Sabtu, 23 Januari 2016

Harry Potter And The Pilosopher Stone Seri 2

 Harry Potter Dan Batu Bertuah 2


Pukul setengah empat sore itu, Harry Ron, dan anakanak Gryffindor lainnya bergegas menuruni undakan depan menuju halaman untuk ikut pelajaran terbang pertama mereka. Hari itu cerah, dengan angin sepoisepoi dan rerumputan bergoyang di kaki mereka sementara mereka berjalan melintasi halaman landai menuju lapangan yang berhadapan dengan Hutan Terlarang, yang pohon-pohonny melambai menyeramkan di kejauhan.

Anak-anak Slytherin sudah di sana, begitu juga dua puluh sapu berderet rapi di tanah. Harry sudah pernah mendengar Fred dan George Weasley mengeluhkan sapu-sapu sekolah.
Kata mereka beberapa sapu mulai bergetar jika kau terbang terlalu tinggi, atau ada juga sapu yang selalu agak mengarah ke kiri.
Guru mereka, Madam Hooch, datang. Rambutnya pendek kelabu, dengan mata kuning seperti mata elang.
"Nah, apa lagi yang kalian tunggu?" gertaknya. "Semua berdiri di sebelah sapu. Ayo, cepat."
Harry melirik sapunya. Sapunya sudah tua dan beberapa helai tali pengikat rantingnya mencuat ke arah yang aneh.
"Julurkan tangan kananmu di atas sapu," seru Madam Hooch di depan, "dan katakan, 'Naik!'"


"NAIK!" semua berteriak.
Sapu Harry langsung melompat ke tangannya, tapi sapu itu cuma salah satu dari sedikit yang begitu. Sapu Hermione cuma berguling di tanah, dan sapu Neville malah tidak bergerak sama sekali. Mungkin sapu, seperti halnya kuda, bisa tahu kalau kau takut, pikir Harry. Ada getar di suara Neville yang jelasjelas menunjukkan dia ingin mempertahankan kakinya di tanah.
Madam Hooch kemudian menunjukkan kepada mereka bagaimana menaiki sapu tanpa melorot dari ujungnya, dan dia berjalan mondar-mandir membetulkan pegangan mereka. Harry dan Ron senang ketika Madam Hooch berkata kepada Malfoy bahwa selama bertahun-tahun dia salah memegang sapunya.
"Kalau aku meniup peluitku, kalian menjejak ke tanah, keraskeras," kata Madam Hooch. "Pegang eraterat sapu kalian, naik kira-kira semeter, kemudian langsung turun lagi dengan cara agak membungkuk ke depan. Perhatikan peluit—tiga—dua..."
Tetapi Neville yang gugup dan cemas, dan takut ketinggalan, menjejak keras-keras sebelum peluit menyentuh bibir Madam Hooch.
"Kembali!" teriak Madam Hooch, tetapi Neville meluncur ke atas seperti gabus yang terlempar dari botol... tiga meter... enam meter. Harry melihat wajah Neville yang pucat ketakutan memandang ke tanah yang semakin menjauh, melihatnya terperangah kaget, tergelincir dari sapunya dan...
BLUG... Krak... Neville jatuh tengkurap di atas rerumputan.
Sapunya masih terus naik makin lama makin tinggi dan mulai melayang menuju Hutan Terlarang, sampai akhirnya lenyap dari pandangan.
Madam Hooch membungkuk di atas Neville, wajahnya sama pucatnya dengan wajah Neville.
"Pergelangan tangannya patah," Harry mendengar Madam Hooch bergumam. "Ayo, Nak—tidak apaapa, bangunlah."
Dia berbalik menghadap murid-murid lainnya.
"Tak seorang pun dari kalian boleh bergerak sementara aku membawa anak ini ke rumah sakit. Biarkan sapu-sapu itu di tanah, kalau tidak, kalian akan dikeluarkan dari Hogwarts sebelum kalian sempat mengucapkan 'Quidditch'. Ayo, Nak."
Neville, wajahnya dibanjiri air mata, memegangi pergelangan tangannya, berjalan terpincang-pincang dalam pelukan Madam Hooch.
Begitu mereka mulai menjauh, Malfoy terbahak.
"Kalian lihat wajahnya yang bloon?"
Anak-anak Slytherin lainnya ikut tertawa.
"Diam kau, Malfoy," tukas Parvati Patil.
"Ooh, membela Longbottom?" komentar Pansy Parkinson, anak perempuan bertampang galak dari Slytherin. "Tak kusangka ternyata kau suka model gemuk cengeng macam begitu, Parvati."
"Lihat!" kata Malfoy. la melompat ke depan dan menyambar sesuatu dari rerumputan. "Bola jelek kiriman nenek si Longbottom."
Remembrall di tangan Malfoy berkilau ditimpa cahaya matahari. "Bawa ke sini, Malfoy," kata Harry tenang. Semua berhenti bicara untuk menonton.
Malfoy menyeringai menyebalkan.
"Bawa ke sini!" Harry berteriak, tetapi Malfoy sudah melompat ke atas sapunya dan meluncur naik. Dia tidak bohong, dia bisa terbang dengan baik—sambil melayang setinggi dahan-dahan paling atas pohon ek, dia berseru, "Ambil sendiri nih, Potter!"
Harry menjambret sapunya.
"Jangan!" jerit Hermione Granger. "Madam Hooch melarang kita bergerak—kalian akan menyulitkan kita semua."
Harry mengabaikannya. Telinganya berdengung. Dia menaiki sapunya dan menjejak tanah keras-keras, dan dia meluncur naik. Angin menerpa rambutnya dan jubahnya melambai di belakangnya—dan Harry bukan main girangnya ketika menyadari dia menemukan sesuatu yang bisa dilakukannya tanpa perlu diajari— ini mudah, ini luar biasa menyenangkan. Diangkatnya sedikit sapunya untuk membuatnya naik lebih tinggi dan didengarnya pekik kaget anak-anak perempuan di bawah dan teriak kekaguman Ron.
Dibelokkannya sapunya dengan tajam untuk menghadapi Malfoy di angkasa. Malfoy kelihatan kaget. "Berikan padaku bolanya," kata Harry, "kalau tidak, kudorong jatuh kau dari sapumu!"
"Oh, yeah?" kata Malfoy, berusaha menyeringai, tetapi wajahnya tampak cemas.
Harry tahu apa yang harus dilakukannya. Dia membungkuk sedikit dan memegang erat-erat sapunya dengan kedua tangannya dan sapu itu melesat menuju Malfoy. Nyaris saja Malfoy tertabrak, tetapi dia berhasil menghindar pada saat terakhir. Harry membelok tajam dan memegangi sapunya supaya lebih mantap.
"Di sini tak ada Crabbe dan Goyle yang bisa menyelamatkan lehermu, Malfoy," kata Harry. Pikiran yang sama rupanya terlintas di benak Malfoy.
"Tangkap saja sendiri kalau bisa!" teriaknya, dan dilemparkannya bola kaca itu tinggi-tinggi ke angkasa, lalu Malfoy meluncur turun.
Harry melihat, seakan dalam gerakan lambat, bola itu terlontar ke atas, lalu mulai turun. Dia membungkuk dan mengarahkan gagang sapunya ke bawah. Detik berikutnya dia meluncur turun cepat sekali, angin menderu di telinganya, bercampur dengan jeritan dan teriakan anak-anak yang menonton. Harry menjulurkan tangan, kira-kira tiga puluh senti dari tanah dia berhasil menyambar bola itu, tepat pada waktunya untuk meluruskan sapunya dan jatuh pelan di rerumputan dengan Remembrall selamat dalam genggamannya.
"HARRY POTTER!"
Jantung Harry mencelos, melorot lebih cepat dari gerak menukiknya tadi. Profesor McGonagall berlarilari ke arah mereka. Harry berdiri, gemetar.
"Belum pernah — selama aku di Hogwarts..."
Profesor McGonagall nyaris tak bisa bicara saking shock-nya, kacamatanya berkilat-kilat. "Berani-beraninya kau—bisa patah lehermu..."
"Bukan dia yang salah, Profesor..."
"Diam, Miss Patil..."
"Tapi Malfoy..."
"Cukup, Mr Weasley. Potter, ikut aku sekarang."
Harry sempat melihat wajah Malfoy, Crabbe, dan Goyle yang penuh kemenangan saat dia berjalan dengan perasaan beku, mengikuti Profesor McGonagall menuju ke kastil. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk membela diri, tetapi ada yang tidak beres dengan suaranya. Profesor McGonagall berjalan cepat, bahkan tanpa memandangnya. Harry harus berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan. Tamatlah riwayatnya sekarang. Padahal belum dua minggu dia di sini. Sepuluh menit lagi dia akan mengepak barang-barangnya. Apa kata keluarga Dursley jika dia nanti muncul di depan pintu rumah mereka?
Menaiki undakan depan, menaiki tangga pualam di dalam, dan masih saja Profesor McGonagall belum berkata apa-apa kepadanya. Dia membuka pintu-pintu dan berjalan menyusuri koridor-koridor, sementara Harry mengikutinya dengan perasaan merana.
Mungkin Profesor McGonagall membawanya ke Dumbledore. Harry teringat Hagrid, yang sudah dikeluarkan tetapi masih diizinkan tinggal sebagai pengawas binatang liar. Mungkin dia bisa jadi asisten Hagrid.
Perutnya melilit ketika dia membayangkan mengawasi Ron dan teman-temannya yang lain menjadi penyihir, sementara dia sendiri cuma berkeliling halaman kastil, membawakan tas Hagrid.
Profesor McGonagall berhenti di depan sebuah kelas. Dia membuka pintu dan menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Maaf, Profesor Flitwick, boleh aku pinjam Wood sebentar?"
Wood—kayu? pikir Harry bingung. Apakah Wood nama tongkat yang akan digunakan untuk menghajarnya?
Tetapi ternyata Wood adalah anak kelas lima yang besar dan tegap. Dia keluar dari kelas dengan kebingungan.
"Ikut aku, kalian berdua," kata Profesor McGonagall, dan mereka berjalan menyusuri koridor, Wood memandang Harry dengan ingin tahu.
"Masuk sini."
Profesor McGonagall menunjuk ke dalam kelas yang kosong, di dalamnya hanya ada Peeves yang sedang sibuk menulis katakata tidak sopan di papan tulis.
"Keluar, Peeves!" bentak Profesor McGonagall. Peeves melemparkan kapurnya ke dalam kaleng, yang berkelontangan keras, dan dia melesat keluar sambil menyumpah-nyumpah.
Profesor McGonagall membanting pintu menutup dan berbalik menghadapi kedua anak itu.
"Potter, ini Ol iver Wood. Wood—aku sudah mendapatkan Seeker untukmu." Seeker berarti pencari.
Ekspresi Wood berubah dari kebingungan menjadi kegirangan.
"Anda serius, Profesor?"
"Seratus persen," kata Profesor McGonagall tegas. "Anak ini berbakat alam. Belum pernah aku melihat yang seperti ini.
Apakah tadi itu untuk pertama kalinya kau naik sapu, Potter?"
Harry mengangguk dalam diam. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi kelihatannya dia tidak dikeluarkan, dan sedikit demi sedikit perasaan kembali menghangati kakinya.
"Dia menangkap benda di tangannya itu setelah menukik lima belas meter," Profesor McGonagall memberitahu Wood.
"Sama sekali tidak luka, tergores pun tidak. Charlie Weasley saja tak akan bisa melakukannya."
Wajah Wood berubah, seperti orang yang dalam sekejap mendapatkan semua impiannya telah menjadi kenyataan.
"Pernah menonton Quidditch, Potter?" Wood bertanya penuh semangat. "Wood adalah kapten tim Gryffindor," Profesor McGonagall menjelaskan.
"Potongan tubuhnya juga cocok untuk Seeker," kata Wood, yang sekarang berjalan mengelilingi Harry dan memandanginya.
"Ringan—cepat—kita harus memberinya sapu yang pantas, Profesor—Nimbus Dua Ribu atau Sapu-bersih Tujuh, saya rasa."
"Aku akan bicara dengan Dumbledore, siapa tahu kita bisa melunakkan aturan tentang anak kelas satu itu. Kita perlu sekali tim yang lebih bagus daripada tahun lalu. Kalah total dari Slytherin dalam pertandingan terakhir, aku tak berani memandang Severus Snape selama berminggu-minggu...."
Profesor McGonagall memandang tajam Harry dari atas kacamatanya.
"Aku ingin dengar kau berlatih keras, Potter, kalau tidak, mungkin aku akan berubah pikiran. Mungkin kau harus dihukum."
Mendadak dia tersenyum. "Ayahmu akan bangga sekali,"
katanya. "Dia sendiri pemain Quidditch yang hebat."

***

"Kau bergurau."
Saat itu mereka sedang makan malam. Harry baru saja selesai bercerita pada Ron apa yang terjadi waktu dia meninggalkan lapangan bersama Profesor McGonagall. Ron sudah hendak menyuap pai daging, sudah setengah jalan, tapi pai itu terlupakan begitu saja.
"Seeker?" katanya. "Tetapi anak kelas satu tidak pernah—kau pastilah pemain termuda selama..."
"... seabad ini," kata Harry lalu menyuapkan pai ke dalam mulutnya. Dia merasa lapar sekali setelah kejadian seru sore ini.
"Wood bilang padaku."
Ron begitu terpana, dia hanya ternganga menatap Harry.
"Aku mulai latihan minggu depan," kata Harry.
"Tapi jangan bilang siapa-siapa.
Wood ingin merahasiakannya." Fred dan George Weasley muncul di aula.
Mereka melihat Harry dan bergegas mendekat.
"Bagus," kata George dengan. suara pelan. "Wood bercerita kepada kami. Kami anggota tim juga— Beater." Rupanya mereka berdua pemukul bola.
"Kuberitahu kau, kita pasti akan memenangkan Piala Quidditch tahun ini," kata Fred. "Kami belum pernah menang sejak Charlie pergi, tetapi tim tahun ini akan brilian. Kau pastilah hebat, Harry, Wood nyaris melonjak-lonjak ketika dia memberitahu kami."
"Tapi kami harus pergi. Lee Jordan mengira dia telah menemukan lorong rahasia menuju ke luar sekolah."
"Taruhan pasti yang ditemukannya lorong di belakang patung Gregory si Penjilat, yang telah kami temukan pada minggu pertama kami di sini. Sampai ketemu."
Baru saja Fred dan George menghilang, muncullah anak lain yang sangat tidak diinginkan. Malfoy, diapit oleh Crabbe dan Goyle.
"Makan malam terakhir nih, Potter? Kapan kau naik kereta kembali ke dunia Muggle?"
"Kau jauh lebih berani sekarang setelah kembali ke tanah dan berada bersama teman-teman kecilmu," kata Harry tenang.
Tentu saja Crabbe dan Goyle sama sekali tidak kecil, tetapi karena Meja Tinggi penuh para guru, tak seorang pun dari mereka berdua bisa berbuat lain kecuali mengertakkan bukubuku jari mereka dan merengut.
"Aku siap menghadapimu sendirian kapan saja," kata Malfoy. "Bahkan malam ini juga, kalau kau mau. Duel penyihir.
Hanya tongkat—tanpa kontak. Kenapa? Belum pernah dengar tentang duel penyihir, rupanya?"
"Tentu saja sudah," kata Ron, berpaling menghadap mereka.
"Aku orang keduanya. Siapa orang keduamu?"
Malfoy memandang Crabbe dan Goyle, menilai mereka.
"Crabbe," katanya. "Tengah malam nanti, oke? Kita bertemu di ruang piala, ruang itu tak pernah dikunci."
Setelah Malfoy pergi, Ron dan Harry berpandangan.
"Apa sih duel penyihir itu?" tanya Harry. "Dan apa maksudmu kau menjadi orang keduaku?"
"Yah, orang kedua adalah orang yang akan mengambil alih kalau kau mati," kata Ron sambil lalu, seraya menyuap painya yang sudah dingin. Melihat ekspresi wajah Harry, dia cepat-cepat menambahkan, "Tapi orang hanya mati dalam duel yang sesungguhnya, antara dua penyihir betulan. Paling maksimal yang bisa dilakukan kau dan Malfoy hanyalah saling kirim percikan bunga api. Kalian berdua belum menguasai cukup sihir untuk membuat bencana besar. Lagi pula, berani taruhan, sebetulnya dia mengharap kau menolak."
"Lalu bagaimana kalau aku melambaikan tongkatku dan tak ada yang terjadi?"
"Lempar saja tongkatmu dan pukul hidungnya," saran Ron.
"Maaf."
Mereka berdua mendongak. Rupanya Hermione Granger.
"Apa kita tidak bisa makan dengan tenang di sini?" komentar Ron. Hermione tidak mengacuhkannya dan berbicara kepada Harry "Aku tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Malfoy..."
"Tidak heran," gumam Ron.
"... dan kau tidak boleh berkeliaran di sekolah pada malam hari. Pikirkan angka yang akan dikurangi dari Gryffindor kalau kau sampai tertangkap, dan kau pasti tertangkap. Kau benarbenar egois."
"Dan itu bukan urusanmu," kata Harry.
"Selamat tinggal," kata Ron.

***

Ini tak bisa disebut akhir hari yang sempurna, pikir Harry sementara dia berbaring, lama kemudian, menunggu Dean dan Seamus tertidur. (Neville belum kembali dari rumah sakit.) Ron telah melewatkan sepanjang malam itu untuk memberinya nasihat, seperti, "Jika dia mencoba mengutukmu, sebaiknya kau menghindar saja, karena aku tak ingat bagaimana cara menangkal kutukan." Kemungkinan besar mereka akan tertangkap oleh Filch atau Mrs Norris, dan Harry merasa dia mengharap keberuntungan yang berlebihan dengan melanggar peraturan sekolah lainnya hari ini.
Tetapi di lain pihak, wajah Malfoy yang penuh ejekan terusmenerus muncul dari kegelapan—ini kesempatan besar baginya unruk berhadapan langsung dengan Malfoy. Mana mungkin dilewatkan.
"Setengah dua belas," akhirnya Ron bergumam. "Lebih baik kita berangkat sekarang."
Mereka memakai baju luar, mengambil tongkat, dan mengendap-endap menyeberangi ruang menara, menuruni tangga spiral, menuju ke ruang rekreasi Gryffindor. Masih ada berkas-berkas bara di perapian, membuat semua kursi berlengan tampak seperti bayangan bungkuk hitam. Mereka sudah hampir mencapai lubang lukisan ketika terdengar suara dari kursi yang berada paling dekat, "Aku tak percaya kau akan berbuat begitu, Harry."
Sebuah lampu menyala. Rupanya Hermione Granger, memakai gaun tidur merah jambu, dengan kening berkerut.
"Kau!" kata Ron gusar. "Tidur lagi sana!"
"Hampir saja kuberitahu kakakmu," Hermione balas membentak. "Percy—dia Prefek, dia akan menghentikan ini."
Harry heran sekali ada orang yang begitu mau, ikut campur urusan orang lain. "Ayo," ajaknya kepada Ron. Dia mendorong lukisan Nyonya Gemuk dan turun melalui lubang.
Hermione tak mau menyerah begitu mudah. Dia mengikuti Ron melewati lubang lukisan, mendesis kepada mereka seperti angsa marah.
"Tidakkah kalian peduli pada Gryffindor? Apakah kalian cuma peduli pada diri sendiri? Aku tak ingin Slytherin memenangkan Piala Asrama dan kalian akan membuat semua angka yang kudapat dari Profesor McGonagall—karena tahu tentang Mantra Pertukaran—hilang percuma."
"Pergi."
"Baiklah, tetapi sudah kuperingatkan kalian, ingat saja apa yang kukatakan kalau kalian ada di kereta api yang akan membawa kalian pulang besok, kalian ini sungguh..."
Tetapi mereka tak sempat tahu apa yang akan dikeluhkan Hermione. Hermione sudah berbalik menghadap ke lukisan Nyonya Gemuk untuk kembali ke dalam, tetapi ternyata dia menghadapi kanvas kosong. Si Nyonya Gemuk sedang mengadakan kunjungan tengah malam dan Hermione terkunci, tak bisa masuk Menara Gryffindor.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanyanya nyaring.
"Itu urusanmu," kata Ron. "Kami harus pergi, kami sudah hampir terlambat." Mereka belum mencapai ujung koridor ketika Hermione mengejar mereka.
"Aku ikut kalian," katanya.
"Tidak boleh."
"Kaupikir aku akan berdiri di sini dan menunggu Filch menangkapku? Jika dia menemukan kita bertiga, akan kukatakan hal yang sebenarnya kepadanya, bahwa aku sedang berusaha mencegah kalian, dan kalian bisa mendukungku."
"Nekat amat...," kata Ron keras. "Tutup mulut, kalian berdua!" kata Harry tegas. "Aku mendengar sesuatu."
Semacam isakan. "Mrs Noris?" bisik Ron, menyipitkan mata menembus kegelapan.
Ternyata bukan Mrs Noris, melainkan Neville. Dia melingkar di lantai, tertidur nyenyak, tetapi langsung terbangun kaget ketika mereka mendekat.
"Untung kalian menemukan aku! Sudah berjamjam aku di luar sini. Aku tak ingat kata kunci baru untuk masuk kamar."
"Pelan-pelan ngomongnya, Neville. Kata kuncinya 'moncong babi', tapi itu tak bisa membantumu sekarang, si Nyonya Gemuk entah sedang ke mana."
"Bagaimana tanganmu?" tanya Harry.
"Sudah sembuh,"
kata Neville, menunjukkan kedua tangannya. "Madam Pomfrey membetulkannya dalam waktu semenit."
"Bagus—nah, begini, Neville, kami harus pergi, sampai ketemu nanti..."
"Jangan tinggalkan aku!" kata Neville, buru-buru berdiri.
"Aku tak mau di sini sendirian, si Baron Berdarah sudah lewat dua kali."
Ron melihat arlojinya dan memandang marah pada Hermione dan Neville.
"Kalau salah satu dari kami tertangkap, aku akan kerja keras untuk menguasai Kutukan Bogies yang diceritakan Quirrell kepada kita dan menggunakannya kepada kalian."
Hermione membuka mulutnya, mungkin untuk memberitahu Ron bagaimana persisnya menggunakan Kutukan Bogies, tetapi Harry mendesis, menyuruhnya diam dan memberi isyarat agar mereka semua maju mengikutinya.
Mereka menyelinap sepanjang koridor-koridor yang disinari leret-leret sinar bulan yang masuk lewat jendela-jendela tinggi.
Di setiap belokan, Harry mengira akan bertemu Filch atau Mrs Norris, tetapi mereka beruntung. Mereka bergegas menaiki tangga ke lantai tiga dan berjingkat-jingkat ke ruang piala.
Malfoy dan Crabbe belum ada di sana. Kotakkotak trofi dari kristal berkilau terkena cahaya bulan. Piala, tameng, plakat, dan patung-patung emas dan perak mengilap dalam kegelapan.
Mereka berjingkat sepanjang dinding, mata mereka menatap pintu di kedua ujung ruangan. Harry mengeluarkan tongkatnya, siapa tahu Malfoy melompat masuk dan langsung menyerang.
Menit demi menit berlalu.
"Dia terlambat, mungkin tidak berani datang," bisik Ron.
Kemudian bunyi di ruang sebelah membuat mereka terlonjak.
Harry baru mengangkat tongkatnya ketika mereka mendengar ada orang bicara—dan orang itu bukan Malfoy.
"Enduslah, kucing manis, mereka mungkin sembunyi di sudut."
Itu suara Filch yang bicara kepada Mrs Norris. Ketakutan, Harry melambai-lambai panik kepada tiga temannya untuk mengikutinya secepat mungkin. Mereka mengendap-endap menuju pintu, menjauh dari suara Filch. Jubah Neville baru saja lenyap, begitu ia membelok di sudut, ketika mereka mendengar Filch masuk ke ruang piala.
"Mereka ada di dalam sini," anak-anak mendengar Filch bergumam, "mungkin sembunyi."
"Ke sini!" Harry berseru tanpa suara, dan dengan ketakutan, mereka merayap menyusuri galeri penuh baju zirah. Mereka bisa mendengar Filch semakin dekat. Mendadak Neville memekik ketakutan dan berlari—dia tersandung, memeluk pinggang Ron dan keduanya menjatuhi seperangkat baju zirah.
Bunyi gedubrakan dan kelontangan cukup untuk membangunkan seluruh sekolah.
"LARI!" Harry berteriak dan keempatnya melesat ke ujung galeri, tanpa menoleh ke belakang untuk melihat apakah Filch mengikuti mereka. Mereka keluar dari pintu dan lari berbelok melewati koridor yang satu dan kemudian koridor lain, Harry di depan tanpa tahu di mana mereka berada atau ke mana mereka pergi. Mereka menerobos permadani gantung dan tiba di lorong tersembunyi, berlari sepanjang lorong dan keluar lagi dekat ruang kelas Jimat dan Guna-guna, yang mereka tahu terletak jauh sekali dari ruang piala.
"Kurasa kita sudah bebas dari dia," ujar Harry tersengal, bersandar pada tembok yang dingin dan menyeka dahinya.
Neville membungkuk sampai terlipat dua, mendesah-desah dan merepet gugup.
"Sudah... kubilang... kan," Hermione terengah, memegangi baju di depan dadanya. "Sudah... kubilang... kan."
"Kita harus kembali ke Menara Gryffindor," kata Ron,
"secepat mungkin."
"Malfoy menjebakmu," Hermione berkata kepada Harry.
"Kau sadar sekarang, kan? Dia memang tidak berencana menemuimu—Filch tahu ada anak yang akan berada di ruang piala. Pasti Malfoy yang mengisikinya."
Harry berpikir Hermione mungkin benar, tetapi ia tak akan mengatakannya.
"Ayo, pergi."
Tidak akan semudah itu. Mereka belum berjalan lebih dari dua belas langkah ketika ada pegangan pintu yang berkeretak dan sesuatu meluncur keluar dari ruang kelas di depan mereka.
Ternyata Peeves. Dia melihat mereka dan menjerit kesenangan. "Diam, Peeves—tolong, diam—kau akan membuat kami dikeluarkan."
Peeves terbahak.
"Jalan-jalan tengah malam nih, anak-anak kelas satu? Tsk, tsk, tsk. Badung, badung, badung, kalian akan ditelikung."
"Tidak, kalau kau tidak mengadukan kami, Peeves. Jangan dong, Peeves."
"Harus bilang Filch, harus," kata Peeves dengan suara saleh, tetapi matanya berkilat nakal. "Demi kebaikan kalian sendiri kok."
"Minggir kau," tukas Ron seraya melayangkan pukulan ke arah Peeves. Itu sungguh kesalahan besar.
"MURID KELUAR KAMAR!" Peeves berteriak, "MURID KELUAR KAMAR ADA DI KORIDOR JIMAT!"
Membungkuk melewati Peeves, mereka berlari sampai ke ujung koridor, di situ mereka terbentur pintu, dan pintu itu terkunci.
"Celaka!" Ron mengeluh, sementara mereka mendorong pintu tanpa hasil. "Habis deh kita!" Mereka bisa mendengar langkah-langkah kaki, Filch berlari secepat mungkin ke arah teriakan Peeves. "Oh, minggir," gertak Hermione. Dia merebut tongkat Harry, mengetuk kuncinya dan berbisik, "Alohomoral"
Kunci menceklik dan pintu menjeblak terbuka— berdesakan mereka masuk, cepat-cepat menutupnya kembali, lalu menempelkan telinga ke pintu, mendengarkan.
"Ke mana mereka pergi, Peeves?" tanya Filch. "Cepat, beritahu aku."
"Bilang dulu, 'tolong'."
"Jangan main-main, Peeves, ke mana mereka pergi?"
"Aku tak akan bilang apa-apa kalau kau tidak bilang tolong,"
kata Peeves dengan suara datar menjengkelkan.
"Baiklah—tolong."
"APA-APA! Ha ha ha! Kan sudah kubilang aku tak akan bilang apa-apa kalau kau tidak bilang tolong! Ha ha haaaaaa!"
Dan mereka mendengar desau Peeves yang terbang pergi dan Filch yang mencaci-maki be-rang.
"Dia mengira pintu ini terkunci," bisik Harry. "Kurasa kita selamat—ada apa sih, Neville!" Karena Neville selama semenit belakangan ini terus menarik-narik baju Harry. "Apa?"
Harry berbalik—dan melihat dengan jelas. Sesaat dia mengira dirinya sedang bermimpi buruk—ini sudah keterlaluan, mengingat semua yang sudah terjadi.
Mereka tidak berada dalam suatu ruangan, seperti yang dikiranya. Mereka ada di koridor. Koridor terlarang di lantai tiga. Dan sekarang mereka tahu kenapa koridor itu terlarang.
Mereka memandang tepat ke mata anjing raksasa, anjing yang memenuhi seluruh ruang antara langitlangit dan lantai.
Kepalanya tiga, dengan tiga pasang mata galak yang berputarputar, tiga hidung yang bergerak mengendus-endus ke arah mereka, tiga moncong dengan liur menetes—menggantung seperti tali licin—dari taring kekuningan.
Anjing itu berdiri diam, sementara keenam matanya memandang mereka, dan Harry tahu satu-satunya alasan kenapa mereka belum mati adalah karena kemunculan mereka yang begitu mendadak telah mengejutkan si anjing. Tetapi dengan cepat si anjing mengatasi keterkejutannya, itu sudah jelas dari geraman-geramannya yang mengerikan itu.
Harry meraih pegangan pintu. Antara Filch dan maut, dia lebih memilih Filch.
Mereka ambruk ke belakang—Harry membanting pintu menutup, dan mereka berlari, hampir terbang malah, kembali menyusuri koridor ke arah berlawanan. Filch pasti sudah buruburu pergi mencari mereka ke tempat lain, karena mereka tidak melihatnya di mana-mana. Tetapi mereka tak peduli—yang mereka inginkan hanyalah membuat jarak sebesar mungkin antara mereka dan monster itu. Mereka tidak berhenti berlari sampai tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk di lantai tujuh.
"Dari mana saja kalian ini?" tanya si nyonya, memandang baju tidur mereka yang merosot ke bahu dan wajah mereka yang merah berkeringat.
"Kau tak perlu tahu—moncong babi, moncong babi," kata Harry tersengal, dan lukisan itu mengayun ke depan. Mereka berebut masuk ke ruang rekreasi dan ambruk di kursi berlengan.
Perlu beberapa saat sebelum mereka bisa berkata sesuatu.
Neville bahkan kelihatannya tidak akan bicara lagi selamanya.
"Apa maksud mereka mengunci binatang semacam itu di dalam sekolah?" kata Ron akhirnya. "Kalau ada anjing yang perlu diajak jalan-jalan, nah, anjing yang tadi itu."
Hermione sudah mendapatkan kembali napas dan kegalakannya.
"Kalian ini tidak ada yang memakai mata kalian, ya?"
bentaknya. "Apa kalian tidak melihat dia berdiri di mana?"
"Lantai?" Harry menebak. "Aku tidak melihat kakinya, aku terlalu sibuk dengan kepalanya." "Bukan, bukan lantai. Anjing tadi berdiri di atas pintu jebakan. Jelas dia menjaga sesuatu."
Hermione berdiri, membelalak kepada mereka.
"Kuharap kalian sekarang puas. Kita semua bisa mati—atau lebih parah lagi, dikeluarkan. Nah, sekarang kalau tidak keberatan, aku akan tidur."
Ron melongo memandangnya.
"Tidak, kami tidak keberatan," katanya. "Kau pikir kami memaksa kau ikut?"
Tetapi Hermione telah memberi Harry sesuatu yang lain untuk dipikirkan ketika dia naik kembali ke tempat tidurnya.
Anjing itu menjaga sesuatu... Apa yang dikatakan Hagrid?
Gringotts adalah tempat paling aman di dunia kalau kau mau menyembunyikan sesuatu—kecuali mungkin Hogwarts.
Kelihatannya Harry sudah menemukan di mana bungkusan kecil kumal dari ruangan besi tujuh ratus tiga belas itu berada.

***

Halloween

MALFOY tidak bisa mempercayai matanya ketika dia melihat Harry dan Ron masih di Hogwarts keesokan harinya. Mereka tampak lelah tapi riang gembira. Memang paginya Harry dan Ron berpendapat pertemuan dengan anjing berkepala tiga itu petualangan yang luar biasa dan mereka bahkan berharap mendapatkan pengalaman serupa lagi. Sementara itu Harry memberitahu Ron tentang bungkusan yang tampaknya telah di pindahkan dari Gringotts ke Hogwarts, dan mereka melewatkan banyak waktu untuk mereka-reka apa kiranya yang memerlukan penjagaan begitu ketat.
"Kalau tidak benar-benar berharga, tentu benarbenar berbahaya," kata Ron.
"Atau dua-duanya," kata Harry.
Tetapi karena yang mereka tahu tentang benda misterius itu hanyalah bahwa panjangnya sekitar lima senti, tanpa petunjuk tambahan, mereka tak bisa menebak benda apa itu.
Baik Neville maupun Hermione tak menunjukkan minat sedikit pun untuk mengetahui apa yang ada di bawah anjing dan pintu jebakan itu. Yang paling penting bagi Neville, jangan sampai dia dekat-dekat anjing itu lagi.
Hermione sekarang menolak bicara dengan Harry dan Ron, tetapi Harry dan Ron malah senang, sebab Hermione anaknya ngebos dan sangat sok tahu. Yang benar-benar mereka inginkan sekarang hanyalah membalas Malfoy, dan betapa girangnya mereka ketika kesempatan itu tiba bersama datangnya pos seminggu kemudian.
Ketika burung-burung hantu membanjir ke dalam Aula Besar seperti biasanya, perhatian semua orang langsung tertuju pada bungkusan kurus panjang yang dibawa oleh enam burung hantu besar yang bising. Harry sama tertariknya seperti yang lain untuk mengetahui apa isi bungkusan besar ini dan dia tercengang ketika burung-burung hantu itu melayang turun dan menjatuhkan bungkusan yang mereka bawa tepat di depannya, menyenggol daging asapnya sampai jatuh ke lantai. Baru saja keenam burung hantu ini menyingkir, datang burung hantu lain yang menjatuhkan surat ke atas bungkusan tadi.
Harry merobek suratnya dulu. Untunglah, sebab surat itu begini bunyinya:
JANGAN MEMBUKA BUNGKUSAN DI MEJA
Isinya Nimbus Dua Ribu-mu yang baru,
tetapi aku tak ingin semua anak tahu kau mendapat sapu,
sebab nanti mereka semua juga minta.
Oliver Wood akan menemuimu malam ini di lapangan Quidditch, pukul tujuh untuk latihan pertama.
Harry berusaha menyembunyikan kegembiraannya ketika dia memberikan surat itu kepada Ron. "Nimbus Dua Ribu!" gumam Ron iri. "Menyentuhnya pun aku bahkan belum pernah."
Mereka buru-buru meninggalkan Aula, karena ingin membuka bungkusan sapu tanpa dilihat yang lain sebelum pelajaran pertama, tetapi baru setengah menyeberangi Aula Depan, mereka melihat jalan ke atas dihalangi Crabbe dan Goyle. Malfoy merebut bungkusan itu dari Harry dan merabanya.
"Ini sapu," katanya seraya melemparkannya kembali kepada Harry dengan wajah antara iri dan menghina. "Habis kau kali ini, Potter. Anak-anak kelas satu tidak boleh punya sapu."
Ron tak tahan lagi.
"Ini bukan sapu biasa," katanya. "Ini Nimbus Dua Ribu.
Kaubilang sapumu di rumah apa, Malfoy? Komet Dua Enam Puluh?" Ron nyengir ke arah Harry. "Komet memang kelihatannya mentereng, tetapi tidak sekelas dengan Nimbus."
"Kau tahu apa, Weasley! Beli separo tangkainya saja kau takkan sanggup," balas Malfoy. "Kurasa kau dan kakak-kakakmu harus menabung ranting demi ranting."
Sebelum Ron sempat menjawab, Profesor Flitwick muncul di belakang Malfoy.
"Tidak bertengkar kuharap, anak-anak?" katanya.
"Potter dikirimi sapu, Profesor," Malfoy buru-buru mengadu.
"Ya, ya, betul," kata Profesor Flitwick, tersenyum lebar pada Harry. "Profesor McGonagall bercerita kepadaku tentang kasus istimewa ini, Potter. Dan apa modelnya?"
"Nimbus Dua Ribu, Sir," kata Harry, berusaha tidak tertawa melihat kengerian di wajah Malfoy. "Dan untuk itu saya betul-betul harus berterima kasih kepada Malfoy," dia menambahkan.
Harry dan Ron naik, menahan tawa melihat kegusaran dan kebingungan Malfoy yang tampak jelas.
"Memang benar kok," celetuk Harry ketika mereka tiba di puncak tangga pualam. "Kalau dia tidak mengambil Remembrall Neville, aku tak akan terpilih jadi anggota tim..."
"Jadi kauanggap itu imbalan untuk pelanggaran peraturan?"
terdengar suara marah di belakang mereka. Hermione sedang menaiki tangga, memandang bungkusan di tangan Harry dengan tatapan mencela.
"Bukannya kau sedang tidak bicara dengan kami?" kata Harry.
"Ya, jangan dihentikan," kata Ron. "Kami senang kok."
Hermione pergi dengan hidung terangkat ke atas.
Harry sulit memusatkan perhatian pada pelajaran-pelajarannya hari itu. Pikirannya melayang terus ke kamarnya, ke tempat sapu barunya tergeletak di bawah tempat tidurnya, atau melayang ke lapangan Quidditch, tempat dia akan mulai berlatih malam nanti. Dia buru-buru menyantap makan malamnya, tanpa memperhatikan apa yang dimakannya, dan kemudian buru-buru ke atas dengan Ron untuk, akhirnya, membuka bungkusan Nimbus Dua Ribu-nya.
"Wow," Ron menghela napas ketika sapu itu bergulir di tempat tidur Harry.
Bahkan Harry yang sama sekali tak tahu tentang perbedaan macam-macam sapu, berpendapat sapunya kelihatan hebat.
Langsing berkilat, dengan gagang dari mahogani, anyaman ranting di ujungnya lurus dan rapi, dengan tulisan emas Nimbus Dua Ribu di dekat puncaknya.
Menjelang pukul tujuh, Harry meninggalkan kastil dan berangkat menuju lapangan Quidditch dalam keremangan senja.
Dia belum pernah berada dalam stadion itu sebelumnya.
Beratus-ratus tempat duduk diatur mengelilingi lapangan pada tribun tinggi, supaya para penonton cukup tinggi untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Di kedua ujung lapangan berdiri tiang keemasan dengan tiga lingkaran pada ujungnya.
Tiang-tiang ini mengingatkan Harry pada batang plastik kecilkecil yang biasa ditiup-tiup anakanak Muggle untuk membuat gelembung sabun. Hanya saja tiang-tiang ini tingginya lima belas meter.
Harry yang sudah ingin sekali terbang lagi, tak sabar menunggu Wood. Dia menaiki sapunya dan menjejak tanah.
Bukan main—dia melayang mengitari tiang-tiang gol dan kemudian meluncur naik-turun di atas lapangan. Nimbus Dua Ribu berbelok ke arah mana pun yang dimauinya hanya dengan sentuhan kecil darinya.
"Hei, Potter, turun!"
Oliver Wood sudah datang. Dia mengepit kotak kayu besar.
Harry mendarat di sebelahnya.
"Bagus sekali," kata Wood, matanya bercahaya. "Aku paham sekarang apa yang dimaksud McGonagall... kau benar-benar pemain alam. Aku hanya akan mengajarkan peraturannya kepadamu malam ini, kemudian kau akan bergabung berlatih dengan tim tiga kali seminggu."
Wood membuka kotaknya. Di dalamnya ada empat bola yang berbeda ukuran.
"Baik," kata Wood. "Quidditch cukup mudah dimengerti, walaupun tak semudah itu dimainkan. Ada tujuh pemain pada masing-masing regu. Tiga di antaranya disebut Chaser atau pengejar."
"Tiga Chaser," Harry mengulang, ketika Wood mengeluarkan bola merah manyala sebesar bola sepak.
"Bola ini namanya Quaffle," kata Wood. "Chaser melempar Quaffle kepada sesama Chaser dan berusaha memasukkannya ke salah satu lingkaran untuk mendapatkan angka. Sepuluh setiap kali bola berhasil dimasukkan ke lingkaran. Mengerti?"
"Para Chaser melempar Quaffle dan memasukkannya ke dalam lingkaran untuk mendapatkan angka," kata Harry.
"Jadi—semacam basket yang dimainkan naik sapu terbang dengan enam keranjang, iya, kan?"
"Apa itu basket?" tanya Wood ingin tahu.
"Ah, sudahlah," kata Harry cepat-cepat.
"Nah, ada lagi pemain dalam masing-masing regu yang disebut Keeper—aku Keeper Gryffindor. Aku harus beterbangan sekeliling lingkaran dan mencegah tim musuh mencetak gol."
Rupanya Keeper tugasnya sama dengan kiper atau penjaga gawang dalam permainan sepak bola.
"Tiga Chaser, satu Keeper," kata Harry yang bertekad mengingat semuanya. "Dan mereka bermain dengan Quaffle.
Oke, mengerti. Jadi, untuk apa yang itu?" Dia menunjuk tiga bola lain yang masih ada di dalam. kotak.
"Akan kutunjukkan sekarang," kata Wood. "Ambil ini." Dia menyerahkan kepada Harry pemukul kecil yang mirip pemukul kasti.
"Akan kutunjukkan apa yang dilakukan Bludger," kata Wood. "Dua bola ini namanya Bludger."
Dia menunjukkan kepada Harry dua bola kembar, hitam legam dan sedikit lebih kecil daripada Quaffle merah. Harry melihat bahwa kedua bola itu kelihatannya berusaha keras melepaskan diri dari ikatan yang menahannya di dalam kotak.
"Mundur," Wood memperingatkan Harry. Dia membungkuk dan melepas salah satu Bludger.
Langsung saja bola hitam itu meluncur tinggi ke angkasa dan kemudian melesat turun menuju wajah Harry. Harry memukulnya dengan pemukul untuk mencegahnya mematahkan hidungnya, membuatnya zig-zag di udara—bola itu mendesing mengitari kepala mereka, kemudian melesat ke arah Wood, yang melompat menyambarnya dan berhasil memitingnya di tanah.
"Lihat, kan?" Wood tersengal, memasukkan kembali dengan paksa Bludger yang memberontak itu ke dalam kotak dan mengikatnya kembali supaya aman. "Bludger ini meluncur ke mana-mana, berusaha menjatuhkan pemain dari sapu mereka.
Itulah sebabnya masing-masing tim punya dua Beater—Pemukul. Si kembar Weasley adalah Beater kita. Tugas merekalah untuk melindungi tim kita dari serangan Bludger dan berusaha memukul Bludger itu ke arah tim lawan. Jadi—bisa dimengerti?"
"Tiga Chaser mencoba mencetak gol dengan Quaffle, si Keeper menjaga gawang, dua Beater menjauhkan Bludger dari tim mereka," Harry menjelaskan.
"Bagus sekali," kata Wood.
"Er—apakah Bludger pernah sampai membunuh pemain?"
Harry bertanya, berharap suaranya kedengaran biasa.
"Di Hogwarts belum pernah. Pernah dua kali ada rahang patah, tapi tak ada yang lebih parah dari itu. Nah, anggota tim terakhir adalah Seeker—Pencari. Ini kau. Dan kau tidak perlu mencemaskan Quaffle ataupun Bludger..."
"...kecuali kalau Bludger itu membuat kepalaku pecah."
"Jangan khawatir, si kembar Weasley bukan musuh enteng bagi si Bludger—maksudku, mereka berdua seperti sepasang Bludger manusia."
Wood menjangkau ke dalam kotak dan mengeluarkan bola keempat, bola terakhir. Dibandingkan dengan Quaffle dan Bludger, bola ini kecil sekali, cuma sebesar buah kenari besar.
Warnanya keemasan dan punya sayap perak yang bergetar.
"Ini," kata Wood, "adalah Golden Snitch—Tangkapan Emas, dan ini bola yang paling penting dari semuanya. Bola ini sangat susah ditangkap karena geraknya cepat sekali dan susah dilihat.
Tugas Seekerlah untuk menangkapnya. Kau harus meliuk-liuk di antara Chaser, Beater, Bludger, dan Quaffle untuk menangkapnya sebelum keduluan Seeker tim lawan. Seeker -yang berhasil menangkap Snitch, menambah angka seratus lima puluh untuk timnya, maka mereka hampir selalu menang. Itulah sebabnya Seeker banyak dikerjai. Pertandingan Quidditch hanya berakhir kalau Snitch sudah berhasil ditangkap. Jadi pertandingan ini bisa berlangsung lama sekali—kalau tak salah rekor paling lama adalah tiga bulan, mereka harus bolak-balik mengajukan pemain cadangan, supaya para pemain bisa tidur.
"Yah, begitulah—ada pertanyaan?"
Harry menggeleng.
Dia mengerti apa yang harus dilakukannya. Melaksanakannya-lah yang akan jadi masalah.
"Kita belum akan berlatih dengan Snitch," kata Wood, dengan hati-hati mengembalikan bola itu ke dalam kotak.
"Terlalu gelap, bisa hilang nanti. Ayo, kita coba kau dengan beberapa bola ini saja."
Wood mengeluarkan beberapa bola golf biasa dari dalam kantongnya, dan beberapa menit kemudian, dia dan Harry sudah melayang-layang di udara. Wood melempar bola-bola golf itu sekuat-kuatnya ke segala arah untuk ditangkap Harry.
Harry berhasil menangkap semuanya, dan Wood senang sekali. Setelah setengah jam, malam benarbenar telah tiba dan mereka tidak bisa melanjutkan.
"Nama kita akan terukir di Piala Quidditch tahun ini," kata Wood riang selagi mereka berjalan kembali ke kastil. "Aku tak akan heran kalau kau ternyata lebih hebat dari Charlie Weasley, dan dia sebetulnya bisa main untuk tim nasional Inggris kalau dia tidak memilih mengejar naga."

***

Mungkin karena sekarang sangat sibuk, apalagi dengan latihan Quidditch tiga malam dalam seminggu, ditambah PR-PR-nya, Harry heran sendiri ketika menyadari dia sudah berada di Hogwarts selama dua bulan. Kastil itu lebih terasa rumah daripada rumah di Privet Drive. Pelajaran-pelajarannya juga semakin menarik, setelah mereka menguasai dasar-dasarnya.
Pada pagi Hallowe'en mereka terbangun oleh bau lezat labu panggang yang menguar di koridor-koridor. Lebih asyik lagi, Profesor Flitwick mengumumkan di pelajaran Jimat dan Guna-guna bahwa menurut pendapatnya mereka sudah siap untuk mulai membuat benda-benda melayang, sesuatu yang sudah ingin sekali mereka coba sejak mereka melihat Profesor Flitwick membuat kodok Neville terbang berputarputar di dalam kelas.
Profesor Flitwick membagi mereka berpasang-pasangan untuk berlatih. Partner Harry adalah Seamus Finnigan (dia lega, karena Neville dari tadi sudah berusaha memberi kode dengan matanya). Tetapi Ron harus bekerja sama dengan Hermione Granger. Sulit dikatakan apakah Ron atau Hermione yang lebih marah karena ini. Hermione sudah tidak bicara dengan mereka sejak sapu Harry tiba.
"Nah, jangan lupa gerakan manis pergelangan "tangan yang sudah kita latih!" seru Profesor Flitwick, yang seperti biasa bertengger di atas tumpukan bukunya. "Ayun dan sentak, ingat, ayun dan sentak. Dan mengucapkan mantra dengan benar juga sangat penting—jangan lupa pada Penyihir Baruffio, yang menyebut 's' alih-alih 'f', dengan akibat dia mendadak tergeletak di lantai dengan kerbau di atas dadanya."
Sulit sekali. Harry dan Seamus mengayun dan menyentak, tetapi bulu yang seharusnya mereka buat melayang ke udara tetap saja tergeletak di atas meja. Seamus akhirnya habis sabar sehingga dia menyodok bulu itu dengan tongkatnya, dan membuat bulu itu terbakar—Harry terpaksa memadamkannya dengan topinya.
Ron, di meja sebelah, nasibnya tidak lebih baik.
"Wingardium Leviosa!" seru Ron, melambaikan tangannya seperti kincir.
"Cara ngomongmu salah," Harry mendengar Hermione menukas. "Mestinya Wing-gar-dium Levio-sa, 'gar'-nya yang enak dan panjang."
"Lakukan saja sendiri, kalau kau begitu pintar," kata Ron geram.
Hermione menggulung lengan jubahnya, menjentikkan tongkatnya dan berkata, "Wingardium Leviosa!"
Bulu mereka terangkat dari atas meja dan melayanglayang kira-kira satu seperempat meter di atas kepala mereka.
"Oh, bagus sekali!" seru Profesor Flitwick seraya bertepuk tangan. "Semua lihat ke sini, Miss Granger sudah berhasil!"
Saat pelajaran usai, Ron sudah marah sekali.
"Pantas saja tak ada anak yang tahan berteman dengannya,"
katanya kepada Harry sementara mereka berdesakan di koridor.
"Dia mengerikan sekali. Sungguh!"
Ada yang menabrak Harry ketika anak-anak bergegas melewatinya. Ternyata Hermione. Sekilas Harry melihat wajahnya—dan tercengang melihat air matanya bercucuran.
"Kurasa dia mendengarmu." "Jadi?" kata Ron, tapi dia kelihatan tidak enak. "Dia pasti sudah menyadari dia tak punya teman."
Hermione tidak muncul pada pelajaran berikutnya dan tidak kelihatan sepanjang sore itu. Ketika turun menuju Aula Besar untuk pesta Hallowe'en, Harry dan Ron mendengar Parvati Patil memberitahu temannya, Lavender, bahwa Hermione sedang menangis di toilet untuk anak perempuan dan minta ditinggalkan sendirian. Ron menjadi tambah tidak enak, tetapi sesaat kemudian mereka sudah memasuki Aula Besar. Dekorasi Hallowe'en di aula itu membuat mereka melupakan Hermione.
Seribu kelelawar hidup beterbangan di dinding dan langitlangit, sementara seribu lainnya melayang di atas meja membentuk awan-awan hitam gelap, membuat lilin-lilin di dalam labu bergoyang. Makananmakanan tiba-tiba muncul di piring emas, seperti waktu pesta awal tahun ajaran baru.
Harry sedang mengambil kentang ketika Profesor Quirrell terburu-buru masuk Aula, turbannya miring, wajahnya diliputi kengerian. Semua anak mengawasinya ketika dia tiba di kursi Profesor Dumbledore, bersandar lemas ke meja, dan berkata dengan tersengal-sengal, "Troll—di ruang bawah tanah—saya pikir Anda harus tahu."
Kemudian dia merosot ke lantai, pingsan.
Aula geger. Perlu beberapa ledakan mercon ungu dari ujung tongkat Profesor Dumbledore untuk membuat ruangan tenang kembali.
"Prefek," gelegar Profesor Dumbledore, "bawa kembali anak buah kalian ke asrama masing-masing, segera!"
Percy senang sekali.
"Ikut aku! Berkumpul, kelas satu! Tak perlu takut troll kalau kalian mengikuti perintahku! Berada dekatdekat di belakangku.
Beri jalan, kelas satu duluan! Maaf, aku Prefek!"
"Bagaimana troll bisa masuk?" Harry bertanya ketika mereka menaiki tangga.
"Mana aku tahu, mereka kan makhluk-makhluk konyol,"
jawab Ron. "Mungkin Peeves yang memasukkannya sebagai lelucon Hallowe'en."
Mereka berpapasan dengan rombongan berbedabeda, dengan jurusan berlainan pula. Ketika mereka menyelip-nyelip di antara rombongan Hufflepuff yang kebingungan, mendadak Harry mencengkeram lengan Ron.
"Aku baru ingat—Hermione."
"Kenapa dia?"
"Dia tidak tahu tentang troll ini."
Ron menggigit bibir. "Oh, baiklah," tukasnya. "Tapi lebih baik Percy jangan sampai melihat kita."
Sambil menunduk, mereka bergabung dengan anakanak Hufflepuff menuju arah yang berlawanan, menyelinap ke koridor samping yang sepi dan bergegas ke toilet anak perempuan. Baru saja membelok di sudut, mereka mendengar langkah-langkah cepat di belakang mereka.
"Percy!" desis Ron, menarik Harry ke belakang patung baru besar makhluk berkepala dan bersayap elang, tapi bertubuh singa.
Mengintip dari balik patung itu, yang mereka lihat bukan Percy, melainkan Snape. Dia menyeberang koridor dan menghilang dari pandangan.
"Apa yang dilakukannya?" bisik Harry. "Kenapa dia tidak di ruang bawah tanah bersama guru-guru yang lain?"
"Mana kutahu."
Sepelan mungkin, tanpa bersuara, mereka merayapi koridor berikutnya, mengikuti langkah-langkah Snape yang menjauh.
"Dia menuju lantai tiga," kata Harry, tetapi Ron mengangkat tangannya.
"Apakah kau membaui sesuatu?"
Harry mengendus dan bau busuk menusuk hidungnya, campuran antara kaus kaki bau dan toilet umum yang tak pernah dibersihkan.
Dan kemudian mereka mendengarnya—geram rendah dan entakan kaki raksasa. Ron menunjuk ke ujung koridor di sebelah kiri, sesuatu yang besar sekali sedang bergerak ke arah mereka.
Mereka surut ke dalam bayang-bayang dan mengawasi makhluk itu melangkah dalam sorotan cahaya bulan.
Sungguh pemandangan yang mengerikan. Tiga setengah meter tingginya, kulitnya abu-abu kusam, tubuhnya mirip gumpalan batu besar, dengan kepalanya yang kecil bertengger di atasnya seperti sebutir kelapa. Kakinya pendek dan gemuk, sebesar batang pohon, dengan telapak kaki rata dan bertanduk.
Baunya bukan main busuknya. Dia memegang pentung besar yang terseret di lantai karena lengannya panjang sekali.
Troll itu berhenti di depan pintu dan melongok ke dalamnya.
Dia menggoyangkan telinganya yang panjang, mencoba berpikir dengan otaknya yang kecil, kemudian berjalan masuk lambat-lambat.
"Kuncinya ada di situ," Harry bergumam. "Kita bisa menguncinya di dalam."
"Ide bagus," kata Ron gugup.
Mereka berjingkat menuju pintu yang terbuka, mulut mereka kering, seraya berdoa agar si troll tidak keluar dari pintu itu.
Dengan satu lompatan panjang, Harry berhasil meraih kunci, menggabrukkan pintu, dan menguncinya.
"Yes!"
Dengan wajah kemerahan berkat keberhasilan mereka, mereka berlari ke arah berlawanan. Tetapi saat tiba di sudut, mereka mendengar sesuatu yang membuat jantung mereka berhenti berdetak—jeritan ngeri melengking—dan datangnya dari ruang yang baru saja mereka kunci.
"Oh, tidak," kata Ron yang jadi sepucat Baron Berdarah.
"Toilet anak perempuan!" Harry terperanjat.
"Hermione!" mereka berseru bersama.
Mereka sama sekali tak ingin melakukannya, tetapi tak punya pilihan lain. Mereka berputar dan berlari kembali ke pintu dan memutar kuncinya, agak susah karena keduanya panik dan gemetar—Harry menarik pintu hingga terbuka—dan mereka berlari ke dalam.
Hermione Granger merapat ke dinding di seberang mereka, kelihatannya nyaris pingsan. Si troll bergerak ke arahnya, wastafel-wastafel yang ditabraknya rontok ke lantai.
"Buat dia bingung!" kata Harry putus asa kepada Ron, seraya menyambar keran yang lalu dilemparkannya sekuat tenaga ke dinding.
Si troll berhenti kira-kira satu meter dari Hermione. Dia berbalik lamban, mengejap dengan bodoh, untuk melihat apa yang membuat suara tadi. Mata kecilnya yang kejam menatap Harry. Dia ragu-ragu, kemudian berbalik menuju Harry, mengangkat pentungnya sambil berjalan.
"Oi, otak kacang polong!" teriak Ron dari sisi lain ruangan.
Ron melemparnya dengan pipa logam. Si troll seolah tidak merasakan apa pun ketika pipa itu menghantam bahunya, tetapi dia mendengar teriakan Ron dan berhenti lagi, menolehkan moncongnya yang jelek ke arah Ron, memberi Harry kesempatan untuk menghindar.
"Ayo, lari, lari!" Harry berteriak kepada Hermione, berusaha menariknya ke arah pintu, tetapi Hermione tidak bisa bergerak.
Dia masih menempel rapat ke dinding, mulutnya ternganga saking takutnya.
Teriakan-teriakan dan gaungnya agaknya membuat si troll berang sekali. Dia menggerung lagi dan bergerak ke arah Ron,
yang berada paling dekat dengannya dan tak punya kemungkinan untuk kabur.
Harry kemudian melakukan sesuatu yang sangat berani dan sekaligus sangat bodoh: dia berlari dan melompat, dan berhasil mengalungkan lengannya di sekeliling leher si troll. Troll itu tidak sadar Harry bergantung di lehernya, tetapi bahkan troll sekalipun akan tahu kalau kau menyogok hidungnya dengan potongan kayu panjang, dan tongkat Harry masih di tangannya waktu dia melompat—tongkat itu tepat masuk ke salah satu lubang hidung si troll.
Menggerung kesakitan, si troll meliuk dan menyabet-nyabetkan pentungnya, dengan Harry masih bergantung ketakutan di lehernya. Setiap detik si troll bisa menjambretnya sampai lepas atau memukulnya keras-keras dengan pentungnya.
Hermione sudah merosot ke lantai saking takutnya. Ron menarik keluar tongkatnya sendiri—tanpa tahu apa yang akan dilakukannya, tahu-tahu didengarnya dirinya sendiri menyebutkan mantra pertama yang muncul dalam benaknya,
"Wingardium Leviosa!"
Pentung itu mendadak terbang dari tangan si troll, melesat tinggi, makin tinggi ke atas, pelan-pelan berbelok—dan jatuh, dengan bunyi derak yang mengerikan, di atas kepala pemiliknya. Si troll terhuyung dan kemudian jatuh terjerembap, dengan bunyi gedebuk yang membuat seluruh ruangan bergetar.
Harry berdiri. Dia gemetar dan terengah. Ron masih berdiri dengan tongkat terangkat, memandang hasil kerjanya.
Hermione-lah yang lebih dulu bicara.
"Apa dia—mati?"
"Kurasa tidak," kata Harry "Kurasa dia cuma pingsan."
Dia menunduk dan mencabut tongkatnya dari hi-dung si troll. Tongkat itu berlumur lendir yang mirip lem abu-abu.
"Iiih—ingus troll."
Harry melap tongkatnya ke celana si troll.
Bunyi pintu menjeblak dan langkah-langkah keras membuat ketiganya mendongak. Mereka tidak menyadari keributan yang mereka akibatkan, tetapi tentu saja, ada orang di bawah yang mendengar bunyi gedebak-gedebuk dan gerungan si troll.
Beberapa saat kemudian Profesor McGonagall berlarian ke dalam ruangan, diikuti oleh Snape, dengan Quirrell datang paling belakang. Begitu melihat si troll, Quirrell merintih pelan, lalu cepat-cepat duduk di toilet, mencengkeram dada di bagian jantungnya.
Snape membungkuk di atas si troll. Profesor McGonagall memandang Ron dan Harry. Harry belum pernah melihatnya begitu marah. Bibirnya sampai putih. Harapan memenangkan lima puluh angka untuk Gryffindor langsung lenyap dari pikiran Harry.
"Apa sebenarnya maksud kalian?" tanya Profesor McGonagall, dengan nada dingin penuh kemarahan. Harry memandang Ron, yang masih berdiri dengan tongkat mengacung ke atas. "Kalian beruntung tidak terbunuh. Kenapa kalian tidak berada di asrama?"
Snape melempar pandangan tajam ke arah Harry. Harry menatap lantai. Dalam hati dia berharap Ron menurunkan tongkatnya.
Mendadak terdengar suara lemah dari dalam bayang-bayang.
"Maaf, Profesor McGonagall... mereka mencari saya."
"Miss Granger!"
Hermione akhirnya berhasil berdiri.
"Saya mencari troll karena saya... saya pikir saya bisa menanganinya sendiri—karena saya sudah membaca banyak tentang mereka." Tongkat Ron sampai terjatuh. Hermione Granger, berbohong pada guru?
"Jika mereka tidak menemukan saya, saya pasti sudah mati sekarang. Harry menyodokkan tongkatnya ke dalam lubang hidung si troll dan Ron membuatnya pingsan dengan pukulan pentungnya sendiri. Troll itu sudah siap menghabisi saya ketika mereka tiba."
Harry dan Ron memasang tampang seakan cerita ini bukan cerita baru bagi mereka.
"Wah—kalau begitu...," kata Profesor McGonagall sambil menatap mereka bertiga. "Miss Granger, bodoh benar kau, bagaimana mungkin kau mengira bisa menangani troll gunung sendirian?"
Hermione menunduk. Harry tak bisa bicara. Hermione, orang yang paling anti melanggar peraturan, sekarang berbohong untuk menyelamatkan mereka. Ibaratnya Snape membagi-bagikan permen.
"Miss Granger, lima angka dikurangi dari Gryffindor. Aku kecewa sekali padamu. Kalau kau tidak terluka sama sekali, sebaiknya kau kembali ke Menara Gryffindor. Anak-anak sedang menyelesaikan pesta mereka di asrama masing-masing."
Hermione pergi. Profesor McGonagall berbalik menghadapi Harry dan Ron.
"Aku masih tetap bilang kalian beruntung, tetapi tak banyak anak kelas satu yang bisa menghadapi troll gunung dewasa.
Kalian masing-masing mendapat lima angka untuk Gryffindor.
Profesor Dumbledore akan diberitahu soal ini. Kalian boleh pergi."
Mereka bergegas meninggalkan tempat itu dan sama sekali tidak bicara sampai mereka sudah naik dua tingkat lebih tinggi.
Sungguh lega bisa menjauh dari bau si troll, di samping berhasil lolos dari bahaya yang lain.
"Seharusnya kita dapat lebih dari sepuluh angka," gerutu Ron.
"Lima, maksudmu, setelah dipotong lima dari Hermione."
"Baik juga dia, mau menyelamatkan kita seperti itu," Ron mengakui. "Tapi kita memang menyelamatkannya."
"Dia mungkin tidak perlu diselamatkan, kalau kita tidak mengurung troll itu bersamanya," Harry mengingatkan.
Mereka sudah tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk.
"Moncong babi," kata mereka, lalu masuk.
Ruang rekreasi penuh dan bising. Semua sibuk makan makanan yang dikirim ke atas. Meskipun demikian, Hermione berdiri sendiri di dekat pintu, menunggu mereka. Sesaat tak ada yang bilang apa-apa, sama-sama malu. Kemudian, tanpa saling pandang, serentak mereka bilang, "Trims," lalu bergegas mengambil piring.
Tetapi sejak saat itu, Hermione Granger menjadi teman mereka. Ada hal-hal tertentu yang tak bisa dialami bersama tanpa kalian jadi saling menyukai, dan membuat pingsan troll gunung setinggi lebih dari tiga setengah meter adalah salah satunya.

***

11. Quidditch

MEMASUKI bulan November, hawa menjadi sangat dingin. Pegunungan yang mengelilingi sekolah berubah menjadi abu-abu bersaput es dan danau seolah menjadi baja beku. Setiap pagi tanah berselimut salju. Hagrid terlihat dari jendela atas tengah melumerkan salju pada sapu-sapu untuk pertandingan Quidditch, ia memakai jubah panjang dari kulit tikus mondok, sarung tangan dari bulu kelinci dan sepatu bot besar dari kulit berang-berang.
Masa pertandingan Quidditch telah mulai. Pada hari Sabtu, Harry akan bermain dalam pertandingan pertamanya setelah berminggu-minggu berlatih. Gryffindor versus Slytherin. Jika Gryffindor menang, peringkat mereka akan naik ke tempat kedua dalam Kejuaraan Antar-Asrama.
Nyaris tak ada yang pernah melihat Harry bermain, karena Wood telah memutuskan bahwa, sebagai senjata rahasia mereka, Harry harus, yah, harus dirahasiakan. Tetapi berita bahwa dia akan bermain sebagai Seeker, entah bagaimana telah bocor dan Harry tak tahu mana yang lebih buruk—anak-anak berkata kepadanya bahwa dia akan bermain dengan brilian, atau mereka berkata akan berlari-lari di bawahnya memegangi kasur.
Sungguh beruntung bahwa sekarang Harry berteman dengan Hermione. Dia tak tahu bagaimana bisa menyelesaikan semua PR-nya tanpa Hermione, apalagi dengan latihan menit-terakhir Quidditch yang diwajibkan Wood. Hermione juga telah meminjaminya buku Quidditch dari Masa ke Masa, yang ternyata menarik sekali.
Harry jadi tahu ada tujuh ratus cara melakukan tindakan bodoh dalam Quidditch dan kesemuanya terjadi di pertandingan Piala Dunia pada tahun 1473; bahwa Seeker biasanya pemain yang paling kecil dan paling gesit, dan bahwa kecelakaan-kecelakaan paling berat Quidditch tampaknya diderita mereka; bahwa walaupun orang jarang sekali mati karena bermain Quidditch, bisa terjadi wasit-wasit menghilang begitu saja dan baru ditemukan berbulan-bulan kemudian di Gurun Sahara.
Hermione sudah tidak terlalu ketat lagi dalam hal melanggar peraturan sejak Harry dan Ron menyelamatkannya dari troll gunung, dan sikapnya juga jadi jauh lebih menyenangkan.
Sehari sebelum pertandingan Quidditch pertama Harry mereka bertiga berada di halaman yang superdingin selama jam istirahat dan Hermione menyihir api biru terang yang bisa dibawa-bawa dalam botol selai. Mereka sedang berdiri memunggungi api itu, menghangatkan diri, ketika Snape menyeberangi halaman.
Harry, Ron, dan Hermione merapat untuk menghalangi api dari pandangan. Mereka yakin menyihir api tak diizinkan.
Celakanya, wajah mereka yang menyiratkan perasaan bersalah tertangkap mata Snape. Dia mendekat dengan terpincang-pincang. Dia tidak melihat api itu, tetapi kelihatannya dia mencari-cari alasan untuk bisa mengadukan mereka.
"Apa itu yang kaupegang, Potter?" Buku Quidditch dari Masa ke Masa. Harry menunjukkannya.
"Buku perpustakaan tidak boleh dibawa keluar sekolah," kata Snape. "Berikan padaku. Lima angka dipotong dari Gryffindor."
"Peraturan itu diada-adakan," gumam Harry gusar ketika Snape terpincang-pincang menjauh. "Kenapa ya, kakinya?"
"Entahlah, tapi kuharap sakit sekali," kata Ron sengit.

***

Ruang rekreasi Gryffindor bising sekali malam itu. Harry Ron, dan Hermione duduk bersama di dekat jendela. Hermione sedang memeriksa PR Jimat dan Guna-guna milik Harry dan Ron. Dia tidak mengizinkan mereka menyalin PR-nya ("Bagaimana kalian belajar kalau cuma menyalin?"), tetapi dengan meminta Hermione memeriksa PR mereka, mereka toh mendapatkan jawaban yang benar juga.
Harry merasa resah. Dia menginginkan kembali buku Quidditch dari Masa ke Masa untuk mengalihkan pikirannya dari pertandingan besok. Kenapa dia harus takut kepada Snape?
Seraya bangkit, dia memberitahu Ron dan Hermione dia akan bertanya kepada Snape kalau-kalau dia boleh meminta kembali buku itu.
"Kau sendiri saja deh," kata mereka serempak, tetapi Harry menduga Snape tak akan menolak jika ada guru-guru lain mendengarkan.
Dia menuju ke ruang guru dan mengetuk. Tak ada jawaban.
Dia mengetuk lagi. Tetap tak ada jawaban.
Mungkin Snape meninggalkan buku itu di dalam? Layak diselidiki. Harry mendorong pintu hingga terbuka dan mengintip ke dalam—pemandangan yang tampak olehnya sungguh mengerikan.
Snape dan Filch ada di dalam cuma berdua. Snape mengangkat jubahnya sampai ke atas lutut. Salah satu kakinya luka berdarah-darah. Filch sedang membebatnya.
"Makhluk sialan," Snape memaki. "Bagaimana mungkin kita mengawasi tiga kepala sekaligus?"
Harry berusaha menutup pintu diam-diam, tetapi...
"POTTER!"
Wajah Snape berkeriut saking marahnya ketika dia menjatuhkan jubahnya untuk menyembunyikan kakinya. Harry menelan ludah. "Saya hanya ingin tahu apakah saya boleh mengambil buku saya."
"KELUAR! KELUAR!"
Harry pergi, sebelum Snape sempat mengurangi angka Gryffindor. Dia berlari balik ke atas. "Berhasil?" tanya Ron ketika Harry bergabung kembali bersama mereka. "Ada apa?"
Dalam bisikan pelan, Harry memberitahu mereka apa yang telah dilihatnya.
"Kalian tahu apa artinya ini?" dia mengakhiri ceritanya dengan menahan napas. "Dia mencoba melewati anjing kepala tiga itu pada malam Hallowe'en! Ke situlah dia waktu kita melihatnya—dia ingin mengambil entah-apa yang dijaga si anjing! Dan aku berani mempertaruhkan sapuku, dialah yang memasukkan troll itu, untuk mengalihkan perhatian!"
Mata Hermione terbelalak.
"Tidak—dia tak akan begitu," kata Hermione. "Aku tahu dia tidak begitu menyenangkan, tetapi dia tidak akan mencoba mencuri sesuatu yang disimpan Dumbledore."
"Astaga, Hermione, kaupikir semua guru itu orang suci atau apa," tukas Ron. "Aku setuju dengan Harry. Aku tidak percaya pada Snape. Tetapi apa yang dikejarnya? Apa yang dijaga anjing itu?"
Harry pergi tidur dengan kepala penuh pertanyaan yang sama. Neville mendengkur keras, tetapi Harry tidak bisa tidur.
Dia mencoba mengosongkan pikiran— dia perlu tidur, dia harus tidur, beberapa jam lagi dia akan bermain dalam pertandingan Quidditch-nya yang pertama—tetapi ekspresi wajah Snape ketika Harry melihat kakinya tidak mudah dilupakan.

***

Paginya udara sangat cerah dan dingin. Aula Besar dipenuhi aroma lezat sosis goreng dan obrolan riang anak-anak yang sudah menanti-nanti saat menonton pertandingan Quidditch yang seru.
"Kau harus sarapan."
"Aku tak ingin makan."
"Sepotong roti saja," Hermione membujuk.
Harry gelisah. Sejam lagi dia akan berjalan ke lapangan.
"Harry kau butuh tenagamu," kata Seamus Finnigan. "Seeker selalu jadi sasaran serangan tim lawan."
"Terima kasih, Seamus," kata Harry seraya mengawasi Seamus yang memberi saus tomat banyakbanyak ke sosisnya.
Pada pukul sebelas, seluruh sekolah tampaknya sudah memenuhi tempat duduk tinggi di sekeliling lapangan Quidditch. Banyak anak yang membawa teropong. Tempat duduknya memang sudah tinggi sekali, tapi kadang-kadang masih tetap sulit melihat apa yang sedang terjadi.
Ron dan Hermione bergabung dengan Neville, Seamus, dan Dean si penggemar West Ham di deret paling atas. Sebagai kejutan untuk Harry, mereka telah membuat spanduk besar dari seprai yang telah dicabikcabik Scabbers. Tulisannya Potter for President dan Dean, yang pandai menggambar, telah melukis singa besar Gryffindor di bawahnya. Kemudian Hermione menyihirnya sedikit, sehingga catnya berpendar warnawarni.
Sementara itu, di kamar ganti, Harry dan para anggota tim lainnya sedang memakai jubah Quidditch mereka yang berwarna merah (Slytherin akan bermain dengan seragam hijau).
Wood berdeham, meminta anggota-anggotanya diam.
"Oke, men," katanya.
"Dan women," kata Angelina Johnson si Chaser.
"Dan women," Wood setuju. "Ini saatnya."
"Saat penting," kata Fred Weasley.
"Yang sudah lama kita semua nantikan," kata George.
"Kami sudah hafal pidato Oliver," Fred memberitahu Harry.
"Kami sudah masuk tim tahun lalu."
"Tutup mulut, kalian berdua," kata Wood. "Ini tim terbaik yang pernah dimiliki Gryffindor selama beberapa tahun terakhir ini. Kita akan menang. Aku ya-kin."
Dia membelalak kepada mereka semua, seakan ingin mengatakan, "Kalau tidak, awas!"
"Betul. Sudah waktunya. Semoga sukses."
Harry mengikuti Fred dan George meninggalkan kamar ganti dan, berharap lututnya tidak goyah, memasuki lapangan di bawah gemuruh sorakan.
Madam Hooch menjadi wasit. Dia berdiri di tengah lapangan, menunggu kedua tim, dengan sapu di tangannya.
"Aku menginginkan permainan yang jujur, anakanak,"
katanya, setelah mereka semua Berkumpul mengelilinginya.
Harry memperhatikan bahwa Madam Hooch tampaknya bicara khusus kepada kapten Slytherin, Marcus Flint, anak kelas lima.
Bagi Harry tampaknya Flint punya keturunan darah troll. Dari sudut matanya Harry melihat spanduk yang berkibar di atas para penonton, bertulisan Potter for President. Jantungnya berdegup. Dia merasa lebih berani.
"Silakan naik ke sapu kalian."
Harry naik ke atas Nimbus Dua Ribu-nya.
Madam Hooch meniup peluit peraknya keras-keras.
Lima belas sapu meluncur ke atas, makin lama makin tinggi.
Pertandingan dimulai.
"Dan Quaffle langsung berhasil ditangkap oleh Angelina Johnson dari Gryffindor—sungguh Chaser luar biasa cewek satu ini, lumayan menarik, lagi..."
"JORDAN!"
"Maaf, Profesor."
Sahabat si kembar Weasley Lee Jordan, adalah komentator pertandingan ini. la diawasi ketat oleh Profesor McGonagall.
"Dan Angelina benar-benar gesit di atas, lontaran tepat kepada Alicia Spinnet, penemuan baru yang bagus si Oliver Wood, tahun lalu cuma cadangan— kembali ke Angelina dan—
tidak, Slytherin berhasil merebut Quaffle, kapten Slytherin, Marcus Flint, berhasil merebut Quaffle dan meluncur menjauh—Flint terbang bagai elang di atas sana—dia akan mencetak go—tidak, dihentikan oleh gerak hebat Keeper Gryffindor, Wood, dan Gryffindor kembali memegang Quaffle—itu Chaser Katie Bell dari Gryffindor, menukik manis mengitari Flint, naik lagi dan—OUCH—pasti sakit sekali, belakang kepalanya dihantam Bludger— Quaffle berhasil direbut Slytherin—Adrian Pucey melesat menuju gawang, tetapi dia diblok oleh Bludger kedua—yang dilemparkan ke arahnya oleh Fred atau George Weasley, tak bisa membedakan yang mana— yang jelas gerakan bagus dari Beater Gryffindor, dan Angelina kembali memegang bola, tak ada halangan di depannya dan dia meluncur—benar-benar terbang— menghindari Bludger yang melaju cepat ke arahnya— gol di depannya—ayo, ayo, Angelina—Keeper Bletchley menukik— lolos—GOL UNTUK GRYFFINDOR!"
Sorakan anak-anak Gryffindor membahana menembus udara dingin, ditingkah jerit sesal dan ratapan anak-anak Slytherin.
"Geser sedikit."
"Hagrid!"
Ron dan Hermione merapat untuk memberi cukup tempat bagi Hagrid untuk bergabung bersama mereka.
"Dari tadi nonton dari pondokku," kata Hagrid sambil membelai teropong besar yang tergantung di lehernya. "Tapi tidak seseru kalau ada di sini. Snitchnya belum kelihatan?"
"Belum," kata Ron. "Harry belum banyak kerjaan."
"Cuma menghindari serangan, tapi kan susah juga," kata Hagrid, mengangkat teropongnya dan memandang ke langit, ke arah titik yang tak lain tak bukan adalah Harry.
Jauh di atas mereka, Harry melayang di atas para pemain lainnya, menajamkan mata mencari-cari Snitch. Ini bagian dari rencana permainannya bersama Wood.
"Menyingkirlah jauh-jauh sebelum kau melihat Snitch," kata Wood. "Kita tak ingin kau diserang sebelum waktunya."
Ketika Angelina mencetak gol, Harry dua kali melakukan terbang jungkir-balik untuk melepas perasaannya. Sekarang dia sudah mencari-cari Snitch lagi. Sekali dia melihat kilatan emas, tetapi ternyata pantulan arloji salah satu dari si kembar Weasley.
Sekali ada Bludger yang meluncur ke arahnya, tetapi Harry berhasil mengelak dan Fred kemudian mengejar bola itu.
"Baik-baik saja di atas, Harry?" Fred masih sempat berteriak ketika dia memukul Bludger keras-keras ke arah Marcus Flint.
"Slytherin memegang bola," kata Lee Jordan. "Chaser Pucey menunduk menghindari dua Bludger, dua Weasley dan Chaser Bell, dan meluncur ke arah— tunggu—apakah itu Snitch?"
Gumaman merambat di antara para penonton ketika Adrian Pucey menjatuhkan Quaffle, gara-gara terlalu sibuk menoleh memandang kilatan emas yang baru saja melewati telinga kirinya.
Harry melihatnya. Dengan penuh semangat dia menukik menuju kilatan emas itu. Seeker Slytherin, Terence Higgs, juga telah melihatnya. Bersamaan mereka meluncur menuju Snitch—
semua Chaser tampaknya sudah melupakan tugas mereka saat mereka melayang di udara untuk menonton.
Harry lebih cepat daripada Higgs—dia bisa melihat bola kecil bulat itu, dengan sayap berkepak, meluncur ke atas. Harry menambah kecepatan.
BRAK! Gerung marah terdengar dari anak-anak Gryffindor di bawah. Marcus Flint sengaja menabrak Harry dan sapu Harry melenceng keluar jalur, Harry sendiri berpegang erat-erat agar tidak jatuh.
"Curang!" jerit anak-anak Gryffindor.
Madam Hooch memarahi Flint dan memberikan lemparan penalti pada Gryffindor. Tetapi dalam hirukpikuk itu tentu saja Snitch sudah menghilang lagi.
Di tempat duduknya, Dean Thomas berteriak, "Keluarkan dia. Wasit! Kartu merah!"
"Ini bukan sepak bola, Dean," Ron mengingatkan. "Kau tak bisa mengeluarkan pemain dalam Quidditch— dan apa itu kartu merah?"
Tetapi Hagrid membela Dean.
"Mereka harusnya ubah aturannya. Flint bisa bikin Harry jatuh dari atas." Sulit bagi Lee Jordan untuk tidak memihak.
"Jadi—setelah kelicikan yang menyebalkan dan tampak jelas tadi..."
"Jordan!" tegur Profesor McGonagall.
"Maksudku, setelah kecurangan yang terang-terangan dan menjijikkan..."
"Jordan, kuperingatkan kau..."
"Baiklah, baiklah. Flint nyaris membunuh Seeker Gryffindor, ini bisa terjadi pada siapa saja, saya yakin, maka penalti untuk Gryffindor, yang dilakukan oleh Spinnet, dan langsung dilemparkan kembali, tak ada masalah, pertandingan masih berlangsung, Gryffindor masih memegang bola."
Ketika Harry menghindari Bludger lain yang meluncur ke arahnya dengan membahay'akan, sapunya mendadak menukik mengerikan. Sedetik Harry mengira dia akan jatuh.
Dipegangnya erat-erat sapunya dengan kedua tangannya, juga dijepitnya dengan lututnya. Belum pernah dia mengalami yang seperti ini.
Terjadi lagi. Seakan sapu itu ingin melontarkannya. Tetapi Nimbus Dua Ribu tidak tiba-tiba saja ingin menjatuhkan penumpangnya. Harry berusaha menuju ke tiang gawang Gryffindor lagi, terpikir olehnya untuk mengusulkan pada Wood agar minta waktu istkahat sebentar—dan tiba-tiba disadarinya bahwa dia kehilangan kendali atas sapunya. Dia tidak bisa membelokkannya.
Dia bahkan tidak bisa mengontrolnya sama sekali. Sapu itu terbang zig-zag di udara dan berulang-ulang membuat gerakan mengibas yang nyaris membuat Harry jatuh.
Lee masih mengomentari.
"Bola di tangan Slytherin—Flint memegang Quaffle—melewati Spinnet—melewati Bell—muka Flint terhantam Bludger, mudah-mudahan hidungnya patah— cuma bergurau, Profesor—Slytherin mencetak gol—oh, tidaaak...." .
Anak-anak Slytherin bersorak. Tampaknya tak se-orang pun melihat bahwa sapu Harry bertingkah aneh. Sapu itu pelan-pelan membawa Harry makin tinggi, menjauh dari permainan, seraya menyentak dan memelintir.
"Ngapain si Harry," gumam Hagrid. Dia memandang lewat teropongnya. "Kalau tak kenal dia, aku akan bilang dia kehilangan kendali atas sapunya... tapi mana mungkin...."
Mendadak anak-anak di seluruh tribun menunjuknunjuk ke arah Harry. Sapunya berguling-guling, Harry hanya bisa berpegangan agar tidak jatuh. Kemudian semua penonton menahan napas. Sapu Harry menyentak liar dan Harry terlontar dari atasnya. Sekarang dia hanya bergantungan dengan satu tangan saja.
"Apa sesuatu terjadi ketika Flint memblokirnya?" Seamus berbisik.
"Mana mungkin," kata Hagrid, suaranya bergetar. "Tak ada yang bisa pengaruhi sapu itu kecuali Sihir Hitam yang kuat—tak ada anak yang bisa melakukannya kepada Nimbus Dua Ribu."
Mendengar ini Hermione merebut teropong Hagrid, tetapi alih-alih meneropong Harry, dengan panik dia mengarahkannya kepada para penonton.
"Apa yang kaulakukan?" rintih Ron, wajahnya pucat,
"Sudah kuduga," Hermione kaget menahan napas.
"Snape—lihat."
Ron merebut teropong itu. Snape ada di tengah, di deretan tempat duduk yang berhadapan dengan mereka. Matanya tertuju ke arah Harry dan mulutnya komat-kamit tak hentinya.
"Dia sedang berbuat sesuatu—memantrai sapu Harry," kata Hermione.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Serahkan saja padaku."
Sebelum Ron sempat mengucapkan sepatah kata, Hermione sudah lenyap. Ron kembali mengarahkan teropong kepada Harry. Sapunya bergetar begitu hebat, sehingga nyaris tak mungkin baginya untuk bergantung lebih lama lagi. Semua penonton berdiri, mengawasi dengan cemas ketika si kembar Weasley terbang ke atas, mencoba menyelamatkan Harry dengan menariknya ke atas salah satu sapu mereka, tetapi percuma—setiap kali mereka berhasil mendekat, sapu Harry akan melompat makin tinggi lagi. Mereka menukik turun dan memutar di bawahnya, rupanya berharap menangkap Harry jika dia jatuh. Marcus Flint menyambar Quaffle dan mencetak gol lima kali tanpa ada yang memperhatikan.
"Ayo, Hermione," Ron bergumam putus asa.
Hermione dengan susah payah berusaha menuju deretan tempat duduk tempat Snape berdiri dan sekarang berlarian di deretan di belakangnya. Dia bahkan tidak berhenti untuk meminta maaf ketika menabrak Profesor Quirrell sampai jatuh terjerembap ke deretan di depannya. Setibanya di tempat Snape, Hermione berjongkok, mencabut tongkatnya, dan membisikkan beberapa kata pilihan. Nyala a pi biru meluncur dari ujung tongkatnya, menyambar ujung jubah Snape.
Perlu kira-kira tiga puluh detik bagi Snape untuk menyadari bahwa jubahnya terbakar. Jeritan mendadaknya cukup membuat Hermione tahu dia telah melaksanakan tugasnya.
Diraupnya api itu dari jubah Snape dan dimasukkannya ke dalam botol kecil di sakunya, lalu dia berjalan kembali sepanjang deretan tempat duduk yang dilewatinya tadi—Snape tak akan tahu apa yang telah terjadi.
Tetapi itu cukup. Di angkasa, Harry mendadak saja bisa naik kembali ke atas sapunya.
"Neville, kau boleh lihat sekarang!" kata Ron. Se-lama lima menit terakhir ini Neville terisak-isak menyembunyikan wajah di jaket Hagrid.
Harry sedang meluncur ke bawah ketika penonton melihatnya mengatupkan tangan ke mulutnya, seakan dia mau muntah—dia mendarat di lapangan dengan tangan dan kakinya—terbatuk—dan sesuatu yang keemasan jatuh ke tangannya.
"Aku berhasil mendapatkan Snitch!" teriaknya seraya melambaikan Snitch itu di atas kepalanya, dan permainan pun berakhir dengan hiruk-pikuk penuh kebingungan.
"Dia tidak menangkapnya, dia nyaris menelannya," Flint masih uring-uringan dua puluh menit kemudian, tetapi tak ada gunanya—Harry tidak melanggar peraturan, dan Lee Jordan dengan suka cita masih terus mengumandangkan komentarnya—Gryffindor menang dengan skor seratus tujuh puluh lawan enam puluh. Meskipun demikian, Harry sama sekali tidak mendengar semua ini. Dia sedang menghadapi secangkir teh pekat di pondok Hagrid, ditemani Ron dan Hermione.
"Snape pelakunya," Ron menjelaskan. "Hermione dan aku melihatnya. Dia komat-kamit mengutuk sapumu, sama sekali tak melepas pandangannya darimu."
"Omong kosong," kata Hagrid, yang sama sekali tak tahu apa yang terjadi di sebelahnya di arena tadi. "Untuk apa Snape lakukan hal macam itu?"
Harry Ron, dan Hermione saling pandang, bingung bagaimana menjelaskannya. Harry memutuskan untuk berterus terang.
"Aku tak sengaja tahu sesuatu tentang dia," katanya kepada Hagrid. "Dia mencoba melewati anjing kepala tiga itu pada malam Hallowe'en. Anjing itu menggigitnya. Kami menduga dia ingin mencuri entah-apa yang dijaga anjing itu."
Teko teh yang dipegang Hagrid sampai terjatuh. "Bagaimana kalian sampai bisa tahu tentang Fluffy?" katanya.
"Fluffy?"
"Yeah—dia anjingku—kubeli dari orang Yunani yang ketemu aku di rumah minum tahun lalu— kupinjamkan dia ke Dumbledore untuk jaga..."
"Ya?" pancing Harry penuh semangat.
"Jangan tanya-tanya lagi," tukas Hagrid keras. "Itu rahasia besar."
"Tapi Snape mau mencurinya."
"Omong kosong," kata Hagrid lagi. "Snape guru Hogwarts, dia tidak akan berbuat begitu."
"Kalau begitu, kenapa dia mau membunuh Harry?" seru Hermione. Kejadian sore itu rupanya telah mengubah penilaian Hermione tentang Snape.
"Aku bisa mengenali orang yang mau berbuat buruk, Hagrid, aku sudah membaca banyak tentang itu. Kita harus mempertahankan kontak mata, dan Snape sama sekali tidak berkedip. Aku melihatnya!"
"Kuberitahu kalian, kalian keliru!" kat Hagrid panas. "Aku tak tahu kenapa sapu Harry bertingkah seperti itu, tapi Snape tidak akan coba bunuh murid! Sekarang, dengarkan aku, kalian bertiga, kalian campuri hal-hal yang bukan urusan kalian. Itu berbahaya. Lupakan saja anjing itu dan lupakan apa yang di jaganya, itu urusan Profesor Dumbledore dan Nicolas Flamer..."
"Aha!" ceplos Harry. "Jadi ada orang bernama Nicolas Flamel yang terlibat, kan?"
Hagrid kelihatan marah sekali pada dirinya sendiri.

***

12. Cermin Tarzah

NATAL hampir tiba. Suatu pagi di pertengahan Desember, Hogwarts terbangun dalam keadaan sudah berselimut salju setebal kira-kira satu meter. Danau sudah keras membeku dan si kembar Weasley di hukum karena menyihir beberapa bola salju untuk mengikuti Quirrell, dan memantul-mantul dari bagian belakang turbannya. Sedikit burung hantu yang berhasil menembus langit berbadai salju untuk mengantar surat, harus dirawat Hagrid sampai sehat betul sebelum mereka bisa terbang lagi.
Semua sudah tak sabar menunggu datangnya liburan.
Walaupun ruang rekreasi Gryffindor dan Aula Besar punya perapian yang menyala-nyala, koridorkoridor yang biasa berangin telah menjadi sedingin es dan angin dingin kencang menerpa jendela-jendela kelas sampai bergetar. Yang paling parah kelas Profesor Snape di ruang bawah tanah. Di dalam ruang itu napas mereka langsung berubah jadi kabut di depan mata dan mereka berusaha berada sedekat mungkin dengan kuali-kuali panas mereka.
"Aku sungguh kasihan," kata Draco Malfoy dalam salah satu pelajaran Ramuan," pada semua anak yang terpaksa tinggal di Hogwarts selama liburan Natal karena mereka tidak diinginkan di rumahnya."
Dia bicara begitu sambil menoleh memandang Harry. Crabbe dan Goyle tertawa-tawa kecil. Harry yang sedang menakar bubuk tulang punggung ikan lepu, tidak memedulikan mereka.
Malfoy menjadi semakin menyebalkan sejak pertandingan Quidditch yang lalu. Kesal karena Slytherin kalah, dia mencoba membuat lelucon dengan mengatakan kodok bermulut besar akan menggantikan Harry sebagai Seeker dalam pertandingan berikutnya. Kemudian disadarinya bahwa tak seorang pun menganggap ini lucu, karena anakanak amat terkesan dengan bagaimana Harry bisa bertahan di atas sapunya yang menggila.
Maka Malfoy yang iri dan marah, kembali mengejek Harry dengan mengungkit-ungkit bahwa Harry tak punya keluarga.
Memang betul Harry tidak akan pulang ke Privet Drive Natal ini. Profesor McGonagall telah berkeliling minggu sebelumnya, mencatat nama anak-anak yang akan tinggal di Hogwarts selama liburan, dan Harry langsung mendaftar. Dia sendiri sama sekali tidak berkecil hati, mungkin ini bahkan akan jadi Natal paling menyenangkan baginya. Ron dan kakak-kakaknya juga akan tinggal, karena Mr dan Mrs Weasley akan ke Rumania untuk menengok Charlie.
Ketika meninggalkan ruang bawah tanah pada akhir pelajaran Ramuan, mereka melihat pohon cemara besar memblokir koridor di depan. Dua kaki raksasa yang muncul di bagian bawahnya dan napas keras tersengal-sengal memberitahu mereka Hagrid ada di belakang pohon itu.
"Hai, Hagrid, perlu bantuan?" Ron bertanya, seraya menjulurkan kepalanya di antara dahan-dahan.
"Tidak, aku tak apa-apa. Terima kasih, Ron."
"Minggir," terdengar geram dingin Malfoy dari belakang mereka. "Apa kau mencoba cari uang tambahan, Weasley?
Kepingin jadi pengawas binatang liar juga setelah meninggalkan Hogwarts, rupanya—gubuk Hagrid pastilah seperti istana dibanding rumah keluargamu."
Ron menerjang Malfoy tepat ketika Snape menaiki tangga.
"WEASLEY!"
Ron melepas bagian depan jubah Malfoy.
"Dia diprovokasi, Profesor Snape," kata Hagrid, seraya melongokkan wajahnya yang besar berbulu dari balik pohon.
"Malfoy menghina keluarganya."
"Kalaupun betul begitu, berkelahi dilarang di Hogwarts, Hagrid," tukas Snape. "Lima angka dipotong dari Gryffindor, Weasley, dan berterima kasihlah tidak lebih dari itu. Ayo, semua jalan terus."
Malfoy, Crabbe, dan Goyle menerobos kasar melewati pohon sambil menyeringai, membuat daundaun cemara rontok berhamburan.
"Akan kuberi dia pelajaran," kata Ron sambil mengertak gigi di balik punggung Malfoy. "Suatu hari nanti kuberi dia pelajaran..."
"Aku benci mereka berdua," kata Harry. "Malfoy dan Snape."
"Ayo, bergembiralah, sudah hampir Natal," kata Hagrid.
"Begini saja, ikut aku dan lihat Aula Besar, bagus sekali."
Maka Harry, Ron, dan Hermione mengikuti Hagrid dan pohon cemaranya ke Aula Besar. Profesor McGonagall dan Profesor Flitwick sedang sibuk menangani dekorasi Natal.
"Ah, Hagrid, pohon terakhir... taruh saja di sudut paling jauh."
Aula itu tampak spektakuler. Rangkaian holly dan mistletoe bergantungan di sepanjang dinding dan tak kurang dari dua belas pohon Natal menjulang tinggi di sekeliling ruangan, beberapa berkilau dengan untaian air yang membeku, yang lain berkelap-kelip dengan ratusan lilin.
"Berapa hari lagi sebelum kalian libur?" tanya Hagrid.
"Tinggal sehari," kata Hermione. "Dan aku jadi ingat—
Harry, Ron, kita punya waktu setengah jam sebelum makan siang, kita seharusnya ada di perpustakaan."
"Oh, yeah, kau benar," kata Ron, dengan susah payah mengalihkan pandangannya dari Profesor Flitwick yang membuat gelembung-gelembung emas bermunculan dari ujung tongkatnya dan menggantungkannya di dahan-dahan pohon baru tadi.
"Perpustakaan?" kata Hagrid, mengikuti mereka meninggalkan Aula. "Sehari sebelum liburan? Rajin amat."
"Oh, kami tidak belajar," kata Harry riang. "Sejak kau menyebut Nicolas Flamel, kami berusaha mencari tahu siapa dia."
"Apa?" Hagrid tampak kaget. "Dengar... sudah kubilang...
lupakan. Tidak ada hubungannya dengan yang dijaga anjing itu."
"Kami ingin tahu siapa Nicolas Flamel, cuma itu," kata Hermione.
"Kecuali kau mau memberitahu kami, jadi kami tak perlu repot-repot?" Harry menambahkan. "Kami sudah membuka-buka lebih dari seratus buku dan kami tidak bisa menemukannya di mana-mana... coba beri kami petunjuk— rasanya aku sudah pernah membaca nama itu entah di mana."
"Aku tak mau bilang apa-apa," kata Hagrid datar.
"Kalau begitu, ya kami cari sendiri," kata Ron. Mereka lalu meninggalkan Hagrid yang tidak puas dan bergegas menuju perpustakaan.
Mereka memang sudah mencari-cari nama Flamel di buku sejak Hagrid keceplosan sebab, kalau tidak, bagaimana mereka bisa tahu apa yang ingin dicuri Snape? Sulitnya, susah sekali mengetahui dari mana mereka harus mulai, karena tak tahu apa yang pernah dilakukan Flamel yang membuat namanya layak disebut di buku. Dia tidak ada dalam buku Penyihir Besar Abad Dua Puluh atau Nama-nama Terkenal di Dunia Sihir Masa Kini; namanya juga tak disebut dalam Penemuan-penemuan Penting Sihir Modern dan Perkembangan Terakhir dalam Dunia Sihir. Dan tentu saja, harus diingat, betapa besarnya perpustakaan itu: berpuluh-puluh ribu buku, beribu-ribu rak, beratusratus deret sempit.
Hermione mengeluarkan sederet topik dan judul yang telah diputuskannya akan ia cari, sementara Ron berjalan menyusuri deretan buku dan mulai menarik beberapa di antaranya secara acak. Harry berjalan ke Seksi Terlarang. Selama beberapa waktu dia telah berpikir, jangan-jangan nama Flamel ada di sana.
Sayangnya, kau perlu surat keterangan yang ditandatangani salah satu guru untuk bisa meminjam salah satu buku terlarang itu, dan Harry tahu dia tak akan memperoleh surat semacam itu.
Yang ada di bagian ini adalah buku-buku berisi Sihir Hitam manjur yang tak pernah diajarkan di Hogwarts dan hanya dibaca oleh murid-murid kelas lebih tinggi yang pelajarannya tentang Pertahanan terhadap Ilmu Hitam sudah jauh lebih maju.
"Kau cari apa, Nak?"
"Tidak cari apa-apa," jawab Harry.
Madam Pince, petugas perpustakaan,
Mengacungkan pembersih yang terbuat dari bulu ayam pada Harry. "Kalau begitu, lebih baik kau keluar. Ayo... keluar!"
Harry menyesal tidak sedikit lebih cepat memikirkan alasan.
Harry meninggalkan perpustakaan.
Bersama Ron dan Hermione, ketiganya sudah sepakat tidak akan bertanya kepada Madam Pince di mana mereka bisa menemukan Flamel.
Mereka yakin Madam Pince akan bisa memberitahu mereka, tetapi mereka tak mau mengambil risiko Snape mendengar apa yang mereka lakukan.
Harry menunggu di koridor, kalau-kalau kedua temannya menemukan sesuatu, tetapi dia tak terlalu berharap. Mereka memang sudah mencari selama dua minggu, tetapi karena hanya mencari pada waktuwaktu di antara pelajaran, tidaklah mengherankan mereka belum menemukan apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah pencarian panjang tanpa Madam Pince mencurigai mereka.
Lima menit kemudian, Ron dan Hermione bergabung dengannya, menggelengkan kepala. Mereka pergi makan siang.
"Kalian akan mencari terus selama aku tak ada, kan?" kata Hermione. "Dan kirim burung hantu padaku kalau kalian menemukan sesuatu."
"Dan kau bisa bertanya kepada orangtuamu kalaukalau mereka tahu siapa Flamel," kata Ron. "Aman bertanya kepada mereka."
"Sangat aman, karena mereka berdua dokter gigi," kata Hermione.

***

Begitu liburan mulai, Ron dan Harry kelewat senang sehingga tak sempat memikirkan Flamel. Kamar mereka hanya berisi mereka berdua dan ruang rekreasi jauh lebih kosong daripada biasanya, jadi mereka bisa duduk di kursi berlengan nyaman dekat perapian. Mereka duduk lama sekali sambil makan segala ma-cam yang bisa mereka tusuk dengari garpu panggang—roti, kue, manisan—dan merencanakan caracara membuat Malfoy dikeluarkan. Asyik sekali membicarakan itu, walaupun jelas tidak akan terjadi.
Ron juga mengajar Harry main catur sihir. Sebetulnya persis seperti catur Muggle, hanya saja bidakbidaknya hidup, sehingga memainkannya serasa memimpin pasukan tentara dalam pertempuran. Set permainan catur Ron sudah tua dan bocel-bocel. Seperti semua benda lain yang dimilikinya, papan catur itu dulunya milik orang lain dalam keluarganya—dalam hal ini kakeknya. Meskipun demikian, bidak catur tua sama sekali bukan hambatan. Ron sudah kenal baik semuanya, sehingga dia tak pernah punya kesulitan menyuruh mereka melakukan apa yang diinginkannya.
Harry bermain dengan buah-buah catur yang dipinjamkan Seamus Finnigan dan mereka sama sekali tidak mau menurut kepadanya. Dia belum pandai bermain dan bidak-bidak itu terus-menerus meneriakkan saran-saran kepadanya,
membuatnya bingung. "Jangan suruh aku ke sana, apa kau tidak melihat perwira itu? Kirim dia saja, kalau kehilangan dia sih tidak apa-apa."
Pada Malam Natal, Harry pergi tidur dengan gembira, menantikan hari berikutnya, mengharapkan makanan dan kegembiraan, tetapi sama sekali tidak mengharapkan hadiah.
Meskipun demikian, ketika pagi-pagi sekali dia bangun, yang pertama kali dilihatnya adalah tumpukan kecil bungkusan di kaki tempat tidurnya.
"Selamat Natal," kata Ron masih mengantuk ketika Harry turun dari tempat tidur dan memakai jas kamarnya.
"Selamat Natal juga," kata Harry. "Coba lihat ini. Aku dapat hadiah!"
"Tentu saja. Memangnya kau mengharap dapat apa? Lobak?"
kata Ron, menoleh memandang tumpukan hadiahnya, yang jauh lebih banyak daripada hadiah Harry.
Harry mengambil bungkusan paling atas. Hadiah ini terbungkus kertas cokelat tebal dan di atasnya ada tulisan Untuk Harry, dari Hagrid. Di dalamnya ada seruling kayu yang buatannya kasar. Jelas Hagrid membuatnya sendiri. Harry meniupnya—kedengarannya agak mirip bunyi burung hantu.
Yang kedua, amplop kecil berisi surat pendek.
Kami menerima pesanmu dan terlampir hadiah Natal-mu. Dari Paman Vernon dan Bibi Petunia. Tertempel di surat itu dengan selotip adalah sekeping uang logam lima puluh pence.
"Wah, mereka baik," kata Harry.
Ron terpesona melihat keping lima puluh pence itu.
"Aneh," katanya. "Bentuknya ajaib. Ini uang?"
"Boleh buatmu," kata Harry Dia tertawa melihat betapa gembiranya Ron. "Hagrid dan bibi dan pamanku—jadi siapa yang mengirim ini?"
"Kurasa aku tahu yang itu dari siapa," kata Ron, wajahnya agak memerah, seraya menunjuk bungkusan yang bentuknya tak beraturan. "Ibuku. Aku bilang padanya kau tidak berharap mendapat hadiah dan— oh, tidak," dia mengeluh, "dia membuatkanmu rompi Weasley."
Harry sudah merobek bungkusan itu dan menemukan sweter rajutan tanpa lengan berwarna hijau zamrud dan satu kotak besar bonbon lunak buatan sendiri.
"Setiap tahun dia membuatkan kami rompi," kata Ron, seraya membuka bungkusannya sendiri, "dan rompiku selalu merah tua."
"Ibumu baik sekali," kata Harry. Dia mencoba bonbonnya, yang ternyata enak sekali.
Hadiahnya berikutnya juga berisi makanan kecil— sekotak besar Cokelat Kodok dari Hermione.
Tinggal satu hadiah lagi. Harry mengambilnya dan menimangnya. Ringan sekali. Dibukanya bungkus hadiah itu.
Sesuatu yang licin berwarna abu-abu keperakan meluncur ke lantai, teronggok berkilauan. Ron kaget sekali.
"Aku sudah mendengar tentang itu," katanya terpesona, kotak Kacang Segala-Rasa yang didapatnya dari Hermione sampai terjatuh. "Kalau itu betul seperti dugaanku—itu sangat langka dan sangat berharga."
"Apa ini?"
Harry memungut kain berkilau keperakan itu dari lantai.
Rasanya aneh, seperti air yang ditenun menjadi kain.
"Ini Jubah Gaib," kata Ron, wajahnya tampak kagum. "Aku yakin ini Jubah Gaib—coba paka i." Harry menyampirkan jubah itu di sekeliling bahunya dan Ron langsung memekik.
"Betul! Lihat ke bawah!"
Harry memandang ke bawah, ke kakinya, tapi ternyata tak ada. Dia berlari ke depan cermin. Memang bayangannya memandang kepadanya, tapi hanya kepalanya yang melayang di udara, seluruh tubuhnya sama sekali lenyap. Ditariknya jubah itu menutupi kepalanya, dan bayangannya lenyap seluruhnya.
"Ada suratnya!" kata Ron tiba-tiba. "Ada surat yang jatuh dari jubah itu!"
Harry melepas jubahnya dan menyambar suratnya.
Tertulis dalam huruf-huruf ramping berliuk yang belum pernah dilihatnya, kata-kata berikut ini:
Ayahmu menitipkannya kepadaku sebelum dia meninggal.
Sudah waktunya ini di kembalikan kepadamu, Gunakan baik-baik.
Selamat Hari Natal yang menyenangkan untukmu.
Tak ada tanda tangan. Harry bengong memandang surat itu.
Ron sibuk mengagumi jubah itu. "Aku rela memberikan apa saja untuk mendapatkan ini," katanya. "Apa saja. Ada apa?"
"Tidak apa-apa," kata Harry. Dia merasa sangat aneh. Siapa yang mengirim jubah ini? Betulkah ini dulu milik ayahnya?
Sebelum dia bisa berkata atau berpikir apa-apa lagi, pintu kamar menjeblak terbuka dan Fred dan George Weasley melompat masuk. Harry cepat-cepat menyingkirkan jubah itu.
Dia belum rela membaginya dengan orang lain.
"Selamat Natal!"
"Hei, lihat—Harry dapat rompi Weasley juga!"
Fred dan George memakai rompi biru, yang satu dengan huruf F besar kuning, satunya lagi dengan huruf G besar kuning.
"Tapi rompi Harry lebih bagus daripada punya kita," kata Fred seraya mengangkat rompi Harry. "Jelas Mum berusaha lebih keras kalau membuatkan sesuatu bukan untuk keluarga."
"Kenapa milikmu tidak kaupakai, Ron?"
George mempertanyakan. "Ayo pakai, rompinya kan bagus dan hangat." "Aku benci merah," Ron mengeluh setengah hati sambil menarik rompinya melewati kepalanya.
"Punyamu tidak ada hurufnya," George baru sadar.
"Rupanya Mum mengira kau tidak akan melupakan namamu.
Tetapi kami tidak bodoh—kami tahu nama kami Gred dan Forge."
"Ada apa sih, ribut amat?"
Percy Weasley menjulurkan kepalanya ke dalam kamar, kelihatan tidak senang. Rupanya dia juga baru membuka hadiahnya, karena dia juga membawa rompi yang tersampir di tangannya. Fred segera menyambar rompi itu.
"P untuk Prefek! Pakailah, Percy ayo, kami semua memakai rompi kami, bahkan Harry juga."
"Aku... tak... mau...," kata Percy sementara si kembar memaksakan rompi itu melewati kepalanya, membuat kacamatanya miring.
"Dan hari ini kau kan tidak bersama para Prefek lainnya,"
kata George. "Natal kan waktu untuk keluarga."
Mereka menggiring Percy keluar ruangan, rompinya menjepit lengannya.

***

Seumur hidup belum pernah Harry mengalami jamuan Natal seperti itu. Seratus kalkun panggang gemuk, segunung kentang panggang dan rebus, berpiring-piring chipolata berminyak, bermangkuk-mangkuk kacang polong bermentega, bermacam-macam saus lezat—dan bertumpuk-tumpuk petasan sihir di setiap jarak satu meter di sepanjang meja. Petasan luar biasa ini sama sekali lain daripada petasan Muggle yang sering dibeli keluarga Dursley di dalamnya ada hadiah mainan plastik kecilkecil dan topi kertas tipis. Bersama Fred, Harry menarik sebuah petasan sihir, dan petasan itu tidak cuma meletus, melainkan menggelegar seperti bunyi meriam dan menyelubungi mereka semua dengan asap biru, sementara dari dalamnya meletup topi laksamana berwarna merah bersama beberapa ekor tikus putih hidup. Di Meja Tinggi, Dumbledore telah menukar topi runcingnya dengan topi berbunga-bunga dan sedang tertawa-tawa mendengar lelucon yang dibacakan Profesor Flitwick.
Puding Natal menyala dihidangkan setelah kalkun. Gigi Percy nyaris patah ketika dia menggigit Sickle perak yang terselip di potongan pudingnya. Harry memandang Hagrid yang wajahnya makin lama makin merah sementara dia terusmenerus minta tambah anggur, dan akhirnya mencium pipi Profesor McGonagall. Betapa tercengangnya Harry melihat Profesor McGonagall terkikik dan mukanya memerah, topinya miring.
Ketika Harry akhirnya meninggalkan meja perjamuan, dia membawa banyak hadiah dari petasan, termasuk satu pak balon menyala anti pecah, seperangkat alat untuk menumbuhkan tahi lalatmu sendiri, dan set permainan catur sihir barunya. Tikus-tikus putihnya telah menghilang dan Harry punya perasaan tak enak mereka akan berakhir sebagai santapan Natal Mrs Norris.
Harry dan Weasley bersaudara melewatkan sore menyenangkan dengan perang bola salju seru di halaman.
Setelah itu, kedinginan, basah kuyup, dan terengah kehabisan napas, mereka kembali ke depan perapian di ruang rekreasi Gryffindor. Di tempat itu Harry pertama kali memainkan set catur barunya dengan hasil kalah telak dari Ron. Dia merasa tidak akan kalah separah itu jika Percy tidak mencoba membantunya terus-menerus.
Setelah acara minum teh sore dengan sajian sandwich kalkun, kue-kue manis, dan kue tar Natal, semua merasa terlalu kenyang dan mengantuk untuk melakukan sesuatu sebelum tidur. Jadi mereka duduk saja, menonton Percy mengejar Fred dan George mengitari Menara Gryffindor karena mereka telah mencuri lencana Prefeknya.
Hari itu merupakan Natal paling indah bagi Harry. Meskipun demikian, ada yang mengganggu pikirannya sepanjang hari.
Sebelum dia naik ke tempat tidurnya, dia tak bebas memikirkannya: Jubah Gaib dan pengirimnya yang entah siapa.
Ron, kekenyangan kalkun dan kue tar dan tanpa ada hal misterius yang mengganggunya, langsung tertidur begitu dia menarik kelambu tempat tidurnya. Harry membungkuk ke sisi tempat tidurnya dan menarik keluar Jubah Gaib dari bawahnya.
Milik ayahnya... ini dulu milik ayahnya. Dibiarkannya kain itu meluncur di tangannya, lebih halus dari sutra, seringan udara. Gunakan baik-baik, begitu kata suratnya.
Dia haras mencoba jubah ini sekarang. Dia turun dari tempat tidurnya dan menyampirkan jubah itu ke tubuhnya.
Memandang ke bawah ke kakinya, dia hanya melihat cahaya bulan dan bayang-bayang.
Gunakan baik-baik.
Mendadak, kantuk Harry lenyap. Seluruh Hogwarts terbuka untuknya kalau dia memakai jubah ini. Ketegangan menyenangkan mengaliri tubuhnya saat dia berdiri dalam kegelapan dan kesunyian. Dia bisa pergi ke mana pun dengan jubah ini, ke mana pun, dan Filch tidak akan tahu.
Ron mengigau dalam tidurnya.
Haruskah Harry membangunkannya? Ada yang menahannya—jubah ayahnya— dia merasa bahwa kali ini... untuk pertama kalinya... dia ingin menggunakannya sendiri.
Dia berjingkat meninggalkan kamarnya, menuruni tangga, menyeberangi ruang rekreasi, dan memanjat keluar dari lubang lukisan.
"Siapa itu?" lengking si Nyonya Gemuk. Harry tidak menjawab. Dia berjalan cepat-cepat sepanjang koridor.
Ke mana sebaiknya? Harry berhenti, jantungnya berdegup kencang, dan dia berpikir. Dan dia mendapat ide. Seksi Terlarang di perpustakaan. Dia akan bisa membaca selama dia mau, selama yang dibutuhkan untuk menemukan siapa Flamel.
Dia ke perpustakaan, menarik Jubah Gaibnya semakin rapat sementara ia melangkah.
Perpustakaan gelap gulita dan suasananya mengerikan. Harry menyalakan lampu agar bisa berjalan sepanjang deretan rak-rak buku. Lampunya seperti melayang di udara, dan meskipun Harry bisa merasakan tangannya memegangi lampu itu, pemandangan aneh ini membuatnya ngeri.
Seksi Terlarang terletak di bagian paling belakang.
Melangkah hati-hati melewati tali yang memisahkan buku-buku ini dari buku-buku lainnya di perpustakaan, Harry mengangkat lampunya agar bisa membaca judul-judulnya.
Judul-judul itu tidak banyak membantunya. Huruf-huruf emasnya yang sudah mengelupas membentuk kata-kata dalam bahasa yang tidak bisa dipahami Harry. Beberapa buku bahkan tidak ada judulnya sama sekali. Satu buku bernoda gelap yang kelihatan mirip sekali darah. Bulu kuduk Harry berdiri. Mungkin itu cuma perasaannya, mungkin juga tidak, tetapi Harry merasa bisikan samar terdengar dari buku-buku itu, seakan mereka tahu ada orang yang seharusnya tidak berada di situ.
Dia toh harus mulai. Setelah meletakkan lampunya dengan hati-hati di lantai, dia mencari buku yang tampilannya menarik di rak paling bawah. Sebuah buku besar hitam-perak menarik perhatiannya. Ditariknya keluar dengan susah payah, karena buku itu sangat berat. Harry meletakkannya di atas lututnya dan membukanya.
Jeritan melengking membekukan darah memecah kesunyian—buku itu menjerit! Harry cepat-cepat menutupnya kembali, tetapi jeritan itu terus terdengar, jerit melengking panjang yang memekakkan telinga.
Harry terhuyung ke belakang dan menabrak lampunya, yang langsung padam. Panik mendengar langkahlangkah kaki mendekat di koridor di luar—dijejalkannya kembali buku menjerit itu ke raknya, lalu dia lari. Dia berpapasan dengan Filch di dekat pintu. Mata Filch yang pucat dan lebar memandang menembusnya dan Harry menyelusup di bawah lengan Filch yang terentang dan berlari sepanjang koridor, jeritan si buku masih melengking di telinganya.
Dia berhenti mendadak di depan seperangkat baju zirah tinggi. Dia terlalu sibuk kabur dari perpustakaan, sampai tidak memperhatikan arah larinya. Mungkin karena gelap, dia sama sekali tidak mengenali keadaan sekelilingnya. Ada baju zirah di dekat dapur, dia tahu, tetapi dia pasti berada lima lantai di atas dapur.
"Kau memintaku untuk langsung menemuimu, Profesor, jika ada yang berkeliaran di malam hari, dan baru saja ada orang di perpustakaan—Seksi Terlarang."
Harry merasa wajahnya memucat. Di mana pun dia saat itu, Filch pastilah tahu jalan pintas, karena suaranya yang lembut dan lancar terdengar dekat, dan betapa kagetnya Harry, karena ternyata Snapelah yang menjawab.
"Seksi Terlarang? Yah, mereka pasti belum jauh, kita akan menangkap mereka."
Harry terpaku di tempatnya ketika Filch dan Snape muncul di sudut di depan. Mereka tak bisa melihatnya, tentu, tetapi koridor itu sempit dan jika mereka lebih mendekat lagi mereka akan menabraknya—jubah itu tidak membuatnya menjadi tidak padat.
Dia mundur sepelan mungkin. Ada pintu terbuka sedikit di sebelah kiri. Itu satu-satunya harapan. Dia menyelinap masuk, menahan napas, berusaha tidak menyenggol pintu, dan betapa leganya ketika dia berhasil masuk tanpa Snape dan Filch menyadarinya. Mereka berjalan terus dan Harry bersandar ke din-ding, menarik napas dalam-dalam, mendengarkan langkahlangkah mereka yang semakin jauh. Nyaris saja, sangat nyaris.
Baru beberapa detik kemudian dia memperhatikan ruang tempatnya bersembunyi.
Kelihatannya itu ruang kelas yang sudah tidak terpakai. Meja dan kursi bertumpuk di salah satu din-ding, juga tempat sampah terbuka, tetapi... bersandar pada dinding, menghadap ke arahnya, ada sesuatu yang tampaknya tidak layak berada di situ, sesuatu yang kelihatannya sengaja disembunyikan di situ.
Benda itu cermin luar biasa, setinggi langit-langit, dengan bingkai emas terukir, berdiri di atas dua cakar. Ada tulisan terukir di bagian atasnya: Erised stra ehru oyt ube cafru oyt on wohsi.
Kepanikannya mulai luntur setelah tak terdengar lagi suara Filch dan Snape. Harry bergerak mendekati cermin itu, ingin memandang dirinya, tetapi tak melihat bayangan apa pun. Dia melangkah sampai ke depan cermin.
Dia harus menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegahnya menjerit. Buru-buru dia membalik. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang daripada ketika buku tadi menjerit—karena dia tak hanya melihat dirinya di cermin...
serombongan orang lain berdiri di belakangnya.
Tetapi ruangan itu kosong. Dengan napas memburu, perlahan dia menoleh kembali ke cermin.
Itu dia, terpantul di cermin, pucat dan ketakutan, dan di sana, di belakangnya, ada paling sedikit sepuluh orang lain. Harry menoleh lewat bahunya—tetap saja tak ada orang. Apakah mereka semua juga tidak tampak? Apakah sebetulnya dia berada di ruangan penuh dengan orang-orang yang tidak tampak, dan keajaiban cermin itu justru memperlihatkan semua orang itu, yang tampak maupun yang tidak?
Kembali Harry memandang cermin. Seorang wanita yang berdiri tepat di belakang bayangannya tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan. Harry mengulurkan tangan dan merasakan udara kosong di belakangnya. Jika wanita itu benarbenar ada di sana, dia akan bisa menyentuhnya, bayangan mereka sangat berdekatan, tetapi dia hanya merasakan udara— wanita itu dan yang lain hanya ada di dalam cermin.
Wanita itu sangat cantik. Rambutnya merah gelap dan matanya—matanya persis mataku, pikir Harry, ber ingsut mendekat ke cermin. Hijau terang—bentuknya persis sama, tetapi kemudian Harry melihat wanita itu menangis; tersenyum tetapi pada saat bersamaan, menangis. Laki-laki jangkung kurus berambut hitam di sebelahnya, memeluknya. Laki-laki itu memakai kacamata, dan rambutnya berantakan sekali.
Rambutnya mencuat di bagian belakang, persis seperti rambut Harry.
Harry berada dekat sekali dengan cermin sekarang sehingga hidungnya nyaris menyentuh hidung bayangannya.
"Mum?" bisiknya. "Dad?"
Mereka hanya memandangnya, tersenyum. Dan perlahan-lahan Harry memandang wajah orang-orang lain di dalam cermin, dan melihat mata-mata hijau lain seperti matanya, hidung lain seperti hidungnya, bahkan seorang laki-laki tua kecil yang lututnya menonjol seperti Harry—Harry sedang memandang keluarganya, untuk pertama kali dalam hidupnya.
Keluarga Potter tersenyum dan melambai dan Harry balik menatap mereka dengan tak puas-puasnya, kedua tangannya menekan kaca, seakan dia berharap terjatuh ke dalamnya dan bergabung dengan mereka. Hatinya terasa sakit, setengah bahagia, setengah berduka.
Berapa lama dia berdiri di sana, dia tidak tahu. Bayangan orang-orang itu tidak menghilang dan Harry memandang terus sampai suara di kejauhan membuatnya tersadar. Dia tak bisa terus berada di sini, dia harus kembali ke asramanya. Dengan amat enggan dia berpaling dari wajah ibunya, berbisik, "Aku akan kembali," dan bergegas meninggalkan ruangan itu.

***

"Kau seharusnya membangunkan aku," kata Ron marah.
"Kau boleh ikut malam ini, aku akan ke sana lagi, aku ingin menunjukkan cermin itu kepadamu."
"Aku ingin lihat ibu dan ayahmu," kata Ron bersemangat.
"Dan aku ingin melihat semua keluargamu, kau akan bisa menunjukkan dua kakakmu yang paling besar dan keluargamu yang lain."
"Kau bisa melihat mereka kapan saja," kata Ron. "Ikutlah ke rumahku musim panas ini. Lagi pula, mungkin cermin itu cuma menunjukkan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali kau tidak menemukan Flamel. Makan daging asap ini, atau apalah Kenapa kau tidak makan apa-apa?"
Harry tak bisa makan. Dia sudah melihat orangtuanya dan akan melihat mereka lagi malam ini. Dia sudah hampir melupakan Flamel. Flamel kelihatannya tak begitu penting lagi, Siapa yang peduli apa yang dijaga anjing berkepala tiga itu?
Sebetulnya, peduli apa kalau Snape mencurinya?
"Kau tak apa-apa?" tanya Ron. "Kau tampak aneh."

***

Yang paling ditakuti Harry adalah dia tak bisa lagi menemukan ruang cermin itu. Berselubung jubah, bersama Ron, mereka harus berjalan jauh lebih pelan pada malam berikutnya.
Mereka mencoba napak tilas rute Harry dari perpustakaan, berputar-putar di lorong-lorong gelap selama hampir satu jam.
"Aku kedinginan," kata Ron. "Ayo, kita lupakan saja dan balik ke kamar."
"Tidak!" desis Harry. "Aku tahu ruang itu ada di sekitar sini."
Mereka berpapasan dengan hantu penyihir jangkung yang melayang ke arah berlawanan, tetapi tidak bertemu siapa-siapa lagi. Tepat ketika Ron mulai mengeluh kakinya beku kedinginan, Harry melihat baju zirah itu.
"Itu ruangannya—di sini—ya!" Mereka mendorong pintunya.
Harry menjatuhkan jubah dari bahunya dan berlari ke cermin.
Itu dia mereka. Ayah dan ibunya tersenyum melihatnya.
"Lihat?" Harry berbisik.
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Lihat! Lihat mereka semua... kan banyak itu...."
"Aku cuma bisa melihatmu."
"Lihat baik-baik, sini, berdiri di tempatku." Harry minggir, tetapi dengan Ron di depan cermin, dia tak bisa lagi melihat keluarganya, hanya melihat Ron yang memakai piama. Ron, sebaliknya, terpaku menatap bayangannya. "Lihat aku!"
katanya. "Apakah kau bisa melihat semua keluargamu mengelilingimu?"
"Tidak... aku sendirian... tetapi aku berbeda... aku kelihatan lebih tua... dan aku Ketua Murid!"
"Apa?"
"Aku... aku memakai lencana seperti yang dulu dipakai Bill...
dan aku memegang Piala Asrama dan. Piala Quidditch... aku juga kapten Quidditch!" Ron memalingkan wajah dari pemandangan luar biasa ini untuk menatap Harry dengan bergairah.
"Apakah menurutmu cermin ini memperlihatkan masa depan?"
"Mana bisa? Semua keluargaku sudah meninggal— coba aku lihat lagi...."
"Kau kan sudah puas melihat semalam, beri aku kesempatan sedikit lagi."
"Kau cuma memegang Piala Quidditch, apa menariknya?
Aku ingin melihat orangtuaku."
"Jangan mendorongku..." Mendadak terdengar suara di koridor, mengakhiri perdebatan mereka. Mereka tidak sadar telah bicara keras-keras.
"Cepat!" Ron menyampirkan jubah ke tubuh mereka ketika mata berkilau Mrs Norris muncul dari balik pintu. Ran dan Harry berdiri diam-diam, keduanya memikirkan hal yang sama—apakah jubah ini berlaku untuk kucing juga? Setelah rasanya lama sekali, kucing iru berbalik dan pergi.
"Sudah tidak aman—siapa tahu dia menemui Filch. Pasti tadi dia mendengar kita. Ayo." Dan Ron menarik Harry meninggalkan ruangan itu.

***

Salju masih belum mencair keesokan harinya. "Mau main catur, Harry?" tanya Ron.
"Tidak."
"Bagaimana kalau kita mengunjungi Hagrid?"
"Tidak... kau saja...."
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Harry cermin itu. Jangan kembali ke sana malam ini."
"Kenapa tidak?"
"Aku tak tahu, cuma perasaanku tidak enak—lagi pula, kau sudah nyaris ketahuan beberapa kali. Filch, Snape, dan Mrs Norris berkeliaran. Memang mereka tidak bisa melihatmu. Tapi bagaimana kalau mereka menabrakmu? Bagaimana kalau kau menabrak sesuatu?"
"Kau jadi seperti Hermione."
"Aku serius, Harry, jangan pergi."
Tapi Harry cuma memikirkan satu hal saja, yaitu kembali ke depan cermin, dan Ron tak bisa menghalanginya.
***
Malam ketiga dia menemukan kamar itu lebih cepat daripada sebelumnya. Dia berjalan sangat cepat, dia tahu itu tidak bijaksana, sebab dia membuat suara, tetapi dia tidak bertemu siapa-siapa.
Dan ayah dan ibunya tersenyum lagi kepadanya, dan salah satu kakeknya mengangguk-angguk senang. Harry merosot duduk di depan cermin. Tak ada yang bisa mencegahnya tinggal di sini semalam suntuk bersama keluarganya. Tak ada.
Kecuali...
"Wah... kembali lagi, Harry?"
Harry merasa seakan organ-organ tubuhnya telah berubah jadi es. Dia menoleh ke belakang. Duduk di salah satu meja dekat dinding, tak lain dan tak bukan adalah Albus Dumbledore.
Harry pastilah tadi melewatinya, begitu bersemangat ingin segera ke cermin sampai dia tidak melihatnya.
"Saya... saya tidak melihat Anda, Sir."
"Aneh, bagaimana 'tidak kelihatan' membuatmu rabun," kata Dumbledore, dan Harry lega melihatnya tersenyum.
"Jadi," kata Dumbledore, turun dari meja untuk duduk di lantai bersama Harry, "kau, seperti beratusratus orang lainnya sebelum kau, telah menemukan kesenangan yang bisa didapat dari Cermin Tarsah."
"Saya tak tahu namanya begitu, Sir."
"Tapi kurasa sekarang kau sudah menyadari apa yang dilakukan cermin itu?"
"Cermin itu... cermin itu memperlihatkan keluarga saya..."
"Dan memperlihatkan kepada Ron dirinya sebagai Ketua Murid."
"Bagaimana Anda tahu...?"
"Aku tak memerlukan jubah agar bisa tidak kelihatan," kata Dumbledore lembut. "Nah, sekarang, bisakah kaupikirkan apa yang ditunjukkan Cermin Tarsah kepada kita semua?"
Harry menggeleng.
"Biar kujelaskan. Orang yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Tarsah seperti cermin biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia hanya melihat dirinya seperti apa adanya. Apakah ini membantu?"
Harry berpikir. Kemudian dia berkata perlahan, "Cermin itu memperlihatkan kepada kita apa yang kita inginkan... apa saja yang kita inginkan..."
"Ya dan tidak," kata Dumbledore pelan. "Cermin itu hanya menunjukkan hasrat hati kita yang paling mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu. Ronald Weasley yang selalu merasa minder dengan kesuksesan kakakkakaknya, melihat dirinya berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka. Bagaimanapun juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan maupun kebenaran. Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin ini, terpesona oleh apa yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya, karena tak tahu apakah yang diperlihatkan cermin itu riil atau bahkan mungkin.
"Besok cermin ini akan dipindahkan ke tempat baru, Harry dan aku memintamu agar tidak mencarinya lagi. Jika suatu kali nanti kau kebetulan melihatnya lagi, kau sudah siap. Tak ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup,
ingat itu. Nah, sekarang bagaimana kalau kaupakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?"
Harry bangkit. "Sir—Profesor Dumbledore? Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Jelas, kau baru saja bertanya," Dumbledore tersenyum.
"Tapi kau boleh tanya satu hal lagi."
"Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?"
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."
Harry melongo.
"Semua orang selalu membutuhkan kaus kaki baru," kata Dumbledore. "Natal sudah berlalu lagi dan aku tak dapat kaus kaki sepasang pun. Orang-orang bersikeras memberiku buku."
Baru ketika dia sudah kembali di tempat tidurnya, terlintas di benak Harry bahwa Dumbledore mungkin tidak sepenuhnya jujur. Tetapi, pikir Harry seraya mendorong Scabbers dari bantalnya, pertanyaannya tadi cukup pribadi.

***

13. Nicolas Flamel

DUMBLEDORE telah meyakinkan Harry agar tidak mencari-cari Cermin Tarsah lagi dan selama sisa liburan Natal, Jubah gaib tetap terlipat di dasar koper Harry. Harry ingin sekali segera melupakan apa yang pernah di lihatnya di cermin. tetapi tidak bisa. Dia mulai mendapat mimpi buruk. Berkali-kali dia bermimpi tentang orang tuanya yang menghilang dalam kilatan cahaya hijau sementara terdengar tawa tinggi melengking.
"Lihat, kan, Dumbledore benar. Cermin itu bisa membuatmu gila," kata Ron, ketika Harry bercerita tentang mimpi buruknya.
Hermione, yang kembali sehari sebelum semester baru dimulai, punya pandangan lain tentang kejadian itu. Dia setengahnya merasa ngeri membayangkan Harry meninggalkan kamar, berkeliaran di sekolah selama tiga malam berturut-turut ("Bagaimana kalau Filch menangkapmu!") dan setengahnya merasa kecewa karena dia tidak berhasil menemukan siapa Nicolas Flamel.
Mereka sudah nyaris kehilangan harapan menemukan Flamel dalam buku perpustakaan, meskipun Harry masih yakin dia pernah membaca nama itu entah di mana. Begitu semester baru mulai, mereka kembali membuka-buka buku selama sepuluh menit dalam waktu istirahat mereka. Waktu Harry bahkan lebih sedikit dari kedua temannya, karena masa latihan Quidditch sudah mulai lagi.
Wood melatih timnya lebih keras dari sebelumnya. Bahkan hujan yang turun terus menggantikan salju tidak mematahkan semangatnya. Si kembar Weasley mengeluh Wood telah menjadi fanatik, tetapi Harry memihak Wood. Jika mereka memenangkan pertandingan berikutnya, melawan Hufflepuff, mereka akan menyusul Slytherin dalam Kejuaraan Antar-Asrama untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun. Lepas dari keinginan untuk menang, Harry menyadari bahwa mimpi buruknya berkurang jika dia kelelahan sehabis berlatih.
Kemudian, dalam satu sesi latihan di bawah hujan deras dan berlumpur, Wood menyampaikan kabar buruk kepada timnya.
Dia baru saja marah besar kepada si kembar Weasley yang tak henti-hentinya saling serang dan berpura-pura terpeleset dari sapu mereka.
"Kalian bisa tidak sih berhenti main-main!" teriaknya.
"Tindakan seperti itulah yang akan membuat kita kalah dalam pertandingan! Snape akan jadi wasit kali ini dan dia akan mencari-cari segala alasan untuk mengurangi angka Gryffindor!"
George Weasley benar-benar jatuh dari sapunya mendengar ini.
"Snape jadi wasit?" katanya dengan mulut penuh lumpur.
"Kapan dia pernah jadi wasit pertandingan Quidditch? Dia pasti tidak akan bersikap adil jika ada kemungkinan kita menyusul Slytherin." Anggota tim lain mendarat di sisi George untuk ikut mengeluh.
"Bukan salahku," kata Wood. "Yang jelas kita harus menjamin bahwa kita bermain bersih, sehingga Snape tak akan punya alasan untuk menyalahkan kita."
Boleh saja begitu, pikir Harry, tetapi dia punya alasan lain tidak menginginkan Snape berada di dekatnya selagi dia bermain Quidditch....
Anggota tim yang lain masih tinggal mengobrol seperti biasanya seusai latihan, tetapi Harry langsung kembali ke ruang rekreasi Gryffindor. Ron dan Hermione sedang bermain catur di situ. Catur adalah satu-satunya kegiatan yang Hermione bisa kalah, sesuatu yang menurut Harry dan Ron sangat baik untuknya.
"Jangan dulu bicara padaku," kata Ron ketika Harry duduk di sebelahnya. "Aku perlu konsen..." Terlihat olehnya wajah Harry. "Kenapa kau? Kau kelihatan sakit."
Bicara pelan-pelan supaya tak ada yang mendengar, Harry memberitahu kedua temannya tentang keinginan mendadak Snape untuk menjadi wasit Quidditch.
"Jangan main," kata Hermione segera.
"Bilang saja kau sakit," kata Ron.
"Pura-pura kakimu patah," Hermione mengusulkan.
"Patahkan benar-benar saja," kata Ron.
"Tidak bisa," kata Harry. "Tak ada Seeker cadangan. Kalau aku mundur, Gryffindor sama sekali tak bisa main."
Saat itu Neville terguling masuk ke ruang rekreasi.
Bagaimana dia bisa memanjat lubang lukisan tak bisa ditebak, karena kakinya saling menempel. Penyebabnya langsung mereka kenali, Kutukan Kaki Terkunci. Dia pastilah harus melompat-lompat naik ke Menara Gryffindor.
Semua tertawa, kecuali Hermione. Dia langsung melompat bangun dan mengucapkan mantra kontrakutukan. Kaki Neville terpisah dan dia berdiri, gemetar.
"Apa yang terjadi?" Hermione bertanya kepadanya, mengajaknya duduk di dekat Harry dan Ron.
"Malfoy," kata Neville gemetar. "Aku bertemu dia di depan perpustakaan. Dia bilang dia sedang mencari-cari anak yang bisa dipakainya melatih kutukan itu."
"Temui Profesor McGonagall!" Hermione mendorong Neville. "Laporkan dia!"
Neville menggeleng.
"Aku tak mau menambah keruwetan," gumamnya.
"Kau harus berani menghadapinya, Neville!" kata Ron. "Dia terbiasa berbuat semena-mena. terhadap orang lain, tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk menyerah dan tidak menyulitkannya."
"Tak perlu memberitahu kalau aku tidak cukup berani untuk menjadi anggota Gryffindor. Malfoy Sudah melakukannya,"kata Neville tersendat.
Harry merogoh kantong jubahnya dan mengeluarkan Cokelat Kodok, cokelat terakhir dari kotak hadiah Natal Hermione.
Diberikannya kepada Neville, yang kelihatannya mau menangis.
"Kau berharga dua belas kali lipat Malfoy," kata Harry. "Topi Seleksi memilihmu untuk Gryffindor, kan? Dan di mana Malfoy? Di Slytherin yang bau."
Bibir Neville bergetar membentuk senyum lemah ketika dia membuka bungkus Cokelat Kodok. "Terima kasih, Harry...
kurasa aku akan tidur... Kau mau kartunya? Kau koleksi, kan?"
Setelah Neville pergi, Harry memandang kartu Penyihir Terkenalnya.
"Dumbledore lagi," katanya. "Dia yang pertama..."
Harry tercekat kaget. Terbelalak memandang bagian belakang kartunya. Kemudian dia mendongak, memandang Ron dan Hermione.
"Sudah kutemukan dia!" bisiknya. "Aku sudah menemukan Flamel! Sudah kukatakan aku pernah membaca namanya entah di mana sebelumnya. Rupanya aku membacanya di kereta api yang membawaku ke sini—dengar ini, 'Profesor Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penyihir aliran hitam Grindelwald pada tahun 1945, penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya, Nicolas Flamel!"
Hermione langsung melompat berdiri. Belum pernah dia kelihatan segembira ini sejak mereka mendapat nilai untuk PR pertama mereka dulu.
"Tunggu di sini!" katanya, dan dia berlari menaiki tangga ke kamar anak-anak perempuan. Harry dan Ron baru sempat bertukar pandang heran ketika dia sudah kembali sambil memeluk buku yang sangat besar.
"Tak pernah terpikir olehku untuk mencari di sini!" bisiknya tegang. "Aku pinjam ini dari perpustakaan beberapa minggu lalu untuk bacaan ringan."
"Ringan?" kata Ron, tetapi Hermione menyuruhnya diam sampai dia menemukan sesuatu, lalu dia mulai membuka-buka buku itu dengan cepat, seraya bergumam sendiri.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga!"
"Apa kami sudah boleh ngomong sekarang?" gerutu Ron.
Hermione tidak mengacuhkannya. "Nicolas Flamel," bisiknya dramatis, "adalah satusatunya yang dikenal sebagai pembuat Batu Bertuah!" Ucapannya ini tidak menghasilkan efek yang di harapkan Hermione.
"Batu apa?" tanya Harry dan Ron. "Oh, astaga, apa kalian berdua tidak membaca? Lihat... baca ini." Didorongnya buku itu ke arah mereka, dan Harry dan Ron membaca: Ilmu kuno alkimia berkenaan dengan pembuatan Batu Bertuah, benda legendaris dengan kekuatan gaib luar biasa. Batu ini akan mengubah logam apa saja menjadi emas murni. Batu ini juga menghasilkan Cairan Kehidupan, yang akan membuat peminumnya hidup selamanya.
Selama berabad-abad ini banyak laporan tentang Batu Bertuah, tetapi satu-satunya batu yang saat ini ada adalah milik Mr Nicolas Flamel, ahli alkimia terkenal dan pecinta opera.
Mr Flamel, yang tahun lalu merayakan ulang tahunnya yang keenam ratus enam puluh lima tahun, menikmati hidup tenang di Devon bersama istrinya, Perenelle (enam ratus lima puluh delapan tahun).
"Tahu, kan, sekarang?" kata Hermione, ketika Harry dan Ron selesai membaca. "Anjing itu pastilah menjaga Batu Bertuah milik Flamel! Aku berani taruhan dia pasti menitipkannya kepada Dumbledore karena mereka bersahabat, dan dia tahu ada orang yang menginginkan batu itu. Itulah sebabnya dia ingin batu itu dipindahkan dari Gringotts!"
"Batu yang membuat emas dan membuatmu tak bisa mati!"
kata Harry "Pantas saja Snape menginginkannya! Semua orang pasti menginginkannya."
"Dan pantas saja kita tidak bisa menemukan Flamel dalam buku Perkembangan Terakhir dalam Dunia Sihir," kata Ron.
"Dia belum masuk kategori itu jika umurnya baru enam ratus enam puluh lima, kan?"
Esok paginya, dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, sementara mencatat berbagai cara merawat gigitan manusia serigala, Harry dan Ron masih mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan Batu Bertuah jika mereka memilikinya. Ketika Ron mengatakan bahwa dia akan membeli tim Quidditch sendiri, barulah Harry teringat akan Snape dan pertandingan Quidditch-nya yang akan datang.
"Aku akan main," katanya kepada Ron dan Hermione.
"Kalau tidak, semua anak Slytherin akan mengira aku takut menghadapi Snape. Akan ku tunjukkan kepada mereka...
senyum akan tersingkir dari wajah mereka kalau kita menang."
"Asal bukan malah kau sendiri yang tersingkir dari lapangan," kata Hermione.

***

Semakin dekat hari pertandingan, Harry semakin cemas, walaupun dia tidak mengatakan begitu kepada Ron dan Hermione. Para anggota tim lainnya juga tidak begitu tenang.
Ide menyusul Slytherin dalam Kejuaraan Antar-Asrama sungguh menyenangkan, belum pernah ada yang berhasil selama tujuh tahun ini, tetapi bisakah mereka melakukannya dengan wasit yang begitu memihak?
Harry tak tahu apakah ini hanya sekadar khayalannya saja atau bukan, tetapi rasanya dia selalu bertemu Snape, ke mana pun dia pergi. Kadang-kadang dia jadi bertanya-tanya sendiri, apakah Snape membuntutinya, mencari-cari kesempatan untuk bisa menangkapnya kalau sedang sendirian. Pelajaran Ramuan sudah berubah menjadi siksaan mingguan, karena Snape bersikap sangat menyebalkan terhadap Harry. Mungkinkah Snape tahu bahwa Harry dan kedua sahabatnya tahu tentang Batu Bertuah? Rasanya tidak mungkin—tetapi kadang-kadang Harry merasa bahwa Snape bisa membaca pikiran orang.

***

Harry tahu, ketika mengucapkan selamat bertanding di luar kamar ganti, Ron dan Hermione dalam hati bertanya-tanya apakah mereka masih akan melihatnya dalam keadaan hidup.
Ini tak bisa dibilang menyenangkan. Harry nyaris tidak mendengar nasihat Wood ketika dia memakai jubah Quidditch dan mengambil Nimbus Dua Ribu-nya.
Ron dan Hermione, sementara itu, telah mendapatkan tempat duduk di tribun dekat Neville—yang tidak bisa mengerti mengapa mereka berdua kelihatan begitu muram dan cemas, ataupun kenapa mereka berdua membawa tongkat ke pertandingan. Harry sama sekali tak tahu bahwa Ron dan Hermione diamdiam telah berlatih Kutukan Kaki Terkunci.
Mereka mendapat ide ini dari Malfoy yang menggunakannya pada Neville, dan mereka siap menggunakannya pada Snape jika dia menunjukkan tanda-tanda ingin mencelakakan Harry.
"Jangan lupa, mantranya Locomotor Mortis," Hermione bergumam ketika Ron menyelipkan tongkatnya ke dalam lengan jubahnya.
"Sudah tahu," tukas Ron. "Jangan cerewet." Di dalam kamar ganti, Wood mengajak Harry bicara berdua.
"Bukannya aku mau menekanmu, Potter, tetapi kalau sampai ada kebutuhan untuk menangkap Snitch seawal mungkin, sekaranglah saatnya. Selesaikan pertandingan sebelum Snape bisa terlalu banyak memihak Hufflepuff."
"Seluruh sekolah ada di luar sana!" kata Fred Weasley, mengintip dari pintu. "Bahkan... astaga... Dumbledore juga nonton!"
Jantung Harry jumpalitan.
"Dumbledore?" katanya seraya berlari ke pintu untuk melihat sendiri. Fred benar. Jenggot perak itu tak mungkin keliru.
Ingin rasanya Harry tertawa keras-keras saking leganya. Dia aman. Jelas Snape tak akan berani mencoba mencelakainya jika ada Dumbledore.
Mungkin itulah sebabnya Snape kelihatan marah sekali ketika kedua tim berjalan memasuki lapangan. Ron juga melihatnya.
"Belum pernah kulihat Snape segalak ini," katanya kepada Hermione. "Lihat... mereka mulai. Ouch!"
Ada yang menyodok belakang kepala Ron. Malfoy.
"Oh, sori, Weasley aku tidak lihat kau di situ."
Malfoy nyengir lebar kepada Crabbe dan Goyle.
"Berapa lama Potter bisa bertahan di atas sapunya kali ini, ya? Ada yang mau bertaruh? Bagaimana kalau kau, Weasley?"
Ron tidak menjawab. Snape baru saja memberikan penalti kepada Hufflepuff karena George Weasley telah melempar Bludger kepadanya. Hermione—yang menyilangkan semua jarinya di atas pangkuan untuk mendapatkan keberuntungan—
memandang lekat-lekat pada Harry yang berputar-putar mengitari tim yang bertanding, mencari-cari Snitch.
"Kalian tahu bagaimana menurutku cara mereka memilih anggota tim Gryffindor?" kata Malfoy keraskeras beberapa menit kemudian, ketika Snape kembali menghadiahkan lemparan penalti kepada Hufflepuff tanpa alasan apa pun.
"Yang dipilih orang-orang yang memang patut dikasihani. Lihat saja—ada si Potter, yang tidak punya orangtua, lalu si kembar Weasley, yang tidak punya uang. Kau mestinya masuk tim, Longbottom. Kau kan tidak punya otak."
Wajah Neville merah padam, tetapi dia berbalik di tempat duduknya untuk menghadapi Malfoy. "Aku berharga dua belas kali lipat dirimu, Malfoy" katanya tergagap.
Malfoy Crabbe, dan Goyle tertawa terbahak-bahak, tetapi Ron yang masih tidak berani mengalihkan pandangannya dari pertandingan berkata, "Kau benar, Neville."
"Longbottom, kalau otak terbuat dari emas, kau lebih miskin daripada si Weasley. Uh, parah banget deh."
Saraf Ron sudah tegang sekali saking cemasnya ia pada Harry.
"Kuperingatkan kau, Malfoy—satu kata lagi..."
"Ron!" seru Hermione tiba-tiba. "Harry...!"
"Apa? Di mana?"
Harry mendadak melakukan tukikan luar biasa, membuat para penonton terpekik kagum dan bersorak riuh. Hermione berdiri, jarinya tersilang di depan mulutnya ketika Harry melesat ke bawah seperti luncuran peluru.
"Kau beruntung, Weasley. Potter rupanya melihat kepingan uang di tanah!" kata Malfoy.
Kesabaran Ron habis sudah. Sebelum Malfoy sadar apa yang terjadi, Ron sudah berada di atas tubuhnya, memitingnya ke tanah. Neville ragu-ragu, kemudian memanjat punggung bangkunya untuk membantu.
"Ayo, Harry!" jerit Hermione, melompat naik ke atas bangkunya agar bisa melihat lebih jelas ketika Harry meluncur tepat ke arah Snape. Hermione bahkan tidak menyadari Malfoy dan Ron yang bergulingan di bawah tempat duduknya, ataupun baku hantam dan pekikan-pekikan yang bermunculan dari tengah hujan pukulan yang berasal dari Neville, Crabbe, dan Goyle.
Tinggi di angkasa, Snape berputar di atas sapunya, tepat ketika kelebatan warna merah meluncur melewatinya, hanya beberapa senti darinya—detik berikutnya, Harry sudah menghentikan tukikannya, kedua lengannya terangkat penuh kemenangan, Snitch tergenggam di tangannya.
Penonton meledak riuh-rendah. Sungguh ini rekor, tak seorang pun ingat Snitch pernah berhasil ditangkap secepat ini.
"Ron! Ron! Di mana kau? Pertandingan sudah selesai! Harry menang! Kita menang!
Gryffindor memimpin!" teriak Hermione, melonjak-lonjak kegirangan di tempat duduknya dan memeluk Parvati Patil yang duduk di depannya.
Harry melompat turun dari sapunya, tiga puluh senti dari tanah. Dia tak mempercayainya. Dia telah berhasil—permainan telah usai, padahal baru berlangsung tak lebih dari lima menit.
Ketika anak-anak Gryffindor membanjir masuk lapangan, Harry melihat Snape mendarat di dekatnya, wajahnya pucat, bibirnya tegang. Kemudian Harry merasakan sentuhan tangan di bahunya, ia mendongak dan memandang wajah Dumbledore yang tersenyum.
"Bagus sekali," kata Dumbledore pelan, sehingga hanya Harry yang bisa mendengarnya. "Senang melihatmu tidak terus memikirkan cermin itu... kau menyibukkan diri... luar biasa...."
Snape meludah dengan getir ke tanah.

***

Harry meninggalkan kamar ganti sendirian beberapa waktu kemudian, untuk mengembalikan Nimbus Dua Ribu-nya ke dalam ruang penyimpanan sapu. Belum pernah dia merasa seriang ini. Dia benar-benar telah melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan sekarang— tak seorang pun bisa mengatakan lagi dia cuma sekadar nama terkenal. Udara malam belum pernah seharum ini. Dia melangkah di atas rumput lembap, mengenang kembali kejadian satu jam terakhir ini. Kilasan yang membahagiakan: anak-anak Gryffindor berlarian mendekat untuk mengangkatnya ke atas bahu mereka; Ron dan Hermione di kejauhan, melonjak-lonjak kegirangan. Ron bersorak walaupun hidungnya berdarah.
Harry telah tiba di kamar sapu. Dia bersandar di pintu kayu dan mendongak menatap Hogwarts, dengan jendela-jendelanya yang berkilau merah tertimpa cahaya matahari terbenam.
Gryffindor memimpin.
Dia telah berhasil, dia telah membuktikan kepada Snape...
Dan ngomong-ngomong tentang Snape...
Sesosok tubuh berkerudung menuruni undakan depan kastil dengan cepat. Jelas tak ingin dilihat orang, dia berjalan secepat mungkin menuju ke Hutan Terlarang. Kemenangan memudar dari benak Harry saat dia mengawasi sosok itu. Dia mengenali gaya jalannya. Snape, sembunyi-sembunyi ke dalam Hutan ketika yang lain sedang makan malam—apa yang sedang terjadi sebetulnya?
Harry kembali melompat ke atas Nimbus Dua Ribu dan terbang. Melayang diam-diam di atas kastil, dia melihat Snape berlari memasuki Hutan. Dia membuntuti.
Pepohonan begitu lebat sehingga dia tidak bisa melihat ke mana Snape. Harry terbang berputar-putar, makin lama makin rendah, menyentuh ranting-ranting atas pepohonan, sampai dia mendengar suara-suara. Dia meluncur ke arah suara-suara itu dan mendarat tanpa bunyi di pohon beech besar di dekatnya.
Hati-hati dia merambat di salah satu dahan, memegang sapunya erat-erat, mencoba mengintip melalui celah-celah dedaunan.
Di bawah, di tempat terbuka yang teduh, Snape berdiri, tetapi dia tidak sendirian. Quirrell juga ada di sana. Harry tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, tetapi dia tergagap lebih parah daripada biasanya. Harry berusaha keras menangkap apa yang mereka bicarakan.
"... tid-tidak tahu kenapa kau m-m-mau b-bertemu di sini, Severus..."
"Oh, kupikir kita harus merahasiakan ini," kata Snape, suaranya dingin. "Murid-murid kan tidak boleh tahu tentang Batu Bertuah." Harry membungkuk ke depan.
Quirrell menggumamkan sesuatu. Snape menyelanya. "Apa kau sudah menemukan cara bagaimana bisa melewati binatang piaraan Hagrid itu?"
"T-t-tapi, Severus, aku..."
"Kau tak ingin aku jadi musuhmu, kan, Quirrell," kata Snape, maju ke depan satu langkah.
"A-aku t-tak tahu apa..."
"Kau tahu persis apa maksudku." Seekor burung hantu menjerit keras dan Harry nyaris terjatuh dari pohon. Dia berhasil menenangkan diri dan sempat mendengar Snape berkata, "... hokuspokus kecilmu, aku menunggu."
"T-tapi aku t-t-tidak..."
"Baiklah," Snape menukas. "Kita akan mengobrol lagi lain waktu, kalau kau sudah sempat memikirkan hal ini dan memutuskan mau setia kepada siapa."
Snape menyampirkan jubahnya ke atas kepalanya dan melangkah meninggalkan tempat terbuka itu. Hari sudah hampir gelap sekarang, tetapi Harry bisa melihat Quirrell, berdiri diam, seakan membatu.
***

"Harry, dari mana saja kau?" seru Hermione nyaring. "Kita menang! Kau menang!" teriak Ron, seraya menepuk punggung Harry. "Dan kupukul mata Malfoy sampai biru dan Neville mencoba menghadapi Crabbe dan Goyle sendirian! Dia masih pingsan, tetapi Madam Pomfrey bilang dia akan sembuh—tahu rasa Slytherin! Semua menunggumu di ruang rekreasi, kita akan pesta. Fred dan George mencuri kue dan makanan lain dari dapur."
"Itu nanti saja," kata Harry tersengal. "Ayo, kita cari ruang kosong, tunggu sampai kalian mendengar ini...."
Harry memastikan Peeves tidak ada di dalam sebelum menutup pintu di belakang mereka, baru dia menceritakan kepada kedua temannya apa yang telah dilihat dan didengarnya.
"Jadi kita benar, rupanya itu Batu Bertuah, dan Snape berusaha memaksa Quirrell membantunya mencurinya. Dia bertanya kalau-kalau Quirrell tahu cara melewati Fluffy—dan dia juga bilang soal 'hokuspokus' Quirrell—kurasa ada yang lain yang melindungi batu, selain Fluffy. Mungkin berbagai jimat dan jampi-jampi, dan Quirrell pastilah telah memberikan mantra-mantra Anti-Sihir Hitam yang harus ditembus Snape..."
"Jadi, maksudmu batu itu aman hanya jika Quirrell masih bertahan menentang Snape?" tanya Hermione cemas.
"Tidak sampai Selasa juga sudah hilang, kalau begitu," kata Ron.

***

14. Nobert Si Naga Punggung Bersirip Norwegia

QUIRRELL, ternyata, lebih berani daripada dugaan mereka. Dalam minggu-minggu berikutnya memang dia tampak lebih pucat dan kurus , tetapi kelihatannya dia belum menyerah.
Setiap kali melewati koridor lantai tiga, Harry, Ron, dan Hermione menempelkan telinga mereka ke pintu untuk mengecek apakah Fluffy masih menggeram di dalam. Snape berkeliaran ke sana kemari, marahmarah seperti biasa, yang berarti Batu Bertuah itu masih aman. Setiap kali berpapasan dengan Quirrell, Harry tersenyum untuk menyemangatinya, dan Ron mulai menegur anak-anak yang menertawakan Quirrell yang gagap.
Tetapi Hermione banyak memikirkan hal lain selain Batu Bertuah. Dia telah mulai merevisi jadwal belajarnya dan memberi kode-kode warna pada catatancatatannya. Harry dan Ron sebenarnya tidak keberatan, tetapi Hermione tak henti-hentinya mendesak mereka untuk melakukan hal yang sama.
"Hermione, ujiannya masih lama sekali." "Dua setengah bulan lagi," tukas Hermione. "Itu tidak lama, buat Nicolas Flamel itu cuma sekejap."
"Tapi kita kan belum enam ratus tahun," Ron mengingatkan.
"Lagi pula, untuk apa kau belajar lagi, kau kan sudah hafal semuanya."
"Untuk apa aku belajar lagi? Kalian gila? Kalian sadar kan kita harus lulus supaya bisa naik ke kelas dua? Belajar penting sekali, aku seharusnya sudah mulai sebulan yang lalu. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku...."
Celakanya, para guru berpikiran sama dengan Hermione.
Mereka membebani anak-anak dengan begitu banyak PR, sehingga liburan Paskah tidak seasyik liburan Natal. Sulit bersantai bila Hermione ada di sebelah mereka, sibuk mengulang-ulang dua belas kegunaan darah naga atau berlatih gerakan-gerakan tongkat sihir. Mengeluh dan menguap, Harry dan Ron melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di perpustakaan bersama Hermione, berusaha menyelesaikan tugas-tugas tambahan mereka.
"Aku tak akan pernah ingat ini," celetuk Ron suatu sore, seraya melempar pena bulunya dan memandang keluar penuh kerinduan lewat jendela perpustakaan. Hari itu hari pertama yang benar-benar cerah setelah berbulan-bulan diliputi salju.
Langit biru terang, dan suasana menyiratkan musim panas akan segera datang.
Harry, yang sedang membaca "Dittany" di buku Seribu Satu Tanaman dan Jamur Gaib, tidak mendongak sampai Ron berseru, "Hagrid, ngapain kau di sini?"
Hagrid muncul, menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Dia kelihatan janggal berada di perpustakaan memakai jubah kulit tikus mondoknya.
"Cuma cari sesuatu," katanya dengan suara mencurigakan sehingga mereka langsung tertarik. "Dan kalian sendiri sedang ngapain?" Mendadak dia kelihatan curiga. "Kalian tidak sedang cari Nicolas Flamel, kan?"
"Oh, kami sudah lama tahu siapa dia," kata Ron mengesankan. "Dan kami tahu apa yang dijaga anjing itu, Batu Ber..."
"Sshhh!" Hagrid cepat-cepat memandang berkeliling, untuk melihat apakah ada yang mendengar. "Jangan teriak-teriak soal itu. Kau ini kenapa sih?"
"Ada yang ingin kami tanyakan kepadamu sebetulnya," kata Harry. "Yaitu, apa saja yang menjaga batu itu selain Fluffy..."
"SSHHH!" kata Hagrid lagi. "Dengar—datang temui aku nanti, aku tidak janji mau kasih tahu apa-apa, tapi jangan buka rahasia di sini. Murid tidak boleh tahu. Mereka akan kira aku beritahu kalian."
"Sampai ketemu nanti, kalau begitu," kata Harry.
Hagrid keluar perpustakaan.
"Apa yang disembunyikannya di belakang punggung?" tanya Hermione berpikir-pikir.
"Apa mungkin ada hubungannya dengan batu itu?"
"Aku mau tahu dia tadi ada di seksi buku apa," kata Ron, yang sudah bosan belajar. Semenit kemudian dia muncul lagi membawa setumpuk buku yang diempaskannya ke atas meja.
"Naga!" bisiknya, "Hagrid mencari informasi ten-tang naga!
Lihat ini: Spesies Naga di Britania Raya dan Irlandia; Dari Telur ke Neraka, Penuntun Pemelihara Naga."
"Sudah lama Hagrid kepingin punya naga. Dia bilang begitu kepadaku waktu pertama kali aku bertemu dia," kata Harry.
"Tapi itu melanggar undang-undang," kata Ron.
"Penangkaran naga sudah dilarang oleh Konvensi Sihir tahun 1709, semua orang tahu itu. Susah menjaga agar Muggle tidak mengetahui keberadaan kita jika kita memelihara naga di halaman belakang—lagi pula, kau tidak bisa menjinakkan naga,
bahaya. Coba kalau kalian bisa melihat luka bakar Charlie gara-gara naga liar di Rumania."
"Jadi, tidak ada naga liar di Britania?" tanya Harry.
"Tentu saja ada," kata Ron. "Naga Hijau Welsh yang biasa dan naga Hitam Hebridean. Kementerian Sihir cukup repot menyembunyikan mereka. Orang-orang kita harus terusmenerus menyihir Muggle yang pernah melihatnya, untuk membuat mereka melupakannya."
"Kalau begitu, apa yang sedang dilakukan Hagrid?"

***

Ketika mereka mengetuk pintu pondok si pengawas binatang liar satu jam kemudian, mereka heran melihat semua gorden tertutup. Hagrid berseru, "Siapa itu?" sebelum mempersilakan mereka masuk dan cepat-cepat menutup pintu kembali.
Di dalam panas sekali. Meskipun udara hangat, di perapian api menyala-nyala. Hagrid membuatkan teh dan menawari mereka sandwich musang, yang mereka tolak.
"Nah... kalian mau tanya sesuatu?"
"Ya," jawab Harry. Tak ada gunanya berbelit-belit. "Kami ingin tahu apakah kau bisa memberitahu kami apa saja yang menjaga Batu Bertuah selain Fluffy."
Hagrid mengerutkan kening ke arah Harry.
"Tentu saja tidak bisa," katanya. "Pertama, aku sendiri tidak tahu. Kedua, kalian sudah tahu terlalu banyak, jadi aku tak akan beritahu kalian kalaupun aku bisa. Batu itu di sini untuk alasan baik. Batu itu nyaris dicuri dari Gringotts—kurasa kalian sudah simpulkan ini? Aku tak mengerti bagaimana kalian bisa tahu tentang Fluffy."
"Oh, ayolah, Hagrid, kau mungkin tak ingin memberitahu kami, tetapi kau sebetulnya tahu segalanya yang terjadi di sini,"
kata Hermione dengan suara hangat memuji. Jenggot Hagrid bergerak-gerak dan mereka bisa menebak dia sedang tersenyum.
"Kami cuma ingin tahu siapa yang menjaga, itu saja." Hermione melanjutkan, "Kami penasaran siapa yang cukup dipercaya Dumbledore untuk membantunya, selain kau."
Dada Hagrid membusung mendengar kalimat terakhir Hermione. Harry dan Ron tersenyum kepada Hermione.
"Yah, kurasa tidak ada bahayanya kuberitahu kalian bahwa...
begini... dia pinjam Fluffy dariku... kemudian beberapa guru lakukan penyihiran... Profesor Sprout— Profesor Flitwick—
Profesor McGonagall...," ditekuknya jarinya satu demi satu,
"Profesor Quirrell—dan Dumbledore sendiri lakukan sesuatu, tentu saja. Sebentar, aku lupa satu orang. Oh yeah, Profesor Snape."
"Snape?"
"Yeah—kalian sudah tidak curigai dia lagi, kan? Snape bantu jaga, dia tidak akan curi batu itu."
Harry tahu Ron dan Hermione berpikiran sama seperti dia.
Jika Snape termasuk yang menjaga batu, pastilah mudah baginya untuk mencari tahu bagaimana guru-guru yang lain menjaganya. Dia mungkin tahu segalanya—kecuali, tampaknya, mantra Quirrell dan bagaimana caranya melewati Fluffy.
"Kau satu-satunya yang tahu bagaimana caranya melewati Fluffy, kan, Hagrid?" tanya Harry cemas. "Dan kau tidak akan bilang siapa-siapa, kan? Bahkan kepada salah satu guru pun?"
"Tak ada yang tahu kecuali aku dan Dumbledore," kata Hagrid bangga.
"Untunglah," gumam Harry kepada yang lain. "Hagrid, boleh tidak jendelanya dibuka satu? Aku kepanasan."
"Tidak bisa, Harry, sori," kata Hagrid.
Harry memperhatikan Hagrid mengerling ke perapian. Harry juga memandang ke sana.
"Hagrid—apa itu?" Tetapi dia sudah tahu apa itu. Persis di tengah api, di bawah ketel, ada telur hitam besar sekali.
"Ah," kata Hagrid, dengan gelisah memilin-milin jenggotnya.
"Itu... er..."
"Dari mana kau dapat itu, Hagrid?" kata Ron, berjongkok di depan perapian untuk melihat telur itu dari dekat. "Pasti mahal sekali harganya."
"Menang main," kata Hagrid. "Semalam. Aku ke desa minum, lalu main kartu dengan orang asing. Kurasa dia senang bisa lepas dari telur itu, benar lho."
"Tapi apa yang akan kaulakukan kalau telurnya menetas?"
tanya Hermione.
"Yah, aku sudah baca-baca," kata Hagrid, seraya menarik buku panjang dari bawah bantalnya. "Pinjam ini dari perpustakaan—Pemeliharaan dan Pengembangbiakan Naga untuk Kesenangan dan Keuntungan—memang sudah sedikit ketinggalan zaman, tapi semuanya ada di situ. Taruh telurnya di api, karena induk mereka semburkan api ke telur-telurnya, lihat, dan kalau sudah menetas, beri makan seember brandy dicampur darah ayam setengah jam sekali. Dan lihat ini—bagaimana mengenali jenis telur-telur—telur milikku ini jenis Punggung Bersirip Norwegia. Jenis yang langka."
Hagrid kelihatan puas sekali, tetapi Hermione tidak.
"Hagrid, kau tinggal di pondok papan," katanya.
Tetapi Hagrid tidak mendengarkan. Dia bersenandung riang ketika mengaduk perapiannya agar menyala lebih besar.

***

Maka sekarang ada hal lain yang perlu mereka cemaskan: apa yang akan terjadi pada Hagrid jika ketahuan dia menyembunyikan naga ilegal di dalam pondoknya.
"Bagaimana ya rasanya menjalani hidup yang tenang," keluh Ron, ketika malam demi malam mereka berjuang mengerjakan PR-PR ekstra yang dibebankan kepada mereka. Hermione sekarang sudah mulai mengatur ulang jadwal belajar Harry dan Ron. Membuat mereka berdua jengkel.
Kemudian, suatu pagi saat sarapan, Hedwig membawa surat lagi untuk Harry dari Hagrid. Hagrid hanya menulis dua kata: Sedang menetas.
Ron ingin membolos dari kelas Herbologi dan lang-sung ke pondok. Hermione menentang habis-habisan. "Hermione, berapa kali dalam hidup kita, kita b isa melihat naga yang sedang menetas?"
"Ada pelajaran. Nanti kita kena marah, dan itu belum apaapa dibanding dengan apa yang akan terjadi pada Hagrid kalau ada orang yang tahu apa yang sedang dilakukannya..."
"Diam!" desis Harry.
Malfoy hanya satu meter dari mereka dan dia langsung berhenti untuk mendengarkan. Seberapa banyak yang berhasil didengarnya? Harry sama sekali tidak menyukai ekspresi wajah Malfoy.
Ron dan Hermione bertengkar sepanjang perjalanan ke kelas Herbologi, dan pada akhirnya, Hermione setuju kabur ke pondok Hagrid dengan kedua temannya pada saat istirahat pagi.
Ketika bel di kastil berbunyi pada akhir pelajaran mereka, ketiganya langsung menjatuhkan sekop dan bergegas menyeberangi lapangan menuju ke tepi Hutan. Hagrid menyalami mereka, wajahnya riang kemerahan.
"Sudah hampir keluar." Diajaknya mereka masuk.
Telur itu tergeletak di atas meja. Ada retakan-retakan dalam pada kulitnya.
Sesuatu bergerak-gerak di dalamnya, menimbulkan bunyi klak-klik yang aneh terdengar.
Mereka semua menarik kursi ke dekat meja dan mengawasi dengan napas tertahan.
Mendadak terdengar bunyi gesekan dan telur itu terbelah.
Bayi naga tergeletak di meja. Bayi itu tidak indah. Menurut Harry malah kelihatan seperti payung hitam yang kusut.
Sayapnya tampak sangat besar dibanding tubuhnya yang masih kurus, dan moncongnya panjang, dengan dua lubang hidung besar, dua tanduk kecil, dan mata jingga yang menonjol.
Dia bersin. Beberapa bunga api muncrat dari moncongnya.
"Cantik, ya?" Hagrid bergumam. Dia menjulurkan tangannya untuk membelai kepala si naga. Naga itu mencaplok jari-jari Hagrid, taringnya yang tajam kelihatan.
"Bukan main, dia tahu yang mana induknya!" kata Hagrid.
"Hagrid," kata Hermione, "seberapa cepat persisnya naga Punggung Bersirip Norwegia tumbuh besar?"
Hagrid sudah mau menjawab ketika wajahnya tibatiba memucat—dia melompat berdiri dan berlari ke jendela.
"Ada apa?" "Ada yang ngintip lewat celah gorden—anak lakilaki—dia lari balik ke sekolah." Harry melesat ke pintu dan memandang ke luar. Bahkan dari kejauhan ia tak mungkin keliru. Malfoy telah melihat naga itu.

***

Senyum yang tersungging di bibir Malfoy selama seminggu berikutnya membuat Harry, Ron, dan Hermione sangat cemas.
Mereka melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di pondok Hagrid yang digelapkan, mencoba membujuknya.
"Lepaskan saja dia," desak Harry. "Biar dia hidup di alam bebas."
"Tidak bisa," kata Hagrid. "Dia masih terlalu kecil. Dia akan mati."
Mereka memandang si naga. Bayi itu sudah tiga kali lipat lebih panjang, dalam waktu seminggu. Asap tak henti-hentinya berembus melingkar dari lubang hidungnya. Hagrid belakangan ini sudah tidak melakukan tugas-tugasnya sebagai pengawas binatang liar di sekolah karena si naga kecil membuatnya sangat sibuk. Botol-botol brandy kosong dan bulubulu ayam bertebaran di lantai.
"Aku sudah memutuskan untuk menamainya Norbert," kata Hagrid, seraya menatap si naga dengan mata basah. "Dia sudah kenal aku sekarang. Lihat. Norbert! Norbert! Mana Mama?"
"Dia sinting," Ron bergumam di telinga Harry.
"Hagrid," kata Harry keras-keras, "dua minggu lagi Norbert sudah akan sepanjang rumahmu. Malfoy bisa melapor kepada Dumbledore kapan saja."
Hagrid menggigit bibir.
"Aku—aku tahu. Aku tak bisa memeliharanya selamanya, tetapi aku tak bisa menyuruhnya pergi begitu saja. Aku tak bisa."
Mendadak Harry menoleh kepada Ron.
"Charlie," kata Harry.
"Kau juga ikutan sinting," kata Ron. "Namaku Ron. Ingat?"
"Bukan—Charlie—kakakmu Charlie. Di Rumania. Sedang belajar tentang naga. Kita bisa mengirim Norbert kepadanya.
Charlie bisa memeliharanya dan kemudian melepasnya ke alam bebas!"
"Brilian!" kata Ron. "Bagaimana, Hagrid?" Pada akhirnya Hagrid setuju mereka mengirim burung hantu kepada Charlie untuk menanyainya.

***

Minggu berikutnya berlalu lambat. Rabu malam Hermione dan Harry masih duduk berdua di ruang rekreasi, lama sesudah yang lain pergi tidur. Jam di dinding baru saja berdentang menandakan tengah malam ketika lubang lukisan tiba-tiba membuka. Ron mendadak muncul ketika dia melepas Jubah Gaib Harry. Dia baru kembali dari pondok Hagrid, membantunya memberi makan Norbert, yang sekarang sudah makan berkrat-krat bangkai tikus.
"Dia menggigitku!" katanya, menunjukkan tangannya yang dibalut saputangan berdarah. "Aku tak akan bisa memegang pena selama seminggu ini. Percaya deh, naga itu binatang paling mengerikan yang pernah kutemui, tetapi kalau melihat cara Hagrid memujanya, kau akan mengira dia anak kelinci berbulu lembut yang lucu. Ketika dia menggigitku, Hagrid malah menyuruhku menyingkir karena membuat Norbert takut. Dan waktu aku pergi tadi, Hagrid sedang meninabobokannya."
Ada ketukan di jendela gelap.
"Itu Hedwig!" kata Harry, bergegas membuka jendela agar Hedwig bisa masuk. "Dia membawa surat balasan Charlie!"
Ketiganya merapatkan kepala untuk membaca surat Charlie.
Hai, Ron,
Apa kabar? Terima kasih suratnnya. Aku senang-senang saja menerima punggung Bersirip Norwegia itu, tetapi tidak mudah membawanya ke sini. Kurasa yang paling baik adalah menitipkannya kepada teman-temankuyang akan mengunjungiku minggu depan. Masalahnya adalah mereka tak boleh ketahuan membawa naga ilegal.
Bisakah kau membawa si Punggung Bersirip ke menara paling tinggi tengah malam hari Sabtu? Mereka bisa menemuimu di sana dan membawa si naga selagi hari masih gelap.
Kirimi aku jawaban secepat mungkin.
Salam Hangat,
Charlie
Mereka saling pandang.
"Kita punya Jubah Gaib," kata Harry. "Mestinya tidak terlalu sulit—kurasa jubah itu cukup besar untuk menutupi dua di antara kita dan Norbert."
Bahwa kedua temannya langsung sepakat, menunjukkan bahwa seminggu terakhir ini keadaan sudah parah sekali.
Mereka bersedia melakukan apa saja untuk menyingkirkan Norbert—dan Malfoy.

***

Ada rintangan. Esok paginya tangan Ron yang digigit Norbert sudah membengkak dua kali ukuran normalnya. Dia tak tahu aman atau tidak pergi ke Madam Pomfrey—apakah dia akan mengenali gigitan naga? Meskipun demikian, sorenya, Ron sudah tak punya pilihan lain. Lukanya sudah berwarna hijau mengerikan. Rupanya taring Norbert beracun.
Harry dan Hermione bergegas ke rumah sakit pada akhir hari itu dan menemukan Ron terbaring parah di tempat tidur.
"Bukan cuma tanganku," bisik Ron, "meskipun rasanya tanganku hampir copot. Malfoy bilang pada Madam Pomfrey dia mau pinjam salah satu bukuku sehingga dia bisa datang dan menertawakanku. Dia terus-menerus mengancamku akan memberitahu Madam Pomfrey apa sebetulnya yang menggigitku— aku bilang pada Madam Pomfrey aku digigit anjing tapi kurasa dia tidak percaya—aku seharusnya tidak memukul Malfoy waktu pertandingan Quidditch itu, sekarang dia mau membalasku."
Harry dan Hermione berusaha menenangkan Ron. Tapi sebaliknya, Ron malah langsung terlonjak duduk dan berkeringat.
"Sabtu tengah malam!" katanya dengan suara serak. "Oh tidak—oh tidak—aku baru ingat—surat Charlie ada dalam buku yang diambil Malfoy. Dia akan tahu kapan kita menyingkirkan Norbert."
Harry dan Hermione tak punya kesempatan untuk menjawab. Madam Pomfrey muncul saat itu dan menyuruh mereka pergi, karena Ron butuh tidur, katanya.

***

"Sudah terlambat untuk mengubah rencana sekarang," Harry berkata kepada Hermione. "Kita tak punya waktu lagi untuk mengirim burung hantu kepada Charlie, dan mungkin ini satusatunya kesempatan kita untuk menyingkirkan Norbert. Kita harus ambil risiko. Dan kita kan punya Jubah Gaib. Malfoy tidak tahu ini."
Mereka menemukan Fang, anjing Hagrid, duduk di depan pondok dengan ekor terbalut ketika mereka datang untuk memberitahu Hagrid, yang membuka jendela untuk bicara kepada mereka.
"Kalian tak boleh masuk," katanya tersengal. "Norbert sedang rewel—bisa kutangani."
Ketika mereka memberitahunya tentang surat Charlie, mata Hagrid langsung berkaca-kaca. Entah karena ia sedih, atau karena Norbert baru saja menggigit kakinya.
"Aargh! Tidak apa-apa, dia cuma menggigit botku— cuma main-main—masih bayi sih."
Si bayi menyabetkan ekornya ke dinding, membuat semua jendela pondok bergetar. Harry dan Hermione kembali ke kastil, berharap Sabtu segera datang.

***

Mereka pasti merasa kasihan pada Hagrid ketika tiba saatnya bagi si pengawas binatang liar itu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Norbert, kalau saja mereka tidak terlalu mencemaskan apa yang harus mereka lakukan. Malam itu sangat gelap dan berawan, dan mereka agak terlambat tiba di pondok Hagrid karena harus menunggu Peeves menyingkir dulu dari Aula Depan. Peeves sedang main tenis di situ, melawan tembok.
Hagrid sudah menyiapkan Norbert dalam kotak besar.
"Sudah kusiapkan banyak tikus dan brandy untuk makan di jalan," kata Hagrid dengan suara tersendat. "Dan boneka beruangnya juga sudah kumasukkan, siapa tahu dia kesepian."
Dari dalam kotak terdengar robekan yang bagi Harry kedengarannya si boneka beruang sedang dicabut kepalanya.
"Da-dah, Norbert!" Hagrid terisak, ketika Harry dan Hermione menyelubungi kotak itu dengan Jubah Gaib lalu mereka sendiri melangkah ke baliknya. "Mama tidak akan melupakanmu!"
Bagaimana mereka berhasil membawa kotak itu ke kastil, mereka tak pernah tahu. Sudah menjelang tengah malam ketika mereka bersusah payah membawa kotak Norbert menaiki tangga pualam di Aula Depan dan melewati koridor-koridor gelap. Naik tangga lain lagi, kemudian tangga lain, bahkan lewat salah satu jalan pintas yang diketahui Harry pun, tidak membuat tugas mereka bertambah ringan.
"Hampir sampai!" seru Harry terengah ketika mereka tiba di koridor di bawah menara tertinggi.
Gerakan mendadak di depan mereka nyaris membuat mereka menjatuhkan kotak. Lupa bahwa mereka sebetulnya tidak kelihatan, mereka merapat ke tempat yang terlindung bayangbayang, memandang dua sosok gelap yang sedang bergulat sekitar tiga meter dari tempat mereka. Mendadak lampu menyala.
Profesor McGonagall, memakai baju tidur kotakkotak dan harnet, menjewer telinga Malfoy.
"Detensi!" teriak Profesor McGonagall, "dan potong dua puluh angka dari Slytherin! Berkeliaran di tengah malam, beraninya kau..."
"Anda tidak mengerti, Profesor, Harry Potter akan datang— dia membawa naga!"
"Sungguh omong kosong! Berani-beraninya kau bohong besar begitu! Ayo—aku akan bicara pada Profesor Snape tentang kau, Malfoy!"
Setelah kejadian itu, tangga spiral curam ke atas menara serasa jadi mudah didaki. Baru setelah melangkah ke udara malam yang dingin, mereka berani melepas jubah, lega bisa bernapas bebas lagi. Hermione menari-nari.
"Malfoy dihukum kurung! Mau nyanyi aku rasanya!"
"Jangan," Harry menasihatinya.
Sambil menertawakan Malfoy, mereka menunggu. Norbert mengibas-ngibas di dalam kotaknya. Kira-kira sepuluh menit kemudian, empat sapu meluncur turun dari kegelapan.
Teman-teman Charlie anak-anak periang.
Mereka menunjukkan kepada Harry dan Hermione jaring yang telah mereka buat, supaya mereka bisa bekerja sama mengangkat Norbert. Mereka semua membantu menaikkan Norbert ke atas jaring. Kemudian Harry dan Hermione berjabat tangan dengan keempatnya dan mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.
Akhirnya. Norbert berangkat... pergi... lenyap.
Mereka menyelinap menuruni tangga spiral, hati mereka seringan tangan mereka, setelah Norbert tak lagi membebani.
Tak ada naga lagi—Malfoy kena detensi—apa yang bisa merusak kegembiraan mereka?
Jawabannya telah menunggu di kaki tangga. Ketika mereka melangkah ke koridor, mendadak wajah Filch muncul dari kegelapan.
"Wah, wah, wah," bisiknya, "kita dalam kesulitan."
Jubah Gaib ketinggalan di atas menara.

***

15. Hutan Terlarang

KEADAAN tak bisa lebih buruk dari ini.
Filch membawa mereka ke ruang Profesor McGonagall di lantai pertama. Di situ mereka duduk dan menunggu tanpa saling bicara. Hermione gemetar. Alasan, alibi, dan cerita bohong berkejaran di benak Harry, masing-masing lebih lemah dari yang sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana mereka bisa menghindari hukuman kali ini. Mereka sudah tersudut.
Bagaimana mungkin mereka bisa begitu bodoh meninggalkan Jubah Gaib? Tak ada alasan di dunia ini yang bisa membuat Profesor McGonagall menerima kenapa mereka tidak tidur dan malah berkeliaran di sekolah pada tengah malam, apalagi berada di menara Astronomi yang paling tinggi, yang dilarang didatangi kecuali untuk pelajaran. Tambahkan kisah tentang Norbert dan Jubah Gaib, maka mereka sama saja dengan sudah mengepak koper, siap cabut dari asrama.
Apakah Harry berpikir bahwa keadaan tak bisa lebih buruk dari ini? Dia keliru. Ketika Profesor McGonagall muncul, dia membawa Neville.
"Harry!" Neville memekik begitu melihat Harry dan Hermione. "Aku tadi mencari-carimu untuk memperingatkan.
Kudengar Malfoy akan menangkap basah kau, dia bilang kau punya nag..."
Harry menggelengkan kepala kuat-kuat menyuruh Neville diam, tetapi Profesor McGonagall sudah melihat. la kelihatan lebih siap menyemburkan napas api daripada Norbert ketika dia berdiri menjulang di depan mereka bertiga.
"Aku tadinya tak percaya kalian berbuat begini. Mr Filch mengatakan kalian berada di menara Astronomi. Ini pukul satu pagi. Jelaskan!"
Ini pertama kalinya Hermione tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Dia menunduk menatap sandalnya, diam bagai patung.
"Kurasa aku bisa menduga yang terjadi," kata Profesor McGonagall. "Tidak perlu seorang jenius untuk memecahkan ini. Kalian membualkan cerita bohong tentang naga kepada Draco Malfoy supaya dia meninggalkan tempat tidur dan dihukum.
Aku sudah menangkapnya.
Kurasa kalian menganggap lucu bahwa Longbottom telah mendengar cerita itu dan mempercayainya?"
Harry memberi isyarat kepada Neville dengan matanya, mencoba memberitahunya tanpa kata bahwa ini tidak benar, karena Neville kelihatan kaget dan tersinggung. Kasihan Neville—Harry tahu betul betapa beratnya bagi Neville mencari-carinya dalam gelap untuk memperingatkannya.
"Aku marah sekali," kata Profesor McGonagall. "Empat anak meninggalkan tempat tidur dalam satu malam! Belum pernah ada kejadian semacam ini! Kau, Miss Granger, kukira kau lebih cerdik. Sedangkan kau, Mr Potter, kukira Gryffindor jauh lebih berarti bagimu daripada semua ini. Kalian bertiga akan menerima detensi—ya, kau juga, Mr Longbottom, tak ada yang membuatmu punya hak berkeliaran di sekolah di malam hari, terutama hari-hari ini, berbahaya sekali. Lima puluh angka akan dipotong dari Gryffindor."
"Lima puluh?" Harry kaget—mereka tak lagi akan memimpin—sia-sialah hasil kemenangannya dalam pertandingan Quidditch yang terakhir.
"Masing-masing lima puluh," kata Profesor McGonagall, bernapas berat lewat hidungnya yang panjang runcing.
" Profesor—tolong..."
"Anda tak bisa..."
"Jangan mengajari aku apa yang aku bisa atau tak bisa lakukan, Potter. Sekarang semua kembali ke tem-pat tidur.
Belum pernah aku dipermalukan seperti ini oleh anak-anak Gryffindor."
Seratus lima puluh angka hilang begitu saja. Membuat Gryffindor berada di posisi paling bawah. Dalam semalam mereka telah menghancurkan semua kesempatan yang dimiliki Gryffindor untuk memenangkan Piala Asrama. Harry merasa terpukul sekali. Bagaimana mereka bisa menebus semua ini?
Sepanjang malam Harry tidak tidur. Selama berjamjam dia bisa mendengar Neville yang terisak-isak di bantalnya. Harry tak bisa memikirkan sesuatu untuk menghiburnya. Dia tahu Neville, seperti halnya dirinya, takut akan datangnya pagi. Apa yang akan terjadi kalau anak-anak Gryffindor lainnya tahu apa yang telah mereka lakukan?
Mulanya anak-anak Gryffindor, yang melewati jam kaca raksasa yang menampilkan angka masing-masing asrama keesokan harinya, mengira ada kekeliruan. Bagaimana mungkin angka mereka mendadak susut seratus lima puluh dari hari sebelumnya? Kemudian cerita mulai menyebar: Harry Potter, Harry Potter yang terkenal, pahlawan Quidditch mereka, dialah yang membuat mereka kehilangan seratus lima puluh angka, Harry Potter dan dua anak bego kelas satu lainnya.
Dari anak yang paling populer dan paling dikagumi di sekolah, Harry mendadak menjadi anak yang paling dibenci.
Bahkan anak-anak Ravenclaw dan Hufflepuff ikut-ikutan menyerangnya, karena semua anak telah menunggu-nunggu Slytherin kehilangan Piala Asrama. Ke mana pun Harry pergi, anak-anak menunjuk-nunjuk dan tidak bersusah-susah memelankan suara kalau memakinya. Anak-anak Slytherin, sebaliknya, menyorakinya kalau Harry melewati mereka, bersuit-suit dan berteriak-teriak, "Terima kasih, Potter. Kami utang budi!"
Hanya Ron yang menghiburnya.
"Mereka akan melupakan semua ini beberapa minggu lagi.
Fred dan George telah kehilangan banyak angka selama mereka di sini, dan anak-anak masih menyukai mereka."
"Tapi mereka belum pernah kehilangan seratus lima puluh angka sekaligus, kan?" kata Harry merana.
"Yah—belum," Ron mengakui.
Sudah agak terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, tetapi Harry berjanji kepada dirinya sendiri mulai sekarang tidak akan lagi mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Dia sudah muak dengan mengendap-endap dan memata-matai. Dia merasa malu sekali dengan dirinya sendiri sehingga dia menemui Wood dan minta mengundurkan diri dari tim Quidditch.
"Mengundurkan diri?" gelegar Wood. "Apa faedahnya?
Bagaimana kita akan merebut kembali angka-angka itu kalau kita tidak memenangkan pertandingan Quidditch?"
Bahkan Quidditch sudah tak lagi menyenangkan. Anggota tim lainnya tak mau bicara dengan Harry selama latihan, dan kalau mereka harus bicara tentang Harry, mereka menyebutnya si "Seeker".
Hermione dan Neville juga menderita. Yang mereka alami tidak seburuk Harry karena mereka tidak sepopuler dia, tetapi tak seorang pun mau bicara dengan mereka juga. Hermione sudah berhenti menonjolkan dirinya di kelas, dia terus menundukkan kepala dan bekerja dalam diam.
Harry nyaris senang ujian tak lama lagi. Kesibukan belajar membuatnya sejenak melupakan kesedihannya. Dia, Ron, dan Hermione belajar terpisah dari temanteman lainnya, belajar sampai larut malam, mencoba mengingat-ingat bahan-bahan untuk ramuan yang rumit, menghafalkan mantra-mantra, menghafal tanggal-tanggal penemuan sihir dan pemberontakan goblin....
Kemudian, kira-kira seminggu sebelum ujian dimulai, keputusan baru Harry untuk tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, di luar dugaan mendapat ujian. Ketika pulang dari perpustakaan sendirian pada suatu sore, dia mendengar ada yang merintih di ruang kelas di atasnya. Ketika mendekat, Harry mendengar suara Quirrell.
"Jangan—jangan—tolong jangan lagi..." Kedengarannya ada yang sedang mengancamnya. Harry bergerak semakin dekat.
"Baiklah—baiklah...," didengarnya Quirrell mengisak.
Detik berikutnya, Quirrell bergegas meninggalkan kelas seraya meluruskan turbannya. Wajahnya pucat dan tampaknya dia hampir menangis. Quirrell bahkan tidak melihat Harry.
Harry menunggu sampai bunyi langkah-langkah Quirrell menghilang, kemudian mengintip ke dalam kelas. Kosong, tapi ada pintu yang terbuka sedikit di ujung satunya. Harry sudah separo jalan menuju pintu itu ketika dia ingat janjinya kepada diri sendiri untuk tidak ikut campur urusan orang lain.
Meskipun demikian, dia bersedia mempertaruhkan dua belas Batu Bertuah bahwa Snape baru saja meninggalkan ruangan, dan dari apa yang baru didengarnya, Snape pastilah berjalan dengan langkah ringan— agaknya Quirrell akhirnya menyerah.
Harry kembali ke perpustakaan. Hermione sedang membantu Ron belajar Astronomi dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Harry memberitahu mereka apa yang baru saja didengarnya.
"Snape berhasil, kalau begitu!" kata Ron. "Kalau Quirrell sudah memberitahu bagaimana memunahkan Mantra Anti-Sihir Hitamnya..."
"Tapi masih ada Fluffy," kata Hermione.
"Mungkin Snape sudah tahu bagaimana cara melewati Fluffy tanpa bertanya pada Hagrid," kata Ron, memandang ribuan buku yang mengelilingi mereka. "Berani taruhan, di salah satu buku di sini pasti tertulis bagaimana cara melewati anjing berkepala tiga. Jadi, apa yang kita lakukan, Harry?"
Kilat petualangan bersinar lagi di mata Ron. Tetapi Hermione menjawab sebelum Harry sempat buka mulut.
"Pergi ke Dumbledore. Itu seharusnya sudah kita lakukan sejak dulu. Kalau kita mencoba bertindak sendiri, jelas kita akan dikeluarkan."
"Tapi kita tak punya bukti!" kata Harry. "Quirrell terlalu takut untuk mendukung kita. Snape tinggal bilang dia tak tahu bagaimana troll bisa masuk pada malam Hallowe'en dan bahwa dia tak berada dekatdekat lantai tiga. Menurut kalian, siapa yang akan dipercaya, dia atau kita? Kan bukan rahasia kita membencinya. Dumbledore akan mengira kita mengarang-ngarang supaya Snape dipecat. Filch jelas tidak akan mau membantu kita. Dia sahabat dekat Snape, dan menurut pendapatnya semakin banyak murid yang dikeluarkan, semakin baik. Dan jangan lupa, kita sebetulnya tidak boleh tahu tentang batu itu ataupun Fluffy. Itu bakal perlu penjelasan panjang."
Hermione kelihatannya bisa diyakinkan, tetapi Ron tidak.
"Kalau kita menyelidiki sedikit..."
"Tidak," kata Harry datar, "kita sudah terlalu banyak menyelidiki dan ikut campur."
Harry menarik peta Jupiter ke arahnya dan mulai menghafal nama bulan-bulannya.

***

Keesokan paginya, sepucuk surat dijatuhkan di meja sarapan untuk Harry, Hermione, dan Neville. Isinya semua sama: Detensimu akan berlangsung pukul sebelas malam ini. Temui Mr Filch di Aula Depan.
Prof. M. McGonagall
Dalam kehebohan gara-gara begitu banyak angka yang dipotong dari Gryffindor, Harry sudah lupa mereka masih harus menjalani detensi. Dia mengira Hermione akan mengeluh karena mereka akan kehilangan waktu belajar semalam, tetapi Hermione diam saja. Seperti Harry dia merasa mereka pantas mendapat hukuman itu.
Pukul sebelas malam itu mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ron di ruang rekreasi dan pergi ke Aula Depan bersama Neville. Filch sudah ada— begitu pula Malfoy. Harry juga sudah lupa bahwa Malfoy pun mendapat detensi.
"Ikut aku," kata Filch seraya menyalakan lampu dan mengajak mereka keluar. "Taruhan, setelah ini kalian pasti berpikir dua kali dulu sebelum melanggar peraturan sekolah, eh?" Dia menyeringai kepada mereka. "Oh ya... kerja keras dan penderitaan adalah guru yang paling baik, kalau kalian tanya padaku... sayangnya mereka tidak memakai lagi cara hukuman yang dulu... menggantung kalian pada pergelangan tangan dari atap selama beberapa hari, rantainya masih ada di kamarku, kuminyaki terus, siapa tahu suatu kali diperlukan lagi... Baik, ayo kita berangkat, dan jangan coba-coba kabur, makin parah lagi nanti bagi kalian."
Mereka menyeberangi lapangan gelap. Neville terus terisak.
Harry bertanya-tanya hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Pasti sesuatu yang mengerikan, kalau tidak Filch tidak akan sesenang ini.
Bulan bersinar terang, tetapi awan-awan yang melintasinya berkali-kali membuat mereka berjalan dalam kegelapan. Di depan, Harry bisa melihat jendelajendela pondok Hagrid yang menyala. Kemudian dari kejauhan mereka mendengar suara.
"Kaukah itu, Filch? Cepat, aku mau mulai."
Semangat Harry bangkit. Jika ada Hagrid, keadaan tidak terlalu buruk. Kelegaannya pastilah tampak di wajahnya, karena Filch berkata, "Rupanya kau mengira kau akan bersenang-senang bersama orang kasar itu, ya? Pikir lagi, Nak—kalian akan dibawa ke Hutan dan aku keliru sekali kalau mengira kalian semua berhasil keluar utuh nanti."
Mendengar ini, Neville merintih dan Malfoy berhenti berjalan.
"Hutan?" dia mengulang, dan suaranya tidak sesombong biasanya. "Kita tidak boleh ke sana di malam hari—ada macammacam di sana—manusia serigala, kudengar." Neville mencengkeram lengan jubah Harry dan mengeluarkan suara tersedak.
"Salah kalian sendiri, kan?" kata Filch, suaranya serak saking senangnya. "Mestinya ingat soal manusia serigala itu sebelum melanggar peraturan, ya, kan?"
Hagrid berjalan ke arah mereka dari kegelapan, Fang membuntutinya. Dia membawa busur besarnya, dan sekantong anak panah tergantung di bahunya.
"Sudah waktunya," katanya. "Aku sudah tunggu setengah jam. Baik-baik saja, Harry, Hermione?"
"Jangan terlalu ramah pada mereka, Hagrid," kata Filch dingin, "mereka kan akan dihukum."
"Itu sebabnya kau telat, kan?" kata Hagrid kepada Filch, dahinya berkerut. "Tadi kaumarahi mereka, ya? Bukan kewajibanmu. Tugasmu sudah selesai. Biar kuambil alih sekarang."
"Aku akan kembali besok pagi," kata Filch, "untuk mengambil entah apa yang tersisa dari mereka," dia menambahkan dengan menyebalkan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke kastil, lampunya terayun-ayun dalam gelap.
Malfoy sekarang menoleh kepada Hagrid. "Aku tak mau masuk Hutan itu," katanya, dan Harry senang mendengar nada panik dalam suaranya.
"Harus, kalau kau mau tetap di Hogwarts," kata Hagrid galak. "Kau sudah lakukan kesalahan dan sekarang harus bayar."
"Tapi ini untuk kelas pelayan, bukan untuk pelajar. Kukira kami akan disuruh menulis atau yang semacamnya. Kalau ayahku tahu aku dihukum begini, dia akan..."
"... bilang padamu memang begitulah di Hogwarts," geram Hagrid. "Menulis! Apa gunanya? Kau akan lakukan sesuatu yang berguna, kalau tidak mau, keluar saja. Kalau kaupikir ayahmu lebih suka kau dikeluarkan, ya balik saja ke kastil dan pak kopermu. Ayo!"
Malfoy tidak bergerak. Dia memandang Hagrid dengan marah, tetapi kemudian menunduk.
"Baiklah," kata Hagrid. "Sekarang dengar baik-baik, karena apa yang akan kita lakukan malam ini berbahaya dan aku tak mau ada yang ambil risiko. Ikut aku ke sini dulu."
Dia membawa mereka sampai ke tepi Hutan. Seraya mengangkat lampunya tinggi-tinggi, dia menunjuk jalan tanah setapak yang sempit dan berkelok-kelok yang menghilang di antara pepohonan besar-besar dan gelap. Angin sepoi menerbangkan rambut mereka ketika mereka memandang ke dalam Hutan.
"Lihat di sana," kata Hagrid, "lihat yang berkilau di tanah itu?
Yang keperakan? Itu darah unicorn. Di dalam ada unicorn yang luka parah digigit entah apa. Ini kedua kalinya dalam seminggu.
Aku temukan satu unicorn mati Rabu lalu. Kita akan cari makhluk malang itu. Mungkin kita harus bebaskan dia dari penderitaannya."
"Dan bagaimana kalau entah apa yang menggigit unicorn itu lebih dulu menemukan kita?" kata Malfoy, tak sanggup menyembunyikan ketakutan dari suaranya.
"Tak ada satu pun di Hutan yang akan melukaimu kalau kau bersamaku atau Fang," kata Hagrid. ''Dan ikuti jalan ini. Baik, sekarang kita bagi menjadi dua rombongan dan kita ikuti jejak ke dua arah yang berlainan. Ada bercak darah di mana-mana, paling tidak si unicorn sudah berkeliaran kesakitan sejak semalam."
"Aku mau bersama Fang," kata Malfoy cepat-cepat, seraya memandang gigi Fang yang panjang-panjang.
"Baiklah, tapi kuingatkan kau, dia pengecut," kata Hagrid.
"Jadi aku, Harry dan Hermione akan ke satu arah, sedangkan Draco, Neville, dan Fang ke arah lain. Nah, kalau salah satu dari kita temukan unicorn itu, kita kirim bunga api hijau, oke?
Keluarkan tongkat kalian dan berlatihlah sekarang—bagus—dan kalau ada yang dapat kesulitan, kirim bunga api merah, dan kami semua akan datang cari kalian—jadi, hatihatilah—ayo berangkat."
Hutan gelap dan sunyi. Tak lama kemudian jalan tanah itu bercabang. Harry, Hermione, dan Hagrid menuju ke kiri, sedang Malfoy, Neville, dan Fang ke kanan.
Mereka berjalan dalam diam, mengarahkan pandangan ke tanah. Sekali-sekali seberkas sinar bulan menembus dahan-dahan pepohonan di atas, menyinari bercak darah biru keperakan di atas dedaunan yang rontok.
Harry melihat Hagrid tampak sangat cemas. "Mungkinkah manusia serigala membunuh unicorn-unicorn ini?" tanya Harry.
"Tidak cukup cepat," kata Hagrid. "Tak mudah tangkap unicorn, mereka makhluk magis yang kekuatannya luar biasa.
Tak pernah kulihat ada unicorn luka sebelumnya."
Mereka melewati tunggul pohon berlumut. Harry bisa mendengar aliran air. Pasti di dekat-dekat situ ada sungai.
Masih tampak bercak-bercak darah unicorn di sana-sini di sepanjang jalan berkelok itu.
"Kau tak apa-apa, Hermione?" Hagrid berbisik. "Jangan khawatir, dia tak bisa pergi jauh-jauh kalau lukanya separah ini dan nanti kita bisa me—KE BALIK POHON ITU!"
Hagrid menyambar Harry dan Hermione dan menarik mereka ke belakang pohon ek besar. Ditariknya sebatang anak panah dan dipasangnya pada busurnya, siap diluncurkan.
Ketiganya mendengarkan. Sesuatu menggeleser di atas daundaun yang gugur di dekat situ. Kedengarannya seperti jubah yang terseret di tanah. Hagrid menyipitkan mata memandang jalan gelap itu, tetapi setelah beberapa detik, bunyi itu semakin menjauh.
"Aku tahu," Hagrid bergumam. "Ada sesuatu di sini yang seharusnya tidak ada."
"Manusia serigala?" Harry mengusulkan.
"Itu bukan manusia serigala dan bukan unicorn juga," kata Hagrid muram. "Baik, ikuti aku, tapi hati-hati sekarang."
Mereka berjalan lebih lambat, memasang telinga untuk menangkap bunyi paling pelan sekalipun. Mendadak, di lapangan terbuka di depan mereka, jelasjelas sesuatu bergerak.
"Siapa itu?" teriak Hagrid. "Perlihatkan dirimu. Aku bersenjata!"
Dan ke tempat terbuka itu muncullah—apakah itu manusia atau kuda? Sampai pinggang dia manusia, dengan rambut dan jenggot merah, tetapi di bawah itu tubuh kuda cokelat berkilau, dengan ekor panjang kemerahan. Harry dan Hermione ternganga.
"Oh, kau rupanya, Ronan," kata Hagrid lega. "Apa kabar?"
Hagrid maju dan menjabat tangan centaurus itu.
"Selamat malam, Hagrid," kata Ronan. Suaranya dalam dan sedih. "Apa kau tadi mau memanahku?"
"Tak ada salahnya hati-hati, Ronan," kata Hagrid, membelai busurnya. "Ada sesuatu yang jahat keliaran di Hutan ini. Ini Harry Potter dan Hermione Granger. Murid Hogwarts. Dan ini Ronan, anak-anak. Dia centaurus."
"Kami sudah melihat," kata Hermione lemah.
"Selamat malam," kata Ronan. "Kalian pelajar, ya? Banyak yang kalian pelajari di sekolah?"
"Erm..."
"Sedikit," kata Hermione malu-malu.
"Sedikit. Yah, lumayan," Ronan menghela napas.
Dia menengadah, memandang langit. "Mars terang malam ini."
"Yeah," kata Hagrid, ikut memandang ke atas. "Dengar, aku senang kami bertemu kau, Ronan, karena ada unicorn yang luka—kau lihat sesuatu?"
Ronan tidak langsung menjawab. Dia menatap ke atas tanpa berkedip, kemudian menghela napas lagi.
"Selalu saja yang tak bersalah jadi korban lebih dulu,"
katanya. "Begitulah sejak berabad-abad lalu, begitulah juga sekarang."
"Yeah," kata Hagrid, "tapi apa kau lihat sesuatu, Ronan?
Sesuatu yang luar biasa?"
"Mars terang malam ini," Ronan mengulangi sementara Hagrid memandangnya dengan tak sabar. "Luar biasa terang."
"Yeah, tapi yang kumaksud sesuatu yang lebih dekat ke tanah," kata Hagrid. "Jadi kau tidak lihat sesuatu yang luar biasa?"
Sekali lagi, perlu beberapa saat bagi Ronan untuk menjawab.
Akhirnya dia berkata, "Hutan ini menyembunyikan banyak rahasia."
Gerakan di pepohonan di belakang Ronan membuat Hagrid mengangkat busurnya lagi, tetapi ternyata hanya centaurus kedua, bertubuh dan berambut hitam, dan kelihatan lebih liar daripada Ronan.
"Halo, Bane," kata Hagrid. "Kau tak apa-apa?"
"Selamat malam, Hagrid. Kuharap kau baik-baik saja."
"Cukup baik. Begini, aku baru saja menanyai Ronan, kau lihat sesuatu yang aneh di sini belakangan ini?" Bane maju berdiri di sebelah Ronan. Dia menatap ke langit.
"Mars terang malam ini," cuma itu katanya.
"Kami sudah dengar," kata Hagrid sebal. "Kalau kalian lihat sesuatu, beritahu aku, ya? Kami akan jalan lagi sekarang."
Harry dan Hermione mengikuti Hagrid meninggalkan tempat terbuka itu, berkali-kali menoleh memandang Ronan dan Bane, sampai pohon-pohon menutup pandangan mereka.
"Jangan pernah," kata Hagrid jengkel, "coba mendapat jawaban langsung dari centaurus. Pengamat bintang yang fanatik. Tak tertarik pada apa pun yang lebih dekat daripada bulan."
"Apa ada banyak centaurus di sini?" tanya Hermione.
"Oh, cukup banyak... Berkelompok dengan kaumnya sendiri, kebanyakan, tetapi mereka bersedia muncul kalau aku perlu bicara. Mereka pemikir, centaurus itu... mereka banyak tahu...
cuma tidak banyak bicara."
"Apakah menurutmu yang kita dengar tadi, sebelum ketemu Ronan, adalah centaurus?" tanya Harry.
"Apa kedengarannya seperti langkah kaki kuda bagimu?
Bukan, menurutku, tadi itu yang bunuh unicorn—belum pernah dengar yang seperti itu."
Mereka berjalan terus menembus pepohonan yang rapat dan gelap. Harry berkali-kali menoleh ke belakang dengan cemas.
Dia punya perasaan tak enak bahwa mereka sedang diawasi.
Dia senang Hagrid dan busurnya bersama mereka. Mereka baru saja membelok ketika Hermione mencengkeram lengan Hagrid.
"Hagrid! Lihat! Bunga api merah, yang lain dalam bahaya!"
"Kalian berdua tunggu sini!" teriak Hagrid. "Tetap di jalan ini, nanti aku kembali!"
Mereka mendengar bunyi berkeresak ketika Hagrid menerobos belukar. Keduanya saling pandang, sangat ketakutan, sampai mereka tak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali gesekan daun-daun di sekitar mereka.
"Menurutmu apakah mereka terluka?" bisik Hermione.
"Aku tak peduli kalau Malfoy luka, tetapi kalau terjadi sesuatu pada Neville... salah kitalah dia ada di sini."
Menit demi menit berlalu lambat. Telinga mereka rasanya lebih tajam daripada biasanya. Harry merasa bisa mendengar setiap desah angin, setiap derik ranting. Apa yang terjadi? Di mana yang lain?
Akhirnya, bunyi berkeresak keras menandakan kembalinya Hagrid. Malfoy, Neville, dan Fang bersamanya. Hagrid berang sekali. Malfoy rupanya diam-diam menyergap Neville dari belakang, maksudnya hanya untuk bergurau. Neville panik dan mengirim bunga api.
"Kita beruntung kalau masih bisa tangkap sesuatu sekarang, setelah suara-suara yang kalian buat. Baik, kita ganti rombongan—Neville, kau bersamaku dan Hermione. Harry, kau pergi bersama Fang dan idiot ini. Sori," Hagrid menambahkan dengan berbisik kepada Harry, "tapi dia akan lebih sulit menakut-nakutimu, dan kita harus selesaikan ini."
Maka Harry menuju ke tengah Hutan bersama Malfoy dan Fang. Mereka berjalan selama hampir setengah jam, makin jauh masuk ke Hutan, sampai jalan tanah itu nyaris tak bisa diikuti lagi karena pepohonan begitu rapat. Menurut Harry darahnya kelihatan semakin pekat. Ada cipratan di akar sebatang pohon, seakan makhluk malang itu berputar-putar kesakitan di dekat situ. Lewat celah di antara cabang-cabang pohon ek tua, Harry bisa melihat tanah terbuka di depan mereka.
"Lihat...," gumamnya, merentangkan tangan untuk menghentikan Malfoy.
Sesuatu yang putih terang berkilauan di tanah. Mereka beringsut mendekat.
Ternyata memang unicorn, dan dia sudah mati. Belum pernah Harry melihat sesuatu seindah dan sesedih itu. Kakinya yang ramping panjang mencuat janggal di tempat dia terjatuh dan surainya yang putih berkilau menjurai bagai mutiara di atas daundaun yang gelap.
Harry sudah maju selangkah mendekatinya ketika bunyi menggeleser membuatnya terpaku di tempat. Semak di tepi tempat terbuka itu bergetar... Kemudian, dari bayang kegelapan, muncul sosok berkerudung, merangkak di tanah seperti binatang yang sedang mendekati mangsanya. Harry, Malfoy dan Fang berdiri terpaku. Sosok berkerudung itu sudah tiba di samping unicorn, menundukkan kepalanya ke arah luka di sisi tubuh unicorn, dan mulai menyeruput darahnya.
"AAAAAAAAAARGH!"
Malfoy menjerit ngeri dan melesat kabur—begitu juga Fang.
Sosok berkerudung itu mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada Harry—darah unicorn menetes-netes ke bagian depan tubuhnya. Dia berdiri dan berjalan cepat mendekati Harry—Harry sendiri tak bisa bergerak saking takutnya.
Kemudian rasa sakit menusuk kepalanya. Belum pernah Harry merasakan sakit sepedih ini, seakan bekas lukanya terbakar—setengah buta, dia terhuyung ke belakang.
Didengarnya bunyi tapak kuda di belakangnya, lari berderap, dan sesuatu melompatinya, menerjang sosok itu.
Sakit di kepala Harry tak tertahankan lagi, dia jatuh berlutut.
Satu-dua menit kemudian barulah rasa sakit itu lenyap. Ketika Harry mendongak, sosok itu telah lenyap. Centaurus berdiri di depannya. Bukan Ronan ataupun Bane. Yang ini kelihatan lebih muda, rambutnya pirang dan tubuh kudanya berbulu putih.
"Kau tak apa-apa?" tanya si centaurus seraya membantu Harry berdiri.
"Ya—terima kasih—tadi itu apa?"
Si centaurus tidak menjawab. Mata birunya luar biasa, seperti batu safir pucat. Dia memandang Harry dengan teliti, matanya lama terpancang pada bekas luka hitam-kelabu yang tampak nyata di dahi Harry.
"Kau Harry Potter," katanya. "Sebaiknya kau kembali pada Hagrid. Hutan tidak aman pada saat ini— terutama untukmu.
Kau bisa naik kuda? Supaya lebih cepat.”
"Namaku Firenze," katanya menambahkan seraya menekuk kaki depannya, berlutut, agar Harry bisa naik ke punggungnya.
Mendadak terdengar lebih banyak derap kaki kuda dari sisi lain tanah terbuka. Ronan dan Bane muncul dari balik pepohonan, terengah-engah dan berkeringat.
"Firenze!" gelegar Bane. "Apa yang kaulakukan? Ada manusia di punggungmu! Sungguh kau tak tahu malu.
Memangnya kau bagal angkut biasa?"
"Sadarkah kalian siapa ini?" kata Firenze. "Ini Harry Potter.
Lebih cepat dia meninggalkan hutan ini lebih baik."
"Kau cerita apa saja kepadanya?" Bane menggeram. "Ingat, Firenze, kita sudah disumpah untuk tidak mencampuri urusan langit. Bukankah kita sudah membaca apa yang akan terjadi di pergerakan planet-planet?"
Ronan mengais-ngais tanah dengan gelisah. "Aku yakin Firenze melakukan yang menurutnya terbaik," kata Ronan dengan suaranya yang sedih. Bane menyentakkan kaki belakangnya dengan berang.
"Terbaik! Apa kaitannya dengan kita? Centaurus berurusan dengan apa yang telah diramalkan! Bukan tugas kita untuk berkeliaran seperti keledai, menyelamatkan manusia yang tersesat di Hutan kita!"
Firenze mendadak berdiri di atas kaki belakangnya dengan gusar, sehingga Harry harus berpegangan pada bahunya supaya tidak jatuh.
"Apa kau tidak melihat unicorn itu?" Firenze berteriak kepada Bane. "Apa kau tidak mengerti kenapa dia dibunuh?
Atau apakah planet-planet tidak memberitahukan rahasia itu kepadamu? Aku akan melawan apa yang bersembunyi di hutan ini, Bane, ya, bersama manusia kalau perlu."
Dan Firenze berputar; dengan Harry mencengkeram bahunya sebisa mungkin, mereka masuk ke antara pepohonan, meninggalkan Ronan dan Bane di belakang mereka.
Harry sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. "Kenapa Bane begitu marah?" dia bertanya. "Kau menyelamatkanku dari makhluk apa?"
Firenze melambatkan larinya hingga akhirnya dia berjalan, memperingatkan Harry agar menunduk supaya tidak menabrak dahan-dahan rendah, tetapi tidak menjawab pertanyaannya.
Mereka menembus pepohonan dalam diam selama begitu lama sampai Harry mengira Firenze tidak mau lagi bicara padanya.
Mereka sedang melewati pepohonan yang sangat rapat, ketika Firenze tiba-tiba berhenti.
"Harry Potter, tahukah kau darah unicorn digunakan untuk apa?"
"Tidak," jawab Harry, kaget mendengar pertanyaan aneh itu.
"Kami cuma memakai tanduk dan rambut ekornya dalam pelajaran Ramuan."
"Itu karena membunuh unicorn adalah perbuatan yang amat keji," kata Firenze. "Hanya orang yang tak akan rugi, malah sangat diuntungkan, yang mau melakukan kejahatan semacam itu. Darah unicorn akan membuatmu tetap hidup, bahkan kalau kau sudah tinggal sejengkal dari kematian, tetapi harga yang harus dibayar mengerikan sekali. Kau telah membunuh sesuatu yang murni dan tak berdaya untuk menyelamatkan dirimu dan kau hanya akan setengah hidup, hidup yang terkutuk, begitu darah unicorn menyentuh bibirmu."
Harry menatap bagian belakang kepala Firenze, yang berkilau keperakan tertimpa cahaya bulan.
"Tetapi siapa yang begitu putus asa?" tanyanya. "Kalau kau akan dikutuk selamanya, lebih baik mati, kan?"
"Memang," kata Firenze, "kecuali yang kauperlukan hanyalah bertahan hidup cukup lama untuk meminum sesuatu yang lain—sesuatu yang bisa mengembalikan kekuatan dan kekuasaanmu sepenuhnya—sesuatu yang berarti kau tak akan bisa mati. Mr Potter, tahukah kau apa yang disembunyikan di sekolah saat ini?"
"Batu Bertuah! Tentu saja—Cairan Kehidupan! Tapi aku tak mengerti siapa..."
"Tak terpikirkah olehmu seseorang yang telah menunggu bertahun-tahun untuk kembali berkuasa, yang bertahan hidup, menunggu datangnya kesempatan?"
Seakan ada tangan besi yang mendadak mencengkeram jantung Harry. Di antara bunyi keresak dedaunan, seakan dia mendengar lagi apa yang dikatakan Hagrid pada malam mereka bertemu untuk pertama kalinya: "Ada yang bilang dia mati.
Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati."
"Maksudmu," kata Harry serak, "tadi itu Vol..."
"Harry! Harry, kau tak apa-apa?"
Hermione berlari ke arah mereka, Hagrid terengahengah di belakangnya.
"Aku baik-baik saja," kata Harry, hampir tak memahami apa yang diucapkannya. "Unicorn-nya mati, Hagrid, di tanah kosong di belakang sana."
"Sekaranglah saatnya aku meninggalkanmu,"
Firenze bergumam sementara Hagrid bergegas memeriksa unicorn. "Kau sudah aman sekarang."
Harry meluncur turun dari punggungnya.
"Semoga selamat, Harry Potter," kata Firenze. "Planet-planet pernah ditafsirkan secara keliru sebelum ini, bahkan oleh centaurus. Kuharap ini salah satu di antara kekeliruan itu."
Firenze berbalik dan melangkah kembali ke dalam Hutan, meninggalkan Harry gemetar di belakangnya.

***

Ron tertidur di ruang rekreasi yang gelap, menunggu mereka pulang.
Dia mengigau, meneriakkan sesuatu tentang pelanggaran dalam pertandingan Quidditch ketika Harry mengguncangnya keras-keras, membangunkannya. Dalam beberapa detik saja matanya sudah terbuka lebar ketika Harry mulai bercerita kepadanya dan Hermione, tentang apa yang terjadi di Hutan.
Harry tak bisa duduk. Dia mondar-mandir di depan perapian.
Dia masih gemetar.
"Snape menginginkan Batu Bertuah itu untuk Voldemort...
dan Voldemort menunggu di Hutan... dan selama ini kita mengira Snape hanya sekadar ingin kaya..."
"Jangan ucapkan lagi nama itu!" bisik Ron ketakutan, seakan dia mengira Voldemort bisa mendengar mereka.
Harry tidak mendengarkan.
"Firenze menyelamatkan aku, tetapi seharusnya tidak boleh...
Bane marah sekali... katanya mereka tidak boleh ikut campur dengan apa yang telah diramalkan planet-planet... Planet-planet itu pastilah menunjukkan bahwa Voldemort akan kembali...
Bane berpendapat Firenze seharusnya membiarkan Voldemort membunuhku... Kurasa itu juga sudah tertulis pada bintangbintang."
"Jangan sebut-sebut lagi nama itu!" desis Ron. "Jadi sekarang aku tinggal menunggu Snape mencuri batu itu," kata Harry tegang. "Setelah itu Voldemort bisa datang dan menghabisiku...
Yah, kurasa Bane akan senang.” Hermione kelihatan sangat ketakutan, tetapi dia menghibur Harry.
“Harry, semua orang bilang Dumbledore-lah satu-satunya orang yang ditakuti Kau-Tahu-Siapa. Kalau ada Dumbledore, Kau-Tahu-Siapa tidak akan menyentuhmu. Lagi pula, siapa bilang centaurus benar? Bagiku kedengarannya seperti ramalan, dan Profesor McGonagall bilang itu cabang ilmu gaib yang paling tidak tepat.”
Langit sudah berubah terang sebelum mereka berhenti bicara.
Mereka berangkat tidur dalam kelelahan, kerongkongan mereka sakit. Tetapi kejutan-kejutan malam itu belum berakhir.
Ketika Harry menarik penutup tempat tidurnya, dia menemukan Jubah Gaib-nya di bawahnya. Ada kertas yang disematkan pada jubah itu, dengan pesan berikut: Siapa tahu perlu.
***

16. Menembus Pintu Jebakan

DI TAHUN-TAHUN mendatang, Harry tidak bisa ingat bagaimana persisnya dia bisa mengerjakan soal-soal ujiannnya ketika dia setengah percaya Voldemort bisa menerobos masuk setiap saat. Tetapi hari-hari berlalu dan tak ada keraguan Fluffy masih hidup dan sehat di balik pintu tertutup.
Udara panas sekali, terutama di ruang kelas besar tempat mereka mengerjakan ujian tertulis. Kepada mereka dibagikan pena bulu baru khusus untuk ujian, pena yang telah disihir dengan mantra anti menyontek.
Mereka juga ujian praktek. Profesor Flitwick memanggil mereka satu per satu ke dalam kelas untuk menguji apakah mereka bisa membuat nenas menari di atas meja. Profesor McGonagall mengawasi mereka mengubah tikus menjadi kotak tembakau—angka diberikan sesuai dengan seberapa indahnya kotak tembakau itu, tetapi dikurangi jika kotak itu punya kumis.
Snape membuat mereka gugup, terus menempel sementara mereka mencoba mengingat bagaimana membuat Ramuan Lupa.
Harry mengerjakan tugas-tugasnya sebaik mungkin, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menusuk-nusuk dahinya, yang terus mengganggunya sejak perjalanannya ke Hutan. Neville mengira Harry senewen berat gara-gara ujian karena Harry tak bisa tidur, tetapi kenyataannya adalah Harry berkali-kali terbangun gara-gara mimpi buruknya yang dulu, hanya saja sekarang mimpi itu lebih mengerikan, karena ada sosok berkerudung dengan darah menetes-netes di dalam mimpinya.
Mungkin karena mereka tidak melihat apa yang dilihat Harry di dalam Hutan, atau karena mereka tidak memiliki bekas luka yang terasa panas membara di dahi mereka, tetapi Ron dan Hermione tidak secemas Harry memikirkan batu itu. Voldemort tentu saja membuat mereka takut, tetapi dia tidak mendatangi mereka berkali-kali dalam mimpi, dan mereka terlalu sibuk belajar sehingga tak puny a banyak waktu untuk mencemaskan apa yang akan dilakukan Snape atau penyihir jahat lainnya.
Ujian terakhir mereka adalah Sejarah Sihir. Setelah satu jam menjawab berbagai pertanyaan tentang penyihir nyentrik yang menemukan kuali yang bisa mengaduk sendiri, mereka akan bebas—bebas selama seminggu penuh yang menyenangkan sampai hasil ujian mereka diumumkan. Ketika hantu Profesor Binns menyuruh mereka meletakkan pena bulu dan menggulung perkamen mereka, Harry ikut bersorak bersama yang lain.
"Ujiannya lebih mudah daripada dugaanku," kata Hermione, ketika mereka bergabung dengan gerombolan anak-anak keluar ke lapangan yang disinari matahari. "Aku tak perlu menghafalkan Kitab Peri Laku Manusia Serigala Tahun 1637
atau pemberontakan Elfric si Penuh Semangat."
Hermione senang mendiskusikan soal-soal ujiannya, tetapi Ron mengatakan ini membuatnya pusing, maka mereka pergi ke danau dan duduk di bawah pohon. Si kembar Weasley dan Lee Jordan sedang menggelitik sungut cumi-cumi raksasa yang sedang menghangatkan diri di air yang dangkal.
"Tak perlu lagi belajar," Ron menghela napas dengan senang, berbaring di atas rumput. "Ceria sedikit dong, Harry, kita punya waktu seminggu sebelum kita tahu ujian kita jeblok. Sekarang tak perlu cemas."
Harry menggosok-gosok dahinya.
"Aku ingin tahu apa artinya ini!" celetuknya jengkel. "Bekas lukaku sakit terus—sebelumnya memang pernah sakit, tapi tidak sesering ini."
"Pergilah ke Madam Pomfrey," Hermione mengusulkan.
"Aku tidak sakit," kata Harry. "Kurasa ini peringatan...
artinya akan ada bahaya..."
Ron tak bisa diajak kompromi, hawa terlalu panas.
"Harry, santai saja. Hermione benar. Batu itu aman selama Dumbledore ada. Lagi pula, kita tak pernah punya bukti Snape sudah menemukan cara melewati Fluffy. Kakinya pernah nyaris copot satu kali, dia tidak akan buru-buru mencoba lagi. Dan Neville akan main Quidditch untuk tim Inggris sebelum Hagrid mengecewakan Dumbledore."
Harry mengangguk, tetapi dia tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lupa dia lakukan, sesuatu yang penting. Ketika dia mencoba menjelaskan soal ini, Hermione berkata, "Itu cuma dampak ujian. Semalam aku terbangun dan sudah membaca setengah buku catatan Transfigurasi-ku sebelum aku ingat ujian itu sudah selesai."
Meskipun demikian, Harry yakin perasaannya yang galau tidak ada hubungannya dengan ujian. Dia memandang seekor burung hantu terbang menuju sekolah melintasi langit biru cerah, paruhnya menggigit surat. Hagrid-lah satu-satunya orang yang pernah mengiriminya surat. Hagrid tak akan pernah mengkhianati Dumbledore.
Hagrid tak akan pernah memberitahu siapa pun bagaimana caranya melewati Fluffy... tak pernah... tetapi...
Mendadak Harry melompat bangun.
"Mau ke mana kau?" tanya Ron mengantuk.
"Baru saja terpikir olehku," kata Harry Wajahnya sudah menjadi pucat. "Kita harus menemui Hagrid sekarang."
"Kenapa?" Hermione tersengal, berusaha mengejar Harry.
"Tidakkah menurut kalian agak aneh," kata Harry sambil mendaki lereng berumput, "bahwa Hagrid sangat ingin memiliki naga, dan tiba-tiba saja muncul orang asing yang kebetulan punya telur naga dalam kantongnya? Berapa orang sih yang bepergian membawa telur naga, padahal sebetulnya itu dilarang oleh undang-undang penyihir? Untung mereka menemukan Hagrid, iya, kan? Kenapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya?"
"Apa sih maksudmu?" tanya Ron. Tetapi Harry yang berlari menyeberangi lapangan menuju. tepi Hutan, tidak menjawab.
Hagrid sedang duduk di kursi berlengan di luar rumahnya.
Celana panjang dan lengan kemejanya digulung dan dia sedang mengupas kacang polong yang kemudian dimasukkannya ke dalam mangkuk besar.
"Halo," sapanya, tersenyum. "Selesai ujian? Ada waktu untuk minum?"
"Ada," kata Ron, tetapi Harry menyelanya.
"Tidak, kami sedang buru-buru. Hagrid, aku harus tanya sesuatu padamu. Kau ingat malam kau memenangkan Norbert?
Seperti apa orang asing yang main kartu denganmu itu?"
"Tak tahu," kata Hagrid santai, "dia tak mau lepas kerudungnya." Hagrid melihat mereka bertiga kaget dan dia mengangkat alisnya.
"Tidak begitu luar biasa, ada banyak orang aneh di Hog's Head—itu nama tempat minum di desa itu. Mungkin saja dia pedagang naga, kan? Aku tak pernah lihat mukanya, kerudungnya dipakai terus."
Harry terenyak duduk di sebelah mangkuk kacang polong.
"Apa yang kauobrolkan dengannya? Apa kau menyebut-nyebut Hogwarts?"
"Mungkin saja," kata Hagrid mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat. "Yeah... dia tanya aku kerja apa, dan kukatakan aku pengawas binatang liar di sini... Dia tanya-tanya sedikit tentang makhluk-makhluk apa yang kupelihara... jadi kuceritakan... dan. kubilang yang sebetulnya kuinginkan adalah naga... dan kemudian... aku tak ingat persis, karena dia terus-terusan belikan aku minum... Coba kuingat... yeah, kemudian dia bilang dia punya telur naga dan kami bisa main kartu dengan telur itu sebagai taruhannya kalau aku mau... tapi dia harus yakin aku bisa rawat naganya, dia tak mau telur naganya jatuh ke rumah sembarangan. Jadi kubilang, setelah Fluffy, naga sih barang mudah..."
"Dan apakah dia—apakah dia kelihatannya tertarik pada Fluffy?" Harry bertanya, berusaha agar suaranya tetap tenang.
"Nah—yeah—ada berapa anjing kepala tiga yang kautemui, bahkan di Hogwarts sekalipun? Jadi kuceritakan, Fluffy barang mudah kalau kau tahu cara menenangkan dia. Mainkan saja musik, maka dia akan langsung tertidur..."
Mendadak Hagrid tampak ketakutan.
"Seharusnya tak kuceritakan pada kalian!" sergah Hagrid.
"Lupakan saja apa yang barusan aku bilang! Hei—mau ke mana kalian?"
Harry, Ron, dan Hermione sama sekali tidak saling bicara sampai mereka berhenti di Aula Depan, yang terasa sangat dingin dan suram dibanding lapangan di luar.
"Kita harus menemui Dumbledore," kata Harry. "Hagrid memberitahu orang asing itu cara melewati Fluffy, dan entah Snape atau Voldemort di bawah kerudung itu—pasti soal gampang, begitu dia berhasil membuat Hagrid mabuk. Kuharap saja Dumbledore mempercayai kita. Firenze mungkin mau mendukung kita kalau Bane tidak melarangnya. Di mana kantor Dumbledore?"
Mereka memandang berkeliling, seakan berharap melihat papan yang bisa menunjukkan arah yang benar. Mereka tak pernah diberitahu di mana Dumbledore tinggal, dan mereka pun belum pernah bertemu seseorang yang pernah pergi ke kediaman Dumbledore.
"Kita harus...," Harry baru mulai berkata ketika mendadak terdengar suara dari seberang aula.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Profesor McGonagall, membawa setumpuk buku.
"Kami ingin menemui Profesor Dumbledore," kata Hermione, agak nekat, pikir Harry dan Ron.
"Menemui Profesor Dumbledore?" Profesor McGonagall mengulang, seakan itu hal yang sangat aneh. "Kenapa?"
Harry menelan ludah—sekarang bagaimana?
"Ini semacam rahasia," katanya, lalu langsung menyesal, karena lubang hidung Profesor McGonagall melebar.
"Profesor Dumbledore berangkat sepuluh menit yang lalu,"
katanya dingin. "Dia menerima panggilan penting dari Kementerian Sihir dan langsung terbang ke London."
"Dia pergi?" kata Harry panik. "Sekarang?"
"Profesor Dumbledore penyihir hebat, Potter, urusannya banyak..."
"Tapi ini penting."
"Sesuatu yang ingin kausampaikan lebih penting daripada Kementerian Sihir, Potter?"
"Soalnya," kata Harry yang sudah tidak menutup-nutupi lagi,
"Profesor—ini tentang Batu Bertuah..."
Entah apa yang diharapkan Profesor McGonagall, pasti bukan itu. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan dari tangannya, tetapi dia tidak memungutnya.
"Bagaimana kau tahu...?" tanyanya gugup.
"Profesor, saya rasa—saya tahu—bahwa Sn—ada orang yang akan mencoba mencuri batu itu. Saya harus bicara dengan Profesor Dumbledore."
Profesor McGonagall menatapnya dengan kaget bercampur curiga.
"Profesor Dumbledore akan kembali besok," katanya akhirnya. "Aku tak tahu bagaimana kalian sampai bisa tahu tentang batu itu, tetapi tenanglah, tak se-orang pun bisa mencurinya, perlindungannya sangat ketat."
"Tapi, Profesor..."
"Potter, aku tahu apa yang kubicarakan," katanya pendek.
Dia membungkuk dan mengumpulkan buku-bukunya yang jatuh. "Kusarankan kalian semua kembali keluar dan menikmati sinar matahari."
Tetapi mereka tidak melakukan itu.
"Pasti malam ini," kata Harry, begitu dia yakin Profesor McGonagall tak bisa mendengarnya. "Snape akan masuk lewat pintu jebakan malam ini. Dia sudah berhasil mengetahui semua yang diperlukannya dan dia berhasil menyingkirkan Dumbledore. Dialah yang mengirim surat itu. Pasti Kementerian Sihir akan kaget begitu Dumbledore muncul."
"Tapi apa yang bisa kita..."
Hermione terperangah. Harry dan Ron berbalik.
Ada Snape.
"Selamat sore," katanya lancar.
Mereka terbelalak memandangnya.
"Kalian seharusnya tidak berada di dalam pada hari seindah ini," katanya dengan senyum aneh.
"Kami baru...," kata Harry tanpa tahu apa yang akan dikatakannya.
"Kalian seharusnya lebih hati-hati," kata Snape. "Kasak-kusuk begini, orang-orang akan mengira kalian hendak berbuat sesuatu. Dan riskan sekali bagi Gryffindor kalau kehilangan angka lebih banyak lagi, kan?"
Wajah Harry memerah. Mereka berbalik hendak keluar, tetapi Snape memanggil mereka kembali.
"Ingat, Potter—sekali lagi berkeliaran di malam hari, aku sendiri yang akan memastikan kau dikeluarkan. Selamat sore."
Dia berjalan menuju ruang guru. Menuruni undakan batu di luar, Harry menoleh kepada kedua temannya.
"Baik, ini yang akan kita lakukan," bisiknya tegang. "Salah satu dari kita harus memata-matai Snape— tunggu di luar ruang guru dan ikuti dia kalau dia keluar. Hermione, sebaiknya kau saja."
"Kenapa aku?"
"Jelas kenapa," kata Ron. "Kau bisa berpura-pura sedang menunggu Profesor Flitwick, kan." Ron meninggikan suaranya.
"Oh, Profesor Flitwick, saya cemas sekali, saya rasa jawaban saya untuk soal empat belas b salah..."
"Oh, diam kau," kata Hermione, tetapi dia setuju memata-matai Snape. "Dan kami lebih baik berjaga di luar koridor lantai tiga," kata Harry kepada Ron. "Ayo."
Tetapi bagian rencana yang ini tidak bisa dilaksanakan. Baru saja mereka tiba di pintu yang memisahkan Fluffy dari bagian lain sekolah, Profesor McGonagall muncul lagi, dan kali ini dia marah sekali.
"Rupanya kalian pikir kalian lebih susah ditembus daripada satu set mantra sihir!" semburnya. "Cukup omong kosong ini!
Kalau kudengar kalian berada dekat-dekat sini lagi, aku akan mengurangi lima puluh angka lagi dari Gryffindor! Ya, Weasley, dari asramaku sendiri!"
Harry dan Ron kembali ke ruang rekreasi. Harry baru saja berkata, "Paling tidak Hermione mengawasi Snape," ketika lukisan Nyonya Gemuk berayun terbuka dan Hermione masuk.
"Sori, Harry!" ratapnya. "Snape keluar dan bertanya aku sedang apa, jadi kukatakan aku menunggu Flitwick, dan Snape masuk memanggilkan dia. Terpaksa aku buru-buru menyingkir.
Aku tak tahu Snape ke mana."
"Apa boleh buat kalau begitu, kan?" kata Harry. Kedua temannya menatapnya. Wajah Harry pucat dan matanya berkilauan. "Aku akan ke sana malam ini dan aku akan berusaha mendapatkan batu itu lebih dulu."
"Kau gila!" kata Ron.
"Jangan!" cegah Hermione. "Setelah McGonagall dan Snape mengancammu seperti itu? Kau akan dikeluarkan!"
"JADI KENAPA?" teriak Harry. "Tidak mengertikah kalian?
Jika Snape berhasil mendapatkan batu itu, Voldemort akan kembali! Tidak pernahkah kalian dengar bagaimana keadaannya ketika dia mencoba mengambil alih kekuasaan? Tak ada lagi Hogwarts, jadi kita tak bisa dikeluarkan! Dia akan merobohkannya, atau mengubahnya menjadi sekolah untuk Sihir Hitam! Kehilangan angka tidak berarti lagi, tidakkah kalian paham? Apakah kalian pikir dia akan membiarkan kalian dan keluarga kalian hidup tenang jika Gryffindor memenangkan Piala Asrama? Kalau aku tertangkap sebelum mencapai tempat batu itu disimpan, yah, aku harus kembali ke keluarga Dursley dan menunggu Voldemort menemukanku di sana. Itu cuma berarti aku menunda kematian sebentar, karena aku tak mau menyeberang ke Sihir Hitam! Aku akan menembus pintu jebakan malam ini dan apa pun yang kalian katakan, takkan bisa mencegahku! Voldemort membunuh orangtuaku, ingat?"
Dia mendelik menatap mereka.
"Kau betul, Harry," kata Hermione pelan.
"Aku akan memakai Jubah Gaib," kata Harry. "Untunglah jubah itu dikembalikan kepadaku."
"Tapi apa jubah itu bisa menyelubungi kita bertiga?" tanya Ron.
"Ki-kita bertiga?"
"Oh, tentu, mana mungkin kami membiarkanmu pergi sendiri?"
"Tentu saja tidak," kata Hermione tegas. "Kaupikir bagaimana kau bisa mencapai tempat batu tanpa kami? Lebih baik aku mencari di buku-bukuku, siapa tahu ada yang berguna..."
"Tetapi kalau kita tertangkap, kalian berdua akan dikeluarkan juga."
"Tidak, kalau bisa kucegah," kata Hermione muram.
"Flitwick memberitahuku rahasia, bahwa aku mendapat seratus dua belas persen dalam pelajarannya. Mereka tidak akan mengeluarkanku dengan nilai setinggi itu."

***

Sesudah makan malam mereka bertiga duduk gelisah, memisahkan diri di ruang rekreasi. Tak ada yang mengganggu mereka; toh tak seorang anak Gryffindor pun mau bicara lagi dengan Harry. Malam ini pertama kalinya Harry tidak merasa sedih karenanya. Hermione membaca sekilas semua catatannya, berharap menemukan salah satu sihir yang akan mereka coba punahkan. Harry dan Ron tidak banyak bicara. Keduanya memikirkan apa yang sebentar lagi akan mereka lakukan.
Perlahan ruangan menjadi kosong ketika anak-anak satu demi satu pergi tidur.
"Lebih baik ambil jubahnya sekarang," gumam Ron, ketika akhirnya Lee Jordan pergi sambil menggeliat dan menguap.
Harry berlari ke atas, ke kamar mereka yang gelap. Ditariknya jubahnya dan kemudian terlihat olehnya sending hadiah Natal dari Hagrid. Dikantonginya seruling itu untuk digunakan pada Fluffy—dia sedang tak ingin menyanyi.
Harry berlari kembali ke ruang rekreasi.
"Lebih baik kita pakai jubahnya di sini, dan kita pastikan jubah ini menyelubungi kita bertiga—kalau Filch melihat sepotong kaki kita berjalan sendiri..."
"Apa yang kalian lakukan?" terdengar suara dari sudut ruangan. Neville muncul dari balik kursi, memegangi Trevor si katak, yang kelihatannya bam saja mencoba kabur.
"Tidak apa-apa, Neville," kata Harry cepat-cepat, menyembunyikan jubah di belakang punggungnya. Neville menatap wajah mereka yang bersalah.
"Kalian akan keluar lagi," komentarnya.
"Tidak, tidak, tidak," kata Hermione. "Kami tidak akan keluar. Kenapa kau tidak tidur saja, Neville?"
Harry memandang jam besar yang berdiri dekat pintu.
Mereka tak bisa lagi membuang-buang waktu. Mungkin sekarang Snape sedang main musik untuk menidurkan Fluffy.
"Kalian tak boleh keluar," kata Neville, "kalian akan tertangkap lagi. Gryffindor akan lebih parah."
"Kau tidak mengerti," kata Harry. "Ini penting." Tetapi Neville jelas menguatkan diri untuk bertindak nekat.
"Tak akan kubiarkan kalian keluar," katanya sambil bergegas berdiri di depan lubang lukisan. "Aku—aku akan melawan kalian!"
"Neville," Ron meledak, "minggir dari lubang itu dan jangan bego..."
"Jangan menyebutku bego!" kata Neville. "Menurutku kalian tak boleh lagi melanggar peraturan! Dan kalianlah yang menasihatiku agar berani melawan yang tidak benar!"
"Ya, tapi bukan terhadap kami," kata Ron putus asa.
"Neville, kau tak tahu apa yang kaulakukan."
Ron maju selangkah dan Neville menjatuhkan Trevor si katak yang langsung melompat lenyap dari pandangan.
"Ayo, kalau begitu, coba pukul aku!" kata Neville, mengangkat tinjunya. "Aku siap!"
Harry menoleh kepada Hermione.
"Lakukan sesuatu," katanya putus asa.
Hermione maju.
"Neville," katanya, "aku minta maaf, aku terpaksa berbuat begini." Diangkatnya tongkatnya. "Petrificus Totalus!" serunya, seraya menunjuk Neville. Lengan Neville mengatup ke sisi tubuhnya. Kedua kakinya saling menempel. Seluruh tubuhnya menjadi kaku, dia terhuyung di tempatnya berdiri dan kemudian jatuh terjerembap, kaku seperti papan.
Hermione berlari untuk menelentangkannya. Rahang Neville terkunci sehingga dia tidak bisa bicara. Hanya matanya yang bergerak-gerak, memandang mereka dengan ngeri.
"Apa yang kaulakukan kepadanya?" bisik Harry.
"Kutukan Ikat Tubuh Sempurna," kata Hermione merana.
"Oh, Neville, sori-sori-sori."
"Kami terpaksa, Neville, tak ada waktu untuk menjelaskan,"kata Harry.
"Kau akan mengerti nanti, Neville," kata Ron, ketika mereka melangkahinya dan memakai Jubah Gaib.
Tetapi meninggalkan Neville yang tak bisa bergerak terbaring di lantai, rasanya bukan pertanda yang baik. Dalam keadaan cemas, bagi mereka bayangan patung kelihatan seperti Filch, semua desau angin di kejauhan terdengar seperti Peeves yang meluncur turun ke arah mereka.
Di kaki tangga pertama mereka melihat Mrs Norris mengendap-endap di dekat puncak tangga.
"Oh, ayo kita tendang dia, kali ini saja," bisik Ron ke telinga Harry, tetapi Harry menggeleng. Ketika mereka hati-hati naik melewatinya, Mrs Norris mengarahkan matanya yang seperti senter kepada mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa.
Mereka tidak bertemu siapa-siapa lagi sampai tiba di tangga menuju ke lantai tiga. Peeves sedang berada di tengah tangga, melepas karpetnya supaya orang yang lewat tersandung.
"Siapa itu?" katanya tiba-tiba ketika mereka naik ke arahnya.
Dia menyipitkan mata hitamnya yang kejam. "Aku tahu kau di situ, meskipun aku tak bisa melihatmu. Apakah kau hantu atau murid bandel?"
Peeves melayang ke atas dan memandang mereka.
"Harus panggil Filch, harus, kalau ada makhluk tidak tampak berkeliaran."
Mendadak Harry mendapat ide.
"Peeves," katanya, berbisik serak, "Baron Berdarah punya alasan sendiri untuk tidak menampakkan diri."
Peeves nyaris jatuh dari udara saking kagetnya.
Tapi dia berhasil menguasai diri dan melayang kirakira tiga puluh senti dari tangga.
"Maaf sekali, Yang Berdarah, Mr Baron, Sir," katanya menjilat. "Salahku, salahku—aku tidak melihatmu— tentu saja tidak, kau tidak kelihatan—maafkan gurauan kecil Peevsie, Sir."
"Aku ada urusan di sini, Peeves," kata Harry serak. "Pergilah jauh-jauh dari tempat ini malam ini."
"Baik, Sir, aku akan pergi," kata Peeves, melayang naik lagi.
"Mudah-mudahan urusanmu berjalan lancar, Baron. Aku tidak akan mengganggumu."
Dan dia pun melayang pergi.
"Brilian, Harry!" bisik Ron.
Beberapa detik kemudian, mereka sudah berada di luar koridor lantai tiga—dan pintunya sudah menganga sedikit.
"Wah," kata Harry muram. "Rupanya Snape sudah berhasil melewati Fluffy."
Melihat pintu yang terbuka itu, ketiganya menyadari apa yang akan mereka hadapi. Di bawah selubung jubah, Harry menoleh kepada kedua temannya.
"Jika kalian ingin kembali, aku tidak akan menyalahkan kalian," katanya. "Kalian boleh memakai jubah ini, aku sudah tidak memerlukannya lagi sekarang."
"Jangan bodoh," kata Ron.
"Kami ikut," kata Hermione.
Harry mendorong pintu hingga terbuka.
Ketika pintu itu berderit, telinga mereka menangkap bunyi geraman rendah. Ketiga pasang cuping hidung anjing itu mengendus-endus liar ke arah mereka, meskipun tidak bisa melihat mereka.
"Apa itu di kakinya?" bisik Hermione.
"Kelihatannya harpa," jawab Ron. "Tentu Snape yang meninggalkannya di situ."
"Anjing itu pastilah langsung terbangun begitu Snape berhenti bermain," kata Harry "Nah, sekarang giliran kita...."
Harry meletakkan seruling Hagrid ke bibirnya dan meniupnya. Tak bisa disebut lagu, tetapi begitu mendengar nada pertama, mata binatang itu mulai meredup. Harry nyaris tak berani menarik napas. Perlahan-lahan, geraman anjing itu mereda—dia terhuyung dan mendekam pada lututnya, lalu ambruk ke lantai, tertidur nyenyak.
"Mainkan terus," Ron memperingatkan Harry ketika mereka keluar dari bawah jubah dan berjingkat menuju ke pintu jebakan. Mereka bisa merasakan napas si anjing yang panas dan berbau ketika mereka mendekati kepala-kepala raksasa itu.
"Kurasa kita akan bisa membuka pintunya," kata Ron, melongok melewati punggung si anjing. "Mau masuk duluan, Hermione?"
"Tidak."
"Baiklah." Ron mengertakkan gigi dan hati-hati melangkahi kaki si anjing. Dia membungkuk dan menarik gelang-gelang pada pintu jebakan, yang langsung menjeblak ke atas dan membuka.
"Apa yang bisa kaulihat?" tanya Hermione cemas.
"Tidak ada—cuma gelap—tak ada tangga turun, kita harus lompat."
Harry yang masih meniup seruling, melambai kepada Ron dan menunjuk-nunjuk dirinya.
"Kau mau turun duluan? Yakin?" tanya Ron.
"Aku tak tahu seberapa dalamnya. Berikan serulingnya kepada Hermione supaya dia bisa membuat anjing itu terus tidur."
Harry menyerahkan serulingnya. Dalam beberapa detik tanpa tiupan seruling, anjing itu menggeram dan bergerak, tetapi begitu Hermione mulai meniupnya, dia kembali tidur nyenyak.
Harry melompati si anjing dan memandang ke bawah lewat lubang pintu jebakan. Dasarnya sama sekali tak kelihatan.
Dia turun ke dalam lubang sampai cuma bergantung pada ujung jari-jarinya. Kemudian dia mendongak kepada Ron dan berkata, "Kalau terjadi sesuatu padaku, jangan susul aku.
Langsung pergi ke kandang burung hantu dan kirim Hedwig ke Dumbledore. Oke?"
"Oke," kata Ron.
"Sampai ketemu sebentar lagi, mudah-mudahan...."
Dan Harry melepas pegangannya. Udara dingin dan lembap menerpanya sementara dia terjatuh, makin lama makin dalam dan...
BLUK. Dengan bunyi gedebuk yang seakan teredam, dia mendarat pada sesuatu yang lunak. Harry duduk dan meraba-raba, matanya belum terbiasa pada keremangan di situ. Dia serasa duduk di atas sejenis tanaman.
"Aman!" teriaknya ke arah cahaya sebesar prangko yang merupakan pintu jebakan. "Tempat mendaratnya lunak, kau bisa lompat!"
Ron langsung menyusul. Dia mendarat telentang di sebelah Harry.
"Apa ini?" adalah kata-katanya yang pertama. "Entahlah, semacam tanaman. Kurasa ada di sini untuk menahan pendaratan. Ayo, Hermione!"
Suara musik di kejauhan berhenti. Terdengar gong-gong keras anjing, tetapi Hermione sudah melompat. Dia mendarat di sisi lain Harry.
"Pastilah kita beribu-ribu meter di bawah sekolah," katanya.
"Untung ada tanaman ini di sini," kata Ron.
"Untung?!" jerit Hermione. "Lihat kalian berdua!"
Hermione melompat dan berusaha menuju dinding yang lembap. Dia harus berkutat karena begitu dia mendarat, tanaman itu langsung melilitkan sulur-sulur seperti ular di sekeliling pergelangan kakinya. Sedangkan Harry dan Ron, tanpa mereka sadari, kaki mereka sudah dililit kencang oleh sulur-sulur panjang tanaman merambat itu.
Hermione berhasil membebaskan diri sebelum tanaman itu membelitnya dengan ketat. Sekarang dia memandang ngeri pada kedua temannya yang berkutat melepaskan tanaman itu dari tubuh mereka, tetapi semakin mereka berusaha, semakin kuat tanaman itu membelit.
"Berhenti bergerak!" perintah Hermione. "Aku tahu apa ini— ini Jerat Setan!"
"Oh, aku senang sekali kita tahu nama tanaman ini, sungguh sangat membantu," cemooh Ron sambil memiringkan tubuhnya ke belakang, berusaha mencegah tanaman itu membelit lehernya.
"Diam, aku sedang berusaha mengingat bagaimana membunuhnya!" kata Hermione.
"Cepat kalau begitu, aku tak bisa bernapas!" kata Harry tersengal, berkutat dengan sulur yang membelit dadanya.
"Jerat Setan, Jerat Setan... Apa yang dikatakan Profesor Sprout? Tanaman ini suka kegelapan dan kelembapan..."
"Kalau begitu nyalakan api!" Harry tersedak.
"Ya—tentu saja—tapi tak ada kayu!" seru Hermione, meremas-remas tangannya.
"KAU INI GILA?" Ron menggeram. "KAU PENYIHIR APA BUKAN?"
"Oh, betul!" kata Hermione, dan dia mencabut tongkatnya.
Menggoyangnya, menggumamkan sesuatu dan berhasil memancarkan api biru—sama seperti yang digunakannya pada Snape di stadion—ke arah tanaman itu. Dalam beberapa detik saja, kedua anak laki-laki itu merasa belitan sulur-sulur itu mengendur ketika tanaman itu menjauh ketakutan dari nyala terang dan kehangatan. Menggeliat-geliut dan melambai-lambai, tanaman itu melepaskan belitannya dan mereka berhasil membebaskan diri.
"Untung kau menyimak pelajaran Herbologi, Hermione,"
kata Harry ketika dia bergabung dengannya di dekat dinding seraya menyeka keringat dari wajahnya.
"Yeah," kata Ron, "dan untung Harry tidak jadi panik dalam krisis—'tak ada kayu', astaga."
"Jalan sini," kata Harry, menunjuk ke lorong berlantai batu yang merupakan satu-satunya jalan di situ.
Satu-satunya bunyi yang bisa mereka dengar, selain langkahlangkah mereka sendiri, adalah tetes-tetes air lembut yang jatuh dari dinding. Lorong itu menurun, mengingatkan Harry pada Gringotts. Hatinya tersentak ketika dia teringat naga-naga yang kabarnya menjaga ruangan-ruangan besi di bank para penyihir itu. Bagaimana seandainya mereka bertemu naga, naga yang benar-benar sudah dewasa—Norbert saja sudah sangat merepotkan....
"Kau dengar sesuatu?" Ron berbisik.
Harry mendengarkan. Bunyi berkeresak dan denting lembut terdengar dari arah depan. "Menurutmu itu hantu?"
"Entahlah... kedengarannya seperti sayap bagiku."
"Di depan terang—bisa kulihat ada yang bergerak." Mereka mencapai ujung lorong dan melihat didepan mereka kamar yang terang benderang, langit-langitnya melengkung tinggi di atas mereka. Kamar itu penuh burung-burung kecil yang berkilauan bagai permata, beterbangan mengitari ruangan. Di sisi lain kamar itu terdapat pintu kayu berat.
"Apa mereka akan menyerang bila kita menyeberangi kamar ini?" kata Ron.
"Mungkin," kata Harry. "Kayaknya sih mereka tidak galak, tapi kalau menyerang bersamaan... yah, tak ada jalan lain... aku mau lari."
Harry menarik napas dalam-dalam, menutupi wajah dengan lengannya dan berlari menyeberangi ruangan. Dia mengira paruh dan cakar tajam akan merobekrobeknya setiap saat, tetapi ternyata tidak. Dia tiba di pintu dengan selamat. Ditariknya pegangan pintu. Pintu itu terkunci.
Kedua temannya mengikutinya. Mereka menarik dan mendorong pintu itu, tetapi pintunya tak bergerak, bahkan tidak juga ketika Hermione mencoba Mantra Alohomora-nya.
"Sekarang bagaimana?" kata Ron. "Burung-burung ini...
mereka tak mungkin ada di sini hanya untuk dekorasi saja," kata Hermione. Mereka mengawasi burung-burung yang beterbangan di atas, berkilauan—berkilauan?
"Mereka bukan burung!" celetuk Harry tiba-tiba. "Itu kunci!
Kunci bersayap—lihat yang teliti. Itu berarti..." Harry melihat berkeliling ruangan sementara kedua temannya menyipitkan mata, memandang kawanan kunci itu. "Ya—lihat! Sapu! Kita harus menangkap kunci pintu itu!"
"Tapi ada ratusan kunci!"
Ron mengamati lubang kunci di pintu.
"Yang kita cari kunci kuno besar—mungkin perak, seperti pegangan pintunya."
Mereka masing-masing menyambar sapu dan menyentak ke atas, melayang ke tengah gerombolan kunci itu. Mereka menyambar dan menjambret, namun kunci-kunci yang telah disihir itu meluncur dan menukik begitu cepat, sampai nyaris tak mungkin ditangkap.
Tapi tak percuma Harry menjadi Seeker paling muda abad ini. Dia punya bakat melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain.
Setelah beberapa menit menyelip-nyelip di antara pusaran bulubulu pelangi itu, dia melihat kunci perak besar yang sayapnya bengkok, seakan kunci itu sudah pernah ditangkap dan dijejalkan dengan kasar ke dalam lubang kunci.
"Yang itu!" teriaknya. "Yang besar itu—di sana— bukan, itu—yang sayapnya biru terang—bulu-bulunya kusut di satu sisinya."
Ron meluncur ke arah yang ditunjuk Harry, menabrak langitlangit dan nyaris terjatuh dari sapunya.
"Kita harus mengepungnya!" teriak Harry, tanpa melepas pandangannya dari kunci dengan sayap rusak itu. "Ron, kau mendatanginya dari atas— Hermione, tetap di bawah dan cegah kunci itu turun—dan aku akan mencoba menangkapnya. Baik.
SEKARANG!"
Ron menukik, Hermione melintas, kunci itu berhasil menghindari mereka berdua dan Harry meluncur mengejarnya.
Kunci itu terbang menuju dinding, Harry mencondongkan tubuh ke depan dan diiringi bunyi derak yang menyakitkan telinga, memepetnya ke din-ding dengan satu tangan. Sorak Ron dan Hermione bergaung di kamar berlangit-langit tinggi itu.
Mereka cepat-cepat mendarat dan Harry berlari ke pintu, kunci di tangannya menggelepar berusaha melepaskan diri.
Harry memasukkannya ke lubang dan memutarnya—berhasil.
Begitu terdengar bunyi klik membuka, kuncinya langsung melesat terbang lagi, bentuknya makin berantakan sekarang, setelah ditangkap dua kali.
"Siap?" Harry menanyai kedua temannya, tangannya mencekal pegangan pintu. Mereka mengangguk. Dibukanya pintu.
Kamar berikutnya begitu gelap sehingga mereka sama sekali tak bisa melihat apa-apa. Tetapi begitu mereka melangkah masuk, mendadak cahaya memenuhi ruangan, menunjukkan pemandangan yang mencengangkan.
Mereka berdiri di tepi papan catur raksasa, di belakang bidakbidak hitam, yang semuanya lebih tinggi dari mereka dan dipahat dari—tampaknya— batu hitam. Berhadapan dengan mereka, jauh di seberang ruangan, adalah bidak-bidak putih.
Harry, Ron, dan Hermione sedikit gemetar—bidak-bidak catur putih itu tak berwajah.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" bisik Harry.
"Jelas, kan?" timpal Ron. "Kita harus bermain untuk bisa sampai ke seberang ruangan." Di belakang bidak-bidak putih itu mereka melihat pintu lain.
"Bagaimana?" tanya Hermione cemas.
"Kurasa," kata Ron, "kita harus menjadi bidak catur."
Ron berjalan ke arah perwira hitam dan menjulurkan tangan untuk menyentuh kudanya. Langsung saja batu itu hidup.
Kudanya mengais-ngais tanah dan si perwira menolehkan kepalanya yang memakai helm untuk menunduk, memandang Ron.
"Apa kami—er—harus bergabung dengan kalian untuk bisa menyeberang?" Perwira hitam itu mengangguk. Ron menoleh kepada kedua temannya. "Ini perlu pemikiran...," katanya.
"Kurasa kita harus mengambil tempat tiga bidak hitam..."
Harry dan Hermione tetap diam, mengawasi Ron berpikir.
Akhirnya Ron berkata, "Jangan tersinggung, ya, tapi kalian berdua tak begitu ahli main catur..."
"Kami tidak tersinggung," kata Harry cepat-cepat. "Katakan saja apa yang harus kami lakukan."
"Nah, Harry kau mengambil tempat menteri itu, dan Hermione, kau di sebelahnya, di tempat benteng itu."
"Kau sendiri bagaimana?"
"Aku akan jadi perwira," kata Ron.
Bidak-bidak catur itu rupanya mendengarkan, karena begitu Ron berkata demikian, perwira, menteri, dan benteng berbalik memunggungi bidak-bidak putih dan berjalan turun dari papan catur, meninggalkan tiga petak kosong yang segera ditempati Ron, Harry, dan Hermione.
"Putih selalu melangkah duluan dalam permainan catur,"
kata Ron, menyipitkan mata memandang ke seberang. "Ya...lihat..."
Satu pion putih melangkah maju dua petak. Ron mulai mengarahkan bidak-bidak hitam. Mereka bergerak diam mengikuti perintahnya. Lutut Harry gemetar. Bagaimana kalau mereka kalah?
"Harry, bergerak diagonal empat petak ke kanan."
Pukulan pertama mereka terjadi ketika perwira hitam satunya ditawan. Si ratu putih membantingnya ke lantai dan menyeretnya ke luar papan. Si perwira menggeletak tak bergerak, tengkurap.
"Apa boleh buat," kata Ron, yang tampak terguncang. "Kau jadi bebas menawan si menteri itu, Hermione, ayo."
Setiap kali salah satu anggota mereka kalah, bidak-bidak putih itu tak menunjukkan belas kasihan. Segera saja sekumpulan bidak hitam lemas terpuruk di sepanjang dinding.
Dua kali, Ron menyadari tepat waktu bahwa Harry dan Hermione dalam bahaya. Dia sendiri melesat ke sana kemari di papan, menawan bidak putih hampir sebanyak bidak hitam yang kalah.
"Kita hampir sampai," mendadak Ron bergumam. "Biar aku berpikir—biar aku berpikir..." Si ratu putih menolehkan wajahnya yang kosong ke arahnya. "Ya...," kata Ron pelan, "ini satu-satunya cara... aku harus ditawan."
"TIDAK!" Harry dan Hermione memekik.
"Begitulah catur!" tukas Ron. "Harus ada yang dikorbankan!
Aku akan melangkah maju satu petak dan ratu putih akan menawanku—jadi kau bebas menskak rajanya, Harry!"
"Tapi..."
"Kau mau menghalangi Snape atau tidak?"
"Ron..."
"Kalau kau tidak buru-buru, Snape sudah akan berhasil mendapatkan batu itu!"
Tak ada pilihan lain. "Siap?" seru Ron, wajahnya pucat, tetapi mantap. "Aku menyerahkan diri—jangan berlama-lama begitu kalian sudah menang."
Ron melangkah maju dan ratu putih langsung menerkam.
Dipukulnya keras-keras kepala Ron dengan tangan batunya dan Ron langsung ambruk ke lantai— Hermione menjerit tetapi tetap bertahan di petaknya— si ratu putih menyeret Ron ke tepi.
Kelihatannya dia pingsan.
Gemetaran, Harry bergerak tiga petak ke kiri.
Si raja putih melepas mahkotanya dan melemparnya ke kaki Harry. Mereka sudah menang. Bidak-bidak catur menepi dan membungkuk, jalan menuju pintu kini tanpa hambatan. Dengan pandangan putus asa terakhir ke arah Ron, Harry dan Hermione berlari melewati pintu dan tiba di lorong berikutnya.
"Bagaimana kalau dia...?"
"Dia akan baik-baik saja," kata Harry berusaha meyakinkan diri sendiri. "Menurutmu, apa berikutnya?"
"Kita sudah melewati kreasi Sprout—Jerat Setan tadi, Flitwick pastilah yang menyihir kunci-kunci, McGonagall mentransfigurasi bidak-bidak catur— membuatnya hidup, tinggal mantra Quirrell, dan Snape...."
Mereka sudah tiba di pintu berikutnya.
"Buka sekarang?" Harry berbisik.
"Buka saja."
Harry mendorongnya terbuka.
Bau menjijikkan menusuk hidung, membuat keduanya menarik jubah untuk menutupi hidung. Dengan mata berair mereka melihat, tergeletak di lantai di depan mereka, troll yang bahkan lebih besar daripada troll gunung yang sudah mereka kalahkan, pingsan dengan benjolan berdarah pada kepalanya.
"Aku lega kita tidak perlu berkelahi dengan dia," bisik Harry, ketika mereka dengan hati-hati melangkahi salah satu kakinya yang amat besar. "Ayo cepat, aku tak bisa bernapas."
Harry membuka pintu ke ruang berikutnya, keduanya nyaris tak berani melihat apa yang menantikan mereka—tetapi tak ada sesuatu yang mengerikan di sini, hanya meja dengan tujuh botol berbeda bentuk berdiri berderet.
"Hasil karya Snape," kata Harry "Apa yang harus kita lakukan?"
Mereka melangkahi ambang pintu dan mendadak api berkobar di belakang mereka. Bukan api biasa, karena warnanya ungu. Pada saat bersamaan, lidah api hitam menyala di pintu menuju ruang berikutnya. Mereka terperangkap.
"Lihat!" Hermione menyambar segulung kertas yang tergeletak di sebelah botol-botol. Harry melongok dari balik bahu Hermione unruk ikut membacanya:
Bahaya ada di depanmu, sementara rasa aman ada di belakang, Kami berdua akan membantumu, entah mana yang akan kautemukan, Satu di antara kami bertujuh akan membawamu maju ke kamar berikutnya, Satu lagi membuat peminumnya kembali ke tempat semula, Dua di antara kami hanyalah berisi anggur lezat, Tiga di antara kami pembunuh, sembunyi menunggu saat yang tepat. Pilihlah, kalau tak mau berada di sini selamanya merajuk, Untuk membantu menentukan pilihanmu, kami berikan empat petunjuk:
Pertama, betapapun liciknya racun berusaha bersembunyi,
Kau akan selalu menemukannya di sebelah anggur di sisi kiri; Kedua, yang berdiri di masing-masing ujung isinya lain, Tetapi kalau kau mau ke depan, dua-duanya pantang untuk main-main; Ketiga, seperti kaulihat jelas, semua botol berbeda ukurannya, Baik yang cebol maupun yang raksasa berisi maut di dalamnya; Keempat, yang kedua dari kiri dan dari kanan, Sama saja isinya, meskipun awalnya tampak berlainan.
Hermione mengembuskan napas lega, dan Harry heran sekali melihatnya tersenyum, soalnya dia sendiri sama sekali tak ingin tersenyum.
"Brilian," puji Hermione. "Ini bukan sihir—ini logika—teka-teki. Banyak penyihir besar yang tak punya logika sama sekali, akan terkurung di sini selamanya."
"Kita juga begitu, kan?"
"Tentu saja tidak," kata Hermione. "Semua yang kita butuhkan ada di atas kertas ini. Tujuh botol: tiga di antaranya racun; dua anggur, satu akan membawa kita dengan selamat melewati api hitam itu, dan satu lagi akan membawa kita kembali melewati api ungu."
"Tapi, bagaimana kita tahu mana yang harus di minum?"
"Beri aku waktu sebentar." Hermione membaca kertas itu beberapa kali. Kemudian dia berjalan mondar-mandir di depan deretan botol, bergumam sendiri dan menunjuk-nunjuk botolbotol itu. Akhirnya dia bertepuk tangan.
"Aku tahu," katanya. "Botol paling kecil akan membawa kita melewati api hitam—menuju ke Batu Bertuah."
Harry memandang botol kecil mungil itu.
"Isinya hanya cukup untuk satu orang," katanya. "Satu teguk saja pun tak ada." Mereka saling pandang. "Mana yang bisa membawamu melewati api ungu?" Hermione menunjuk botol bulat di ujung deretan. "Kau minum yang itu," kata Harry.
"Tidak, dengar—kembalilah dan ajak Ron—ambil sapu dari kamar kunci terbang, sapu itu bisa membawa kalian keluar dari pintu jebakan dan juga melewati Fluffy— langsung pergi ke kandang burung hantu dan kirim Hedwig ke Dumbledore, kita memerlukan dia. Aku mungkin sanggup menahan Snape untuk sementara waktu, tetapi aku sama sekali bukan tandingannya."
"Tapi, Harry—bagaimana kalau Kau-Tahu-Siapa ada bersamanya?"
"Yah—aku pernah beruntung sekali, kan?" kata Harry, menunjuk bekas lukanya. "Siapa tahu aku beruntung lagi."
Bibir Hermione bergetar dan mendadak dia berlari mendekati Harry dan memeluknya.
"Hermione!"
"Harry—kau penyihir hebat."
"Aku tidak sepandai kau," kata Harry, malu sekali, ketika Hermione melepasnya.
"Aku!" kata Hermione. "Buku-buku! Dan kepintaran! Ada banyak hal penting lainnya—persahabatan dan keberanian dan—oh, Harry—hati-hati, ya!"
"Kau minum dulu," kata Harry. "Kau yak in mana botol yang benar, kan?"
"Pasti," kata Hermione. Diminumnya isi botol bulat itu, dan dia bergidik.
"Bukan racun?" tanya Harry cemas.
"Bukan—tapi seperti es."
"Cepat, sebelum khasiatnya luntur."
"Semoga berhasil—jaga dirimu..."
"PERGILAH!"
Hermione berbalik dan melangkahi api ungu.
Harry menarik napas dalam-dalam dan mengambil botol terkecil. Dia berbalik menghadapi api hitam. "Aku datang,"
katanya dan dihabiskannya isi botol kecil itu dalam sekali teguk.
Memang seolah es mengaliri tubuhnya. Ditaruhnya kembali botol itu dan dia melangkah maju. Diberanikannya dirinya.
Dilihatnya lidah api hitam menjilatjilat tubuhnya, tetapi tak ada yang dirasakannya. Untuk sesaat dia tak bisa melihat apa pun kecuali api hitam—tahu-tahu dia sudah berada di sisi lain, di kamar terakhir.
Sudah ada orang lain di situ—tetapi bukan Snape. Bahkan bukan pula Voldemort.

***

17. Laki Laki Dengan Dua Wajah

MELAINKAN Quirrell.
"Anda!" Harry kaget. Quirrell tersenyum. Wajahnya sama sekali tidak berkedut.
"Ya, aku," katanya tenang. "Aku sudah bertanya-tanya apakah aku akan bertemu kau disini, Potter."
"Tetapi saya kira—Snape..."
"Severus?" Quirrell tertawa dan tawanya bukan tawa gemetar seperti biasanya, tetapi dingin dan melengking. "Ya, Severus memang kelihatannya tipe yang cocok, ya? Dirinya sangat berguna, menyambar nyambar seperti kelelawar liar. Dibanding dia, siapa yang akan mencurigai P-profesor Q-Quirrell y-yang g-gagap dan m-menimbulkan b-belas kasihan?"
Harry tidak mengerti. Ini tak mungkin benar, tak mungkin.
"Tetapi Snape mencoba membunuh saya."
"Bukan, bukan, bukan. Aku yang mencoba membunuhmu.
Temanmu, Miss Granger, tanpa sengaja menabrakku sampai jatuh ketika dia buru-buru mau membakar jubah Snape dalam pertandingan Quidditch itu. Dia memutuskan kontak mataku denganmu. Beberapa detik saja lagi aku pasti sudah berhasil menjatuhkanmu dari sapu. Aku pastilah sudah berhasil sebelumnya, seandainya Snape tidak menggumamkan mantra penangkal, berusaha menyelamatkanmu."
"Snape berusaha menyelamatkan saya?"
"Tentu saja," kata Quirrell dingin. "Menurutmu kenapa dia ingin menjadi wasit dalam pertandinganmu berikutnya? Dia berusaha memastikan aku tidak melakukannya lagi. Lucu juga...
dia tak perlu khawatir. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena Dumbledore nonton. Semua guru lain mengira Snape berusaha menghalangi Gryffindor menang, dia memang membuat dirinya tidak disukai... dan benar-benar membuang waktu sia-sia, toh setelah semua usaha itu, aku akan membunuhmu malam ini."
Quirrell menjentikkan jari-jarinya. Tiba-tiba seutas tali membelit Harry erat-erat.
"Kau terlalu ingin tahu dan terlalu suka ikut campur kalau dibiarkan hidup, Potter. Berkeliaran di malam Hallowe'en seperti itu, tahu-tahu kau sudah melihatku datang untuk melihat apa yang menjaga batu itu."
"Anda yang memasukkan troll itu?"
"Tentu. Aku punya bakat khusus menangani troll— kau pasti sudah melihat apa yang kulakukan terhadap troll di kamar depan itu? Sayangnya, sementara orang-orang lain berlarian mencari troll, Snape, yang sudah mencurigaiku, langsung naik ke lantai tiga untuk menghadangku—dan bukan saja troll-ku gagal memukuli kalian sampai mati, si anjing kepala tiga bahkan tidak berhasil menggigit kaki Snape sampai putus.
"Sekarang, tunggu dengan tenang, Potter. Aku perlu memeriksa cermin menarik ini." Baru saat itulah Harry menyadari apa yang berdiri di belakang Quirrell. Cermin Tarsah.
"Cermin inilah kunci untuk menemukan Batu Bertuah,"
Quirrell bergumam, seraya mengelilingi bingkainya.
"Dumbledore memang cerdik memakai cermin ini.. tapi dia di London... aku sudah jauh dari sini saat dia pulang nanti...."
Yang bisa dipikirkan Harry hanyalah bagaimana membuat Quirrell terus bicara dan mencegahnya berkonsentrasi pada cermin.
"Saya melihat Anda dan Snape di Hutan...," celetuknya.
"Ya," kata Quirrell sambil lalu, berjalan ke balik cermin untuk memeriksa bagian belakangnya. "Dia sudah tahu niatku saat itu, mencoba mengorek sejauh mana pengetahuanku. Dia sudah lama mencurigaiku. Mencoba menakut-nakutiku—mana bisa, kan Lord Voldemort mendampingiku...."
Quirrell muncul dari balik cermin dan menatapnya dengan bergairah. "Aku melihat batunya... kupersembahkan kepada tuanku... tetapi di mana letak batu itu?"
Harry berkutat melepaskan diri dari tali yang mengikatnya, tetapi percuma. Dia harus mencegah Quirrell mencurahkan seluruh perhatiannya kepada cermin.
"Tetapi Snape kelihatannya sangat membenci saya."
"Oh, memang dia membencimu," kata Quirrell sambil lalu.
"Sangat membencimu. Dia sekolah di Hogwarts bersama ayahmu, kau tidak tahu? Mereka saling membenci. Tetapi dia tidak pernah menginginkan ayahmu mati."
"Tetapi saya mendengar Anda beberapa hari yang lalu, terisak-isak—saya kira Snape sedang mengancam Anda..."
Untuk pertama kalinya ketakutan melintas di wajah Quirrell.
"Kadang-kadang," katanya, "sulit sekali bagiku untuk menjalankan perintah tuanku—dia penyihir hebat dan aku lemah..."
"Maksud Anda dia ada dalam kelas itu bersama Anda?"
Harry terperanjat.
"Dia bersamaku ke mana pun aku pergi," kata Quirrell pelan.
"Aku bertemu dengannya ketika berkelana keliling dunia.
Waktu itu aku cuma pemuda yang masih bodoh, masih idealis tentang hal baik dan buruk. Lord Voldemort menunjukkan kepadaku betapa kelirunya aku. Tak ada baik dan buruk, yang ada hanya kekuasaan, dan mereka yang terlalu lemah untuk mencarinya... Sejak saat itu, aku melayaninya dengan setia, meskipun aku sering kali mengecewakannya. Dia harus keras terhadapku." Quirrell mendadak bergidik. "Dia tidak mudah melupakan kesalahan. Ketika aku gagal mencuri Batu Bertuah dari Gringotts, dia sangat marah. Dia menghukumku...
memutuskan dia harus mengawasiku lebih ketat lagi...."
Suara Quirrell semakin pelan. Harry teringat perjalanannya ke Diagon Alley—bagaimana dia bisa sebodoh itu? Dia bertemu Quirrell hari itu, berjabat tangan dengannya di Leaky Cauldron.
Quirrell mengutuk pelan.
"Aku tak mengerti... apakah batu itu ada di dalam cermin?
Haruskah aku memecahkannya?" Pikiran Harry berlomba. Yang sangat kuinginkan lebih dari apa pun didunia saat ini, pikirnya, adalah menemukan Batu Bertuah itu sebelum Quirrell. Maka jika aku menatap ke dalam cermin, aku akan melihat diriku menemukannya—yang berarti aku bisa melihat di mana batu itu disembunyikan! Tetapi bagaimana aku bisa menatap ke dalam cermin tanpa Quirrell menyadari tujuanku?
Dia mencoba beringsut ke kiri, berusaha ke depan cermin, tetapi tali yang membelit pergelangan kakinya terlalu ketat, dia tersandung dan jatuh. Quirrell mengabaikannya. Dia masih bicara sendiri.
"Apa kegunaan cermin ini? Bagaimana cara kerjanya?
Tolonglah aku, Tuan!"
Dan betapa ngerinya Harry ketika terdengar suara menjawab, dan suara itu kedengarannya datang dari Quirrell sendiri.
"Gunakan anak itu... Gunakan anak itu...."
Quirrell menoleh kepada Harry.
"Ya—Potter—sini."
Dia menepukkan tangannya sekali dan tali yang mengikat Harry lepas sendiri. Pelan-pelan Harry bang-kit.
"Sini," Quirrell mengulang. "Lihat ke dalam cermin dan beritahu aku apa yang kaulihat."
Harry berjalan ke arahnya.
"Aku harus berbohong," pikirnya putus asa. "Aku harus melihat dan berbohong tentang apa yang kulihat, begitu saja."
Quirrell bergerak ke belakangnya. Harry mencium bau aneh yang agaknya berasal dari turban Quirrell. Dia memejamkan mata, melangkah ke depan cermin dan membuka matanya lagi.
Harry melihat bayangannya, mulanya pucat dan ketakutan.
Tetapi sesaat kemudian, bayangan itu tersenyum kepadanya.
Dia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan batu merah darah. Dia mengedipkan mata dan mengembalikan batu itu ke dalam sakunya—dan pada saat dia melakukannya, Harry merasa sesuatu yang berat masuk ke dalam sakunya yang sebenarnya. Dengan cara yang sangat ajaib, dia mendapatkan batu itu.
"Nah?" kata Quirrell tak sabar. "Apa yang kaulihat?"
Harry mengumpulkan keberaniannya.
"Saya melihat saya berjabat tangan dengan Dumbledore," dia mengarang. "Saya—saya.memenangkan Piala Asrama untuk Gryffindor."
Quirrell mengutuk lagi.
"Minggir," katanya. Ketika bergerak, Harry merasakan Batu Bertuah itu menggesek kakinya. Beranikah dia melarikan diri?
Tapi belum lagi dia berjalan lima langkah, terdengar suara melengking berkata, meskipun Quirrell tidak menggerakkan bibirnya.
"Dia bohong... Dia bohong...."
"Potter, kembali ke sini!" teriak Quirrell. "Katakan yang sebenarnya! Apa yang tadi kaulihat?"
Suara melengking itu bicara lagi.
"Biarkan aku bicara dengannya... berhadapan...."
"Tuan, Anda belum cukup kuat!"
"Aku cukup punya kekuatan... untuk ini...."
Harry merasa seakan Jerat Setan memancangnya di tempat.
Dia tak dapat menggerakkan satu otot pun. Ketakutan, dilihatnya Quirrell mengangkat tangan dan mulai mengurai turbannya. Apa yang terjadi? Turban jatuh. Kepala Quirrell tampak aneh dan kecil tanpa turban. Kemudian pelan-pelan dia berbalik.
Harry ingin menjerit, tetapi suaranya tidak keluar. Yang seharusnya bagian belakang kepala Quirrell, ternyata sepotong wajah, wajah paling mengerikan yang pernah dilihat Harry.
Wajah itu sepucat tembok dengan mata merah mendelik, dan lubang hidung yang hanya berupa celah, seperti ular.
"Harry Potter...," bisik wajah itu. Harry mencoba mundur selangkah, tetapi kakinya tak mau bergerak.
"Kau lihat, aku jadi apa?" kata wajah itu. "Cuma bayangan dan asap... aku punya bentuk hanya kalau aku bisa berbagi dengan tubuh orang lain... tetapi selalu ada yang mengizinkan aku memasuki hati dan pikiran mereka... Darah unicorn telah membuatku semakin kuat, beberapa minggu terakhir ini... kau melihat Quirrell yang setia meminumnya untukku di Hutan...
dan begitu aku minum Cairan Kehidupan, aku akan bisa menciptakan tubuhku sendiri.... Nah, sekarang... berikan batu di sakumu itu!"
Jadi, dia tahu. Tiba-tiba kaki Harry tidak lagi mati rasa. Dia terhuyung ke belakang.
"Jangan bodoh," gertak si wajah. "Lebih baik selamatkan nyawamu dan bergabung denganku... kalau tidak kau akan berakhir sama dengan orangtuamu... Mereka memohon-mohon belas kasihan dariku sebelum meninggal..."
"BOHONG!" mendadak Harry berteriak.
Quirrell berjalan mundur ke arahnya, sehingga Voldemort masih bisa menatapnya. Wajah mengerikan itu kini tersenyum.
"Sungguh mengharukan...," desisnya.
"Aku selalu menghargai keberanian... Ya, Nak, orangtuamu pemberani...
Aku membunuh ayahmu lebih. dulu dan dia melawan dengan gagah berani... tetapi ibumu sebetulnya tak perlu mati... dia berusaha melindungimu... Sekarang berikan batu itu kepadaku, kalau tidak kau akan mati sia-sia."
"TIDAK!"
Harry melompat ke arah pintu nyala api, tetapi Voldemort menjerit, "TANGKAP DIA!" dan detik berikutnya Harry merasakan tangan Quirrell mencengkeram pergelangan tangannya. Langsung saja rasa sakit yang tajam menyengat bekas luka Harry kepalanya serasa hendak terbelah dua. Harry menjerit, meronta-ronta sekuat tenaga, dan kaget sendiri ketika Quirrell membebaskannya. Rasa sakit di dahinya berkurang— dia memandang berkeliling, mencari Quirrell, dan melihatnya tengah meringkuk kesakitan, memandang jari-jarinya—jari-jari itu melepuh.
"Tangkap dia! TANGKAP DIA!" teriak Voldemort lagi dan Quirrell menerjang Harry sampai jatuh dan mendarat di atas tubuhnya, kedua tangannya melingkari leher Harry—bekas luka Harry sakit luar biasa, sampai dia merasa nyaris buta, tetapi dia masih bisa melihat Quirrell melolong kesakitan.
"Tuan, aku tak bisa memegangnya—tanganku— tanganku!"
Dan Quirrell, meski masih memiting Harry ke tanah dengan lututnya, melepas cekikannya dan terbelalak menatap telapak tangannya sendiri—Harry bisa melihatnya, tangan itu terbakar, kelihatan merah dan berkilat.
"Kalau begitu bunuh dia, goblok. Bereskan saja anak itu!"
lengking Voldemort.
Quirrell mengangkat tangan untuk melakukan kutukan yang mematikan tetapi, tanpa pikir panjang, Harry mencengkeram wajah Quirrell....
"AAAARGH!"
Quirrell berguling dari atas tubuh Harry, wajahnya juga melepuh, dan Harry pun tahu: Quirrell tak tahan menyentuh kulitnya. Jika tersentuh, dia menderita kesakitan yang amat sangat. Satu-satunya kesempatan Harry adalah memegangi Quirrell, membuatnya cukup kesakitan sehingga tak bisa melakukan kutukan.
Harry melompat bangun, menangkap lengan Quirrell dan mencengkeramnya sekuat mungkin. Quirrell menjerit dan mencoba mengibaskan Harry— rasa sakit di kepala Harry semakin hebat—dia tak bisa melihat—dia cuma mendengar jerit mengerikan Quirrell dan teriakan-teriakan Voldemort,
"BUNUH DIA! BUNUH DIA!" dan suara-suara lain, mungkin di dalam kepalanya sendiri, berseru-seru, "Harry! Harry!"
Dirasakannya lengan Quirrell ditarik lepas dari cengkeramannya, dia tahu dirinya telah kalah, dan jatuh dalam kegelapan, jatuh... makin lama makin dalam....

***

Sesuatu yang keemasan berkilau di atasnya. Snitch! Harry berusaha menangkapnya, tetapi lengannya terlalu berat.
Dia mengejap. Bukan Snitch. Ternyata kacamata. Aneh sekali. Dia mengejap lagi. Wajah Albus Dumbledore yang tersenyum melayang masuk ke dalam pandangannya.
"Selamat sore, Harry," kata Dumbledore.
Harry bingung menatapnya. Kemudian dia ingat. "Sir!
Batunya! Quirrell! Dia mengambil batunya! Sir, cepat..."
"Tenangkan dirimu, Nak, kau sedikit ketinggalan," kata Dumbledore. "Quirrell tidak memiliki batu itu."
"Kalau begitu, siapa? Sir, saya..."
"Harry, rileks. Kalau tidak, Madam Pomfrey akan mengusirku keluar."
Harry menelan ludah dan memandang berkeliling. Dia sadar dirinya berada di rumah sakit. Dia berbaring di tempat tidur berseprai linen putih, di meja sebelahnya terdapat tumpukan tinggi yang tampaknya seperti setengah isi toko permen.
"Kiriman teman-teman dan pengagummu," kata Dumbledore berseri-seri. "Apa yang terjadi di ruang bawah tanah, antara dirimu dengan Profesor Quirrell adalah rahasia besar, maka tentu saja seluruh sekolah tahu. Kurasa temanmu, Mr Fred dan George Weasley bertanggung jawab atas usaha mengirimimu tutup kloset. Pasti mereka mengira kau akan geli dan senang menerimanya. Tetapi Madam Pomfrey merasa hadiah itu tidak begitu higienis, dan menyitanya."
"Sudah berapa lama saya di sini?"
"Tiga hari. Mr Ronald Weasley dan Miss Granger akan lega sekali mengetahui kau sudah sadar, mereka sangat cemas."
"Tetapi, Sir, batunya..."
"Rupanya kau tak bisa dialihkan. Baiklah, kalau begitu.
Profesor Quirrell tidak berhasil mengambil batu itu darimu. Aku tiba tepat pada waktunya untuk mencegahnya walaupun, harus kuakui, kau sendiri telah bertahan dengan sangat baik."
"Anda datang? Anda menerima burung hantu Hermione?"
"Pastilah kami berpapasan di udara. Begitu tiba di London, jelas bagiku bahwa aku harus berada di tempat yang baru saja kutinggalkan. Aku tiba tepat pada waktunya untuk menarik Quirrell darimu..."
"Jadi itu... Anda."
"Aku sudah takut aku terlambat."
"Hampir, saya nyaris tak bisa mempertahankan batu itu lebih lama lagi..."
"Bukan batunya, tetapi kau, Nak—usaha untuk mempertahankan Batu Bertuah itu nyaris membunuhmu. Sesaat aku ngeri sekali, mengira kau sudah tiada. Sedangkan batunya, sudah dimusnahkan."
"Dimusnahkan?" tanya Harry tak mengerti. "Tetapi teman Anda—Nicolas Flamel..."
"Oh, kau tahu tentang Nicolas?" kata Dumbledore, kedengarannya senang. "Kau telah menyelidiki semuanya, ya?
Nah, Nicolas dan aku sudah berunding dan kami setuju itu yang paling baik."
"Tetapi itu berarti dia dan istrinya akan meninggal, kan?"
"Mereka punya cukup banyak simpanan Cairan Kehidupan untuk membereskan urusan mereka, dan kemudian ya, mereka akan mati."
Dumbledore tersenyum melihat keheranan di wajah Harry.
"Bagi orang semuda kau, pastilah kedengarannya aneh, tetapi bagi Nicolas dan Perenelle, mati sebetulnya hanyalah seperti pergi tidur setelah hari yang amat sangat panjang. Lagi pula, bagi pikiran yang terorganisir dengan baik, kematian hanyalah petualangan besar berikutnya. Kau tahu, batu itu sebetulnya bukan benda yang amat luar biasa, meski bisa memberikan uang dan kehidupan sebanyak yang kauinginkan. Itu dua hal yang akan dipilih kebanyakan orang, melebihi segalanya—sulitnya, orang biasanya justru memilih hal-hal yang paling buruk untuk mereka."
Harry terbaring diam, kehabisan kata-kata. Dumbledore bersenandung kecil dan tersenyum ke arah langit-langit.
"Sir?" kata Harry. "Saya sudah berpikir... Sir— bahkan sekalipun batu itu sudah tak ada, Vol... maksud saya, Anda-Tahu-Siapa..."
"Panggil dia Voldemort, Harry. Selalu gunakan nama yang benar untuk apa saja. Ketakutan akan nama memperbesar ketakutan akan benda itu sendiri."
"Baik, Sir. Bukankah Voldemort akan mencoba caracara lain untuk kembali? Maksud saya, dia tidak pergi untuk selamanya, kan?"
"Tidak, Harry dia belum lenyap. Dia masih ada di suatu tempat, mungkin mencari tubuh lain yang bisa ditumpangi.
Karena tidak sepenuhnya hidup, dia tak bisa dibunuh. Dia meninggalkan Quirrell mati begitu saja, dia tak punya belas kasihan, baik kepada pengikut maupun musuh-musuhnya.
Harry saat ini kau memang belum berhasil memenangkan pertarungan, kau cuma menunda kembalinya Voldemort pada kekuasaan. Dalam pertarungan berikutnya, yang tampaknya akan lebih sulit dimenangkan, dibutuhkan seseorang yang telah siap. Dan jika Voldemort tertahan lagi, dan lagi, siapa tahu dia tak akan pernah kembali berkuasa."
Harry mengangguk, tetapi segera berhenti, karena membuat kepalanya sakit. Kemudian dia berkata, "Sir, ada beberapa hal lain yang ingin saya ketahui, jika Anda bisa memberitahu saya...
hal-hal yang ingin saya ketahui kebenarannya..."
"Kebenaran," Dumbledore menghela napas. "Kebenaran itu indah dan mengerikan, dan karenanya harus diperlakukan dengan amat hati-hati. Meskipun demikian, aku akan menjawab pertanyaanmu, kecuali ada alasan kuat untuk tidak menjawabnya. Kalau itu sampai terjadi, kumohon kau memaafkan aku. Aku tidak akan berbohong, tentu saja."
"Kata Voldemort, dia terpaksa membunuh ibu saya karena Ibu mencoba mencegahnya membunuh saya. Tetapi kenapa dia ingin membunuh saya?"
Dumbledore menghela napas dalam-dalam.
"Sayang sekali, hal pertama yang kautanyakan, tak bisa kujawab. Tidak hari ini. Tidak sekarang. Kau akan tahu, suatu hari nanti... singkirkan dari pikiranmu untuk sementara, Harry.
Kalau kau sudah lebih besar... aku tahu kau tidak senang mendengarnya... kalau kau sudah siap, kau akan tahu."
Dan Harry tahu tak ada gunanya membantah.
"Tetapi kenapa Quirrell tidak bisa menyentuh saya?"
"Ibumu meninggal karena berusaha menyelamatkanmu.
Kalau ada satu hal yang tak bisa dimengerti Voldemort, itu adalah cinta. Dia tidak menyadari bahwa cinta sekuat cinta ibumu kepadamu, meninggalkan bekas. Bukan seperti bekas luka, bukan tanda yang kelihatan... dicintai begitu dalam, meskipun orang yang mencintai kita sudah tiada, akan memberi kita perlindungan untuk selamanya. Perlindungan itu ada di kulitmu. Quirrell, yang penuh kebencian, keserakahan, ambisi, dan membagi jiwanya dengan Voldemort, tidak bisa menyentuhmu karena alasan ini. Sungguh suatu penderitaan menyenruh orang yang dilindungi oleh sesuatu yang sangat baik."
Kini Dumbledore menjadi sangat tertarik pada seekor burung yang hinggap di ambang jendela. Ini memberi Harry kesempatan untuk mengeringkan matanya dengan seprai. Ketika sudah bisa bicara lagi, Harry berkata, "Dan Jubah Gaib— tahukah Anda siapa yang mengirimnya kepada saya?"
"Ah, ayahmu menitipkannya kepadaku dan kupikir kau akan menyukainya." Mata Dumbledore bersinar-sinar. "Sangat berguna... ayahmu terutama menggunakannya untuk menyelinap ke dapur untuk mencuri makanan waktu dia di sini dulu."
"Dan ada satu hal lagi..."
"Katakan."
"Quirrell berkata, Snape..."
"Profesor Snape, Harry."
"Ya, dia—Quirrell bilang Profesor Snape membenci saya karena dia membenci ayah saya. Betulkah itu?"
"Yah, mereka memang saling benci. Tidak berbeda dengan kau sendiri dan Mr Malfoy. Lalu ayahmu melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan Snape."
"Apa?"
"Ayahmu menyelamatkan hidupnya."
"Apa?"
"Ya...," kata Dumbledore melamun. "Aneh, kan, cara kerja pikiran orang? Profesor Snape tidak tahan berutang budi pada ayahmu... aku yakin dia berusaha keras melindungimu sebagai balas budi pada ayahmu. Dengan begitu, skor mereka jadi seri.
Lalu dia bisa kembali membenci almarhum ayahmu dengan tenang."
Harry berusaha memahami, tetapi kepalanya jadi berdenyut-denyut, maka dia berhenti.
"Dan, Sir, ada satu hal lagi..."
"Apa itu?"
"Bagaimana saya mendapatkan batu itu dari dalam cermin?"
"Ah, aku senang kau menanyakannya. Itu salah satu ide brilianku, dan antara kita berdua saja, ide itu hebat sekali. Aku membuatnya sedemikian sehingga hanya orang yang ingin menemukan batu itu— menemukan tetapi tidak menggunakannya—yang bisa mendapatkannya. Bukan mereka yang ingin melihat diri mereka memiliki emas atau minum Cairan Kehidupan. Otakku kadang-kadang mengejutkan diriku sendiri...
Nah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu.
Kusarankan kau mulai makan permenmu. Ah! Kacang Segala-Rasa Bertie Bott! Aku cukup beruntung waktu masih muda dapat yang rasa muntah, dan sejak saat itu aku jadi kehilangan selera—tapi kurasa aman kalau aku ambil rasa karamel, ya?"
Dumbledore tersenyum dan memasukkan kacang berwarna cokelat keemasan itu ke mulutnya. Kemudian dia tersedak dan berkata, "Ya ampun! Rasa kotoran telinga!"

***

Madam Pomfrey matron rumah sakit, wanita yang menyenangkan, tetapi sangat keras.
"Lima menit saja," Harry memohon.
"Jelas tidak boleh."
"Anda mengizinkan Profesor Dumbledore masuk..."
"Ya, tentu saja, dia kan kepala sekolah, lain dong. Kau butuh istirahat."
"Saya istirahat, lihat, saya berbaring terus. Oh, ayolah, Madam Pomfrey..."
"Oh, baiklah," katanya. "Tapi hanya lima menit."
Dan Madam Pomfrey mengizinkan Ron dan Hermione masuk.
"Harry!"
Hermione tampaknya siap memeluknya lagi, tetapi Harry senang Hermione menahan diri, karena kepalanya masih sakit sekali. "Oh, Harry, kami sudah yakin kau akan... Dumbledore sangat cemas..."
"Seluruh sekolah membicarakannya," kata Ron. "Apa sebetulnya yang terjadi?"
Sungguh salah satu kejadian langka ketika kenyataan yang sebenarnya justru lebih aneh dan mencekam dibandingkan desas-desus liar. Harry menceritakan semuanya kepada mereka: tentang Quirrell, Cermin Tarsah, Batu Bertuah, dan Voldemort.
Ron dan Hermione pendengar yang sangat baik; mereka kaget pada saat-saat yang tepat dan ketika Harry memberitahu mereka apa yang ada di balik turban Quirrell, Hermione menjerit keras.
"Jadi batu itu sudah tak ada?" kata Ron akhirnya. "Flamel akan mati?"
"Itulah yang kukatakan, tetapi menurut Dumbledore—apa, ya?—bagi pikiran yang terorganisir dengan baik, kematian hanyalah petualangan besar berikutnya."
"Dari dulu kubilang Dumbledore itu sinting," kata Ron, kelihatannya terkesan sekali pada betapa gilanya orang yang dikaguminya itu.
"Jadi, apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanya Harry.
"Yah, aku kembali dengan selamat," kata Hermione.
"Kusadarkan Ron—perlu sedikit waktu—dan kami sedang berlari ke kandang burung hantu untuk mengontak Dumbledore, ketika kami bertemu dengannya di Aula Depan. Dia sudah tahu—dia cuma berkata, 'Harry mengejarnya, kan?' lalu bergegas ke lantai tiga."
"Apakah menurutmu Dumbledore sengaja mengaturnya agar kau bertindak begitu?" kata Ron. "Mengirim jubah ayahmu dan yang lainnya itu?"
"Wah," Hermione meledak, "kalau memang begitu—maksudku—sungguh mengerikan—kau bisa saja terbunuh."
"Tidak, tidak," kata Harry berpikir-pikir. "Dumbledore orangnya lucu. Menurutku, dia tampaknya ingin memberiku kesempatan. Kurasa dia tahu sedikit-banyak tentang segala sesuatu yang terjadi di sini. Rupanya dia sudah menduga kita akan mencoba, dan alih-alih mencegah, dia mengajari kita secukupnya untuk membantu. Kurasa bukan kebetulan dia membiarkan aku mengetahui cara kerja Cermin Tarsah. Seakan menurutnya aku punya hak untuk menghadapi Voldemort, kalau aku bisa..."
"Yeah, Dumbledore memang menyebarluaskan hal itu," kata Ron bangga. "Dengar, kau sudah harus sembuh untuk ikut pesta akhir tahun ajaran besok. Jumlah semua angka sudah masuk dan Slytherin menang, tentu saja. Kau tak bisa ikut pertandingan Quidditch terakhir dan tanpa dirimu, kita digilas habis oleh Ravenclaw. Tapi makanannya besok enak-enak."
Saat itu Madam Pomfrey masuk. "Kalian sudah ngobrol hampir lima belas menit, sekarang KELUAR," katanya tegas.

***

Setelah tidur nyenyak semalaman, Harry merasa sudah hampir sehat kembali.
"Saya ingin ikut pesta," dia memberitahu Madam Pomfrey ketika matron itu merapikan kotak-kotak permennya yang banyak itu. "Boleh, kan?"
"Profesor Dumbledore bilang supaya kau diizinkan pergi,"
katanya tak senang, seakan menurut pendapatnya Profesor Dumbledore tidak menyadari berapa berbahayanya pesta. "Dan kau punya tamu lagi."
"Oh, bagus," kata Harry. "Siapa?"
Hagrid menyelinap masuk ketika Harry bertanya. Seperti biasa, kalau dia berada dalam rumah, Hagrid tampak terlalu besar. Dia duduk di sebelah Harry memandangnya, lalu langsung menangis.
"Ini—semua—salahku!" isaknya, dengan wajah tertelungkup di tangannya. "Aku beritahu orang jahat itu "bagaimana cara lewati Fluffy! Aku yang beritahu dia! Padahal itu satu-satunya yang tak dia ketahui, tapi aku memberitahunya! Kau bisa mati!
Hanya karena sebutir telur naga! Aku takkan minum lagi! Aku seharusnya dibuang dan disuruh hidup sebagai Muggle!"
"Hagrid!" kata Harry, kaget melihat Hagrid gemetar karena begitu sedih dan menyesal, air mata besarbesar bergulir sampai ke jenggotnya. "Hagrid, dia toh pasti akan tahu juga. Yang kita bicarakan adalah Voldemort, dia akan tahu meskipun kau tidak memberitahunya."
"Kau bisa mati!" isak Hagrid. "Dan jangan sebut nama itu!"
"VOLDEMORT!" Harry berteriak, dan Hagrid begitu kagetnya sampai berhenti menangis.
"Aku sudah bertemu dengannya dan aku akan menyebut namanya. Bergembiralah, Hagrid, kita telah menyelamatkan batunya. Batu itu sudah tak ada, dia tak bisa menggunakannya.
Ayo, makan Cokelat Kodok. Aku punya banyak...."
Hagrid mengusap hidung dengan punggung tangannya dan berkata, "Aku jadi ingat. Aku bawa hadiah buatmu."
"Bukan sandwich musang, kan?" kata Harry cemas, dan akhirnya Hagrid tersenyum lemah.
"Bukan. Dumbledore liburkan aku kemarin untuk susun ini. Tentu saja dia seharusnya pecat aku, tapi pendeknya, ini untukmu."
Tampaknya seperti buku yang indah dengan sampul kulit. Harry membukanya dengan penasaran. Buku itu penuh dengan foto sihir. Ayah dan ibunya tersenyum dan melambai padanya dari semua halaman.
"Kirim burung hantu ke semua teman sekolah orangtuamu, minta foto... aku tahu kau tak punya foto... Kau suka?"
Harry tak bisa berkata-kata, tetapi Hagrid mengerti.

***

Harry berangkat ke pesta akhir tahun ajaran sendirian malam itu. Dia agak terlambat karena Madam Pomfrey sibuk mengkhawatirkannya—berkeras untuk memeriksanya terakhir kali—sehingga ketika ia tiba, Aula Besar sudah penuh. Aula didekorasi dengan warna Slytherin, hijau dan perak, untuk merayakan keberhasilan Slytherin memenangkan Piala Asrama untuk ketujuh kalinya selama tujuh tahun berturut-turut.
Spanduk raksasa bergambar ular, lambang Slytherin, membentang menutupi dinding di belakang Meja Tinggi.
Ketika Harry melangkah masuk, mendadak ruangan menjadi sunyi dan kemudian semua anak mulai bicara berbarengan.
Harry duduk di kursi, di antara Ron dan Hermione di meja Gryffindor, dan berusaha tidak mengacuhkan kenyataan bahwa anak-anak berdiri untuk melihatnya.
Untunglah Dumbledore tiba tak lama kemudian. Celoteh anak-anak langsung reda.
"Satu tahun lagi telah berlalu!" kata Dumbledore riang. "Dan aku harus menggerecoki kalian dengan ocehan orang tua sebelum kita mulai menyerbu makanan enak-enak ini. Tahun ini sungguh luar biasa! Mudah-mudahan kepala kalian sedikit lebih penuh daripada setahun yang lalu... kalian masih punya sepanjang musim panas untuk mengosongkan kepala sebelum tahun ajaran baru mulai....
"Nah, seperti yang kupahami, Piala Asrama perlu dianugerahkan dan skornya sebagai berikut: di tempat keempat Gryffindor, dengan tiga ratus dua belas angka; tempat ketiga Hufflepuff, dengan tiga ratus lima puluh dua; Ravenclaw mengumpulkan empat ratus dua puluh enam, dan Slytherin empat ratus tujuh puluh dua."
Gemuruh sorak dan entakan kaki terdengar dari meja Slytherin. Harry bisa melihat Draco Malfoy mengetuk-ngetukkan piala minumnya di atas meja. Pemandangan yang memuakkan.
"Ya, ya, bagus sekali, Slytherin," puji Dumbledore.
"Meskipun demikian, kejadian belakangan ini harus ikut diperhitungkan."
Ruangan langsung sunyi senyap. Senyum anak-anak Slytherin sedikit memudar.
"Ehem," kata Dumbledore. "Ada angka-angka terakhir yang harus kubagikan. Coba kulihat. Ya... "Yang pertama—kepada Mr Ronald Weasley..." Wajah Ron menjadi keunguan; dia tampak seperti lobak yang terbakar sinar matahari. "... untuk permainan catur paling indah yang pernah dilihat Hogwarts selama bertahun-tahun ini. Kuhadiahkan kepada Gryffindor lima puluh angka."
Sorak Gryffindor nyaris mengangkat atap sihir Aula; bintangbintang di atas sampai bergetar. Percy terdengar memberitahu Prefek-prefek lainnya, "Kalian tahu, dia adikku! Adik laki-lakiku yang paling kecil! Berhasil memecahkan set catur raksasa McGonnagall."
Akhirnya sunyi lagi. "Kedua—kepada Miss Hermione Granger... untuk penggunaan logika dingin dalam menghadapi api. Kuhadiahkan kepada Gryffindor lima puluh angka."
Hermione membenamkan wajah ke lengannya. Harry sangat curiga dia menangis. Anak-anak Gryffindor di sekeliling meja bukan main senangnya. Angka mereka naik seratus poin.
"Ketiga—kepada Mr Harry Potter...," kata Dumbledore.
Ruangan betul-betul sunyi senyap. "... untuk ketabahan dan keberanian yang luar biasa. Kuhadiahkan kepada Gryffindor enam puluh angka."
Teriakan dan hiruk-pikuk yang terdengar sungguh memekakkan telinga. Mereka yang bisa menghitung, sambil berteriak-teriak sampai serak, tahu bahwa angka Gryffindor sekarang menjadi empat ratus tujuh puluh dua, persis sama dengan Slytherin. Skor mereka seri untuk Piala Asrama... seandainya saja Dumbledore memberi Harry satu angka lebih banyak.
Dumbledore mengangkat tangannya.
Ruangan berangsur-angsur kembali sunyi.
"Ada berrnacam-macam keberanian," kata Dumbledore tersenyum. "Perlu banyak keberanian untuk menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang sama banyaknya untuk menghadapi kawan-kawan kita. Karena itu aku menghadiahkan sepuluh angka kepada Mr Neville Longbottom."
Orang yang berdiri di luar Aula Besar mungkin akan mengira terjadi semacam ledakan di dalam, karena begitu kerasnya bunyi yang meledak di meja Gryffindor. Harry, Ron, dan Hermione berdiri untuk berteriak sementara Neville, pucat saking terguncangnya, menghilang di bawah tumpukan anak-anak yang rnemeluknya. Dia tak pernah memenangkan bahkan satu angka pun untuk Gryffindor sebelum ini. Harry, masih bersorak-sorak, menyodok rusuk Ron dan menunjuk ke arah Malfoy, yang seandainya mendapat Kutukan Ikat Tubuh Sempurna pun tak mungkin kelihatan lebih kaget dan ngeri daripada sekarang.
"Itu berarti," seru Dumbledore mengatasi gemuruh sorakan, karena baik Ravenclaw maupun Hufflepuff ikut merayakan kejatuhan Slytherin, "kita perlu sedikit perubahan dekorasi."
Dumbledore menepukkan tangannya. Dalam sekejap hiasan-hiasan gantung hijau berubah menjadi merah dan peraknya menjadi emas. Ular raksasa Slytherin lenyap, digantikan singa Gryffindor yang gagah. Snape menjabat tangan Profesor McGonagall dengan senyum pahit yang dipaksakan. Matanya bertatapan dengan mata Harry, dan Harry langsung tahu bahwa perasaan Snape kepadanya tidak berubah sedikit pun. Ini tidak membuat Harry cemas. Tampaknya, hidup baginya akan kembali normal di tahun ajaran mendatang, atau senormal yang mungkm terjadi di Hogwarts.
Malam itu malam paling indah dalam hidup Harry, lebih menyenangkan daripada memenangkan Quidditch atau merayakan Natal atau memukul pingsan troll gunung... dia tak akan pernah melupakan malam ini.

***

Harry nyaris lupa bahwa hasil ujian belum diumumkan, tetapi akhirnya hasil itu keluar juga. Betapa herannya dia dan Ron, karena mereka berdua lulus dengan nilai-nilai bagus.
Hermione, tentu saja, menjadi juara sekolah untuk kelas satu.
Bahkan Neville lulus juga, nilai Herbologi-nya yang tinggi mengimbangi nilai Ramuan-nya yang jeblok. Mereka berharap bahwa Goyle, yang kebodohannya nyaris sama besar dengan kekejamannya, akan dikeluarkan, tetapi Goyle lulus juga.
Sayang, tetapi seperti kata Ron, dalam hidup ini kita tidak bisa mendapatkan segalanya.
Dan mendadak saja lemari pakaian mereka kosong, koper-koper mereka sudah dikemas, katak Neville ditemukan bersembunyi di sudut toilet. Pesan dibagikan kepada semua murid, memperingatkan mereka agar tidak menggunakan sihir selama liburan ("Aku selalu berharap mereka lupa memberikan peringatan ini kepada kita," kata Fred Weasley sedih.). Hagrid siap membawa mereka turun ke armada perahu yang akan berlayar menyeberangi danau. Mereka naik ke Hogwarts Express, mengobrol dan tertawa-tawa sementara daerah pedesaan yang mereka lalui menjadi kian hijau dan rapi; makan Kacang Segala-Rasa Bertie Bott selagi kereta meluncur melewati kota-kota Muggle; melepas jubah penyihir mereka dan ganti memakai jaket biasa; sampai akhirnya kereta berhenti di peron sembilan tiga perempat di Stasiun King's Cross.
Perlu beberapa waktu bagi mereka semua untuk turun di peron. Seorang penjaga tua yang sudah keriput, berjaga di palang rintangan boks penjualan tiket, mengatur mereka keluar berdua dan bertiga, agar tidak menarik perhatian. Sebab kalau mereka semua serentak bermunculan dari tembok kokoh, tentu para Muggle akan kaget dan ketakutan.
"Kalian harus datang menginap musim panas ini," kata Ron,
"kalian berdua—akan kukirim burung hantu."
"Terima kasih," kata Harry. "Aku perlu sesuatu yang menyenangkan untuk kunanti-nantikan kedatangannya."
Orang-orang menyenggol mereka ketika mereka bergerak maju, menuju gerbang yang membawa mereka kembali ke dunia Muggle. Beberapa di antaranya berseru,
"Dah, Harry!"
"Sampai ketemu, Potter!"
"Tetap populer, ya," kata Ron tersenyum.
"Tidak kalau di tempat yang kutuju. Percaya deh," kata Harry. Harry, Ron, dan Hermione melewati gerbang bersama-sama.
"Itu dia, Mum, itu dia, lihat!"
Yang berteriak Ginny Weasley, adik perempuan Ron, tetapi dia tidak menunjuk Ron. "Harry Potter!" lengkingnya. "Lihat, Mum, aku bisa melihat..."
"Diamlah, Ginny, dan tidak sopan menunjuk-nunjuk."
Mrs Weasley tersenyum kepada mereka.
"Tahun yang sibuk?" sapanya.
"Sangat," kata Harry. "Terima kasih untuk bonbon dan rompinya, Mrs Weasley."
"Oh, sama-sama, Nak."
"Sudah siap?"
Itu Paman Vernon, wajahnya masih ungu, masih berkumis, masih kelihatan marah pada Harry yang nekat menenteng burung hantu dalam sangkar di stasiun yang penuh orang biasa.
Di belakangnya berdiri Bibi Petunia dan Dudley yang kelihatan ngeri melihat Harry.
"Kalian pastilah keluarga Harry!" sapa Mrs Weasley.
"Boleh dikatakan begitu," kata Paman Vernon. "Ayo cepat, kita tak bisa seharian di sini." Paman Vernon langsung ngeloyor pergi. Harry masih tinggal untuk mengucapkan salam perpisahan pada Ron dan Hermione.
"Sampai ketemu setelah musim panas, ya."
"Mudah-mudahan liburanmu—er—menyenangkan," kata Hermione, menoleh, memandang Paman Vernon dengan bimbang. Dia heran sekali ada orang yang begitu tidak menyenangkan.
"Oh, pasti menyenangkan," kata Harry, dan mereka heran melihat senyum yang merekah lebar di wajahnya. "Mereka. tak tahu kita dilarang menggunakan sihir di rumah. Aku akan banyak bersenang-senang dengan Dudley musim panas ini...."

SELESAI NOVEL 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar