunya ke dalam kuali Ginny. "Aku akan beli sendiri..."
"Taruhan
kau pasti senang, ya, Potter?" kata suara yang langsung dikenali Harry.
Dia menegakkan tubuh-nya dan berhadapan dengan Draco Malfoy, yang
se-perti biasa mencibir.
"Harry Potter yang terkenal," kata Malfoy. "Bahkan. tak bisa masuk toko buku tanpa muncul di halaman pertama koran."
"Jangan
ganggu dia, dia tidak menginginkan semua itu!" kata Ginny. Ini pertama
kalinya dia bicara di depan Harry. Dia membelalak kepada Malfoy.
"Potter,
kau punya pacar nih," ejek Malfoy. Wajah Ginny jadi merah padam.
Sementara itu Ron dan Hermione bersusah payah berusaha mendekati
me-reka, keduanya memeluk setumpuk buku Lockhart.
"Oh,
kau," kata Ron, memandang Malfoy seakan dia sesuatu yang tidak
menyenangkan di sol sepatu-nya. "Pasti kau kaget ketemu Harry di sini,
eh?"
"Tidak sekaget melihatmu di toko, Weasley," balas Malfoy.
"Kurasa orangtuamu akan kelaparan sebulan demi membayar buku-buku itu."
Wajah
Ron jadi semerah Ginny. Dia menjatuhkan buku- bukunya ke dalam kuali
juga dan maju men-dekati Malfoy, tetapi Harry dan Hermione menyambar
bagian belakang jaketnya.
"Ron!" kata Mr Weasley, berdesakan mendekat ber-sama Fred dan George. "Sedang apa kau? Gila sekali di sini, ayo kita keluar."
"Wah, wah, wah—Arthur Weasley."
Ternyata Mr Malfoy. Dia berdiri dengan tangan di bahu Draco, mencibir dengan cara yang sama.
"Lucius," kata Mr Weasley, mengangguk dingin.
"Sibuk di Kementerian, kudengar," kata Mr Malfoy. "Razia terus-terusan... kuharap mereka membayar uang lembur?"
Dia
meraih ke dalam kuali Ginny dan mengeluar-kan, dari antara buku-buku
Lockhart yang licin ber-kilat, buku Pengantar Transfigurasi bagi Pemula
yang sudah sangat usang dan kumal.
"Jelas
tidak," katanya. "Astaga, buat apa mendapat nama buruk di kalangan para
penyihir kalau mereka bahkan tidak membayarmu dengan baik?"
Mr Weasley lebih merah padam daripada Ron dan Ginny.
"Kami punya penilaian yang sangat berbeda tentang apa yang mendatangkan nama buruk bagi penyihir, Malfoy," katanya.
"Itu
jelas," kata Mr Malfoy, matanya yang pucat ganti menatap Mr dan Mrs
Granger, yang mengawasi dengan khawatir. "Melihat teman-teman yang
kaupilih, Weasley... kupikir keluargamu sudah tidak bisa ter-puruk lebih
dalam lagi..."
Terdengar
dentang logam ketika kuali Ginny ter-bang. Mr Weasley telah menerjang
Mr Malfoy, mem-buatnya jatuh ke belakang menabrak rak buku.
Ber-puluh-puluh buku mantra berat berjatuhan mengenai kepala mereka
semua. Terdengar teriakan, "Hajar dia, Dad!" dari Fred dan George. Mrs
Weasley berteriak-teriak, "Jangan, Arthur, jangan!" Orang banyak
ber-gerak mundur, menabrak lebih banyak rak buku. "Bapak- bapak, jangan
berkelahi—tolong jangan ber-kelahi!" seru pegawai toko. Dan kemudian,
lebih keras dari semuanya,
"Berhenti, hei, berhenti..."
Hagrid
berjalan ke arah mereka di tengah lautan buku. Sekejap saja dia sudah
memisahkan Mr Weasley dan Mr Malfoy. Bibir Mr Weasley robek dan mata Mr
Malfoy bengkak tertimpa Ensiklopedi Jamur Payung. Dia masih memegangi
buku transfigurasi usang Ginny. Diulurkannya buku itu kepada Ginny,
matanya ber-kilau jahat.
"Nih, ambil bukumu—ini yang paling baik yang bisa dibelikan ayahmu..."
Melepaskan diri dari pegangan Hagrid, dia memberi isyarat kepada Draco dan meninggalkan toko.
"Kau
seharusnya jangan acuhkan dia, Arthur," kata Hagrid, nyaris mengangkat"
Mr Weasley yang sedang merapikan jubahnya. "Jahat sekali, seluruh
keluarga, semua orang tahu. Malfoy tak layak didengarkan. Darah jelek,
itu penyebabnya. Ayo—kita keluar dari sini."
Si
pegawai toko kelihatannya ingin mencegah mereka pergi, tetapi tingginya
tak sampai seping-gang Hagrid. Jadi, dia memutuskan lebih baik diam
saja. Mereka bergegas ke jalan, suami-istri Granger gemetar ketakutan
dan Mrs Weasley bukan main marahnya.
"Contoh bagus untuk anak-anakmu... berkelahi di depan umum... entah apa pendapat Gilderoy Lockhart...."
"Dia
senang," kata Fred. "Apa Mum tidak men-dengarnya ketika kita keluar?
Dia bertanya kepada wartawan Daily Prophet, apakah bisa memasukkan
perkelahian itu dalam tulisannya—katanya untuk publisitas."
Tetapi
rombongan yang kembali ke perapian di Leaky Cauldron adalah rombongan
yang lesu. Dari tempat itu Harry, keluarga Weasley, dan semua belanjaan
mereka akan pulang ke The Burrow meng-gunakan bubuk Floo. Mereka
mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga Granger, yang akan
me-ninggalkan rumah minum itu untuk menuju ke jalan Muggle di sisi lain.
Mr Weasley sudah mulai bertanya kepada mereka bagaimana cara halte bus
beroperasi, tetapi cepat- cepat berhenti ketika melihat tampang Mrs
Weasley.
Harry
membuka kacamatanya dan menyimpannya dengan aman di dalam sakunya
sebelum menjumput bubuk Floo. Ini jelas bukan cara bepergian favoritnya.
5. Dedalu Perkasa
AKHIR
liburan musim panas datang terlalu cepat bagi Harry. Dia memang senang
kembali ke Hogwarts, tetapi sebulan bersama keluarga Weasley merupakan
saat paling menyenangkan dalam hidupnya. Susah untuk tidak iri kepada
Ron kalau dia teringat keluarga Dursley dan macam sambutan yang bisa
diharapkannya kalau dia muncul kembali di Privet Drive kali berikutnya.
Pada
malam terakhir mereka, Mrs Weasley menyihir makan malam mewah yang
mencakup semua ma-kanan favorit Harry ditutup dengan puding karamel yang
menimbulkan air liur. Fred dan George meng-akhiri malam itu dengan
memasang kembang api Filibuster. Kembang api itu memenuhi dapur dengan
bintang-bintang merah dan biru yang memantul dari langit-langit ke
dinding selama sedikitnya setengah jam. Kemudian tiba saatnya untuk
minum secangkir cokelat panas sebelum tidur.
Perlu waktu lama untuk siap berangkat keesokan harinya. Mereka sudah bangun bersamaan dengan kokok ayam pagi-
pagi
sekali, tetapi rasanya banyak sekali yang harus dilakukan. Mrs Weasley
berkelebat ke sana kemari sambil ngomel, mencari kaus kaki dan pena
cadangan. Orang-orang tak hentinya bertabrakan di tangga, berpakaian
setengah-lengkap, dengan se-potong roti di tangan, dan Mr Weasley nyaris
patah leher karena terantuk ayam tersesat ketika dia me-nyeberangi
halaman dengan membawa koper Ginny ke mobil.
Harry
tidak mengerti bagaimana nanti delapan orang, enam koper besar, dua
burung hantu, dan seekor tikus bisa muat dalam Ford Anglia kecil. Dia
tidak memperhitungkan, tentu saja, keistimewaan khu-sus yang telah
ditambahkan Mr Weasley.
"Jangan
bilang apa-apa kepada Molly," bisiknya ke-pada Harry ketika dia membuka
-bagasi dan me-nunjukkan bagaimana bagasi itu sudah dibesarkan dengan
sihir sehingga bisa memuat koper-koper.
Ketika
akhirnya mereka semua sudah masuk mobil, Mrs Weasley melirik ke tempat
duduk belakang, di mana Harry, Ron, Fred, George, dan Percy duduk nyaman
bersebelahan, dan berkata, "Muggle benar-benar mampu melakukan lebih
banyak daripada yang kita kira. Kita suka meremehkan mereka." Dia dan
Ginny masuk dan duduk di tempat duduk depan, yang sudah dipanjangkan
sehingga mirip bangku taman. "Maksudku, dari luar kita tidak menyangka
selega ini, kan?"
Mr
Weasley menyalakan mesin dan mobil meluncur meninggalkan halaman. Harry
menoleh untuk meman-dang rumah terakhir kali. Belum sempat dia bertanya
kapan dia akan bisa melihatnya kembali, mereka sudah berputar balik.
Kembang api Filibuster George ke-tinggalan. Lima menit sesudah itu,
mereka menyentak berhenti di halaman supaya Fred bisa berlari mengam-bil
sapunya. Mereka sudah hampir tiba di jalan tol ketika Ginny memekik
buku hariannya ketinggalan. Saat dia naik kembali ke mobil, mereka sudah
sangat terlambat, dan semua orang sudah jengkel dan mau-nya marah.
Mr Weasley melirik arlojinya dan kemudian istrinya.
"Molly sayang..."
"Tidak, Arthur."
"Tak
akan ada yang lihat. Tombol kecil ini—Buster Tidak Tampak—pendorong
yang akan membuat mobil tidak kelihatan—yang sekaligus akan membuatnya
ter-angkat ke atas. Kemudian kita akan terbang di atas awan. Kita akan
tiba di sana dalam waktu sepuluh menit dan tak akan ada orang yang
tahu..."
"Kubilang tidak, Arthur, tidak di siang bolong."
Mereka
tiba di King's Cross pukul sebelas kurang seperempat. Mr Weasley
melesat menyeberang jalan, mengambil troli untuk koper-koper mereka, dan
me-reka semua bergegas masuk stasiun.
Harry
sudah pernah naik Hogwarts Express tahun sebelumnya. Bagian yang sulit
adalah menuju ke peron sembilan tiga perempat, yang tidak tampak bagi
mata Muggle. Yang harus kaulakukan hanyalah berjalan menembus palang
rintangan yang memisah-kan peron sembilan dan sepuluh. Tidak sakit,
tetapi harus dilakukan hati-hati supaya tak ada Muggle yang melihat kau
tiba-tiba menghilang.
"Percy
duluan," kata Mrs Weasley, gugup me-mandang jam di atas yang
menunjukkan mereka ting-gal punya waktu lima menit untuk menghilang
de-ngan santai melewati palang rintangan.
Percy melangkah cepat dan menghilang. Mr Weasley berikutnya, disusul Fred dan George.
"Aku akan membawa Ginny dan kalian berdua langsung menyusul," Mrs Weasley berkata kepada Harry dan Ron,
menggandeng tangan Ginny dan berangkat. Dalam sekejap mereka sudah menghilang.
"Ayo masuk bareng, kita cuma punya waktu se-menit," kata Ron kepada Harry.
Setelah
memastikan sangkar Hedwig sudah ter-pasang aman di atas kopernya,
Harrry mendorong trolinya untuk menembus palang. Dia merasa sangat
percaya diri. Ini lebih nyaman dibanding meng-gunakan bubuk Floo. Mereka
berdua membungkuk rendah di atas pegangan troli dan berjalan man tap ke
arah palang rintangan, makin lama makin cepat. Kira-kira semeter dari
palang mereka berlari dan...
GUBRAK.
Kedua
troli menabrak palang rintangan dan me-mantul balik. Koper Ron jatuh
dengan suara keras. Harry terjatuh dan sangkar Hedwig terguling ke
lantai yang licin lalu menggelinding. Hedwig menjerit-jerit marah.
Orang-orang menonton dan seorang penjaga di dekat palang berteriak
marah, "Kalian ini ngapain?"
"Kehilangan
kendali troli," kata Harry tersengal, memegangi tulang rusuknya sambil
berdiri. Ron berlari untuk mengambil Hedwig, yang ribut sekali, membuat
banyak orang dalam kerumunan bergumam tentang kekejaman terhadap
binatang.
"Kenapa kita tidak bisa tembus?" desis Harry kepada Ron.
"Entahlah..."
Ron memandang berkeliling dengan cemas. Kira-kira selusin orang masih memandang mereka dengan ingin tahu.
"Kita
akan ketinggalan kereta," bisik Ron. "Aku tak mengerti kenapa gerbang
masuk ini terkunci..." Harry memandang jam raksasa dengan hati
men-celos. Sepuluh detik... sembilan detik...
Dia
mendorong trolinya ke depan dengan hati-hati sampai menempel ke palang
dan mendorong sekuat tenaga. Logam palang tetap kokoh.
Tiga detik... dua detik... satu detik...
"Keretanya
berangkat," kata Ron panik. "Keretanya sudah berangkat. Bagaimana kalau
Mum dan Dad tidak bisa menembus gerbang kembali ke kita? Kau punya uang
Muggle?"
Harry
tertawa hambar. "Sudah kira-kira enam tahun ini keluarga Dursley tidak
memberiku uang saku." Ron menempelkan telinganya ke palang yang dingin.
"Tidak
kedengaran apa-apa," ka.tanya tegang. "Apa yang akan kita lakukan? Aku
tak tahu berapa lama lagi Mum dan Dad bisa kembali ke kita."
Mereka
memandang berkeliling. Orang-orang masih mengawasi mereka, terutama
gara-gara teriakan-teriakan Hedwig yang tak kunjung berhenti.
"Kurasa lebih baik kita menunggu di mobil," kata Harry.
"Kita menarik terlalu banyak perhat..."
"Harry!" seru Ron, matanya berbinar. "Mobil."
"Kenapa mobilnya?"
"Kita bisa menerbangkannya ke Hogwarts!"
"Tapi bukankah..."
"Kita
ketinggalan kereta, betul? Dan kita harus ke sekolah, kan? Dan bahkan
penyihir di bawah umur diizinkan menggunakan sihir, kalau keadaan
benar-benar darurat, pasal sembilan belas atau entah berapa dalam
Pembatasan Hal- hal..."
Kepanikan Harry mendadak berubah menjadi ke-gairahan.
"Kau bisa menerbangkannya?"
"Tidak
masalah," kata Ron, memutar trolinya meng-hadap pintu keluar. "Ayo,
cepat, kalau bergegas kita masih akan bisa mengikuti Hogwarts Express."
Mereka
melewati kerumunan Muggle-muggle yang ingin tahu, keluar dari stasiun
dan kembali ke tepi jalan tempat Ford Anglia tua diparkir.
Ron
membuka bagasinya yang luas dengan sederet ketukan tongkatnya. Dengan
susah payah mereka me-masukkan kembali koper-koper mereka, meletakkan
Hedwig di tempat duduk belakang, dan duduk di tempat duduk depan.
"Periksa
apa ada yang melihat," kata Ron, meng-hidupkan mesin dengan ketukan
tongkatnya juga. Harry menjulurkan kepala ke luar jendela. Jalan raya di
depan cukup ramai, tetapi jalan tempat mereka berada kosong.
"Oke," katanya.
Ron
menekan tombol perak kecil di dasbor. Mobil-mobil di sekitar mereka
lenyap—begitu juga mereka. Harry bisa merasakan tempat duduknya
bergetar, men-dengar derum mesinnya, merasakan tangannya di lututnya dan
kacamata yang bertengger di hidungnya, tetapi rasanya dia sudah berubah
menjadi sepasang bola mata saja, melayang kira-kira semeter di atas
tanah di jalan kumuh yang dipenuhi mobil- mobil yang parkir.
"Kita berangkat," terdengar suara Ron dari sebelah kanannya.
Tanah
dan bangunan-bangunan kotor di kanan-kiri mereka terjatuh dan
menghilang dari pandangan ketika mobil mengangkasa. Dalam beberapa detik
saja seluruh London terhampar berkabut dan berkilau di bawah mereka.
Kemudian
terdengar bunyi pop dan mobil, Harry, serta Ron kelihatan lagi. "Uh,
oh," kata Ron, menekan-nekan Buster Tidak Tampak. "Rusak rupanya..."
Keduanya memukul-mukul tombol itu. Mobil kem-bali menghilang. Kemudian
muncul lagi.
"Pegangan!"
teriak Ron, dan dia menekankan kaki-nya ke pijakan gas. Mereka langsung
melesat ke dalam awan-awan rendah seperti wol dan segalanya berubah
menjadi suram dan berkabut.
"Sekarang bagaimana?" tanya Harry, menatap dinding awan tebal yang menekan mereka dari segala penjuru.
"Kita perlu melihat kereta apinya agar bisa melihat ke arah mana kita harus pergi," kata Ron.
"Turun lagi—cepat..."
Mereka
turun lagi ke bawah awan-awan dan me-nyipitkan mata memandang ke
bawah... "Aku bisa melihatnya!" Harry berteriak. "Itu dia— itu, di
sana!" Hogwarts Express meluncur di bawah mereka se-perti ular merah.
"Ke
utara," kata Ron, mengecek kompas di dasbor. "Oke, kita tinggal
mengeceknya setengah jam sekali. Pegangan..." Dan mereka melesat
menembus awan. Semenit kemudian, mereka muncul dalam cahaya te-rang
matahari.
Sungguh
dunia yang berbeda. Roda-roda mobil me-luncur di atas lautan awan-awan
putih lembut. Langit terhampar biru di bawah sinar matahari yang
me-nyilaukan.
"Yang tinggal kita cemaskan hanyalah pesawat," kata Ron. Mereka saling pandang dan mulai tertawa, lama sekali tak bisa berhenti.
Rasanya
mereka dijatuhkan ke dalam mimpi yang luar biasa indah. Ini, pikir
Harry, jelas satu-satunya cara bepergian; melewati pusaran dan gundukan
awan-awan seputih salju, di dalam mobil yang disiram cahaya matahari,
dengan bungkusan besar permen di dalam kompartemen, dan harapan melihat
wajah iri Fred dan George ketika mereka mendarat dengan mulus dan
spektakuler di lapangan rumput di depan kastil Hogwarts.
Secara
teratur mereka mengecek kereta api semen-tara mereka terbang makin lama
makin jauh ke utara. Setiap kali menukik ke bawah awan, pemandangan
yang mereka lihat berbeda. London segera saja sudah jauh tertinggal di
belakang, digantikan ladang-ladang hijau yang kemudian disusul
tanah-tanah luas ke-unguan, desa-desa dengan rumah dan gereja yang
tampak kecil-kecil seperti mainan, dan sebuah kota besar yang hidup
dengan mobil-mobil berseliweran seperti semut-semut multi-warna.
Meskipun
demikian, setelah beberapa jam tanpa kejadian apa-apa, Harry harus
mengakui bahwa se-bagian keasyikannya sudah pudar. Permennya telah
membuat mereka haus sekali dan mereka tak punya apa-apa untuk diminum.
Dia dan Ron sudah melepas rompi mereka, tetapi T-shirt Harry sudah
menempel ke tempat duduknya dan kacamatanya bolak-balik merosot dari
hidungnya yang berkeringat. Dia sudah berhenti mengamati bentuk-bentuk
awan yang fan-tastis sekarang, dan memikirkan kereta api yang ber-kilo-
kilo meter di bawah mereka. Di dalam kereta mereka bisa membeli jus labu
kuning dingin dari troli yang didorong penyihir wanita gemuk. Kenapa
mereka tidak bisa menembus palang menuju peron sembilan tiga perempat?
"Pasti
tidak jauh lagi, kan?" kata Ron serak, berjam-jam kemudian, ketika
matahari sudah mulai terbenam dalam landasan awannya, membuatnya
berwarna merah jingga.
"Siap mengecek kereta api lagi?"
Kereta
apinya masih di bawah mereka, berkelok mengitari gunung yang puncaknya
berselimut salju. Di bawah kanopi awan keadaan jauh lebih gelap.
Ron menginjak gas dan membawa mobil naik lagi, tetapi mendadak mesinnya mulai menderu aneh.
Harry dan Ron bertukar pandang gugup. "Mungkin cuma lelah," kata Ron. "Soalnya belum pernah pergi sejauh ini..."
Dan
mereka berdua berpura-pura tidak memper-hatikan deru aneh yang semakin
lama semakin keras, sementara langit secara pasti semakin gelap.
Bintang-bintang bermunculan dalam kegelapan. Harry kembali memakai
rompinya, berusaha mengabaikan kipas kaca mobil yang sekarang
bergerak-gerak lemah, seakan memprotes.
"Tidak
jauh lagi," kata Ron, lebih kepada mobilnya daripada kepada Harry.
"Tidak jauh lagi sekarang," dan dia membelai dasbor dengan gugup.
Ketika
mereka terbang kembali di bawah awan-awan tak lama kemudian, mereka
harus menyipitkan mata menembus kegelapan untuk mencari tanda-tanda yang
mereka kenal.
"Itu dia!" teriak Harry, membuat Ron dan Hedwig terlonjak kaget. "Di depan!"
Seperti siluet di kaki langit yang gelap, tinggi di atas karang di seberang danau, tampaklah menara-menara kastil Hogwarts.
Tetapi mobil sudah mulai bergetar dan kecepatannya sudah berkurang.
"Ayolah," kata Ron membujuk, menggoyang sedikit roda kemudi, "sudah hampir sampai, ayolah..."
Mesin
mengeluh. Semburan-semburan asap ber-munculan dari bawah kap mobil.
Harry memegangi tepi tempat duduknya erat-erat ketika mereka terbang
menuju danau.
Mobil
berguncang keras. Mengerling ke luar lewat jendela, Harry melihat
permukaan air yang licin gelap berkilauan, satu setengah kilo di bawah
mereka. Buku-buku jari Ron memutih di atas roda kemudi. Mobil berguncang
lagi.
"Ayolah,"
Ron bergumam. Mereka berada di atas danau... kastil persis di depan
mereka... Ron menginjak pedal gas. Terdengar bunyi debam keras, bunyi
merepet, kemu-dian mesin mati total.
"Uh, oh," kata Ron dalam kesunyian.
Hidung mobil merendah. Mereka terjatuh, makin lama makin cepat, menuju tembok kastil yang kokoh.
"Tidaaaaaaaaak!"
jerit Ron, membanting setir seratus delapan puluh derajat Mereka lolos
dari tembok hanya beberapa senti saja ketika mobil berbelok dalam
lengkungan besar, melesat di atas rumah-rumah kaca yang gelap, melewati
kebun sayur, dan keluar ke halaman yang gelap, semakin lama semakin
rendah.
Ron melepas roda kemudi sepenuhnya dan menarik tongkatnya dari saku belakang.
"STOP!
STOP!" dia memekik, memukul-mukul dasbor dan kaca depan, tetapi mereka
terus meniikik, daratan serasa terbang ke atas menyongsong mereka....
"AWAS POHON ITU!" Harry berteriak, menyambar roda kemudi, tetapi terlambat...
GUBRAK!
Bunyi
logam menabrak kayu memekakkan telinga ketika mobil menghantam batang
pohon yang besar. Mobil terbanting ke tanah dengan empasan keras. Asap
mengepul dari atapnya yang penyok. Hedwig menjerit-jerit ketakutan,
benjolan sebesar bola golf berdenyut-denyut di kepala Harry yang tadi
mem-bentur kaca depan, dan di sebelah kanannya Ron mengerang putus asa.
"Kau tak apa-apa?" tanya Harry cemas. "Tongkatku," kata Ron dengan suara gemetar. "Lihat tongkatku."
Tongkat itu patah, nyaris menjadi dua. Ujungnya tergantung lunglai, hanya menempel pada seserpih kayu.
Harry
membuka mulut untuk mengatakan dia yakin mereka akan bisa
membetulkannya di sekolah, tetapi dia tak sempat bicara apa-apa. Tepat
pada saat itu sesuatu menghantam mobil di sisi tern pat Harry duduk,
dengan kekuatan banteng gila. Harry terlempar ke arah Ron. Pada saat
bersamaan, pukulan yang sama besarnya menghantam atap mobil.
"Apa yang terja...?"
Ron
ternganga kaget, terbelalak memandang lewat kaca depan, dan Harry
berbalik tepat ketika dahan sebesar ular piton menghantam kaca itu.
Pohon yang mereka tabrak menyerang mereka. Batangnya ter-bungkuk nyaris
terlipat dua, dan dahan-dahannya yang berbonggol-bonggol memukul-mukul
segala bagian mobil yang bisa dicapainya.
"Aaaargh!"
jerit Ron ketika dahan bengkok lain menghantam pintu mobilnya sampai
melesak. Kaca depan sekarang bergetar di bawah hujan pukulan
ranting-ranting— yang bentuknya seperti buku-buku jari. Dan dahan
setebal alu memukul-mukul atap mobil, yang kelihatannya sudah siap
ambruk....
"Lari!"
Ron berteriak, melempar tubuhnya ke pintu, tetapi detik berikutnya dia
sudah dihantam mundur ke pangkuan Harry oleh dahan yang lain lagi.
"Habis deh kita!" erangnya, ketika atap mobil me-lesak, tetapi mendadak lantai mobil bergetar—mesin-nya hidup lagi.
"Mundur!"
teriak Harry dan mobil meluncur ke belakang. Pohon itu masih mencoba
memukuli mereka. Mereka bisa mendengar akar.-akarnya berkeriut ketika si
pohon nyaris mencabut dirinya sendiri dalam usaha-nya memukul mereka
yang meluncur menjauh dari jangkauan.
"Nyaris...," sengal Ron, "...saja. Bagus sekali, Bil."
Tetapi
si mobil telah kehabisan kesabaran. Dengan dua bunyi berkelontang,
pintu-pintu terbuka dan Harry merasa tempat duduknya terangkat miring,
lalu tahu-tahu dia sudah telentang di tanah basah. Bunyi "bag... bug..."
keras memberitahunya bahwa mobil sedang mengeluarkan koper- koper
mereka dari bagasi. Sangkar Hedwig melayang di udara dan jatuh terbuka.
Burung hantu betina itu terbang keluar de-ngan jeritan marah dan terbang
menuju kastil tanpa menoleh ke belakang. Kemudian, mobil yang sudah
melesak, penyok, tergores-gores, dan berasap ini me-luncur ke dalam
kegelapan. Lampu belakangnya me-nyorot penuh kemarahan.
"Kembali!"
Ron meneriakinya, sambil mengacung-acungkan tongkatnya. "Dad akan
membunuhku!" Tetapi mobil itu menghilang dari pandangan seiring dengusan
terakhir knalpotnya. "Bisakah kaupercayai nasib kita?" ratap Ron
merana, membungkuk untuk memungut Scabbers si tikus.
"Dari begitu banyak pohon yang bisa kita tabrak, kita ternyata menabrak yang itu."
Dia mengerling lewat bahunya ke pohon tua itu, yang masih melambai-lambaikan dahan-dahannya de-ngan penuh ancaman.
"Ayo,"
kata Harry letih, "lebih baik kita ke sekolah...." Kedatangan mereka
bukanlah kedatangan penuh kejayaan yang mereka bayangkan. Dengan badan
kaku, memar, dan kedinginan, mereka meraih ujung koper mereka dan mulai
menyeretnya terseok-seok mendaki bukit berumput, menuju pintu besar dari
kayu ek.
"Kurasa
pestanya sudah mulai," kata Ron, menjatuh-kan kopernya di kaki undakan
dan diam-diam me-nyeberang untuk mengintip dari jendela yang terang
benderang. "Hei, Harry, lihat—sedang acara seleksi!"
Harry bergegas mendekat dan berdua mereka mengintip ke dalam Aula Besar.
Lilin-lilin
tak terhitung banyaknya beterbangan di atas empat meja panjang, membuat
piring-piring dan piala emas di atasnya berkilauan. Di atasnya,
langit-langit sihiran tampak persis dengan langit di luar, dengan
taburan bintang berkelap- kelip.
Menembus
hutan topi kerucut hitam Hogwarts, Harry melihat deretan panjang
anak-anak kelas satu yang ketakutan memasuki Aula. Ginny berada di
antara mereka, mudah ditemukan karena rambut Weasley-nya yang merah
mencolok. Sementara itu, Profesor McGonagall, penyihir wanita
berkacamata de-ngan rambut digelung ketat, meletakkan Topi Seleksi
Hogwarts yang terkenal di atas bangku di depan para murid baru.
Setiap
tahun, topi tua ini, yang sudah bertambal, berjumbai, dan kotor,
menyeleksi murid-murid baru ke dalam empat asrama Hogwarts (Gryffindor,
Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin). Harry ingat betul bagaimana
perasaannya ketika dia memakai topi itu, tepat setahun yang lalu, dan
dengan ketakutan menunggu keputusan si topi, sementara topi itu
ber-gumam keras ke dalam telinganya. Selama beberapa detik mengerikan
dia takut topi itu akan memasuk-kannya ke Slytherin, asrama yang telah
menghasilkan lebih banyak penyihir hitam dibanding ketiga asrama
lainnya—tetapi ternyata dia terpilih masuk Gryffindor, bersama Ron,.
Hermione, dan anak-anak keluarga Weasley yang lain. Semester yang lalu,
Harry dan Ron telah membantu Gryffindor memenangkan Piala Asrama,
mengalahkan Slytherin untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun tefakhir.
Seorang anak laki-laki kecil berambut kelabu seperti tikus dipanggil ke
depan untuk meletakkan topi itu di kepalanya. Mata Harry memandang
melewati anak ini ke tempat Profesor Dumbledore, kepala sekolah, yang
duduk menonton seleksi ini dari meja guru, jenggot panjangnya yang
keperakan dan kacamata bulan-separonya berkilauan tertimpa cahaya lilin.
Be-berapa
kursi dari Dumbledore, Harry melihat Gilderoy Lockhart, memakai jubah
berwarna hijau toska. Dan di ujung meja duduk Hagrid, besar dan berbulu,
asyik minum dari pialanya.
"Eh...," Harry bergumam kepada Ron. "Ada kursi kosong di meja guru... Di mana Snape?"
Profesor
Snape adalah guru yang paling tidak di-sukai Harry. Harry kebetulan
juga murid yang paling tidak disukai Snape.' Snape yang kejam, sinis,
dan tidak disukai oleh semua anak, kecuali anak-anak dari asramanya
sendiri (Slytherin), mengajar Ramuan.
"Mungkin
dia sakit!" kata Ron penuh harap. ''Mungkin dia keluar," kata Harry,
"karena tidak terpilih mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lagil"
"Atau siapa tahu dia dikeluarkan!" kata Ron penuh semangat. "Maksudku,
semua anak benci padanya..."
"Atau
mungkin," kata suara sangat dingin tepat di belakang mereka, "dia
sedang menunggu alasan kenapa kalian berdua tidak datang naik kereta api
sekolah."
Harry
berputar. Di depannya, dengan jubah hitam beriak ditiup angin sepoi,
berdiri Severus Snape. Snape bertubuh kurus, dengan kulit pucat, hidung
bengkok, dan rambut berminyak sebahu, dan pada saat ini dia sedang
tersenyum sedemikian rupa sehingga Harry tahu dia dan Ron dalam
kesulitan besar.
"Ikut aku," kata Snape.
Bahkan
saling pandang pun mereka tak berani. Harry dan Ron mengikuti Snape
menaiki undakan memasuki Aula Depan yang bergema, yang dikelilingi obor.
Aroma lezat masakan menguar dari Aula Besar, tetapi Snape membawa
mereka menjauh dari ke-hangatan dan cahaya, menuruni tangga batu sempit
yang menuju ke ruang bawah tanah.
Mereka melewati lorong yang gelap dan dingin.
Setelah setengah jalan menyusurinya, terdapat sebuah pintu. "Masuk!" perintah Snape, seraya menunjuk.
Mereka
masuk ke kantor Snape, gemetar. Dinding-nya yang remang-remang
dikelilingi rak penuh staples kaca besar. Di dalam staples-staples itu
mengapung berjenis-jenis benda menjijikkan yang namanya tak ingin
diketahui Harry saat ini. Perapiannya gelap dan kosong. Snape menutup
pintu dan berbalik meman-dang mereka.
"Jadi,"
katanya pelan, "kereta api tidak cukup baik untuk Harry Potter yang
terkenal dan sahabat setia-nya, Weasley. Ingin datang dengan sambutan
meriah, begitu, ya?"
"Tidak, Sir, penyebabnya palang rintangan di King's Cross. Palang itu..."
"Diam!" bentak Snape dingin. "Kauapakan mobilnya?"
Ron
menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya Snape memberi kesan bahwa dia
bisa membaca pi-kiran. Tetapi sesaat kemudian, ketika Snape membuka
Evening Prophet— koran sihir sore terbitan hari itu, dia pun mengerti.
"Ada
yang melihat kalian," dia mendesis, menunjuk-kan kepala beritanya: FORD
ANGLIA TERBANG MEMBUAT TAKJUB MUGGLE. Dia mulai membacanya keras-keras.
"Dua Muggle di London yakin mereka melihat sebuah mobil tua terbang di
atas menara Kantor Pos... pada siang hari di Norfolk, Mrs Hetty Bayliss,
ketika sedang menjemur cucian... Mr Angus Fleet di Peebles melapor
kepada polisi... enam atau tujuh Muggle totalnya. Bukankah ayahmu
bekerja di Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle?" kata-nya,
menatap Ron dan tersenyum semakin menyebal-kan. "Astaga, astaga...
anaknya sendiri..."
Harry
merasa seakan perutnya baru saja dihantam salah satu dahan besar pohon
gila itu. Jika sampai ketahuan Mr Weasley telah menyihir mobil itu...
dia tidak memikirkan ini sebelumnya....
"Kuperhatikan,
sewaktu aku mencari di halaman, bahwa kerusakan cukup besar telah
menimpa pohon Dedalu Perkasa yang sangat berharga," Snape me-neruskan.
"Pohon itu merusak kami lebih banyak daripada kami...," Ron menyela.
"Diam!"
bentak Snape lagi. "Sayang sekali kalian tidak di asramaku dan
keputusan untuk mengeluarkan kalian tidak ada padaku. Aku akan memanggil
orang-orang yang punya kekuasaan menyenangkan itu. Kalian tunggu di
sini."
Harry
dan Ron saling pandang, wajah mereka pucat. Harry tidak merasa lapar
lagi. Dia malah merasa sangat mual. Dia berusaha tidak melihat sesuatu
yang besar berlendir dalam cairan hijau di rak di belakang meja Snape.
Kalau Snape memanggil Profesor McGonagall, kepala asrama Gryffindor,
nasib mereka tak akan lebih baik. Dia mungkin lebih adil daripada Snape,
tetapi disiplinnya ketat sekali.
Sepuluh
menit kemudian, Snape muncul kembali, dan benar saja, Profesor
McGonagall-lah yang me-nemaninya. Harry sudah pernah melihat Profesor
McGonagall marah dalam beberapa kesempatan, tetapi entah apakah dia
sudah lupa betapa tipisnya bibir Profesor McGonagall kalau sedang marah,
atau Harry belum pernah melihatnya semarah ini. Profesor McGonagall
mengangkat tongkatnya begitu dia me-masuki ruangan. Harry dan Ron
berjengit, tetapi dia cuma menunjuk ke perapian kosong, yang apinya
langsung berkobar menyala.
"Duduk,"
katanya, dan mereka berdua mundur untuk duduk di kursi di dekat
perapian. "Jelaskan," katanya, kacamatanya berkilat-kilat me-nyeramkan.
Ron langsung bercerita, mulai dengan palang rin-tangan di stasiun yang
menolak mereka lewati. "...jadi kami tak punya pilihan, Profesor, kami
tidak bisa naik kereta api."
"Kenapa
kalian tidak mengirim surat lewat burung hantu? Bukankah kau punya
burung hantu?" Profesor McGonagall berkata dingin kepada Harry.
Harry ternganga. Setelah Profesor McGonagall me-ngatakannya, baru terpikir itulah yang seharusnya mereka lakukan.
"Saya—saya tidak berpikir..."
"Jelas sekali kau memang tidak berpikir," kata Profesor McGonagall.
Terdengar
ketukan di pintu kantor dan Snape, yang sekarang kelihatan lebih senang
dari sebelumnya, membukanya. Di depan pintu berdiri kepala sekolah,
Profesor Dumbledore.
Seluruh
tubuh Harry langsung kaku. Dumbledore kelihatan muram, tidak seperti
biasanya. Dia me-nunduk memandang mereka lewat hidung bengkok-nya dan
Harry mendadak ingin sekali dirinya dan Ron masih dipukuli oleh si
Dedalu Perkasa. Sunyi lama sekali. Kemudian Dumbledore "berkata, "Tolong
jelaskan kenapa kalian melakukan ini."
Akan
lebih baik jika dia berteriak. Harry membenci kekecewaan dalam
suaranya. Entah karena apa, dia tidak sanggup menatap mata Dumbledore,
maka dia bicara kepada lututnya. Dia menceritakan segalanya kepada
Dumbledore, kecuali bahwa Mr Weasley-lah pemilik mobil tersihir itu. Dia
menceritakannya se-demikian rupa, sehingga seakan-akan dia dan Ron
kebetulan menemukan mobil terbang diparkir di luar stasiun. Dia tahu
Dumbledore akan segera tahu hal yang sebenarnya, tetapi Dumbledore tidak
bertanya apa-apa soal mobil ini. Ketika Harry sudah selesai bercerita,
Dumbledore hanya terus memandang me-reka lewat kacamatanya.
"Kami
akan mengambil barang-barang kami," kata Ron dengan suara putus asa.
"Kau bicara apa, Weasley?" bentak Profesor McGonagall.
"Bukankah kami dikeluarkan?" kata Ron. Harry cepat-cepat memandang Dumbledore.
"Tidak
hari ini, Mr Weasley," kata Dumbledore. "Tetapi aku harus menekankan
kepada kalian berdua betapa seriusnya tindakan kalian. Aku akan menulis
kepada keluarga kalian berdua malam ini. Aku juga harus memperingatkan
kalian bahwa jika kalian me-lakukan hal seperti ini lagi, aku tak akan
punya pilihan selain mengeluarkan kalian."
Snape tampak kecewa sekali. Dia berdeham dan berkata,
"Profesor
Dumbledore, kedua anak ini telah melanggar Dekrit Pembatasan Masuk Akal
bagi Penyihir di Bawah Umur, menyebabkan kerusakan serius pada pohon
tua yang sangat berharga... tentu-nya kesalahan seperti ini..."
"Profesor
McGonagall-lah yang berhak memutuskan hukuman untuk anak-anak ini,
Severus," kata Dumbledore tenang. "Mereka anak asramanya dan karena itu
menjadi tanggung jawabnya." Dia berpaling kepada Profesor McGonagall.
"Aku harus kembali ke pesta, Minerva, aku harus menyampaikan beberapa
pengumuman. Ayo, Severus, ada puding lezat yang ingin kucicipi."
Snape
melempar pandang sengit kepada Harry dan Ron sebelum dia keluar dari
kantornya, me-ninggalkan mereka sendirian dengan Profesor McGonagall,
yang masih mengawasi mereka seperti elang murka.
"Kau sebaiknya segera ke rumah sakit, Weasley, kau berdarah."
"Tidak
banyak," kata Ron, buru-buru menyeka luka di atas matanya dengan
lengannya. "Profesor, saya ingin melihat adik saya diseleksi..."
"Upacara seleksi sudah selesai," kata Profesor McGonagall.
"Adikmu masuk Gryffindor juga."
"Oh, bagus," kata Ron.
"Dan
ngomong-ngomong soal Gryffindor..." Pro-fesor McGonagall berkata tajam.
Tetapi Harry menyela, "Profesor, sewaktu kami naik mobil itu, sekolah
belum dimulai, jadi—jadi Gryffindor belum punya angka yang bisa
dikurangi, kan?" katanya seraya memandang Profesor McGonagall dengan
cemas.
Profesor
McGonagall memandangnya tajam, tetapi Harry yakin dia nyaris tersenyum.
Paling tidak bibir-nya kelihatan tidak setipis tadi.
"Aku
tidak akan mengurangi angka Gryffindor," katanya, dan hati Harry
langsung jauh lebih ringan. "Tetapi kalian berdua akan mendapat
detensi."
Itu
lebih baik daripada yang diduga Harry. Sedang-kan soal Dumbledore yang
akan menulis kepada ke-luarga Dursley, itu bukan apa-apa. Harry tahu
betul mereka malah akan kecewa Dedalu Perkasa tidak menghajarnya sampai
mati.
Profesor
McGonagall mengangkat tongkatnya lagi dan mengarahkannya ke meja Snape.
Sepiring besar sandwich, dua piala perak, dan seteko jus labu kuning
dingin muncul seiring bunyi "plop".
"Kalian
makan di sini dan kemudian langsung ke kamar," katanya. "Aku juga harus
kembali ke pesta." Setelah pintu tertutup di belakangnya, Ron
menge-luarkan suitan panjang namun pelan. "Kukira tadi tamatlah riwayat
kita," katanya seraya meraih sandwich. "Kukira juga begitu," kata Harry,
juga mengambil sandwich.
"Nasib
kita sungguh sulit dipercaya, ya?" kata Ron dengan mulut penuh roti dan
daging. "Fred dan George sudah menerbangkan mobil itu paling tidak lima
atau enam kali, dan tak ada Muggle yang pernah melihat mereka." Dia
menelan dan menggigit sepotong besar sandwich lagi. "Kenapa kita tidak
bisa melewati palang rintangan?
Harry
mengangkat bahu. "Yang jelas mulai sekarang kita harus hati-hati,"
katanya, meneguk jus labunya dengan rasa syukur. "Sayang sekali kita
tidak bisa ikut pesta..."
"Profesor
McGonagall tak ingin kita pamer," kata Ron bijaksana. "Tak mau
orang-orang berpikir ini ide bagus, datang dengan mobil terbang."
Setelah
makan sandwich sebanyak mereka sanggup (piringnya terus-menerus terisi
kembali), mereka bang-kit dan meninggalkan kantor itu, berjalan melewati
lorong yang sudah mereka kenal menuju ke Menara Gryffindor. Kastil
sudah sepi, rupanya pesta sudah usai. Mereka melewati lukisan-lukisan
yang berbisik-bisik dan baju-baju zirah yang berkelontangan. Mereka
menaiki beberapa tangga sempit, sampai akhirnya mereka tiba di lorong
tempat pintu rahasia untuk masuk ke Menara Gryffindor tersembunyi, di
belakang lukisan cat minyak seorang nyonya amat gemuk yang memakai gaun
sutra merah jambu.
"Kata kunci?" kata si Nyonya Gemuk ketika mereka mendekat.
"Eh...," kata Harry.
Mereka
tidak tahu kata kunci di awal tahun ajaran baru ini, karena belum
bertemu Prefek Gryffindor, tetapi bantuan muncul tak terduga. Mereka
men-dengar langkah-langkah bergegas mendekat di bela-kang mereka dan
ketika menoleh, mereka melihat Hermione berlari mendatangi.
"Di
sini rupanya! Di mana kalian tadi? Ada desas-desus sangat tidak masuk
akal—ada yang bilang kalian berdua dikeluarkan karena menabrakkan mobil
ter-bang."
"Kami tidak dikeluarkan," Harry meyakinkannya.
"Kau tidak bermaksud bilang kau benar-benar ter-bang ke sini?" kata Hermione, kedengarannya segalak Profesor McGonagall.
"Tidak
perlu ceramah," kata Ron tak sabar, "dan beritahu kami kata kunci
barunya." '"Gelambir kalkun'," kata Hermione tak sabar, "tapi bukan itu
pokok masalahnya..."
Kata-katanya
terputus, karena lukisan si Nyonya Gemuk mengayun terbuka dan mendadak
terdengar gemuruh tepukan. Rupanya seluruh penghuni asrama Gryffindor
belum tidur. Mereka berdesakan di ruang bundar rekreasi, berdiri di atas
meja miring dan kursi-kursi tangan empuk, menunggu kedatangan Harry dan
Ron. Lengan-lengan terjulur melalui lubang lukisan, menarik Harry dan
Ron masuk, membiarkan Hermione memanjat sendiri sesudah mereka.
"Brilian!"
seru Lee Jordan. "Ide gemilang! Ke-datangan yang luar biasa! Naik mobil
terbang me-nabrak Dedalu Perkasa, orang-orang akan terus
mem-bicarakannya selama bertahun-tahun!"
"Hebat,"
kata seorang anak kelas lima yang belum pernah bicara dengan Harry. Ada
yang menepuk-nepuk punggungnya seakan dia baru saja memenang-kan
maraton. Fred dan George berdesakan sampai ke depan kerumunan dan
berkata bersamaan, "Kenapa kalian tidak . memanggil kami kembali, eh?"
Wajah Ron merah padam, dia nyengir malu-malu, tapi Harry bisa melihat
satu orang yang sama sekali. tidak ke-lihatan senang. Percy tampak di
atas kepala anak-anak kelas satu yang bergairah, dan dia kelihatannya
mencoba maju cukup dekat untuk menyuruh mereka menyingkir. Harry
menyikut rusuk Ron dan mengangguk ke arah Percy. Ron langsung paham.
"Harus
naik—sudah lelah," katanya, dan keduanya menyelip-nyelip ke arah pintu
di seberang ruangan, yang menuju ke tangga spiral dan kamar-kamar tidur.
"Malam," Harry berseru kepada Hermione, yang wajahnya sama cemberutnya seperti Percy.
Mereka
berhasil sampai di seberang ruangan, pung-gung mereka masih
ditepuk-tepuk, dan baru aman setelah tiba di tangga yang sepi. Mereka
bergegas naik dan akhirnya tiba di pintu kamar mereka yang lama, yang
sekarang dipasangi tulisan berbunyi "kelas dua". Mereka memasuki ruangan
bundar yang sudah mereka kenal, dengan lima tempat tidur besar
ber-kelambu beludru merah dan jendela-jendela yang tinggi dan sempit.
Koper-koper mereka sudah dibawa naik dan diletakkan di kaki tempat tidur
masing-masing.
Ron tersenyum pada Harry dengan perasaan ber-salah.
"Aku tahu seharusnya tidak boleh menikmati sam-butan atau apa pun namanya itu, tapi..."
Pintu
kamar mendadak terbuka dan masuklah ketiga anak laki-laki kelas dua
Gryffindor lainnya, Seamus Finnigan, Dean Thomas, dan Neville
Longbottom.
"Tak bisa dipercaya!" Seamus nyengir.
"Cool," kata Dean.
"Menakjubkan," kata Neville, terpesona. Harry tak tahan. Dia ikut nyengir.
6. Gilderoy Lockhart
ESOKNYA
Harry nyaris tak bisa tersenyum lagi. Ke-adaan sudah mulai memburuk
sejak saat sarapan di Aula Besar. Empat meja besar asrama dipenuhi
berpanci-panci bubur, berpiring-piring ikan haring asap,
ber-gunung-gunung roti panggang, telur, dan daging asap, di bawah
langit-langit sihiran (hari ini abu-abu suram berawan). Harry dan Ron
duduk di meja Gryffindor bersama Hermione, yang menyandarkan buku
Vakansi dengan Vampir-nya yang terbuka pada seteko susu. Hermione
mengucapkan sapaan "Pagi"-nya dengan sedikit kaku, sehingga Harry tahu
dia masih mencela cara kedatangan mereka. Neville Longbottom,
sebalik-nya, menyambut mereka dengan ceria. Neville adalah anak berwajah
bundar dan cenderung mengalami ber-bagai kecelakaan. Ingatannya juga
parah sekali.
"Sudah waktunya pos datang... kurasa Nenek akan mengirim beberapa barang yang kulupakan."
Harry
baru menyendok buburnya ketika, benar saja, terdengar deru keras dan
kira-kira seratus burung hantu terbang masuk, beputar-putar di aula dan
men-jatuhkan surat dan paket kepada anak-anak yang asyik berceloteh.
Sebuah bungkusan be,sar tak ber-aturan terguling dari kepala Neville dan
sedetik kemu-dian sesuatu yang besar dan berwarna abu- abu jatuh ke
dalam teko susu Hermione, menciprati mereka semua dengan susu dan bulu.
"Errol!"
seru Ron, menarik keluar burung hantu basah kuyup itu pada kakinya.
Errol terpuruk, ping-san, di atas meja, kakinya mencuat ke atas dan
sebuah amplop merah tergigit di paruhnya.
"Oh, tidak...," Ron memekik panik.
"Tidak apa-apa, dia masih hidup," kata Hermione, menekan-nekan Errol lembut dengan ujung jari-nya.
"Bukan itu—tapi itu."
Ron
menunjuk amplop merah di paruh Errol. Amplop itu kelihatan biasa saja
bagi Harry, tetapi Ron dan Neville memandangnya ketakutan seakan amplop
itu bisa meledak setiap saat.
"Ada apa?" tanya Harry.
"Mum—dia mengirimiku Howler," kata Ron lesu.
"Lebih
baik kaubuka, Ron," bisik Neville cemas. "Gawat kalau tidak. Nenek
pernah mengirimiku Howler dan kuabaikan, dan...," dia menelan ludah,
"mengerikan sekali."
Harry mengalihkan pandang dari wajah ketakutan mereka ke amplop merah. "Apa sih Howler itu?" tanyanya.
Tetapi
seluruh perhatian Ron tercurah pada surat itu, yang sudah mulai berasap
ujung-ujungnya. "Bukalah," desak Neville. "Paling beberapa menit lalu
selesai..."
Ron
mengulurkan tangan yang gemetar, menarik amplop itu dari paruh Errol
dan membukanya. Neville menjejalkan jari ke lubang telinganya. Sedetik
kemu-dian, Harry tahu kenapa.
Sekejap
dikiranya amplop itu meledak; teriakan keras sekali membahana me-menuhi
aula besar itu, merontokkan debu dari langit-langitnya.
"...MENCURI
MOBIL, AKU TIDAK AKAN KAGET KALAU MEREKA MENGELUARKANMU, TUNGGU SAMPAI
AKU KETEMU KAU, PASTI KAU TIDAK BERPIKIR BAGAIMANA KAGET DAN CEMASNYA
AYAHMU DAN AKU KETIKA MELIHAT MOBIL SUDAH TAK ADA...."
Teriakan
Mrs Weasley, seratus kali lebih keras dari-pada biasanya, membuat
piring-piring dan sendok-sendok berkeretak di atas meja. Suaranya
bergaung memekakkan di dinding-dinding batu. Anak-anak di aula berputar
di tempat duduk mereka untuk melihat siapa yang menerima Howler. Ron
merosot rendah sekali di kursinya, sampai hanya kepalanya yang me-rah
yang kelihatan.
"...SURAT
DARI DUMBLEDORE SEMALAM, AYAHMU NYARIS MATI SAKING MALUNYA, KAMI TIDAK
MEMBESARKANMU UNTUK BERSIKAP SEPERTI INI, KAU DAN HARRY BISA MATI...."
Harry
sudah bertanya-tanya dalam hati kapan namanya akan muncul. Dia berusaha
keras bersikap seakan tidak mendengar suara yang membuat gendang
telinganya berdenyut-denyut.
"...BENAR-BENAR
MENJIJIKKAN, AYAHMU AKAN DIINTEROGASI DI KANTORNYA, SALAHMU SE-PENUHNYA
DAN KALAU MELANGGAR PER-ATURAN LAIN SEDIKIT SAJA, KAMI AKAN LANG-SUNG
MEMBAWAMU PULANG."
Aula
sunyi senyap. Amplop merah, yang terjatuh dari tangan Ron, menyala,
lalu tergulung menjadi abu. Harry dan Ron duduk terpaku, seakan baru
disapu gelombang besar. Beberapa anak tertawa dan sedikit demi sedikit
celoteh ramai mulai terdengar lagi.
Hermione
menutup buku Vakansi dengan Vampir dan menunduk memandang puncak kepala
Ron. "Aku tak tahu apa yang kauharapkan, Ron, tapi kau..."
"Jangan bilang aku layak menerimanya," gertak Ron.
Harry
mendorong buburnya menjauh. Dia merasa sangat bersalah. Mr Weasley akan
diinterogasi di kantornya. Setelah kebaikan Mr dan Mrs Weasley
terhadapnya selama musim panas....
Tetapi
dia tak punya banyak waktu untuk berlama-lama mencemaskan hal ini.
Profesor McGonagall ber-jalan mengelilingi meja Gryffindor, membagikan
jadwal. Harry mengambil jadwalnya dan melihat dua jam pertama mereka
adalah Herbologi, bareng dengan Hufflepuff.
Harry,
Ron, dan Hermione meninggalkan kastil ber-sama- sama, menyeberangi
kebun sayur, dan menuju ke rumah- rumah kaca, tempat tanaman-tanaman
gaib dipelihara. Paling tidak Howler sudah menghasilkan satu hal baik,
Hermione kelihatannya berpendapat mereka sudah cukup mendapat hukuman
dan sudah ramah seperti biasa lagi.
Mendekati
rumah-rumah kaca, mereka melihat anak-anak lain sudah berdiri di
depannya, menunggu Profesor Sprout. Harry, Ron, dan Hermione, baru saja
bergabung dengan mereka ketika Profesor Sprout muncul di seberang
halaman berumput, ditemani Gilderoy Lockhart. Lengan Profesor Sprout
diperban di sana-sini, dan dengan entakan rasa bersalah lagi, Harry
melihat Dedalu Perkasa di kejauhan, beberapa dahannya sekarang memakai
kain gendongan.
Profesor
Sprout adalah penyihir wanita pendek-gemuk yang memakai topi bertambal
di atas rambut-nya yang beterbangan. Biasanya wajah dan pakaian-nya
berlumuran tanah, dan kukunya akan membuat Bibi Petunia pingsan.
Gilderoy Lockhart, sebaliknya, sangat rapi dan bersih. Jubahnya yang
berwarna hijau toska melambai, rambutnya yang keemasan berkilau di bawah
topi hijau toska berpelipit emas yang ber-tengger sempurna di atas
kepalanya.
"Oh,
halo, anak-anak!" sapa Lockhart, tersenyum kepada kerumunan anak-anak.
"Baru saja menunjuk-kan kepada Profesor Sprout bagaimana mengobati
Dedalu Perkasa! Tapi aku tak mau kalian mengira aku lebih pintar dari
dia dalam Herbologi! Kebetulan saja aku pernah bertemu beberapa tanaman
eksotis dalam perjalananku..."
"Rumah Kaca nomor tiga hari ini, anak-anak!" kata Profesor Sprout, yang kelihatan jelas jengkel, tidak ceria seperti biasanya.
Terdengar
gumam tertarik. Selama ini mereka cuma belajar di Rumah Kaca nomor
satu—Rumah Kaca nomor tiga berisi tanaman yang jauh lebih menarik dan
berbahaya. Profesor Sprout menarik kunci besar dari ikat pinggangnya dan
membuka pintu. Terendus oleh Harry bau tanah lembap dan pupuk,
bercampur dengan wangi tajam bunga-bunga sebesar payung yang
bergantungan dari langit-langit. Harry baru mau mengikuti Ron dan
Hermione masuk ketika tangan Lockhart terjulur.
"Harry! Aku ingin bicara—kau tidak keberatan kalau dia terlambat beberapa menit, kan, Profesor Sprout?"
Dinilai
dari cibiran Profesor Sprout, dia sebetulnya keberatan, tetapi Lockhart
berkata, "Terima kasih," dan menutup pintu Rumah Kaca di depan wajah
Profesor Sprout.
"Harry,"
kata Lockhart, giginya yang putih besar-besar berkilauan tertimpa
cahaya matahari ketika dia menggelengkan kepala. "Harry, Harry, Harry."
Saking
kagetnya Harry tidak bicara apa-apa. "Waktu aku dengar—yah, tentu saja,
semua itu salahku. Rasanya ingin kutendang diriku sendiri."
Harry sama sekali tak mengerti apa yang dibicara-kannya. Dia baru akan berkata begitu, ketika Lockhart meneruskan,
"Belum
pernah aku seterkejut itu. Me-nerbangkan mobil ke Hogwarts! Yah, tentu
saja, aku langsung tahu kenapa kaulakukan itu. Jelas sekali. Harry,
Harry, Harry."
Hebat sekali bagaimana dia bisa menunjukkan masing- masing giginya yang berkilauan bahkan pada saat dia tidak bicara.
"Kuberi kau sekecap kepopuleran, kan?" kata Lockhart.
"Kau
langsung ketularan. Kau tampil di ha-laman depan surat kabar bersamaku
dan kau tak bisa menunggu lebih lama untuk tampil lagi."
"Oh—tidak, Profesor, begini..."
"Harry,
Harry, Harry," kata Lockhart, mengulurkan tangan mencengkeram bahu
Harry. "Aku mengerti. Wajar menginginkan lebih kalau kau sudah pernah
mencicipinya— dan aku menyalahkan diriku sendiri karena memberimu itu,
karena pasti akan mem-pengaruhi pikiranmu. Tapi, Nak, kau tak bisa
mener-bangkan mobil untuk mencoba membuat dirimu di-perhatikan. Jangan
buru-buru, oke? Masih banyak waktu untuk semua itu kalau kau sudah lebih
besar. Ya, ya, aku tahu apa yang kaupikirkan! 'Gampang dia ngomong
begitu, dia kan sudah jadi penyihir inter-nasional yang terkenal!'
Tetapi waktu aku masih dua belas tahun, aku bukan siapa-siapa seperti
kau seka-rang. Malah, lebih bukan siapa- siapa lagi! Maksudku, beberapa
orang sudah dengar tentang kau, kan? Segala kejadian dengan Dia yang
Namanya Tak Boleh Di-sebut!" Dia mengerling ke bekas luka sambaran kilat
di dahi Harry "Aku tahu, aku tahu, itu tidak sehebat memenangkan kontes
Senyum-Paling-Menawan Witch Weekly—Mingguan Penyihir Wanita selama lima
kali berturut- turut, seperti yang kualami—tapi itu sudah permulaan,
Harry, itu sudah permulaan."
Dia
mengedip bersemangat kepada Harry dan pergi. Harry berdiri terpaku
selama beberapa detik, kemu-dian, ingat bahwa dia seharusnya ada dalam
rumah kaca, membuka pintunya dan menyelinap ke dalam.
Profesor
Sprout sedang berdiri di belakang bangku di tengah rumah kaca.
Kira-kira dua puluh pasang penutup telinga tergeletak di bangku itu.
Ketika Harry sudah mengambil tempat di antara Ron dan Hermione, Profesor
Sprout berkata, "Kita akan meng-ganti pot Mandrake hari ini. Nah,
adakah yang bisa menjelaskan kegunaan Mandrake?"
Tak ada yang heran ketika tangan Hermione paling dulu terangkat.
"Mandrake,
atau Mandragora, adalah restoratif atau obat penyembuh yang sangat
manjur," kata Hermione, terdengar seperti biasanya—seakan dia sudah
menelan seluruh buku pelajarannya. "Mandrake digunakan untuk
mengembalikan orang yang sudah di-transfigurasi atau dikutuk ke wujudnya
semula."
"Bagus
sekali. Sepuluh angka untuk Gryffindor," kata Profesor Sprout.
"Mandrake merupakan bahan paling penting bagi banyak obat penangkal
racun. Meskipun demikian, Mandrake juga berbahaya. Siapa yang tahu
kenapa?"
Tangan
Hermione nyaris menyenggol kacamata Harry ketika mengacung ke atas
lagi. "Jeritan Mandrake bisa berakibat fatal bagi siapa saja yang
mendengarnya," katanya segera.
"Persis. Dapat sepuluh angka lagi," kata Profesor Sprout.
"Nah,
Mandrake yang kita punya di sini masih muda sekali." Dia menunjuk
sederet nampan tinggi sambil bicara dan semua anak bergerak maju agar
bisa melihat lebih jelas. Kira- kira seratus tanaman kecil yang
meng-gerumbul seperti jambul berwarna hijau keunguan, tumbuh
berderet-deret dalam nampan itu. Kelihatannya biasa saja bagi Harry,
yang sama sekali tak paham apa yang dimaksud Hermione dengan "jeritan"
Mandrake.
"Masing-masing ambil sepasang tutup telinga," kata Profesor Sprout.
Terjadi kehebohan ketika masing-masing berebut mengambil tutup telinga yang bukan merah jambu dan berbulu.
"Kalau
kuminta dipakai, pastikan telinga kalian ter-tutup sepenuhnya," kata
Profesor Sprout. "Kalau sudah aman untuk membuka tutup telinga, kuberi
tanda dengan mengangkat ibu jari. Siap—pasang tutup telinga.."
Harry
memasang tutup telinganya. Langsung tak terdengar bunyi apa pun.
Profesor Sprout memasang tutup telinga merah jambu berbulu ke
telinganya, menggulung lengan jubahnya, memegang erat salah satu tanaman
dan menariknya kuat-kuat.
Harry terpekik kaget, tapi tak ada yang mendengar-nya.
Alih-alih
akar, seorang bayi kecil, berlumpur, dan sangat jelek tercabut dari
tanah. Daun-daun tumbuh di kepalanya. Kulitnya pucat kehijauan,
bebercak-bercak, dan dia menangis menjerit-jerit keras sekali.
Profesor
Sprout mengambil pot besar dari bawah meja dan mencemplungkan si
Mandrake ke dalamnya, menimbuninya dengan kompos hitam lembap, sampai
tinggal gerumbul daunnya yang kelihatan. Profesor Sprout menyeka
tangannya, memberi kode dengan mengangkat kedua ibu jarinya, lalu
membuka tutup telinganya sendiri.
"Mengingat
Mandrake kita masih semaian, jeritan mereka belum akan membunuh,"
katanya kalem, se-akan dia baru melakukan hal yang tidak lebih seru dari
menyirami begonia.
"Meskipun
demikian, mereka akan membuat kalian pingsan selama beberapa jam, dan
karena aku yakin tak seorang pun dari kalian mau ketinggalan hari
pertama sekolah, pastikan tutup telinga kalian terpasang dengan benar
sementara kalian bekerja. Aku akan menarik perhatian kalian kalau sudah
tiba waktunya berkemas."
"Empat
anak satu nampan—ada banyak persediaan pot di sini—komposnya dalam
karung di sana itu— dan hati-hati terhadap Tentakula Berbisa, dia sedang
tumbuh gigi."
Profesor
Sprout memukul keras tanaman merah tua berduri sambil berbicara,
membuat tanaman itu me-narik kembali sulur panjangnya yang diam-diam
sudah merayap ke bahunya. Seorang anak laki-laki Hufflepuff berambut
keriting bergabung dengan Harry, Ron, dan Hermione. Harry tahu anak itu,
tapi belum pernah bicara dengannya.
"Justin
Finch-Fletchley," katanya ramah, menjabat tangan Harry. "Aku tahu siapa
kau, tentu saja. Harry Potter yang terkenal... dan kau Hermione
Granger— selalu nomor satu dalam segala hal...," (Hermione berseri-seri
sementara tangannya juga dijabat), "dan Ron Weasley Bukankah mobil
terbang itu milikmu?"
Ron
tidak tersenyum. Pikirannya masih dipenuhi Howler. "Si Lockhart itu
hebat, ya?" kata Justin riang, saat mereka mulai mengisi pot mereka
dengan kompos kotoran naga. "Bukan main pemberaninya. Kalian sudah baca
buku-bukunya? Aku pasti mati ketakutan kalau disudutkan di boks telepon
oleh manusia serigala, tapi dia tetap tenang dan—zap—sungguh luar biasa.
"Namaku
sudah terdaftar di Eton sebetulnya. Tak bisa kuceritakan betapa
senangnya aku bisa masuk ke sini. Tentu saja ibuku agak kecewa, tetapi
setelah aku menyuruhnya membaca buku-buku Lockhart, kurasa dia mulai
bisa melihat betapa bergunanya punya pe-nyihir terlatih dalam
keluarga..."
Sesudah
itu mereka tak punya banyak kesempatan untuk bicara. Tutup telinga
sudah dipakai lagi dan mereka perlu berkonsentrasi pada Mandrake. Waktu
Profesor Sprout yang melakukannya, kelihatannya gampang sekali, tetapi
kenyataannya tidak. Mandrake-mandrake itu tidak suka dikeluarkan dari
tanah, tetapi rupanya dikembalikan juga tidak suka. Mereka meng-geliat,
menendang, memukul-mukul dengan tinju me-reka yang tajam dan
mengertak-ngertakkan gigi. Harry menghabiskan sepuluh menit sendiri
untuk memasuk-kan kembali satu Mandrake gemuk ke dalam pot.
Pada
akhir pelajaran, Harry, seperti juga yang lain, berkeringat, badannya
sakit semua, dan berlumur tanah. Mereka berjalan lesu kembali ke kastil
untuk mandi. Setelah itu anak-anak Gryffindor bergegas untuk pelajaran
Transfigurasi.
Pelajaran
Profesor McGonagall selalu susah, tetapi hari ini istimewa susahnya.
Segala sesuatu yang telah dipelajari Harry selama satu tahun
kelihatannya sudah merembes keluar dari kepalanya selama musim panas.
Dia
disuruh mengubah kumbang menjadi kancing, tapi yang berhasil
dilakukannya hanyalah membuat si kumbang banyak berolahraga, karena si
kumbang ber-larian di atas meja menghindari tongkatnya.
Ron
menghadapi masalah yang lebih parah. Dia sudah menambal tongkatnya
dengan Spellotape—selotip sihir, tapi rupanya tongkatnya sudah kelewat
rusak dan tak bisa diperbaiki. Tongkat itu berkali-kali ber-derik dan
mengeluarkan bunga api pada saat-saat yang tak terduga, dan setiap kali
Ron mencoba men-transfigurasi kumbangnya, tongkat itu menyelubungi-nya
dengan asap tebal abu-abu yang baunya seperti telur busuk. Karena tak
bisa melihat apa yang dilaku-kannya, tanpa disengaja kumbangnya
terpencet siku-nya sampai mati dan dia terpaksa minta kumbang baru.
Profesor McGonagall tidak senang melihatnya.
Harry
lega mendengar bunyi bel makan siang. Otak-nya terasa bagai spons yang
diperas. Semua orang meninggalkan ruang kelas, kecuali dia dan Ron, yang
menyabet-nyabetkan tongkatnya dengan sebal ke meja.
"Tolol... tak berguna..."
"Tulis surat ke rumah minta ganti," Harry me-nyarankan ketika tongkat itu mengeluarkan sederet letusan keras seperti petasan.
"Oh, yeah, biar dapat Howler lagi," kata Ron, men-jejalkan tongkatnya yang sekarang berdesis ke dalam tasnya.
"Salahmu sendiri tongkatmu patah..."
Mereka
turun untuk makan siang. Suasana hati Ron tidak menjadi lebih baik
melihat Hermione memamer-kan kepada mereka segenggam kancing jaket
sempurna yang dihasilkannya dalam pelajaran Transfigurasi.
"Sore
ini pelajaran apa?" tanya Harry, buru-buru mengubah topik pembicaraan.
"Pertahanan terhadap Ilmu Hitam," jawab Hermione segera.
"Kenapa,"
tuntut Ron, menyambar daftar pelajaran Hermione, "kau menggarisbawahi
semua pelajaran Lockhart dengan hati kecil-kecil?"
Dengan marah Hermione merebut kembali daftar pelajarannya, wajahnya merah.
Mereka
menyelesaikan makan siang lalu ke halaman. Udara mendung. Hermione
duduk di undakan dan membenamkan hidungnya ke buku Vakansi dengan Vampir
lagi. Harry dan Ron berdiri mengobrol tentang Quidditch selama beberapa
menit sebelum Harry sadar bahwa ada yang mengawasinya. Mendongak, dia
melihat anak laki-laki sangat kecil berambut seperti tikus yang semalam
dilihatnya sedang memakai Topi Seleksi. Anak itu terpesona menatap Harry
Dia me-megangi sesuatu yang kelihatannya seperti kamera biasa Muggle.
Begitu Harry memandangnya, wajah anak itu langsung merah padam.
"Baik-baik
saja, Harry? Aku—aku Colin Creevey," katanya terengah, ragu-ragu maju
selangkah. "Aku juga di Gryffindor. Apakah menurutmu—tidak apa-apakah
kalau-—bolehkah aku mengambil fotomu?" katanya, mengangkat kameranya
penuh harap.
"Foto?" Harry mengulang dengan pandangan kosong.
"Supaya
aku bisa membuktikan aku sudah ber-temu kau," kata Colin Creevey
bersemangat, maju lebih dekat lagi. "Aku tahu segalanya tentang kau.
Semua
orang sudah cerita padaku. Tentang bagai-mana kau selamat ketika
Kau-Tahu-Siapa mencoba membunuhmu dan bagaimana dia menghilang dan
segalanya dan bahwa kau punya bekas luka sambaran Mat di dahimu,"
(matanya menyusuri batas rambut Harry), "dan anak laki-laki yang sekamar
denganku bilang kalau aku mencetak filmnya dengan ramuan yang benar,
gambarnya akan bergerak-gerak." Colin menghela napas panjang, bergairah
sekali, dan ber-kata,
"Luar
biasa sekali di sini, ya? Aku tak pernah tahu segala hal aneh-aneh yang
kulakukan itu sihir, sampai aku. menerima surat dari Hogwarts. Ayahku
pengantar susu, dia juga tidak percaya. Jadi aku memotret banyak-banyak
untuk dikirim kepada ayahku di rumah. Dan akan bagus sekali kalau aku
punya satu fotomu...," dia menatap Harry dengan pandangan memohon,
"...mungkin temanmu bisa memotretkannya dan aku boleh berdiri di
sebelah-mu? Dan kemudian, maukah kau menandatangani-nya?"
"Foto bertanda tangan? Kau membagikan foto bertanda tangan, Potter?"
Keras
dan pedas, suara Draco Malfoy bergaung di seluruh halaman. Dia berhenti
tepat di belakang Colin, diapit, seperli biasanya di Hogwarts, oleh dua
kroni-nya yang besar dan kejam, Crabbe dan Goyle.
"Ayo, semua antre!" Malfoy berteriak kepada ke-rumunan anak-anak. "Harry Potter membagikan foto bertanda tangan!"
"Tidak! Bohong!" kata Harry berang, tinjunya ter-kepal.
"Tutup mulut, Malfoy."
"Kau iri," seru Colin, yang keseluruhan tubuhnya hanya sebesar leher Crabbe.
"Iri?"
kata Malfoy, yang tak perlu lagi berteriak, karena separo halaman sudah
mendengarkan mereka. "Kenapa aku mesti iri? Aku tak mau punya bekas
luka konyol di keningku, terima kasih deh. Menurut-ku kepala yang
terbelah tidak membuat kita isti-mewa."
Crabbe dan Goyle terkikik-kikik konyol.
"Menyebalkan
kau, Malfoy," kata Ron, jengkel. Crabbe berhenti tertawa dan mulai
menggosok buku jarinya yang besar-besar dengan lagak mengancam.
"Hati-hati,
Weasley," ejek Malfoy. "Jangan sampai bikin kesulitan lagi, nanti
terpaksa ibumu datang untuk menjemputmu dari sekolah." Dia mengubah
suaranya menjadi tinggi melengking, "Kalau sekali lagi kau melanggar..."
Segerombolan anak kelas lima Slytherin tertawa ter-bahak.
"Weasley
akan senang mendapat foto bertanda tangan, Potter," Malfoy menyeringai
menjengkelkan. "Nilainya lebih tinggi daripada seluruh rumahnya."
Ron
mencabut keluar tongkatnya yang sudah ber- Spellotape, tetapi Hermione
menutup buku Vakansi dengan Vampir-nya dengan keras dan berbisik,
"Awas!"
"Ada
apa ini, ada apa ini?" Gilderoy Lockhart ber-jalan mendekati mereka,
jubah hijau toskanya berkibar di belakangnya. "Siapa yang membagikan
foto ber-tanda tangan?"
Harry baru mau menjawab, tapi disela oleh Lockhart yang merangkul bahunya dan berkata menggelegar gembira,
"Mestinya lak perlu tanya. Kita bertemu lagi, Harry!"
Harry
yang terpaksa menempel ke sisi tubuh Lockhart dengan wajah serasa
terbakar saking malu-nya, melihat Malfoy menyeringai dan menyelinap ke
dalam kerumunan.
"Ayo, Mr Creevey," kata Lockhart, tersenyum kepada Colin.
"Foto kami berdua, biar adil, dan kami berdua akan menandatanganinya untukmu."
Colin
geragapan mengangkat kameranya dan me-motret mereka berdua tepat ketika
bel berbunyi di belakang mereka, menandakan mulainya waktu belajar sore
hari.
"Ayo,
kalian berangkat," seru Lockhart kepada anak-anak yang berkerumun. Dia
berjalan kembali ke kastil dengan Harry—yang ingin sekali menguasai
mantra melenyapkan diri—masih menempel di sisinya.
"Dengar
nasihatku, Harry," kata Lockhart kebapakan ketika mereka memasuki
kastil lewat pintu samping. "Aku baru saja melindungimu—kalau Creevey
me-motret aku juga, teman- temanmu tidak akan berpikir kau terlalu
menonjolkan dirimu..."
Tuli
terhadap protes gagap Harry, Lockhart mem-bawanya menyusuri koridor
yang kanan-kirinya di-penuhi deretan murid, dan menaiki tangga.
"Kuberitahu
kau, membagikan foto bertanda tangan pada tahap kariermu ini tidaklah
bijaksana—kelihatan-nya sok, Harry, terus terang saja. Akan tiba
waktunya ketika, seperti aku, kau perlu membawa setumpuk foto ke mana
pun kau pergi, tetapi...," dia terkekeh kecil, "kurasa kau belum sampai
ke tahap itu."
Mereka
sudah tiba di ruang kelas Lockhart dan akhirnya dia melepaskan Harry.
Harry menyentakkan dan meluruskan jubahnya dan menuju tempat duduk
paling belakang di kelas. Dia lalu menyibukkan diri dengan menumpuk
semua buku Lockhart di depan-nya, supaya ia tak perlu memandang Lockhart
yang sesungguhnya.
Anak-anak lain masuk. Ron dan Hermione duduk di kiri- kanan Harry.
"Kau
bisa menggoreng telur di mukamu," kata Ron. "Lebih baik kau berharap
Creevey tidak bertemu Ginny. Bisa-bisa mereka langsung mendirikan Klub
Pecinta Harry Potter."
"Diam," bentak Harry. Hal terakhir yang diingin-kannya adalah Lockhart mendengar ungkapan "Klub Pecinta Harry Potter".
Ketika
semua murid sudah duduk, Lockhart ber-deham keras-keras dan seluruh
kelas diam. Dia men-jangkau ke depan, mengambil buku Tamasya dengan
Troll milik Neville dan mengangkatnya untuk me-nunjukkan fotonya sendiri
yang mengedip-ngedip di sampul buku.
"Aku,"
katanya seraya menunjuk fotonya dan ikut mengedip juga, "Gilderoy
Lockhart, Order of Merlin* ) Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga
Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes
Senyum-Paling- Menawan Witch Weekly—tapi aku * ) Merlin adalah penyihir
hebat dan bijaksana dalam legenda Raja Arthur. Gelar kehormatan Order of
Merlin dianugerahkan kepada para penyihir yang berjasa di dunia sihir.
tidak
bicara tentang itu. Aku tidak mengusir Banshee si hantu perempuan
dengan tersenyum kepadanya!" Dia menunggu anak-anak tertawa. Beberapa
ter-senyum lemah.
"Kulihat
kalian sudah membeli satu set lengkap bukuku— bagus. Kupikir hari ini
kita akan mulai de-ngan kuis kecil. Tak perlu khawatir—cuma mengecek
sejauh mana kalian sudah membacanya, berapa ba-nyak yang sudah kalian
serap..."
Sesudah
membagikan kertas ulangan, Lockhart kembali ke depan kelas dan berkata,
"Kalian punya waktu tiga puluh menit. Mulai—sekarang!"
Harry menunduk memandang kertasnya dan mem-baca:
1. Apa warna favorit Gilderoy Lockhart?
2. Apa ambisi rahasia Gilderoy Lockhart?
3. Apa, menurut pendapatmu, prestasi terbesar Gilderoy Lockhart?
Semua pertanyaannya semacam itu, tiga halaman penuh, sampai:
54. Kapankah hari ulang tahun Gilderoy Lockhart, dan hadiah apakah yang ideal untuknya?
Setengah jam kemudian, Lockhart mengumpulkan kertas- kerlas dan membuka-bukanya di depan kelas.
"Ck,
ck, ck—hampir tak ada yang ingat bahwa warna favoritku ungu, Kusebutkan
dalam Yakin dengan Yeti. Beberapa dari kalian perlu membaca Mengembara
dengan Manusia Serigala lebih teliti—jelas-jelas kusebut-kan di bab dua
belas bahwa hadiah ulang tahun yang ideal bagiku adalah harmoni di
antara penyihir dan orang-orang non-penyihir— meskipun aku tak akan
menolak sebotol besar Wiski-Api Tua Ogden!"
Sekali
lagi dia mengedip nakal. Ron sekarang me-natap Lockhart dengan ekspresi
tak percaya. Seamus Finnigan dan Dean Thomas, yang duduk di depan,
sampai terguncang berusaha menahan tawa. Hermione, sebaliknya,
mendengarkan Lockhart dengan penuh perhatian, dan tersentak kaget ketika Lockhart menyebut namanya.
"...tetapi
Miss Hermione Granger tahu bahwa ambisi rahasiaku adalah membersihkan
dunia dari kejahatan dan memasarkan rangkaian produk perawatan rambut-ku
sendiri— anak pintar! Bahkan..." dia membalik ker-tas Hermione, "betul
semua! Yang mana Miss,. Hermione Granger?"
Hermione mengangkat tangannya yang gemetar.
"Luar
biasa!" Lockhart tersenyum, "Sungguh luar biasa! Sepuluh angka untuk
Gryffindor! Nah, kembali ke pelajaran..." Dia menunduk ke belakang
mejanya dan mengang-kat sangkar besar berselubung ke atasnya.
"Sekarang—awas!
Tugaskulah mempersenjatai kalian untuk menghadapi makhluk-makhluk
paling mengeri-kan yang dikenal di dunia sihir! Kalian mungkin akan
menghadapi ketakutan terbesar kalian di ruangan ini. Asal tahu saja,
malapetaka tak akan menimpa kalian selama aku di sini. Yang kuminta
hanyalah kalian tetap tenang."
Di
luar kemauannya, Harry melongok dari balik buku untuk bisa melihat
sangkar lebih jelas. Lockhart meletakkan tangannya di atas selubung.
Dean dan Seamus sudah berhenti tertawa sekarang. Neville gemetar
ketakutan di tempat duduknya di deretan paling depan.
"Kuminta kalian jangan menjerit," kata Lockhart dengan suara rendah. "Jeritan kalian bisa mem-provokasi mereka."
Sementara
seluruh kelas menahan napas, Lockhart menyentakkan selubungnya. "Ya,"
katanya dramatis. "Pixie Cornwall yang baru ditangkap."
Seamus
Finnigan tak bisa lagi menahan diri. Dia mengeluarkan dengus tawa yang
bahkan oleh Lockhart sekalipun tak bisa ditafsirkan sebagai jerit
ketakutan.
"Ya?" dia tersenyum kepada Seamus. "Eh, mereka tidak—
mereka tidak begitu—berbahaya, kan?" Seamus tersedak.
"Jangan
begitu yakin!" kata Lockhart, menggoyang-goyangkan jari dengan
menjengkelkan kepada Seamus. "Mereka bisa jadi makhluk pembinasa yang
sangat licik!"
Pixie-pixie
itu berwarna biru elektrik, tingginya kira-kira dua puluh senti, dengan
wajah runcing dan suara melengking tinggi, sehingga rasanya seperti
mendengar serombongan burung parkit yang sedang bertengkar. Begitu
selubungnya dibuka, mereka mu-lai mengoceh dan meluncur ke sana kemari,
meng-goyang-goyang jeruji sangkar dan mengernyit- ngernyitkan muka ke
anak-anak yang ada di dekat mereka.
"Baiklah," kata Lockhart. "Kita lihat bisa kalian apa-kan mereka!" Dan dibukanya sangkar itu.
Keadaan
jadi amat kacau-balau. Pixie-pixie itu me-luncur ke segala jurusan
seperti roket. Dua di antara-nya memegang telinga Neville dan
mengangkatnya ke atas. Beberapa di antaranya melesat menerobos jendela,
menghujani deretan belakang dengah pecahan kaca. Sisanya menghancurkan
kelas lebih efektif dari-pada serangan badak bercula satu. Mereka
menyambar botol-botol tinta dan menyemprot kelas dengan tinta-nya,
merobek-robek buku-buku dan kertas, menarik lepas gambar-gambar dari
dinding, membalikkan keranjang- keranjang sampah, menyambar tas dan
buku-buku dan melemparkannya keluar dari jendela yang kacanya pecah.
Dalam beberapa menit saja se-paro kelas sudah berlindung di bawah meja
dan Neville berayun dari kandil di langit-langit.
"Ayo,
tangkap mereka, kumpulkan, kumpulkan, me-reka cuma pixie...," Lockhart
berteriak-teriak. Dia menggulung lengan jubahnya, melambaikan tongkatnya
dan berseru,
"Peskipiksi Pesternomi!"
Sama
sekali tak ada pengaruhnya. Salah satu pixie itu merebut tongkat
Lockhart dan melemparkannya keluar jendela juga. Lockhart menelan ludah
dan bersembunyi di bawah mejanya sendiri, nyaris saja gepeng kejatuhan
Neville, yang terjatuh sedetik kemu-dian karena kandilnya terlepas.
Bel
berbunyi dan semua berebut berlari ke pintu. Dalam ketenangan yang
menyusul, Lockhart berdiri, melihat Harry, Ron, dun Hermione yang hampir
sampai di pintu, dan berkata,
"Nah,
kuminta kalian bertiga menangkap sisanya dan memasukkannya kem-bali ke
dalam sangkar." Dia melewati mereka dan cepat-cepat menutup pintu di
belakangnya.
"Kalian percaya dia?" raung Ron kesakitan, ketika salah satu pixie yang tersisa menggigit telinganya.
"Dia
cuma ingin memberi kita pengalaman lang-sung," kata Hermione, membuat
dua pixie tak bisa bergerak dengan Mantra Pembeku dan menjejalkan mereka
kembali ke dalam sangkar.
"Pengalaman
langsung?" kata Harry, yang berusaha menangkap pixie yang menari-nari
menjauh dengan lidah terjulur. "Hermione, dia sama sekali tidak tahu apa
yang dilakukannya."
"Omong kosong," kata Hermione. "Kau sudah mem-baca buku-bukunya—lihat saja hal-hal luar biasa yang sudah dilakukannya..."
"Yang katanya sudah dilakukannya," gumam Ron.
7. Darah-Lumpur Dan Bisikan-Bisikan
SELAMA
beberapa hari sesudahnya, Harry melewat-kan banyak waktu untuk
menghindar setiap kali me-lihat Gilderoy Lockhart muncul di ujung
koridor. Yang lebih sulit dihindari adalah Colin Creevey, yang
ke-lihatannya telah menghafal jadwal Harry. Tak ada yang lebih
membahagiakan bagi Colin daripada ber-kata, "Baik-baik saja, Harry?"
enam atau tujuh kali sehari dan mendengar, "Halo, Colin," sebagai
balasan-nya, betapa pun jengkelnya Harry ketika mengucap-kannya.
Hedwig
masih marah kepada Harry soal perjalanan dengan mobil yang mendatangkan
malapetaka itu, dan tongkat Ron masih tak bisa digunakan dengan benar,
bahkan melampaui batas kemampuannya de-ngan meluncur lepas dari tangan
Ron dalam pelajaran Jimat dan Guna-guna dan memukul Profesor Flitwick
yang mungil tepat di antara kedua matanya, men-ciptakan bisul hijau
besar yang berdenyut-denyut. Maka, dengan begitu banyak kejadian, Harry
cukup senang ketika akhir pekan tiba. Dia, Ron, dan Hermione
merencanakan akan mengunjungi Hagrid pada hari Sabtu pagi. Meskipun
demikian, Oliver Wood, kapten tim Quidditch Gryffindor, membangun-kan
Harry dengan mengguncang-guncang tubuhnya beberapa jam lebih awal dari
yang dikehendakinya.
"Adapa?" tanya Harry agak pusing.
"Latihan Quidditch!" kata Wood, "Ayo!"
Masih
mengantuk Harry memandang lewat jendela. Kabut tipis menggantung di
langit merah jingga. Se-karang setelah bangun, Harry heran bagaimana dia
bisa tidur terus padahal burung-burung berkicau begitu ramai.
"Oliver," kata Harry serak, "masih subuh."
"Persis,"
kata Wood. Oliver Wood anak kelas enam yang tinggi besar dan pada saat
ini, matanya berkilat dengan antusiasme gila-gilaan. "Ini bagian dari
pro-gram latihan baru kita. Ayo, ambil sapumu dan kita berangkat," kata
Wood penuh semangat. "Tim yang lain belum ada yang mulai latihan. Kita
yang akan mulai nomor satu tahun ini...."
Menguap dan sedikit bergidik kedinginan, Harry turun dari tempat tidurnya dan berusaha mencari jubah Quidditch-nya.
"Bagus," kata Wood. "Kita ketemu di lapangan lima belas menit lagi."
Setelah
menemukan jubah merah tua seragam tim-nya dan memakainya di atas jubah
biasanya supaya hangat, Harry menulis pesan untuk Ron, menjelaskan ke
mana dia pergi. la menuruni tangga spiral ke ruang rekreasi dengan
Nimbus Dua Ribu bertengger di bahunya. Dia baru tiba di lubang lukisan
ketika terdengar bunyi berkelontang di belakangnya dan Colin Creevey
muncul berlarian menuruni tangga spi-ral, kameranya berayun liar di
lehernya dan tangannya menggenggam sesuatu.
"Aku
dengar ada yang menyebut namamu di tangga, Harry! Lihat nih apa yang
kubawa! Sudah kucetak, aku ingin menunjukkannya padamu..."
Harry melongo melihat foto yang dikibar-kibarkan Colin di depan hidungnya.
Foto
hitam-putih Lockhart yang bergerak, sedang menarik kuat-kuat lengan
yang dikenali Harry sebagai lengannya sendiri. Harry senang melihat
fotonya me-lawan sekuat tenaga dan menolak ditarik supaya ke-lihatan
dalam foto. Sementara Harry mengawasi, Lockhart menyerah dan merosot
terengah- engah pada pinggiran putih foto.
"Maukah kau menandatanganinya?" tanya Colin pe-nuh semangat.
"Tidak,"
kata Harry tegas, melihat berkeliling untuk memastikan ruangan itu
benar-benar kosong. "Sori, Colin, aku sedang buru-buru—latihan
Quidditch."
Harry memanjat keluar lewat lubang lukisan.
"Oh,
wow! Tunggu aku! Aku belum pernah me-nonton Quidditch!" Colin merayap
keluar lubang mengikutinya. "Kau akan bosan," kata Harry cepat-cepat,
tetapi Colin mengabaikannya, wajahnya bercahaya saking bersemangatnya.
"Kau
pemain termuda selama seratus tahun ini, iya, kan, Harry? Iya, kan?"
kata Colin, melangkah menjajarinya. "Kau pasti hebat. Aku belum pernah
terbang. Gampang tidak? Apa itu sapumu sendiri? Apa itu sapu terhebat
yang pernah ada?" Harry tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan Colin.
Rasanya seperti punya bayangan yang sangat cerewet.
"Aku
sebetulnya tak paham Quidditch," kata Colin tersengal. "Betulkah ada
empat bola? Dan dua di antaranya terbang berputar-putar berusaha memukul
jatuh pemain dari sapunya?"
"Ya,"
kata Harry enggan, akhirnya menyerah dan menjelaskan peraturan
Quidditch yang rumit. "Dua bola itu namanya Bludger. Masing-masing tim
punya dua Beater yang membawa pemukul untuk memukul Bludger jauh-jauh
dari tim mereka. Fred dan George Weasley adalah Beater Gryffindor."
"Dan
untuk apa bola-bola yang lain?" tanya Colin, hampir jatuh melompati dua
anak tangga sekaligus karena terpesona memandang Harry.
"Quaffle—bola
besar yang merah—adalah bola yang mencetak gol. Tiga Chaser dari
masing-masing tim saling lempar Quaffle dan berusaha memasukkannya ke
tiang gol di ujung lapangan—ada tiga tiang tinggi dengan lingkaran di
puncaknya."
"Dan bola keempat..."
"...itu
yang namanya Golden Snitch," kata Harry. "Bola ini sangat kecil, sangat
cepat, dan sulit di-tangkap. Tapi itulah tugas Seeker, karena
pertandingan Quidditch tidak berakhir sampai Snitch-nya berhasil
ditangkap. Dan tim yang Seeker- nya berhasil me-nangkap Snitch mendapat
tambahan angka seratus lima puluh."
"Dan kau Seeker Gryffindor, kan?" kata Colin ter-pesona.
"Ya,"
kata Harry, ketika mereka meninggalkan kastil dan berjalan di atas
rumput berembun. "Dan masih ada Keeper. Dia menjaga gawang. Hanya itu."
Tetapi
Colin tidak berhenti menanyai Harry se-panjang jalan dari padang rumput
yang melandai sampai ke lapangan Quidditch, dan Harry baru ber-hasil
lepas darinya ketika tiba di kamar ganti. Colin berteriak dengan suara
melengking, "Aku akan cari tempat duduk yang enak, Harry!" dan bergegas
ke tribune.
Anggota
tim Gryffindor lainnya sudah ada di dalam kamar ganti. Wood
satu-satunya yang betul-betul ter-jaga. Fred dan George Wesley duduk
dengan mata sembap dan rambut awut- awutan di sebelah anak kelas empat,
Alicia Spinnet, yang terkantuk-kantuk bersandar ke dinding di
belakangnya. Teman sesama Chaser-nya, Katie Bell dan Angelina Johnson,
duduk bersebelahan di hadapan mereka. Keduanya menguap.
"Akhirnya
muncul juga kau, Harry, kenapa sih lama benar?" tanya Wood tajam. "Nah,
aku ingin bicara sebentar dengan kalian semua sebelum kita ke
la-pangan, karena aku melewatkan musim panas dengan menciptakan program
latihan baru, yang kurasa akan membuat perbedaan besar..." Wood memegang
diagram besar lapangan Quidditch. Pada diagram itu tergambar banyak
garis, panah, dan tanda silang dengan tinta berbeda warna. Dia mengambil
tongkatnya, mengetuk papan, dan panah-panah itu mulai bergerak meliuk
di atas papan seperti ulat. Sementara Wood berpidato tentang taktik
barunya, kepala Fred Weasley terkulai ke bahu Alicia Spinnet dan dia
mulai mendengkur.
Perlu
hampir dua puluh menit untuk menjelaskan papan pertama, tetapi ada
papan lain di bawahnya, dan papan ketiga di bawah yang kedua itu. Harry
serasa melayang sementara Wood terus mengoceh membosankan.
"Nah,"
kata Wood akhirnya, mengagetkan Harry yang sedang berkhayal apa yang
bisa dimakannya untuk sarapan di kastil saat ini. "Sudah jelas? Ada
pertanyaan?"
"Aku
mau tanya, Oliver," kata George, yang terba-ngun kaget. "Kenapa sih kau
tidak menjelaskan semua ini kepada kami kemarin sewaktu kami masih
segar?"
Wood tidak senang.
"Dengar,
kalian semua," katanya, mendelik galak kepada mereka, "kita seharusnya
memenangkan Piala Quidditch tahun lalu. Kita kan tim yang paling kuat.
Tetapi sayangnya, karena situasi di luar kontrol..."
Harry
merasa bersalah. Dia terbaring pingsan di rumah sakit selama
pertandingan final tahun ajaran lalu, yang berarti Gryffindor kekurangan
satu pemain dan menderita kekalahan paling parah dalam tiga ratus tahun
terakhir.
Wood berusaha menguasai diri. Kekalahan terakhir mereka jelas masih membuatnya tersiksa.
"Maka
tahun ini, kita berlatih lebih keras dari se-belumnya... Oke, ayo
berangkat dan mempraktekkan teori baru tadi!" Wood berteriak, menyambar
sapunya dan mendahului keluar dari kamar ganti. Dengan kaki kaku dan
masih menguap, anggota timnya mengikuti.
Agaknya
mereka berada di dalam kamar ganti lama sekali, sehingga matahari sudah
benar-benar terbit sekarang, meskipun sisa-sisa kabut masih melayang di
atas rumput stadion. Ketika Harry berjalan ke lapangan, dia melihat Ron
dan Hermione duduk di tribune.
"Kalian belum selesai?" tanya Ron heran.
"Mulai
saja belum," kata Harry, memandang iri pada roti panggang berselai yang
dibawa Ron dan Hermione dari Aula Besar. "Wood tadi mengajari kami
taktik baru."
Harry
naik ke sapunya dan menjejak tanah, me-lesat ke udara. Udara pagi yang
sejuk menerpa wajah-nya, membangunkannya jauh lebih efektif daripada
pidato panjang Wood. Asyik rasanya kembali ke la-pangan Quidditch. Dia
terbang mengelilingi stadion dengan kecepatan penuh, berlomba dengan
Fred dan George.
"Bunyi ceklak-ceklik aneh apa itu?" seru Fred ketika mereka meluncur dengan cepat di sudut stadion.
Harry
memandang ke tribune. Colin duduk di salah satu tempat duduk yang
paling tinggi, kameranya terangkat, tak putus-putusnya memotret,
bunyinya di-perbesar secara aneh di stadion kosong itu.
"Lihat sini, Harry! Ke arah sini!" teriaknya nyaring.
"Siapa itu?" tanya Fred.
"Entahlah," Harry berbohong, menambah kecepatan yang membawanya sejauh mungkin dari Colin.
"Ada
apa sih?" tanya Wood, mengerutkan kening, seraya meluncur di udara
menuju mereka. "Kenapa anak kelas satu itu memotret? Aku tidak suka.
Siapa tahu dia mata-mata Slytherin, mencoba mencari tahu tentang program
latihan baru kita."
"Dia anak Gryffindor," kata Harry cepat-cepat.
"Dan tim Slytherin tidak perlu mata-mata, Oliver," kata George.
"Kenapa kau bilang begitu?" kata Wood curiga.
"Karena
mereka sendiri ada di sini," kata George,-menunjuk. Beberapa anak
berjubah hijau berjalan memasuki lapangan, dengan sapu di tangan. "Aku
tidak percaya!" Wood mendesis berang. "Aku sudah pesan lapangan untuk
hari ini! Coba kita lihat!"
Wood
menukik ke tanah, mendarat lebih keras dari-pada yang diinginkan dalam
kemarahannya. Dia ter-huyung sedikit ketika turun dari sapunya. Harry,
Fred, dan George mengikuti.
"Flint!" Wood berteriak kepada kapten Slytherin. "Ini waktu latihan kami! Kami khusus bangun pagi! Kalian menyingkir dulu!"
Marcus
Flint bahkan lebih besar daripada Wood. Wajahnya licik seperti troll
ketika dia menjawab, "Ada banyak tempat untuk kita semua, Wood."
Angelina,
Alicia, dan Katie juga sudah mendekat. Tak ada anak perempuan di tim
Slytherin—yang ber-diri berdempetan bahu, menghadapi tim Gryffindor.
Mereka saling lirik.
"Tapi
aku sudah memesan lapartgan!" kata Wood, marah sekali. "Sudah kupesan!"
"Ah," kata Flint, "tapi aku bawa surat izin khusus dengan tanda tangan
dari Profesor Snape. Aku, Profesor S. Snape, memberi izin tim Slytherin
untuk berlatih hari ini di lapangan Quidditch, mengingat perlunya
melatih Seeker baru mereka."
"Kalian punya Seeker baru?" kata Wood, perhatian-nya teralih. "Mana?"
Dan
dari belakang enam anak bertubuh besar itu muncul anak ketujuh yang
lebih kecil, wajahnya yang pucat dan runcing dihiasi seringai lebar.
Draco Malfoy.
"Bukankah kau anak Lucius Malfoy?" tanya Fred, memandang Malfoy dengan benci.
"Lucu
juga kau menyebut-nyebut ayah Draco," kata Flint, ketika seluruh tim
Slytherin menyeringai semakin lebar. "Biar kutunjukkan kepada kalian
hadiah yang dengan murah hati diberikannya kepada tim Slytherin."
Ketujuh
anak itu mengacungkan sapu mereka. Tujuh gagang baru dengan polesan
berkilat dan tujuh tulisan emas berbunyi "Nimbus Dua Ribu Satu" berkilau
cemerlang tertimpa cahaya matahari pagi di depan hidung tim Gryffindor.
"Model
paling akhir. Baru keluar tahun lalu," kata Flint sambil lalu,
menjentik setitik debu dari ujung sapunya. "Jauh lebih unggul dari seri
Nimbus Dua Ribu. Sedangkan Sapu- bersih yang tua," dia tersenyum
menyebalkan pada Fred dan George, yang dua-duanya memegang Sapu-bersih
Lima,
"paling cocok untuk menyapu lantai."
Tak
seorang pun dari tim Gryffindor bisa bicara selama beberapa saat.
Malfoy menyeringai lebar sekali, sampai matanya tinggal segaris.
"Oh,
lihat," kata Flint. "Penyerbuan lapangan." Ron dan Hermione
menyeberangi lapangan rumput, ingin tahu apa yang terjadi. "Ada apa?"
Ron menanyai Harry. "Kenapa kau tidak main? Dan apa yang dia lakukan di
sini?" Ron memandang Malfoy, melihat jubah seragam Quidditch
Slytherin-nya.
"Aku Seeker baru Slytherin, Weasley," kata Malfoy sombong. "Semua sedang mengagumi sapu baru tim kami yang dibelikan ayahku."
Ron ternganga memandang tujuh sapu super di depannya.
"Bagus,
kan?" kata Malfoy lancar. "Tapi mungkin tim Gryffindor bisa
mengumpulkan emas dan membeli sapu baru juga. Kau bisa melelang
Sapu-bersih Lima. Kurasa ada museum yang mau menawarnya."
Tim Slytherin tertawa terbahak-bahak.
"Paling tidak, tak seorang pun anggota tim Gryffindor yang harus menyuap untuk bisa masuk," celetuk Hermione tajam.
"Mereka dipilih karena me-mang mampu."
Kepuasan di wajah Malfoy lenyap. "Tak ada yang minta pendapatmu, Darah-lumpur kotor," umpatnya.
Harry
langsung tahu Malfoy telah mengatakan se-suatu yang benar-benar
kelewatan karena tiba-tiba saja terjadi kelibutan. Flint harus menukik
ke depan Malfoy untuk mencegah Fred dan George melompat menyerangnya.
Alicia berteriak, "Berani-beraninya kau!" Dan Ron memasukkan tangannya
ke dalam jubah, menarik keluar tongkatnya, sambil berteriak, "Kau harus
membayarnya, Malfoy!" Dia mengacung-kan tongkatnya dengan murka,
melewati lengan Flint, ke wajah Malfoy.
Terdengar
ledakan keras yang bergema di stadion dan seberkas sinar hijau meluncur
dari ujung tongkat-nya yang salah, menyambar perut Ron sendiri dan
membuatnya jatuh terjengkang di rerumputan.
"Ron! Ron! Kau tak apa-apa?" jerit Hermione.
Ron
membuka mulut untuk bicara, tetapi tak ada suara yang keluar. Dia malah
bersendawa keras dan beberapa siput berjatuhan dari mulutnya ke
pangkuan-nya.
Tim
Slytherin tertawa terbahak-bahak. Flint sampai terbungkuk-bungkuk,
bertumpu pada sapu barunya. Malfoy merangkak, memukul-mukul tanah dengan
tinjunya. Anak- anak Gryffindor berkerumun menge-lilingi Ron, yang tak
henti- hentinya bersendawa siput-siput besar berkilat. Tak seorang pun
tampaknya mau menyentuh Ron.
"Lebih
baik kita membawanya ke pondok Hagrid, yang paling dekat," kata Harry
kepada Hermione, yang mengangguk dengan berani. Berdua mereka me-mapah
Ron.
"Ada
apa, Harry? Ada apa? Apa dia sakit? Tapi kau bisa menyembuhkannya,
kan?" Colin sudah berlari turun dari tempat duduknya dan sekarang
berjalan mengiringi mereka meninggalkan lapangan. Ron bersendawa keras
dan beberapa siput berjatuhan lagi dari mulutnya. "Oooh," kata Colin
terpesona dan mengangkat kameranya. "Bisakah kaupegangi dia, Harry?"
"Minggir,
Colin!" kata Harry marah. Dia dan Hermione membantu Ron meninggalkan
stadion dan menyeberang halaman menuju ke tepi hutan.
"Hampir
sampai, Ron," kata Hermione, ketika pon-dok si pengawas binatang liar
tampak. "Kau akan baik sebentar lagi... hampir sampai..."
Mereka
sudah tinggal kita-kira enam meter dari pondok Hagrid ketika pintunya
terbuka, tetapi bukan Hagrid yang muncul. Gilderoy Lockhart, memakai
jubah lembayung muda hari ini, keluar.
"Cepat, ke belakang sini," desis Harry, menarik Ron ke belakang semak di dekat situ. Hermione mengikuti, dengan agak enggan.
"Gampang
kalau kau tahu caranya!" Lockhart ber-kata keras-keras kepada Hagrid.
"Kalau perlu ban-tuan, kau tahu di mana aku! Kuberi kau nanti satu
bukuku—aku heran kau sama sekali belum punya. Akan kutandatangani satu
malam ini dan kukirim ke sini. Nah, selamat tinggal!" Dan dia berjalan
menuju kastil.
Harry
menunggu sampai Lockhart tak kelihatan lagi. Kemudian ditariknya Ron
dari balik semak dan dibawanya ke pintu depan pondok Hagrid. Mereka
mengetuk dengan tegang. Hagrid segera muncul, kelihatan jengkel sekali,
te-tapi wajahnya berubah cerah setelah tahu siapa yang datang.
"Sudah tanya-tanya kapan kalian datang tengok aku—
masuk, masuk—kukira Profesor Lockhart balik lagi."
Harry
dan Hermione memapah Ron masuk ke pon-dok satu-ruangan itu. Di satu
sudutnya ada tempat tidur besar sekali, dan di sudut lainnya perapian
yang menyala-nyala cerah. Hagrid tidak bingung men-dengar masalah Ron,
yang cepat-cepat dijelaskan Harry sambil mendudukkan Ron di kursi.
"Lebih baik keluar daripada masuk," kata Hagrid riang sambil menaruh baskom tembaga besar di depan Ron.
"Keluarkan semua, Ron."
"Kurasa
tak ada yang bisa kita lakukan selain me-nunggu sampai berhenti
sendiri," kata Hermione ce-mas, mengawasi Ron yang membungkuk di atas
bas-kom. "Itu kutukan yang sulit dilakukan bahkan pada saat kondisi kita
sedang sangat baik, tapi dengan tongkat yang patah..."
Hagrid sibuk membuatkan teh untuk mereka. Anjing besarnya, Fang, menjilat-jilat Harry.
"Apa yang diinginkan Lockhart darimu, Hagrid?" tanya Harry sambil menggaruk-garuk belakang telinga Fang.
"Beri
aku nasihat keluarkan kelpie dari sumur," geram Hagrid. Dia
menyingkirkan ayam jantan yang se-tengah dicabuti bulunya dari atas
mejanya yang bersih berkilat dan meletakkan teko teh. Kelpie adalah
hantu air, biasanya berwujud kuda, dalam cerita-cerita rakyat
Skotlandia. "Dikira aku tak tahu. Dan dia sombongkan bisa usir Banshee.
Kalau omongannya satu kata saja benar, kumakan ceretku."
Tidak
biasanya Hagrid mengkritik guru Hogwarts dan Harry memandangnya
keheranan. Hermione, se-baliknya, berkata dengan suara yang lebih tinggi
dari biasanya, "Kurasa kau agak tidak adil. Profesor Dumbledore jelas
menganggapnya orang terbaik untuk pekerjaannya..."
"Dia
satu-satunya orang untuk pekerjaan itu," kata Hagrid, menawari mereka
sepiring gulali, sementara Ron terbatuk- batuk ke dalam baskomnya. "Dan
maksudku betul-betul satu- satunya. Susah cari orang untuk ngajar
Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Orang tak suka pelajari itu, soalnya.
Mereka mulai pikir itu bawa sial. Tak ada yang tahan lama. Coba cerita,"
kata Hagrid, mengedikkan kepala ke arah Ron, "siapa yang dia mau
kutuk?"
"Malfoy mengatai Hermione sesuatu. Pastilah se-suatu yang buruk, karena semua jadi marah."
"Memang buruk," kata Ron serak, muncul ke atas meja, pucat dan berkeringat. "Malfoy mengatai dia 'darah-lumpur', Hagrid..."
Ron menukik menghilang dari pandangan lagi ke-tika segerombolan siput muncul. Hagrid kelihatan murka.
"Dia
bilang begitu?" geramnya kepada Hermione. "Ya," kata Hermione. "Tetapi
aku tak tahu apa maksudnya. Hanya bisa kutebak itu umpatan kasar..."
"Itu
penghinaan paling besar yang bisa dipikirkan-nya," sengal Ron, muncul
lagi. "Darah-lumpur adalah umpatan kasar untuk orang yang
kelahiran-Muggle— kau tahu, kan, yang orangtuanya bukan penyihir. Ada
penyihir—seperti keluarga Malfoy—yang menganggap mereka lebih baik dari
yang lain karena mereka termasuk golongan yang disebut darah-murni." Ron
bersendawa kecil, dan satu siput jatuh ke tangan-nya yang terulur.
Dilemparkannya siput itu ke dalam baskom dan dia melanjutkan, "Maksudku,
kita, pe-nyihir yang lain, tahu itu tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Lihat saja Neville Longbottom—dia darah-murni, tapi menaruh kuali dengan
benar saja dia nyaris tak bisa."
"Dan
mereka belum temukan mantra yang tak bisa dilakukan Hermione kita ini,"
kata Hagrid bangga, membuat wajah Hermione langsung semburat merah.
"Darah-lumpur
sungguh umpatan yang tak pantas diucapkan," kata Ron, menyeka dahinya
yang ber-keringat dengan tangan gemetar. "Darah kotor, artinya. Darah
biasa. Gila. Sebagian besar penyihir sekarang ini toh berdarah-
campuran. Kalau kita tidak menikah dengan Muggle, kita pasti sudah
punah."
Ron membungkuk dan muntah lagi.
"Yah,
aku tidak salahkan kau, kaucoba kutuk dia, Ron," kata Hagrid keras,
mengatasi bunyi siput yang berjatuhan ke baskom. "Tapi mungkin ada
baiknya tongkatmu serang balik kau sendiri. Pasti Lucius Malfoy akan
datang ke sekolah kalau kau berhasil kutuk anaknya. Dengan begini paling
tidak kau tidak dihukum."
Harry
sebetulnya ingin mengatakan bahwa hu-kuman tidak lebih buruk daripada
hujan siput dari mulut, tapi dia tak bisa bicara. Gulali Hagrid telah
menyemen rapat rahangnya.
"Harry,"
kata Hagrid tiba-tiba, seakan mendadak teringat sesuatu. "Aku protes.
Kudengar kau bagi-bagikan foto bertanda langan. Kenapa aku tidak
di-kasih?"
Dengan
berang, Harry melepas gigi-giginya yang menempel. "Aku tidak membagikan
foto bertanda tangan," kata-nya marah. "Kalau Lockhart masih ngomong
soal..."
Tetapi kemudian dilihatnya Hagrid tertawa.
"Aku cuma bergurau," katanya, menepuk-nepuk punggung Harry dengan riang, membuat wajah Harry terantuk meja.
"Aku tahu kau tidak bagikan foto. Aku bilang Lockhart kau tak perlu begitu. Kau sudah lebih terkenal dari dia tanpa berusaha."
"Pasti dia tidak suka mendengarnya," kata Harry duduk tegak lagi dan menggosok-gosok dagunya.
"Memang
tidak," kata Hagrid, matanya bercahaya. "Lalu aku bilang aku belum
pernah baca bukunya dan dia putuskan pergi saja. Gulali, Ron?" dia
me-nambahkan ketika Ron muncul lagi.
"Tidak, terima kasih," kata Ron lemah. "Lebih baik tidak ambil risiko."
"Ayo, kita lihat apa yang kutanam," ajak Hagrid ketika Harry dan Hermione sudah menghabiskan teh mereka.
Di
kebun sayur kecil di belakang pondok Hagrid ada selusin labu kuning
paling besar yang pernah dilihat Harry. Masing- masing sebesar gundukan
batu besar.
"Tumbuh
bagus, ya," kata Hagrid gembira. "Buat pesta Hallowe'en... sudah cukup
besar nanti." "Kauberi makan apa mereka?" tanya Harry.
Hagrid menoleh untuk memastikan mereka sen-dirian.
"Yah,
aku memberi mereka—kau tahu—sedikit ban-tuan." Harry melihat payung
merah jambu kembang-kembang Hagrid bersandar di dinding belakang
pon-dok. Harry punya alasan untuk menduga bahwa pa-yung ini bukan payung
biasa. Malah dia punya dugaan kuat tongkat tua Hagrid dari zaman
sekolah disembunyikan di dalamnya. Hagrid sebetulnya tidak boleh
menggunakan sihir. Dia dikeluarkan dari Hogwarts dalam tahun ketiganya,
tetapi Harry belum berhasil tahu kenapa. Setiap kali menyebut soal itu,
Hagrid akan berdeham keras-keras dan jadi tuli secara misterius sampai
topik pembicaraan diubah.
"Jampi-jampi Pembengkakan, kan?" kata Hermione, setengah mencela, setengah geli. "Wah, kau berhasil sekali."
"Itu
yang dikatakan adikmu," kata Hagrid, mengangguk kepada Ron. "Baru
ketemu dia kemarin." Hagrid melirik Harry, jenggotnya bergerak-gerak.
"Katanya dia cuma mau lihat-lihat, tapi kukira dia harap ketemu
seseorang di rumahku." Dia mengedip kepada Harry. "Kalau kau tanya aku,
dia tidak akan tolak foto bertanda tangan..."
"Oh,
tutup mulut," kata Harry. Ron terbahak dan siput berhamburan ke tanah.
"Awas!" teriak Hagrid, menarik Ron menjauh dari labu kuningnya yang
sangat berharga. Saat itu sudah hampir makan siang dan karena Harry baru
makan sepotong kecil gulali, dia sudah ingin kembali ke sekalah untuk
makan. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Hagrid dan ber-jalan
kembali ke kastil. Ron cegukan dari waktu ke waktu, tetapi hanya
mengeluarkan dua siput yang sangat kecil.
Baru
saja mereka melangkah memasuki Aula Depan yang sejuk, terdengar suara
keras. "Di sini rupanya kalian, Potter, Weasley." Profesor McGonagall
berjalan mendekati mereka, tampangnya galak. "Kalian berdua akan
menjalani detensi malam ini."
"Apa yang harus kami lakukan, Profesor?" kata Ron, dengan gugup menahan agar tidak bersendawa.
"Kau
akan menggosok perak di ruang piala dengan Mr Filch," kata Profesor
McGonagall. "Dan dilarang pakai sihir, Weasley—pakai pelumas biasa."
Ron menelan ludah. Argus Filch, si penjaga sekolah, dibenci semua murid.
"Dan kau, Potter, akan membantu Profesor Lockhart menjawab surat-surat penggemarnya," kata Profesor McGonagall.
"Oh, tidak—bolehkah saya ke ruang piala saja?" tanya Harry putus asa.
"Jelas tidak," kata Profesor McGonagall, alisnya ter-angkat.
"Profesor Lockhart khusus memintamu. Pukul delapan tepat, jangan terlambat."
Harry
dan Ron berjalan gontai dan murung ke Aula Besar. Hermione di belakang
mereka, ekspresi wajahnya seakan mengatakan
kalian-memang-melanggar-peraturan-sekolah. Harry kehilangan nafsu
makannya saat dia menghadapi pai dagingnya. Dia dan Ron beranggapan
detensi masing-masing lebih berat dari yang lain.
"Filch akan mengawasiku sepanjang malam," keluh Ron.
"Tak boleh pakai sihir! Paling sedikit ada seratus piala dalam ruangan itu. Aku parah kalau mem-bersihkan memakai cara Muggle."
"Aku
mau tukar kapan saja," kata Harry hampa. "Aku sudah terlatih dengan
keluarga Dursley. Men-jawab surat-surat penggemar Lockhart... mengerikan
sekali...."
Sabtu
sore berlalu dengan cepat, dan tiba-tiba saja sudah pukul delapan
kurang lima menit. Harry me-nyeret kakinya sepanjang koridor lantai dua
menuju kantor Lockhart. Dia mengertakkan gigi dan mengetuk.
Pintu langsung terbuka. Lockhart tersenyum kepada-nya.
"Ah, ini dia...!" katanya. "Masuk, Harry masuk."
Berkilauan
di dinding disinari cahaya banyak lilin, berderet tak terhitung foto
Lockhart. Beberapa di antaranya bahkan ditandatanganinya. Setumpuk
tinggi lainnya ada di mejanya.
"Kau boleh menulis alamat di amplopnya!" kata Lockhart kepada Harry, seakan ini sesuatu yang sangat menyenangkan.
"Yang pertama ini untuk Gladys Gudgeon—penggemar beratku."
Waktu
berlalu amat lambat. Harry membiarkan saja Lockhart ngoceh sendiri,
kadang-kadang saja dia me-nimpali dengan, "Mmm," dan "Baik," dan "Yeah."
Sekali-sekali dia mendengar ungkapan seperti, "Ke-tenaran itu seperti
teman yang berubah-ubah, Harry," atau "Selebriti jadi selebriti kalau
bersikap seperti se-lebriti, ingat itu."
Lilin-lilin
terbakar makin lama makin pendek, mem-buat cahayanya menari-nari di
atas banyak wajah Lockhart yang memandangnya. Harry menggerakkan
tangannya yang pegal di atas amplop yang rasanya sudah keseribu, menulis
alamat Veronica Smethley. Pasti sudah hampir tiba waktunya pulang,
pikir Harry merana, mudah-mudahan segera tiba waktu pulang....
Dan
kemudian dia mendengar sesuatu—sesuatu yang lain daripada desis
lilin-lilin yang hampir padam dan ocehan Lockhart tentang penggemarnya.
Ada suara, suara yang bisa membekukan tulang sumsum, suara penuh kebencian, sedingin es.
"Sini... datanglah padaku... biar kurobek kau... biar kubunuh kau..."
Harry tersentak kaget dan setetes besar tinta ungu muncul di alamat Veronica Smethley.
"Apa?" katanya keras-keras.
"Aku
tahu!" kata Lockhart. "Enam bulan penuh di puncak tangga bestseller!
Memecahkan semua rekor!" "Bukan," kata Harry kalut. "Suara tadi!"
"Maaf?" kata Lockhart, kelihatan bingung. "Suara apa?
"Su—suara
yang mengatakan—apakah Anda tidak mendengarnya?" Lockhart memandang
Harry dengan amat heran. "Apa yang kaubicarakan, Harry? Mungkin kau
sudah mengantuk? Astaga—nyaris tengah malam! "Kita sudah di sini hampir
empat jam! Aku tak percaya— waktu berlalu bagai terbang, ya?"
Harry
tidak menjawab. Dia menajamkan telinga untuk mendengar suara itu lagi,
tapi sekarang yang terdengar hanyalah suara Lockhart memberitahunya
bahwa dia tak boleh mengharapkan hadiah me-nyenangkan seperti ini setiap
kali dia mendapat detensi. Harry pulang dengan linglung.
Sudah
larut sekali sehingga ruang rekreasi Gryffindor sudah hampir kosong.
Harry langsung ke kamarnya. Ron belum kembali. Harry memakai piama-nya
naik ke atas tempat tidur, dan menanti. Setengah jam kemudian Ron
pulang, memijat- mijat lengan kanannya dan membawa bau pelitur ke dalam
kamar yang gelap.
"Ototku
sakit semua," keluh Ron, menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. "Empat
belas kali aku harus menggosok Piala Quidditch itu sebelum dia puas. Dan
kemudian aku dapat serangan siput lagi, me-muntahi Penghargaan Istimewa
untuk Pengabdian ke-pada Sekolah. Lama sekali lendirnya baru bisa
bersih. Bagaimana dengan Lockhart?"
Dengan suara rendah agar tidak membangunkan Neville, Dean, dan Seamus, Harry menceritakan ke-pada Ron apa yang didengarnya.
"Dan
Lockhart bilang dia tidak bisa mendengarnya?" kata Ron. Dalam cahaya
bulan Harry bisa melihat kening Ron berkerut. "Apakah menurutmu dia
bo-hong? Tapi aku tidak mengerti—bahkan orang yang tidak kelihatan pirn
harus membuka pintu."
"Aku
tahu," kata Harry, kembali berbaring di tempat tidur besarnya dan
memandang langit-langit kelambu. "Aku juga tidak mengerti."
8. Hari Ulang Tahun Kematian
OKTOBER
tiba, menyebar hawa dingin dan lembap di halaman dan ke dalam kastil.
Madam Pomfrey, matron rumah sakit, disibukkan oleh wabah flu yang
mendadak berjangkit di antara para staf dan murid-murid. Ramuan
Mericamujarab-nya manjur sekali, meskipun yang meminumnya jadi
mengeluarkan asap dari telinga selama beberapa jam sesudahnya. Ginny
Weasley, yang sudah kelihatan pucat dan lesu, dipaksa minum oleh Percy.
Asap yang bergulung dari bawah rambutnya memberi kesan bahwa seluruh
kepalanya sedang terbakar.
Tetes-tetes
air sebesar peluru memberondong jendela- jendela kastil selama
berhari-hari, air danau naik, petak-petak bunga berubah menjadi kolam
lum-pur dan labu-labu kuning Hagrid membengkak men-jadi sebesar gudang
alat-alat berkebun. Meskipun demikian, semangat Oliver Wood untuk tetap
berlatih secara teratur tidaklah menyusut. Itulah sebabnya Harry, pada
suatu Sabtu berbadai beberapa hari se-belum Hallowe'en, kembali ke
Gryffindor dalam ke-adaan basah kuyup dan berlumur lumpur.
Bahkan
tanpa hujan dan angin, latihan mereka tadi bukan sesi yang
menyenangkan. Fred dan George, yang sudah memata-matai tim Slytherin,
telah melihat sendiri kecepatan Nimbus Dua Ribu Satu. Mereka melaporkan
bahwa tim Slytherin menjadi tak lebih dari tujuh bayangan kehijauan,
meluncur membelah udara secepat jet.
Ketika
Harry melangkah hati-hati sepanjang koridor kosong, dilihatnya ada yang
tampaknya sedang ba-nyak pikiran seperti dirinya. Nick si
Kepala-Nyaris-Putus, hantu Menara Gryffindor, sedang menatap mu-rung ke
luar jendela, bergumam lirih,
"...tidak me-menuhi persyaratan... satu senti, seandainya itu..."
"Halo, Nick," sapa Harry.
"Halo,
halo," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus, ter-kejut dan menoleh. Dia
memakai topi bulu indah di atas rambutnya yang ikal panjang, dan tunik
dengan kerah rimpel, yang menyembunyikan fakta bahwa lehernya nyaris
terpotong total. Dia sepucat asap, dan Harry bisa melihat menembusnya ke
langit yang gelap dan hujan lebat di luar.
"Kelihatannya
kau sedang punya masalah, Potter," kata Nick, seraya melipat sehelai
surat transparan dan menyelipkannya ke dalam saku baju ketatnya.
"Kau juga," kata Harry.
"Ah,"
Nick si Kepala-Nyaris-Putus melambaikan ta-ngannya yang indah. "Masalah
kecil... bukannya aku ingin sekali ikut... kupikir aku mengajukan
permohonan, tetapi rupanya aku 'tidak memenuhi persyaratan'." Walaupun
nada bicaranya ringan, wajahnya me-nyiratkan kekecewaan besar.
"Tapi
kau akan berpendapat," katanya mendadak, menarik keluar lagi suratnya
dari dalam sakunya, "bahwa dihantam empat puluh lima kali di leher
dengan kapak tumpul akan membuatmu memenuhi syarat untuk ikut Perburuan
Tanpa- Kepala, kan?"
"Oh—ya," kata Harry, yang tahu ia diharapkan berkata ya.
"Maksudku,
tak ada yang lebih berharap dari aku sendiri bahwa pemenggalan itu
berlangsung cepat dan mulus, dan kepalaku putus total. Maksudku, aku
jadi tak perlu lama menderita sakit dan diolok-olok terus. Meskipun
demikian..." Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengibaskan suratnya hingga
terbuka dan mem-bacanya dengan berang,
"Kami
hanya dapat menerima pemburu yang kepala-nya sudah terpisah dari
tubuhnya. Anda tentu me-mahami bahwa kalau keadaannya tidak begitu, para
anggota tidak akan bisa berpartisipasi dalam kegiatan perburuan seperti
Lempar- Kepala dari Punggung Kuda dan Polo Kepala. Karena itu dengan
amat menyesal, saya harus menginformasikan kepada Anda bahwa Anda tidak
memenuhi persyaratan kami. Dengan segala hor-mat, Sir Patrick
Delaney-Podmore."
Marah-marah, Nick si Kepala-Nyaris-Putus menying-kirkan suratnya.
"Satu
senti kulit dan otot menahan kepalaku, Harry! Kebanyakan orang akan
berpendapat itu sudah sama dengan terpenggal, tetapi oh tidak, itu belum
cukup bagi Sir 'Pala Putus-Podmore."
Nick
si Kepala-Nyaris-Putus menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan
kemudian berkata, dengan suara yang jauh lebih tenang, "Jadi—apa yang
me-nyusahkanmu? Ada yang bisa kubantu?"
"Tidak,"
kata Harry. "Tidak, kecuali kau tahu di mana kami bisa mendapatkan
tujuh Nimbus Dua Ribu Satu gratis untuk pertandingan kami menghadapi
Sly..."
Sisa
kalimat Harry tertelan oleh meongan yang melengking nyaring di dekat
mata kakinya. Dia me-nunduk dan berpandangan dengan sepasang mata kuning
yang menyorot bagai senter. Mrs Norris, kucing kurus abu-abu yang
digunakan oleh si penjaga sekolah, Argus Filch, sebagai semacam
wakilnya, dalam pertarungan tanpa henti melawan murid-murid.
"Lebih
baik kau cepat pergi dari sini, Harry," kata Nick buru-buru. "Filch
sedang marah-marah terus. Dia kena flu dan beberapa anak kelas tiga
tanpa sengaja mengotori seluruh langit-langit ruang bawah tanah nomor
lima dengan otak kodok. Dia mem-bersihkannya dari pagi dan kalau dia
melihatmu menetes-neteskan lumpur di mana-mana..."
"Betul,"
kata Harry, mundur menghindar dari pan-dangan menuduh Mrs Norris,
tetapi tak cukup cepat. Tertarik ke tempat itu oleh kekuatan misterius
yang kelihatannya menghubungkannya dengan kucingnya yang menyebalkan,
Argus Filch mendadak muncul dari permadani gantung di sebelah kanan
Harry, men-desah-desah dan memandang liar berkeliling mencari si
pelanggar aturan. Syal kotak-kotak tebal diikatkan ke kepalanya, dan
hidungnya luar biasa ungu.
"Kotoran!"
dia berteriak, rahangnya bergetar, mata-nya mendelik mengerikan ketika
dia menunjuk ge-nangan air berlumpur yang menetes-netes dari jubah
Quidditch Harry.
"Berantakan dan kotoran di mana-mana! Aku sudah muak! Ikut aku, Potter!"
Maka
Harry melambai lesu mengucapkan selamat tinggal kepada Nick si
Kepala-Nyaris-Putus dan turun kembali mengikuti Filch, membuat tapak
berlumpur di lantai jadi dobel. Harry belum pernah berada dalam kantor
Filch. Tempat itu dihindari sebagian besar anak-anak. Ruangan itu suram
dan tak berjendela, disinari hanya oleh satu lampu minyak yang
tergantung dari langit-langit yang rendah. Samar-samar bau ikan goreng
memenuhi ruangan. Lemari arsip dari kayu berderet di sekeliling ruangan.
Dari label-labelnya Harry tahu bahwa lemari itu berisi data rinci semua
murid yang pernah dihukum Filch. Fred dan George Weasley pu-nya satu
laci tersendiri. Koleksi rantai dan belenggu yang tergosok mengilap
tergantung pada dinding di belakang meja Filch. Sudah rahasia umum bahwa
Filch selalu meminta-minta kepada Dumbledore untuk mengizinkannya
menghukum anak- anak dengan menggantungnya dari langit-langit pada mata
kakinya.
Filch meraih pena bulu dari pot di atas mejanya dan mulai mencari-cari perkamen. "Tinja binatang," gumamnya berang,
"upil naga pa-
nas besar-besar... otak kodok... usus tikus... sungguh kelewatan... mana formulirnya... ya..."
Dia
menarik keluar gulungan besar perkamen dari laci mejanya dan
membentangkannya di depannya, mencelupkan pena bulu hitamnya yang
panjang ke dalam botol tinta.
"Nama... Harry Potter. Kesalahan..."
"Cuma sedikit lumpur!" kata Harry.
"Cuma
sedikit lumpur bagimu, Nak, tapi bagiku itu berarti kerja tambahan satu
jam menggosok lantai!" teriak Filch, ada ingus yang sudah bergetar mau
jatuh di ujung hidung bawangnya, menjijikkan sekali. "Ke-salahan...
membuat kotor kastil... hukuman yang disaran-kan..."
Sambil
mengelap hidungnya yang beringus, Filch memandang galak Harry dengan
mata menyipit. Harry menunggu jatuhnya vonis hukumannya dengan napas
tertahan.
Tetapi
ketika Filch merendahkan penanya, terdengar GUBRAK! keras di
langit-langit kantornya, hingga membuat lampu minyaknya bergoyang.
"PEEVES!" gerung Filch, membanting penanya de-ngan murka. "Kutangkap kau kali ini, kutangkap kau!"
Dan tanpa menoleh kepada Harry, Filch berlari meninggalkan kantornya, Mrs Norris melesat mengiringinya.
Peeves
adalah hantu jail sekolah, makhluk melayang-layang menyeringai yang
selalu menyebabkan mala-petaka dan kesulitan. Harry tidak begitu
menyukai Peeves, tapi mau tak mau berterima kasih untuk gangguannya yang
tepat waktu. Mudah-mudahan, apa pun yang dilakukan Peeves (dan
kedengarannya dia telah merusakkan sesuatu yang besar kali ini) akan
mengalihkan perhatian Filch dari Harry.
Berpendapat
bahwa dia mungkin harus menunggu kembalinya Filch, Harry duduk di kursi
yang sudah dimakan ngengat di sebelah meja. Ada satu benda lain di atas
meja selain formulirnya yang baru se-tengah terisi: amplop ungu besar
berkilat dengan tulisan huruf-huruf perak di bagian depannya. Setelah
melirik sekilas ke pintu untuk memastikan Filch tidak sedang berjalan
kembali ke kantor, Harry mengambil amplop itu dan membacanya:
MANTRAKILAT
Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula Tergugah rasa ingin tahunya, Harry
membuka amplop itu dan menarik keluar setumpuk perkamen dari dalamnya.
Tulisan meliuk-liuk warna perak di halaman depan berbunyi: Merasa
terkucil dari dunia sihir modern? Sulit cari alasan untuk tidak
melakukan mantra sederhana? Pernah diledek karena hasil sihiran
tongkatmu yang menyedihkan? Ada solusinya!
Mantrakilat
adalah kursus baru yang pantang-gagal, cepat-berhasil,
mudah-dipelajari. Beratus-ratus penyihir telah mendapatkan manfaat
metode Mantrakilat!
Madam
Z. Nettles dari Topsham menulis: "Aku tak pernah bisa menghafal mantra,
dan ramuan buatanku selalu jadi bahan ejekan keluarga! Sekarang,
setelah ikut kursus Mantrakilat, aku jadi pusat perhatian di pesta-pesta
dan teman-temanku meminta resep Cairan Cemerlang-ku!"
Penyihir
D.J. Trod dari Didsbury berkata: "Istriku selalu mencibir melihat hasil
sihiranku, tetapi sebulan setelah ikut kursus Mantrakilat yang hebat,
aku berhasil mengubahnya menjadi yak! Terima kasih, Mantrakilat!"
Yak
adalah sejenis lembu berbulu panjang yang berasal dari Asia Tengah.
Terpesona, Harry melanjut-kan membaca isi amplop itu. Kenapa Filch ingin
ikut kursus Mantrakilat? Apakah itu berarti dia bukan penyihir tulen?
Harry sedang membaca "Pelajaran Pertama: Cara Memegang Tongkatmu
(Beberapa Tip yang Berguna)" ketika langkah-langkah yang men-dekat
memberitahunya Filch datang. Buru-buru di-jejalkannya perkamen itu ke
dalam amplop, yang kemudian dilemparkannya ke atas meja, persis ketika
pintu terbuka.
Filch tampak penuh kemenangan.
"Lemari
yang bisa menghilang itu sangat berharga!" katanya riang kepada Mrs
Norris. "Kita akan bisa mengusir Peeves kali ini, manisku."
Pandangannya
jatuh pada Harry dan kemudian ber-pindah ke amplop Mantrakilat, yang
terlambat disadari Harry, tergeletak setengah meter dari tempatnya
semula.
Wajah
pucat Filch menjadi merah padam. Harry bersiap- siap menerima luapan
kemarahan. Filch ter-pincang-pincang meiuiju mejanya, menyambar amplop
itu dan melemparkannya ke dalam laci.
"Sudahkah—apakah kau membaca...?" dia bertanya gugup.
"Tidak," Harry buru-buru berbohong.
Filch meremas-remas tangannya yang berbonggol-bonggol.
"Kalau aku tahu kau akan membaca surat pribadi... bukannya itu milikku... untuk teman... meskipun demikian..."
Harry
menatapnya ketakutan. Belum pernah Filch tampak semarah ini. Matanya
mendelik, salah satu pipinya yang menggelayut berkedut-kedut dan syal
kotak-kotak itu tidak membantu.
"Baiklah...
pergilah... dan jangan bilang siapa-siapa... bukannya... bagaimanapun,
kalau kau tidak membaca... pergilah sekarang, aku harus menulis la-poran
tentang Peeves... pergi..."
Heran
sendiri akan keberuntungannya, Harry cepat-cepat meninggalkan kantor
Filch, ke koridor dan kem-bali ke atas. Berhasil lolos dari kantor Filch
tanpa dihukum barangkali merupakan rekor tersendiri.
"Harry! Harry! Apakah berhasil?"
Nick
si Kepala-Nyaris-Putus datang melayang dari salah satu kelas. Di
belakangnya Harry bisa melihat rongsokan lemari besar hitam-emas yang
kelihatannya dijatuhkan dari tempat yang tinggi.
"Kubujuk
Peeves untuk menjatuhkannya tepat di atas kantor Filch," kata Nick
bersemangat. "Kupikir itu bisa mengalihkan perhatiannya..."
"Kau yang suruh?" kata Harry pertuh terirna kasih. "Yeah, berhasil, aku bahkan tidak mendapat detensi. Trims, Nick!"
Mereka
berjalan menyusuri koridor bersama-sama. Harry memperhatikan Nick si
Kepala-Nyaris-Putus ma-sih memegangi surat penolakan Sir Patrick.
"Sayang sekali tak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu dalam Perburuan Tanpa-Kepala itu," kata Harry.
Nick
si Kepala-Nyaris-Putus mendadak berhenti dan Harry berjalan
menembusnya. Harry menyesal. Rasanya seperti melangkah di bawah pancaran
air sedingin es.
"Tapi
ada yang bisa kaulakukan untukku," kata Nick bergairah. "Harry—apakah
aku minta terlalu ba-nyak—tapi, tidak, kau tak akan mau..."
"Mau apa?" tanya Harry.
"Yah, Hallowe'en ini ulang tahun kematianku yang kelima ratus," kata Nick, menegapkan diri sehingga kelihatan lebih berwibawa.
"Oh," kata Harry, tak yakin apakah dia harus ke-lihatan sedih atau senang mendengarnya. "Lalu?"
"Aku
akan mengadakan pesta di salah satu ruang besar bawah tanah.
Teman-teman akan datang dari seluruh negeri. Akan merupakan kehormatan
besar bagiku kalau kau bersedia hadir. Aku juga meng-harapkan kedatangan
Mr Weasley dan Miss Granger, tentu saja—tetapi kalian pasti lebih suka
datang ke pesta sekolah, kan?" Dipandangnya Harry dengan tegang dan
gelisah.
"Tidak," kata Harry buru-buru. "Aku akan datang..."
"Anak baik! Harry Potter, di Pesta Ulang Tahun Kematianku! Dan," dia ragu-ragu, kelihatan ber-semangat,
"bisakah kau mengatakan kepada Sir Patrick bahwa kau menganggapku sangat mengesankan dan mengerikan?"
"Ten—tentu saja," kata Harry.
Nick si Kepala-Nyaris-Putus langsung berseri-seri.
"Pesta
Ulang Tahun Kematian?" kata Hermione tajam, ketika Harry akhirnya sudah
berganti pakaian dan bergabung bersamanya dan Ron di ruang rekreasi.
"Berani taruhan tak banyak orang hidup yang bisa bilang mereka pernah
menghadiri pesta semacam itu— pasti menarik sekali!"
"Kenapa
ada orang ingin merayakan hari kematian mereka?" tanya Ron, yang sudah
mengerjakan PR Ramuan- nya separo dan merasa sebal. "Kedengarannya suram
bagiku...."
Hujan
masih mengguyur jendela, yang sekarang gelap pekat, tetapi di dalam
segalanya kelihatan terang dan cerah. Perapian menerangi kursi-kursi
berlengan yang empuk, tempat anak-anak duduk membaca, mengobrol,
mengerjakan PR, atau dalam kasus Fred dan George, berusaha mencari tahu
apa yang terjadi jika kau memberi makan salamander kembang api
Filibuster. Fred telah "menyelamatkan" kadal berwarna jingga cerah yang
tinggal di api itu dari kelas Pe-meliharaan Binatang-binatang Gaib, dan
salamander itu sekarang tergeletak mengepul di atas meja, di-kelilingi
anak- anak yang ingin tahu.
Harry
baru saja akan memberitahu Ron dan Hermione tentang Filch dan kursus
Mantrakilat, ketika salamander itu mendadak terbang mendesis ke atas,
mengeluarkan bunga api dan meledak-ledak sambil berputar-putar liar di
ruangan. Melihat Percy yang berteriak-teriak memarahi Fred dan George
sampai serak, pertunjukan spektakuler bintang-bintang jingga keemasan
yang tercurah dari mulut si salamander, dan si salamander sendiri yang
menyelamatkan diri ke dalam api, diiringi ledakan-ledakan, membuat Filch
dan Mantrakilat terlupakan dari pikiran Harry.
Saat
Hallowe'en tiba, Harry menyesali janji untuk datang ke Pesta Ulang
Tahun Kematian yang diucap-kannya tanpa pikir panjang. Teman-temannya
gembira menyambut datangnya pesta Hallowe'en. Aula Besar sudah
didekorasi dengan kelelelawar-kelelawar hidup seperti biasanya,
labu-labu kuning raksasa Hagrid sudah diukir menjadi lentera yang cukup
besar untuk diduduki tiga orang dan ada gosip bahwa Dumbledore telah
memesan rombongan penari tengkorak untuk hiburannya.
"Janji
harus ditepati," Hermione mengingatkan Harry dengan gaya ngebos. "Kau
sudah berkata akan datang ke Pesta Ulang Tahun Kematian."
Maka
pukul tujuh malam itu Harry, Ron, dan Hermione berjalan melewati pintu
Aula Besar yang sudah penuh anak, lilin-lilinnya yang berkelap-kelip dan
piring-piring emasnya berkilat-kilat mengundang. Mereka mengarahkan
langkah menuju ruang bawah tanah.
Lorong
menuju ke tempat pesta Nick si Kepala-Nyaris-Putus juga sudah diterangi
dengan deretan lilin, meskipun efeknya jauh dari cerah, karena lilinnya
adalah lilin-lilin runcing hitam pekat, dengan nyala biru, menyiramkan
cahaya suram kematian bahkan ke wajah-wajah mereka yang masih hidup.
Semakin jauh mereka memasuki lorong, hawa semakin dingin. Ketika Harry
bergidik dan merapatkan jubahnya, di-dengarnya bunyi seperti seribu kuku
menggaruk pa-pan tulis besar.
"Apa
itu maksudnya musik?" bisik Ron. Mereka membelok di sudut dan melihat
Nick si Kepala-Nyaris-Putus berdiri di depan pintu bertirai beludru
hitam.
"Teman-temanku
yang baik," katanya pilu, "selamat datang, selamat datang... senang
sekali kalian bisa datang..." Dengan gerakan gesit dibukanya topinya
yang ber-bulu,
lalu
dia membungkuk mempersilakan mereka masuk. Pemandangan yang menyambut
mereka sungguh luar biasa. Ruang bawah tanah itu penuh beratus-ratus
orang seputih-mutiara transparan, sebagian besar melayang-layang di atas
lantai dansa yang penuh, berdansa waltz mengikuti irama tiga puluh
gergaji musik yang berbunyi gemetar mengerikan, dimainkan oleh rombongan
orkes di panggung yang lantainya bertutup kaih hitam. Kandil di atas
menyinarkan cahaya biru tua dengan seribu lilin hitam. Napas mereka
berubah menjadi kabut di depan mereka; rasanya seperti melangkah masuk
ke dalam lemari es.
"Bagaimana kalau kita melihat-lihat?" Harry meng-usulkan, ingin menghangatkan kakinya.
"Hati-hati,
jangan sampai melangkah menembus orang," kata Ron gugup, dan mereka
berjalan di tepi lantai dansa. Mereka melewati serombongan biarawati
muram, seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang memakai rantai,
dan si Rahib Gemuk—hantu Hufflepuff yang ceria, yang sedang mengobrol
dengan hantu ksatria yang dahinya tertancap panah. Harry tidak heran
melihat Baron Berdarah, hantu Slytherin yang pucat dan galak, serta
bebercak-bercak darah keperakan, dihindari oleh hantu-hantu lain.
"Oh, tidak," kata Hermione, berhenti mendadak. "Balik, balik, aku tak mau bicara dengan Myrtle Me-rana..."
"Siapa?" tanya Harry, ketika mereka buru-buru ber-balik.
"Dia menghantui toilet anak perempuan di lantai dua," kata Hermione.
"Dia menghantui toilet?"
"Ya,
toilet itu sudah rusak selama setahun ini karena dia marah-marah terus
dan membuat toilet itu ke-banjiran. Sebisa mungkin aku tidak masuk ke
toilet itu. Mana enak kalau kita ke belakang digerecoki dia yang
meratap-ratap...."
"Lihat, makanan!" kata Ron.
Di
salah satu sisi ruangan ada meja panjang, ber-taplak beludru hitam
juga. Mereka mendekati meja itu dengan bersemangat, tetapi detik
berikutnya lang-sung berhenti, ngeri. Baunya sangat menjijikkan.
Ikan-ikan besar busuk disajikan di atas nampan perak indah, kue bolu
yang hangus jadi arang bertumpuk di atas piring, ada daging kambing
besar yang sudah dikerumuni belatung, keju yang berselimut jamur hijau,
dan di tempat kehormatan, kue ulang tahun abu-abu besar berbentuk
pusara, dengan hiasan se-hitam ter, membentuk tulisan:
Sir Nicholas de Mimsy-Porpington meninggal 31 Oktober 1492
Harry
memandang keheranan ketika ada hantu gemuk mendekati meja, membungkuk
rendah dan lewat menerobos meja begitu saja. Mulut terbuka lebar
melewati salah satu ikan salem bau.
"Bisakah kau merasakan ikan itu waktu melewati-nya?" Harry menanyainya. "Nyaris," jawab si hantu sedih, lalu dia melayang pergi.
"Kurasa
mereka sengaja membiarkannya membusuk agar baunya lebih keras," kata
Hermione sok tahu. Dia memencet hidungnya dan membungkuk men-dekat untuk
memeriksa daging kambing busuk.
"Kita pergi, yuk, aku mau muntah," kata Ron.
Baru saja mereka berbalik, seorang laki-laki kecil mendadak menyambar dari bawah meja dan melayang-layang di depan mereka.
"Halo, Peeves," sapa Harry hati-hati.
Tidak
seperti hantu-hantu di sekeliling mereka, Peeves si hantu jail tidak
pucat ataupun transparan. Dia memakai topi pesta jingga cerah dan dasi
kupu-kupu yang bisa berputar. Wajahnya yang jail dihiasi cengiran lebar.
"Camilan?" dia berkata manis, menawarkan se-mangkuk kacang bulukan.
"Tidak, terima kasih," kata Hermione.
"Kudengar
kalian ngomongin si Myrtle yang ma-lang," kata Peeves, matanya
menari-nari. "Kalian tidak sopan ngomongin Myrtle." Dia menarik napas
dalam-dalam dan berteriak, "HOI! MYRTLE!"
"Oh,
jangan Peeves, jangan bilang apa yang ku-katakan, nanti dia sedih,"
bisik Hermione panik. "Aku tidak bermaksud menjelekkannya, aku tidak
keberatan dia—eh, halo, Myrtle." Hantu anak perempuan gemuk-pendek
melayang mendekat. Wajahnya, merupakan wajah paling murung yang pernah
dilihat Harry, separo ter-sembunyi di balik rambut panjangnya dan
kacamata tebal berkilau bagai mutiara.
"Apa?" tanyanya cemberut.
"Apa
kabar, Myrtle?" kata Hermione dengan suara diriang- riangkan. "Senang
bertemu kau di luar toilet." Myrtle mendengus. "Miss Granger tadi
ngomongin kau...," kata Peeves licik di telinga Myrtle.
"Cuma bilang—bilang—kau cantik sekali malam ini," kata Hermione, melirik Peeves.
Myrtle menatap Hermione dengan curiga.
"Kalian meledekku," katanya, air mata perak ber-cucuran dari matanya yang tembus pandang.
"Tidak—sungguh—bukankah
aku tadi bilang Myrtle cantik sekali malam ini?" kata Hermione,
menyikut rusuk Harry dan Ron sampai sakit.
"Oh, yeah..."
"Betul..."
"Jangan
bohong kepadaku," isak Myrtle, air matanya kini sudah membanjir
membasahi mukanya, sementara Peeves tertawa-tawa senang di belakang
bahunya. "Apa kaupikir aku tidak tahu ejekan apa saja yang mereka
lontarkan di belakang punggungku? Myrtle gendut! Myrtle jelek! Myrtle
cengeng, pemurung, tu-kang ngeluh!"
"Kau belum sebut 'jerawatan'," Peeves mendesis di telinganya.
Myrtle
Merana terisak-isak nelangsa dan kabur dari ruangan. Peeves melesat
mengejarnya, menghujaninya dengan kacang bulukan, sambil
berteriak-teriak,
"Jerawatan! Jerawatan!"
"Ya, ampun," kata Hermione sedih.
Nick
si Kepala-Nyaris-Putus sekarang melayang mendekati mereka, menerobos
kerumunan. "Kalian senang?" "Oh, ya," mereka berbohong. "Lumayan juga
sih yang hadir," kata Nick si Kepala-
Nyaris-Putus
bangga. "Si Janda Meratap datang jauh-jauh dari Kent... Sudah hampir
waktunya aku mem-beri sambutan, lebih baik aku beritahu orkesnya..."
Tapi
orkes berhenti bermain saat itu juga. Para pemainnya, dan semua yang
ada di ruang bawah tanah itu terdiam, melihat berkeliling dengan penuh
harap ketika terdengar bunyi terompet berburu. "Oh, ini dia," kata Nick
si Kepala-Nyaris-Putus getir.
Dari
tembok ruangan bermunculan selusin kuda hantu, masing-masing
ditunggangi penunggang kuda tanpa-kepala. Para hadirin bertepuk tangan
gegap gempita. Harry sudah akan bertepuk juga, tetapi tak jadi begitu
melihat wajah Nick. Kuda-kuda itu berderap ke tengah lantai dansa dan
berhenti, meringkik dan mendompak. Hantu besar yang berada paling depan,
kepalanya yang berjenggot dijepit di ketiaknya, meniup terompet,
melompat turun, mengangkat tinggi-tinggi kepalanya ke atas supaya dia
bisa melihat kerumunan hantu yang hadir (semua tertawa), dan berjalan
mendekati Nick si Kepala-Nyaris-Putus, kepalanya dilontarkan kembali ke
lehernya.
"Nick!" raungnya. "Apa kabar? Kepala masih ter-gantung?" Dia terbahak dan menepuk bahu Nick si Kepala-Nyaris-Putus.
"Selamat datang, Patrick," kata Nick kaku.
"Orang
hidup!" celetuk Sir Patrick ketika melihat Harry, Ron, dan Hermione dan
berpura-pura terlonjak tinggi saking kagetnya, sehingga kepalanya
terjatuh lagi (hantu-hantu yang hadir tertawa gelak-gelak).
"Lucu sekali," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus be-rang.
"Jangan
pedulikan Nick!" teriak kepala Sir Patrick dari lantai. "Dia masih
marah kami tidak meng-izinkannya ikut Perburuan! Tapi maksudku... lihat
dia..."
"Kurasa," kata Harry buru-buru, setelah Nick me-mandangnya penuh arti. "Nick sangat—mengerikan dan— eh..."
"Ha!" teriak kepala Sir Patrick. "Pasti dia memintamu bilang begitu!"
"Perhatian,
semuanya, sudah waktunya aku memberi sambutan!" kata Nick keras-keras,
berjalan ke podium dan naik diterangi lampu sorot warna biru muda
dingin.
"Almarhum para bangsawan, Ibu-ibu, dan Bapak-bapak, sungguh kesedihan besar bagiku..."
Tapi
tak ada lagi yang mendengarkannya. Sir Patrick dan anggota Perburuan
Tanpa-Kepala baru saja me-mulai permainan Hoki Kepala dan para hadirin
ber-balik untuk menonton. Sia-sia Nick berusaha keras menarik perhatian
mereka, dan akhirnya menyerah ketika kepala Sir Patrick melayang
melewatinya diiringi tepukan riuh.
Harry sudah sangat kedinginan sekarang, ditambah lagi lapar.
"Aku
sudah tak tahan lagi," gumam Ron, giginya gemeretuk, sementara orkes
kembali beraksi dan para hantu berayun lagi di lantai dansa.
"Ayo, kita pergi," Harry sepakat.
Mereka
mundur ke arah pintu, mengangguk dan tersenyum pada siapa saja yang
memandang mereka, dan semenit kemudian sudah bergegas menyusuri lorong
dengan deretan lilin hitam.
"Siapa tahu pudingnya masih ada," kata Ron penuh harap, berjalan di depan menuju tangga ke Aula Depan.
Dan kemudian Harry mendengarnya.
"... robek... cabik-cabik... bunuh..."
Suara yang sama, suara dingin dan sadis yang didengarnya di kantor Lockhart.
Harry
terhuyung dan berhenti, mencengkeram din-ding batu, mendengarkan
setajam mungkin, me-mandang berkeliling, menyipitkan mata, mengawasi
kanan-kiri lorong yang suram.
"Harry, lagi ngapain ka...?"
"Suara itu lagi—diam dulu..."
"...lapaaar sekali... sudah begitu lama..."
"Dengar!" kata Harry tegang. Ron dan Hermione terpaku memandangnya.
"...bunuh... waktunya membunuh..."
Suara
itu semakin samar-samar. Harry yakin siapa pun yang bicara itu semakin
menjauh—bergerak ke atas. Ketakutan bercampur kegairahan mencekamnya
ketika dia menatap langit-langit yang gelap. Bagaimana mungkin suara itu
bisa bergerak ke atas? Apakah itu hantu, sehingga langit- langit batu
bukan hambatan baginya?
"Ke
sini," dia berteriak, lalu berlari menaiki tangga, memasuki Aula Depan.
Tak ada gunanya berharap mendengar sesuatu di sini. Celoteh anak-anak
yang sedang pesta Hallowe'en terdengar dari Aula Besar. Harry berlari
menaiki tangga pualam menuju ke lantai satu, Ron dan Hermione ikut naik
di belakangnya.
"Harry, apa yang ki..."
"SHHH!"
Harry
menajamkan telinganya. Dari kejauhan, dari lantai di atas mereka, dan
suaranya semakin samar, dia masih mendengar, "...bau darah... BAU
DARAH!"
Harry
tegang. "Dia mau membunuh orang!" teriak-nya. Mengabaikan wajah Ron dan
Hermione yang kebingungan, dia menaiki tangga berikutnya, tiga anak
tangga sekali langkah, berusaha mendengarkan di antara entakan langkah
kakinya sendiri.
Harry
berlari mengelilingi seluruh lantai dua, Ron dan Hermione
tersengal-sengal di belakangnya, tidak berhenti sampai mereka membelok
di sudut yang menuju koridor terakhir yang kosong.
"Harry, ada apa sebetulnya?" tanya Ron, menyeka keringat dari wajahnya. "Aku tidak mendengar apa-apa..."
Tetapi Hermione mendadak terpekik kaget, me-nunjuk ke ujung koridor.
"Lihat!"
Ada
yang berkilau di dinding di depan. Mereka mendekat, perlahan,
menyipitkan mata menembus ke-gelapan. Huruf- huruf setinggi tiga puluh
senti dipulas-kan di dinding di antara dua jendela, berkilau ditimpa
cahaya obor-obor yang menyala.
KAMAR RAHASIA TELAH DIBUKA. MUSUH SANG PEWARIS, WASPADALAH.
"Apa itu—yang tergantung di bawahnya?" kata Ron, suaranya agak bergetar.
Ketika
mereka semakin dekat, Harry nyaris jatuh terpeleset. Ada genangan besar
air di lantai. Ron dan Hermione menyambarnya dan mereka melangkah
hati-hati mendekati tulisan, mata mereka terpaku pada bayangan gelap di
bawahnya. Ketiganya langsung menyadari apa itu, dan melompat ke
belakang, mem-buat air menciprat.
Mrs
Norris, kucing si penjaga sekolah, digantung pada ekornya dari
siku-siku tancapan obor. Tubuhnya kaku seperti papan, matanya terbeliak.
Selama
beberapa detik, mereka tidak bergerak. Kemudian Ron berkata, "Ayo, kita
pergi dari sini." "Tidakkah sebaiknya kita mencoba menolong...," kata
Harry canggung. "Percayalah padaku," kata Ron. "Kita tak ingin
di-temukan di sini."
Tetapi
sudah terlambat. Bunyi gemuruh seakan ada guruh di kejauhan,
memberitahu mereka bahwa pesta sudah usai. Dari kedua ujung koridor
terdengar bunyi ratusan kaki yang menaiki tangga, juga celoteh riang dan
keras anak-anak yang perutnya kenyang. Saat berikutnya, anak-anak
bermunculan dari kedua ujung koridor.
Celoteh,
obrolan, gurauan mendadak berhenti ketika anak- anak yang di depan
melihat kucing yang ter-gantung itu. Harry Ron, dan Hermione berdiri
bertiga, di tengah koridor, sementara kesunyian menyelubungi anak-anak
yang maju berdesakan, ingin melihat pe-mandangan mengerikan itu.
Kemudian ada yang berteriak memecah keheningan.
"Musuh Sang Pewaris, Waspadalah! Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!"
Draco
Malfoy-lah yang berteriak. Dia telah mendesak sampai di bagian depan,
mata dinginnya menyala, wajahnya yang biasanya tak berdarah kini
memerah, ketika dia menyeringai melihat kucing yang tergantung tak
bergerak itu.
9. Tulisan Di Dinding
"ADA apa di sini? Ada apa?"
Tertarik
oleh, tak diragukan lagi, teriakan-teriakan Malfoy, Argus Filch datang
menerobos kerumunan anak-anak. Kemudian dia melihat Mrs Norris dan jatuh
terjengkang, mencengkeram wajahnya dengan ngeri.
"Kucingku! Kucingku! Apa yang terjadi pada Mrs Norris?"
jeritnya.
Dan matanya yang menonjol memandang Harry.
"Kau!" jeritnya. "Kau! Kau membunuh kucingku! Kau membunuhnya! Kubunuh kau! Kub..."
"Argus!"
Dumbledore
telah tiba di tempat kejadian, diikuti oleh beberapa guru lainnya.
Dalam sekejap dia telah melewati Harry Ron, dan Hermione, dan melepaskan
Mrs Norris dari siku-siku tancapan obor.
"Ikut aku, Argus," katanya kepada Filch. "Kalian juga, Mr Potter, Mr Weasley, Miss Granger." Lockhart maju dengan tak sabar.
"Kantorku
yang paling dekat, Sir—persis di atas sini— silakan saja..." "Terima
kasih, Gilderoy," kata Dumbledore. Kerumunan yang diam menyisih memberi
jalan pada mereka. Lockhart, tampak bersemangat dan pen-ting, bergegas
mengikuti Dumbledore, begitu juga Profesor McGonagall dan Snape.
Ketika
mereka memasuki kantor Lockhart yang gelap, ada gerakan-gerakan sibuk
di sepanjang din-ding. Harry melihat beberapa Lockhart dalam foto
menyingkir dari pandangan, masih memakai gulungan rambut. Lockhart yang
asli menyalakan lilin-lilin di atas mejanya lalu mundur. Dumbledore
meletakkan Mrs Norris di atas permukaan meja yang berkilat dan mulai
memeriksanya. Harry, Ron, dan Hermione ber-tukar pandang tegang lalu
duduk di kursi-kursi di luar lingkaran cahaya lilin, mengawasi.
Ujung
hidung Dumbledore yang panjang dan beng-kok cuma sesenti dari bulu Mrs
Norris. Dia memeriksa-nya dengan teliti lewat kacamata bulan-separonya.
Jari-jarinya yang panjang dengan lembut menyentuh dan menekan. Profesor
McGonagall membungkuk sama dekatnya, matanya menyipit. Snape di belakang
mereka, separo tubuhnya dalam bayang- bayang. Ekspresi wajahnya aneh
sekali: seakan dia berusaha keras untuk tidak tersenyum. Dan Lockhart
berkeliaran di sekeliling mereka, memberi saran-saran.
"Jelas
kutukan yang membunuhnya—mungkin Siksaan Transmogrifian. Aku sudah
berkali-kali melihat kutukan ini digunakan, sayang sekali tadi aku tidak
di sana, aku tahu kontra-kutukan paling tepat yang pasti bisa
menyelamatkannya..."
Komentar
Lockhart disela oleh isakan kering merana Filch. Dia terenyak di kursi
di sebelah meja, tak sanggup memandang Mrs Norris, wajahnya ditutupi
tangannya. Kendati sangat tidak suka pada Filch, Harry mau tak mau agak
kasihan juga kepadanya, walaupun tidak sebesar rasa kasihannya kepada
diri sendiri. Kalau Dumbledore mempercayai Filch, dia jelas akan
dikeluarkan.
Dumbledore
sekarang berbisik menggumamkan kata-kata asing dan mengetuk-ngetuk Mrs
Norris' de-ngan tongkatnya, tetapi tak ada yang terjadi: kucing itu
tetap tampak seperti kucing mainan yang baru dijejali kapuk.
"...aku
ingat peristiwa yang sangat mirip terjadi di Ouagadogou," kata
Lockhart. "Serangkaian serangan, kisah selengkapnya ada dalam
autobiografiku. Aku bisa memberi penduduk kota itu berbagai jimat yang
langsung menyelesaikan masalah..."
Foto-foto Lockhart di dinding semua mengangguk-angguk menyetujui perkataannya. Salah satu dari foto itu lupa melepas harnetnya.
Akhirnya Dumbledore menegakkan diri.
"Dia tidak mati, Argus," katanya pelan.
Lockhart yang sedang menghitung jumlah pem-bunuhan yang berhasil dicegahnya mendadak ber-henti.
"Tidak
mati?" kata Filch dengan suara tercekik, mengintip Mrs Norris melalui
sela-sela jarinya. "Tetapi kenapa dia—dia kaku dan dingin?"
"Dia dibuat Membatu," kata Dumbledore ("Ah! Ku-pikir juga begitu!" kata Lockhart). "Tetapi bagaimana, aku tak bisa bilang..."
"Tanya dia!" jerit Filch, memalingkan wajahnya yang berjerawat dan basah kena air mata kepada Harry.
"Tak ada anak kelas dua yang bisa melakukan ini," kata Dumbledore tegas. "Perlu Sihir Hitam tingkat paling tinggi..."
"Dia yang melakukannya, dia yang melakukannya!" kata Filch marah, wajahnya yang bergelambir berubah ungu.
"Kalian
melihat apa yang ditulisnya di dinding! Dia menemukan—di kantorku—dia
tahu aku—aku..." wajah Filch berkeriut mengerikan. "Dia tahu aku Squib!"
dia mengakhiri kata-katanya.
"Saya
tak pernah menyentuh Mrs Norris!" kata Harry keras, merasa tidak enak
karena sadar betul semua orang mengawasinya, termasuk semua Lockhart di
dinding. "Dan saya bahkan tidak tahu Squib itu apa."
"Omong kosong!" gertak Filch. "Dia melihat surat Mantrakilatku!"
"Kalau
aku boleh bicara, Kepala Sekolah," kata Snape dari naungan
bayang-bayang. Perasaan Harry semakin tak enak. Dia yakin apa pun yang
dikatakan Snape tak akan membantunya.
"Potter
dan teman-temannya mungkin hanya berada di tempat yang salah pada waktu
yang salah," kata-nya, seringai kecil menghiasi wajahnya, seakan dia
meragukan ucapannya sendiri. "Tapi memang situasi-nya mencurigakan.
Kenapa mereka tidak ikut pesta Hallowe'en?"
Harry,
Ron, dan Hermione bersamaan menjelaskan tentang Pesta Ulang Tahun
Kematian. "...ada ratusan hantu, mereka akan memberi kesaksian bahwa
kami di sana..."
"Tapi
kenapa sesudahnya tidak ikut pesta?" kata Snape, matanya yang hitam
berkilauan dalam cahaya lilin. "Kenapa naik ke lorong itu?"
Ron dan Hermione memandang Harry.
"Karena—karena...,"
kata Harry, jantungnya ber-degup kencang sekali; dia sadar
kedengarannya aneh sekali kalau dia memberitahu mereka dia dibawa ke
sana oleh suara tanpa- tubuh yang tak bisa didengar orang lain kecuali
dia sendiri.
"Karena kami lelah dan ingin tidur," katanya.
"Tanpa
makan malam?" kata Snape, senyum ke-menangan menghiasi wajahnya yang
pucat. "Kurasa hantu tidak menyediakan makanan yang layak untuk orang
hidup di pesta mereka."
"Kami tidak lapar," kata Ron lantang, tepat ketika perutnya berkeriuk keras.
Senyum menyebalkan Snape makin lebar.
"Kurasa,
Kepala Sekolah, Potter tidak sepenuhnya jujur," katanya. "Mungkin ada
baiknya dia mendapat larangan- larangan tertentu sampai dia bersedia
men-ceritakan seluruhnya kepada kita. Aku pribadi ber-pendapat dia harus
dicopot dari tim Quidditch Gryffindor sampai dia mau berkata jujur."
"Astaga,
Severus," kata Profesor McGonagall tajam. "Aku tidak melihat alasan
untuk melarang anak ini main Quidditch. Kucing itu tidak dipukul
kepalanya dengan sapu. Sama sekali tak ada bukti bahwa Potter telah
melakukan sesuatu yang salah."
Dumbledore memandang Harry dengan tajam. Mata biru pucatnya yang bercahaya membuat Harry merasa seakan dia dirontgen.
"Tak bersalah sampai terbukti bersalah, Severus," katanya tegas.
Snape kelihatan berang. Begitu juga Filch.
"Kucingku dibuat Membatu!" jeritnya, matanya men-delik.
"Aku ingin ada yang dihukum!"
"Kami
bisa menyembuhkannya, Argus," kata Dumbledore sabar. "Baru-baru ini
Madam Sprout ber-hasil mendapatkan Mandrake. Begitu Mandrake-man-drake
itu tumbuh sepenuhnya, aku akan menyuruh buat ramuan yang bisa
menghidupkan Mrs Norris."
"Biar
aku yang buat," Lockhart menyela. "Aku sudah membuatnya seratus kali.
Aku bisa mengocok Cairan Restoratif Mandrake dalam tidur..."
"Maaf," kata Snape dingin, "tapi kurasa akulah ahli Ramuan di sekolah ini."
Suasana menjadi canggung.
"Kalian boleh pergi," Dumbledore berkata kepada Harry, Ron, dan Hermione.
Mereka
pergi, secepat mungkin, nyaris lari. Ketika tiba di lantai di atas
kantor Lockhart, mereka masuk ke dalam kelas kosong dan menutup
pintunya. Harry menyipitkan mata, memandang wajah gelap kedua temannya.
"Apakah menurut kalian aku seharusnya mem-beritahu mereka tentang suara yang kudengar?"
"Tidak,"
jawab Ron tanpa keraguan. "Mendengar suara- suara yang tak bisa
didengar orang lain bukan pertanda baik, bahkan di dunia sihir
sekalipun."
Sesuatu
dalam suara Ron membuat Harry bertanya, "Kau percaya padaku, kan?"
"Tentu," kata Ron cepat. "Tetapi—kau harus mengakui bahwa itu aneh..."
"Aku
tahu itu aneh," kata Harry. "Seluruh kejadian ini aneh. Apa maksud
tulisan di dinding itu? Kamar Rahasia Telah Dibuka... apa maksudnya
itu?"
"Rasanya aku pernah dengar," kata Ron lambat-lambat.
"Kurasa ada yang pernah cerita padaku ten-tang kamar rahasia di Hogwarts... mungkin Bill..."
"Dan apa sih Squib itu?" tanya Harry.
Dia heran sekali ketika Ron terkikik tertahan.
"Yah—sebetulnya
sih tidak lucu—tapi karena itu Filch...," katanya. "Squib itu orang
yang lahir dari keluarga penyihir tapi tidak punya kekuatan sihir sama
sekali. Kebalikan dari penyihir yang lahir dari keluarga Muggle, tapi
Squib ini tidak biasa. Kalau Filch berusaha mempelajari sihir lewat
kursus Mantrakilat, kurasa dia pasti Squib. Ini menjelaskan banyak hal.
Seperti kenapa dia sangat membenci murid-murid." Ron tersenyum puas.
"Dia merasa getir."
Jam berdentang di suatu tempat.
"Tengah malam," kata Harry. "Lebih baik kita tidur sebelum Snape datang dan berusaha menjebak kita untuk sesuatu yang lain."
Selama
beberapa hari yang dibicarakan di seluruh sekolah hanyalah prnyerangan
terhadap Mrs Norris. Filch membuat kejadian itu tetap segar di ingatan
anak-anak dengan mondar-mandir di tempat Mrs Norris diserang, seakan dia
mengira siapa tahu si penyerang akan kembali. Harry sudah melihat dia
menggosok tulisan di dinding dengan "Penghilang Segala-macam Kotoran
Sihir buatan Mrs Skower", tetapi percuma saja, tulisan itu tetap
berkilau terang seperti semula di atas dinding batu. Kalau tidak
ber-jaga di koridor, Filch akan mengendap-endap di koridor dengan mata
merah, menangkap anak-anak yang tidak curiga dan berusaha memberi mereka
detensi untuk hal-hal seperti "bernapas terlalu keras" dan "kelihatan
senang".
Ginny Weasley kelihatan terganggu sekali dengan nasib Mrs Norris. Menurut Ron, dia pecinta berat kucing.
"Tapi
kau kan belum kenal benar Mrs Norris," kata Ron menghiburnya. "Percaya
deh, kita jauh lebih se-nang tanpa dia." Bibir Ginny bergetar. "Hal
seperti ini tidak sering terjadi di Hogwarts," Ron meyakinkannya.
"Mereka akan menangkap orang sinting yang melaku-kannya dan segera
mengeluarkannya dari sini. Aku cuma berharap dia masih sempat membuat
Filch Mem-batu sebelum dikeluarkan. Aku cuma bergurau...," Ron buru-buru
menambahkan, ketika Ginny jadi pucat.
Serangan
itu juga berpengaruh pada Hermione. Sudah biasa bagi Hermione untuk
melewatkan banyak waktu dengan membaca, tetapi sekarang dia nyaris tidak
melakukan hal lain. Harry dan Ron pun tidak mendapat banyak jawaban
ketika mereka bertanya apa maunya membaca terus begitu, dan baru Rabu
berikutnya mereka tahu.
Harry
tertahan dalam pelajaran Ramuan, karena Snape menyuruhnya tinggal untuk
membersihkan sisa-sisa cacing dari atas meja. Setelah makan siang yang
terburu-buru, dia naik untuk menemui Ron di per-pustakaan, dan melihat
Justin Finch-Fletchley, anak Hufflepuff yang sama-sama ikut kelas
Herbologi, ber-jalan ke arahnya. Harry baru membuka mulut untuk menyapa,
tetapi begitu melihatnya, Justin mendadak berbalik dan bergegas ke arah
yang berlawanan.
Harry
menemukan Ron di bagian belakang per-pustakaan, sedang mengukur PR
Sejarah Sihir-nya. Profesor Binns menugaskan menulis karangan se-panjang
satu meter tentang "Pertemuan Penyihir Eropa Abad Pertengahan".
"Ya
ampun, masih kurang dua puluh senti...," kata Ron sebal, melepas
perkamennya, yang langsung ber-gulung kembali. "Sementara karangan
Hermione pan-jangnya seratus tiga puluh tujuh setengah senti, pada-hal
tulisannya kecil- kecil."
"Di mana dia?" tanya Harry, menyambar meteran dan membuka gulungan PR-nya sendiri.
"Di
sana," kata Ron, menunjuk rak-rak buku, "men-cari buku lain lagi.
Kurasa dia mencoba menyelesaikan membaca seluruh buku di perpustakaan
ini sebelum Natal."
Harry bercerita kepada Ron tentang Justin Finch-Fletchley yang melarikan diri darinya.
"Buat apa kaupikirkan. Menurutku dia agak idiot," kata Ron sambil menulis, huruf-hurufnya dibuat se-besar mungkin.
"Segala
omong kosong tentang Lockhart yang begitu hebat..." Hermione muncul
dari antara rak-rak buku. Dia kelihatan jengkel dan akhirnya siap untuk
berbicara kepada mereka.
.
"Semua buku Sejarah Hogwarts dipinjam," katanya sambil duduk di sebelah
Harry dan Ron. "Dan daftar tunggunya sampai dua minggu. Aku menyesal
sekali bukuku kutinggal di rumah, tapi koperku sudah pe-nuh sekali
dengan semua buku Lockhart."
"Kenapa kau mau baca buku itu?" tanya Harry.
"Sama
seperti semua orang lain," kata Hermione, "untuk membaca legenda Kamar
Rahasia." "Apa itu?" tanya Harry cepat-cepat. "Itulah. Aku tak ingat,"
kata Hermione, menggigit bibir. "Dan legenda itu tak bisa kutemukan di
tempat lain..."
"Hermione, coba aku baca karanganmu," kata Ron putus asa, mengecek arlojinya.
"Tidak boleh," kata Hermione, mendadak galak. "Kau punya waktu sepuluh hari untuk menyelesaikan-nya."
"Aku cuma perlu lima senti lagi, ayo dong..."
Bel berdering. Ron dan Hermione berjalan di depan, menuju kelas Sejarah Sihir, bertengkar.
Sejarah
Sihir adalah pelajaran paling membosankan di daftar pelajaran mereka.
Profesor Binns, gurunya, adalah satu-satunya guru yang hantu, dan hal
paling seru yang pernah terjadi di kelasnya adalah saat dia memasuki
kelas menembus papan tulis. Profesor Binns sudah tua sekali dan
berkeriput. Banyak orang bilang dia tidak sadar dia sudah meninggal. Dia
bangun begitu saja untuk mengajar pada suatu hari dan me-ninggalkan
tubuhnya di kursi berlengan di depan perapian di ruang guru.
Rutinitasnya tidak berubah sedikit pun sejak saat itu.
Hari
ini sama membosankannya seperti biasa. Profesor Binns membuka
catatannya dan mulai mem-baca dengan nada datar membosankan seperti
de-ngung penyedot debu tua. Nyaris semua anak di kelas tertidur nyenyak,
kadang-kadang terbangun cukup lama untuk menulis nama atau tanggal,
kemu-dian tidur lagi. Profesor Binns sudah bicara selama setengah jam
ketika terjadi sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Hermione
mengacungkan tangan.
Profesor Binns, mendongak di tengah bacaan super membosankan tentang Konvensi Sihir Internasional tahun 1289, kelihatan kaget.
"Miss-eh...?"
"Granger,
Profesor, saya ingin tahu apakah Anda bisa menceritakan kepada kami
sesuatu tentang Kamar Rahasia," kata Hermione dengan suara nyaring.
Dean
Thomas, yang duduk dengan mulut melongo sambil memandang kosong ke luar
jendela, tersentak dari transnya. Kepala Lavender Brown terangkat dari
lengannya dan siku Neville tergelincir dari tepi meja-nya.
Profesor Binns mengejap.
"Pelajaranku
adalah Sejarah Sihir," katanya dengan suara kering mendesah. "Aku
mengajarkan fakta, Miss Granger, bukan dongeng dan legenda." Dia
berdeham pelan kecil, seperti bunyi kapur patah, dan melanjut-kan,
"Dalam bulan September tahun itu, sub-panitia para penyihir Sardinia..."
Dia terpaksa berhenti. Tangan Hermione melambai di udara lagi.
"Miss Grant?"
"Maaf,
Sir, bukankah legenda selalu punya dasar fakta?" Profesor Binns
memandang Hermione dengan sa-ngat tercengang. Harry yakin tak ada murid
yang pernah menyelanya, hidup atau mati.
"Yah,"
kata Profesor Binns lambat-lambat. "Ya, orang bisa memperdebatkan soal
itu, kurasa." Dia me-nyipitkan mata, memandang Hermione seakan tak
pernah memandang muridnya dengan jelas sebelum-nya. "Meskipun demikian,
legenda yang kautanyakan itu dongeng yang sangat sensasional, bahkan
meng-gelikan..."
Tetapi
seluruh kelas sekarang memusatkan perhatian pada kata-kata Profesor
Binns. Dia memandang me-reka, semua wajah menghadap dirinya,
memandang-nya. Harry bisa melihat sang profesor benar-benar tercengang
melihat ketertarikan yang luar biasa itu.
"Oh, baiklah," katanya lambat-lambat. "Kamar Rahasia...
"Kalian
semua tahu, tentunya, bahwa Hogwarts didirikan lebih dari seribu tahun
yang lalu—tanggal persisnya tidak jelas—oleh empat penyihir besar pada
zamannya. Keempat asrama sekolah ini dinamakan sesuai nama mereka:
Godric Gryffindor, Helga Hufflepuff, Rowena Ravenclaw, dan Salazar
Slytherin.
Mereka
bersama-sama mendirikan kastil ini, jauh dari mata Muggle yang ingin
tahu, karena zaman itu sihir ditakuti orang- orang biasa dan para
penyihir men-derita karena disiksa."
Dia
berhenti sejenak, memandang muram ke se-luruh kelas, lalu melanjutkan,
"Selama beberapa tahun, para pendiri bekerja bersama-sama dengan
harmonis, mencari anak-anak yang menunjukkan bakat sihir dan membawa
mereka ke kastil untuk dididik. Tetapi kemudian timbul pertentangan di
antara mereka. Keretakan tumbuh di antara Slytherin dan yang lain,
Slytherin menginginkan mereka lebih selektif. dalam memilih murid-murid
yang masuk Hogwarts. Menurut pendapatnya pelajaran sihir seharusnya
hanyalah di-berikan kepada keluarga-keluarga penyihir. Dia tak suka
mengambil murid yang dilahirkan oleh orangtua Muggle. Menurut
anggapannya mereka tak bisa di-percaya. Selang beberapa waktu, terjadi
perdebatan seru mengenai hal ini antara Slytherin dan Gryffindor, dan
Slytherin meninggalkan sekolah."
Profesor Binns berhenti lagi, mengerucutkan bibir-nya, kelihatan seperti kura-kura tua berkeriput.
"Berdasarkan
sumber-sumber sejarah yang bisa di-percaya, cuma itulah yang kita
tahu," katanya, "tetapi fakta yang benar ini dikaburkan oleh legenda
Kamar Rahasia yang seru. Menurut ceritanya, Slytherin sudah membuat
kamar tersembunyi di dalam kastil, yang sama sekali tidak diketahui para
pendiri lainnya.
"Slytherin,
menurut legenda, menyegel Kamar Rahasia, sehingga tak ada yang bisa
membukanya sampai pewarisnya yang sejati tiba di sekolah ini.
Hanya
si pewaris itulah yang bisa membuka segel Kamar Rahasia, melepas horor
di dalamnya, dan menggunakannya untuk memurnikan sekolah dari mereka
yang tak layak mempelajari ilmu sihir."
Kelas
sunyi senyap ketika Profesor Binns mengakhiri ceritanya, tetapi bukan
kesunyian mengantuk yang biasa memenuhi kelas ini. Ada kegelisahan di
dalam-nya selagi semua anak masih memandangnya, meng-harap lebih banyak
cerita lagi. Profesor Binns kelihatan agak jengkel.
"Semua
itu omong kosong, tentu saja," katanya. "Dengan sendirinya sekolah
diselidiki untuk mencari bukti-bukti adanya kamar itu. Sudah banyak kali
para penyihir yang terpelajar menyelidikinya, tapi kamar itu tidak ada.
Itu cuma cerita bohong yang disebar-kan untuk menakut-nakuti mereka
yang mudah di-tipu."
Tangan Hermione kembali terangkat. "Sir—apa tepatnya yang Anda maksud dengan 'horor di dalam' kamar?"
"Menurut
cerita itu semacam monster yang hanya bisa dikontrol oleh pewaris
Slytherin," kata Profesor Binns dengan suaranya yang kering mendesah.
Anak-anak bertukar pandang cemas.
"Sudah kubilang, semua itu tidak ada," kata Profesor Binns, membalik-balik catatannya. "Tidak ada Kamar Rahasia dan monster."
"Tapi,
Sir," kata Seamus Finnigan, "kalau kamar itu hanya bisa dibuka oleh
pewaris sejati Slytherin, orang lain tak akan ada yang bisa
menemukannya, kan?"
"Omong kosong, O'Flaherty," kata Profesor Binns jengkel.
"Kalau sederet kepala sekolah Hogwarts tidak menemukannya..."
"Tapi, Profesor," celetuk Parvati Patil dengan suara kecil,
"Anda mungkin harus menggunakan Ilmu Hitam untuk membukanya..."
"Kalau
penyihir terhormat tidak menggunakan Ilmu Hitam, bukan berarti dia
tidak bisa, Miss Pennyfeather," sela Profesor Binns tajam. "Kuulangi,
kalau orang seperti Dumbledore..."
"Tapi
mungkin orang itu harus keluarga Slytherin, makanya Dumbledore tidak
bisa...," Dean Thomas hendak menjelaskan, tetapi Profesor Binns sudah
tidak mau melanjutkan.
"Cukup,"
katanya tajam. "Itu cuma dongeng! Kamar itu tidak ada! Tak ada setitik
pun bukti bahwa Slytherin pernah membuat bahkan cuma lemari sapu
rahasia! Aku menyesal sudah menceritakan kepada kalian cerita tak masuk
akal begitu! Kita kembali ke sejarah, ke fakta-fakta yang solid, bisa
dipercaya, dan bisa dibuktikan."
Dan dalam waktu lima menit seluruh kelas sudah kembali tertidur nyenyak seperti biasa.
"Dari
dulu aku sudah tahu Salazar Slytherin itu sin-ting," Ron berkata kepada
Harry dan Hermione. Saat itu mereka sedang berdesakan di koridor yang
penuh sesak pada akhir pelajaran untuk menaruh tas mereka, sebelum makan
malam.
"Tetapi
aku tak pernah tahu dialah yang punya ide soal darah- murni ini.
Dibayar pun aku tak mau tinggal di asramanya. Benar, kalau Topi Seleksi
dulu mencoba menempatkanku di Slytherin, aku akan langsung pulang naik
kereta api...."
Hermione mengangguk bersemangat, tetapi Harry tidak berkata apa-apa. Perutnya rasanya tidak enak.
Harry
tidak pernah menceritakan kepada Ron dan Hermione bahwa Topi Seleksi
dengan serius telah mempertimbangkan akan menempatkannya di Slytherin.
Dia masih ingat, seakan kejadiannya baru kemarin, suara kecil yang
berkata ke dalam telinganya ketika dia menaruh topi itu di atas
kepalanya setahun yang lalu.
"Kau
bisa jadi penyihir hebat Iho. Semuanya ada di kepalamu, dan Slytherin
bisa membantumu mencapai ke-masyhuran, tak diragukan lagi..."
Tetapi
Harry, yang sudah mendengar reputasi asrama Slytherin yang menghasilkan
penyihir-penyihir hitam, telah membatin putus asa, Jangan Slytherin!
dan topi itu berkata,
"Oh, yah, kalau kau yakin... lebih baik Gryffindor..."
Ketika mereka tengah terdorong-dorong di tengah anak- anak yang berbondong-bondong, Colin Creevey melewati mereka.
"Hai, Harry!"
"Halo, Colin," kata Harry otomatis.
"Harry—Harry—ada
anak di kelasku yang bilang kau..." Tetapi Colin kecil sekali, dia tak
bisa menahan dorongan anak-anak yang mendesaknya ke Aula Besar. Mereka
mendengarnya mencicit, "Sampai nanti, Harry!" dan dia pun lenyap.
"Apa kata anak di kelasnya tentang kau?" Hermione ingin tahu.
"Bahwa
aku pewaris Slytherin, kukira," kata Harry, perutnya semakin tidak enak
ketika dia teringat Jus-tin Finch-Fletchley yang kabur darinya sebelum
makan siang tadi.
"Orang-orang
di sini mempercayai apa saja," kata Ron jijik. Kerumunan anak-anak
menipis dan mereka bisa menaiki tangga berikutnya tanpa kesulitan.
"Apakah menurutmu Kamar Rahasia itu benar-bmar ada?" Ron bertanya kepada
Hermione.
"Entahlah,"
katanya, mengernyit. "Dumbledore tidak bisa menyembuhkan Mrs Norris,
dan itu membuatku berpikir bahwa apa pun yang menyerangnya mungkin
bukan—yah—- manusia."
Sementara
Hermione bicara, mereka membelok di sudut dan tiba-tiba saja sudah
berada di koridor tem-pat terjadinya penyerangan. Mereka berhenti dan
me-mandang berkeliling. Keadaannya masih persis seperti malam itu,
kecuali tak ada lagi kucing kaku tergantung dari tancapan obor, dan ada
kursi kosong di depan dinding bertulisan "Kamar Rahasia Telah Dibuka."
"Di situlah Filch berjaga," gumam Ron. Mereka saling pandang. Koridor itu kosong.
"Tak ada salahnya melihat-lihat," kata Harry, men-jatuhkan tasnya, berjongkok, lalu merangkak untuk mencari petunjuk.
"Bekas terbakar!" katanya. "Di sini—dan di sini..."
"Lihat ini!" kata Hermione. "Ini aneh..."
Harry
bangun dan menyeberang ke jendela di se-belah tulisan di dinding.
Hermione menunjuk ke ambang paling atas. Tampak kira-kira dua puluh
labah-labah berjalan tergesa-gesa, rupanya mereka berebut mau keluar
lewat celah sempit di kaca. Benang pan-jang keperakan menggantung
seperti tali, seakan me-reka semua naik melewati tali itu dalam
ketergesaan mau keluar.
"Pernahkah kau melihat labah-labah bersikap seperti itu?"
tanya Hermione penasaran.
"Tidak," kata Harry. "Pernahkah kau, Ron? Ron?"
Harry
berpaling. Ron berdiri jauh-jauh, dan ke-lihatannya berusaha untuk
tidak lari. "Kenapa?" tanya Harry. "Aku— tidak—suka—labah-labah," kata
Ron tegang. "Aku tak pernah tahu," kata Hermione, menatap Ron keheranan.
"Kau kan sudah sering menggunakan labah-labah dalam ramuan..."
"Aku
tidak keberatan kalau mereka mati," kata Ron, yang dengan hati-hati
memandang berkeliling, kecuali jendela. "Aku tak suka melihat cara
mereka bergerak."
Hermione terkikik geli.
"Tidak
lucu," kata Ron galak. "Kalau kau mau tahu, waktu aku berumur tiga
tahun, Fred mengubah... mengubah boneka beruangku menjadi labah-labah
besar mengerikan karena aku mematahkan tongkat sihir mainannya. Kau
pasti tak akan suka juga kalau kau sedang memeluk beruangmu dan mendadak
saja dia punya begitu banyak kaki dan..."
Kata-katanya
terputus, dia bergidik. Hermione tam-pak jelas masih berusaha tidak
tertawa. Merasa mereka lebih baik berganti topik, Harry berkata, "Ingat
air yang di lantai? Dari mana air itu? Ada yang sudah mengepelnya."
"Kira-kira
di sini," kata Ron, yang sudah cukup menguasai diri untuk berjalan
beberapa langkah me-lewati kursi Filch dan menunjuk, "Sejajar dengan
pintu ini."
Tangannya menjangkau pegangan pintu, tetapi men-dadak ditariknya kembali, seakan terbakar.
"Kenapa?" tanya Harry.
"Tidak bisa masuk," kata Ron parau, "ini toilet anak perempuan."
"Oh, Ron, tak akan ada orang di dalam," kata Hermione, berdiri dan mendekat. "Itu tempat si Myrtle Merana. Ayo, kita lihat."
Tanpa mengacuhkan tulisan besar "RUSAK", Hermione membuka pintu.
Itu
toilet paling suram dan paling menyedihkan yang pernah dimasuki Harry.
Di bawah cermin besar yang sudah retak dan bebercak-bercak, ada sederet
tempat cuci tangan dari batu yang sudah pecah-pecah. Lantainya lembap
dan memantulkan cahaya suram dari beberapa lilin yang sudah pendek dan
menyala kecil dalam tancapannya. Pintu-pintu kayu bilik-biliknya
mengelupas, berjamur, dan salah satu malah mau lepas, tergantung-gantung
pada engselnya.
Hermione
meletakkan jari di bibirnya dan berjalan menuju bilik paling ujung.
Setiba di sana dia berkata, "Halo, Myrtle, bagaimana kabarmu?"
Harry dan Ron melongok. Myrtle Merana sedang melayang- layang di atas tangki air, memencet-mencet jerawat di dagunya.
"Ini toilet perempuan," katanya, mengawasi Ron dan Harry dengan curiga. "Mereka bukan perempuan."
"Bukan," Hermione setuju. "Aku cuma mau me-nunjukkan kepada mereka bagaimana—eh—betapa menyenangkannya di sini."
Hermione
melambai asal-asalan ke arah cermin dan lantai yang lembap. "Tanya
kalau-kalau dia lihat sesuatu," Harry mengucapkan tanpa suara kepada
Hermione. "Kau bisik-bisik apa?" kata Myrtle, membelalak me-natap Harry.
"Tidak apa- apa," kata Harry cepat-cepat. "Kami ingin tanya..."
"Aku
benci kalau orang-orang ngomong di belakang punggungku!" kata Myrtle
menahan tangis. "Aku punya perasaan, kau tahu, walaupun aku sudah mati."
"Myrtle, tak ada yang ingin membuatmu sedih," kata Hermione. "Harry cuma..."
"Tak
ada yang ingin membuatku sedih! Bagus amat!" lolong Myrtle. "Hidupku
penuh penderitaan di tempat ini, dan sekarang orang-orang datang untuk
meng-hancurkan kematianku!"
"Kami
ingin bertanya padamu kalau-kalau kau me-lihat sesuatu yang aneh
belakangan ini," kata Hermione cepat- cepat, "karena ada kucing diserang
tepat di depan pintumu pada malam Hallowe'en."
"Apa kau melihat ada orang di dekat sini malam itu?" tanya Harry.
"Aku
tidak memperhatikan," kata Myrtle dramatis. "Peeves membuatku sangat
menderita, sehingga aku masuk ke sini dan mencoba bunuh diri. Kemudian,
tentu saja, aku ingat bahwa aku—bahwa aku..."
"Sudah mati," kata Ron membantu.
Myrtle
tersedu memilukan, melayang ke atas, ber-balik dan menukik dengan
kepala duluan ke dalam kloset, menciprati mereka semua dengan air, dan
menghilang dari pandangan. Dari isakannya yang ber-deguk, dia tentunya
bersembunyi di leher angsa.
Harry
dan Ron ternganga, tetapi Hermione mengangkat bahu dan berkata,
"Percaya deh, yang begini ini sudah bisa dibilang riang bagi Myrtle...
ayo, kita pergi."
Harry baru saja menutup pintu ketika terdengar suara keras yang membuat mereka bertiga terlonjak.
"RON!"
Percy
Weasley berdiri terpaku di puncak tangga, lencana prefeknya berkilauan,
ekspresi wajahnya shock berat. "Itu toilet perempuan!" katanya kaget.
"Ngapain kau...?" "Cuma lihat-lihat," Ron mengangkat bahu. "Cari
petunjuk..." Percy menggelembung marah sedemikian rupa se-hingga
mengingatkan Harry pada Mrs Weasley.
"Pergi—dari—situ...,"
katanya, melangkah mendekat dan mengusir mereka dengan
mengibas-ngibaskan lengan. "Apa kalian tidak peduli apa pendapat orang?
Kembali ke sini sementara anak-anak lain sedang makan malam..."
"Kenapa kami tidak boleh ke sini?" tanya Ron panas, membelalak pada Percy. "Dengar, kami tak pernah menyentuh kucing itu!"
"Itu yang kukatakan kepada Ginny," kata Percy garang,
"tapi
dia kelihatannya masih mengira kau akan dikeluarkan. Belum pernah
kulihat dia secemas itu, menangis terus- menerus. Paling tidak,
pikirkanlah adikmu. Semua anak kelas satu ketakutan dengan adanya
kejadian ini..."
"Kau
tak peduli pada Ginny," kata Ron, yang telinganya sudah mulai merah.
"Kau cuma cemas aku akan menghilangkan kesempatanmu menjadi Ketua
Murid!"
"Potong
lima angka dari Gryffindor!" kata Percy tegang, jarinya mengelus
lencana prefeknya. "Dan kuharap ini jadi pelajaran bagimu! Tak boleh
lagi main detektif-detektifan, kalau tidak, aku akan menulis pada Mum!"
Ketika Percy pergi, tengkuknya sama merahnya de-ngan telinga Ron.
Harry,
Ron, dan Hermione memilih tempat duduk sejauh mungkin dari Percy di
ruang rekreasi malam itu. Ron masih marah sekali dan berkali-kali PR
Jimat dan Guna-guna-nya ketetesan tinta. Ketika dengan asal-asalan dia
mengambil tongkatnya untuk meng-hilangkan noda-noda itu, tongkatnya
malah membakar perkamennya. Marah-marah, sampai seakan berasap seperti
perkamennya, Ron menutup Kitab Mantra Standar, Tingkat 2-nya
keras-keras. Betapa herannya Harry, karena Hermione mengikuti jejaknya.
"Tapi,
siapa dia?" tanya Hermione serius, seakan melanjutkan percakapan yang
sedang mereka laku-kan. "Siapa yang menginginkan semua Squib dan
penyihir kelahiran- Muggle dikeluarkan dari Hogwarts?"
"Mari
kita berpikir," kata Ron pura-pura bingung. "Siapa orang yang kita
tahu, yang berpendapat bahwa penyihir kelahiran-Muggle itu sampah?"
Dia memandang Hermione. Hermione balik me-mandangnya, tidak yakin.
"Kalau yang kaubicarakan Malfoy..."
"Tentu saja!" kata Ron. "Kau mendengar ucapannya:
'Giliranmu
berikutnya, Darah-lumpur!' Coba saja, kau tinggal melihat wajahnya yang
seperti tikus untuk tahu bahwa dialah orangnya..."
"Malfoy, Pewaris Slytherin!" kata Hermione ragu-ragu.
"Lihat
saja keluarganya," kata Harry, ikut-ikutan menutup bukunya. "Semuanya
penghuni Slytherin, dia selalu menyombongkan hal itu. Dengan mudah dia
bisa saja turunan Slytherin. Ayahnya jelas jahat sekali."
"Mereka
mungkin saja memegang kunci Kamar Rahasia selama berabad-abad," kata
Ron. "Diserahkan turun-temurun dari ayah ke anak..."
"Yah," kata Hermione hati-hati, "kurasa itu mungkin juga."
"Tapi bagaimana kita membuktikannya?" kata Harry muram.
"Mungkin
ada jalan," kata Hermione lambat-lambat, makin merendahkan suaranya
seraya sekilas melirik Percy di seberang ruangan. "Tentu saja akan
sulit. Dan berbahaya, sangat berbahaya. Kita akan melanggar kira-kira
lima puluh peraturan sekolah, kurasa."
"Kalau, kira-kira sebulan lagi, kau bersedia menjelas-kannya, kau akan memberitahu kami, kan?" kata Ron jengkel.
"Baiklah,"
tanggap Hermione dingin. "Yang perlu kita lakukan adalah masuk ke ruang
rekreasi Slytherin dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Malfoy
tanpa dia menyadari kitalah yang bertanya."
"Tapi itu mana mungkin," kata Harry, sementara Ron tertawa. "Tidak, itu bukan tidak mungkin," kata Hermione.
"Yang kita perlukan hanyalah Ramuan Polijus."
"Apa itu?" tanya Ron dan Harry bersamaan.
"Snape menyebutkannya di kelas beberapa minggu yang lalu..."
"Memangnya kami tak punya kerjaan lain yang lebih menarik di pelajaran Ramuan selain mendengar-kan Snape?" gumam Ron.
"Ramuan
ini mentransformasimu menjadi orang lain. Pikirkanlah! Kita bisa
berubah menjadi tiga anak Slytherin. Tak ada yang tahu itu kita. Malfoy
mungkin akan memberitahu kita segalanya. Dia mungkin se-dang
mrnyombongkan hal itu di ruang rekreasi Slytherin sekarang ini, kalau
saja kita bisa mendengar-nya."
"Ramuan
Polijus ini kedengarannya agak meragukan bagiku," kata Ron, keningnya
berkerut. "Bagaimana kalau kita terperangkap bertampang seperti tiga
anak Slytherin selamanya?"
"Efeknya
akan menghilang sendiri setelah beberapa waktu," kata Hermione,
melambaikan tangannya tak sabar. "Tetapi mendapatkan resepnya akan sulit
sekali. Kata Snape adanya di buku berjudul Ramuan-ramuan Paling Mujarab
dan, di perpustakaan, buku ini pasti disimpan di Seksi Terlarang."
Hanya ada satu cara untuk meminjam buku dari Seksi Terlarang: kau perlu izin tertulis dengan tanda tangan guru.
"Susah
cari alasan kenapa kita memerlukan buku itu," kata Ron, "kalau bukan
karena kita ingin men-coba membuat salah satu resep ramuannya."
"Kurasa," kata Hermione, "kalau kita pura-pura cuma tertarik pada teorinya, kita mungkin masih punya kesempatan..."
"Oh, mana mungkin! Tak ada guru yang bisa tertipu dengan alasan begitu," kata Ron. "Mereka bodoh benar kalau sampai tertipu...."
10. Bludger Gila
SEJAK
kejadian yang membawa malapetaka dengan pixie, Profesor Lockhart tak
pernah lagi membawa makhluk hidup ke dalam kelas. Sebagai gantinya dia
membacakan paragraf- paragraf dari buku-bukunya, dan kadang-kadang
memperagakan kembali bagian-bagian yang paling dramatis. Biasanya dia
memilih Harry untuk membantunya melakukan rekonstruksi. Sejauh ini Harry
sudah dipaksa berperan sebagai pen-duduk desa Transylvania sederhana
yang disembuhkan Lockhart dari Kutukan Gagap, yeti yang pilek berat, dan
vampir yang setelah ditangani Lockhart tak bisa makan apa- apa selain
daun selada.
Harry
ditarik ke depan kelas dalam pelajaran Per-tahanan terhadap Ilmu Hitam
berikutnya. Kali ini dia berperan sebagai manusia serigala. Harry pasti
sudah menolak kalau dia tidak ingat pada rencana Hermione. Untuk itu dia
harus membuat Lockhart senang.
"Lolongan
keras yang bagus, Harry—persis—dan kemudian, kalau kalian percaya, aku
menyerang— seperti ini— membantingnya ke lantai—begini—dengan satu
tangan. Aku berhasil memitingnya—dengan ta-ngan yang lain. Kutekankan
tongkatku ke lehernya— kukumpulkan sisa tenagaku dan kulancarkan Mantra
Homorphus yang sangat rumit—dia mengeluarkan erangan memelas—ayo,
Harry—lebih melengking lagi—bagus—bulunya lenyap—taringnya menyusut— dan
dia kembali menjadi manusia. Sederhana, tapi efektif—dan satu desa lagi
akan mengenangku selama-nya sebagai pahlawan yang membebaskan mereka
dari teror bulanan serangan manusia serigala."
Bel berdering dan Lockhart bangkit.
"PR:
buat puisi tentang kejadian aku mengalahkan manusia serigala Wagga
Wagga! Hadiah buku Aku yang Ajaib dengan tanda tanganku untuk penulis
puisi yang paling baik!"
Anak-anak mulai meninggalkan kelas. Harry kembali ke belakang, ke tempat Ron dan Hermione menunggu.
"Siap?" gumam Harry.
"Tunggu sampai semua sudah pergi," kata Hermione gugup. "Baiklah..."
Dia mendekati meja Lockhart, secarik kertas ter-genggam erat di tangannya. Harry dan Ron mem-buntuti di belakangnya.
"Eh—Profesor
Lockhart?" Hermione tergagap. "Saya ingin me—meminjam buku ini dari
perpustakaan. Ha-nya untuk bacaan tambahan." Dia mengulurkan kertas itu,
tangannya agak gemetar. "Masalahnya, bukunya ada di Seksi Terlarang
perpustakaan, jadi saya perlu tanda tangan guru untuk meminjamnya—saya
yakin buku ini bisa membantu saya memahami apa yang Anda ceritakan di
Heboh dengan Hantu, itu lho tentang bisa reptil yang dampaknya baru
kelihatan setelah beberapa lama."
"Ah, Heboh dengan Hantu!" kata Lockhart, mengambil kertas dari tangan Hermione dan tersenyum lebar kepadanya.
"Mungkin buku favoritku. Kau suka buku itu?"
"Oh, ya," kata Hermione bersemangat. "Cerdik se-kali, cara Anda memerangkap hantu yang terakhir dengan saringan teh..."
"Yah,
kurasa tak akan ada yang keberatan jika aku memberi sedikit bantuan
pada murid terbaik tahun ini," kata Lockhart hangat, dan dia
mengeluarkan pena bulu merak yang besar sekali. "Ya, bagus, kan?"
katanya, salah menafsirkan ekspresi jijik di wajah Ron. "Aku biasanya
menggunakannya untuk me-nandatangani buku-bukuku."
Dia mencoretkan tanda tangan besar melingkar di kertas itu, di bawah judul buku, dan mengembali-kannya kepada Hermione.
"Nah,
Harry," kata Lockhart, sementara Hermione melipat kertas itu dengan
jari-jari gemetar dan me-nyelipkannya ke dalam tasnya. "Besok
pertandingan pertama Quidditch musim ini, kan? Gryffindor lawan
Slytherin, ya? Kudengar kau pemain yang berguna. Aku dulu Seeker juga.
Aku diminta mencoba main untuk tim nasional, tetapi aku memilih
mendedikasi-kan hidupku untuk pemberantasan Ilmu Hitam. Tapi, kalau kau
merasa memerlukan latihan privat, jangan ragu-ragu menghubungiku. Aku
selalu senang mem-bagikan keahlianku pada pemain yang kurang terampil
dibanding aku..." Harry mengeluarkan bunyi tak jelas di kerongkongannya,
lalu bergegas menyusul Ron dan Hermione.
"Sungguh
tak bisa dipercaya," kata Harry, ketika mereka bertiga mengamati tanda
tangan di kertas. "Dia bahkan tidak membaca judul buku yang kita
inginkan."
"Itu karena dia tak punya otak," kata Ron. "Tapi peduli amat, kita sudah mendapatkan yang kita ingin-kan."
"Dia
punya otak," bantah Hermione nyaring, ketika mereka setengah berlari ke
perpustakaan. "Hanya karena dia bilang kau murid terbaik tahun ini..."
Mereka merendahkan suara ketika memasuki ke-heningan perpustakaan.
Madam Pince, petugas perpustakaan, adalah perem-puan kurus pemarah yang tampangnya seperti burung hering kurang makan.
"Ramuan-ramuan
Paling Mujarab?" dia mengulang curiga, berusaha mengambil catatan itu
dari tangan Hermione, tetapi Hermione tak mau melepasnya.
"Saya ingin menyimpannya," desahnya.
"Ya
ampun," kata Ron, merebut kertas itu dan me-nyerahkannya kepada Madam
Pince. "Kita akan minta tanda tangan lain untukmu. Lockhart akan
menanda-tangani apa saja kalau benda itu diam cukup lama."
Madam
Pince menerawang kertas itu ke lampu, seakan bertekad menemukan
pemalsuan, tetapi kertas nya lulus tes. Dia berjalan di antara rak-rak
tinggi dan kembali beberapa menit kemudian, membawa buku besar yang
tampak berjamur. Hermione me-masukkannya hati-hati ke dalam tasnya dan
mereka meninggalkan perpustakaan, berusaha tidak berjalan terlalu cepat
atau kelihatan terlalu bersalah.
Lima
menit kemudian, mereka sudah mengurung diri dalam toilet rusak Myrtle
Merana lagi. Hermione menolak keberatan Ron dengan dalih toilet itu
tempat terakhir yang akan didatangi siapa saja yang pikiran-nya lurus.
Jadi di situ dijamin mereka aman. Myrtle Merana tersedu-sedu berisik di
dalam biliknya, tetapi mereka tidak memedulikannya dan Myrtle juga tidak
memedulikan mereka.
Hermione
hati-hati membuka Ramuan-ramuan Paling Mujarab, dan ketiganya
membungkuk di atas halaman-halaman yang bebercak-bercak lembap. Sekilas
saja sudah jelas kenapa buku itu ditaruh di Seksi Terlarang. Beberapa
efek ramuannya terlalu mengerikan untuk dipikirkan, dan ada beberapa
ilustrasi yang menyeram-kan, termasuk gambar seorang laki-laki yang
kelihatan-nya bagian dalam tubuhnya dibalik jadi di luar, dan penyihir
wanita yang dari kepalanya tumbuh beberapa pasang tangan tambahan.
"Ini
dia," kata Hermione bersemangat, ketika dia me-nemukan halaman yang
berjudul Ramuan Polijus. Ha-laman itu dihiasi gambar-gambar orang yang
setengah bertransformasi menjadi orang lain. Harry betul-betul berharap
ilustratornya hanya membayangkan ekspresi kesakitan luar biasa pada
wajah orang-orang itu.
"Ini ramuan paling rumit yang pernah kubaca," kata Hermione, ketika mereka membaca resepnya.
"Serangga
sayap-renda, lintah, mostar, dan knotgrass— tanaman rendah berbunga
dadu dan berdaun biru keabu- abuan," dia bergumam, jarinya menyusuri
daftar bahan yang diperlukan. "Yah, ini cukup gampang, semua ada di
lemari bahan siswa, kita bisa ambil sendiri. Oooh, lihat, bubuk tanduk
Bicorn—entah dari mana bisa kita dapatkan... selongsong kulit ular pohon
saat dia ganti kulit—ini susah juga—dan tentu saja sedikit bagian dari
orang yang menjadi sasaran kita."
"Maaf?"
kata Ron tajam. "Apa maksudmu, sedikit bagian dari orang yang menjadi
sasaran kita? Aku tak mau minum apa pun yang mengandung kuku kaki
Crabbe..."
Hermione melanjutkan seakan dia tidak mendengar-nya.
"Kita
belum perlu mencemaskan itu, karena bagian itu kita tambahkan paling
belakang..." Tak bisa bicara, Ron menoleh kepada Harry, yang punya
kekhawatiran lain.
"Apakah
kau sadar berapa banyak yang harus kita curi, Hermione? Kulit ular
pohon, jelas ini tak ada dalam lemari siswa. Apa yang akan kita lakukan?
Membongkar lemari pribadi Snape? Aku tak tahu apakah itu ide bagus..."
Hermione menutup bukunya dengan suara keras.
"Kalau
kalian berdua mau mundur, silakan," kata-nya. Ada rona merah di pipinya
dan matanya lebih cemerlang daripada biasanya. "Aku tak ingin
me-langgar peraturan, kalian tahu. Kurasa mengancam penyihir
kelahiran-Muggle lebih parah daripada me-rebus ramuan yang sulit. Tetapi
kalau kalian tidak ingin mencari tahu apakah Malfoy adalah pewaris
Slytherin, aku akan kembali ke Madam Pince sekarang juga dan
mengembalikan bukunya di..."
"Tak
pernah kusangka akan tiba harinya kau mem-bujuk kami untuk melanggar
peraturan," kata Ron. "Baiklah, akan kita lakukan. Tapi tidak pakai kuku
kaki, oke?"
"Berapa lama sih buatnya?" tanya Harry, ketika Hermione, yang tampak lebih gembira, membuka buku itu lagi.
"Yah,
karena mostarnya harus dicabut pada malam purnama, dan serangga
sayap-rendanya harus direbus selama dua puluh satu hari... kubilang
ramuan itu akan siap dalam waktu kira-kira sebulan, kalau kita berhasil
mendapatkan semua bahannya."
"Sebulan?"
kata Ron. "Malfoy bisa-bisa sudah me-nyerang separo anak yang
kelahiran-Muggle!" Tetapi mata Hermione menyipit berbahaya lagi, jadi
Ron buru-buru menambahkan,
"Tapi
ini rencana paling baik yang kita punya, jadi jalan terus." Meskipun
demikian, sementara Hermione me-meriksa apakah keadaan aman bagi mereka
untuk meninggalkan toilet, Ron bergumam kepada Harry, "Akan jauh lebih
mudah kalau kau bisa menjatuhkan Malfoy dari sapunya besok."
Hari
Sabtu, Harry terbangun pagi-pagi dan berbaring-baring dulu memikirkan
pertandingan Quidditch yang akan berlangsung. Dia cemas, terutama
memikirkan apa yang akan dikatakan Wood kalau Gryffindor kalah, tetapi
juga memikirkan mereka harus meng-hadapi tim yang menaiki sapu balap
paling cepat yang bisa dibeli dengan emas. Belum pernah dia begitu ingin
mengalahkan Slytherin sampai seperti itu. Setelah setengah jam
berbaring dengan perasaan tak keruan, dia bangkit, berganti pakaian, dan
turun untuk sarapan lebih awal dari biasanya. Ternyata ang-gota tim
Gryffindor lainnya sudah berkumpul di meja panjang yang kosong, semua
kelihatan tegang dan tidak banyak bicara.
Mendekati
pukul sebelas, seluruh sekolah mulai menuju ke stadion Quidditch. Cuaca
mendung, guruh siap menggelegar. Ron dan Hermione bergegas datang untuk
mengucapkan selamat bertanding dan semoga sukses ketika Harry memasuki
kamar ganti. Para ang-gota tim memakai jubah merah tua Gryffindor
mereka, kemudian duduk untuk mendengarkan pidato sebelum-pertandingan
Wood seperti biasanya.
"Slytherin
punya sapu yang lebih bagus dari kita," dia mulai, "tak ada gunanya
menyangkalnya. Tetapi kita punya pemain yang lebih baik di atas sapu
kita. Kita sudah berlatih lebih keras daripada mereka, kita sudah
terbang dalam segala cuaca..." ("Betul sekali," gumam George Weasley.
"Aku tidak pernah betul-betul kering sejak Agustus.") "...dan kita akan
mem-buat mereka menyesali hari ketika mereka mengizin-kan si licik
Malfoy itu menyuap untuk bisa masuk tim mereka."
Dengan dada naik-turun saking emosinya, Wood menoleh kepada Harry.
"Terserah
padamu, Harry, untuk menunjukkan bahwa Seeker perlu punya lebih dari
sekadar ayah yang kaya. Tangkap Snitch-nya sebelum keduluan Malfoy.
Kalau tidak, lebih baik mati, Harry, karena kita harus menang hari ini,
kita harus menang."
"Jadi, tak ada tekanan, Harry," kata Fred, mengedip kepadanya.
Ketika
mereka keluar menuju ke stadion, terdengar sambutan meriah, sorakan dan
teriakan untuk menyemangati mereka, karena Ravenclaw dan Hufflepuff
ingin melihat Slytherin kalah, tetapi anak-anak Slytherin juga
ber-"buu-buu" dan mendesis-desis keras. Madam Hooch, guru Quidditch
mereka, me-minta Flint dan Wood berjabat tangan. Keduanya berjabat
tangan dengan saling melempar pandangan mengancam, dan meremas lebih
keras daripada yang diperlukan.
"Mulai pada tiupan peluitku," kata Madam Hooch, "tiga... dua... satu..."
Dengan
teriakan dari penonton untuk menye-mangati mereka terbang, keempat
belas pemain me-luncur naik ke langit yang mendung. Harry terbang lebih
tinggi daripada yang lain, menyipitkan mata, mencari-cari Snitch.
"Baik-baik di sana, Dahi Pitak?" teriak Malfoy, me-luncur di bawah Harry seakan mau memamerkan kecepatan sapunya.
Harry
tak punya kesempatan menjawab. Pada saat itu Bludger hitam berat
meluncur ke arahnya. Dia menghindar, tetapi hampir saja kena. Dia masih
me-rasakan Bludger itu menyapu rambutnya.
"Nyaris
saja, Harry!" kata George, melesat me-lewatinya dengan pemukul di
tangan, siap memukul balik Bludger ke arah Slytherin. Harry melihat
George memukul Bludger itu sekuat tenaga ke arah Adrian Pucey, tetapi
Bludger itu berubah arah di tengah udara dan kembali mengincar Harry.
Harry cepat-cepat menukik turun menghindarinya, dan George berhasil
memukulnya keras-keras ke arah Malfoy. Sekali lagi Bludger itu berbalik
seperti bumerang dan meluncur ke kepala Harry.
Harry
mempercepat laju sapunya dan melesat ke ujung lain lapangan. Dia bisa
mendengar Bludger itu menderu di belakangnya. Apa yang terjadi? Bludger
tidak pernah berkonsentrasi pada satu pemain seperti ini. Tugas Bludger-
lah untuk mencoba menjatuhkan sebanyak mungkin pemain...
Fred
Weasley menunggu Bludger di ujung lain la-pangan. Harry menunduk ketika
Fred memukul Bludger sekuat tenaga. Bludger itu terbang ke luar
lapangan.
"Beres!"
teriak Fred senang, tetapi dia keliru. Bagai tertarik magnet, Bludger
itu kembali meluncur ke arah Harry, dan Harry terpaksa terbang dengan
ke-cepatan penuh.
Hujan
sudah mulai turun. Tetes-tetes besar air jatuh ke wajah Harry,
mengaburkan kacamatanya. Dia tak bisa melihat apa yang sedang
berlangsung sampai dia mendengar Lee Jordan, yang menjadi komentator,
berkata, "Slytherin memimpin, enam puluh lawan nol."
Sapu
superior Slytherin jelas menunjukkan ke-piawaiannya, dan sementara itu
si Bludger gila terus berusaha menjatuhkan Harry dari sapunya. Fred dan
George sekarang terbang begitu rapat di kanan-kirinya, sehingga Harry
tak bisa melihat apa- apa selain tangan mereka yang berseliweran dan ia
tak punya ke-sempatan mencari Snitch, apalagi menangkapnya.
"Ada...
yang... mengerjai... Bludger... ini...," gerutu Fred, mengayunkan
pemukulnya sekuat tenaga ketika si Bludger kembali menyerang Harry.
"Kita
perlu time out," kata George, berusaha memberi isyarat kepada Wood dan
mencegah si Bludger me-matahkan hidung Harry pada saat bersamaan.
Wood
jelas sudah menangkap pesannya. Peluit Madam Hooch berbunyi nyaring dan
Harry, Fred, dan George menukik turun, masih berusaha meng-hindari si
Bludger gila.
"Apa
yang terjadi?" tanya Wood, ketika tim Gryffindor sudah berkumpul,
sementara para pe-nonton Slytherin berteriak mengejek. "Kita digilas.
Fred, George, di mana kalian waktu Bludger itu men-cegah Angelina
mencetak gol?"
"Kami
enam meter di atasnya, mencegah Bludger satunya membunuh Harry,
Oliver," kata George ma-rah. "Ada yang menyihirnya—Bludger itu menyerang
Harry terus, tidak pernah mendekati pemain lain sepanjang pertandingan.
Anak-anak Slytherin pasti sudah melakukan sesuatu pada Bludger itu."
"Tetapi
Bludger-nya dikunci dalam kantor Madam Hooch sejak latihan terakhir
kita, dan waktu itu dua-duanya tidak apa-apa...," kata Wood cemas.
Madam
Hooch berjalan ke arah mereka. Lewat atas bahu Madam Hooch, Harry bisa
melihat tim Slytherin mengejek dan menunjuk-nunjuk ke arah-nya.
"Dengar,"
kata Harry, ketika Madam Hooch sudah semakin dekat, "dengan kalian
berdua terbang di sekitarku sepanjang waktu, satu-satunya kemungkinan
aku menangkap Snitch adalah kalau Snitch-nya terbang masuk ke lengan
jubahku," kata Harry. "Kem-balilah ke yang lain dan biar kutangani
sendiri Bludger gila itu."
"Jangan bodoh," kata Fred. "Bludger itu bisa me-nebas kepalamu." Wood bergantian memandang Harry dan si kembar Weasley.
"Oliver,
ini gila," kata Alicia Spinnet berang. "Kau tak bisa mengizinkan Harry
menangani Bludger itu sendirian. Ayo, kita minta penyelidikan..."
"Kalau
kita berhenti sekarang, kita akan dinyatakan kalah!" kata Harry. "Dan
kita tidak akan kalah dari Slytherin hanya karena satu Bludger gila!
Ayo, Oliver, suruh mereka meninggalkanku sendiri!"
"Ini semua salahmu," kata George marah kepada Wood.
"'Tangkap Snitch-nya, kalau tidak lebih baik mati.' Bodoh benar bilang begitu padanya."
Madam Hooch sudah bergabung dengan mereka.
"Siap melanjutkan pertandingan?" dia bertanya kepada Wood.
Wood memandang wajah Harry yang memancarkan tekad kuat.
"Baiklah," katanya. "Fred, George, kalian mendengar Harry... tinggalkan dia dan biarkan dia menangani sendiri Bludger itu."
Hujan
sudah semakin deras sekarang. Begitu peluit Madam Hooch ditiup, Harry
menjejak keras ke udara dan mendengar desing Bludger yang sudah
dikenal-nya di belakangnya. Harry terbang makin lama makin tinggi. Dia
terbang melingkar, meluncur, spiral, zig-zag, dan berguling. Meskipun
agak pusing, dia mem-buka mata lebar-lebar. Hujan mengaburkan
kacamata-nya dan mengalir masuk ke lubang hidungnya ketika dia
bergantung membalik, menghindari serangan keras si Bludger. Dia bisa
mendengar gelak tawa penonton, dia tahu pasti dia tampak tolol sekali,
tetapi si Bludger gila itu berat dan tak dapat berubah arah secepat dia.
Dia mulai terbang model roller-coaster mengelilingi stadion, matanya
menyipit menembus tirai perak air hujan, memandang tiang gol Gryffindor,
di mana Adrian Pucey sedang berusaha melewati Wood....
Desing
di telinganya membuat Harry tahu si Bludger baru saja gagal
menyerangnya lagi. Dia lang-sung memutar dan meluncur ke arah
berlawanan.
"Lagi
latihan balet nih, Potter?" teriak Malfoy, ketika Harry terpaksa
berputar-putar dengan konyol di te-ngah udara untuk menghindari si
Bludger. Harry terbang menjauh, si Bludger membuntuti satu meter di
belakangnya. Dan kemudian, ketika membalas me-mandang Malfoy penuh
kebencian, Harry melihatnya, Golden Snitch, melayang hanya beberapa
senti di atas telinga kiri Malfoy—dan Malfoy, yang sibuk me-nertawakan
Harry, tidak melihatnya.
Selama
beberapa saat yang menyiksa, Harry meng-gantung di udara, tak berani
meluncur ke arah Malfoy, takut kalau- kalau Malfoy mendongak dan melihat
Snitch itu.
DUGGG!
Dia
berdiam diri terlalu lama sedetik. Si Bludger berhasil mengenainya
akhirnya, menghantam sikunya, dan Harry merasa lengannya patah.
Samar-samar, pusing karena kesakitan luar biasa pada lengannya, dia
tergelincir miring pada sapunya yang basah kuyup, satu lututnya masih
mengait pada sapu itu, lengan kanannya tergantung lunglai tak berguna.
Si Bludger kembali meluncur ke arahnya untuk serangan kedua, kali ini
mengarah ke wajahnya. Harry menghindar, dengan satu ide tertanam di
otaknya yang membeku:
dekati Malfoy.
Dengan
pandangan kabur karena hujan dan rasa sakitnya, Harry menukik ke arah
wajah yang menye-ringai mengejek di bawahnya dan melihat mata di wajah
itu membelalak ketakutan: Malfoy mengira Harry menyerangnya.
"Apa yang...," pekiknya kaget, menyingkir meng-hindari Harry.
Dengan
tangan kanannya lunglai tak berdaya, Harry melepas satu-satunya
pegangannya pada sapu dan menyambar liar. Dia merasa jari-jarinya
menggenggam Snitch yang dingin, tetapi sekarang dia hanya menjepit sapu
dengan kakinya dan terdengar jeritan dari pe-nonton di bawah ketika dia
meluncur ke bawah, berusaha keras agar tidak pingsan. Dengan bunyi
berdebam keras dan cipratan lumpur, dia mendarat dan berguling dari
sapunya. Lengannya menggantung terpuntir dalam posisi sangat janggal.
Dalam kesakitannya, dia mendengar seakan dari ke-jauhan, suitan dan
teriakan-teriakan. Dia ber-konsentrasi pada Snitch yang tergenggam di
tangan-nya yang sehat.
"Aha," katanya tak jelas. "Kita menang." Lalu dia pingsan.
Saat
sadar kembali, hujan membasahi wajahnya. Dia masih terbaring di
lapangan dan ada orang yang membungkuk di atasnya. Harry melihat kilauan
gigi.
"Oh tidak, jangan Anda," rintihnya.
"Dia
tak sadar apa yang dikatakannya," kata Lockhart keras-keras kepada
anak-anak Gryffindor yang cemas berdesakan mengerumuninya. "Jangan
khawatir, Harry, akan kusembuhkan lenganmu."
"Jangan!" tolak Harry. "Biar begini saja, terima kasih..."
Dia berusaha duduk, tetapi sakitnya bukan main. Didengarnya bunyi klak-klik yang sudah sangat dikenalnya di dekatnya.
"Aku tak mau difoto begini, Colin," katanya keras.
"Berbaring
lagi, Harry," bujuk Lockhart. "Ini mantra sederhana yang sudah
kugunakan ratusan kali." "Kenapa saya tak boleh ke rumah sakit saja?"
kata Harry dengan gigi mengertak.
"Dia
seharusnya ke rumah sakit saja, Profesor," kata Wood yang penuh lumpur.
Dia tak tahan tidak nyengir walaupun Seeker-nya terluka. "Tangkapan
luar biasa, Harry, benar-benar spektakuler, tangkapanmu yang paling
hebat, menurutku."
Melalui
pagar kaki yang mengelilinginya, Harry melihat Fred dan George Weasley,
berkutat memasuk-kan si Bludger gila ke dalam kotak. Bludger itu masih
melawan gila-gilaan.
"Mundur," kata Lockhart, yang menggulung lengan jubah hijau-kumalanya.
"Tidak—jangan...,"
kata Harry lemah, tetapi Lockhart sudah memelintir tongkatnya dan
sedetik kemudian mengacungkannya ke lengan Harry.
Perasaan
aneh dan tidak menyenangkan menjalar dari bahu Harry terus ke ujung
jari-jarinya. Rasanya seakan lengannya sedang dikempiskan. Dia tidak
be-rani melihat apa yang sedang terjadi. Dipejamkannya matanya,
dipalingkannya wajahnya dari lengannya, tetapi ketakutannya yang
terbesar menjadi kenyataan ketika orang-orang di atasnya memekik
tertahan dan Colin menjepret gila-gilaan. Lengannya sudah tidak sakit
lagi—tetapi juga tidak terasa seperti lengan.
"Ah,"
kata Lockhart. "Ya. Yang seperti itu kadang-kadang terjadi. Tetapi yang
penting, tulangnya tidak lagi patah. Itu yang harus diingat. Jadi,
Harry, pergilah saja ke rumah sakit... ah, Mr Weasley, Miss Granger,
tolong kalian antar, ya?... dan Madam Pomfrey akan bisa me... eh...
merapikanmu sedikit." Ketika Harry bangkit, dia merasa aneh, seakan
berat sebelah. Dengan menarik napas dalam-dalam dia me-nunduk memandang
ke sebelah kanannya. Yang di-lihatnya nyaris membuatnya pingsan lagi.
Menjulur
dari ujung jubahnya ada sesuatu yang tampak seperti sarung tangan karet
tebal warna kulit. Harry mencoba menggerakkan jari-jarinya. Tak ada
yang terjadi.
Lockhart tidak monyembuhkan tulang Harry. Dia melenyapkannya.
Madam Pomfrey sama sekali tidak senang.
"Seharusnya
kau langsung datang padaku!" katanya berang, mengangkat bekas lengan
yang tampak lemas menyedihkan, yang setengah jam sebelumnya masih berupa
tangan yang sehat. "Aku bisa menyembuhkan tulang patah dalam waktu
sedetik—tapi menumbuh-kan kembali tulang- tulang..."
"Tapi Anda bisa, kan?" tanya Harry putus asa.
"Aku
bisa, tentu saja, tapi akan sakit sekali," kata Madam Pomfrey muram,
seraya melempar piama ke-pada Harry. "Kau harus menginap..."
Hermione
menunggu di balik tirai yang dipasang di sekeliling tempat tidur Harry,
sementara Ron mem-bantunya memakai piama. Perlu cukup lama untuk
memasukkan lengan tanpa tulang yang bagai karet itu ke dalam lengan
piama.
"Bagaimana
kau bisa membela Lockhart sekarang, Hermione, eh?" seru Ron dari balik
tirai sembari menarik jari- jari lemas Harry dari lubang lengan. "Kalau
Harry mau tulangnya dihilangkan, dia akan minta."
"Siapa
saja bisa membuat kesalahan," kata Hermione. "Lagi pula tidak sakit
lagi, kan, Harry?" "Tidak," jawab Harry, "tapi tidak bisa ngapa-ngapain
juga."
Saat
melempar dirinya ke atas tempat tidur, lengan-nya mengelepak lunglai.
Hermione dan Madam Pomfrey datang ke balik tirai. Madam Pomfrey mem-bawa
botol besar berlabel "Skele-Gro"—Penumbuh Tulang.
"Kau
akan kesakitan semalaman," katanya seraya menuang semangkuk penuh
cairan berasap dan meng-ulurkannya kepada Harry. "Menumbuhkan tulang
sa-ngat tidak menyenangkan."
Begitu
juga meminum Skele-Gro. Cairan itu mem-bakar mulut dan tenggorokan
Harry, membuatnya terbatuk-batuk dan tergagap-gagap. Dengan masih
mengomel tentang permainan yang berbahaya dan guru yang tidak layak,
Madam Pomfrey pergi, me-ninggalkan Ron dan Hermione membantu Harry
me-minum beberapa teguk air.
"Tapi kita menang," kata Ron, nyengir lebar.
"Tang-kapanmu luar biasa. Wajah Malfoy... kelihatannya dia siap membunuh!"
"Aku ingin tahu Bludger itu dia apakan," kata Hermione jengkel.
"Kita
bisa menambahkan itu ke daftar pertanyaan yang akan kita ajukan
kepadanya setelah kita minum Ramuan Polijus," kata Harry, merebahkan
diri kembali ke bantalnya.
"Mudah-mudahan rasanya lebih enak daripada obat ini..."
"Dengan cuilan anak Slytherin di dalamnya? Kau bergurau,"
kata Ron.
Pintu
kamar rumah sakit terbuka keras pada saat itu. Kotor dan basah kuyup,
seluruh anggota tim Gryffindor datang untuk menengok Harry.
"Terbangmu
bukan main, Harry," kata George. "Aku baru saja melihat Marcus Flint
berteriak-teriak me-marahi Malfoy. Ngomel tentang Snitch yang berada di
atas kepalanya dan dia tidak melihatnya. Malfoy kelihatannya tidak
senang."
Mereka
membawa kue, permen, dan berbotol-botol jus labu kuning. Mereka
berkerumun di sekeliling tempat tidur Harry dan baru akan mulai berpesta
ketika Madam Pomfrey buru- buru mendatangi, sambil berteriak, "Anak ini
perlu istirahat, dia harus me-numbuhkan tiga puluh tiga tulang! Keluar!
KELUAR!"
Dan
Harry ditinggalkan sendirian, tanpa ada yang bisa mengalihkan
perhatiannya dari kesakitan yang menusuk-nusuk lengannya yang lemas.
Berjam-jam
kemudian, Harry mendadak terbangun dalam gelap gulita dan memekik
kesakitan. Lengannya serasa dipenuhi serpihan-serpihan tulang besar.
Sesaat dia mengira itulah yang membuatnya terbangun. Kemudian, dengan
ngeri dia menyadari ada yang menyeka dahinya dengan spons dalam gelap.
"Pergi!" katanya keras. Dan kemudian, "Dobby!"
Mata
si peri-rumah yang menonjol sebesar bola tenis memandang Harry dalam
kegelapan. Sebutir air mata bergulir di hidungnya yang panjang dan
runcing.
"Harry Potter kembali ke sekolah," dia berbisik me-rana.
"Dobby
sudah bolak-balik memperingatkan Harry Potter. Ah, Sir, kenapa Anda
tidak mendengar-kan Dobby? Kenapa Harry Potter tidak pulang saja waktu
ketinggalan kereta api?"
Harry
duduk bersandar di bantalnya dan me-nyingkirkan spons Dobby. "Ngapain
kau di sini?" tanyanya. "Dan bagaimana kau tahu aku ketinggalan kereta?"
Bibir Dobby bergetar dan Harry mendadak curiga.
"Kau!" katanya lambat-lambat. "Kau yang membuat palang rintangan menolak mengizinkan kami masuk!"
"Memang
betul, Sir," kata Dobby, mengangguk kuat-kuat, telinganya mengelepak.
"Dobby bersembunyi me-nunggu Harry Potter dan menyegel palang rintangan
dan Dobby harus menyeterika tangannya sesudah-nya..." ditunjukkannya
kepada Harry sepuluh jari panjang yang diperban, "...tetapi Dobby tidak
peduli, Sir, karena dia mengira Harry Potter aman, dan Dobby tak pernah
mimpi bahwa Harry Potter akan ke sekolah dengan cara lain!"
Dia mengayun tubuhnya ke depan dan ke belakang, menggeleng-gelengkan kepalanya yang jelek.
"Dobby
kaget sekali ketika mendengar Harry Potter sudah kembali ke Hogwarts,
sampai membuat makan malam tuannya hangus! Belum pernah Dobby di-cambuki
sehebat itu, Sir..."
Harry terenyak kembali ke bantalnya.
"Kau
hampir saja membuat aku dan Ron dikeluar-kan," katanya galak. "Lebih
baik kau pergi sebelum tulang-tulangku tumbuh, Dobby, kalau tidak
mungkin kau akan kucekik."
Dobby tersenyum lemah.
"Dobby sudah terbiasa dengan ancaman maut, Sir. Dobby menerimanya lima kali sehari di rumah."
Dobby
membuang ingus di salah satu sudut sarung bantal kumal dan kotor yang
dipakainya, kelihatan memelas sekali sehingga Harry merasa kemarahannya
mereda dengan sendirinya.
"Kenapa kau memakai itu, Dobby?" tanyanya ingin tahu.
"Ini, Sir?" kata Dobby, menarik-narik sarung bantal-nya.
"Ini
tanda perbudakan peri-rumah, Sir. Dobby hanya bisa dibebaskan kalau
tuan Dobby meng-hadiahinya pakaian, Sir. Keluarga majikan Dobby sa-ngat
berhati-hati, jangan sampai menyerahkan kepada Dobby bahkan kaus kaki
bekas, Sir, karena kalau begitu Dobby akan bebas meninggalkan rumah
mereka selamanya."
Dobby
menyeka matanya yang menonjol dan men-dadak berkata, "Harry Potter
harus pulang! Dobby mengira Bludger- nya akan cukup membuat..."
"Bludger-mu?" kata Harry, kemarahannya timbul lagi. "Apa maksudmu, Bludger-mu? Kau membuat Bludger itu mencoba membunuhku?"
"Tidak
membunuh, Sir, tak akan pernah membunuh Anda!" kata Dobby terperanjat.
"Dobby ingin menye-lamatkan hidup Harry Potter! Lebih baik dipulangkan,
dengan luka parah, daripada tinggal di sini, Sir! Dobby cuma ingin Harry
Potter luka cukup parah supaya dikirim pulang!"
"Oh,
cuma itu?" kata Harry berang. "Kurasa kau tidak akan bilang padaku
kenapa kau menginginkan aku dikirim pulang dalam keadaan tidak utuh?"
"Ah,
kalau saja Harry Potter tahu!" Dobby meratap, lebih banyak lagi air
mata bercucuran ke sarung bantal rombengnya. "Kalau saja dia tahu betapa
berartinya dia untuk kami, kaum rendahan, para budak, kami sampah
masyarakat sihir! Dobby ingat bagaimana ke-adaannya ketika Dia yang
Namanya Tak Boleh Disebut berada di puncak kekuasaannya, Sir! Kami
peri-peri-rumah diperlakukan seperti kutu busuk! Tentu saja Dobby masih
diperlakukan seperti itu, Sir," dia mengakui, menyeka wajahnya dengan
sarung bantal-nya.
"Tetapi,
Sir, kehidupan telah menjadi jauh lebih baik bagi kaum kami sejak Anda
menang melawan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut. Harry Potter selamat,
dan kekuatan si Pangeran Kegelapan dipatah-kan, dan saat itu seperti
hari baru, Sir. Harry Potter bersinar seperti cahaya mercusuar harapan
bagi kami, yang mengira hari-hari gelap tak akan pernah berakhir, Sir...
Dan sekarang, di Hogwarts, peristiwa- peristiwa mengerikan akan
terjadi, bahkan mungkin sedang terjadi, dan Dobby tak bisa membiarkan
Harry Potter tinggal di sini sekarang ketika sejarah akan berulang,
sekarang ketika Kamar Rahasia sekali lagi akan di-buka..."
Dobby
terperangah, kaget dan ngeri. Dia me-nyambar teko air Harry dari meja
di sebelah tempat tidurnya, lalu memukulkannya ke kepalanya sendiri,
terguling lenyap dari pandangan. Sesaat kemudian dia merayap naik ke
tempat tidur lagi, dengan mata juling, mengomel, "Dobby nakal, Dobby
nakal sekali...."
"Jadi Kamar Rahasia itu memang ada!" bisik Harry.
"Dan—kau bilang kamar itu sudah pernah dibuka sebelumnya? Ceritakan padaku, Dobby!"
Harry
menyambar pergelangan tangan kurus si peri ketika hendak meraih kembali
teko air. "Tetapi aku bukan kelahiran- Muggle—bagaimana mungkin kamar
itu berbahaya bagiku?"
"Ah,
Sir, jangan tanya-tanya lagi, jangan tanya-tanya Dobby lagi," kata si
peri tergagap, matanya besar sekali dalam gelap. "Perbuatan-perbuatan
jahat sudah direncanakan di tempat ini, tetapi Harry Potter tidak boleh
berada di sini kalau itu terjadi. Pulanglah, Harry Potter. Pulanglah.
Harry Potter tak boleh ikut campur dalam hal ini, Sir. Terlalu
berbahaya..."
"Siapa,
Dobby?" Harry bertanya, seraya memegang pergelangan tangan Dobby
erat-erat untuk men-cegahnya memukul diri sendiri dengan teko air lagi.
"Siapa yang membukanya? Siapa yang dulu membuka-nya?"
"Dobby tak bisa, Sir, Dobby tak bisa, Dobby tak boleh bilang!" seru si peri. "Pulanglah, Harry Potter, pulanglah!"
"Aku
tidak akan ke mana-mana!" kata Harry tegas. "Salah satu sahabatku
kelahiran-Muggle, dia akan menjadi salah satu korban pertama kalau Kamar
Rahasia benar-benar dibuka..."
"Harry
Potter mempertaruhkan hidupnya untuk teman- temannya!" kata Dobby sedih
bercampur ba-hagia. "Sungguh mulia! Sungguh gagah berani! Tetapi dia
harus menyelamatkan dirinya sendiri, harus, Harry Potter tidak boleh..."
Dobby mendadak diam terpaku, telinganya bergetar.
Harry mendengarnya juga. Ada langkah-langkah kaki mendekat di lorong di depan kamar."
"Dobby
harus pergi!" bisik si peri, ketakutan. Ter-dengar derak keras, dan
jari-jari Harry mendadak menggenggam udara kosong. Dia terenyak kembali
ke tempat tidurnya, matanya tertuju ke pintu yang gelap, sementara bunyi
langkah-langkah kaki semakin mendekat.
Saat
berikutnya Dumbledore berjalan mundur masuk ke kamar, memakai jas kamar
wol panjang dan topi tidur. Dia menggotong ujung sesuatu yang tampak
seperti patung. Profesor McGonagall muncul sedetik kemudian, menggotong
kakinya. Bersama-sama mereka mengangkat patung itu ke atas tempat tidur.
"Panggil
Madam Pomfrey," bisik Dumbledore, dan Profesor McGonagall bergegas
melewati kaki tempat tidur Harry, menghilang dari pandangan. Harry
ber-baring tak bergerak, pura-pura tidur. Dia mendengar suara-suara
tegang, dan kemudian Profesor McGonagall muncul lagi, diikuti Madam
Pomfrey, yang datang sambil memakai kardigan di atas gaun tidur-nya.
Harry mendengar tarikan napas tajam.
"Apa yang terjadi?" Madam Pomfrey berbisik kepada Dumbledore, membungkuk di atas patung di tempat tidur.
"Serangan lagi," kata Dumbledore. "Minerva me-nemukannya di tangga."
"Ada
setangkai buah anggur di sebelahnya," kata Profesor McGonagall. "Kami
menduga dia sedang ber-usaha menyelinap ke sini untuk menengok Potter."
Hati
Harry mencelos. Pelan-pelan dan hati-hati, di-angkatnya kepalanya
beberapa senti supaya dia bisa melihat patung di tempat tidur itu.
Seberkas cahaya bulan menyinari seraut wajah yang pandangannya kosong.
Colin
Creevey Matanya terbelalak lebar dan tangan-nya terjulur kaku ke depan,
memegangi kameranya. "Membatu?" bisik Madam Pomfrey. "Ya," kata
Profesor McGonagall. "Aku bergidik memikirkan... Kalau Albus tidak
sedang turun untuk minum cokelat panas, entah apa yang akan terjadi..."
Ketiganya menunduk menatap Colin. Kemudian Dumbledore membungkuk untuk melepas kamera dari pegangan erat Colin.
"Menurutmu
dia berhasil memotret penyerangnya?" kata Profesor McGonagall
bersemangat. Dumbledore tidak menjawab. Dia membuka bagian belakang
kamera. "Astaga!" celetuk Madam Pomfrey. Semburan asap mendesis dari
kamera. Harry, tiga tempat tidur dari Colin, mencium bau tajam plastik
terbakar. "Meleleh," kata Madam Pomfrey bingung, "semua meleleh..." "Apa
artinya ini, Albus?" Profesor McGonagall ber-tanya mendesak. "Artinya,"
kata Dumbledore,
"Kamar Rahasia benar-benar telah dibuka lagi."
Madam Pomfrey menekap mulutnya. Profesor McGonagall terbelalak menatap Dumbledore. . "Tetapi, Albus... siapa?"
"Pertanyaannya bukan siapa," kata Dumbledore, matanya menatap Colin. "Pertanyaannya adalah bagai-mana..."
Dan melihat wajah Profesor McGonagall yang samar-samar, Harry tahu dia sama tidak mengertinya seperti Harry sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar