Harry Potter Dan Batu Bertuah 2
Pukul
setengah empat sore itu, Harry Ron, dan anakanak Gryffindor lainnya
bergegas menuruni undakan depan menuju halaman untuk ikut pelajaran
terbang pertama mereka. Hari itu cerah, dengan angin sepoisepoi dan
rerumputan bergoyang di kaki mereka sementara mereka berjalan melintasi
halaman landai menuju lapangan yang berhadapan dengan Hutan Terlarang,
yang pohon-pohonny melambai menyeramkan di kejauhan.
Anak-anak
Slytherin sudah di sana, begitu juga dua puluh sapu berderet rapi di
tanah. Harry sudah pernah mendengar Fred dan George Weasley mengeluhkan
sapu-sapu sekolah.
Kata mereka beberapa sapu mulai bergetar jika kau terbang terlalu tinggi, atau ada juga sapu yang selalu agak mengarah ke kiri.
Guru mereka, Madam Hooch, datang. Rambutnya pendek kelabu, dengan mata kuning seperti mata elang.
"Nah, apa lagi yang kalian tunggu?" gertaknya. "Semua berdiri di sebelah sapu. Ayo, cepat."
Harry melirik sapunya. Sapunya sudah tua dan beberapa helai tali pengikat rantingnya mencuat ke arah yang aneh.
"NAIK!" semua berteriak.
Sapu
Harry langsung melompat ke tangannya, tapi sapu itu cuma salah satu
dari sedikit yang begitu. Sapu Hermione cuma berguling di tanah, dan
sapu Neville malah tidak bergerak sama sekali. Mungkin sapu, seperti
halnya kuda, bisa tahu kalau kau takut, pikir Harry. Ada getar di suara
Neville yang jelasjelas menunjukkan dia ingin mempertahankan kakinya di
tanah.
Madam
Hooch kemudian menunjukkan kepada mereka bagaimana menaiki sapu tanpa
melorot dari ujungnya, dan dia berjalan mondar-mandir membetulkan
pegangan mereka. Harry dan Ron senang ketika Madam Hooch berkata kepada
Malfoy bahwa selama bertahun-tahun dia salah memegang sapunya.
"Kalau
aku meniup peluitku, kalian menjejak ke tanah, keraskeras," kata Madam
Hooch. "Pegang eraterat sapu kalian, naik kira-kira semeter, kemudian
langsung turun lagi dengan cara agak membungkuk ke depan. Perhatikan
peluit—tiga—dua..."
Tetapi Neville yang gugup dan cemas, dan takut ketinggalan, menjejak keras-keras sebelum peluit menyentuh bibir Madam Hooch.
"Kembali!"
teriak Madam Hooch, tetapi Neville meluncur ke atas seperti gabus yang
terlempar dari botol... tiga meter... enam meter. Harry melihat wajah
Neville yang pucat ketakutan memandang ke tanah yang semakin menjauh,
melihatnya terperangah kaget, tergelincir dari sapunya dan...
BLUG... Krak... Neville jatuh tengkurap di atas rerumputan.
Sapunya
masih terus naik makin lama makin tinggi dan mulai melayang menuju
Hutan Terlarang, sampai akhirnya lenyap dari pandangan.
Madam Hooch membungkuk di atas Neville, wajahnya sama pucatnya dengan wajah Neville.
"Pergelangan tangannya patah," Harry mendengar Madam Hooch bergumam. "Ayo, Nak—tidak apaapa, bangunlah."
Dia berbalik menghadap murid-murid lainnya.
"Tak
seorang pun dari kalian boleh bergerak sementara aku membawa anak ini
ke rumah sakit. Biarkan sapu-sapu itu di tanah, kalau tidak, kalian akan
dikeluarkan dari Hogwarts sebelum kalian sempat mengucapkan
'Quidditch'. Ayo, Nak."
Neville, wajahnya dibanjiri air mata, memegangi pergelangan tangannya, berjalan terpincang-pincang dalam pelukan Madam Hooch.
Begitu mereka mulai menjauh, Malfoy terbahak.
"Kalian lihat wajahnya yang bloon?"
Anak-anak Slytherin lainnya ikut tertawa.
"Diam kau, Malfoy," tukas Parvati Patil.
"Ooh,
membela Longbottom?" komentar Pansy Parkinson, anak perempuan
bertampang galak dari Slytherin. "Tak kusangka ternyata kau suka model
gemuk cengeng macam begitu, Parvati."
"Lihat!" kata Malfoy. la melompat ke depan dan menyambar sesuatu dari rerumputan. "Bola jelek kiriman nenek si Longbottom."
Remembrall
di tangan Malfoy berkilau ditimpa cahaya matahari. "Bawa ke sini,
Malfoy," kata Harry tenang. Semua berhenti bicara untuk menonton.
Malfoy menyeringai menyebalkan.
"Bawa
ke sini!" Harry berteriak, tetapi Malfoy sudah melompat ke atas sapunya
dan meluncur naik. Dia tidak bohong, dia bisa terbang dengan
baik—sambil melayang setinggi dahan-dahan paling atas pohon ek, dia
berseru, "Ambil sendiri nih, Potter!"
Harry menjambret sapunya.
"Jangan!" jerit Hermione Granger. "Madam Hooch melarang kita bergerak—kalian akan menyulitkan kita semua."
Harry
mengabaikannya. Telinganya berdengung. Dia menaiki sapunya dan menjejak
tanah keras-keras, dan dia meluncur naik. Angin menerpa rambutnya dan
jubahnya melambai di belakangnya—dan Harry bukan main girangnya ketika
menyadari dia menemukan sesuatu yang bisa dilakukannya tanpa perlu
diajari— ini mudah, ini luar biasa menyenangkan. Diangkatnya sedikit
sapunya untuk membuatnya naik lebih tinggi dan didengarnya pekik kaget
anak-anak perempuan di bawah dan teriak kekaguman Ron.
Dibelokkannya
sapunya dengan tajam untuk menghadapi Malfoy di angkasa. Malfoy
kelihatan kaget. "Berikan padaku bolanya," kata Harry, "kalau tidak,
kudorong jatuh kau dari sapumu!"
"Oh, yeah?" kata Malfoy, berusaha menyeringai, tetapi wajahnya tampak cemas.
Harry
tahu apa yang harus dilakukannya. Dia membungkuk sedikit dan memegang
erat-erat sapunya dengan kedua tangannya dan sapu itu melesat menuju
Malfoy. Nyaris saja Malfoy tertabrak, tetapi dia berhasil menghindar
pada saat terakhir. Harry membelok tajam dan memegangi sapunya supaya
lebih mantap.
"Di
sini tak ada Crabbe dan Goyle yang bisa menyelamatkan lehermu, Malfoy,"
kata Harry. Pikiran yang sama rupanya terlintas di benak Malfoy.
"Tangkap
saja sendiri kalau bisa!" teriaknya, dan dilemparkannya bola kaca itu
tinggi-tinggi ke angkasa, lalu Malfoy meluncur turun.
Harry
melihat, seakan dalam gerakan lambat, bola itu terlontar ke atas, lalu
mulai turun. Dia membungkuk dan mengarahkan gagang sapunya ke bawah.
Detik berikutnya dia meluncur turun cepat sekali, angin menderu di
telinganya, bercampur dengan jeritan dan teriakan anak-anak yang
menonton. Harry menjulurkan tangan, kira-kira tiga puluh senti dari
tanah dia berhasil menyambar bola itu, tepat pada waktunya untuk
meluruskan sapunya dan jatuh pelan di rerumputan dengan Remembrall
selamat dalam genggamannya.
"HARRY POTTER!"
Jantung
Harry mencelos, melorot lebih cepat dari gerak menukiknya tadi.
Profesor McGonagall berlarilari ke arah mereka. Harry berdiri, gemetar.
"Belum pernah — selama aku di Hogwarts..."
Profesor
McGonagall nyaris tak bisa bicara saking shock-nya, kacamatanya
berkilat-kilat. "Berani-beraninya kau—bisa patah lehermu..."
"Bukan dia yang salah, Profesor..."
"Diam, Miss Patil..."
"Tapi Malfoy..."
"Cukup, Mr Weasley. Potter, ikut aku sekarang."
Harry
sempat melihat wajah Malfoy, Crabbe, dan Goyle yang penuh kemenangan
saat dia berjalan dengan perasaan beku, mengikuti Profesor McGonagall
menuju ke kastil. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk membela diri,
tetapi ada yang tidak beres dengan suaranya. Profesor McGonagall
berjalan cepat, bahkan tanpa memandangnya. Harry harus berlari-lari
kecil agar tidak ketinggalan. Tamatlah riwayatnya sekarang. Padahal
belum dua minggu dia di sini. Sepuluh menit lagi dia akan mengepak
barang-barangnya. Apa kata keluarga Dursley jika dia nanti muncul di
depan pintu rumah mereka?
Menaiki
undakan depan, menaiki tangga pualam di dalam, dan masih saja Profesor
McGonagall belum berkata apa-apa kepadanya. Dia membuka pintu-pintu dan
berjalan menyusuri koridor-koridor, sementara Harry mengikutinya dengan
perasaan merana.
Mungkin
Profesor McGonagall membawanya ke Dumbledore. Harry teringat Hagrid,
yang sudah dikeluarkan tetapi masih diizinkan tinggal sebagai pengawas
binatang liar. Mungkin dia bisa jadi asisten Hagrid.
Perutnya
melilit ketika dia membayangkan mengawasi Ron dan teman-temannya yang
lain menjadi penyihir, sementara dia sendiri cuma berkeliling halaman
kastil, membawakan tas Hagrid.
Profesor McGonagall berhenti di depan sebuah kelas. Dia membuka pintu dan menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Maaf, Profesor Flitwick, boleh aku pinjam Wood sebentar?"
Wood—kayu? pikir Harry bingung. Apakah Wood nama tongkat yang akan digunakan untuk menghajarnya?
Tetapi ternyata Wood adalah anak kelas lima yang besar dan tegap. Dia keluar dari kelas dengan kebingungan.
"Ikut
aku, kalian berdua," kata Profesor McGonagall, dan mereka berjalan
menyusuri koridor, Wood memandang Harry dengan ingin tahu.
"Masuk sini."
Profesor
McGonagall menunjuk ke dalam kelas yang kosong, di dalamnya hanya ada
Peeves yang sedang sibuk menulis katakata tidak sopan di papan tulis.
"Keluar,
Peeves!" bentak Profesor McGonagall. Peeves melemparkan kapurnya ke
dalam kaleng, yang berkelontangan keras, dan dia melesat keluar sambil
menyumpah-nyumpah.
Profesor McGonagall membanting pintu menutup dan berbalik menghadapi kedua anak itu.
"Potter, ini Ol iver Wood. Wood—aku sudah mendapatkan Seeker untukmu." Seeker berarti pencari.
Ekspresi Wood berubah dari kebingungan menjadi kegirangan.
"Anda serius, Profesor?"
"Seratus persen," kata Profesor McGonagall tegas. "Anak ini berbakat alam. Belum pernah aku melihat yang seperti ini.
Apakah tadi itu untuk pertama kalinya kau naik sapu, Potter?"
Harry
mengangguk dalam diam. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
terjadi, tetapi kelihatannya dia tidak dikeluarkan, dan sedikit demi
sedikit perasaan kembali menghangati kakinya.
"Dia menangkap benda di tangannya itu setelah menukik lima belas meter," Profesor McGonagall memberitahu Wood.
"Sama sekali tidak luka, tergores pun tidak. Charlie Weasley saja tak akan bisa melakukannya."
Wajah Wood berubah, seperti orang yang dalam sekejap mendapatkan semua impiannya telah menjadi kenyataan.
"Pernah
menonton Quidditch, Potter?" Wood bertanya penuh semangat. "Wood adalah
kapten tim Gryffindor," Profesor McGonagall menjelaskan.
"Potongan tubuhnya juga cocok untuk Seeker," kata Wood, yang sekarang berjalan mengelilingi Harry dan memandanginya.
"Ringan—cepat—kita harus memberinya sapu yang pantas, Profesor—Nimbus Dua Ribu atau Sapu-bersih Tujuh, saya rasa."
"Aku
akan bicara dengan Dumbledore, siapa tahu kita bisa melunakkan aturan
tentang anak kelas satu itu. Kita perlu sekali tim yang lebih bagus
daripada tahun lalu. Kalah total dari Slytherin dalam pertandingan
terakhir, aku tak berani memandang Severus Snape selama
berminggu-minggu...."
Profesor McGonagall memandang tajam Harry dari atas kacamatanya.
"Aku ingin dengar kau berlatih keras, Potter, kalau tidak, mungkin aku akan berubah pikiran. Mungkin kau harus dihukum."
Mendadak dia tersenyum. "Ayahmu akan bangga sekali,"
katanya. "Dia sendiri pemain Quidditch yang hebat."
***
"Kau bergurau."
Saat
itu mereka sedang makan malam. Harry baru saja selesai bercerita pada
Ron apa yang terjadi waktu dia meninggalkan lapangan bersama Profesor
McGonagall. Ron sudah hendak menyuap pai daging, sudah setengah jalan,
tapi pai itu terlupakan begitu saja.
"Seeker?" katanya. "Tetapi anak kelas satu tidak pernah—kau pastilah pemain termuda selama..."
"... seabad ini," kata Harry lalu menyuapkan pai ke dalam mulutnya. Dia merasa lapar sekali setelah kejadian seru sore ini.
"Wood bilang padaku."
Ron begitu terpana, dia hanya ternganga menatap Harry.
"Aku mulai latihan minggu depan," kata Harry.
"Tapi jangan bilang siapa-siapa.
Wood ingin merahasiakannya." Fred dan George Weasley muncul di aula.
Mereka melihat Harry dan bergegas mendekat.
"Bagus,"
kata George dengan. suara pelan. "Wood bercerita kepada kami. Kami
anggota tim juga— Beater." Rupanya mereka berdua pemukul bola.
"Kuberitahu
kau, kita pasti akan memenangkan Piala Quidditch tahun ini," kata Fred.
"Kami belum pernah menang sejak Charlie pergi, tetapi tim tahun ini
akan brilian. Kau pastilah hebat, Harry, Wood nyaris melonjak-lonjak
ketika dia memberitahu kami."
"Tapi kami harus pergi. Lee Jordan mengira dia telah menemukan lorong rahasia menuju ke luar sekolah."
"Taruhan
pasti yang ditemukannya lorong di belakang patung Gregory si Penjilat,
yang telah kami temukan pada minggu pertama kami di sini. Sampai
ketemu."
Baru saja Fred dan George menghilang, muncullah anak lain yang sangat tidak diinginkan. Malfoy, diapit oleh Crabbe dan Goyle.
"Makan malam terakhir nih, Potter? Kapan kau naik kereta kembali ke dunia Muggle?"
"Kau jauh lebih berani sekarang setelah kembali ke tanah dan berada bersama teman-teman kecilmu," kata Harry tenang.
Tentu
saja Crabbe dan Goyle sama sekali tidak kecil, tetapi karena Meja
Tinggi penuh para guru, tak seorang pun dari mereka berdua bisa berbuat
lain kecuali mengertakkan bukubuku jari mereka dan merengut.
"Aku siap menghadapimu sendirian kapan saja," kata Malfoy. "Bahkan malam ini juga, kalau kau mau. Duel penyihir.
Hanya tongkat—tanpa kontak. Kenapa? Belum pernah dengar tentang duel penyihir, rupanya?"
"Tentu saja sudah," kata Ron, berpaling menghadap mereka.
"Aku orang keduanya. Siapa orang keduamu?"
Malfoy memandang Crabbe dan Goyle, menilai mereka.
"Crabbe," katanya. "Tengah malam nanti, oke? Kita bertemu di ruang piala, ruang itu tak pernah dikunci."
Setelah Malfoy pergi, Ron dan Harry berpandangan.
"Apa sih duel penyihir itu?" tanya Harry. "Dan apa maksudmu kau menjadi orang keduaku?"
"Yah,
orang kedua adalah orang yang akan mengambil alih kalau kau mati," kata
Ron sambil lalu, seraya menyuap painya yang sudah dingin. Melihat
ekspresi wajah Harry, dia cepat-cepat menambahkan, "Tapi orang hanya
mati dalam duel yang sesungguhnya, antara dua penyihir betulan. Paling
maksimal yang bisa dilakukan kau dan Malfoy hanyalah saling kirim
percikan bunga api. Kalian berdua belum menguasai cukup sihir untuk
membuat bencana besar. Lagi pula, berani taruhan, sebetulnya dia
mengharap kau menolak."
"Lalu bagaimana kalau aku melambaikan tongkatku dan tak ada yang terjadi?"
"Lempar saja tongkatmu dan pukul hidungnya," saran Ron.
"Maaf."
Mereka berdua mendongak. Rupanya Hermione Granger.
"Apa
kita tidak bisa makan dengan tenang di sini?" komentar Ron. Hermione
tidak mengacuhkannya dan berbicara kepada Harry "Aku tak sengaja
mendengar pembicaraanmu dengan Malfoy..."
"Tidak heran," gumam Ron.
"...
dan kau tidak boleh berkeliaran di sekolah pada malam hari. Pikirkan
angka yang akan dikurangi dari Gryffindor kalau kau sampai tertangkap,
dan kau pasti tertangkap. Kau benarbenar egois."
"Dan itu bukan urusanmu," kata Harry.
"Selamat tinggal," kata Ron.
***
Ini
tak bisa disebut akhir hari yang sempurna, pikir Harry sementara dia
berbaring, lama kemudian, menunggu Dean dan Seamus tertidur. (Neville
belum kembali dari rumah sakit.) Ron telah melewatkan sepanjang malam
itu untuk memberinya nasihat, seperti, "Jika dia mencoba mengutukmu,
sebaiknya kau menghindar saja, karena aku tak ingat bagaimana cara
menangkal kutukan." Kemungkinan besar mereka akan tertangkap oleh Filch
atau Mrs Norris, dan Harry merasa dia mengharap keberuntungan yang
berlebihan dengan melanggar peraturan sekolah lainnya hari ini.
Tetapi
di lain pihak, wajah Malfoy yang penuh ejekan terusmenerus muncul dari
kegelapan—ini kesempatan besar baginya unruk berhadapan langsung dengan
Malfoy. Mana mungkin dilewatkan.
"Setengah dua belas," akhirnya Ron bergumam. "Lebih baik kita berangkat sekarang."
Mereka
memakai baju luar, mengambil tongkat, dan mengendap-endap menyeberangi
ruang menara, menuruni tangga spiral, menuju ke ruang rekreasi
Gryffindor. Masih ada berkas-berkas bara di perapian, membuat semua
kursi berlengan tampak seperti bayangan bungkuk hitam. Mereka sudah
hampir mencapai lubang lukisan ketika terdengar suara dari kursi yang
berada paling dekat, "Aku tak percaya kau akan berbuat begitu, Harry."
Sebuah lampu menyala. Rupanya Hermione Granger, memakai gaun tidur merah jambu, dengan kening berkerut.
"Kau!" kata Ron gusar. "Tidur lagi sana!"
"Hampir saja kuberitahu kakakmu," Hermione balas membentak. "Percy—dia Prefek, dia akan menghentikan ini."
Harry
heran sekali ada orang yang begitu mau, ikut campur urusan orang lain.
"Ayo," ajaknya kepada Ron. Dia mendorong lukisan Nyonya Gemuk dan turun
melalui lubang.
Hermione tak mau menyerah begitu mudah. Dia mengikuti Ron melewati lubang lukisan, mendesis kepada mereka seperti angsa marah.
"Tidakkah
kalian peduli pada Gryffindor? Apakah kalian cuma peduli pada diri
sendiri? Aku tak ingin Slytherin memenangkan Piala Asrama dan kalian
akan membuat semua angka yang kudapat dari Profesor McGonagall—karena
tahu tentang Mantra Pertukaran—hilang percuma."
"Pergi."
"Baiklah,
tetapi sudah kuperingatkan kalian, ingat saja apa yang kukatakan kalau
kalian ada di kereta api yang akan membawa kalian pulang besok, kalian
ini sungguh..."
Tetapi
mereka tak sempat tahu apa yang akan dikeluhkan Hermione. Hermione
sudah berbalik menghadap ke lukisan Nyonya Gemuk untuk kembali ke dalam,
tetapi ternyata dia menghadapi kanvas kosong. Si Nyonya Gemuk sedang
mengadakan kunjungan tengah malam dan Hermione terkunci, tak bisa masuk
Menara Gryffindor.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanyanya nyaring.
"Itu
urusanmu," kata Ron. "Kami harus pergi, kami sudah hampir terlambat."
Mereka belum mencapai ujung koridor ketika Hermione mengejar mereka.
"Aku ikut kalian," katanya.
"Tidak boleh."
"Kaupikir
aku akan berdiri di sini dan menunggu Filch menangkapku? Jika dia
menemukan kita bertiga, akan kukatakan hal yang sebenarnya kepadanya,
bahwa aku sedang berusaha mencegah kalian, dan kalian bisa mendukungku."
"Nekat amat...," kata Ron keras. "Tutup mulut, kalian berdua!" kata Harry tegas. "Aku mendengar sesuatu."
Semacam isakan. "Mrs Noris?" bisik Ron, menyipitkan mata menembus kegelapan.
Ternyata
bukan Mrs Noris, melainkan Neville. Dia melingkar di lantai, tertidur
nyenyak, tetapi langsung terbangun kaget ketika mereka mendekat.
"Untung kalian menemukan aku! Sudah berjamjam aku di luar sini. Aku tak ingat kata kunci baru untuk masuk kamar."
"Pelan-pelan
ngomongnya, Neville. Kata kuncinya 'moncong babi', tapi itu tak bisa
membantumu sekarang, si Nyonya Gemuk entah sedang ke mana."
"Bagaimana tanganmu?" tanya Harry.
"Sudah sembuh,"
kata Neville, menunjukkan kedua tangannya. "Madam Pomfrey membetulkannya dalam waktu semenit."
"Bagus—nah, begini, Neville, kami harus pergi, sampai ketemu nanti..."
"Jangan tinggalkan aku!" kata Neville, buru-buru berdiri.
"Aku tak mau di sini sendirian, si Baron Berdarah sudah lewat dua kali."
Ron melihat arlojinya dan memandang marah pada Hermione dan Neville.
"Kalau
salah satu dari kami tertangkap, aku akan kerja keras untuk menguasai
Kutukan Bogies yang diceritakan Quirrell kepada kita dan menggunakannya
kepada kalian."
Hermione
membuka mulutnya, mungkin untuk memberitahu Ron bagaimana persisnya
menggunakan Kutukan Bogies, tetapi Harry mendesis, menyuruhnya diam dan
memberi isyarat agar mereka semua maju mengikutinya.
Mereka menyelinap sepanjang koridor-koridor yang disinari leret-leret sinar bulan yang masuk lewat jendela-jendela tinggi.
Di
setiap belokan, Harry mengira akan bertemu Filch atau Mrs Norris,
tetapi mereka beruntung. Mereka bergegas menaiki tangga ke lantai tiga
dan berjingkat-jingkat ke ruang piala.
Malfoy
dan Crabbe belum ada di sana. Kotakkotak trofi dari kristal berkilau
terkena cahaya bulan. Piala, tameng, plakat, dan patung-patung emas dan
perak mengilap dalam kegelapan.
Mereka
berjingkat sepanjang dinding, mata mereka menatap pintu di kedua ujung
ruangan. Harry mengeluarkan tongkatnya, siapa tahu Malfoy melompat masuk
dan langsung menyerang.
Menit demi menit berlalu.
"Dia terlambat, mungkin tidak berani datang," bisik Ron.
Kemudian bunyi di ruang sebelah membuat mereka terlonjak.
Harry baru mengangkat tongkatnya ketika mereka mendengar ada orang bicara—dan orang itu bukan Malfoy.
"Enduslah, kucing manis, mereka mungkin sembunyi di sudut."
Itu
suara Filch yang bicara kepada Mrs Norris. Ketakutan, Harry
melambai-lambai panik kepada tiga temannya untuk mengikutinya secepat
mungkin. Mereka mengendap-endap menuju pintu, menjauh dari suara Filch.
Jubah Neville baru saja lenyap, begitu ia membelok di sudut, ketika
mereka mendengar Filch masuk ke ruang piala.
"Mereka ada di dalam sini," anak-anak mendengar Filch bergumam, "mungkin sembunyi."
"Ke
sini!" Harry berseru tanpa suara, dan dengan ketakutan, mereka merayap
menyusuri galeri penuh baju zirah. Mereka bisa mendengar Filch semakin
dekat. Mendadak Neville memekik ketakutan dan berlari—dia tersandung,
memeluk pinggang Ron dan keduanya menjatuhi seperangkat baju zirah.
Bunyi gedubrakan dan kelontangan cukup untuk membangunkan seluruh sekolah.
"LARI!"
Harry berteriak dan keempatnya melesat ke ujung galeri, tanpa menoleh
ke belakang untuk melihat apakah Filch mengikuti mereka. Mereka keluar
dari pintu dan lari berbelok melewati koridor yang satu dan kemudian
koridor lain, Harry di depan tanpa tahu di mana mereka berada atau ke
mana mereka pergi. Mereka menerobos permadani gantung dan tiba di lorong
tersembunyi, berlari sepanjang lorong dan keluar lagi dekat ruang kelas
Jimat dan Guna-guna, yang mereka tahu terletak jauh sekali dari ruang
piala.
"Kurasa kita sudah bebas dari dia," ujar Harry tersengal, bersandar pada tembok yang dingin dan menyeka dahinya.
Neville membungkuk sampai terlipat dua, mendesah-desah dan merepet gugup.
"Sudah... kubilang... kan," Hermione terengah, memegangi baju di depan dadanya. "Sudah... kubilang... kan."
"Kita harus kembali ke Menara Gryffindor," kata Ron,
"secepat mungkin."
"Malfoy menjebakmu," Hermione berkata kepada Harry.
"Kau
sadar sekarang, kan? Dia memang tidak berencana menemuimu—Filch tahu
ada anak yang akan berada di ruang piala. Pasti Malfoy yang
mengisikinya."
Harry berpikir Hermione mungkin benar, tetapi ia tak akan mengatakannya.
"Ayo, pergi."
Tidak
akan semudah itu. Mereka belum berjalan lebih dari dua belas langkah
ketika ada pegangan pintu yang berkeretak dan sesuatu meluncur keluar
dari ruang kelas di depan mereka.
Ternyata Peeves. Dia melihat mereka dan menjerit kesenangan. "Diam, Peeves—tolong, diam—kau akan membuat kami dikeluarkan."
Peeves terbahak.
"Jalan-jalan tengah malam nih, anak-anak kelas satu? Tsk, tsk, tsk. Badung, badung, badung, kalian akan ditelikung."
"Tidak, kalau kau tidak mengadukan kami, Peeves. Jangan dong, Peeves."
"Harus bilang Filch, harus," kata Peeves dengan suara saleh, tetapi matanya berkilat nakal. "Demi kebaikan kalian sendiri kok."
"Minggir kau," tukas Ron seraya melayangkan pukulan ke arah Peeves. Itu sungguh kesalahan besar.
"MURID KELUAR KAMAR!" Peeves berteriak, "MURID KELUAR KAMAR ADA DI KORIDOR JIMAT!"
Membungkuk melewati Peeves, mereka berlari sampai ke ujung koridor, di situ mereka terbentur pintu, dan pintu itu terkunci.
"Celaka!"
Ron mengeluh, sementara mereka mendorong pintu tanpa hasil. "Habis deh
kita!" Mereka bisa mendengar langkah-langkah kaki, Filch berlari secepat
mungkin ke arah teriakan Peeves. "Oh, minggir," gertak Hermione. Dia
merebut tongkat Harry, mengetuk kuncinya dan berbisik, "Alohomoral"
Kunci
menceklik dan pintu menjeblak terbuka— berdesakan mereka masuk,
cepat-cepat menutupnya kembali, lalu menempelkan telinga ke pintu,
mendengarkan.
"Ke mana mereka pergi, Peeves?" tanya Filch. "Cepat, beritahu aku."
"Bilang dulu, 'tolong'."
"Jangan main-main, Peeves, ke mana mereka pergi?"
"Aku tak akan bilang apa-apa kalau kau tidak bilang tolong,"
kata Peeves dengan suara datar menjengkelkan.
"Baiklah—tolong."
"APA-APA! Ha ha ha! Kan sudah kubilang aku tak akan bilang apa-apa kalau kau tidak bilang tolong! Ha ha haaaaaa!"
Dan mereka mendengar desau Peeves yang terbang pergi dan Filch yang mencaci-maki be-rang.
"Dia
mengira pintu ini terkunci," bisik Harry. "Kurasa kita selamat—ada apa
sih, Neville!" Karena Neville selama semenit belakangan ini terus
menarik-narik baju Harry. "Apa?"
Harry
berbalik—dan melihat dengan jelas. Sesaat dia mengira dirinya sedang
bermimpi buruk—ini sudah keterlaluan, mengingat semua yang sudah
terjadi.
Mereka
tidak berada dalam suatu ruangan, seperti yang dikiranya. Mereka ada di
koridor. Koridor terlarang di lantai tiga. Dan sekarang mereka tahu
kenapa koridor itu terlarang.
Mereka memandang tepat ke mata anjing raksasa, anjing yang memenuhi seluruh ruang antara langitlangit dan lantai.
Kepalanya
tiga, dengan tiga pasang mata galak yang berputarputar, tiga hidung
yang bergerak mengendus-endus ke arah mereka, tiga moncong dengan liur
menetes—menggantung seperti tali licin—dari taring kekuningan.
Anjing
itu berdiri diam, sementara keenam matanya memandang mereka, dan Harry
tahu satu-satunya alasan kenapa mereka belum mati adalah karena
kemunculan mereka yang begitu mendadak telah mengejutkan si anjing.
Tetapi dengan cepat si anjing mengatasi keterkejutannya, itu sudah jelas
dari geraman-geramannya yang mengerikan itu.
Harry meraih pegangan pintu. Antara Filch dan maut, dia lebih memilih Filch.
Mereka
ambruk ke belakang—Harry membanting pintu menutup, dan mereka berlari,
hampir terbang malah, kembali menyusuri koridor ke arah berlawanan.
Filch pasti sudah buruburu pergi mencari mereka ke tempat lain, karena
mereka tidak melihatnya di mana-mana. Tetapi mereka tak peduli—yang
mereka inginkan hanyalah membuat jarak sebesar mungkin antara mereka dan
monster itu. Mereka tidak berhenti berlari sampai tiba di depan lukisan
Nyonya Gemuk di lantai tujuh.
"Dari
mana saja kalian ini?" tanya si nyonya, memandang baju tidur mereka
yang merosot ke bahu dan wajah mereka yang merah berkeringat.
"Kau
tak perlu tahu—moncong babi, moncong babi," kata Harry tersengal, dan
lukisan itu mengayun ke depan. Mereka berebut masuk ke ruang rekreasi
dan ambruk di kursi berlengan.
Perlu beberapa saat sebelum mereka bisa berkata sesuatu.
Neville bahkan kelihatannya tidak akan bicara lagi selamanya.
"Apa
maksud mereka mengunci binatang semacam itu di dalam sekolah?" kata Ron
akhirnya. "Kalau ada anjing yang perlu diajak jalan-jalan, nah, anjing
yang tadi itu."
Hermione sudah mendapatkan kembali napas dan kegalakannya.
"Kalian ini tidak ada yang memakai mata kalian, ya?"
bentaknya. "Apa kalian tidak melihat dia berdiri di mana?"
"Lantai?"
Harry menebak. "Aku tidak melihat kakinya, aku terlalu sibuk dengan
kepalanya." "Bukan, bukan lantai. Anjing tadi berdiri di atas pintu
jebakan. Jelas dia menjaga sesuatu."
Hermione berdiri, membelalak kepada mereka.
"Kuharap
kalian sekarang puas. Kita semua bisa mati—atau lebih parah lagi,
dikeluarkan. Nah, sekarang kalau tidak keberatan, aku akan tidur."
Ron melongo memandangnya.
"Tidak, kami tidak keberatan," katanya. "Kau pikir kami memaksa kau ikut?"
Tetapi Hermione telah memberi Harry sesuatu yang lain untuk dipikirkan ketika dia naik kembali ke tempat tidurnya.
Anjing itu menjaga sesuatu... Apa yang dikatakan Hagrid?
Gringotts adalah tempat paling aman di dunia kalau kau mau menyembunyikan sesuatu—kecuali mungkin Hogwarts.
Kelihatannya Harry sudah menemukan di mana bungkusan kecil kumal dari ruangan besi tujuh ratus tiga belas itu berada.
***
Halloween
MALFOY
tidak bisa mempercayai matanya ketika dia melihat Harry dan Ron masih
di Hogwarts keesokan harinya. Mereka tampak lelah tapi riang gembira.
Memang paginya Harry dan Ron berpendapat pertemuan dengan anjing
berkepala tiga itu petualangan yang luar biasa dan mereka bahkan
berharap mendapatkan pengalaman serupa lagi. Sementara itu Harry
memberitahu Ron tentang bungkusan yang tampaknya telah di pindahkan dari
Gringotts ke Hogwarts, dan mereka melewatkan banyak waktu untuk
mereka-reka apa kiranya yang memerlukan penjagaan begitu ketat.
"Kalau tidak benar-benar berharga, tentu benarbenar berbahaya," kata Ron.
"Atau dua-duanya," kata Harry.
Tetapi
karena yang mereka tahu tentang benda misterius itu hanyalah bahwa
panjangnya sekitar lima senti, tanpa petunjuk tambahan, mereka tak bisa
menebak benda apa itu.
Baik
Neville maupun Hermione tak menunjukkan minat sedikit pun untuk
mengetahui apa yang ada di bawah anjing dan pintu jebakan itu. Yang
paling penting bagi Neville, jangan sampai dia dekat-dekat anjing itu
lagi.
Hermione
sekarang menolak bicara dengan Harry dan Ron, tetapi Harry dan Ron
malah senang, sebab Hermione anaknya ngebos dan sangat sok tahu. Yang
benar-benar mereka inginkan sekarang hanyalah membalas Malfoy, dan
betapa girangnya mereka ketika kesempatan itu tiba bersama datangnya pos
seminggu kemudian.
Ketika
burung-burung hantu membanjir ke dalam Aula Besar seperti biasanya,
perhatian semua orang langsung tertuju pada bungkusan kurus panjang yang
dibawa oleh enam burung hantu besar yang bising. Harry sama tertariknya
seperti yang lain untuk mengetahui apa isi bungkusan besar ini dan dia
tercengang ketika burung-burung hantu itu melayang turun dan menjatuhkan
bungkusan yang mereka bawa tepat di depannya, menyenggol daging asapnya
sampai jatuh ke lantai. Baru saja keenam burung hantu ini menyingkir,
datang burung hantu lain yang menjatuhkan surat ke atas bungkusan tadi.
Harry merobek suratnya dulu. Untunglah, sebab surat itu begini bunyinya:
JANGAN MEMBUKA BUNGKUSAN DI MEJA
Isinya Nimbus Dua Ribu-mu yang baru,
tetapi aku tak ingin semua anak tahu kau mendapat sapu,
sebab nanti mereka semua juga minta.
Oliver Wood akan menemuimu malam ini di lapangan Quidditch, pukul tujuh untuk latihan pertama.
Harry
berusaha menyembunyikan kegembiraannya ketika dia memberikan surat itu
kepada Ron. "Nimbus Dua Ribu!" gumam Ron iri. "Menyentuhnya pun aku
bahkan belum pernah."
Mereka
buru-buru meninggalkan Aula, karena ingin membuka bungkusan sapu tanpa
dilihat yang lain sebelum pelajaran pertama, tetapi baru setengah
menyeberangi Aula Depan, mereka melihat jalan ke atas dihalangi Crabbe
dan Goyle. Malfoy merebut bungkusan itu dari Harry dan merabanya.
"Ini
sapu," katanya seraya melemparkannya kembali kepada Harry dengan wajah
antara iri dan menghina. "Habis kau kali ini, Potter. Anak-anak kelas
satu tidak boleh punya sapu."
Ron tak tahan lagi.
"Ini bukan sapu biasa," katanya. "Ini Nimbus Dua Ribu.
Kaubilang
sapumu di rumah apa, Malfoy? Komet Dua Enam Puluh?" Ron nyengir ke arah
Harry. "Komet memang kelihatannya mentereng, tetapi tidak sekelas
dengan Nimbus."
"Kau
tahu apa, Weasley! Beli separo tangkainya saja kau takkan sanggup,"
balas Malfoy. "Kurasa kau dan kakak-kakakmu harus menabung ranting demi
ranting."
Sebelum Ron sempat menjawab, Profesor Flitwick muncul di belakang Malfoy.
"Tidak bertengkar kuharap, anak-anak?" katanya.
"Potter dikirimi sapu, Profesor," Malfoy buru-buru mengadu.
"Ya,
ya, betul," kata Profesor Flitwick, tersenyum lebar pada Harry.
"Profesor McGonagall bercerita kepadaku tentang kasus istimewa ini,
Potter. Dan apa modelnya?"
"Nimbus
Dua Ribu, Sir," kata Harry, berusaha tidak tertawa melihat kengerian di
wajah Malfoy. "Dan untuk itu saya betul-betul harus berterima kasih
kepada Malfoy," dia menambahkan.
Harry dan Ron naik, menahan tawa melihat kegusaran dan kebingungan Malfoy yang tampak jelas.
"Memang
benar kok," celetuk Harry ketika mereka tiba di puncak tangga pualam.
"Kalau dia tidak mengambil Remembrall Neville, aku tak akan terpilih
jadi anggota tim..."
"Jadi kauanggap itu imbalan untuk pelanggaran peraturan?"
terdengar
suara marah di belakang mereka. Hermione sedang menaiki tangga,
memandang bungkusan di tangan Harry dengan tatapan mencela.
"Bukannya kau sedang tidak bicara dengan kami?" kata Harry.
"Ya, jangan dihentikan," kata Ron. "Kami senang kok."
Hermione pergi dengan hidung terangkat ke atas.
Harry
sulit memusatkan perhatian pada pelajaran-pelajarannya hari itu.
Pikirannya melayang terus ke kamarnya, ke tempat sapu barunya tergeletak
di bawah tempat tidurnya, atau melayang ke lapangan Quidditch, tempat
dia akan mulai berlatih malam nanti. Dia buru-buru menyantap makan
malamnya, tanpa memperhatikan apa yang dimakannya, dan kemudian
buru-buru ke atas dengan Ron untuk, akhirnya, membuka bungkusan Nimbus
Dua Ribu-nya.
"Wow," Ron menghela napas ketika sapu itu bergulir di tempat tidur Harry.
Bahkan Harry yang sama sekali tak tahu tentang perbedaan macam-macam sapu, berpendapat sapunya kelihatan hebat.
Langsing
berkilat, dengan gagang dari mahogani, anyaman ranting di ujungnya
lurus dan rapi, dengan tulisan emas Nimbus Dua Ribu di dekat puncaknya.
Menjelang pukul tujuh, Harry meninggalkan kastil dan berangkat menuju lapangan Quidditch dalam keremangan senja.
Dia belum pernah berada dalam stadion itu sebelumnya.
Beratus-ratus
tempat duduk diatur mengelilingi lapangan pada tribun tinggi, supaya
para penonton cukup tinggi untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Di
kedua ujung lapangan berdiri tiang keemasan dengan tiga lingkaran pada
ujungnya.
Tiang-tiang
ini mengingatkan Harry pada batang plastik kecilkecil yang biasa
ditiup-tiup anakanak Muggle untuk membuat gelembung sabun. Hanya saja
tiang-tiang ini tingginya lima belas meter.
Harry yang sudah ingin sekali terbang lagi, tak sabar menunggu Wood. Dia menaiki sapunya dan menjejak tanah.
Bukan
main—dia melayang mengitari tiang-tiang gol dan kemudian meluncur
naik-turun di atas lapangan. Nimbus Dua Ribu berbelok ke arah mana pun
yang dimauinya hanya dengan sentuhan kecil darinya.
"Hei, Potter, turun!"
Oliver Wood sudah datang. Dia mengepit kotak kayu besar.
Harry mendarat di sebelahnya.
"Bagus
sekali," kata Wood, matanya bercahaya. "Aku paham sekarang apa yang
dimaksud McGonagall... kau benar-benar pemain alam. Aku hanya akan
mengajarkan peraturannya kepadamu malam ini, kemudian kau akan bergabung
berlatih dengan tim tiga kali seminggu."
Wood membuka kotaknya. Di dalamnya ada empat bola yang berbeda ukuran.
"Baik,"
kata Wood. "Quidditch cukup mudah dimengerti, walaupun tak semudah itu
dimainkan. Ada tujuh pemain pada masing-masing regu. Tiga di antaranya
disebut Chaser atau pengejar."
"Tiga Chaser," Harry mengulang, ketika Wood mengeluarkan bola merah manyala sebesar bola sepak.
"Bola
ini namanya Quaffle," kata Wood. "Chaser melempar Quaffle kepada sesama
Chaser dan berusaha memasukkannya ke salah satu lingkaran untuk
mendapatkan angka. Sepuluh setiap kali bola berhasil dimasukkan ke
lingkaran. Mengerti?"
"Para Chaser melempar Quaffle dan memasukkannya ke dalam lingkaran untuk mendapatkan angka," kata Harry.
"Jadi—semacam basket yang dimainkan naik sapu terbang dengan enam keranjang, iya, kan?"
"Apa itu basket?" tanya Wood ingin tahu.
"Ah, sudahlah," kata Harry cepat-cepat.
"Nah,
ada lagi pemain dalam masing-masing regu yang disebut Keeper—aku Keeper
Gryffindor. Aku harus beterbangan sekeliling lingkaran dan mencegah tim
musuh mencetak gol."
Rupanya Keeper tugasnya sama dengan kiper atau penjaga gawang dalam permainan sepak bola.
"Tiga Chaser, satu Keeper," kata Harry yang bertekad mengingat semuanya. "Dan mereka bermain dengan Quaffle.
Oke, mengerti. Jadi, untuk apa yang itu?" Dia menunjuk tiga bola lain yang masih ada di dalam. kotak.
"Akan kutunjukkan sekarang," kata Wood. "Ambil ini." Dia menyerahkan kepada Harry pemukul kecil yang mirip pemukul kasti.
"Akan kutunjukkan apa yang dilakukan Bludger," kata Wood. "Dua bola ini namanya Bludger."
Dia
menunjukkan kepada Harry dua bola kembar, hitam legam dan sedikit lebih
kecil daripada Quaffle merah. Harry melihat bahwa kedua bola itu
kelihatannya berusaha keras melepaskan diri dari ikatan yang menahannya
di dalam kotak.
"Mundur," Wood memperingatkan Harry. Dia membungkuk dan melepas salah satu Bludger.
Langsung
saja bola hitam itu meluncur tinggi ke angkasa dan kemudian melesat
turun menuju wajah Harry. Harry memukulnya dengan pemukul untuk
mencegahnya mematahkan hidungnya, membuatnya zig-zag di udara—bola itu
mendesing mengitari kepala mereka, kemudian melesat ke arah Wood, yang
melompat menyambarnya dan berhasil memitingnya di tanah.
"Lihat,
kan?" Wood tersengal, memasukkan kembali dengan paksa Bludger yang
memberontak itu ke dalam kotak dan mengikatnya kembali supaya aman.
"Bludger ini meluncur ke mana-mana, berusaha menjatuhkan pemain dari
sapu mereka.
Itulah
sebabnya masing-masing tim punya dua Beater—Pemukul. Si kembar Weasley
adalah Beater kita. Tugas merekalah untuk melindungi tim kita dari
serangan Bludger dan berusaha memukul Bludger itu ke arah tim lawan.
Jadi—bisa dimengerti?"
"Tiga
Chaser mencoba mencetak gol dengan Quaffle, si Keeper menjaga gawang,
dua Beater menjauhkan Bludger dari tim mereka," Harry menjelaskan.
"Bagus sekali," kata Wood.
"Er—apakah Bludger pernah sampai membunuh pemain?"
Harry bertanya, berharap suaranya kedengaran biasa.
"Di
Hogwarts belum pernah. Pernah dua kali ada rahang patah, tapi tak ada
yang lebih parah dari itu. Nah, anggota tim terakhir adalah
Seeker—Pencari. Ini kau. Dan kau tidak perlu mencemaskan Quaffle ataupun
Bludger..."
"...kecuali kalau Bludger itu membuat kepalaku pecah."
"Jangan
khawatir, si kembar Weasley bukan musuh enteng bagi si
Bludger—maksudku, mereka berdua seperti sepasang Bludger manusia."
Wood
menjangkau ke dalam kotak dan mengeluarkan bola keempat, bola terakhir.
Dibandingkan dengan Quaffle dan Bludger, bola ini kecil sekali, cuma
sebesar buah kenari besar.
Warnanya keemasan dan punya sayap perak yang bergetar.
"Ini,"
kata Wood, "adalah Golden Snitch—Tangkapan Emas, dan ini bola yang
paling penting dari semuanya. Bola ini sangat susah ditangkap karena
geraknya cepat sekali dan susah dilihat.
Tugas
Seekerlah untuk menangkapnya. Kau harus meliuk-liuk di antara Chaser,
Beater, Bludger, dan Quaffle untuk menangkapnya sebelum keduluan Seeker
tim lawan. Seeker -yang berhasil menangkap Snitch, menambah angka
seratus lima puluh untuk timnya, maka mereka hampir selalu menang.
Itulah sebabnya Seeker banyak dikerjai. Pertandingan Quidditch hanya
berakhir kalau Snitch sudah berhasil ditangkap. Jadi pertandingan ini
bisa berlangsung lama sekali—kalau tak salah rekor paling lama adalah
tiga bulan, mereka harus bolak-balik mengajukan pemain cadangan, supaya
para pemain bisa tidur.
"Yah, begitulah—ada pertanyaan?"
Harry menggeleng.
Dia mengerti apa yang harus dilakukannya. Melaksanakannya-lah yang akan jadi masalah.
"Kita belum akan berlatih dengan Snitch," kata Wood, dengan hati-hati mengembalikan bola itu ke dalam kotak.
"Terlalu gelap, bisa hilang nanti. Ayo, kita coba kau dengan beberapa bola ini saja."
Wood
mengeluarkan beberapa bola golf biasa dari dalam kantongnya, dan
beberapa menit kemudian, dia dan Harry sudah melayang-layang di udara.
Wood melempar bola-bola golf itu sekuat-kuatnya ke segala arah untuk
ditangkap Harry.
Harry
berhasil menangkap semuanya, dan Wood senang sekali. Setelah setengah
jam, malam benarbenar telah tiba dan mereka tidak bisa melanjutkan.
"Nama
kita akan terukir di Piala Quidditch tahun ini," kata Wood riang selagi
mereka berjalan kembali ke kastil. "Aku tak akan heran kalau kau
ternyata lebih hebat dari Charlie Weasley, dan dia sebetulnya bisa main
untuk tim nasional Inggris kalau dia tidak memilih mengejar naga."
***
Mungkin
karena sekarang sangat sibuk, apalagi dengan latihan Quidditch tiga
malam dalam seminggu, ditambah PR-PR-nya, Harry heran sendiri ketika
menyadari dia sudah berada di Hogwarts selama dua bulan. Kastil itu
lebih terasa rumah daripada rumah di Privet Drive.
Pelajaran-pelajarannya juga semakin menarik, setelah mereka menguasai
dasar-dasarnya.
Pada
pagi Hallowe'en mereka terbangun oleh bau lezat labu panggang yang
menguar di koridor-koridor. Lebih asyik lagi, Profesor Flitwick
mengumumkan di pelajaran Jimat dan Guna-guna bahwa menurut pendapatnya
mereka sudah siap untuk mulai membuat benda-benda melayang, sesuatu yang
sudah ingin sekali mereka coba sejak mereka melihat Profesor Flitwick
membuat kodok Neville terbang berputarputar di dalam kelas.
Profesor
Flitwick membagi mereka berpasang-pasangan untuk berlatih. Partner
Harry adalah Seamus Finnigan (dia lega, karena Neville dari tadi sudah
berusaha memberi kode dengan matanya). Tetapi Ron harus bekerja sama
dengan Hermione Granger. Sulit dikatakan apakah Ron atau Hermione yang
lebih marah karena ini. Hermione sudah tidak bicara dengan mereka sejak
sapu Harry tiba.
"Nah,
jangan lupa gerakan manis pergelangan "tangan yang sudah kita latih!"
seru Profesor Flitwick, yang seperti biasa bertengger di atas tumpukan
bukunya. "Ayun dan sentak, ingat, ayun dan sentak. Dan mengucapkan
mantra dengan benar juga sangat penting—jangan lupa pada Penyihir
Baruffio, yang menyebut 's' alih-alih 'f', dengan akibat dia mendadak
tergeletak di lantai dengan kerbau di atas dadanya."
Sulit
sekali. Harry dan Seamus mengayun dan menyentak, tetapi bulu yang
seharusnya mereka buat melayang ke udara tetap saja tergeletak di atas
meja. Seamus akhirnya habis sabar sehingga dia menyodok bulu itu dengan
tongkatnya, dan membuat bulu itu terbakar—Harry terpaksa memadamkannya
dengan topinya.
Ron, di meja sebelah, nasibnya tidak lebih baik.
"Wingardium Leviosa!" seru Ron, melambaikan tangannya seperti kincir.
"Cara ngomongmu salah," Harry mendengar Hermione menukas. "Mestinya Wing-gar-dium Levio-sa, 'gar'-nya yang enak dan panjang."
"Lakukan saja sendiri, kalau kau begitu pintar," kata Ron geram.
Hermione menggulung lengan jubahnya, menjentikkan tongkatnya dan berkata, "Wingardium Leviosa!"
Bulu mereka terangkat dari atas meja dan melayanglayang kira-kira satu seperempat meter di atas kepala mereka.
"Oh, bagus sekali!" seru Profesor Flitwick seraya bertepuk tangan. "Semua lihat ke sini, Miss Granger sudah berhasil!"
Saat pelajaran usai, Ron sudah marah sekali.
"Pantas saja tak ada anak yang tahan berteman dengannya,"
katanya kepada Harry sementara mereka berdesakan di koridor.
"Dia mengerikan sekali. Sungguh!"
Ada
yang menabrak Harry ketika anak-anak bergegas melewatinya. Ternyata
Hermione. Sekilas Harry melihat wajahnya—dan tercengang melihat air
matanya bercucuran.
"Kurasa dia mendengarmu." "Jadi?" kata Ron, tapi dia kelihatan tidak enak. "Dia pasti sudah menyadari dia tak punya teman."
Hermione
tidak muncul pada pelajaran berikutnya dan tidak kelihatan sepanjang
sore itu. Ketika turun menuju Aula Besar untuk pesta Hallowe'en, Harry
dan Ron mendengar Parvati Patil memberitahu temannya, Lavender, bahwa
Hermione sedang menangis di toilet untuk anak perempuan dan minta
ditinggalkan sendirian. Ron menjadi tambah tidak enak, tetapi sesaat
kemudian mereka sudah memasuki Aula Besar. Dekorasi Hallowe'en di aula
itu membuat mereka melupakan Hermione.
Seribu
kelelawar hidup beterbangan di dinding dan langitlangit, sementara
seribu lainnya melayang di atas meja membentuk awan-awan hitam gelap,
membuat lilin-lilin di dalam labu bergoyang. Makananmakanan tiba-tiba
muncul di piring emas, seperti waktu pesta awal tahun ajaran baru.
Harry
sedang mengambil kentang ketika Profesor Quirrell terburu-buru masuk
Aula, turbannya miring, wajahnya diliputi kengerian. Semua anak
mengawasinya ketika dia tiba di kursi Profesor Dumbledore, bersandar
lemas ke meja, dan berkata dengan tersengal-sengal, "Troll—di ruang
bawah tanah—saya pikir Anda harus tahu."
Kemudian dia merosot ke lantai, pingsan.
Aula geger. Perlu beberapa ledakan mercon ungu dari ujung tongkat Profesor Dumbledore untuk membuat ruangan tenang kembali.
"Prefek," gelegar Profesor Dumbledore, "bawa kembali anak buah kalian ke asrama masing-masing, segera!"
Percy senang sekali.
"Ikut aku! Berkumpul, kelas satu! Tak perlu takut troll kalau kalian mengikuti perintahku! Berada dekatdekat di belakangku.
Beri jalan, kelas satu duluan! Maaf, aku Prefek!"
"Bagaimana troll bisa masuk?" Harry bertanya ketika mereka menaiki tangga.
"Mana aku tahu, mereka kan makhluk-makhluk konyol,"
jawab Ron. "Mungkin Peeves yang memasukkannya sebagai lelucon Hallowe'en."
Mereka
berpapasan dengan rombongan berbedabeda, dengan jurusan berlainan pula.
Ketika mereka menyelip-nyelip di antara rombongan Hufflepuff yang
kebingungan, mendadak Harry mencengkeram lengan Ron.
"Aku baru ingat—Hermione."
"Kenapa dia?"
"Dia tidak tahu tentang troll ini."
Ron menggigit bibir. "Oh, baiklah," tukasnya. "Tapi lebih baik Percy jangan sampai melihat kita."
Sambil
menunduk, mereka bergabung dengan anakanak Hufflepuff menuju arah yang
berlawanan, menyelinap ke koridor samping yang sepi dan bergegas ke
toilet anak perempuan. Baru saja membelok di sudut, mereka mendengar
langkah-langkah cepat di belakang mereka.
"Percy!" desis Ron, menarik Harry ke belakang patung baru besar makhluk berkepala dan bersayap elang, tapi bertubuh singa.
Mengintip
dari balik patung itu, yang mereka lihat bukan Percy, melainkan Snape.
Dia menyeberang koridor dan menghilang dari pandangan.
"Apa yang dilakukannya?" bisik Harry. "Kenapa dia tidak di ruang bawah tanah bersama guru-guru yang lain?"
"Mana kutahu."
Sepelan mungkin, tanpa bersuara, mereka merayapi koridor berikutnya, mengikuti langkah-langkah Snape yang menjauh.
"Dia menuju lantai tiga," kata Harry, tetapi Ron mengangkat tangannya.
"Apakah kau membaui sesuatu?"
Harry mengendus dan bau busuk menusuk hidungnya, campuran antara kaus kaki bau dan toilet umum yang tak pernah dibersihkan.
Dan
kemudian mereka mendengarnya—geram rendah dan entakan kaki raksasa. Ron
menunjuk ke ujung koridor di sebelah kiri, sesuatu yang besar sekali
sedang bergerak ke arah mereka.
Mereka surut ke dalam bayang-bayang dan mengawasi makhluk itu melangkah dalam sorotan cahaya bulan.
Sungguh
pemandangan yang mengerikan. Tiga setengah meter tingginya, kulitnya
abu-abu kusam, tubuhnya mirip gumpalan batu besar, dengan kepalanya yang
kecil bertengger di atasnya seperti sebutir kelapa. Kakinya pendek dan
gemuk, sebesar batang pohon, dengan telapak kaki rata dan bertanduk.
Baunya bukan main busuknya. Dia memegang pentung besar yang terseret di lantai karena lengannya panjang sekali.
Troll itu berhenti di depan pintu dan melongok ke dalamnya.
Dia menggoyangkan telinganya yang panjang, mencoba berpikir dengan otaknya yang kecil, kemudian berjalan masuk lambat-lambat.
"Kuncinya ada di situ," Harry bergumam. "Kita bisa menguncinya di dalam."
"Ide bagus," kata Ron gugup.
Mereka berjingkat menuju pintu yang terbuka, mulut mereka kering, seraya berdoa agar si troll tidak keluar dari pintu itu.
Dengan satu lompatan panjang, Harry berhasil meraih kunci, menggabrukkan pintu, dan menguncinya.
"Yes!"
Dengan
wajah kemerahan berkat keberhasilan mereka, mereka berlari ke arah
berlawanan. Tetapi saat tiba di sudut, mereka mendengar sesuatu yang
membuat jantung mereka berhenti berdetak—jeritan ngeri melengking—dan
datangnya dari ruang yang baru saja mereka kunci.
"Oh, tidak," kata Ron yang jadi sepucat Baron Berdarah.
"Toilet anak perempuan!" Harry terperanjat.
"Hermione!" mereka berseru bersama.
Mereka
sama sekali tak ingin melakukannya, tetapi tak punya pilihan lain.
Mereka berputar dan berlari kembali ke pintu dan memutar kuncinya, agak
susah karena keduanya panik dan gemetar—Harry menarik pintu hingga
terbuka—dan mereka berlari ke dalam.
Hermione
Granger merapat ke dinding di seberang mereka, kelihatannya nyaris
pingsan. Si troll bergerak ke arahnya, wastafel-wastafel yang
ditabraknya rontok ke lantai.
"Buat dia bingung!" kata Harry putus asa kepada Ron, seraya menyambar keran yang lalu dilemparkannya sekuat tenaga ke dinding.
Si
troll berhenti kira-kira satu meter dari Hermione. Dia berbalik lamban,
mengejap dengan bodoh, untuk melihat apa yang membuat suara tadi. Mata
kecilnya yang kejam menatap Harry. Dia ragu-ragu, kemudian berbalik
menuju Harry, mengangkat pentungnya sambil berjalan.
"Oi, otak kacang polong!" teriak Ron dari sisi lain ruangan.
Ron
melemparnya dengan pipa logam. Si troll seolah tidak merasakan apa pun
ketika pipa itu menghantam bahunya, tetapi dia mendengar teriakan Ron
dan berhenti lagi, menolehkan moncongnya yang jelek ke arah Ron, memberi
Harry kesempatan untuk menghindar.
"Ayo, lari, lari!" Harry berteriak kepada Hermione, berusaha menariknya ke arah pintu, tetapi Hermione tidak bisa bergerak.
Dia masih menempel rapat ke dinding, mulutnya ternganga saking takutnya.
Teriakan-teriakan dan gaungnya agaknya membuat si troll berang sekali. Dia menggerung lagi dan bergerak ke arah Ron,
yang berada paling dekat dengannya dan tak punya kemungkinan untuk kabur.
Harry
kemudian melakukan sesuatu yang sangat berani dan sekaligus sangat
bodoh: dia berlari dan melompat, dan berhasil mengalungkan lengannya di
sekeliling leher si troll. Troll itu tidak sadar Harry bergantung di
lehernya, tetapi bahkan troll sekalipun akan tahu kalau kau menyogok
hidungnya dengan potongan kayu panjang, dan tongkat Harry masih di
tangannya waktu dia melompat—tongkat itu tepat masuk ke salah satu
lubang hidung si troll.
Menggerung
kesakitan, si troll meliuk dan menyabet-nyabetkan pentungnya, dengan
Harry masih bergantung ketakutan di lehernya. Setiap detik si troll bisa
menjambretnya sampai lepas atau memukulnya keras-keras dengan
pentungnya.
Hermione
sudah merosot ke lantai saking takutnya. Ron menarik keluar tongkatnya
sendiri—tanpa tahu apa yang akan dilakukannya, tahu-tahu didengarnya
dirinya sendiri menyebutkan mantra pertama yang muncul dalam benaknya,
"Wingardium Leviosa!"
Pentung
itu mendadak terbang dari tangan si troll, melesat tinggi, makin tinggi
ke atas, pelan-pelan berbelok—dan jatuh, dengan bunyi derak yang
mengerikan, di atas kepala pemiliknya. Si troll terhuyung dan kemudian
jatuh terjerembap, dengan bunyi gedebuk yang membuat seluruh ruangan
bergetar.
Harry berdiri. Dia gemetar dan terengah. Ron masih berdiri dengan tongkat terangkat, memandang hasil kerjanya.
Hermione-lah yang lebih dulu bicara.
"Apa dia—mati?"
"Kurasa tidak," kata Harry "Kurasa dia cuma pingsan."
Dia menunduk dan mencabut tongkatnya dari hi-dung si troll. Tongkat itu berlumur lendir yang mirip lem abu-abu.
"Iiih—ingus troll."
Harry melap tongkatnya ke celana si troll.
Bunyi
pintu menjeblak dan langkah-langkah keras membuat ketiganya mendongak.
Mereka tidak menyadari keributan yang mereka akibatkan, tetapi tentu
saja, ada orang di bawah yang mendengar bunyi gedebak-gedebuk dan
gerungan si troll.
Beberapa
saat kemudian Profesor McGonagall berlarian ke dalam ruangan, diikuti
oleh Snape, dengan Quirrell datang paling belakang. Begitu melihat si
troll, Quirrell merintih pelan, lalu cepat-cepat duduk di toilet,
mencengkeram dada di bagian jantungnya.
Snape
membungkuk di atas si troll. Profesor McGonagall memandang Ron dan
Harry. Harry belum pernah melihatnya begitu marah. Bibirnya sampai
putih. Harapan memenangkan lima puluh angka untuk Gryffindor langsung
lenyap dari pikiran Harry.
"Apa
sebenarnya maksud kalian?" tanya Profesor McGonagall, dengan nada
dingin penuh kemarahan. Harry memandang Ron, yang masih berdiri dengan
tongkat mengacung ke atas. "Kalian beruntung tidak terbunuh. Kenapa
kalian tidak berada di asrama?"
Snape melempar pandangan tajam ke arah Harry. Harry menatap lantai. Dalam hati dia berharap Ron menurunkan tongkatnya.
Mendadak terdengar suara lemah dari dalam bayang-bayang.
"Maaf, Profesor McGonagall... mereka mencari saya."
"Miss Granger!"
Hermione akhirnya berhasil berdiri.
"Saya
mencari troll karena saya... saya pikir saya bisa menanganinya
sendiri—karena saya sudah membaca banyak tentang mereka." Tongkat Ron
sampai terjatuh. Hermione Granger, berbohong pada guru?
"Jika
mereka tidak menemukan saya, saya pasti sudah mati sekarang. Harry
menyodokkan tongkatnya ke dalam lubang hidung si troll dan Ron
membuatnya pingsan dengan pukulan pentungnya sendiri. Troll itu sudah
siap menghabisi saya ketika mereka tiba."
Harry dan Ron memasang tampang seakan cerita ini bukan cerita baru bagi mereka.
"Wah—kalau
begitu...," kata Profesor McGonagall sambil menatap mereka bertiga.
"Miss Granger, bodoh benar kau, bagaimana mungkin kau mengira bisa
menangani troll gunung sendirian?"
Hermione
menunduk. Harry tak bisa bicara. Hermione, orang yang paling anti
melanggar peraturan, sekarang berbohong untuk menyelamatkan mereka.
Ibaratnya Snape membagi-bagikan permen.
"Miss
Granger, lima angka dikurangi dari Gryffindor. Aku kecewa sekali
padamu. Kalau kau tidak terluka sama sekali, sebaiknya kau kembali ke
Menara Gryffindor. Anak-anak sedang menyelesaikan pesta mereka di asrama
masing-masing."
Hermione pergi. Profesor McGonagall berbalik menghadapi Harry dan Ron.
"Aku masih tetap bilang kalian beruntung, tetapi tak banyak anak kelas satu yang bisa menghadapi troll gunung dewasa.
Kalian masing-masing mendapat lima angka untuk Gryffindor.
Profesor Dumbledore akan diberitahu soal ini. Kalian boleh pergi."
Mereka bergegas meninggalkan tempat itu dan sama sekali tidak bicara sampai mereka sudah naik dua tingkat lebih tinggi.
Sungguh lega bisa menjauh dari bau si troll, di samping berhasil lolos dari bahaya yang lain.
"Seharusnya kita dapat lebih dari sepuluh angka," gerutu Ron.
"Lima, maksudmu, setelah dipotong lima dari Hermione."
"Baik juga dia, mau menyelamatkan kita seperti itu," Ron mengakui. "Tapi kita memang menyelamatkannya."
"Dia mungkin tidak perlu diselamatkan, kalau kita tidak mengurung troll itu bersamanya," Harry mengingatkan.
Mereka sudah tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk.
"Moncong babi," kata mereka, lalu masuk.
Ruang
rekreasi penuh dan bising. Semua sibuk makan makanan yang dikirim ke
atas. Meskipun demikian, Hermione berdiri sendiri di dekat pintu,
menunggu mereka. Sesaat tak ada yang bilang apa-apa, sama-sama malu.
Kemudian, tanpa saling pandang, serentak mereka bilang, "Trims," lalu
bergegas mengambil piring.
Tetapi
sejak saat itu, Hermione Granger menjadi teman mereka. Ada hal-hal
tertentu yang tak bisa dialami bersama tanpa kalian jadi saling
menyukai, dan membuat pingsan troll gunung setinggi lebih dari tiga
setengah meter adalah salah satunya.
***
11. Quidditch
MEMASUKI
bulan November, hawa menjadi sangat dingin. Pegunungan yang
mengelilingi sekolah berubah menjadi abu-abu bersaput es dan danau
seolah menjadi baja beku. Setiap pagi tanah berselimut salju. Hagrid
terlihat dari jendela atas tengah melumerkan salju pada sapu-sapu untuk
pertandingan Quidditch, ia memakai jubah panjang dari kulit tikus
mondok, sarung tangan dari bulu kelinci dan sepatu bot besar dari kulit
berang-berang.
Masa
pertandingan Quidditch telah mulai. Pada hari Sabtu, Harry akan bermain
dalam pertandingan pertamanya setelah berminggu-minggu berlatih.
Gryffindor versus Slytherin. Jika Gryffindor menang, peringkat mereka
akan naik ke tempat kedua dalam Kejuaraan Antar-Asrama.
Nyaris
tak ada yang pernah melihat Harry bermain, karena Wood telah memutuskan
bahwa, sebagai senjata rahasia mereka, Harry harus, yah, harus
dirahasiakan. Tetapi berita bahwa dia akan bermain sebagai Seeker, entah
bagaimana telah bocor dan Harry tak tahu mana yang lebih
buruk—anak-anak berkata kepadanya bahwa dia akan bermain dengan brilian,
atau mereka berkata akan berlari-lari di bawahnya memegangi kasur.
Sungguh
beruntung bahwa sekarang Harry berteman dengan Hermione. Dia tak tahu
bagaimana bisa menyelesaikan semua PR-nya tanpa Hermione, apalagi dengan
latihan menit-terakhir Quidditch yang diwajibkan Wood. Hermione juga
telah meminjaminya buku Quidditch dari Masa ke Masa, yang ternyata
menarik sekali.
Harry
jadi tahu ada tujuh ratus cara melakukan tindakan bodoh dalam Quidditch
dan kesemuanya terjadi di pertandingan Piala Dunia pada tahun 1473;
bahwa Seeker biasanya pemain yang paling kecil dan paling gesit, dan
bahwa kecelakaan-kecelakaan paling berat Quidditch tampaknya diderita
mereka; bahwa walaupun orang jarang sekali mati karena bermain
Quidditch, bisa terjadi wasit-wasit menghilang begitu saja dan baru
ditemukan berbulan-bulan kemudian di Gurun Sahara.
Hermione
sudah tidak terlalu ketat lagi dalam hal melanggar peraturan sejak
Harry dan Ron menyelamatkannya dari troll gunung, dan sikapnya juga jadi
jauh lebih menyenangkan.
Sehari
sebelum pertandingan Quidditch pertama Harry mereka bertiga berada di
halaman yang superdingin selama jam istirahat dan Hermione menyihir api
biru terang yang bisa dibawa-bawa dalam botol selai. Mereka sedang
berdiri memunggungi api itu, menghangatkan diri, ketika Snape
menyeberangi halaman.
Harry, Ron, dan Hermione merapat untuk menghalangi api dari pandangan. Mereka yakin menyihir api tak diizinkan.
Celakanya,
wajah mereka yang menyiratkan perasaan bersalah tertangkap mata Snape.
Dia mendekat dengan terpincang-pincang. Dia tidak melihat api itu,
tetapi kelihatannya dia mencari-cari alasan untuk bisa mengadukan
mereka.
"Apa itu yang kaupegang, Potter?" Buku Quidditch dari Masa ke Masa. Harry menunjukkannya.
"Buku perpustakaan tidak boleh dibawa keluar sekolah," kata Snape. "Berikan padaku. Lima angka dipotong dari Gryffindor."
"Peraturan itu diada-adakan," gumam Harry gusar ketika Snape terpincang-pincang menjauh. "Kenapa ya, kakinya?"
"Entahlah, tapi kuharap sakit sekali," kata Ron sengit.
***
Ruang
rekreasi Gryffindor bising sekali malam itu. Harry Ron, dan Hermione
duduk bersama di dekat jendela. Hermione sedang memeriksa PR Jimat dan
Guna-guna milik Harry dan Ron. Dia tidak mengizinkan mereka menyalin
PR-nya ("Bagaimana kalian belajar kalau cuma menyalin?"), tetapi dengan
meminta Hermione memeriksa PR mereka, mereka toh mendapatkan jawaban
yang benar juga.
Harry
merasa resah. Dia menginginkan kembali buku Quidditch dari Masa ke Masa
untuk mengalihkan pikirannya dari pertandingan besok. Kenapa dia harus
takut kepada Snape?
Seraya bangkit, dia memberitahu Ron dan Hermione dia akan bertanya kepada Snape kalau-kalau dia boleh meminta kembali buku itu.
"Kau sendiri saja deh," kata mereka serempak, tetapi Harry menduga Snape tak akan menolak jika ada guru-guru lain mendengarkan.
Dia menuju ke ruang guru dan mengetuk. Tak ada jawaban.
Dia mengetuk lagi. Tetap tak ada jawaban.
Mungkin
Snape meninggalkan buku itu di dalam? Layak diselidiki. Harry mendorong
pintu hingga terbuka dan mengintip ke dalam—pemandangan yang tampak
olehnya sungguh mengerikan.
Snape
dan Filch ada di dalam cuma berdua. Snape mengangkat jubahnya sampai ke
atas lutut. Salah satu kakinya luka berdarah-darah. Filch sedang
membebatnya.
"Makhluk sialan," Snape memaki. "Bagaimana mungkin kita mengawasi tiga kepala sekaligus?"
Harry berusaha menutup pintu diam-diam, tetapi...
"POTTER!"
Wajah
Snape berkeriut saking marahnya ketika dia menjatuhkan jubahnya untuk
menyembunyikan kakinya. Harry menelan ludah. "Saya hanya ingin tahu
apakah saya boleh mengambil buku saya."
"KELUAR! KELUAR!"
Harry
pergi, sebelum Snape sempat mengurangi angka Gryffindor. Dia berlari
balik ke atas. "Berhasil?" tanya Ron ketika Harry bergabung kembali
bersama mereka. "Ada apa?"
Dalam bisikan pelan, Harry memberitahu mereka apa yang telah dilihatnya.
"Kalian
tahu apa artinya ini?" dia mengakhiri ceritanya dengan menahan napas.
"Dia mencoba melewati anjing kepala tiga itu pada malam Hallowe'en! Ke
situlah dia waktu kita melihatnya—dia ingin mengambil entah-apa yang
dijaga si anjing! Dan aku berani mempertaruhkan sapuku, dialah yang
memasukkan troll itu, untuk mengalihkan perhatian!"
Mata Hermione terbelalak.
"Tidak—dia
tak akan begitu," kata Hermione. "Aku tahu dia tidak begitu
menyenangkan, tetapi dia tidak akan mencoba mencuri sesuatu yang
disimpan Dumbledore."
"Astaga,
Hermione, kaupikir semua guru itu orang suci atau apa," tukas Ron. "Aku
setuju dengan Harry. Aku tidak percaya pada Snape. Tetapi apa yang
dikejarnya? Apa yang dijaga anjing itu?"
Harry pergi tidur dengan kepala penuh pertanyaan yang sama. Neville mendengkur keras, tetapi Harry tidak bisa tidur.
Dia
mencoba mengosongkan pikiran— dia perlu tidur, dia harus tidur,
beberapa jam lagi dia akan bermain dalam pertandingan Quidditch-nya yang
pertama—tetapi ekspresi wajah Snape ketika Harry melihat kakinya tidak
mudah dilupakan.
***
Paginya
udara sangat cerah dan dingin. Aula Besar dipenuhi aroma lezat sosis
goreng dan obrolan riang anak-anak yang sudah menanti-nanti saat
menonton pertandingan Quidditch yang seru.
"Kau harus sarapan."
"Aku tak ingin makan."
"Sepotong roti saja," Hermione membujuk.
Harry gelisah. Sejam lagi dia akan berjalan ke lapangan.
"Harry kau butuh tenagamu," kata Seamus Finnigan. "Seeker selalu jadi sasaran serangan tim lawan."
"Terima kasih, Seamus," kata Harry seraya mengawasi Seamus yang memberi saus tomat banyakbanyak ke sosisnya.
Pada
pukul sebelas, seluruh sekolah tampaknya sudah memenuhi tempat duduk
tinggi di sekeliling lapangan Quidditch. Banyak anak yang membawa
teropong. Tempat duduknya memang sudah tinggi sekali, tapi kadang-kadang
masih tetap sulit melihat apa yang sedang terjadi.
Ron
dan Hermione bergabung dengan Neville, Seamus, dan Dean si penggemar
West Ham di deret paling atas. Sebagai kejutan untuk Harry, mereka telah
membuat spanduk besar dari seprai yang telah dicabikcabik Scabbers.
Tulisannya Potter for President dan Dean, yang pandai menggambar, telah
melukis singa besar Gryffindor di bawahnya. Kemudian Hermione
menyihirnya sedikit, sehingga catnya berpendar warnawarni.
Sementara
itu, di kamar ganti, Harry dan para anggota tim lainnya sedang memakai
jubah Quidditch mereka yang berwarna merah (Slytherin akan bermain
dengan seragam hijau).
Wood berdeham, meminta anggota-anggotanya diam.
"Oke, men," katanya.
"Dan women," kata Angelina Johnson si Chaser.
"Dan women," Wood setuju. "Ini saatnya."
"Saat penting," kata Fred Weasley.
"Yang sudah lama kita semua nantikan," kata George.
"Kami sudah hafal pidato Oliver," Fred memberitahu Harry.
"Kami sudah masuk tim tahun lalu."
"Tutup
mulut, kalian berdua," kata Wood. "Ini tim terbaik yang pernah dimiliki
Gryffindor selama beberapa tahun terakhir ini. Kita akan menang. Aku
ya-kin."
Dia membelalak kepada mereka semua, seakan ingin mengatakan, "Kalau tidak, awas!"
"Betul. Sudah waktunya. Semoga sukses."
Harry
mengikuti Fred dan George meninggalkan kamar ganti dan, berharap
lututnya tidak goyah, memasuki lapangan di bawah gemuruh sorakan.
Madam Hooch menjadi wasit. Dia berdiri di tengah lapangan, menunggu kedua tim, dengan sapu di tangannya.
"Aku menginginkan permainan yang jujur, anakanak,"
katanya, setelah mereka semua Berkumpul mengelilinginya.
Harry memperhatikan bahwa Madam Hooch tampaknya bicara khusus kepada kapten Slytherin, Marcus Flint, anak kelas lima.
Bagi
Harry tampaknya Flint punya keturunan darah troll. Dari sudut matanya
Harry melihat spanduk yang berkibar di atas para penonton, bertulisan
Potter for President. Jantungnya berdegup. Dia merasa lebih berani.
"Silakan naik ke sapu kalian."
Harry naik ke atas Nimbus Dua Ribu-nya.
Madam Hooch meniup peluit peraknya keras-keras.
Lima belas sapu meluncur ke atas, makin lama makin tinggi.
Pertandingan dimulai.
"Dan
Quaffle langsung berhasil ditangkap oleh Angelina Johnson dari
Gryffindor—sungguh Chaser luar biasa cewek satu ini, lumayan menarik,
lagi..."
"JORDAN!"
"Maaf, Profesor."
Sahabat si kembar Weasley Lee Jordan, adalah komentator pertandingan ini. la diawasi ketat oleh Profesor McGonagall.
"Dan
Angelina benar-benar gesit di atas, lontaran tepat kepada Alicia
Spinnet, penemuan baru yang bagus si Oliver Wood, tahun lalu cuma
cadangan— kembali ke Angelina dan—
tidak,
Slytherin berhasil merebut Quaffle, kapten Slytherin, Marcus Flint,
berhasil merebut Quaffle dan meluncur menjauh—Flint terbang bagai elang
di atas sana—dia akan mencetak go—tidak, dihentikan oleh gerak hebat
Keeper Gryffindor, Wood, dan Gryffindor kembali memegang Quaffle—itu
Chaser Katie Bell dari Gryffindor, menukik manis mengitari Flint, naik
lagi dan—OUCH—pasti sakit sekali, belakang kepalanya dihantam Bludger—
Quaffle berhasil direbut Slytherin—Adrian Pucey melesat menuju gawang,
tetapi dia diblok oleh Bludger kedua—yang dilemparkan ke arahnya oleh
Fred atau George Weasley, tak bisa membedakan yang mana— yang jelas
gerakan bagus dari Beater Gryffindor, dan Angelina kembali memegang
bola, tak ada halangan di depannya dan dia meluncur—benar-benar terbang—
menghindari Bludger yang melaju cepat ke arahnya— gol di depannya—ayo,
ayo, Angelina—Keeper Bletchley menukik— lolos—GOL UNTUK GRYFFINDOR!"
Sorakan anak-anak Gryffindor membahana menembus udara dingin, ditingkah jerit sesal dan ratapan anak-anak Slytherin.
"Geser sedikit."
"Hagrid!"
Ron dan Hermione merapat untuk memberi cukup tempat bagi Hagrid untuk bergabung bersama mereka.
"Dari
tadi nonton dari pondokku," kata Hagrid sambil membelai teropong besar
yang tergantung di lehernya. "Tapi tidak seseru kalau ada di sini.
Snitchnya belum kelihatan?"
"Belum," kata Ron. "Harry belum banyak kerjaan."
"Cuma
menghindari serangan, tapi kan susah juga," kata Hagrid, mengangkat
teropongnya dan memandang ke langit, ke arah titik yang tak lain tak
bukan adalah Harry.
Jauh
di atas mereka, Harry melayang di atas para pemain lainnya, menajamkan
mata mencari-cari Snitch. Ini bagian dari rencana permainannya bersama
Wood.
"Menyingkirlah jauh-jauh sebelum kau melihat Snitch," kata Wood. "Kita tak ingin kau diserang sebelum waktunya."
Ketika
Angelina mencetak gol, Harry dua kali melakukan terbang jungkir-balik
untuk melepas perasaannya. Sekarang dia sudah mencari-cari Snitch lagi.
Sekali dia melihat kilatan emas, tetapi ternyata pantulan arloji salah
satu dari si kembar Weasley.
Sekali ada Bludger yang meluncur ke arahnya, tetapi Harry berhasil mengelak dan Fred kemudian mengejar bola itu.
"Baik-baik saja di atas, Harry?" Fred masih sempat berteriak ketika dia memukul Bludger keras-keras ke arah Marcus Flint.
"Slytherin
memegang bola," kata Lee Jordan. "Chaser Pucey menunduk menghindari dua
Bludger, dua Weasley dan Chaser Bell, dan meluncur ke arah—
tunggu—apakah itu Snitch?"
Gumaman
merambat di antara para penonton ketika Adrian Pucey menjatuhkan
Quaffle, gara-gara terlalu sibuk menoleh memandang kilatan emas yang
baru saja melewati telinga kirinya.
Harry
melihatnya. Dengan penuh semangat dia menukik menuju kilatan emas itu.
Seeker Slytherin, Terence Higgs, juga telah melihatnya. Bersamaan mereka
meluncur menuju Snitch—
semua Chaser tampaknya sudah melupakan tugas mereka saat mereka melayang di udara untuk menonton.
Harry
lebih cepat daripada Higgs—dia bisa melihat bola kecil bulat itu,
dengan sayap berkepak, meluncur ke atas. Harry menambah kecepatan.
BRAK!
Gerung marah terdengar dari anak-anak Gryffindor di bawah. Marcus Flint
sengaja menabrak Harry dan sapu Harry melenceng keluar jalur, Harry
sendiri berpegang erat-erat agar tidak jatuh.
"Curang!" jerit anak-anak Gryffindor.
Madam
Hooch memarahi Flint dan memberikan lemparan penalti pada Gryffindor.
Tetapi dalam hirukpikuk itu tentu saja Snitch sudah menghilang lagi.
Di tempat duduknya, Dean Thomas berteriak, "Keluarkan dia. Wasit! Kartu merah!"
"Ini bukan sepak bola, Dean," Ron mengingatkan. "Kau tak bisa mengeluarkan pemain dalam Quidditch— dan apa itu kartu merah?"
Tetapi Hagrid membela Dean.
"Mereka harusnya ubah aturannya. Flint bisa bikin Harry jatuh dari atas." Sulit bagi Lee Jordan untuk tidak memihak.
"Jadi—setelah kelicikan yang menyebalkan dan tampak jelas tadi..."
"Jordan!" tegur Profesor McGonagall.
"Maksudku, setelah kecurangan yang terang-terangan dan menjijikkan..."
"Jordan, kuperingatkan kau..."
"Baiklah,
baiklah. Flint nyaris membunuh Seeker Gryffindor, ini bisa terjadi pada
siapa saja, saya yakin, maka penalti untuk Gryffindor, yang dilakukan
oleh Spinnet, dan langsung dilemparkan kembali, tak ada masalah,
pertandingan masih berlangsung, Gryffindor masih memegang bola."
Ketika
Harry menghindari Bludger lain yang meluncur ke arahnya dengan
membahay'akan, sapunya mendadak menukik mengerikan. Sedetik Harry
mengira dia akan jatuh.
Dipegangnya
erat-erat sapunya dengan kedua tangannya, juga dijepitnya dengan
lututnya. Belum pernah dia mengalami yang seperti ini.
Terjadi
lagi. Seakan sapu itu ingin melontarkannya. Tetapi Nimbus Dua Ribu
tidak tiba-tiba saja ingin menjatuhkan penumpangnya. Harry berusaha
menuju ke tiang gawang Gryffindor lagi, terpikir olehnya untuk
mengusulkan pada Wood agar minta waktu istkahat sebentar—dan tiba-tiba
disadarinya bahwa dia kehilangan kendali atas sapunya. Dia tidak bisa
membelokkannya.
Dia
bahkan tidak bisa mengontrolnya sama sekali. Sapu itu terbang zig-zag
di udara dan berulang-ulang membuat gerakan mengibas yang nyaris membuat
Harry jatuh.
Lee masih mengomentari.
"Bola
di tangan Slytherin—Flint memegang Quaffle—melewati Spinnet—melewati
Bell—muka Flint terhantam Bludger, mudah-mudahan hidungnya patah— cuma
bergurau, Profesor—Slytherin mencetak gol—oh, tidaaak...." .
Anak-anak
Slytherin bersorak. Tampaknya tak se-orang pun melihat bahwa sapu Harry
bertingkah aneh. Sapu itu pelan-pelan membawa Harry makin tinggi,
menjauh dari permainan, seraya menyentak dan memelintir.
"Ngapain
si Harry," gumam Hagrid. Dia memandang lewat teropongnya. "Kalau tak
kenal dia, aku akan bilang dia kehilangan kendali atas sapunya... tapi
mana mungkin...."
Mendadak
anak-anak di seluruh tribun menunjuknunjuk ke arah Harry. Sapunya
berguling-guling, Harry hanya bisa berpegangan agar tidak jatuh.
Kemudian semua penonton menahan napas. Sapu Harry menyentak liar dan
Harry terlontar dari atasnya. Sekarang dia hanya bergantungan dengan
satu tangan saja.
"Apa sesuatu terjadi ketika Flint memblokirnya?" Seamus berbisik.
"Mana
mungkin," kata Hagrid, suaranya bergetar. "Tak ada yang bisa pengaruhi
sapu itu kecuali Sihir Hitam yang kuat—tak ada anak yang bisa
melakukannya kepada Nimbus Dua Ribu."
Mendengar
ini Hermione merebut teropong Hagrid, tetapi alih-alih meneropong
Harry, dengan panik dia mengarahkannya kepada para penonton.
"Apa yang kaulakukan?" rintih Ron, wajahnya pucat,
"Sudah kuduga," Hermione kaget menahan napas.
"Snape—lihat."
Ron
merebut teropong itu. Snape ada di tengah, di deretan tempat duduk yang
berhadapan dengan mereka. Matanya tertuju ke arah Harry dan mulutnya
komat-kamit tak hentinya.
"Dia sedang berbuat sesuatu—memantrai sapu Harry," kata Hermione.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Serahkan saja padaku."
Sebelum
Ron sempat mengucapkan sepatah kata, Hermione sudah lenyap. Ron kembali
mengarahkan teropong kepada Harry. Sapunya bergetar begitu hebat,
sehingga nyaris tak mungkin baginya untuk bergantung lebih lama lagi.
Semua penonton berdiri, mengawasi dengan cemas ketika si kembar Weasley
terbang ke atas, mencoba menyelamatkan Harry dengan menariknya ke atas
salah satu sapu mereka, tetapi percuma—setiap kali mereka berhasil
mendekat, sapu Harry akan melompat makin tinggi lagi. Mereka menukik
turun dan memutar di bawahnya, rupanya berharap menangkap Harry jika dia
jatuh. Marcus Flint menyambar Quaffle dan mencetak gol lima kali tanpa
ada yang memperhatikan.
"Ayo, Hermione," Ron bergumam putus asa.
Hermione
dengan susah payah berusaha menuju deretan tempat duduk tempat Snape
berdiri dan sekarang berlarian di deretan di belakangnya. Dia bahkan
tidak berhenti untuk meminta maaf ketika menabrak Profesor Quirrell
sampai jatuh terjerembap ke deretan di depannya. Setibanya di tempat
Snape, Hermione berjongkok, mencabut tongkatnya, dan membisikkan
beberapa kata pilihan. Nyala a pi biru meluncur dari ujung tongkatnya,
menyambar ujung jubah Snape.
Perlu
kira-kira tiga puluh detik bagi Snape untuk menyadari bahwa jubahnya
terbakar. Jeritan mendadaknya cukup membuat Hermione tahu dia telah
melaksanakan tugasnya.
Diraupnya
api itu dari jubah Snape dan dimasukkannya ke dalam botol kecil di
sakunya, lalu dia berjalan kembali sepanjang deretan tempat duduk yang
dilewatinya tadi—Snape tak akan tahu apa yang telah terjadi.
Tetapi itu cukup. Di angkasa, Harry mendadak saja bisa naik kembali ke atas sapunya.
"Neville,
kau boleh lihat sekarang!" kata Ron. Se-lama lima menit terakhir ini
Neville terisak-isak menyembunyikan wajah di jaket Hagrid.
Harry
sedang meluncur ke bawah ketika penonton melihatnya mengatupkan tangan
ke mulutnya, seakan dia mau muntah—dia mendarat di lapangan dengan
tangan dan kakinya—terbatuk—dan sesuatu yang keemasan jatuh ke
tangannya.
"Aku
berhasil mendapatkan Snitch!" teriaknya seraya melambaikan Snitch itu
di atas kepalanya, dan permainan pun berakhir dengan hiruk-pikuk penuh
kebingungan.
"Dia
tidak menangkapnya, dia nyaris menelannya," Flint masih uring-uringan
dua puluh menit kemudian, tetapi tak ada gunanya—Harry tidak melanggar
peraturan, dan Lee Jordan dengan suka cita masih terus mengumandangkan
komentarnya—Gryffindor menang dengan skor seratus tujuh puluh lawan enam
puluh. Meskipun demikian, Harry sama sekali tidak mendengar semua ini.
Dia sedang menghadapi secangkir teh pekat di pondok Hagrid, ditemani Ron
dan Hermione.
"Snape
pelakunya," Ron menjelaskan. "Hermione dan aku melihatnya. Dia
komat-kamit mengutuk sapumu, sama sekali tak melepas pandangannya
darimu."
"Omong
kosong," kata Hagrid, yang sama sekali tak tahu apa yang terjadi di
sebelahnya di arena tadi. "Untuk apa Snape lakukan hal macam itu?"
Harry Ron, dan Hermione saling pandang, bingung bagaimana menjelaskannya. Harry memutuskan untuk berterus terang.
"Aku
tak sengaja tahu sesuatu tentang dia," katanya kepada Hagrid. "Dia
mencoba melewati anjing kepala tiga itu pada malam Hallowe'en. Anjing
itu menggigitnya. Kami menduga dia ingin mencuri entah-apa yang dijaga
anjing itu."
Teko teh yang dipegang Hagrid sampai terjatuh. "Bagaimana kalian sampai bisa tahu tentang Fluffy?" katanya.
"Fluffy?"
"Yeah—dia
anjingku—kubeli dari orang Yunani yang ketemu aku di rumah minum tahun
lalu— kupinjamkan dia ke Dumbledore untuk jaga..."
"Ya?" pancing Harry penuh semangat.
"Jangan tanya-tanya lagi," tukas Hagrid keras. "Itu rahasia besar."
"Tapi Snape mau mencurinya."
"Omong kosong," kata Hagrid lagi. "Snape guru Hogwarts, dia tidak akan berbuat begitu."
"Kalau
begitu, kenapa dia mau membunuh Harry?" seru Hermione. Kejadian sore
itu rupanya telah mengubah penilaian Hermione tentang Snape.
"Aku
bisa mengenali orang yang mau berbuat buruk, Hagrid, aku sudah membaca
banyak tentang itu. Kita harus mempertahankan kontak mata, dan Snape
sama sekali tidak berkedip. Aku melihatnya!"
"Kuberitahu
kalian, kalian keliru!" kat Hagrid panas. "Aku tak tahu kenapa sapu
Harry bertingkah seperti itu, tapi Snape tidak akan coba bunuh murid!
Sekarang, dengarkan aku, kalian bertiga, kalian campuri hal-hal yang
bukan urusan kalian. Itu berbahaya. Lupakan saja anjing itu dan lupakan
apa yang di jaganya, itu urusan Profesor Dumbledore dan Nicolas
Flamer..."
"Aha!" ceplos Harry. "Jadi ada orang bernama Nicolas Flamel yang terlibat, kan?"
Hagrid kelihatan marah sekali pada dirinya sendiri.
***
12. Cermin Tarzah
NATAL
hampir tiba. Suatu pagi di pertengahan Desember, Hogwarts terbangun
dalam keadaan sudah berselimut salju setebal kira-kira satu meter. Danau
sudah keras membeku dan si kembar Weasley di hukum karena menyihir
beberapa bola salju untuk mengikuti Quirrell, dan memantul-mantul dari
bagian belakang turbannya. Sedikit burung hantu yang berhasil menembus
langit berbadai salju untuk mengantar surat, harus dirawat Hagrid sampai
sehat betul sebelum mereka bisa terbang lagi.
Semua sudah tak sabar menunggu datangnya liburan.
Walaupun
ruang rekreasi Gryffindor dan Aula Besar punya perapian yang
menyala-nyala, koridorkoridor yang biasa berangin telah menjadi sedingin
es dan angin dingin kencang menerpa jendela-jendela kelas sampai
bergetar. Yang paling parah kelas Profesor Snape di ruang bawah tanah.
Di dalam ruang itu napas mereka langsung berubah jadi kabut di depan
mata dan mereka berusaha berada sedekat mungkin dengan kuali-kuali panas
mereka.
"Aku
sungguh kasihan," kata Draco Malfoy dalam salah satu pelajaran Ramuan,"
pada semua anak yang terpaksa tinggal di Hogwarts selama liburan Natal
karena mereka tidak diinginkan di rumahnya."
Dia
bicara begitu sambil menoleh memandang Harry. Crabbe dan Goyle
tertawa-tawa kecil. Harry yang sedang menakar bubuk tulang punggung ikan
lepu, tidak memedulikan mereka.
Malfoy
menjadi semakin menyebalkan sejak pertandingan Quidditch yang lalu.
Kesal karena Slytherin kalah, dia mencoba membuat lelucon dengan
mengatakan kodok bermulut besar akan menggantikan Harry sebagai Seeker
dalam pertandingan berikutnya. Kemudian disadarinya bahwa tak seorang
pun menganggap ini lucu, karena anakanak amat terkesan dengan bagaimana
Harry bisa bertahan di atas sapunya yang menggila.
Maka Malfoy yang iri dan marah, kembali mengejek Harry dengan mengungkit-ungkit bahwa Harry tak punya keluarga.
Memang
betul Harry tidak akan pulang ke Privet Drive Natal ini. Profesor
McGonagall telah berkeliling minggu sebelumnya, mencatat nama anak-anak
yang akan tinggal di Hogwarts selama liburan, dan Harry langsung
mendaftar. Dia sendiri sama sekali tidak berkecil hati, mungkin ini
bahkan akan jadi Natal paling menyenangkan baginya. Ron dan
kakak-kakaknya juga akan tinggal, karena Mr dan Mrs Weasley akan ke
Rumania untuk menengok Charlie.
Ketika
meninggalkan ruang bawah tanah pada akhir pelajaran Ramuan, mereka
melihat pohon cemara besar memblokir koridor di depan. Dua kaki raksasa
yang muncul di bagian bawahnya dan napas keras tersengal-sengal
memberitahu mereka Hagrid ada di belakang pohon itu.
"Hai, Hagrid, perlu bantuan?" Ron bertanya, seraya menjulurkan kepalanya di antara dahan-dahan.
"Tidak, aku tak apa-apa. Terima kasih, Ron."
"Minggir," terdengar geram dingin Malfoy dari belakang mereka. "Apa kau mencoba cari uang tambahan, Weasley?
Kepingin
jadi pengawas binatang liar juga setelah meninggalkan Hogwarts,
rupanya—gubuk Hagrid pastilah seperti istana dibanding rumah
keluargamu."
Ron menerjang Malfoy tepat ketika Snape menaiki tangga.
"WEASLEY!"
Ron melepas bagian depan jubah Malfoy.
"Dia diprovokasi, Profesor Snape," kata Hagrid, seraya melongokkan wajahnya yang besar berbulu dari balik pohon.
"Malfoy menghina keluarganya."
"Kalaupun
betul begitu, berkelahi dilarang di Hogwarts, Hagrid," tukas Snape.
"Lima angka dipotong dari Gryffindor, Weasley, dan berterima kasihlah
tidak lebih dari itu. Ayo, semua jalan terus."
Malfoy, Crabbe, dan Goyle menerobos kasar melewati pohon sambil menyeringai, membuat daundaun cemara rontok berhamburan.
"Akan kuberi dia pelajaran," kata Ron sambil mengertak gigi di balik punggung Malfoy. "Suatu hari nanti kuberi dia pelajaran..."
"Aku benci mereka berdua," kata Harry. "Malfoy dan Snape."
"Ayo, bergembiralah, sudah hampir Natal," kata Hagrid.
"Begini saja, ikut aku dan lihat Aula Besar, bagus sekali."
Maka
Harry, Ron, dan Hermione mengikuti Hagrid dan pohon cemaranya ke Aula
Besar. Profesor McGonagall dan Profesor Flitwick sedang sibuk menangani
dekorasi Natal.
"Ah, Hagrid, pohon terakhir... taruh saja di sudut paling jauh."
Aula
itu tampak spektakuler. Rangkaian holly dan mistletoe bergantungan di
sepanjang dinding dan tak kurang dari dua belas pohon Natal menjulang
tinggi di sekeliling ruangan, beberapa berkilau dengan untaian air yang
membeku, yang lain berkelap-kelip dengan ratusan lilin.
"Berapa hari lagi sebelum kalian libur?" tanya Hagrid.
"Tinggal sehari," kata Hermione. "Dan aku jadi ingat—
Harry, Ron, kita punya waktu setengah jam sebelum makan siang, kita seharusnya ada di perpustakaan."
"Oh,
yeah, kau benar," kata Ron, dengan susah payah mengalihkan pandangannya
dari Profesor Flitwick yang membuat gelembung-gelembung emas
bermunculan dari ujung tongkatnya dan menggantungkannya di dahan-dahan
pohon baru tadi.
"Perpustakaan?" kata Hagrid, mengikuti mereka meninggalkan Aula. "Sehari sebelum liburan? Rajin amat."
"Oh, kami tidak belajar," kata Harry riang. "Sejak kau menyebut Nicolas Flamel, kami berusaha mencari tahu siapa dia."
"Apa?" Hagrid tampak kaget. "Dengar... sudah kubilang...
lupakan. Tidak ada hubungannya dengan yang dijaga anjing itu."
"Kami ingin tahu siapa Nicolas Flamel, cuma itu," kata Hermione.
"Kecuali
kau mau memberitahu kami, jadi kami tak perlu repot-repot?" Harry
menambahkan. "Kami sudah membuka-buka lebih dari seratus buku dan kami
tidak bisa menemukannya di mana-mana... coba beri kami petunjuk— rasanya
aku sudah pernah membaca nama itu entah di mana."
"Aku tak mau bilang apa-apa," kata Hagrid datar.
"Kalau
begitu, ya kami cari sendiri," kata Ron. Mereka lalu meninggalkan
Hagrid yang tidak puas dan bergegas menuju perpustakaan.
Mereka
memang sudah mencari-cari nama Flamel di buku sejak Hagrid keceplosan
sebab, kalau tidak, bagaimana mereka bisa tahu apa yang ingin dicuri
Snape? Sulitnya, susah sekali mengetahui dari mana mereka harus mulai,
karena tak tahu apa yang pernah dilakukan Flamel yang membuat namanya
layak disebut di buku. Dia tidak ada dalam buku Penyihir Besar Abad Dua
Puluh atau Nama-nama Terkenal di Dunia Sihir Masa Kini; namanya juga tak
disebut dalam Penemuan-penemuan Penting Sihir Modern dan Perkembangan
Terakhir dalam Dunia Sihir. Dan tentu saja, harus diingat, betapa
besarnya perpustakaan itu: berpuluh-puluh ribu buku, beribu-ribu rak,
beratusratus deret sempit.
Hermione
mengeluarkan sederet topik dan judul yang telah diputuskannya akan ia
cari, sementara Ron berjalan menyusuri deretan buku dan mulai menarik
beberapa di antaranya secara acak. Harry berjalan ke Seksi Terlarang.
Selama beberapa waktu dia telah berpikir, jangan-jangan nama Flamel ada
di sana.
Sayangnya,
kau perlu surat keterangan yang ditandatangani salah satu guru untuk
bisa meminjam salah satu buku terlarang itu, dan Harry tahu dia tak akan
memperoleh surat semacam itu.
Yang
ada di bagian ini adalah buku-buku berisi Sihir Hitam manjur yang tak
pernah diajarkan di Hogwarts dan hanya dibaca oleh murid-murid kelas
lebih tinggi yang pelajarannya tentang Pertahanan terhadap Ilmu Hitam
sudah jauh lebih maju.
"Kau cari apa, Nak?"
"Tidak cari apa-apa," jawab Harry.
Madam Pince, petugas perpustakaan,
Mengacungkan pembersih yang terbuat dari bulu ayam pada Harry. "Kalau begitu, lebih baik kau keluar. Ayo... keluar!"
Harry menyesal tidak sedikit lebih cepat memikirkan alasan.
Harry meninggalkan perpustakaan.
Bersama Ron dan Hermione, ketiganya sudah sepakat tidak akan bertanya kepada Madam Pince di mana mereka bisa menemukan Flamel.
Mereka
yakin Madam Pince akan bisa memberitahu mereka, tetapi mereka tak mau
mengambil risiko Snape mendengar apa yang mereka lakukan.
Harry
menunggu di koridor, kalau-kalau kedua temannya menemukan sesuatu,
tetapi dia tak terlalu berharap. Mereka memang sudah mencari selama dua
minggu, tetapi karena hanya mencari pada waktuwaktu di antara pelajaran,
tidaklah mengherankan mereka belum menemukan apa-apa. Yang mereka
butuhkan adalah pencarian panjang tanpa Madam Pince mencurigai mereka.
Lima menit kemudian, Ron dan Hermione bergabung dengannya, menggelengkan kepala. Mereka pergi makan siang.
"Kalian
akan mencari terus selama aku tak ada, kan?" kata Hermione. "Dan kirim
burung hantu padaku kalau kalian menemukan sesuatu."
"Dan kau bisa bertanya kepada orangtuamu kalaukalau mereka tahu siapa Flamel," kata Ron. "Aman bertanya kepada mereka."
"Sangat aman, karena mereka berdua dokter gigi," kata Hermione.
***
Begitu
liburan mulai, Ron dan Harry kelewat senang sehingga tak sempat
memikirkan Flamel. Kamar mereka hanya berisi mereka berdua dan ruang
rekreasi jauh lebih kosong daripada biasanya, jadi mereka bisa duduk di
kursi berlengan nyaman dekat perapian. Mereka duduk lama sekali sambil
makan segala ma-cam yang bisa mereka tusuk dengari garpu panggang—roti,
kue, manisan—dan merencanakan caracara membuat Malfoy dikeluarkan. Asyik
sekali membicarakan itu, walaupun jelas tidak akan terjadi.
Ron
juga mengajar Harry main catur sihir. Sebetulnya persis seperti catur
Muggle, hanya saja bidakbidaknya hidup, sehingga memainkannya serasa
memimpin pasukan tentara dalam pertempuran. Set permainan catur Ron
sudah tua dan bocel-bocel. Seperti semua benda lain yang dimilikinya,
papan catur itu dulunya milik orang lain dalam keluarganya—dalam hal ini
kakeknya. Meskipun demikian, bidak catur tua sama sekali bukan
hambatan. Ron sudah kenal baik semuanya, sehingga dia tak pernah punya
kesulitan menyuruh mereka melakukan apa yang diinginkannya.
Harry
bermain dengan buah-buah catur yang dipinjamkan Seamus Finnigan dan
mereka sama sekali tidak mau menurut kepadanya. Dia belum pandai bermain
dan bidak-bidak itu terus-menerus meneriakkan saran-saran kepadanya,
membuatnya
bingung. "Jangan suruh aku ke sana, apa kau tidak melihat perwira itu?
Kirim dia saja, kalau kehilangan dia sih tidak apa-apa."
Pada
Malam Natal, Harry pergi tidur dengan gembira, menantikan hari
berikutnya, mengharapkan makanan dan kegembiraan, tetapi sama sekali
tidak mengharapkan hadiah.
Meskipun
demikian, ketika pagi-pagi sekali dia bangun, yang pertama kali
dilihatnya adalah tumpukan kecil bungkusan di kaki tempat tidurnya.
"Selamat Natal," kata Ron masih mengantuk ketika Harry turun dari tempat tidur dan memakai jas kamarnya.
"Selamat Natal juga," kata Harry. "Coba lihat ini. Aku dapat hadiah!"
"Tentu saja. Memangnya kau mengharap dapat apa? Lobak?"
kata Ron, menoleh memandang tumpukan hadiahnya, yang jauh lebih banyak daripada hadiah Harry.
Harry
mengambil bungkusan paling atas. Hadiah ini terbungkus kertas cokelat
tebal dan di atasnya ada tulisan Untuk Harry, dari Hagrid. Di dalamnya
ada seruling kayu yang buatannya kasar. Jelas Hagrid membuatnya sendiri.
Harry meniupnya—kedengarannya agak mirip bunyi burung hantu.
Yang kedua, amplop kecil berisi surat pendek.
Kami
menerima pesanmu dan terlampir hadiah Natal-mu. Dari Paman Vernon dan
Bibi Petunia. Tertempel di surat itu dengan selotip adalah sekeping uang
logam lima puluh pence.
"Wah, mereka baik," kata Harry.
Ron terpesona melihat keping lima puluh pence itu.
"Aneh," katanya. "Bentuknya ajaib. Ini uang?"
"Boleh
buatmu," kata Harry Dia tertawa melihat betapa gembiranya Ron. "Hagrid
dan bibi dan pamanku—jadi siapa yang mengirim ini?"
"Kurasa
aku tahu yang itu dari siapa," kata Ron, wajahnya agak memerah, seraya
menunjuk bungkusan yang bentuknya tak beraturan. "Ibuku. Aku bilang
padanya kau tidak berharap mendapat hadiah dan— oh, tidak," dia
mengeluh, "dia membuatkanmu rompi Weasley."
Harry
sudah merobek bungkusan itu dan menemukan sweter rajutan tanpa lengan
berwarna hijau zamrud dan satu kotak besar bonbon lunak buatan sendiri.
"Setiap tahun dia membuatkan kami rompi," kata Ron, seraya membuka bungkusannya sendiri, "dan rompiku selalu merah tua."
"Ibumu baik sekali," kata Harry. Dia mencoba bonbonnya, yang ternyata enak sekali.
Hadiahnya berikutnya juga berisi makanan kecil— sekotak besar Cokelat Kodok dari Hermione.
Tinggal satu hadiah lagi. Harry mengambilnya dan menimangnya. Ringan sekali. Dibukanya bungkus hadiah itu.
Sesuatu yang licin berwarna abu-abu keperakan meluncur ke lantai, teronggok berkilauan. Ron kaget sekali.
"Aku
sudah mendengar tentang itu," katanya terpesona, kotak Kacang
Segala-Rasa yang didapatnya dari Hermione sampai terjatuh. "Kalau itu
betul seperti dugaanku—itu sangat langka dan sangat berharga."
"Apa ini?"
Harry memungut kain berkilau keperakan itu dari lantai.
Rasanya aneh, seperti air yang ditenun menjadi kain.
"Ini
Jubah Gaib," kata Ron, wajahnya tampak kagum. "Aku yakin ini Jubah
Gaib—coba paka i." Harry menyampirkan jubah itu di sekeliling bahunya
dan Ron langsung memekik.
"Betul! Lihat ke bawah!"
Harry
memandang ke bawah, ke kakinya, tapi ternyata tak ada. Dia berlari ke
depan cermin. Memang bayangannya memandang kepadanya, tapi hanya
kepalanya yang melayang di udara, seluruh tubuhnya sama sekali lenyap.
Ditariknya jubah itu menutupi kepalanya, dan bayangannya lenyap
seluruhnya.
"Ada suratnya!" kata Ron tiba-tiba. "Ada surat yang jatuh dari jubah itu!"
Harry melepas jubahnya dan menyambar suratnya.
Tertulis dalam huruf-huruf ramping berliuk yang belum pernah dilihatnya, kata-kata berikut ini:
Ayahmu menitipkannya kepadaku sebelum dia meninggal.
Sudah waktunya ini di kembalikan kepadamu, Gunakan baik-baik.
Selamat Hari Natal yang menyenangkan untukmu.
Tak ada tanda tangan. Harry bengong memandang surat itu.
Ron sibuk mengagumi jubah itu. "Aku rela memberikan apa saja untuk mendapatkan ini," katanya. "Apa saja. Ada apa?"
"Tidak apa-apa," kata Harry. Dia merasa sangat aneh. Siapa yang mengirim jubah ini? Betulkah ini dulu milik ayahnya?
Sebelum
dia bisa berkata atau berpikir apa-apa lagi, pintu kamar menjeblak
terbuka dan Fred dan George Weasley melompat masuk. Harry cepat-cepat
menyingkirkan jubah itu.
Dia belum rela membaginya dengan orang lain.
"Selamat Natal!"
"Hei, lihat—Harry dapat rompi Weasley juga!"
Fred dan George memakai rompi biru, yang satu dengan huruf F besar kuning, satunya lagi dengan huruf G besar kuning.
"Tapi
rompi Harry lebih bagus daripada punya kita," kata Fred seraya
mengangkat rompi Harry. "Jelas Mum berusaha lebih keras kalau membuatkan
sesuatu bukan untuk keluarga."
"Kenapa milikmu tidak kaupakai, Ron?"
George
mempertanyakan. "Ayo pakai, rompinya kan bagus dan hangat." "Aku benci
merah," Ron mengeluh setengah hati sambil menarik rompinya melewati
kepalanya.
"Punyamu tidak ada hurufnya," George baru sadar.
"Rupanya Mum mengira kau tidak akan melupakan namamu.
Tetapi kami tidak bodoh—kami tahu nama kami Gred dan Forge."
"Ada apa sih, ribut amat?"
Percy
Weasley menjulurkan kepalanya ke dalam kamar, kelihatan tidak senang.
Rupanya dia juga baru membuka hadiahnya, karena dia juga membawa rompi
yang tersampir di tangannya. Fred segera menyambar rompi itu.
"P untuk Prefek! Pakailah, Percy ayo, kami semua memakai rompi kami, bahkan Harry juga."
"Aku... tak... mau...," kata Percy sementara si kembar memaksakan rompi itu melewati kepalanya, membuat kacamatanya miring.
"Dan hari ini kau kan tidak bersama para Prefek lainnya,"
kata George. "Natal kan waktu untuk keluarga."
Mereka menggiring Percy keluar ruangan, rompinya menjepit lengannya.
***
Seumur
hidup belum pernah Harry mengalami jamuan Natal seperti itu. Seratus
kalkun panggang gemuk, segunung kentang panggang dan rebus,
berpiring-piring chipolata berminyak, bermangkuk-mangkuk kacang polong
bermentega, bermacam-macam saus lezat—dan bertumpuk-tumpuk petasan sihir
di setiap jarak satu meter di sepanjang meja. Petasan luar biasa ini
sama sekali lain daripada petasan Muggle yang sering dibeli keluarga
Dursley di dalamnya ada hadiah mainan plastik kecilkecil dan topi kertas
tipis. Bersama Fred, Harry menarik sebuah petasan sihir, dan petasan
itu tidak cuma meletus, melainkan menggelegar seperti bunyi meriam dan
menyelubungi mereka semua dengan asap biru, sementara dari dalamnya
meletup topi laksamana berwarna merah bersama beberapa ekor tikus putih
hidup. Di Meja Tinggi, Dumbledore telah menukar topi runcingnya dengan
topi berbunga-bunga dan sedang tertawa-tawa mendengar lelucon yang
dibacakan Profesor Flitwick.
Puding
Natal menyala dihidangkan setelah kalkun. Gigi Percy nyaris patah
ketika dia menggigit Sickle perak yang terselip di potongan pudingnya.
Harry memandang Hagrid yang wajahnya makin lama makin merah sementara
dia terusmenerus minta tambah anggur, dan akhirnya mencium pipi Profesor
McGonagall. Betapa tercengangnya Harry melihat Profesor McGonagall
terkikik dan mukanya memerah, topinya miring.
Ketika
Harry akhirnya meninggalkan meja perjamuan, dia membawa banyak hadiah
dari petasan, termasuk satu pak balon menyala anti pecah, seperangkat
alat untuk menumbuhkan tahi lalatmu sendiri, dan set permainan catur
sihir barunya. Tikus-tikus putihnya telah menghilang dan Harry punya
perasaan tak enak mereka akan berakhir sebagai santapan Natal Mrs
Norris.
Harry dan Weasley bersaudara melewatkan sore menyenangkan dengan perang bola salju seru di halaman.
Setelah
itu, kedinginan, basah kuyup, dan terengah kehabisan napas, mereka
kembali ke depan perapian di ruang rekreasi Gryffindor. Di tempat itu
Harry pertama kali memainkan set catur barunya dengan hasil kalah telak
dari Ron. Dia merasa tidak akan kalah separah itu jika Percy tidak
mencoba membantunya terus-menerus.
Setelah
acara minum teh sore dengan sajian sandwich kalkun, kue-kue manis, dan
kue tar Natal, semua merasa terlalu kenyang dan mengantuk untuk
melakukan sesuatu sebelum tidur. Jadi mereka duduk saja, menonton Percy
mengejar Fred dan George mengitari Menara Gryffindor karena mereka telah
mencuri lencana Prefeknya.
Hari itu merupakan Natal paling indah bagi Harry. Meskipun demikian, ada yang mengganggu pikirannya sepanjang hari.
Sebelum dia naik ke tempat tidurnya, dia tak bebas memikirkannya: Jubah Gaib dan pengirimnya yang entah siapa.
Ron,
kekenyangan kalkun dan kue tar dan tanpa ada hal misterius yang
mengganggunya, langsung tertidur begitu dia menarik kelambu tempat
tidurnya. Harry membungkuk ke sisi tempat tidurnya dan menarik keluar
Jubah Gaib dari bawahnya.
Milik
ayahnya... ini dulu milik ayahnya. Dibiarkannya kain itu meluncur di
tangannya, lebih halus dari sutra, seringan udara. Gunakan baik-baik,
begitu kata suratnya.
Dia haras mencoba jubah ini sekarang. Dia turun dari tempat tidurnya dan menyampirkan jubah itu ke tubuhnya.
Memandang ke bawah ke kakinya, dia hanya melihat cahaya bulan dan bayang-bayang.
Gunakan baik-baik.
Mendadak,
kantuk Harry lenyap. Seluruh Hogwarts terbuka untuknya kalau dia
memakai jubah ini. Ketegangan menyenangkan mengaliri tubuhnya saat dia
berdiri dalam kegelapan dan kesunyian. Dia bisa pergi ke mana pun dengan
jubah ini, ke mana pun, dan Filch tidak akan tahu.
Ron mengigau dalam tidurnya.
Haruskah
Harry membangunkannya? Ada yang menahannya—jubah ayahnya— dia merasa
bahwa kali ini... untuk pertama kalinya... dia ingin menggunakannya
sendiri.
Dia berjingkat meninggalkan kamarnya, menuruni tangga, menyeberangi ruang rekreasi, dan memanjat keluar dari lubang lukisan.
"Siapa itu?" lengking si Nyonya Gemuk. Harry tidak menjawab. Dia berjalan cepat-cepat sepanjang koridor.
Ke
mana sebaiknya? Harry berhenti, jantungnya berdegup kencang, dan dia
berpikir. Dan dia mendapat ide. Seksi Terlarang di perpustakaan. Dia
akan bisa membaca selama dia mau, selama yang dibutuhkan untuk menemukan
siapa Flamel.
Dia ke perpustakaan, menarik Jubah Gaibnya semakin rapat sementara ia melangkah.
Perpustakaan
gelap gulita dan suasananya mengerikan. Harry menyalakan lampu agar
bisa berjalan sepanjang deretan rak-rak buku. Lampunya seperti melayang
di udara, dan meskipun Harry bisa merasakan tangannya memegangi lampu
itu, pemandangan aneh ini membuatnya ngeri.
Seksi Terlarang terletak di bagian paling belakang.
Melangkah
hati-hati melewati tali yang memisahkan buku-buku ini dari buku-buku
lainnya di perpustakaan, Harry mengangkat lampunya agar bisa membaca
judul-judulnya.
Judul-judul
itu tidak banyak membantunya. Huruf-huruf emasnya yang sudah mengelupas
membentuk kata-kata dalam bahasa yang tidak bisa dipahami Harry.
Beberapa buku bahkan tidak ada judulnya sama sekali. Satu buku bernoda
gelap yang kelihatan mirip sekali darah. Bulu kuduk Harry berdiri.
Mungkin itu cuma perasaannya, mungkin juga tidak, tetapi Harry merasa
bisikan samar terdengar dari buku-buku itu, seakan mereka tahu ada orang
yang seharusnya tidak berada di situ.
Dia
toh harus mulai. Setelah meletakkan lampunya dengan hati-hati di
lantai, dia mencari buku yang tampilannya menarik di rak paling bawah.
Sebuah buku besar hitam-perak menarik perhatiannya. Ditariknya keluar
dengan susah payah, karena buku itu sangat berat. Harry meletakkannya di
atas lututnya dan membukanya.
Jeritan
melengking membekukan darah memecah kesunyian—buku itu menjerit! Harry
cepat-cepat menutupnya kembali, tetapi jeritan itu terus terdengar,
jerit melengking panjang yang memekakkan telinga.
Harry
terhuyung ke belakang dan menabrak lampunya, yang langsung padam. Panik
mendengar langkahlangkah kaki mendekat di koridor di luar—dijejalkannya
kembali buku menjerit itu ke raknya, lalu dia lari. Dia berpapasan
dengan Filch di dekat pintu. Mata Filch yang pucat dan lebar memandang
menembusnya dan Harry menyelusup di bawah lengan Filch yang terentang
dan berlari sepanjang koridor, jeritan si buku masih melengking di
telinganya.
Dia
berhenti mendadak di depan seperangkat baju zirah tinggi. Dia terlalu
sibuk kabur dari perpustakaan, sampai tidak memperhatikan arah larinya.
Mungkin karena gelap, dia sama sekali tidak mengenali keadaan
sekelilingnya. Ada baju zirah di dekat dapur, dia tahu, tetapi dia pasti
berada lima lantai di atas dapur.
"Kau
memintaku untuk langsung menemuimu, Profesor, jika ada yang berkeliaran
di malam hari, dan baru saja ada orang di perpustakaan—Seksi
Terlarang."
Harry
merasa wajahnya memucat. Di mana pun dia saat itu, Filch pastilah tahu
jalan pintas, karena suaranya yang lembut dan lancar terdengar dekat,
dan betapa kagetnya Harry, karena ternyata Snapelah yang menjawab.
"Seksi Terlarang? Yah, mereka pasti belum jauh, kita akan menangkap mereka."
Harry
terpaku di tempatnya ketika Filch dan Snape muncul di sudut di depan.
Mereka tak bisa melihatnya, tentu, tetapi koridor itu sempit dan jika
mereka lebih mendekat lagi mereka akan menabraknya—jubah itu tidak
membuatnya menjadi tidak padat.
Dia
mundur sepelan mungkin. Ada pintu terbuka sedikit di sebelah kiri. Itu
satu-satunya harapan. Dia menyelinap masuk, menahan napas, berusaha
tidak menyenggol pintu, dan betapa leganya ketika dia berhasil masuk
tanpa Snape dan Filch menyadarinya. Mereka berjalan terus dan Harry
bersandar ke din-ding, menarik napas dalam-dalam, mendengarkan
langkahlangkah mereka yang semakin jauh. Nyaris saja, sangat nyaris.
Baru beberapa detik kemudian dia memperhatikan ruang tempatnya bersembunyi.
Kelihatannya
itu ruang kelas yang sudah tidak terpakai. Meja dan kursi bertumpuk di
salah satu din-ding, juga tempat sampah terbuka, tetapi... bersandar
pada dinding, menghadap ke arahnya, ada sesuatu yang tampaknya tidak
layak berada di situ, sesuatu yang kelihatannya sengaja disembunyikan di
situ.
Benda
itu cermin luar biasa, setinggi langit-langit, dengan bingkai emas
terukir, berdiri di atas dua cakar. Ada tulisan terukir di bagian
atasnya: Erised stra ehru oyt ube cafru oyt on wohsi.
Kepanikannya
mulai luntur setelah tak terdengar lagi suara Filch dan Snape. Harry
bergerak mendekati cermin itu, ingin memandang dirinya, tetapi tak
melihat bayangan apa pun. Dia melangkah sampai ke depan cermin.
Dia
harus menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegahnya menjerit.
Buru-buru dia membalik. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang daripada
ketika buku tadi menjerit—karena dia tak hanya melihat dirinya di
cermin...
serombongan orang lain berdiri di belakangnya.
Tetapi ruangan itu kosong. Dengan napas memburu, perlahan dia menoleh kembali ke cermin.
Itu
dia, terpantul di cermin, pucat dan ketakutan, dan di sana, di
belakangnya, ada paling sedikit sepuluh orang lain. Harry menoleh lewat
bahunya—tetap saja tak ada orang. Apakah mereka semua juga tidak tampak?
Apakah sebetulnya dia berada di ruangan penuh dengan orang-orang yang
tidak tampak, dan keajaiban cermin itu justru memperlihatkan semua orang
itu, yang tampak maupun yang tidak?
Kembali
Harry memandang cermin. Seorang wanita yang berdiri tepat di belakang
bayangannya tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan. Harry
mengulurkan tangan dan merasakan udara kosong di belakangnya. Jika
wanita itu benarbenar ada di sana, dia akan bisa menyentuhnya, bayangan
mereka sangat berdekatan, tetapi dia hanya merasakan udara— wanita itu
dan yang lain hanya ada di dalam cermin.
Wanita
itu sangat cantik. Rambutnya merah gelap dan matanya—matanya persis
mataku, pikir Harry, ber ingsut mendekat ke cermin. Hijau
terang—bentuknya persis sama, tetapi kemudian Harry melihat wanita itu
menangis; tersenyum tetapi pada saat bersamaan, menangis. Laki-laki
jangkung kurus berambut hitam di sebelahnya, memeluknya. Laki-laki itu
memakai kacamata, dan rambutnya berantakan sekali.
Rambutnya mencuat di bagian belakang, persis seperti rambut Harry.
Harry berada dekat sekali dengan cermin sekarang sehingga hidungnya nyaris menyentuh hidung bayangannya.
"Mum?" bisiknya. "Dad?"
Mereka
hanya memandangnya, tersenyum. Dan perlahan-lahan Harry memandang
wajah orang-orang lain di dalam cermin, dan melihat mata-mata hijau lain
seperti matanya, hidung lain seperti hidungnya, bahkan seorang
laki-laki tua kecil yang lututnya menonjol seperti Harry—Harry sedang
memandang keluarganya, untuk pertama kali dalam hidupnya.
Keluarga
Potter tersenyum dan melambai dan Harry balik menatap mereka dengan tak
puas-puasnya, kedua tangannya menekan kaca, seakan dia berharap
terjatuh ke dalamnya dan bergabung dengan mereka. Hatinya terasa sakit,
setengah bahagia, setengah berduka.
Berapa
lama dia berdiri di sana, dia tidak tahu. Bayangan orang-orang itu
tidak menghilang dan Harry memandang terus sampai suara di kejauhan
membuatnya tersadar. Dia tak bisa terus berada di sini, dia harus
kembali ke asramanya. Dengan amat enggan dia berpaling dari wajah
ibunya, berbisik, "Aku akan kembali," dan bergegas meninggalkan ruangan
itu.
***
"Kau seharusnya membangunkan aku," kata Ron marah.
"Kau boleh ikut malam ini, aku akan ke sana lagi, aku ingin menunjukkan cermin itu kepadamu."
"Aku ingin lihat ibu dan ayahmu," kata Ron bersemangat.
"Dan aku ingin melihat semua keluargamu, kau akan bisa menunjukkan dua kakakmu yang paling besar dan keluargamu yang lain."
"Kau
bisa melihat mereka kapan saja," kata Ron. "Ikutlah ke rumahku musim
panas ini. Lagi pula, mungkin cermin itu cuma menunjukkan orang-orang
yang sudah meninggal. Sayang sekali kau tidak menemukan Flamel. Makan
daging asap ini, atau apalah Kenapa kau tidak makan apa-apa?"
Harry
tak bisa makan. Dia sudah melihat orangtuanya dan akan melihat mereka
lagi malam ini. Dia sudah hampir melupakan Flamel. Flamel kelihatannya
tak begitu penting lagi, Siapa yang peduli apa yang dijaga anjing
berkepala tiga itu?
Sebetulnya, peduli apa kalau Snape mencurinya?
"Kau tak apa-apa?" tanya Ron. "Kau tampak aneh."
***
Yang
paling ditakuti Harry adalah dia tak bisa lagi menemukan ruang cermin
itu. Berselubung jubah, bersama Ron, mereka harus berjalan jauh lebih
pelan pada malam berikutnya.
Mereka mencoba napak tilas rute Harry dari perpustakaan, berputar-putar di lorong-lorong gelap selama hampir satu jam.
"Aku kedinginan," kata Ron. "Ayo, kita lupakan saja dan balik ke kamar."
"Tidak!" desis Harry. "Aku tahu ruang itu ada di sekitar sini."
Mereka
berpapasan dengan hantu penyihir jangkung yang melayang ke arah
berlawanan, tetapi tidak bertemu siapa-siapa lagi. Tepat ketika Ron
mulai mengeluh kakinya beku kedinginan, Harry melihat baju zirah itu.
"Itu ruangannya—di sini—ya!" Mereka mendorong pintunya.
Harry menjatuhkan jubah dari bahunya dan berlari ke cermin.
Itu dia mereka. Ayah dan ibunya tersenyum melihatnya.
"Lihat?" Harry berbisik.
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Lihat! Lihat mereka semua... kan banyak itu...."
"Aku cuma bisa melihatmu."
"Lihat
baik-baik, sini, berdiri di tempatku." Harry minggir, tetapi dengan Ron
di depan cermin, dia tak bisa lagi melihat keluarganya, hanya melihat
Ron yang memakai piama. Ron, sebaliknya, terpaku menatap bayangannya.
"Lihat aku!"
katanya. "Apakah kau bisa melihat semua keluargamu mengelilingimu?"
"Tidak... aku sendirian... tetapi aku berbeda... aku kelihatan lebih tua... dan aku Ketua Murid!"
"Apa?"
"Aku... aku memakai lencana seperti yang dulu dipakai Bill...
dan
aku memegang Piala Asrama dan. Piala Quidditch... aku juga kapten
Quidditch!" Ron memalingkan wajah dari pemandangan luar biasa ini untuk
menatap Harry dengan bergairah.
"Apakah menurutmu cermin ini memperlihatkan masa depan?"
"Mana bisa? Semua keluargaku sudah meninggal— coba aku lihat lagi...."
"Kau kan sudah puas melihat semalam, beri aku kesempatan sedikit lagi."
"Kau cuma memegang Piala Quidditch, apa menariknya?
Aku ingin melihat orangtuaku."
"Jangan
mendorongku..." Mendadak terdengar suara di koridor, mengakhiri
perdebatan mereka. Mereka tidak sadar telah bicara keras-keras.
"Cepat!"
Ron menyampirkan jubah ke tubuh mereka ketika mata berkilau Mrs Norris
muncul dari balik pintu. Ran dan Harry berdiri diam-diam, keduanya
memikirkan hal yang sama—apakah jubah ini berlaku untuk kucing juga?
Setelah rasanya lama sekali, kucing iru berbalik dan pergi.
"Sudah
tidak aman—siapa tahu dia menemui Filch. Pasti tadi dia mendengar kita.
Ayo." Dan Ron menarik Harry meninggalkan ruangan itu.
***
Salju masih belum mencair keesokan harinya. "Mau main catur, Harry?" tanya Ron.
"Tidak."
"Bagaimana kalau kita mengunjungi Hagrid?"
"Tidak... kau saja...."
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Harry cermin itu. Jangan kembali ke sana malam ini."
"Kenapa tidak?"
"Aku
tak tahu, cuma perasaanku tidak enak—lagi pula, kau sudah nyaris
ketahuan beberapa kali. Filch, Snape, dan Mrs Norris berkeliaran. Memang
mereka tidak bisa melihatmu. Tapi bagaimana kalau mereka menabrakmu?
Bagaimana kalau kau menabrak sesuatu?"
"Kau jadi seperti Hermione."
"Aku serius, Harry, jangan pergi."
Tapi Harry cuma memikirkan satu hal saja, yaitu kembali ke depan cermin, dan Ron tak bisa menghalanginya.
***
Malam
ketiga dia menemukan kamar itu lebih cepat daripada sebelumnya. Dia
berjalan sangat cepat, dia tahu itu tidak bijaksana, sebab dia membuat
suara, tetapi dia tidak bertemu siapa-siapa.
Dan
ayah dan ibunya tersenyum lagi kepadanya, dan salah satu kakeknya
mengangguk-angguk senang. Harry merosot duduk di depan cermin. Tak ada
yang bisa mencegahnya tinggal di sini semalam suntuk bersama
keluarganya. Tak ada.
Kecuali...
"Wah... kembali lagi, Harry?"
Harry
merasa seakan organ-organ tubuhnya telah berubah jadi es. Dia menoleh
ke belakang. Duduk di salah satu meja dekat dinding, tak lain dan tak
bukan adalah Albus Dumbledore.
Harry pastilah tadi melewatinya, begitu bersemangat ingin segera ke cermin sampai dia tidak melihatnya.
"Saya... saya tidak melihat Anda, Sir."
"Aneh, bagaimana 'tidak kelihatan' membuatmu rabun," kata Dumbledore, dan Harry lega melihatnya tersenyum.
"Jadi,"
kata Dumbledore, turun dari meja untuk duduk di lantai bersama Harry,
"kau, seperti beratusratus orang lainnya sebelum kau, telah menemukan
kesenangan yang bisa didapat dari Cermin Tarsah."
"Saya tak tahu namanya begitu, Sir."
"Tapi kurasa sekarang kau sudah menyadari apa yang dilakukan cermin itu?"
"Cermin itu... cermin itu memperlihatkan keluarga saya..."
"Dan memperlihatkan kepada Ron dirinya sebagai Ketua Murid."
"Bagaimana Anda tahu...?"
"Aku
tak memerlukan jubah agar bisa tidak kelihatan," kata Dumbledore
lembut. "Nah, sekarang, bisakah kaupikirkan apa yang ditunjukkan Cermin
Tarsah kepada kita semua?"
Harry menggeleng.
"Biar
kujelaskan. Orang yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin
Tarsah seperti cermin biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia
hanya melihat dirinya seperti apa adanya. Apakah ini membantu?"
Harry
berpikir. Kemudian dia berkata perlahan, "Cermin itu memperlihatkan
kepada kita apa yang kita inginkan... apa saja yang kita inginkan..."
"Ya
dan tidak," kata Dumbledore pelan. "Cermin itu hanya menunjukkan hasrat
hati kita yang paling mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal
keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu. Ronald Weasley yang
selalu merasa minder dengan kesuksesan kakakkakaknya, melihat dirinya
berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka. Bagaimanapun
juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan maupun kebenaran.
Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin ini, terpesona oleh apa
yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya, karena tak tahu apakah yang
diperlihatkan cermin itu riil atau bahkan mungkin.
"Besok
cermin ini akan dipindahkan ke tempat baru, Harry dan aku memintamu
agar tidak mencarinya lagi. Jika suatu kali nanti kau kebetulan
melihatnya lagi, kau sudah siap. Tak ada gunanya memikirkan impian
berlama-lama sampai lupa hidup,
ingat itu. Nah, sekarang bagaimana kalau kaupakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?"
Harry bangkit. "Sir—Profesor Dumbledore? Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Jelas, kau baru saja bertanya," Dumbledore tersenyum.
"Tapi kau boleh tanya satu hal lagi."
"Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?"
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."
Harry melongo.
"Semua
orang selalu membutuhkan kaus kaki baru," kata Dumbledore. "Natal sudah
berlalu lagi dan aku tak dapat kaus kaki sepasang pun. Orang-orang
bersikeras memberiku buku."
Baru
ketika dia sudah kembali di tempat tidurnya, terlintas di benak Harry
bahwa Dumbledore mungkin tidak sepenuhnya jujur. Tetapi, pikir Harry
seraya mendorong Scabbers dari bantalnya, pertanyaannya tadi cukup
pribadi.
***
13. Nicolas Flamel
DUMBLEDORE
telah meyakinkan Harry agar tidak mencari-cari Cermin Tarsah lagi dan
selama sisa liburan Natal, Jubah gaib tetap terlipat di dasar koper
Harry. Harry ingin sekali segera melupakan apa yang pernah di lihatnya
di cermin. tetapi tidak bisa. Dia mulai mendapat mimpi buruk.
Berkali-kali dia bermimpi tentang orang tuanya yang menghilang dalam
kilatan cahaya hijau sementara terdengar tawa tinggi melengking.
"Lihat, kan, Dumbledore benar. Cermin itu bisa membuatmu gila," kata Ron, ketika Harry bercerita tentang mimpi buruknya.
Hermione,
yang kembali sehari sebelum semester baru dimulai, punya pandangan lain
tentang kejadian itu. Dia setengahnya merasa ngeri membayangkan Harry
meninggalkan kamar, berkeliaran di sekolah selama tiga malam
berturut-turut ("Bagaimana kalau Filch menangkapmu!") dan setengahnya
merasa kecewa karena dia tidak berhasil menemukan siapa Nicolas Flamel.
Mereka
sudah nyaris kehilangan harapan menemukan Flamel dalam buku
perpustakaan, meskipun Harry masih yakin dia pernah membaca nama itu
entah di mana. Begitu semester baru mulai, mereka kembali membuka-buka
buku selama sepuluh menit dalam waktu istirahat mereka. Waktu Harry
bahkan lebih sedikit dari kedua temannya, karena masa latihan Quidditch
sudah mulai lagi.
Wood
melatih timnya lebih keras dari sebelumnya. Bahkan hujan yang turun
terus menggantikan salju tidak mematahkan semangatnya. Si kembar Weasley
mengeluh Wood telah menjadi fanatik, tetapi Harry memihak Wood. Jika
mereka memenangkan pertandingan berikutnya, melawan Hufflepuff, mereka
akan menyusul Slytherin dalam Kejuaraan Antar-Asrama untuk pertama
kalinya dalam tujuh tahun. Lepas dari keinginan untuk menang, Harry
menyadari bahwa mimpi buruknya berkurang jika dia kelelahan sehabis
berlatih.
Kemudian, dalam satu sesi latihan di bawah hujan deras dan berlumpur, Wood menyampaikan kabar buruk kepada timnya.
Dia
baru saja marah besar kepada si kembar Weasley yang tak henti-hentinya
saling serang dan berpura-pura terpeleset dari sapu mereka.
"Kalian bisa tidak sih berhenti main-main!" teriaknya.
"Tindakan
seperti itulah yang akan membuat kita kalah dalam pertandingan! Snape
akan jadi wasit kali ini dan dia akan mencari-cari segala alasan untuk
mengurangi angka Gryffindor!"
George Weasley benar-benar jatuh dari sapunya mendengar ini.
"Snape jadi wasit?" katanya dengan mulut penuh lumpur.
"Kapan
dia pernah jadi wasit pertandingan Quidditch? Dia pasti tidak akan
bersikap adil jika ada kemungkinan kita menyusul Slytherin." Anggota tim
lain mendarat di sisi George untuk ikut mengeluh.
"Bukan
salahku," kata Wood. "Yang jelas kita harus menjamin bahwa kita bermain
bersih, sehingga Snape tak akan punya alasan untuk menyalahkan kita."
Boleh
saja begitu, pikir Harry, tetapi dia punya alasan lain tidak
menginginkan Snape berada di dekatnya selagi dia bermain Quidditch....
Anggota
tim yang lain masih tinggal mengobrol seperti biasanya seusai latihan,
tetapi Harry langsung kembali ke ruang rekreasi Gryffindor. Ron dan
Hermione sedang bermain catur di situ. Catur adalah satu-satunya
kegiatan yang Hermione bisa kalah, sesuatu yang menurut Harry dan Ron
sangat baik untuknya.
"Jangan
dulu bicara padaku," kata Ron ketika Harry duduk di sebelahnya. "Aku
perlu konsen..." Terlihat olehnya wajah Harry. "Kenapa kau? Kau
kelihatan sakit."
Bicara
pelan-pelan supaya tak ada yang mendengar, Harry memberitahu kedua
temannya tentang keinginan mendadak Snape untuk menjadi wasit Quidditch.
"Jangan main," kata Hermione segera.
"Bilang saja kau sakit," kata Ron.
"Pura-pura kakimu patah," Hermione mengusulkan.
"Patahkan benar-benar saja," kata Ron.
"Tidak bisa," kata Harry. "Tak ada Seeker cadangan. Kalau aku mundur, Gryffindor sama sekali tak bisa main."
Saat itu Neville terguling masuk ke ruang rekreasi.
Bagaimana
dia bisa memanjat lubang lukisan tak bisa ditebak, karena kakinya
saling menempel. Penyebabnya langsung mereka kenali, Kutukan Kaki
Terkunci. Dia pastilah harus melompat-lompat naik ke Menara Gryffindor.
Semua
tertawa, kecuali Hermione. Dia langsung melompat bangun dan mengucapkan
mantra kontrakutukan. Kaki Neville terpisah dan dia berdiri, gemetar.
"Apa yang terjadi?" Hermione bertanya kepadanya, mengajaknya duduk di dekat Harry dan Ron.
"Malfoy,"
kata Neville gemetar. "Aku bertemu dia di depan perpustakaan. Dia
bilang dia sedang mencari-cari anak yang bisa dipakainya melatih kutukan
itu."
"Temui Profesor McGonagall!" Hermione mendorong Neville. "Laporkan dia!"
Neville menggeleng.
"Aku tak mau menambah keruwetan," gumamnya.
"Kau
harus berani menghadapinya, Neville!" kata Ron. "Dia terbiasa berbuat
semena-mena. terhadap orang lain, tetapi itu bukan alasan bagi kita
untuk menyerah dan tidak menyulitkannya."
"Tak
perlu memberitahu kalau aku tidak cukup berani untuk menjadi anggota
Gryffindor. Malfoy Sudah melakukannya,"kata Neville tersendat.
Harry merogoh kantong jubahnya dan mengeluarkan Cokelat Kodok, cokelat terakhir dari kotak hadiah Natal Hermione.
Diberikannya kepada Neville, yang kelihatannya mau menangis.
"Kau
berharga dua belas kali lipat Malfoy," kata Harry. "Topi Seleksi
memilihmu untuk Gryffindor, kan? Dan di mana Malfoy? Di Slytherin yang
bau."
Bibir Neville bergetar membentuk senyum lemah ketika dia membuka bungkus Cokelat Kodok. "Terima kasih, Harry...
kurasa aku akan tidur... Kau mau kartunya? Kau koleksi, kan?"
Setelah Neville pergi, Harry memandang kartu Penyihir Terkenalnya.
"Dumbledore lagi," katanya. "Dia yang pertama..."
Harry tercekat kaget. Terbelalak memandang bagian belakang kartunya. Kemudian dia mendongak, memandang Ron dan Hermione.
"Sudah
kutemukan dia!" bisiknya. "Aku sudah menemukan Flamel! Sudah kukatakan
aku pernah membaca namanya entah di mana sebelumnya. Rupanya aku
membacanya di kereta api yang membawaku ke sini—dengar ini, 'Profesor
Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penyihir
aliran hitam Grindelwald pada tahun 1945, penemuannya untuk dua belas
kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya
bersama mitranya, Nicolas Flamel!"
Hermione
langsung melompat berdiri. Belum pernah dia kelihatan segembira ini
sejak mereka mendapat nilai untuk PR pertama mereka dulu.
"Tunggu
di sini!" katanya, dan dia berlari menaiki tangga ke kamar anak-anak
perempuan. Harry dan Ron baru sempat bertukar pandang heran ketika dia
sudah kembali sambil memeluk buku yang sangat besar.
"Tak
pernah terpikir olehku untuk mencari di sini!" bisiknya tegang. "Aku
pinjam ini dari perpustakaan beberapa minggu lalu untuk bacaan ringan."
"Ringan?"
kata Ron, tetapi Hermione menyuruhnya diam sampai dia menemukan
sesuatu, lalu dia mulai membuka-buka buku itu dengan cepat, seraya
bergumam sendiri.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga!"
"Apa kami sudah boleh ngomong sekarang?" gerutu Ron.
Hermione
tidak mengacuhkannya. "Nicolas Flamel," bisiknya dramatis, "adalah
satusatunya yang dikenal sebagai pembuat Batu Bertuah!" Ucapannya ini
tidak menghasilkan efek yang di harapkan Hermione.
"Batu
apa?" tanya Harry dan Ron. "Oh, astaga, apa kalian berdua tidak
membaca? Lihat... baca ini." Didorongnya buku itu ke arah mereka, dan
Harry dan Ron membaca: Ilmu kuno alkimia berkenaan dengan pembuatan Batu
Bertuah, benda legendaris dengan kekuatan gaib luar biasa. Batu ini
akan mengubah logam apa saja menjadi emas murni. Batu ini juga
menghasilkan Cairan Kehidupan, yang akan membuat peminumnya hidup
selamanya.
Selama
berabad-abad ini banyak laporan tentang Batu Bertuah, tetapi
satu-satunya batu yang saat ini ada adalah milik Mr Nicolas Flamel, ahli
alkimia terkenal dan pecinta opera.
Mr
Flamel, yang tahun lalu merayakan ulang tahunnya yang keenam ratus enam
puluh lima tahun, menikmati hidup tenang di Devon bersama istrinya,
Perenelle (enam ratus lima puluh delapan tahun).
"Tahu,
kan, sekarang?" kata Hermione, ketika Harry dan Ron selesai membaca.
"Anjing itu pastilah menjaga Batu Bertuah milik Flamel! Aku berani
taruhan dia pasti menitipkannya kepada Dumbledore karena mereka
bersahabat, dan dia tahu ada orang yang menginginkan batu itu. Itulah
sebabnya dia ingin batu itu dipindahkan dari Gringotts!"
"Batu yang membuat emas dan membuatmu tak bisa mati!"
kata Harry "Pantas saja Snape menginginkannya! Semua orang pasti menginginkannya."
"Dan pantas saja kita tidak bisa menemukan Flamel dalam buku Perkembangan Terakhir dalam Dunia Sihir," kata Ron.
"Dia belum masuk kategori itu jika umurnya baru enam ratus enam puluh lima, kan?"
Esok
paginya, dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, sementara
mencatat berbagai cara merawat gigitan manusia serigala, Harry dan Ron
masih mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan Batu Bertuah
jika mereka memilikinya. Ketika Ron mengatakan bahwa dia akan membeli
tim Quidditch sendiri, barulah Harry teringat akan Snape dan
pertandingan Quidditch-nya yang akan datang.
"Aku akan main," katanya kepada Ron dan Hermione.
"Kalau tidak, semua anak Slytherin akan mengira aku takut menghadapi Snape. Akan ku tunjukkan kepada mereka...
senyum akan tersingkir dari wajah mereka kalau kita menang."
"Asal bukan malah kau sendiri yang tersingkir dari lapangan," kata Hermione.
***
Semakin
dekat hari pertandingan, Harry semakin cemas, walaupun dia tidak
mengatakan begitu kepada Ron dan Hermione. Para anggota tim lainnya juga
tidak begitu tenang.
Ide
menyusul Slytherin dalam Kejuaraan Antar-Asrama sungguh menyenangkan,
belum pernah ada yang berhasil selama tujuh tahun ini, tetapi bisakah
mereka melakukannya dengan wasit yang begitu memihak?
Harry
tak tahu apakah ini hanya sekadar khayalannya saja atau bukan, tetapi
rasanya dia selalu bertemu Snape, ke mana pun dia pergi. Kadang-kadang
dia jadi bertanya-tanya sendiri, apakah Snape membuntutinya,
mencari-cari kesempatan untuk bisa menangkapnya kalau sedang sendirian.
Pelajaran Ramuan sudah berubah menjadi siksaan mingguan, karena Snape
bersikap sangat menyebalkan terhadap Harry. Mungkinkah Snape tahu bahwa
Harry dan kedua sahabatnya tahu tentang Batu Bertuah? Rasanya tidak
mungkin—tetapi kadang-kadang Harry merasa bahwa Snape bisa membaca
pikiran orang.
***
Harry
tahu, ketika mengucapkan selamat bertanding di luar kamar ganti, Ron
dan Hermione dalam hati bertanya-tanya apakah mereka masih akan
melihatnya dalam keadaan hidup.
Ini
tak bisa dibilang menyenangkan. Harry nyaris tidak mendengar nasihat
Wood ketika dia memakai jubah Quidditch dan mengambil Nimbus Dua
Ribu-nya.
Ron
dan Hermione, sementara itu, telah mendapatkan tempat duduk di tribun
dekat Neville—yang tidak bisa mengerti mengapa mereka berdua kelihatan
begitu muram dan cemas, ataupun kenapa mereka berdua membawa tongkat ke
pertandingan. Harry sama sekali tak tahu bahwa Ron dan Hermione diamdiam
telah berlatih Kutukan Kaki Terkunci.
Mereka
mendapat ide ini dari Malfoy yang menggunakannya pada Neville, dan
mereka siap menggunakannya pada Snape jika dia menunjukkan tanda-tanda
ingin mencelakakan Harry.
"Jangan lupa, mantranya Locomotor Mortis," Hermione bergumam ketika Ron menyelipkan tongkatnya ke dalam lengan jubahnya.
"Sudah tahu," tukas Ron. "Jangan cerewet." Di dalam kamar ganti, Wood mengajak Harry bicara berdua.
"Bukannya
aku mau menekanmu, Potter, tetapi kalau sampai ada kebutuhan untuk
menangkap Snitch seawal mungkin, sekaranglah saatnya. Selesaikan
pertandingan sebelum Snape bisa terlalu banyak memihak Hufflepuff."
"Seluruh sekolah ada di luar sana!" kata Fred Weasley, mengintip dari pintu. "Bahkan... astaga... Dumbledore juga nonton!"
Jantung Harry jumpalitan.
"Dumbledore?" katanya seraya berlari ke pintu untuk melihat sendiri. Fred benar. Jenggot perak itu tak mungkin keliru.
Ingin
rasanya Harry tertawa keras-keras saking leganya. Dia aman. Jelas Snape
tak akan berani mencoba mencelakainya jika ada Dumbledore.
Mungkin itulah sebabnya Snape kelihatan marah sekali ketika kedua tim berjalan memasuki lapangan. Ron juga melihatnya.
"Belum pernah kulihat Snape segalak ini," katanya kepada Hermione. "Lihat... mereka mulai. Ouch!"
Ada yang menyodok belakang kepala Ron. Malfoy.
"Oh, sori, Weasley aku tidak lihat kau di situ."
Malfoy nyengir lebar kepada Crabbe dan Goyle.
"Berapa lama Potter bisa bertahan di atas sapunya kali ini, ya? Ada yang mau bertaruh? Bagaimana kalau kau, Weasley?"
Ron
tidak menjawab. Snape baru saja memberikan penalti kepada Hufflepuff
karena George Weasley telah melempar Bludger kepadanya. Hermione—yang
menyilangkan semua jarinya di atas pangkuan untuk mendapatkan
keberuntungan—
memandang lekat-lekat pada Harry yang berputar-putar mengitari tim yang bertanding, mencari-cari Snitch.
"Kalian
tahu bagaimana menurutku cara mereka memilih anggota tim Gryffindor?"
kata Malfoy keraskeras beberapa menit kemudian, ketika Snape kembali
menghadiahkan lemparan penalti kepada Hufflepuff tanpa alasan apa pun.
"Yang
dipilih orang-orang yang memang patut dikasihani. Lihat saja—ada si
Potter, yang tidak punya orangtua, lalu si kembar Weasley, yang tidak
punya uang. Kau mestinya masuk tim, Longbottom. Kau kan tidak punya
otak."
Wajah
Neville merah padam, tetapi dia berbalik di tempat duduknya untuk
menghadapi Malfoy. "Aku berharga dua belas kali lipat dirimu, Malfoy"
katanya tergagap.
Malfoy
Crabbe, dan Goyle tertawa terbahak-bahak, tetapi Ron yang masih tidak
berani mengalihkan pandangannya dari pertandingan berkata, "Kau benar,
Neville."
"Longbottom, kalau otak terbuat dari emas, kau lebih miskin daripada si Weasley. Uh, parah banget deh."
Saraf Ron sudah tegang sekali saking cemasnya ia pada Harry.
"Kuperingatkan kau, Malfoy—satu kata lagi..."
"Ron!" seru Hermione tiba-tiba. "Harry...!"
"Apa? Di mana?"
Harry
mendadak melakukan tukikan luar biasa, membuat para penonton terpekik
kagum dan bersorak riuh. Hermione berdiri, jarinya tersilang di depan
mulutnya ketika Harry melesat ke bawah seperti luncuran peluru.
"Kau beruntung, Weasley. Potter rupanya melihat kepingan uang di tanah!" kata Malfoy.
Kesabaran
Ron habis sudah. Sebelum Malfoy sadar apa yang terjadi, Ron sudah
berada di atas tubuhnya, memitingnya ke tanah. Neville ragu-ragu,
kemudian memanjat punggung bangkunya untuk membantu.
"Ayo,
Harry!" jerit Hermione, melompat naik ke atas bangkunya agar bisa
melihat lebih jelas ketika Harry meluncur tepat ke arah Snape. Hermione
bahkan tidak menyadari Malfoy dan Ron yang bergulingan di bawah tempat
duduknya, ataupun baku hantam dan pekikan-pekikan yang bermunculan dari
tengah hujan pukulan yang berasal dari Neville, Crabbe, dan Goyle.
Tinggi
di angkasa, Snape berputar di atas sapunya, tepat ketika kelebatan
warna merah meluncur melewatinya, hanya beberapa senti darinya—detik
berikutnya, Harry sudah menghentikan tukikannya, kedua lengannya
terangkat penuh kemenangan, Snitch tergenggam di tangannya.
Penonton meledak riuh-rendah. Sungguh ini rekor, tak seorang pun ingat Snitch pernah berhasil ditangkap secepat ini.
"Ron! Ron! Di mana kau? Pertandingan sudah selesai! Harry menang! Kita menang!
Gryffindor
memimpin!" teriak Hermione, melonjak-lonjak kegirangan di tempat
duduknya dan memeluk Parvati Patil yang duduk di depannya.
Harry
melompat turun dari sapunya, tiga puluh senti dari tanah. Dia tak
mempercayainya. Dia telah berhasil—permainan telah usai, padahal baru
berlangsung tak lebih dari lima menit.
Ketika
anak-anak Gryffindor membanjir masuk lapangan, Harry melihat Snape
mendarat di dekatnya, wajahnya pucat, bibirnya tegang. Kemudian Harry
merasakan sentuhan tangan di bahunya, ia mendongak dan memandang wajah
Dumbledore yang tersenyum.
"Bagus
sekali," kata Dumbledore pelan, sehingga hanya Harry yang bisa
mendengarnya. "Senang melihatmu tidak terus memikirkan cermin itu... kau
menyibukkan diri... luar biasa...."
Snape meludah dengan getir ke tanah.
***
Harry
meninggalkan kamar ganti sendirian beberapa waktu kemudian, untuk
mengembalikan Nimbus Dua Ribu-nya ke dalam ruang penyimpanan sapu. Belum
pernah dia merasa seriang ini. Dia benar-benar telah melakukan sesuatu
yang bisa dibanggakan sekarang— tak seorang pun bisa mengatakan lagi dia
cuma sekadar nama terkenal. Udara malam belum pernah seharum ini. Dia
melangkah di atas rumput lembap, mengenang kembali kejadian satu jam
terakhir ini. Kilasan yang membahagiakan: anak-anak Gryffindor berlarian
mendekat untuk mengangkatnya ke atas bahu mereka; Ron dan Hermione di
kejauhan, melonjak-lonjak kegirangan. Ron bersorak walaupun hidungnya
berdarah.
Harry
telah tiba di kamar sapu. Dia bersandar di pintu kayu dan mendongak
menatap Hogwarts, dengan jendela-jendelanya yang berkilau merah tertimpa
cahaya matahari terbenam.
Gryffindor memimpin.
Dia telah berhasil, dia telah membuktikan kepada Snape...
Dan ngomong-ngomong tentang Snape...
Sesosok
tubuh berkerudung menuruni undakan depan kastil dengan cepat. Jelas tak
ingin dilihat orang, dia berjalan secepat mungkin menuju ke Hutan
Terlarang. Kemenangan memudar dari benak Harry saat dia mengawasi sosok
itu. Dia mengenali gaya jalannya. Snape, sembunyi-sembunyi ke dalam
Hutan ketika yang lain sedang makan malam—apa yang sedang terjadi
sebetulnya?
Harry
kembali melompat ke atas Nimbus Dua Ribu dan terbang. Melayang
diam-diam di atas kastil, dia melihat Snape berlari memasuki Hutan. Dia
membuntuti.
Pepohonan
begitu lebat sehingga dia tidak bisa melihat ke mana Snape. Harry
terbang berputar-putar, makin lama makin rendah, menyentuh
ranting-ranting atas pepohonan, sampai dia mendengar suara-suara. Dia
meluncur ke arah suara-suara itu dan mendarat tanpa bunyi di pohon beech
besar di dekatnya.
Hati-hati dia merambat di salah satu dahan, memegang sapunya erat-erat, mencoba mengintip melalui celah-celah dedaunan.
Di
bawah, di tempat terbuka yang teduh, Snape berdiri, tetapi dia tidak
sendirian. Quirrell juga ada di sana. Harry tidak bisa melihat ekspresi
wajahnya dengan jelas, tetapi dia tergagap lebih parah daripada
biasanya. Harry berusaha keras menangkap apa yang mereka bicarakan.
"... tid-tidak tahu kenapa kau m-m-mau b-bertemu di sini, Severus..."
"Oh,
kupikir kita harus merahasiakan ini," kata Snape, suaranya dingin.
"Murid-murid kan tidak boleh tahu tentang Batu Bertuah." Harry
membungkuk ke depan.
Quirrell
menggumamkan sesuatu. Snape menyelanya. "Apa kau sudah menemukan cara
bagaimana bisa melewati binatang piaraan Hagrid itu?"
"T-t-tapi, Severus, aku..."
"Kau tak ingin aku jadi musuhmu, kan, Quirrell," kata Snape, maju ke depan satu langkah.
"A-aku t-tak tahu apa..."
"Kau
tahu persis apa maksudku." Seekor burung hantu menjerit keras dan Harry
nyaris terjatuh dari pohon. Dia berhasil menenangkan diri dan sempat
mendengar Snape berkata, "... hokuspokus kecilmu, aku menunggu."
"T-tapi aku t-t-tidak..."
"Baiklah,"
Snape menukas. "Kita akan mengobrol lagi lain waktu, kalau kau sudah
sempat memikirkan hal ini dan memutuskan mau setia kepada siapa."
Snape
menyampirkan jubahnya ke atas kepalanya dan melangkah meninggalkan
tempat terbuka itu. Hari sudah hampir gelap sekarang, tetapi Harry bisa
melihat Quirrell, berdiri diam, seakan membatu.
***
"Harry,
dari mana saja kau?" seru Hermione nyaring. "Kita menang! Kau menang!"
teriak Ron, seraya menepuk punggung Harry. "Dan kupukul mata Malfoy
sampai biru dan Neville mencoba menghadapi Crabbe dan Goyle sendirian!
Dia masih pingsan, tetapi Madam Pomfrey bilang dia akan sembuh—tahu rasa
Slytherin! Semua menunggumu di ruang rekreasi, kita akan pesta. Fred
dan George mencuri kue dan makanan lain dari dapur."
"Itu nanti saja," kata Harry tersengal. "Ayo, kita cari ruang kosong, tunggu sampai kalian mendengar ini...."
Harry
memastikan Peeves tidak ada di dalam sebelum menutup pintu di belakang
mereka, baru dia menceritakan kepada kedua temannya apa yang telah
dilihat dan didengarnya.
"Jadi
kita benar, rupanya itu Batu Bertuah, dan Snape berusaha memaksa
Quirrell membantunya mencurinya. Dia bertanya kalau-kalau Quirrell tahu
cara melewati Fluffy—dan dia juga bilang soal 'hokuspokus'
Quirrell—kurasa ada yang lain yang melindungi batu, selain Fluffy.
Mungkin berbagai jimat dan jampi-jampi, dan Quirrell pastilah telah
memberikan mantra-mantra Anti-Sihir Hitam yang harus ditembus Snape..."
"Jadi, maksudmu batu itu aman hanya jika Quirrell masih bertahan menentang Snape?" tanya Hermione cemas.
"Tidak sampai Selasa juga sudah hilang, kalau begitu," kata Ron.
***
14. Nobert Si Naga Punggung Bersirip Norwegia
QUIRRELL,
ternyata, lebih berani daripada dugaan mereka. Dalam minggu-minggu
berikutnya memang dia tampak lebih pucat dan kurus , tetapi kelihatannya
dia belum menyerah.
Setiap
kali melewati koridor lantai tiga, Harry, Ron, dan Hermione menempelkan
telinga mereka ke pintu untuk mengecek apakah Fluffy masih menggeram di
dalam. Snape berkeliaran ke sana kemari, marahmarah seperti biasa, yang
berarti Batu Bertuah itu masih aman. Setiap kali berpapasan dengan
Quirrell, Harry tersenyum untuk menyemangatinya, dan Ron mulai menegur
anak-anak yang menertawakan Quirrell yang gagap.
Tetapi
Hermione banyak memikirkan hal lain selain Batu Bertuah. Dia telah
mulai merevisi jadwal belajarnya dan memberi kode-kode warna pada
catatancatatannya. Harry dan Ron sebenarnya tidak keberatan, tetapi
Hermione tak henti-hentinya mendesak mereka untuk melakukan hal yang
sama.
"Hermione,
ujiannya masih lama sekali." "Dua setengah bulan lagi," tukas Hermione.
"Itu tidak lama, buat Nicolas Flamel itu cuma sekejap."
"Tapi kita kan belum enam ratus tahun," Ron mengingatkan.
"Lagi pula, untuk apa kau belajar lagi, kau kan sudah hafal semuanya."
"Untuk
apa aku belajar lagi? Kalian gila? Kalian sadar kan kita harus lulus
supaya bisa naik ke kelas dua? Belajar penting sekali, aku seharusnya
sudah mulai sebulan yang lalu. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku...."
Celakanya, para guru berpikiran sama dengan Hermione.
Mereka
membebani anak-anak dengan begitu banyak PR, sehingga liburan Paskah
tidak seasyik liburan Natal. Sulit bersantai bila Hermione ada di
sebelah mereka, sibuk mengulang-ulang dua belas kegunaan darah naga atau
berlatih gerakan-gerakan tongkat sihir. Mengeluh dan menguap, Harry dan
Ron melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di perpustakaan
bersama Hermione, berusaha menyelesaikan tugas-tugas tambahan mereka.
"Aku
tak akan pernah ingat ini," celetuk Ron suatu sore, seraya melempar
pena bulunya dan memandang keluar penuh kerinduan lewat jendela
perpustakaan. Hari itu hari pertama yang benar-benar cerah setelah
berbulan-bulan diliputi salju.
Langit biru terang, dan suasana menyiratkan musim panas akan segera datang.
Harry,
yang sedang membaca "Dittany" di buku Seribu Satu Tanaman dan Jamur
Gaib, tidak mendongak sampai Ron berseru, "Hagrid, ngapain kau di sini?"
Hagrid
muncul, menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Dia kelihatan
janggal berada di perpustakaan memakai jubah kulit tikus mondoknya.
"Cuma
cari sesuatu," katanya dengan suara mencurigakan sehingga mereka
langsung tertarik. "Dan kalian sendiri sedang ngapain?" Mendadak dia
kelihatan curiga. "Kalian tidak sedang cari Nicolas Flamel, kan?"
"Oh, kami sudah lama tahu siapa dia," kata Ron mengesankan. "Dan kami tahu apa yang dijaga anjing itu, Batu Ber..."
"Sshhh!"
Hagrid cepat-cepat memandang berkeliling, untuk melihat apakah ada yang
mendengar. "Jangan teriak-teriak soal itu. Kau ini kenapa sih?"
"Ada yang ingin kami tanyakan kepadamu sebetulnya," kata Harry. "Yaitu, apa saja yang menjaga batu itu selain Fluffy..."
"SSHHH!"
kata Hagrid lagi. "Dengar—datang temui aku nanti, aku tidak janji mau
kasih tahu apa-apa, tapi jangan buka rahasia di sini. Murid tidak boleh
tahu. Mereka akan kira aku beritahu kalian."
"Sampai ketemu nanti, kalau begitu," kata Harry.
Hagrid keluar perpustakaan.
"Apa yang disembunyikannya di belakang punggung?" tanya Hermione berpikir-pikir.
"Apa mungkin ada hubungannya dengan batu itu?"
"Aku
mau tahu dia tadi ada di seksi buku apa," kata Ron, yang sudah bosan
belajar. Semenit kemudian dia muncul lagi membawa setumpuk buku yang
diempaskannya ke atas meja.
"Naga!" bisiknya, "Hagrid mencari informasi ten-tang naga!
Lihat ini: Spesies Naga di Britania Raya dan Irlandia; Dari Telur ke Neraka, Penuntun Pemelihara Naga."
"Sudah lama Hagrid kepingin punya naga. Dia bilang begitu kepadaku waktu pertama kali aku bertemu dia," kata Harry.
"Tapi itu melanggar undang-undang," kata Ron.
"Penangkaran
naga sudah dilarang oleh Konvensi Sihir tahun 1709, semua orang tahu
itu. Susah menjaga agar Muggle tidak mengetahui keberadaan kita jika
kita memelihara naga di halaman belakang—lagi pula, kau tidak bisa
menjinakkan naga,
bahaya. Coba kalau kalian bisa melihat luka bakar Charlie gara-gara naga liar di Rumania."
"Jadi, tidak ada naga liar di Britania?" tanya Harry.
"Tentu
saja ada," kata Ron. "Naga Hijau Welsh yang biasa dan naga Hitam
Hebridean. Kementerian Sihir cukup repot menyembunyikan mereka.
Orang-orang kita harus terusmenerus menyihir Muggle yang pernah
melihatnya, untuk membuat mereka melupakannya."
"Kalau begitu, apa yang sedang dilakukan Hagrid?"
***
Ketika
mereka mengetuk pintu pondok si pengawas binatang liar satu jam
kemudian, mereka heran melihat semua gorden tertutup. Hagrid berseru,
"Siapa itu?" sebelum mempersilakan mereka masuk dan cepat-cepat menutup
pintu kembali.
Di
dalam panas sekali. Meskipun udara hangat, di perapian api
menyala-nyala. Hagrid membuatkan teh dan menawari mereka sandwich
musang, yang mereka tolak.
"Nah... kalian mau tanya sesuatu?"
"Ya,"
jawab Harry. Tak ada gunanya berbelit-belit. "Kami ingin tahu apakah
kau bisa memberitahu kami apa saja yang menjaga Batu Bertuah selain
Fluffy."
Hagrid mengerutkan kening ke arah Harry.
"Tentu
saja tidak bisa," katanya. "Pertama, aku sendiri tidak tahu. Kedua,
kalian sudah tahu terlalu banyak, jadi aku tak akan beritahu kalian
kalaupun aku bisa. Batu itu di sini untuk alasan baik. Batu itu nyaris
dicuri dari Gringotts—kurasa kalian sudah simpulkan ini? Aku tak
mengerti bagaimana kalian bisa tahu tentang Fluffy."
"Oh, ayolah, Hagrid, kau mungkin tak ingin memberitahu kami, tetapi kau sebetulnya tahu segalanya yang terjadi di sini,"
kata Hermione dengan suara hangat memuji. Jenggot Hagrid bergerak-gerak dan mereka bisa menebak dia sedang tersenyum.
"Kami
cuma ingin tahu siapa yang menjaga, itu saja." Hermione melanjutkan,
"Kami penasaran siapa yang cukup dipercaya Dumbledore untuk membantunya,
selain kau."
Dada Hagrid membusung mendengar kalimat terakhir Hermione. Harry dan Ron tersenyum kepada Hermione.
"Yah, kurasa tidak ada bahayanya kuberitahu kalian bahwa...
begini... dia pinjam Fluffy dariku... kemudian beberapa guru lakukan penyihiran... Profesor Sprout— Profesor Flitwick—
Profesor McGonagall...," ditekuknya jarinya satu demi satu,
"Profesor Quirrell—dan Dumbledore sendiri lakukan sesuatu, tentu saja. Sebentar, aku lupa satu orang. Oh yeah, Profesor Snape."
"Snape?"
"Yeah—kalian sudah tidak curigai dia lagi, kan? Snape bantu jaga, dia tidak akan curi batu itu."
Harry tahu Ron dan Hermione berpikiran sama seperti dia.
Jika
Snape termasuk yang menjaga batu, pastilah mudah baginya untuk mencari
tahu bagaimana guru-guru yang lain menjaganya. Dia mungkin tahu
segalanya—kecuali, tampaknya, mantra Quirrell dan bagaimana caranya
melewati Fluffy.
"Kau
satu-satunya yang tahu bagaimana caranya melewati Fluffy, kan, Hagrid?"
tanya Harry cemas. "Dan kau tidak akan bilang siapa-siapa, kan? Bahkan
kepada salah satu guru pun?"
"Tak ada yang tahu kecuali aku dan Dumbledore," kata Hagrid bangga.
"Untunglah," gumam Harry kepada yang lain. "Hagrid, boleh tidak jendelanya dibuka satu? Aku kepanasan."
"Tidak bisa, Harry, sori," kata Hagrid.
Harry memperhatikan Hagrid mengerling ke perapian. Harry juga memandang ke sana.
"Hagrid—apa itu?" Tetapi dia sudah tahu apa itu. Persis di tengah api, di bawah ketel, ada telur hitam besar sekali.
"Ah," kata Hagrid, dengan gelisah memilin-milin jenggotnya.
"Itu... er..."
"Dari
mana kau dapat itu, Hagrid?" kata Ron, berjongkok di depan perapian
untuk melihat telur itu dari dekat. "Pasti mahal sekali harganya."
"Menang
main," kata Hagrid. "Semalam. Aku ke desa minum, lalu main kartu dengan
orang asing. Kurasa dia senang bisa lepas dari telur itu, benar lho."
"Tapi apa yang akan kaulakukan kalau telurnya menetas?"
tanya Hermione.
"Yah,
aku sudah baca-baca," kata Hagrid, seraya menarik buku panjang dari
bawah bantalnya. "Pinjam ini dari perpustakaan—Pemeliharaan dan
Pengembangbiakan Naga untuk Kesenangan dan Keuntungan—memang sudah
sedikit ketinggalan zaman, tapi semuanya ada di situ. Taruh telurnya di
api, karena induk mereka semburkan api ke telur-telurnya, lihat, dan
kalau sudah menetas, beri makan seember brandy dicampur darah ayam
setengah jam sekali. Dan lihat ini—bagaimana mengenali jenis
telur-telur—telur milikku ini jenis Punggung Bersirip Norwegia. Jenis
yang langka."
Hagrid kelihatan puas sekali, tetapi Hermione tidak.
"Hagrid, kau tinggal di pondok papan," katanya.
Tetapi Hagrid tidak mendengarkan. Dia bersenandung riang ketika mengaduk perapiannya agar menyala lebih besar.
***
Maka
sekarang ada hal lain yang perlu mereka cemaskan: apa yang akan terjadi
pada Hagrid jika ketahuan dia menyembunyikan naga ilegal di dalam
pondoknya.
"Bagaimana
ya rasanya menjalani hidup yang tenang," keluh Ron, ketika malam demi
malam mereka berjuang mengerjakan PR-PR ekstra yang dibebankan kepada
mereka. Hermione sekarang sudah mulai mengatur ulang jadwal belajar
Harry dan Ron. Membuat mereka berdua jengkel.
Kemudian,
suatu pagi saat sarapan, Hedwig membawa surat lagi untuk Harry dari
Hagrid. Hagrid hanya menulis dua kata: Sedang menetas.
Ron
ingin membolos dari kelas Herbologi dan lang-sung ke pondok. Hermione
menentang habis-habisan. "Hermione, berapa kali dalam hidup kita, kita b
isa melihat naga yang sedang menetas?"
"Ada
pelajaran. Nanti kita kena marah, dan itu belum apaapa dibanding dengan
apa yang akan terjadi pada Hagrid kalau ada orang yang tahu apa yang
sedang dilakukannya..."
"Diam!" desis Harry.
Malfoy
hanya satu meter dari mereka dan dia langsung berhenti untuk
mendengarkan. Seberapa banyak yang berhasil didengarnya? Harry sama
sekali tidak menyukai ekspresi wajah Malfoy.
Ron
dan Hermione bertengkar sepanjang perjalanan ke kelas Herbologi, dan
pada akhirnya, Hermione setuju kabur ke pondok Hagrid dengan kedua
temannya pada saat istirahat pagi.
Ketika
bel di kastil berbunyi pada akhir pelajaran mereka, ketiganya langsung
menjatuhkan sekop dan bergegas menyeberangi lapangan menuju ke tepi
Hutan. Hagrid menyalami mereka, wajahnya riang kemerahan.
"Sudah hampir keluar." Diajaknya mereka masuk.
Telur itu tergeletak di atas meja. Ada retakan-retakan dalam pada kulitnya.
Sesuatu bergerak-gerak di dalamnya, menimbulkan bunyi klak-klik yang aneh terdengar.
Mereka semua menarik kursi ke dekat meja dan mengawasi dengan napas tertahan.
Mendadak terdengar bunyi gesekan dan telur itu terbelah.
Bayi naga tergeletak di meja. Bayi itu tidak indah. Menurut Harry malah kelihatan seperti payung hitam yang kusut.
Sayapnya
tampak sangat besar dibanding tubuhnya yang masih kurus, dan moncongnya
panjang, dengan dua lubang hidung besar, dua tanduk kecil, dan mata
jingga yang menonjol.
Dia bersin. Beberapa bunga api muncrat dari moncongnya.
"Cantik,
ya?" Hagrid bergumam. Dia menjulurkan tangannya untuk membelai kepala
si naga. Naga itu mencaplok jari-jari Hagrid, taringnya yang tajam
kelihatan.
"Bukan main, dia tahu yang mana induknya!" kata Hagrid.
"Hagrid," kata Hermione, "seberapa cepat persisnya naga Punggung Bersirip Norwegia tumbuh besar?"
Hagrid sudah mau menjawab ketika wajahnya tibatiba memucat—dia melompat berdiri dan berlari ke jendela.
"Ada
apa?" "Ada yang ngintip lewat celah gorden—anak lakilaki—dia lari balik
ke sekolah." Harry melesat ke pintu dan memandang ke luar. Bahkan dari
kejauhan ia tak mungkin keliru. Malfoy telah melihat naga itu.
***
Senyum yang tersungging di bibir Malfoy selama seminggu berikutnya membuat Harry, Ron, dan Hermione sangat cemas.
Mereka melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di pondok Hagrid yang digelapkan, mencoba membujuknya.
"Lepaskan saja dia," desak Harry. "Biar dia hidup di alam bebas."
"Tidak bisa," kata Hagrid. "Dia masih terlalu kecil. Dia akan mati."
Mereka
memandang si naga. Bayi itu sudah tiga kali lipat lebih panjang, dalam
waktu seminggu. Asap tak henti-hentinya berembus melingkar dari lubang
hidungnya. Hagrid belakangan ini sudah tidak melakukan tugas-tugasnya
sebagai pengawas binatang liar di sekolah karena si naga kecil
membuatnya sangat sibuk. Botol-botol brandy kosong dan bulubulu ayam
bertebaran di lantai.
"Aku
sudah memutuskan untuk menamainya Norbert," kata Hagrid, seraya menatap
si naga dengan mata basah. "Dia sudah kenal aku sekarang. Lihat.
Norbert! Norbert! Mana Mama?"
"Dia sinting," Ron bergumam di telinga Harry.
"Hagrid,"
kata Harry keras-keras, "dua minggu lagi Norbert sudah akan sepanjang
rumahmu. Malfoy bisa melapor kepada Dumbledore kapan saja."
Hagrid menggigit bibir.
"Aku—aku tahu. Aku tak bisa memeliharanya selamanya, tetapi aku tak bisa menyuruhnya pergi begitu saja. Aku tak bisa."
Mendadak Harry menoleh kepada Ron.
"Charlie," kata Harry.
"Kau juga ikutan sinting," kata Ron. "Namaku Ron. Ingat?"
"Bukan—Charlie—kakakmu Charlie. Di Rumania. Sedang belajar tentang naga. Kita bisa mengirim Norbert kepadanya.
Charlie bisa memeliharanya dan kemudian melepasnya ke alam bebas!"
"Brilian!"
kata Ron. "Bagaimana, Hagrid?" Pada akhirnya Hagrid setuju mereka
mengirim burung hantu kepada Charlie untuk menanyainya.
***
Minggu
berikutnya berlalu lambat. Rabu malam Hermione dan Harry masih duduk
berdua di ruang rekreasi, lama sesudah yang lain pergi tidur. Jam di
dinding baru saja berdentang menandakan tengah malam ketika lubang
lukisan tiba-tiba membuka. Ron mendadak muncul ketika dia melepas Jubah
Gaib Harry. Dia baru kembali dari pondok Hagrid, membantunya memberi
makan Norbert, yang sekarang sudah makan berkrat-krat bangkai tikus.
"Dia
menggigitku!" katanya, menunjukkan tangannya yang dibalut saputangan
berdarah. "Aku tak akan bisa memegang pena selama seminggu ini. Percaya
deh, naga itu binatang paling mengerikan yang pernah kutemui, tetapi
kalau melihat cara Hagrid memujanya, kau akan mengira dia anak kelinci
berbulu lembut yang lucu. Ketika dia menggigitku, Hagrid malah
menyuruhku menyingkir karena membuat Norbert takut. Dan waktu aku pergi
tadi, Hagrid sedang meninabobokannya."
Ada ketukan di jendela gelap.
"Itu Hedwig!" kata Harry, bergegas membuka jendela agar Hedwig bisa masuk. "Dia membawa surat balasan Charlie!"
Ketiganya merapatkan kepala untuk membaca surat Charlie.
Hai, Ron,
Apa
kabar? Terima kasih suratnnya. Aku senang-senang saja menerima punggung
Bersirip Norwegia itu, tetapi tidak mudah membawanya ke sini. Kurasa
yang paling baik adalah menitipkannya kepada teman-temankuyang akan
mengunjungiku minggu depan. Masalahnya adalah mereka tak boleh ketahuan
membawa naga ilegal.
Bisakah
kau membawa si Punggung Bersirip ke menara paling tinggi tengah malam
hari Sabtu? Mereka bisa menemuimu di sana dan membawa si naga selagi
hari masih gelap.
Kirimi aku jawaban secepat mungkin.
Salam Hangat,
Charlie
Mereka saling pandang.
"Kita
punya Jubah Gaib," kata Harry. "Mestinya tidak terlalu sulit—kurasa
jubah itu cukup besar untuk menutupi dua di antara kita dan Norbert."
Bahwa kedua temannya langsung sepakat, menunjukkan bahwa seminggu terakhir ini keadaan sudah parah sekali.
Mereka bersedia melakukan apa saja untuk menyingkirkan Norbert—dan Malfoy.
***
Ada
rintangan. Esok paginya tangan Ron yang digigit Norbert sudah
membengkak dua kali ukuran normalnya. Dia tak tahu aman atau tidak pergi
ke Madam Pomfrey—apakah dia akan mengenali gigitan naga? Meskipun
demikian, sorenya, Ron sudah tak punya pilihan lain. Lukanya sudah
berwarna hijau mengerikan. Rupanya taring Norbert beracun.
Harry dan Hermione bergegas ke rumah sakit pada akhir hari itu dan menemukan Ron terbaring parah di tempat tidur.
"Bukan
cuma tanganku," bisik Ron, "meskipun rasanya tanganku hampir copot.
Malfoy bilang pada Madam Pomfrey dia mau pinjam salah satu bukuku
sehingga dia bisa datang dan menertawakanku. Dia terus-menerus
mengancamku akan memberitahu Madam Pomfrey apa sebetulnya yang
menggigitku— aku bilang pada Madam Pomfrey aku digigit anjing tapi
kurasa dia tidak percaya—aku seharusnya tidak memukul Malfoy waktu
pertandingan Quidditch itu, sekarang dia mau membalasku."
Harry dan Hermione berusaha menenangkan Ron. Tapi sebaliknya, Ron malah langsung terlonjak duduk dan berkeringat.
"Sabtu
tengah malam!" katanya dengan suara serak. "Oh tidak—oh tidak—aku baru
ingat—surat Charlie ada dalam buku yang diambil Malfoy. Dia akan tahu
kapan kita menyingkirkan Norbert."
Harry
dan Hermione tak punya kesempatan untuk menjawab. Madam Pomfrey muncul
saat itu dan menyuruh mereka pergi, karena Ron butuh tidur, katanya.
***
"Sudah
terlambat untuk mengubah rencana sekarang," Harry berkata kepada
Hermione. "Kita tak punya waktu lagi untuk mengirim burung hantu kepada
Charlie, dan mungkin ini satusatunya kesempatan kita untuk menyingkirkan
Norbert. Kita harus ambil risiko. Dan kita kan punya Jubah Gaib. Malfoy
tidak tahu ini."
Mereka
menemukan Fang, anjing Hagrid, duduk di depan pondok dengan ekor
terbalut ketika mereka datang untuk memberitahu Hagrid, yang membuka
jendela untuk bicara kepada mereka.
"Kalian tak boleh masuk," katanya tersengal. "Norbert sedang rewel—bisa kutangani."
Ketika
mereka memberitahunya tentang surat Charlie, mata Hagrid langsung
berkaca-kaca. Entah karena ia sedih, atau karena Norbert baru saja
menggigit kakinya.
"Aargh! Tidak apa-apa, dia cuma menggigit botku— cuma main-main—masih bayi sih."
Si
bayi menyabetkan ekornya ke dinding, membuat semua jendela pondok
bergetar. Harry dan Hermione kembali ke kastil, berharap Sabtu segera
datang.
***
Mereka
pasti merasa kasihan pada Hagrid ketika tiba saatnya bagi si pengawas
binatang liar itu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Norbert,
kalau saja mereka tidak terlalu mencemaskan apa yang harus mereka
lakukan. Malam itu sangat gelap dan berawan, dan mereka agak terlambat
tiba di pondok Hagrid karena harus menunggu Peeves menyingkir dulu dari
Aula Depan. Peeves sedang main tenis di situ, melawan tembok.
Hagrid sudah menyiapkan Norbert dalam kotak besar.
"Sudah
kusiapkan banyak tikus dan brandy untuk makan di jalan," kata Hagrid
dengan suara tersendat. "Dan boneka beruangnya juga sudah kumasukkan,
siapa tahu dia kesepian."
Dari dalam kotak terdengar robekan yang bagi Harry kedengarannya si boneka beruang sedang dicabut kepalanya.
"Da-dah,
Norbert!" Hagrid terisak, ketika Harry dan Hermione menyelubungi kotak
itu dengan Jubah Gaib lalu mereka sendiri melangkah ke baliknya. "Mama
tidak akan melupakanmu!"
Bagaimana
mereka berhasil membawa kotak itu ke kastil, mereka tak pernah tahu.
Sudah menjelang tengah malam ketika mereka bersusah payah membawa kotak
Norbert menaiki tangga pualam di Aula Depan dan melewati koridor-koridor
gelap. Naik tangga lain lagi, kemudian tangga lain, bahkan lewat salah
satu jalan pintas yang diketahui Harry pun, tidak membuat tugas mereka
bertambah ringan.
"Hampir sampai!" seru Harry terengah ketika mereka tiba di koridor di bawah menara tertinggi.
Gerakan
mendadak di depan mereka nyaris membuat mereka menjatuhkan kotak. Lupa
bahwa mereka sebetulnya tidak kelihatan, mereka merapat ke tempat yang
terlindung bayangbayang, memandang dua sosok gelap yang sedang bergulat
sekitar tiga meter dari tempat mereka. Mendadak lampu menyala.
Profesor McGonagall, memakai baju tidur kotakkotak dan harnet, menjewer telinga Malfoy.
"Detensi!"
teriak Profesor McGonagall, "dan potong dua puluh angka dari Slytherin!
Berkeliaran di tengah malam, beraninya kau..."
"Anda tidak mengerti, Profesor, Harry Potter akan datang— dia membawa naga!"
"Sungguh omong kosong! Berani-beraninya kau bohong besar begitu! Ayo—aku akan bicara pada Profesor Snape tentang kau, Malfoy!"
Setelah
kejadian itu, tangga spiral curam ke atas menara serasa jadi mudah
didaki. Baru setelah melangkah ke udara malam yang dingin, mereka berani
melepas jubah, lega bisa bernapas bebas lagi. Hermione menari-nari.
"Malfoy dihukum kurung! Mau nyanyi aku rasanya!"
"Jangan," Harry menasihatinya.
Sambil
menertawakan Malfoy, mereka menunggu. Norbert mengibas-ngibas di dalam
kotaknya. Kira-kira sepuluh menit kemudian, empat sapu meluncur turun
dari kegelapan.
Teman-teman Charlie anak-anak periang.
Mereka
menunjukkan kepada Harry dan Hermione jaring yang telah mereka buat,
supaya mereka bisa bekerja sama mengangkat Norbert. Mereka semua
membantu menaikkan Norbert ke atas jaring. Kemudian Harry dan Hermione
berjabat tangan dengan keempatnya dan mengucapkan banyak terima kasih
kepada mereka.
Akhirnya. Norbert berangkat... pergi... lenyap.
Mereka menyelinap menuruni tangga spiral, hati mereka seringan tangan mereka, setelah Norbert tak lagi membebani.
Tak ada naga lagi—Malfoy kena detensi—apa yang bisa merusak kegembiraan mereka?
Jawabannya telah menunggu di kaki tangga. Ketika mereka melangkah ke koridor, mendadak wajah Filch muncul dari kegelapan.
"Wah, wah, wah," bisiknya, "kita dalam kesulitan."
Jubah Gaib ketinggalan di atas menara.
***
15. Hutan Terlarang
KEADAAN tak bisa lebih buruk dari ini.
Filch
membawa mereka ke ruang Profesor McGonagall di lantai pertama. Di situ
mereka duduk dan menunggu tanpa saling bicara. Hermione gemetar. Alasan,
alibi, dan cerita bohong berkejaran di benak Harry, masing-masing lebih
lemah dari yang sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana mereka bisa
menghindari hukuman kali ini. Mereka sudah tersudut.
Bagaimana
mungkin mereka bisa begitu bodoh meninggalkan Jubah Gaib? Tak ada
alasan di dunia ini yang bisa membuat Profesor McGonagall menerima
kenapa mereka tidak tidur dan malah berkeliaran di sekolah pada tengah
malam, apalagi berada di menara Astronomi yang paling tinggi, yang
dilarang didatangi kecuali untuk pelajaran. Tambahkan kisah tentang
Norbert dan Jubah Gaib, maka mereka sama saja dengan sudah mengepak
koper, siap cabut dari asrama.
Apakah
Harry berpikir bahwa keadaan tak bisa lebih buruk dari ini? Dia keliru.
Ketika Profesor McGonagall muncul, dia membawa Neville.
"Harry!" Neville memekik begitu melihat Harry dan Hermione. "Aku tadi mencari-carimu untuk memperingatkan.
Kudengar Malfoy akan menangkap basah kau, dia bilang kau punya nag..."
Harry
menggelengkan kepala kuat-kuat menyuruh Neville diam, tetapi Profesor
McGonagall sudah melihat. la kelihatan lebih siap menyemburkan napas api
daripada Norbert ketika dia berdiri menjulang di depan mereka bertiga.
"Aku
tadinya tak percaya kalian berbuat begini. Mr Filch mengatakan kalian
berada di menara Astronomi. Ini pukul satu pagi. Jelaskan!"
Ini pertama kalinya Hermione tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Dia menunduk menatap sandalnya, diam bagai patung.
"Kurasa
aku bisa menduga yang terjadi," kata Profesor McGonagall. "Tidak perlu
seorang jenius untuk memecahkan ini. Kalian membualkan cerita bohong
tentang naga kepada Draco Malfoy supaya dia meninggalkan tempat tidur
dan dihukum.
Aku sudah menangkapnya.
Kurasa kalian menganggap lucu bahwa Longbottom telah mendengar cerita itu dan mempercayainya?"
Harry
memberi isyarat kepada Neville dengan matanya, mencoba memberitahunya
tanpa kata bahwa ini tidak benar, karena Neville kelihatan kaget dan
tersinggung. Kasihan Neville—Harry tahu betul betapa beratnya bagi
Neville mencari-carinya dalam gelap untuk memperingatkannya.
"Aku
marah sekali," kata Profesor McGonagall. "Empat anak meninggalkan
tempat tidur dalam satu malam! Belum pernah ada kejadian semacam ini!
Kau, Miss Granger, kukira kau lebih cerdik. Sedangkan kau, Mr Potter,
kukira Gryffindor jauh lebih berarti bagimu daripada semua ini. Kalian
bertiga akan menerima detensi—ya, kau juga, Mr Longbottom, tak ada yang
membuatmu punya hak berkeliaran di sekolah di malam hari, terutama
hari-hari ini, berbahaya sekali. Lima puluh angka akan dipotong dari
Gryffindor."
"Lima
puluh?" Harry kaget—mereka tak lagi akan memimpin—sia-sialah hasil
kemenangannya dalam pertandingan Quidditch yang terakhir.
"Masing-masing lima puluh," kata Profesor McGonagall, bernapas berat lewat hidungnya yang panjang runcing.
" Profesor—tolong..."
"Anda tak bisa..."
"Jangan mengajari aku apa yang aku bisa atau tak bisa lakukan, Potter. Sekarang semua kembali ke tem-pat tidur.
Belum pernah aku dipermalukan seperti ini oleh anak-anak Gryffindor."
Seratus
lima puluh angka hilang begitu saja. Membuat Gryffindor berada di
posisi paling bawah. Dalam semalam mereka telah menghancurkan semua
kesempatan yang dimiliki Gryffindor untuk memenangkan Piala Asrama.
Harry merasa terpukul sekali. Bagaimana mereka bisa menebus semua ini?
Sepanjang
malam Harry tidak tidur. Selama berjamjam dia bisa mendengar Neville
yang terisak-isak di bantalnya. Harry tak bisa memikirkan sesuatu untuk
menghiburnya. Dia tahu Neville, seperti halnya dirinya, takut akan
datangnya pagi. Apa yang akan terjadi kalau anak-anak Gryffindor lainnya
tahu apa yang telah mereka lakukan?
Mulanya
anak-anak Gryffindor, yang melewati jam kaca raksasa yang menampilkan
angka masing-masing asrama keesokan harinya, mengira ada kekeliruan.
Bagaimana mungkin angka mereka mendadak susut seratus lima puluh dari
hari sebelumnya? Kemudian cerita mulai menyebar: Harry Potter, Harry
Potter yang terkenal, pahlawan Quidditch mereka, dialah yang membuat
mereka kehilangan seratus lima puluh angka, Harry Potter dan dua anak
bego kelas satu lainnya.
Dari anak yang paling populer dan paling dikagumi di sekolah, Harry mendadak menjadi anak yang paling dibenci.
Bahkan
anak-anak Ravenclaw dan Hufflepuff ikut-ikutan menyerangnya, karena
semua anak telah menunggu-nunggu Slytherin kehilangan Piala Asrama. Ke
mana pun Harry pergi, anak-anak menunjuk-nunjuk dan tidak bersusah-susah
memelankan suara kalau memakinya. Anak-anak Slytherin, sebaliknya,
menyorakinya kalau Harry melewati mereka, bersuit-suit dan
berteriak-teriak, "Terima kasih, Potter. Kami utang budi!"
Hanya Ron yang menghiburnya.
"Mereka akan melupakan semua ini beberapa minggu lagi.
Fred dan George telah kehilangan banyak angka selama mereka di sini, dan anak-anak masih menyukai mereka."
"Tapi mereka belum pernah kehilangan seratus lima puluh angka sekaligus, kan?" kata Harry merana.
"Yah—belum," Ron mengakui.
Sudah
agak terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, tetapi
Harry berjanji kepada dirinya sendiri mulai sekarang tidak akan lagi
mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Dia sudah muak dengan
mengendap-endap dan memata-matai. Dia merasa malu sekali dengan dirinya
sendiri sehingga dia menemui Wood dan minta mengundurkan diri dari tim
Quidditch.
"Mengundurkan diri?" gelegar Wood. "Apa faedahnya?
Bagaimana kita akan merebut kembali angka-angka itu kalau kita tidak memenangkan pertandingan Quidditch?"
Bahkan
Quidditch sudah tak lagi menyenangkan. Anggota tim lainnya tak mau
bicara dengan Harry selama latihan, dan kalau mereka harus bicara
tentang Harry, mereka menyebutnya si "Seeker".
Hermione
dan Neville juga menderita. Yang mereka alami tidak seburuk Harry
karena mereka tidak sepopuler dia, tetapi tak seorang pun mau bicara
dengan mereka juga. Hermione sudah berhenti menonjolkan dirinya di
kelas, dia terus menundukkan kepala dan bekerja dalam diam.
Harry
nyaris senang ujian tak lama lagi. Kesibukan belajar membuatnya sejenak
melupakan kesedihannya. Dia, Ron, dan Hermione belajar terpisah dari
temanteman lainnya, belajar sampai larut malam, mencoba mengingat-ingat
bahan-bahan untuk ramuan yang rumit, menghafalkan mantra-mantra,
menghafal tanggal-tanggal penemuan sihir dan pemberontakan goblin....
Kemudian,
kira-kira seminggu sebelum ujian dimulai, keputusan baru Harry untuk
tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, di luar dugaan mendapat
ujian. Ketika pulang dari perpustakaan sendirian pada suatu sore, dia
mendengar ada yang merintih di ruang kelas di atasnya. Ketika mendekat,
Harry mendengar suara Quirrell.
"Jangan—jangan—tolong jangan lagi..." Kedengarannya ada yang sedang mengancamnya. Harry bergerak semakin dekat.
"Baiklah—baiklah...," didengarnya Quirrell mengisak.
Detik
berikutnya, Quirrell bergegas meninggalkan kelas seraya meluruskan
turbannya. Wajahnya pucat dan tampaknya dia hampir menangis. Quirrell
bahkan tidak melihat Harry.
Harry
menunggu sampai bunyi langkah-langkah Quirrell menghilang, kemudian
mengintip ke dalam kelas. Kosong, tapi ada pintu yang terbuka sedikit di
ujung satunya. Harry sudah separo jalan menuju pintu itu ketika dia
ingat janjinya kepada diri sendiri untuk tidak ikut campur urusan orang
lain.
Meskipun
demikian, dia bersedia mempertaruhkan dua belas Batu Bertuah bahwa
Snape baru saja meninggalkan ruangan, dan dari apa yang baru
didengarnya, Snape pastilah berjalan dengan langkah ringan— agaknya
Quirrell akhirnya menyerah.
Harry
kembali ke perpustakaan. Hermione sedang membantu Ron belajar Astronomi
dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Harry memberitahu mereka apa
yang baru saja didengarnya.
"Snape berhasil, kalau begitu!" kata Ron. "Kalau Quirrell sudah memberitahu bagaimana memunahkan Mantra Anti-Sihir Hitamnya..."
"Tapi masih ada Fluffy," kata Hermione.
"Mungkin
Snape sudah tahu bagaimana cara melewati Fluffy tanpa bertanya pada
Hagrid," kata Ron, memandang ribuan buku yang mengelilingi mereka.
"Berani taruhan, di salah satu buku di sini pasti tertulis bagaimana
cara melewati anjing berkepala tiga. Jadi, apa yang kita lakukan,
Harry?"
Kilat petualangan bersinar lagi di mata Ron. Tetapi Hermione menjawab sebelum Harry sempat buka mulut.
"Pergi
ke Dumbledore. Itu seharusnya sudah kita lakukan sejak dulu. Kalau kita
mencoba bertindak sendiri, jelas kita akan dikeluarkan."
"Tapi
kita tak punya bukti!" kata Harry. "Quirrell terlalu takut untuk
mendukung kita. Snape tinggal bilang dia tak tahu bagaimana troll bisa
masuk pada malam Hallowe'en dan bahwa dia tak berada dekatdekat lantai
tiga. Menurut kalian, siapa yang akan dipercaya, dia atau kita? Kan
bukan rahasia kita membencinya. Dumbledore akan mengira kita
mengarang-ngarang supaya Snape dipecat. Filch jelas tidak akan mau
membantu kita. Dia sahabat dekat Snape, dan menurut pendapatnya semakin
banyak murid yang dikeluarkan, semakin baik. Dan jangan lupa, kita
sebetulnya tidak boleh tahu tentang batu itu ataupun Fluffy. Itu bakal
perlu penjelasan panjang."
Hermione kelihatannya bisa diyakinkan, tetapi Ron tidak.
"Kalau kita menyelidiki sedikit..."
"Tidak," kata Harry datar, "kita sudah terlalu banyak menyelidiki dan ikut campur."
Harry menarik peta Jupiter ke arahnya dan mulai menghafal nama bulan-bulannya.
***
Keesokan
paginya, sepucuk surat dijatuhkan di meja sarapan untuk Harry,
Hermione, dan Neville. Isinya semua sama: Detensimu akan berlangsung
pukul sebelas malam ini. Temui Mr Filch di Aula Depan.
Prof. M. McGonagall
Dalam
kehebohan gara-gara begitu banyak angka yang dipotong dari Gryffindor,
Harry sudah lupa mereka masih harus menjalani detensi. Dia mengira
Hermione akan mengeluh karena mereka akan kehilangan waktu belajar
semalam, tetapi Hermione diam saja. Seperti Harry dia merasa mereka
pantas mendapat hukuman itu.
Pukul
sebelas malam itu mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ron di
ruang rekreasi dan pergi ke Aula Depan bersama Neville. Filch sudah ada—
begitu pula Malfoy. Harry juga sudah lupa bahwa Malfoy pun mendapat
detensi.
"Ikut
aku," kata Filch seraya menyalakan lampu dan mengajak mereka keluar.
"Taruhan, setelah ini kalian pasti berpikir dua kali dulu sebelum
melanggar peraturan sekolah, eh?" Dia menyeringai kepada mereka. "Oh
ya... kerja keras dan penderitaan adalah guru yang paling baik, kalau
kalian tanya padaku... sayangnya mereka tidak memakai lagi cara hukuman
yang dulu... menggantung kalian pada pergelangan tangan dari atap selama
beberapa hari, rantainya masih ada di kamarku, kuminyaki terus, siapa
tahu suatu kali diperlukan lagi... Baik, ayo kita berangkat, dan jangan
coba-coba kabur, makin parah lagi nanti bagi kalian."
Mereka menyeberangi lapangan gelap. Neville terus terisak.
Harry
bertanya-tanya hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Pasti
sesuatu yang mengerikan, kalau tidak Filch tidak akan sesenang ini.
Bulan
bersinar terang, tetapi awan-awan yang melintasinya berkali-kali
membuat mereka berjalan dalam kegelapan. Di depan, Harry bisa melihat
jendelajendela pondok Hagrid yang menyala. Kemudian dari kejauhan mereka
mendengar suara.
"Kaukah itu, Filch? Cepat, aku mau mulai."
Semangat
Harry bangkit. Jika ada Hagrid, keadaan tidak terlalu buruk.
Kelegaannya pastilah tampak di wajahnya, karena Filch berkata, "Rupanya
kau mengira kau akan bersenang-senang bersama orang kasar itu, ya? Pikir
lagi, Nak—kalian akan dibawa ke Hutan dan aku keliru sekali kalau
mengira kalian semua berhasil keluar utuh nanti."
Mendengar ini, Neville merintih dan Malfoy berhenti berjalan.
"Hutan?"
dia mengulang, dan suaranya tidak sesombong biasanya. "Kita tidak boleh
ke sana di malam hari—ada macammacam di sana—manusia serigala,
kudengar." Neville mencengkeram lengan jubah Harry dan mengeluarkan
suara tersedak.
"Salah
kalian sendiri, kan?" kata Filch, suaranya serak saking senangnya.
"Mestinya ingat soal manusia serigala itu sebelum melanggar peraturan,
ya, kan?"
Hagrid
berjalan ke arah mereka dari kegelapan, Fang membuntutinya. Dia membawa
busur besarnya, dan sekantong anak panah tergantung di bahunya.
"Sudah waktunya," katanya. "Aku sudah tunggu setengah jam. Baik-baik saja, Harry, Hermione?"
"Jangan terlalu ramah pada mereka, Hagrid," kata Filch dingin, "mereka kan akan dihukum."
"Itu
sebabnya kau telat, kan?" kata Hagrid kepada Filch, dahinya berkerut.
"Tadi kaumarahi mereka, ya? Bukan kewajibanmu. Tugasmu sudah selesai.
Biar kuambil alih sekarang."
"Aku
akan kembali besok pagi," kata Filch, "untuk mengambil entah apa yang
tersisa dari mereka," dia menambahkan dengan menyebalkan, sebelum
akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke kastil, lampunya terayun-ayun
dalam gelap.
Malfoy
sekarang menoleh kepada Hagrid. "Aku tak mau masuk Hutan itu," katanya,
dan Harry senang mendengar nada panik dalam suaranya.
"Harus, kalau kau mau tetap di Hogwarts," kata Hagrid galak. "Kau sudah lakukan kesalahan dan sekarang harus bayar."
"Tapi
ini untuk kelas pelayan, bukan untuk pelajar. Kukira kami akan disuruh
menulis atau yang semacamnya. Kalau ayahku tahu aku dihukum begini, dia
akan..."
"...
bilang padamu memang begitulah di Hogwarts," geram Hagrid. "Menulis!
Apa gunanya? Kau akan lakukan sesuatu yang berguna, kalau tidak mau,
keluar saja. Kalau kaupikir ayahmu lebih suka kau dikeluarkan, ya balik
saja ke kastil dan pak kopermu. Ayo!"
Malfoy tidak bergerak. Dia memandang Hagrid dengan marah, tetapi kemudian menunduk.
"Baiklah,"
kata Hagrid. "Sekarang dengar baik-baik, karena apa yang akan kita
lakukan malam ini berbahaya dan aku tak mau ada yang ambil risiko. Ikut
aku ke sini dulu."
Dia
membawa mereka sampai ke tepi Hutan. Seraya mengangkat lampunya
tinggi-tinggi, dia menunjuk jalan tanah setapak yang sempit dan
berkelok-kelok yang menghilang di antara pepohonan besar-besar dan
gelap. Angin sepoi menerbangkan rambut mereka ketika mereka memandang ke
dalam Hutan.
"Lihat di sana," kata Hagrid, "lihat yang berkilau di tanah itu?
Yang keperakan? Itu darah unicorn. Di dalam ada unicorn yang luka parah digigit entah apa. Ini kedua kalinya dalam seminggu.
Aku
temukan satu unicorn mati Rabu lalu. Kita akan cari makhluk malang itu.
Mungkin kita harus bebaskan dia dari penderitaannya."
"Dan
bagaimana kalau entah apa yang menggigit unicorn itu lebih dulu
menemukan kita?" kata Malfoy, tak sanggup menyembunyikan ketakutan dari
suaranya.
"Tak
ada satu pun di Hutan yang akan melukaimu kalau kau bersamaku atau
Fang," kata Hagrid. ''Dan ikuti jalan ini. Baik, sekarang kita bagi
menjadi dua rombongan dan kita ikuti jejak ke dua arah yang berlainan.
Ada bercak darah di mana-mana, paling tidak si unicorn sudah berkeliaran
kesakitan sejak semalam."
"Aku mau bersama Fang," kata Malfoy cepat-cepat, seraya memandang gigi Fang yang panjang-panjang.
"Baiklah, tapi kuingatkan kau, dia pengecut," kata Hagrid.
"Jadi
aku, Harry dan Hermione akan ke satu arah, sedangkan Draco, Neville,
dan Fang ke arah lain. Nah, kalau salah satu dari kita temukan unicorn
itu, kita kirim bunga api hijau, oke?
Keluarkan
tongkat kalian dan berlatihlah sekarang—bagus—dan kalau ada yang dapat
kesulitan, kirim bunga api merah, dan kami semua akan datang cari
kalian—jadi, hatihatilah—ayo berangkat."
Hutan
gelap dan sunyi. Tak lama kemudian jalan tanah itu bercabang. Harry,
Hermione, dan Hagrid menuju ke kiri, sedang Malfoy, Neville, dan Fang ke
kanan.
Mereka
berjalan dalam diam, mengarahkan pandangan ke tanah. Sekali-sekali
seberkas sinar bulan menembus dahan-dahan pepohonan di atas, menyinari
bercak darah biru keperakan di atas dedaunan yang rontok.
Harry melihat Hagrid tampak sangat cemas. "Mungkinkah manusia serigala membunuh unicorn-unicorn ini?" tanya Harry.
"Tidak cukup cepat," kata Hagrid. "Tak mudah tangkap unicorn, mereka makhluk magis yang kekuatannya luar biasa.
Tak pernah kulihat ada unicorn luka sebelumnya."
Mereka melewati tunggul pohon berlumut. Harry bisa mendengar aliran air. Pasti di dekat-dekat situ ada sungai.
Masih tampak bercak-bercak darah unicorn di sana-sini di sepanjang jalan berkelok itu.
"Kau
tak apa-apa, Hermione?" Hagrid berbisik. "Jangan khawatir, dia tak bisa
pergi jauh-jauh kalau lukanya separah ini dan nanti kita bisa me—KE
BALIK POHON ITU!"
Hagrid
menyambar Harry dan Hermione dan menarik mereka ke belakang pohon ek
besar. Ditariknya sebatang anak panah dan dipasangnya pada busurnya,
siap diluncurkan.
Ketiganya
mendengarkan. Sesuatu menggeleser di atas daundaun yang gugur di dekat
situ. Kedengarannya seperti jubah yang terseret di tanah. Hagrid
menyipitkan mata memandang jalan gelap itu, tetapi setelah beberapa
detik, bunyi itu semakin menjauh.
"Aku tahu," Hagrid bergumam. "Ada sesuatu di sini yang seharusnya tidak ada."
"Manusia serigala?" Harry mengusulkan.
"Itu bukan manusia serigala dan bukan unicorn juga," kata Hagrid muram. "Baik, ikuti aku, tapi hati-hati sekarang."
Mereka
berjalan lebih lambat, memasang telinga untuk menangkap bunyi paling
pelan sekalipun. Mendadak, di lapangan terbuka di depan mereka,
jelasjelas sesuatu bergerak.
"Siapa itu?" teriak Hagrid. "Perlihatkan dirimu. Aku bersenjata!"
Dan
ke tempat terbuka itu muncullah—apakah itu manusia atau kuda? Sampai
pinggang dia manusia, dengan rambut dan jenggot merah, tetapi di bawah
itu tubuh kuda cokelat berkilau, dengan ekor panjang kemerahan. Harry
dan Hermione ternganga.
"Oh, kau rupanya, Ronan," kata Hagrid lega. "Apa kabar?"
Hagrid maju dan menjabat tangan centaurus itu.
"Selamat malam, Hagrid," kata Ronan. Suaranya dalam dan sedih. "Apa kau tadi mau memanahku?"
"Tak
ada salahnya hati-hati, Ronan," kata Hagrid, membelai busurnya. "Ada
sesuatu yang jahat keliaran di Hutan ini. Ini Harry Potter dan Hermione
Granger. Murid Hogwarts. Dan ini Ronan, anak-anak. Dia centaurus."
"Kami sudah melihat," kata Hermione lemah.
"Selamat malam," kata Ronan. "Kalian pelajar, ya? Banyak yang kalian pelajari di sekolah?"
"Erm..."
"Sedikit," kata Hermione malu-malu.
"Sedikit. Yah, lumayan," Ronan menghela napas.
Dia menengadah, memandang langit. "Mars terang malam ini."
"Yeah,"
kata Hagrid, ikut memandang ke atas. "Dengar, aku senang kami bertemu
kau, Ronan, karena ada unicorn yang luka—kau lihat sesuatu?"
Ronan tidak langsung menjawab. Dia menatap ke atas tanpa berkedip, kemudian menghela napas lagi.
"Selalu saja yang tak bersalah jadi korban lebih dulu,"
katanya. "Begitulah sejak berabad-abad lalu, begitulah juga sekarang."
"Yeah," kata Hagrid, "tapi apa kau lihat sesuatu, Ronan?
Sesuatu yang luar biasa?"
"Mars terang malam ini," Ronan mengulangi sementara Hagrid memandangnya dengan tak sabar. "Luar biasa terang."
"Yeah, tapi yang kumaksud sesuatu yang lebih dekat ke tanah," kata Hagrid. "Jadi kau tidak lihat sesuatu yang luar biasa?"
Sekali lagi, perlu beberapa saat bagi Ronan untuk menjawab.
Akhirnya dia berkata, "Hutan ini menyembunyikan banyak rahasia."
Gerakan
di pepohonan di belakang Ronan membuat Hagrid mengangkat busurnya lagi,
tetapi ternyata hanya centaurus kedua, bertubuh dan berambut hitam, dan
kelihatan lebih liar daripada Ronan.
"Halo, Bane," kata Hagrid. "Kau tak apa-apa?"
"Selamat malam, Hagrid. Kuharap kau baik-baik saja."
"Cukup
baik. Begini, aku baru saja menanyai Ronan, kau lihat sesuatu yang aneh
di sini belakangan ini?" Bane maju berdiri di sebelah Ronan. Dia
menatap ke langit.
"Mars terang malam ini," cuma itu katanya.
"Kami sudah dengar," kata Hagrid sebal. "Kalau kalian lihat sesuatu, beritahu aku, ya? Kami akan jalan lagi sekarang."
Harry
dan Hermione mengikuti Hagrid meninggalkan tempat terbuka itu,
berkali-kali menoleh memandang Ronan dan Bane, sampai pohon-pohon
menutup pandangan mereka.
"Jangan
pernah," kata Hagrid jengkel, "coba mendapat jawaban langsung dari
centaurus. Pengamat bintang yang fanatik. Tak tertarik pada apa pun yang
lebih dekat daripada bulan."
"Apa ada banyak centaurus di sini?" tanya Hermione.
"Oh,
cukup banyak... Berkelompok dengan kaumnya sendiri, kebanyakan, tetapi
mereka bersedia muncul kalau aku perlu bicara. Mereka pemikir, centaurus
itu... mereka banyak tahu...
cuma tidak banyak bicara."
"Apakah menurutmu yang kita dengar tadi, sebelum ketemu Ronan, adalah centaurus?" tanya Harry.
"Apa kedengarannya seperti langkah kaki kuda bagimu?
Bukan, menurutku, tadi itu yang bunuh unicorn—belum pernah dengar yang seperti itu."
Mereka berjalan terus menembus pepohonan yang rapat dan gelap. Harry berkali-kali menoleh ke belakang dengan cemas.
Dia punya perasaan tak enak bahwa mereka sedang diawasi.
Dia senang Hagrid dan busurnya bersama mereka. Mereka baru saja membelok ketika Hermione mencengkeram lengan Hagrid.
"Hagrid! Lihat! Bunga api merah, yang lain dalam bahaya!"
"Kalian berdua tunggu sini!" teriak Hagrid. "Tetap di jalan ini, nanti aku kembali!"
Mereka
mendengar bunyi berkeresak ketika Hagrid menerobos belukar. Keduanya
saling pandang, sangat ketakutan, sampai mereka tak bisa mendengar
apa-apa lagi kecuali gesekan daun-daun di sekitar mereka.
"Menurutmu apakah mereka terluka?" bisik Hermione.
"Aku tak peduli kalau Malfoy luka, tetapi kalau terjadi sesuatu pada Neville... salah kitalah dia ada di sini."
Menit
demi menit berlalu lambat. Telinga mereka rasanya lebih tajam daripada
biasanya. Harry merasa bisa mendengar setiap desah angin, setiap derik
ranting. Apa yang terjadi? Di mana yang lain?
Akhirnya,
bunyi berkeresak keras menandakan kembalinya Hagrid. Malfoy, Neville,
dan Fang bersamanya. Hagrid berang sekali. Malfoy rupanya diam-diam
menyergap Neville dari belakang, maksudnya hanya untuk bergurau. Neville
panik dan mengirim bunga api.
"Kita
beruntung kalau masih bisa tangkap sesuatu sekarang, setelah
suara-suara yang kalian buat. Baik, kita ganti rombongan—Neville, kau
bersamaku dan Hermione. Harry, kau pergi bersama Fang dan idiot ini.
Sori," Hagrid menambahkan dengan berbisik kepada Harry, "tapi dia akan
lebih sulit menakut-nakutimu, dan kita harus selesaikan ini."
Maka
Harry menuju ke tengah Hutan bersama Malfoy dan Fang. Mereka berjalan
selama hampir setengah jam, makin jauh masuk ke Hutan, sampai jalan
tanah itu nyaris tak bisa diikuti lagi karena pepohonan begitu rapat.
Menurut Harry darahnya kelihatan semakin pekat. Ada cipratan di akar
sebatang pohon, seakan makhluk malang itu berputar-putar kesakitan di
dekat situ. Lewat celah di antara cabang-cabang pohon ek tua, Harry bisa
melihat tanah terbuka di depan mereka.
"Lihat...," gumamnya, merentangkan tangan untuk menghentikan Malfoy.
Sesuatu yang putih terang berkilauan di tanah. Mereka beringsut mendekat.
Ternyata
memang unicorn, dan dia sudah mati. Belum pernah Harry melihat sesuatu
seindah dan sesedih itu. Kakinya yang ramping panjang mencuat janggal di
tempat dia terjatuh dan surainya yang putih berkilau menjurai bagai
mutiara di atas daundaun yang gelap.
Harry
sudah maju selangkah mendekatinya ketika bunyi menggeleser membuatnya
terpaku di tempat. Semak di tepi tempat terbuka itu bergetar...
Kemudian, dari bayang kegelapan, muncul sosok berkerudung, merangkak di
tanah seperti binatang yang sedang mendekati mangsanya. Harry, Malfoy
dan Fang berdiri terpaku. Sosok berkerudung itu sudah tiba di samping
unicorn, menundukkan kepalanya ke arah luka di sisi tubuh unicorn, dan
mulai menyeruput darahnya.
"AAAAAAAAAARGH!"
Malfoy menjerit ngeri dan melesat kabur—begitu juga Fang.
Sosok
berkerudung itu mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada
Harry—darah unicorn menetes-netes ke bagian depan tubuhnya. Dia berdiri
dan berjalan cepat mendekati Harry—Harry sendiri tak bisa bergerak
saking takutnya.
Kemudian
rasa sakit menusuk kepalanya. Belum pernah Harry merasakan sakit
sepedih ini, seakan bekas lukanya terbakar—setengah buta, dia terhuyung
ke belakang.
Didengarnya bunyi tapak kuda di belakangnya, lari berderap, dan sesuatu melompatinya, menerjang sosok itu.
Sakit di kepala Harry tak tertahankan lagi, dia jatuh berlutut.
Satu-dua
menit kemudian barulah rasa sakit itu lenyap. Ketika Harry mendongak,
sosok itu telah lenyap. Centaurus berdiri di depannya. Bukan Ronan
ataupun Bane. Yang ini kelihatan lebih muda, rambutnya pirang dan tubuh
kudanya berbulu putih.
"Kau tak apa-apa?" tanya si centaurus seraya membantu Harry berdiri.
"Ya—terima kasih—tadi itu apa?"
Si
centaurus tidak menjawab. Mata birunya luar biasa, seperti batu safir
pucat. Dia memandang Harry dengan teliti, matanya lama terpancang pada
bekas luka hitam-kelabu yang tampak nyata di dahi Harry.
"Kau Harry Potter," katanya. "Sebaiknya kau kembali pada Hagrid. Hutan tidak aman pada saat ini— terutama untukmu.
Kau bisa naik kuda? Supaya lebih cepat.”
"Namaku Firenze," katanya menambahkan seraya menekuk kaki depannya, berlutut, agar Harry bisa naik ke punggungnya.
Mendadak
terdengar lebih banyak derap kaki kuda dari sisi lain tanah terbuka.
Ronan dan Bane muncul dari balik pepohonan, terengah-engah dan
berkeringat.
"Firenze!" gelegar Bane. "Apa yang kaulakukan? Ada manusia di punggungmu! Sungguh kau tak tahu malu.
Memangnya kau bagal angkut biasa?"
"Sadarkah kalian siapa ini?" kata Firenze. "Ini Harry Potter.
Lebih cepat dia meninggalkan hutan ini lebih baik."
"Kau
cerita apa saja kepadanya?" Bane menggeram. "Ingat, Firenze, kita sudah
disumpah untuk tidak mencampuri urusan langit. Bukankah kita sudah
membaca apa yang akan terjadi di pergerakan planet-planet?"
Ronan
mengais-ngais tanah dengan gelisah. "Aku yakin Firenze melakukan yang
menurutnya terbaik," kata Ronan dengan suaranya yang sedih. Bane
menyentakkan kaki belakangnya dengan berang.
"Terbaik!
Apa kaitannya dengan kita? Centaurus berurusan dengan apa yang telah
diramalkan! Bukan tugas kita untuk berkeliaran seperti keledai,
menyelamatkan manusia yang tersesat di Hutan kita!"
Firenze
mendadak berdiri di atas kaki belakangnya dengan gusar, sehingga Harry
harus berpegangan pada bahunya supaya tidak jatuh.
"Apa kau tidak melihat unicorn itu?" Firenze berteriak kepada Bane. "Apa kau tidak mengerti kenapa dia dibunuh?
Atau
apakah planet-planet tidak memberitahukan rahasia itu kepadamu? Aku
akan melawan apa yang bersembunyi di hutan ini, Bane, ya, bersama
manusia kalau perlu."
Dan
Firenze berputar; dengan Harry mencengkeram bahunya sebisa mungkin,
mereka masuk ke antara pepohonan, meninggalkan Ronan dan Bane di
belakang mereka.
Harry
sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. "Kenapa Bane begitu
marah?" dia bertanya. "Kau menyelamatkanku dari makhluk apa?"
Firenze
melambatkan larinya hingga akhirnya dia berjalan, memperingatkan Harry
agar menunduk supaya tidak menabrak dahan-dahan rendah, tetapi tidak
menjawab pertanyaannya.
Mereka menembus pepohonan dalam diam selama begitu lama sampai Harry mengira Firenze tidak mau lagi bicara padanya.
Mereka sedang melewati pepohonan yang sangat rapat, ketika Firenze tiba-tiba berhenti.
"Harry Potter, tahukah kau darah unicorn digunakan untuk apa?"
"Tidak," jawab Harry, kaget mendengar pertanyaan aneh itu.
"Kami cuma memakai tanduk dan rambut ekornya dalam pelajaran Ramuan."
"Itu
karena membunuh unicorn adalah perbuatan yang amat keji," kata Firenze.
"Hanya orang yang tak akan rugi, malah sangat diuntungkan, yang mau
melakukan kejahatan semacam itu. Darah unicorn akan membuatmu tetap
hidup, bahkan kalau kau sudah tinggal sejengkal dari kematian, tetapi
harga yang harus dibayar mengerikan sekali. Kau telah membunuh sesuatu
yang murni dan tak berdaya untuk menyelamatkan dirimu dan kau hanya akan
setengah hidup, hidup yang terkutuk, begitu darah unicorn menyentuh
bibirmu."
Harry menatap bagian belakang kepala Firenze, yang berkilau keperakan tertimpa cahaya bulan.
"Tetapi siapa yang begitu putus asa?" tanyanya. "Kalau kau akan dikutuk selamanya, lebih baik mati, kan?"
"Memang,"
kata Firenze, "kecuali yang kauperlukan hanyalah bertahan hidup cukup
lama untuk meminum sesuatu yang lain—sesuatu yang bisa mengembalikan
kekuatan dan kekuasaanmu sepenuhnya—sesuatu yang berarti kau tak akan
bisa mati. Mr Potter, tahukah kau apa yang disembunyikan di sekolah saat
ini?"
"Batu Bertuah! Tentu saja—Cairan Kehidupan! Tapi aku tak mengerti siapa..."
"Tak
terpikirkah olehmu seseorang yang telah menunggu bertahun-tahun untuk
kembali berkuasa, yang bertahan hidup, menunggu datangnya kesempatan?"
Seakan
ada tangan besi yang mendadak mencengkeram jantung Harry. Di antara
bunyi keresak dedaunan, seakan dia mendengar lagi apa yang dikatakan
Hagrid pada malam mereka bertemu untuk pertama kalinya: "Ada yang bilang
dia mati.
Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati."
"Maksudmu," kata Harry serak, "tadi itu Vol..."
"Harry! Harry, kau tak apa-apa?"
Hermione berlari ke arah mereka, Hagrid terengahengah di belakangnya.
"Aku
baik-baik saja," kata Harry, hampir tak memahami apa yang diucapkannya.
"Unicorn-nya mati, Hagrid, di tanah kosong di belakang sana."
"Sekaranglah saatnya aku meninggalkanmu,"
Firenze bergumam sementara Hagrid bergegas memeriksa unicorn. "Kau sudah aman sekarang."
Harry meluncur turun dari punggungnya.
"Semoga
selamat, Harry Potter," kata Firenze. "Planet-planet pernah ditafsirkan
secara keliru sebelum ini, bahkan oleh centaurus. Kuharap ini salah
satu di antara kekeliruan itu."
Firenze berbalik dan melangkah kembali ke dalam Hutan, meninggalkan Harry gemetar di belakangnya.
***
Ron tertidur di ruang rekreasi yang gelap, menunggu mereka pulang.
Dia
mengigau, meneriakkan sesuatu tentang pelanggaran dalam pertandingan
Quidditch ketika Harry mengguncangnya keras-keras, membangunkannya.
Dalam beberapa detik saja matanya sudah terbuka lebar ketika Harry mulai
bercerita kepadanya dan Hermione, tentang apa yang terjadi di Hutan.
Harry tak bisa duduk. Dia mondar-mandir di depan perapian.
Dia masih gemetar.
"Snape menginginkan Batu Bertuah itu untuk Voldemort...
dan Voldemort menunggu di Hutan... dan selama ini kita mengira Snape hanya sekadar ingin kaya..."
"Jangan ucapkan lagi nama itu!" bisik Ron ketakutan, seakan dia mengira Voldemort bisa mendengar mereka.
Harry tidak mendengarkan.
"Firenze menyelamatkan aku, tetapi seharusnya tidak boleh...
Bane
marah sekali... katanya mereka tidak boleh ikut campur dengan apa yang
telah diramalkan planet-planet... Planet-planet itu pastilah menunjukkan
bahwa Voldemort akan kembali...
Bane berpendapat Firenze seharusnya membiarkan Voldemort membunuhku... Kurasa itu juga sudah tertulis pada bintangbintang."
"Jangan
sebut-sebut lagi nama itu!" desis Ron. "Jadi sekarang aku tinggal
menunggu Snape mencuri batu itu," kata Harry tegang. "Setelah itu
Voldemort bisa datang dan menghabisiku...
Yah, kurasa Bane akan senang.” Hermione kelihatan sangat ketakutan, tetapi dia menghibur Harry.
“Harry,
semua orang bilang Dumbledore-lah satu-satunya orang yang ditakuti
Kau-Tahu-Siapa. Kalau ada Dumbledore, Kau-Tahu-Siapa tidak akan
menyentuhmu. Lagi pula, siapa bilang centaurus benar? Bagiku
kedengarannya seperti ramalan, dan Profesor McGonagall bilang itu cabang
ilmu gaib yang paling tidak tepat.”
Langit sudah berubah terang sebelum mereka berhenti bicara.
Mereka berangkat tidur dalam kelelahan, kerongkongan mereka sakit. Tetapi kejutan-kejutan malam itu belum berakhir.
Ketika
Harry menarik penutup tempat tidurnya, dia menemukan Jubah Gaib-nya di
bawahnya. Ada kertas yang disematkan pada jubah itu, dengan pesan
berikut: Siapa tahu perlu.
***
16. Menembus Pintu Jebakan
DI
TAHUN-TAHUN mendatang, Harry tidak bisa ingat bagaimana persisnya dia
bisa mengerjakan soal-soal ujiannnya ketika dia setengah percaya
Voldemort bisa menerobos masuk setiap saat. Tetapi hari-hari berlalu dan
tak ada keraguan Fluffy masih hidup dan sehat di balik pintu tertutup.
Udara
panas sekali, terutama di ruang kelas besar tempat mereka mengerjakan
ujian tertulis. Kepada mereka dibagikan pena bulu baru khusus untuk
ujian, pena yang telah disihir dengan mantra anti menyontek.
Mereka
juga ujian praktek. Profesor Flitwick memanggil mereka satu per satu ke
dalam kelas untuk menguji apakah mereka bisa membuat nenas menari di
atas meja. Profesor McGonagall mengawasi mereka mengubah tikus menjadi
kotak tembakau—angka diberikan sesuai dengan seberapa indahnya kotak
tembakau itu, tetapi dikurangi jika kotak itu punya kumis.
Snape membuat mereka gugup, terus menempel sementara mereka mencoba mengingat bagaimana membuat Ramuan Lupa.
Harry
mengerjakan tugas-tugasnya sebaik mungkin, berusaha mengabaikan rasa
sakit yang menusuk-nusuk dahinya, yang terus mengganggunya sejak
perjalanannya ke Hutan. Neville mengira Harry senewen berat gara-gara
ujian karena Harry tak bisa tidur, tetapi kenyataannya adalah Harry
berkali-kali terbangun gara-gara mimpi buruknya yang dulu, hanya saja
sekarang mimpi itu lebih mengerikan, karena ada sosok berkerudung dengan
darah menetes-netes di dalam mimpinya.
Mungkin
karena mereka tidak melihat apa yang dilihat Harry di dalam Hutan, atau
karena mereka tidak memiliki bekas luka yang terasa panas membara di
dahi mereka, tetapi Ron dan Hermione tidak secemas Harry memikirkan batu
itu. Voldemort tentu saja membuat mereka takut, tetapi dia tidak
mendatangi mereka berkali-kali dalam mimpi, dan mereka terlalu sibuk
belajar sehingga tak puny a banyak waktu untuk mencemaskan apa yang akan
dilakukan Snape atau penyihir jahat lainnya.
Ujian
terakhir mereka adalah Sejarah Sihir. Setelah satu jam menjawab
berbagai pertanyaan tentang penyihir nyentrik yang menemukan kuali yang
bisa mengaduk sendiri, mereka akan bebas—bebas selama seminggu penuh
yang menyenangkan sampai hasil ujian mereka diumumkan. Ketika hantu
Profesor Binns menyuruh mereka meletakkan pena bulu dan menggulung
perkamen mereka, Harry ikut bersorak bersama yang lain.
"Ujiannya
lebih mudah daripada dugaanku," kata Hermione, ketika mereka bergabung
dengan gerombolan anak-anak keluar ke lapangan yang disinari matahari.
"Aku tak perlu menghafalkan Kitab Peri Laku Manusia Serigala Tahun 1637
atau pemberontakan Elfric si Penuh Semangat."
Hermione
senang mendiskusikan soal-soal ujiannya, tetapi Ron mengatakan ini
membuatnya pusing, maka mereka pergi ke danau dan duduk di bawah pohon.
Si kembar Weasley dan Lee Jordan sedang menggelitik sungut cumi-cumi
raksasa yang sedang menghangatkan diri di air yang dangkal.
"Tak
perlu lagi belajar," Ron menghela napas dengan senang, berbaring di
atas rumput. "Ceria sedikit dong, Harry, kita punya waktu seminggu
sebelum kita tahu ujian kita jeblok. Sekarang tak perlu cemas."
Harry menggosok-gosok dahinya.
"Aku
ingin tahu apa artinya ini!" celetuknya jengkel. "Bekas lukaku sakit
terus—sebelumnya memang pernah sakit, tapi tidak sesering ini."
"Pergilah ke Madam Pomfrey," Hermione mengusulkan.
"Aku tidak sakit," kata Harry. "Kurasa ini peringatan...
artinya akan ada bahaya..."
Ron tak bisa diajak kompromi, hawa terlalu panas.
"Harry,
santai saja. Hermione benar. Batu itu aman selama Dumbledore ada. Lagi
pula, kita tak pernah punya bukti Snape sudah menemukan cara melewati
Fluffy. Kakinya pernah nyaris copot satu kali, dia tidak akan buru-buru
mencoba lagi. Dan Neville akan main Quidditch untuk tim Inggris sebelum
Hagrid mengecewakan Dumbledore."
Harry
mengangguk, tetapi dia tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa ada
sesuatu yang lupa dia lakukan, sesuatu yang penting. Ketika dia mencoba
menjelaskan soal ini, Hermione berkata, "Itu cuma dampak ujian. Semalam
aku terbangun dan sudah membaca setengah buku catatan Transfigurasi-ku
sebelum aku ingat ujian itu sudah selesai."
Meskipun
demikian, Harry yakin perasaannya yang galau tidak ada hubungannya
dengan ujian. Dia memandang seekor burung hantu terbang menuju sekolah
melintasi langit biru cerah, paruhnya menggigit surat. Hagrid-lah
satu-satunya orang yang pernah mengiriminya surat. Hagrid tak akan
pernah mengkhianati Dumbledore.
Hagrid tak akan pernah memberitahu siapa pun bagaimana caranya melewati Fluffy... tak pernah... tetapi...
Mendadak Harry melompat bangun.
"Mau ke mana kau?" tanya Ron mengantuk.
"Baru saja terpikir olehku," kata Harry Wajahnya sudah menjadi pucat. "Kita harus menemui Hagrid sekarang."
"Kenapa?" Hermione tersengal, berusaha mengejar Harry.
"Tidakkah
menurut kalian agak aneh," kata Harry sambil mendaki lereng berumput,
"bahwa Hagrid sangat ingin memiliki naga, dan tiba-tiba saja muncul
orang asing yang kebetulan punya telur naga dalam kantongnya? Berapa
orang sih yang bepergian membawa telur naga, padahal sebetulnya itu
dilarang oleh undang-undang penyihir? Untung mereka menemukan Hagrid,
iya, kan? Kenapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya?"
"Apa sih maksudmu?" tanya Ron. Tetapi Harry yang berlari menyeberangi lapangan menuju. tepi Hutan, tidak menjawab.
Hagrid sedang duduk di kursi berlengan di luar rumahnya.
Celana
panjang dan lengan kemejanya digulung dan dia sedang mengupas kacang
polong yang kemudian dimasukkannya ke dalam mangkuk besar.
"Halo," sapanya, tersenyum. "Selesai ujian? Ada waktu untuk minum?"
"Ada," kata Ron, tetapi Harry menyelanya.
"Tidak, kami sedang buru-buru. Hagrid, aku harus tanya sesuatu padamu. Kau ingat malam kau memenangkan Norbert?
Seperti apa orang asing yang main kartu denganmu itu?"
"Tak tahu," kata Hagrid santai, "dia tak mau lepas kerudungnya." Hagrid melihat mereka bertiga kaget dan dia mengangkat alisnya.
"Tidak
begitu luar biasa, ada banyak orang aneh di Hog's Head—itu nama tempat
minum di desa itu. Mungkin saja dia pedagang naga, kan? Aku tak pernah
lihat mukanya, kerudungnya dipakai terus."
Harry terenyak duduk di sebelah mangkuk kacang polong.
"Apa yang kauobrolkan dengannya? Apa kau menyebut-nyebut Hogwarts?"
"Mungkin
saja," kata Hagrid mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat.
"Yeah... dia tanya aku kerja apa, dan kukatakan aku pengawas binatang
liar di sini... Dia tanya-tanya sedikit tentang makhluk-makhluk apa yang
kupelihara... jadi kuceritakan... dan. kubilang yang sebetulnya
kuinginkan adalah naga... dan kemudian... aku tak ingat persis, karena
dia terus-terusan belikan aku minum... Coba kuingat... yeah, kemudian
dia bilang dia punya telur naga dan kami bisa main kartu dengan telur
itu sebagai taruhannya kalau aku mau... tapi dia harus yakin aku bisa
rawat naganya, dia tak mau telur naganya jatuh ke rumah sembarangan.
Jadi kubilang, setelah Fluffy, naga sih barang mudah..."
"Dan apakah dia—apakah dia kelihatannya tertarik pada Fluffy?" Harry bertanya, berusaha agar suaranya tetap tenang.
"Nah—yeah—ada
berapa anjing kepala tiga yang kautemui, bahkan di Hogwarts sekalipun?
Jadi kuceritakan, Fluffy barang mudah kalau kau tahu cara menenangkan
dia. Mainkan saja musik, maka dia akan langsung tertidur..."
Mendadak Hagrid tampak ketakutan.
"Seharusnya tak kuceritakan pada kalian!" sergah Hagrid.
"Lupakan saja apa yang barusan aku bilang! Hei—mau ke mana kalian?"
Harry,
Ron, dan Hermione sama sekali tidak saling bicara sampai mereka
berhenti di Aula Depan, yang terasa sangat dingin dan suram dibanding
lapangan di luar.
"Kita
harus menemui Dumbledore," kata Harry. "Hagrid memberitahu orang asing
itu cara melewati Fluffy, dan entah Snape atau Voldemort di bawah
kerudung itu—pasti soal gampang, begitu dia berhasil membuat Hagrid
mabuk. Kuharap saja Dumbledore mempercayai kita. Firenze mungkin mau
mendukung kita kalau Bane tidak melarangnya. Di mana kantor Dumbledore?"
Mereka
memandang berkeliling, seakan berharap melihat papan yang bisa
menunjukkan arah yang benar. Mereka tak pernah diberitahu di mana
Dumbledore tinggal, dan mereka pun belum pernah bertemu seseorang yang
pernah pergi ke kediaman Dumbledore.
"Kita harus...," Harry baru mulai berkata ketika mendadak terdengar suara dari seberang aula.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Profesor McGonagall, membawa setumpuk buku.
"Kami ingin menemui Profesor Dumbledore," kata Hermione, agak nekat, pikir Harry dan Ron.
"Menemui Profesor Dumbledore?" Profesor McGonagall mengulang, seakan itu hal yang sangat aneh. "Kenapa?"
Harry menelan ludah—sekarang bagaimana?
"Ini semacam rahasia," katanya, lalu langsung menyesal, karena lubang hidung Profesor McGonagall melebar.
"Profesor Dumbledore berangkat sepuluh menit yang lalu,"
katanya dingin. "Dia menerima panggilan penting dari Kementerian Sihir dan langsung terbang ke London."
"Dia pergi?" kata Harry panik. "Sekarang?"
"Profesor Dumbledore penyihir hebat, Potter, urusannya banyak..."
"Tapi ini penting."
"Sesuatu yang ingin kausampaikan lebih penting daripada Kementerian Sihir, Potter?"
"Soalnya," kata Harry yang sudah tidak menutup-nutupi lagi,
"Profesor—ini tentang Batu Bertuah..."
Entah
apa yang diharapkan Profesor McGonagall, pasti bukan itu. Buku-buku
yang dibawanya berjatuhan dari tangannya, tetapi dia tidak memungutnya.
"Bagaimana kau tahu...?" tanyanya gugup.
"Profesor,
saya rasa—saya tahu—bahwa Sn—ada orang yang akan mencoba mencuri batu
itu. Saya harus bicara dengan Profesor Dumbledore."
Profesor McGonagall menatapnya dengan kaget bercampur curiga.
"Profesor
Dumbledore akan kembali besok," katanya akhirnya. "Aku tak tahu
bagaimana kalian sampai bisa tahu tentang batu itu, tetapi tenanglah,
tak se-orang pun bisa mencurinya, perlindungannya sangat ketat."
"Tapi, Profesor..."
"Potter, aku tahu apa yang kubicarakan," katanya pendek.
Dia membungkuk dan mengumpulkan buku-bukunya yang jatuh. "Kusarankan kalian semua kembali keluar dan menikmati sinar matahari."
Tetapi mereka tidak melakukan itu.
"Pasti
malam ini," kata Harry, begitu dia yakin Profesor McGonagall tak bisa
mendengarnya. "Snape akan masuk lewat pintu jebakan malam ini. Dia sudah
berhasil mengetahui semua yang diperlukannya dan dia berhasil
menyingkirkan Dumbledore. Dialah yang mengirim surat itu. Pasti
Kementerian Sihir akan kaget begitu Dumbledore muncul."
"Tapi apa yang bisa kita..."
Hermione terperangah. Harry dan Ron berbalik.
Ada Snape.
"Selamat sore," katanya lancar.
Mereka terbelalak memandangnya.
"Kalian seharusnya tidak berada di dalam pada hari seindah ini," katanya dengan senyum aneh.
"Kami baru...," kata Harry tanpa tahu apa yang akan dikatakannya.
"Kalian
seharusnya lebih hati-hati," kata Snape. "Kasak-kusuk begini,
orang-orang akan mengira kalian hendak berbuat sesuatu. Dan riskan
sekali bagi Gryffindor kalau kehilangan angka lebih banyak lagi, kan?"
Wajah Harry memerah. Mereka berbalik hendak keluar, tetapi Snape memanggil mereka kembali.
"Ingat, Potter—sekali lagi berkeliaran di malam hari, aku sendiri yang akan memastikan kau dikeluarkan. Selamat sore."
Dia berjalan menuju ruang guru. Menuruni undakan batu di luar, Harry menoleh kepada kedua temannya.
"Baik,
ini yang akan kita lakukan," bisiknya tegang. "Salah satu dari kita
harus memata-matai Snape— tunggu di luar ruang guru dan ikuti dia kalau
dia keluar. Hermione, sebaiknya kau saja."
"Kenapa aku?"
"Jelas kenapa," kata Ron. "Kau bisa berpura-pura sedang menunggu Profesor Flitwick, kan." Ron meninggikan suaranya.
"Oh, Profesor Flitwick, saya cemas sekali, saya rasa jawaban saya untuk soal empat belas b salah..."
"Oh,
diam kau," kata Hermione, tetapi dia setuju memata-matai Snape. "Dan
kami lebih baik berjaga di luar koridor lantai tiga," kata Harry kepada
Ron. "Ayo."
Tetapi
bagian rencana yang ini tidak bisa dilaksanakan. Baru saja mereka tiba
di pintu yang memisahkan Fluffy dari bagian lain sekolah, Profesor
McGonagall muncul lagi, dan kali ini dia marah sekali.
"Rupanya kalian pikir kalian lebih susah ditembus daripada satu set mantra sihir!" semburnya. "Cukup omong kosong ini!
Kalau
kudengar kalian berada dekat-dekat sini lagi, aku akan mengurangi lima
puluh angka lagi dari Gryffindor! Ya, Weasley, dari asramaku sendiri!"
Harry
dan Ron kembali ke ruang rekreasi. Harry baru saja berkata, "Paling
tidak Hermione mengawasi Snape," ketika lukisan Nyonya Gemuk berayun
terbuka dan Hermione masuk.
"Sori,
Harry!" ratapnya. "Snape keluar dan bertanya aku sedang apa, jadi
kukatakan aku menunggu Flitwick, dan Snape masuk memanggilkan dia.
Terpaksa aku buru-buru menyingkir.
Aku tak tahu Snape ke mana."
"Apa
boleh buat kalau begitu, kan?" kata Harry. Kedua temannya menatapnya.
Wajah Harry pucat dan matanya berkilauan. "Aku akan ke sana malam ini
dan aku akan berusaha mendapatkan batu itu lebih dulu."
"Kau gila!" kata Ron.
"Jangan!" cegah Hermione. "Setelah McGonagall dan Snape mengancammu seperti itu? Kau akan dikeluarkan!"
"JADI KENAPA?" teriak Harry. "Tidak mengertikah kalian?
Jika
Snape berhasil mendapatkan batu itu, Voldemort akan kembali! Tidak
pernahkah kalian dengar bagaimana keadaannya ketika dia mencoba
mengambil alih kekuasaan? Tak ada lagi Hogwarts, jadi kita tak bisa
dikeluarkan! Dia akan merobohkannya, atau mengubahnya menjadi sekolah
untuk Sihir Hitam! Kehilangan angka tidak berarti lagi, tidakkah kalian
paham? Apakah kalian pikir dia akan membiarkan kalian dan keluarga
kalian hidup tenang jika Gryffindor memenangkan Piala Asrama? Kalau aku
tertangkap sebelum mencapai tempat batu itu disimpan, yah, aku harus
kembali ke keluarga Dursley dan menunggu Voldemort menemukanku di sana.
Itu cuma berarti aku menunda kematian sebentar, karena aku tak mau
menyeberang ke Sihir Hitam! Aku akan menembus pintu jebakan malam ini
dan apa pun yang kalian katakan, takkan bisa mencegahku! Voldemort
membunuh orangtuaku, ingat?"
Dia mendelik menatap mereka.
"Kau betul, Harry," kata Hermione pelan.
"Aku akan memakai Jubah Gaib," kata Harry. "Untunglah jubah itu dikembalikan kepadaku."
"Tapi apa jubah itu bisa menyelubungi kita bertiga?" tanya Ron.
"Ki-kita bertiga?"
"Oh, tentu, mana mungkin kami membiarkanmu pergi sendiri?"
"Tentu
saja tidak," kata Hermione tegas. "Kaupikir bagaimana kau bisa mencapai
tempat batu tanpa kami? Lebih baik aku mencari di buku-bukuku, siapa
tahu ada yang berguna..."
"Tetapi kalau kita tertangkap, kalian berdua akan dikeluarkan juga."
"Tidak, kalau bisa kucegah," kata Hermione muram.
"Flitwick
memberitahuku rahasia, bahwa aku mendapat seratus dua belas persen
dalam pelajarannya. Mereka tidak akan mengeluarkanku dengan nilai
setinggi itu."
***
Sesudah
makan malam mereka bertiga duduk gelisah, memisahkan diri di ruang
rekreasi. Tak ada yang mengganggu mereka; toh tak seorang anak
Gryffindor pun mau bicara lagi dengan Harry. Malam ini pertama kalinya
Harry tidak merasa sedih karenanya. Hermione membaca sekilas semua
catatannya, berharap menemukan salah satu sihir yang akan mereka coba
punahkan. Harry dan Ron tidak banyak bicara. Keduanya memikirkan apa
yang sebentar lagi akan mereka lakukan.
Perlahan ruangan menjadi kosong ketika anak-anak satu demi satu pergi tidur.
"Lebih baik ambil jubahnya sekarang," gumam Ron, ketika akhirnya Lee Jordan pergi sambil menggeliat dan menguap.
Harry
berlari ke atas, ke kamar mereka yang gelap. Ditariknya jubahnya dan
kemudian terlihat olehnya sending hadiah Natal dari Hagrid.
Dikantonginya seruling itu untuk digunakan pada Fluffy—dia sedang tak
ingin menyanyi.
Harry berlari kembali ke ruang rekreasi.
"Lebih
baik kita pakai jubahnya di sini, dan kita pastikan jubah ini
menyelubungi kita bertiga—kalau Filch melihat sepotong kaki kita
berjalan sendiri..."
"Apa
yang kalian lakukan?" terdengar suara dari sudut ruangan. Neville
muncul dari balik kursi, memegangi Trevor si katak, yang kelihatannya
bam saja mencoba kabur.
"Tidak
apa-apa, Neville," kata Harry cepat-cepat, menyembunyikan jubah di
belakang punggungnya. Neville menatap wajah mereka yang bersalah.
"Kalian akan keluar lagi," komentarnya.
"Tidak, tidak, tidak," kata Hermione. "Kami tidak akan keluar. Kenapa kau tidak tidur saja, Neville?"
Harry memandang jam besar yang berdiri dekat pintu.
Mereka tak bisa lagi membuang-buang waktu. Mungkin sekarang Snape sedang main musik untuk menidurkan Fluffy.
"Kalian tak boleh keluar," kata Neville, "kalian akan tertangkap lagi. Gryffindor akan lebih parah."
"Kau tidak mengerti," kata Harry. "Ini penting." Tetapi Neville jelas menguatkan diri untuk bertindak nekat.
"Tak akan kubiarkan kalian keluar," katanya sambil bergegas berdiri di depan lubang lukisan. "Aku—aku akan melawan kalian!"
"Neville," Ron meledak, "minggir dari lubang itu dan jangan bego..."
"Jangan
menyebutku bego!" kata Neville. "Menurutku kalian tak boleh lagi
melanggar peraturan! Dan kalianlah yang menasihatiku agar berani melawan
yang tidak benar!"
"Ya, tapi bukan terhadap kami," kata Ron putus asa.
"Neville, kau tak tahu apa yang kaulakukan."
Ron maju selangkah dan Neville menjatuhkan Trevor si katak yang langsung melompat lenyap dari pandangan.
"Ayo, kalau begitu, coba pukul aku!" kata Neville, mengangkat tinjunya. "Aku siap!"
Harry menoleh kepada Hermione.
"Lakukan sesuatu," katanya putus asa.
Hermione maju.
"Neville,"
katanya, "aku minta maaf, aku terpaksa berbuat begini." Diangkatnya
tongkatnya. "Petrificus Totalus!" serunya, seraya menunjuk Neville.
Lengan Neville mengatup ke sisi tubuhnya. Kedua kakinya saling menempel.
Seluruh tubuhnya menjadi kaku, dia terhuyung di tempatnya berdiri dan
kemudian jatuh terjerembap, kaku seperti papan.
Hermione
berlari untuk menelentangkannya. Rahang Neville terkunci sehingga dia
tidak bisa bicara. Hanya matanya yang bergerak-gerak, memandang mereka
dengan ngeri.
"Apa yang kaulakukan kepadanya?" bisik Harry.
"Kutukan Ikat Tubuh Sempurna," kata Hermione merana.
"Oh, Neville, sori-sori-sori."
"Kami terpaksa, Neville, tak ada waktu untuk menjelaskan,"kata Harry.
"Kau akan mengerti nanti, Neville," kata Ron, ketika mereka melangkahinya dan memakai Jubah Gaib.
Tetapi
meninggalkan Neville yang tak bisa bergerak terbaring di lantai,
rasanya bukan pertanda yang baik. Dalam keadaan cemas, bagi mereka
bayangan patung kelihatan seperti Filch, semua desau angin di kejauhan
terdengar seperti Peeves yang meluncur turun ke arah mereka.
Di kaki tangga pertama mereka melihat Mrs Norris mengendap-endap di dekat puncak tangga.
"Oh,
ayo kita tendang dia, kali ini saja," bisik Ron ke telinga Harry,
tetapi Harry menggeleng. Ketika mereka hati-hati naik melewatinya, Mrs
Norris mengarahkan matanya yang seperti senter kepada mereka, tetapi
tidak berbuat apa-apa.
Mereka
tidak bertemu siapa-siapa lagi sampai tiba di tangga menuju ke lantai
tiga. Peeves sedang berada di tengah tangga, melepas karpetnya supaya
orang yang lewat tersandung.
"Siapa itu?" katanya tiba-tiba ketika mereka naik ke arahnya.
Dia
menyipitkan mata hitamnya yang kejam. "Aku tahu kau di situ, meskipun
aku tak bisa melihatmu. Apakah kau hantu atau murid bandel?"
Peeves melayang ke atas dan memandang mereka.
"Harus panggil Filch, harus, kalau ada makhluk tidak tampak berkeliaran."
Mendadak Harry mendapat ide.
"Peeves," katanya, berbisik serak, "Baron Berdarah punya alasan sendiri untuk tidak menampakkan diri."
Peeves nyaris jatuh dari udara saking kagetnya.
Tapi dia berhasil menguasai diri dan melayang kirakira tiga puluh senti dari tangga.
"Maaf
sekali, Yang Berdarah, Mr Baron, Sir," katanya menjilat. "Salahku,
salahku—aku tidak melihatmu— tentu saja tidak, kau tidak
kelihatan—maafkan gurauan kecil Peevsie, Sir."
"Aku ada urusan di sini, Peeves," kata Harry serak. "Pergilah jauh-jauh dari tempat ini malam ini."
"Baik, Sir, aku akan pergi," kata Peeves, melayang naik lagi.
"Mudah-mudahan urusanmu berjalan lancar, Baron. Aku tidak akan mengganggumu."
Dan dia pun melayang pergi.
"Brilian, Harry!" bisik Ron.
Beberapa detik kemudian, mereka sudah berada di luar koridor lantai tiga—dan pintunya sudah menganga sedikit.
"Wah," kata Harry muram. "Rupanya Snape sudah berhasil melewati Fluffy."
Melihat
pintu yang terbuka itu, ketiganya menyadari apa yang akan mereka
hadapi. Di bawah selubung jubah, Harry menoleh kepada kedua temannya.
"Jika
kalian ingin kembali, aku tidak akan menyalahkan kalian," katanya.
"Kalian boleh memakai jubah ini, aku sudah tidak memerlukannya lagi
sekarang."
"Jangan bodoh," kata Ron.
"Kami ikut," kata Hermione.
Harry mendorong pintu hingga terbuka.
Ketika
pintu itu berderit, telinga mereka menangkap bunyi geraman rendah.
Ketiga pasang cuping hidung anjing itu mengendus-endus liar ke arah
mereka, meskipun tidak bisa melihat mereka.
"Apa itu di kakinya?" bisik Hermione.
"Kelihatannya harpa," jawab Ron. "Tentu Snape yang meninggalkannya di situ."
"Anjing itu pastilah langsung terbangun begitu Snape berhenti bermain," kata Harry "Nah, sekarang giliran kita...."
Harry
meletakkan seruling Hagrid ke bibirnya dan meniupnya. Tak bisa disebut
lagu, tetapi begitu mendengar nada pertama, mata binatang itu mulai
meredup. Harry nyaris tak berani menarik napas. Perlahan-lahan, geraman
anjing itu mereda—dia terhuyung dan mendekam pada lututnya, lalu ambruk
ke lantai, tertidur nyenyak.
"Mainkan
terus," Ron memperingatkan Harry ketika mereka keluar dari bawah jubah
dan berjingkat menuju ke pintu jebakan. Mereka bisa merasakan napas si
anjing yang panas dan berbau ketika mereka mendekati kepala-kepala
raksasa itu.
"Kurasa kita akan bisa membuka pintunya," kata Ron, melongok melewati punggung si anjing. "Mau masuk duluan, Hermione?"
"Tidak."
"Baiklah."
Ron mengertakkan gigi dan hati-hati melangkahi kaki si anjing. Dia
membungkuk dan menarik gelang-gelang pada pintu jebakan, yang langsung
menjeblak ke atas dan membuka.
"Apa yang bisa kaulihat?" tanya Hermione cemas.
"Tidak ada—cuma gelap—tak ada tangga turun, kita harus lompat."
Harry yang masih meniup seruling, melambai kepada Ron dan menunjuk-nunjuk dirinya.
"Kau mau turun duluan? Yakin?" tanya Ron.
"Aku tak tahu seberapa dalamnya. Berikan serulingnya kepada Hermione supaya dia bisa membuat anjing itu terus tidur."
Harry
menyerahkan serulingnya. Dalam beberapa detik tanpa tiupan seruling,
anjing itu menggeram dan bergerak, tetapi begitu Hermione mulai
meniupnya, dia kembali tidur nyenyak.
Harry melompati si anjing dan memandang ke bawah lewat lubang pintu jebakan. Dasarnya sama sekali tak kelihatan.
Dia
turun ke dalam lubang sampai cuma bergantung pada ujung jari-jarinya.
Kemudian dia mendongak kepada Ron dan berkata, "Kalau terjadi sesuatu
padaku, jangan susul aku.
Langsung pergi ke kandang burung hantu dan kirim Hedwig ke Dumbledore. Oke?"
"Oke," kata Ron.
"Sampai ketemu sebentar lagi, mudah-mudahan...."
Dan Harry melepas pegangannya. Udara dingin dan lembap menerpanya sementara dia terjatuh, makin lama makin dalam dan...
BLUK.
Dengan bunyi gedebuk yang seakan teredam, dia mendarat pada sesuatu
yang lunak. Harry duduk dan meraba-raba, matanya belum terbiasa pada
keremangan di situ. Dia serasa duduk di atas sejenis tanaman.
"Aman!" teriaknya ke arah cahaya sebesar prangko yang merupakan pintu jebakan. "Tempat mendaratnya lunak, kau bisa lompat!"
Ron langsung menyusul. Dia mendarat telentang di sebelah Harry.
"Apa
ini?" adalah kata-katanya yang pertama. "Entahlah, semacam tanaman.
Kurasa ada di sini untuk menahan pendaratan. Ayo, Hermione!"
Suara
musik di kejauhan berhenti. Terdengar gong-gong keras anjing, tetapi
Hermione sudah melompat. Dia mendarat di sisi lain Harry.
"Pastilah kita beribu-ribu meter di bawah sekolah," katanya.
"Untung ada tanaman ini di sini," kata Ron.
"Untung?!" jerit Hermione. "Lihat kalian berdua!"
Hermione
melompat dan berusaha menuju dinding yang lembap. Dia harus berkutat
karena begitu dia mendarat, tanaman itu langsung melilitkan sulur-sulur
seperti ular di sekeliling pergelangan kakinya. Sedangkan Harry dan Ron,
tanpa mereka sadari, kaki mereka sudah dililit kencang oleh sulur-sulur
panjang tanaman merambat itu.
Hermione
berhasil membebaskan diri sebelum tanaman itu membelitnya dengan ketat.
Sekarang dia memandang ngeri pada kedua temannya yang berkutat
melepaskan tanaman itu dari tubuh mereka, tetapi semakin mereka
berusaha, semakin kuat tanaman itu membelit.
"Berhenti bergerak!" perintah Hermione. "Aku tahu apa ini— ini Jerat Setan!"
"Oh,
aku senang sekali kita tahu nama tanaman ini, sungguh sangat membantu,"
cemooh Ron sambil memiringkan tubuhnya ke belakang, berusaha mencegah
tanaman itu membelit lehernya.
"Diam, aku sedang berusaha mengingat bagaimana membunuhnya!" kata Hermione.
"Cepat kalau begitu, aku tak bisa bernapas!" kata Harry tersengal, berkutat dengan sulur yang membelit dadanya.
"Jerat Setan, Jerat Setan... Apa yang dikatakan Profesor Sprout? Tanaman ini suka kegelapan dan kelembapan..."
"Kalau begitu nyalakan api!" Harry tersedak.
"Ya—tentu saja—tapi tak ada kayu!" seru Hermione, meremas-remas tangannya.
"KAU INI GILA?" Ron menggeram. "KAU PENYIHIR APA BUKAN?"
"Oh, betul!" kata Hermione, dan dia mencabut tongkatnya.
Menggoyangnya,
menggumamkan sesuatu dan berhasil memancarkan api biru—sama seperti
yang digunakannya pada Snape di stadion—ke arah tanaman itu. Dalam
beberapa detik saja, kedua anak laki-laki itu merasa belitan sulur-sulur
itu mengendur ketika tanaman itu menjauh ketakutan dari nyala terang
dan kehangatan. Menggeliat-geliut dan melambai-lambai, tanaman itu
melepaskan belitannya dan mereka berhasil membebaskan diri.
"Untung kau menyimak pelajaran Herbologi, Hermione,"
kata Harry ketika dia bergabung dengannya di dekat dinding seraya menyeka keringat dari wajahnya.
"Yeah," kata Ron, "dan untung Harry tidak jadi panik dalam krisis—'tak ada kayu', astaga."
"Jalan sini," kata Harry, menunjuk ke lorong berlantai batu yang merupakan satu-satunya jalan di situ.
Satu-satunya
bunyi yang bisa mereka dengar, selain langkahlangkah mereka sendiri,
adalah tetes-tetes air lembut yang jatuh dari dinding. Lorong itu
menurun, mengingatkan Harry pada Gringotts. Hatinya tersentak ketika dia
teringat naga-naga yang kabarnya menjaga ruangan-ruangan besi di bank
para penyihir itu. Bagaimana seandainya mereka bertemu naga, naga yang
benar-benar sudah dewasa—Norbert saja sudah sangat merepotkan....
"Kau dengar sesuatu?" Ron berbisik.
Harry mendengarkan. Bunyi berkeresak dan denting lembut terdengar dari arah depan. "Menurutmu itu hantu?"
"Entahlah... kedengarannya seperti sayap bagiku."
"Di
depan terang—bisa kulihat ada yang bergerak." Mereka mencapai ujung
lorong dan melihat didepan mereka kamar yang terang benderang,
langit-langitnya melengkung tinggi di atas mereka. Kamar itu penuh
burung-burung kecil yang berkilauan bagai permata, beterbangan mengitari
ruangan. Di sisi lain kamar itu terdapat pintu kayu berat.
"Apa mereka akan menyerang bila kita menyeberangi kamar ini?" kata Ron.
"Mungkin,"
kata Harry. "Kayaknya sih mereka tidak galak, tapi kalau menyerang
bersamaan... yah, tak ada jalan lain... aku mau lari."
Harry
menarik napas dalam-dalam, menutupi wajah dengan lengannya dan berlari
menyeberangi ruangan. Dia mengira paruh dan cakar tajam akan
merobekrobeknya setiap saat, tetapi ternyata tidak. Dia tiba di pintu
dengan selamat. Ditariknya pegangan pintu. Pintu itu terkunci.
Kedua
temannya mengikutinya. Mereka menarik dan mendorong pintu itu, tetapi
pintunya tak bergerak, bahkan tidak juga ketika Hermione mencoba Mantra
Alohomora-nya.
"Sekarang bagaimana?" kata Ron. "Burung-burung ini...
mereka
tak mungkin ada di sini hanya untuk dekorasi saja," kata Hermione.
Mereka mengawasi burung-burung yang beterbangan di atas,
berkilauan—berkilauan?
"Mereka bukan burung!" celetuk Harry tiba-tiba. "Itu kunci!
Kunci
bersayap—lihat yang teliti. Itu berarti..." Harry melihat berkeliling
ruangan sementara kedua temannya menyipitkan mata, memandang kawanan
kunci itu. "Ya—lihat! Sapu! Kita harus menangkap kunci pintu itu!"
"Tapi ada ratusan kunci!"
Ron mengamati lubang kunci di pintu.
"Yang kita cari kunci kuno besar—mungkin perak, seperti pegangan pintunya."
Mereka
masing-masing menyambar sapu dan menyentak ke atas, melayang ke tengah
gerombolan kunci itu. Mereka menyambar dan menjambret, namun kunci-kunci
yang telah disihir itu meluncur dan menukik begitu cepat, sampai nyaris
tak mungkin ditangkap.
Tapi tak percuma Harry menjadi Seeker paling muda abad ini. Dia punya bakat melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain.
Setelah
beberapa menit menyelip-nyelip di antara pusaran bulubulu pelangi itu,
dia melihat kunci perak besar yang sayapnya bengkok, seakan kunci itu
sudah pernah ditangkap dan dijejalkan dengan kasar ke dalam lubang
kunci.
"Yang itu!" teriaknya. "Yang besar itu—di sana— bukan, itu—yang sayapnya biru terang—bulu-bulunya kusut di satu sisinya."
Ron meluncur ke arah yang ditunjuk Harry, menabrak langitlangit dan nyaris terjatuh dari sapunya.
"Kita
harus mengepungnya!" teriak Harry, tanpa melepas pandangannya dari
kunci dengan sayap rusak itu. "Ron, kau mendatanginya dari atas—
Hermione, tetap di bawah dan cegah kunci itu turun—dan aku akan mencoba
menangkapnya. Baik.
SEKARANG!"
Ron menukik, Hermione melintas, kunci itu berhasil menghindari mereka berdua dan Harry meluncur mengejarnya.
Kunci
itu terbang menuju dinding, Harry mencondongkan tubuh ke depan dan
diiringi bunyi derak yang menyakitkan telinga, memepetnya ke din-ding
dengan satu tangan. Sorak Ron dan Hermione bergaung di kamar
berlangit-langit tinggi itu.
Mereka cepat-cepat mendarat dan Harry berlari ke pintu, kunci di tangannya menggelepar berusaha melepaskan diri.
Harry memasukkannya ke lubang dan memutarnya—berhasil.
Begitu
terdengar bunyi klik membuka, kuncinya langsung melesat terbang lagi,
bentuknya makin berantakan sekarang, setelah ditangkap dua kali.
"Siap?" Harry menanyai kedua temannya, tangannya mencekal pegangan pintu. Mereka mengangguk. Dibukanya pintu.
Kamar
berikutnya begitu gelap sehingga mereka sama sekali tak bisa melihat
apa-apa. Tetapi begitu mereka melangkah masuk, mendadak cahaya memenuhi
ruangan, menunjukkan pemandangan yang mencengangkan.
Mereka
berdiri di tepi papan catur raksasa, di belakang bidakbidak hitam, yang
semuanya lebih tinggi dari mereka dan dipahat dari—tampaknya— batu
hitam. Berhadapan dengan mereka, jauh di seberang ruangan, adalah
bidak-bidak putih.
Harry, Ron, dan Hermione sedikit gemetar—bidak-bidak catur putih itu tak berwajah.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" bisik Harry.
"Jelas,
kan?" timpal Ron. "Kita harus bermain untuk bisa sampai ke seberang
ruangan." Di belakang bidak-bidak putih itu mereka melihat pintu lain.
"Bagaimana?" tanya Hermione cemas.
"Kurasa," kata Ron, "kita harus menjadi bidak catur."
Ron berjalan ke arah perwira hitam dan menjulurkan tangan untuk menyentuh kudanya. Langsung saja batu itu hidup.
Kudanya mengais-ngais tanah dan si perwira menolehkan kepalanya yang memakai helm untuk menunduk, memandang Ron.
"Apa
kami—er—harus bergabung dengan kalian untuk bisa menyeberang?" Perwira
hitam itu mengangguk. Ron menoleh kepada kedua temannya. "Ini perlu
pemikiran...," katanya.
"Kurasa kita harus mengambil tempat tiga bidak hitam..."
Harry dan Hermione tetap diam, mengawasi Ron berpikir.
Akhirnya Ron berkata, "Jangan tersinggung, ya, tapi kalian berdua tak begitu ahli main catur..."
"Kami tidak tersinggung," kata Harry cepat-cepat. "Katakan saja apa yang harus kami lakukan."
"Nah, Harry kau mengambil tempat menteri itu, dan Hermione, kau di sebelahnya, di tempat benteng itu."
"Kau sendiri bagaimana?"
"Aku akan jadi perwira," kata Ron.
Bidak-bidak
catur itu rupanya mendengarkan, karena begitu Ron berkata demikian,
perwira, menteri, dan benteng berbalik memunggungi bidak-bidak putih dan
berjalan turun dari papan catur, meninggalkan tiga petak kosong yang
segera ditempati Ron, Harry, dan Hermione.
"Putih selalu melangkah duluan dalam permainan catur,"
kata Ron, menyipitkan mata memandang ke seberang. "Ya...lihat..."
Satu
pion putih melangkah maju dua petak. Ron mulai mengarahkan bidak-bidak
hitam. Mereka bergerak diam mengikuti perintahnya. Lutut Harry gemetar.
Bagaimana kalau mereka kalah?
"Harry, bergerak diagonal empat petak ke kanan."
Pukulan
pertama mereka terjadi ketika perwira hitam satunya ditawan. Si ratu
putih membantingnya ke lantai dan menyeretnya ke luar papan. Si perwira
menggeletak tak bergerak, tengkurap.
"Apa boleh buat," kata Ron, yang tampak terguncang. "Kau jadi bebas menawan si menteri itu, Hermione, ayo."
Setiap
kali salah satu anggota mereka kalah, bidak-bidak putih itu tak
menunjukkan belas kasihan. Segera saja sekumpulan bidak hitam lemas
terpuruk di sepanjang dinding.
Dua
kali, Ron menyadari tepat waktu bahwa Harry dan Hermione dalam bahaya.
Dia sendiri melesat ke sana kemari di papan, menawan bidak putih hampir
sebanyak bidak hitam yang kalah.
"Kita
hampir sampai," mendadak Ron bergumam. "Biar aku berpikir—biar aku
berpikir..." Si ratu putih menolehkan wajahnya yang kosong ke arahnya.
"Ya...," kata Ron pelan, "ini satu-satunya cara... aku harus ditawan."
"TIDAK!" Harry dan Hermione memekik.
"Begitulah catur!" tukas Ron. "Harus ada yang dikorbankan!
Aku akan melangkah maju satu petak dan ratu putih akan menawanku—jadi kau bebas menskak rajanya, Harry!"
"Tapi..."
"Kau mau menghalangi Snape atau tidak?"
"Ron..."
"Kalau kau tidak buru-buru, Snape sudah akan berhasil mendapatkan batu itu!"
Tak
ada pilihan lain. "Siap?" seru Ron, wajahnya pucat, tetapi mantap. "Aku
menyerahkan diri—jangan berlama-lama begitu kalian sudah menang."
Ron melangkah maju dan ratu putih langsung menerkam.
Dipukulnya
keras-keras kepala Ron dengan tangan batunya dan Ron langsung ambruk ke
lantai— Hermione menjerit tetapi tetap bertahan di petaknya— si ratu
putih menyeret Ron ke tepi.
Kelihatannya dia pingsan.
Gemetaran, Harry bergerak tiga petak ke kiri.
Si
raja putih melepas mahkotanya dan melemparnya ke kaki Harry. Mereka
sudah menang. Bidak-bidak catur menepi dan membungkuk, jalan menuju
pintu kini tanpa hambatan. Dengan pandangan putus asa terakhir ke arah
Ron, Harry dan Hermione berlari melewati pintu dan tiba di lorong
berikutnya.
"Bagaimana kalau dia...?"
"Dia akan baik-baik saja," kata Harry berusaha meyakinkan diri sendiri. "Menurutmu, apa berikutnya?"
"Kita
sudah melewati kreasi Sprout—Jerat Setan tadi, Flitwick pastilah yang
menyihir kunci-kunci, McGonagall mentransfigurasi bidak-bidak catur—
membuatnya hidup, tinggal mantra Quirrell, dan Snape...."
Mereka sudah tiba di pintu berikutnya.
"Buka sekarang?" Harry berbisik.
"Buka saja."
Harry mendorongnya terbuka.
Bau
menjijikkan menusuk hidung, membuat keduanya menarik jubah untuk
menutupi hidung. Dengan mata berair mereka melihat, tergeletak di lantai
di depan mereka, troll yang bahkan lebih besar daripada troll gunung
yang sudah mereka kalahkan, pingsan dengan benjolan berdarah pada
kepalanya.
"Aku
lega kita tidak perlu berkelahi dengan dia," bisik Harry, ketika mereka
dengan hati-hati melangkahi salah satu kakinya yang amat besar. "Ayo
cepat, aku tak bisa bernapas."
Harry
membuka pintu ke ruang berikutnya, keduanya nyaris tak berani melihat
apa yang menantikan mereka—tetapi tak ada sesuatu yang mengerikan di
sini, hanya meja dengan tujuh botol berbeda bentuk berdiri berderet.
"Hasil karya Snape," kata Harry "Apa yang harus kita lakukan?"
Mereka
melangkahi ambang pintu dan mendadak api berkobar di belakang mereka.
Bukan api biasa, karena warnanya ungu. Pada saat bersamaan, lidah api
hitam menyala di pintu menuju ruang berikutnya. Mereka terperangkap.
"Lihat!"
Hermione menyambar segulung kertas yang tergeletak di sebelah
botol-botol. Harry melongok dari balik bahu Hermione unruk ikut
membacanya:
Bahaya
ada di depanmu, sementara rasa aman ada di belakang, Kami berdua akan
membantumu, entah mana yang akan kautemukan, Satu di antara kami
bertujuh akan membawamu maju ke kamar berikutnya, Satu lagi membuat
peminumnya kembali ke tempat semula, Dua di antara kami hanyalah berisi
anggur lezat, Tiga di antara kami pembunuh, sembunyi menunggu saat yang
tepat. Pilihlah, kalau tak mau berada di sini selamanya merajuk, Untuk
membantu menentukan pilihanmu, kami berikan empat petunjuk:
Pertama, betapapun liciknya racun berusaha bersembunyi,
Kau
akan selalu menemukannya di sebelah anggur di sisi kiri; Kedua, yang
berdiri di masing-masing ujung isinya lain, Tetapi kalau kau mau ke
depan, dua-duanya pantang untuk main-main; Ketiga, seperti kaulihat
jelas, semua botol berbeda ukurannya, Baik yang cebol maupun yang
raksasa berisi maut di dalamnya; Keempat, yang kedua dari kiri dan dari
kanan, Sama saja isinya, meskipun awalnya tampak berlainan.
Hermione
mengembuskan napas lega, dan Harry heran sekali melihatnya tersenyum,
soalnya dia sendiri sama sekali tak ingin tersenyum.
"Brilian,"
puji Hermione. "Ini bukan sihir—ini logika—teka-teki. Banyak penyihir
besar yang tak punya logika sama sekali, akan terkurung di sini
selamanya."
"Kita juga begitu, kan?"
"Tentu
saja tidak," kata Hermione. "Semua yang kita butuhkan ada di atas
kertas ini. Tujuh botol: tiga di antaranya racun; dua anggur, satu akan
membawa kita dengan selamat melewati api hitam itu, dan satu lagi akan
membawa kita kembali melewati api ungu."
"Tapi, bagaimana kita tahu mana yang harus di minum?"
"Beri
aku waktu sebentar." Hermione membaca kertas itu beberapa kali.
Kemudian dia berjalan mondar-mandir di depan deretan botol, bergumam
sendiri dan menunjuk-nunjuk botolbotol itu. Akhirnya dia bertepuk
tangan.
"Aku tahu," katanya. "Botol paling kecil akan membawa kita melewati api hitam—menuju ke Batu Bertuah."
Harry memandang botol kecil mungil itu.
"Isinya
hanya cukup untuk satu orang," katanya. "Satu teguk saja pun tak ada."
Mereka saling pandang. "Mana yang bisa membawamu melewati api ungu?"
Hermione menunjuk botol bulat di ujung deretan. "Kau minum yang itu,"
kata Harry.
"Tidak,
dengar—kembalilah dan ajak Ron—ambil sapu dari kamar kunci terbang,
sapu itu bisa membawa kalian keluar dari pintu jebakan dan juga melewati
Fluffy— langsung pergi ke kandang burung hantu dan kirim Hedwig ke
Dumbledore, kita memerlukan dia. Aku mungkin sanggup menahan Snape untuk
sementara waktu, tetapi aku sama sekali bukan tandingannya."
"Tapi, Harry—bagaimana kalau Kau-Tahu-Siapa ada bersamanya?"
"Yah—aku pernah beruntung sekali, kan?" kata Harry, menunjuk bekas lukanya. "Siapa tahu aku beruntung lagi."
Bibir Hermione bergetar dan mendadak dia berlari mendekati Harry dan memeluknya.
"Hermione!"
"Harry—kau penyihir hebat."
"Aku tidak sepandai kau," kata Harry, malu sekali, ketika Hermione melepasnya.
"Aku!"
kata Hermione. "Buku-buku! Dan kepintaran! Ada banyak hal penting
lainnya—persahabatan dan keberanian dan—oh, Harry—hati-hati, ya!"
"Kau minum dulu," kata Harry. "Kau yak in mana botol yang benar, kan?"
"Pasti," kata Hermione. Diminumnya isi botol bulat itu, dan dia bergidik.
"Bukan racun?" tanya Harry cemas.
"Bukan—tapi seperti es."
"Cepat, sebelum khasiatnya luntur."
"Semoga berhasil—jaga dirimu..."
"PERGILAH!"
Hermione berbalik dan melangkahi api ungu.
Harry menarik napas dalam-dalam dan mengambil botol terkecil. Dia berbalik menghadapi api hitam. "Aku datang,"
katanya dan dihabiskannya isi botol kecil itu dalam sekali teguk.
Memang seolah es mengaliri tubuhnya. Ditaruhnya kembali botol itu dan dia melangkah maju. Diberanikannya dirinya.
Dilihatnya
lidah api hitam menjilatjilat tubuhnya, tetapi tak ada yang
dirasakannya. Untuk sesaat dia tak bisa melihat apa pun kecuali api
hitam—tahu-tahu dia sudah berada di sisi lain, di kamar terakhir.
Sudah ada orang lain di situ—tetapi bukan Snape. Bahkan bukan pula Voldemort.
***
17. Laki Laki Dengan Dua Wajah
MELAINKAN Quirrell.
"Anda!" Harry kaget. Quirrell tersenyum. Wajahnya sama sekali tidak berkedut.
"Ya, aku," katanya tenang. "Aku sudah bertanya-tanya apakah aku akan bertemu kau disini, Potter."
"Tetapi saya kira—Snape..."
"Severus?"
Quirrell tertawa dan tawanya bukan tawa gemetar seperti biasanya,
tetapi dingin dan melengking. "Ya, Severus memang kelihatannya tipe yang
cocok, ya? Dirinya sangat berguna, menyambar nyambar seperti kelelawar
liar. Dibanding dia, siapa yang akan mencurigai P-profesor Q-Quirrell
y-yang g-gagap dan m-menimbulkan b-belas kasihan?"
Harry tidak mengerti. Ini tak mungkin benar, tak mungkin.
"Tetapi Snape mencoba membunuh saya."
"Bukan, bukan, bukan. Aku yang mencoba membunuhmu.
Temanmu,
Miss Granger, tanpa sengaja menabrakku sampai jatuh ketika dia
buru-buru mau membakar jubah Snape dalam pertandingan Quidditch itu. Dia
memutuskan kontak mataku denganmu. Beberapa detik saja lagi aku pasti
sudah berhasil menjatuhkanmu dari sapu. Aku pastilah sudah berhasil
sebelumnya, seandainya Snape tidak menggumamkan mantra penangkal,
berusaha menyelamatkanmu."
"Snape berusaha menyelamatkan saya?"
"Tentu
saja," kata Quirrell dingin. "Menurutmu kenapa dia ingin menjadi wasit
dalam pertandinganmu berikutnya? Dia berusaha memastikan aku tidak
melakukannya lagi. Lucu juga...
dia
tak perlu khawatir. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena Dumbledore
nonton. Semua guru lain mengira Snape berusaha menghalangi Gryffindor
menang, dia memang membuat dirinya tidak disukai... dan benar-benar
membuang waktu sia-sia, toh setelah semua usaha itu, aku akan membunuhmu
malam ini."
Quirrell menjentikkan jari-jarinya. Tiba-tiba seutas tali membelit Harry erat-erat.
"Kau
terlalu ingin tahu dan terlalu suka ikut campur kalau dibiarkan hidup,
Potter. Berkeliaran di malam Hallowe'en seperti itu, tahu-tahu kau sudah
melihatku datang untuk melihat apa yang menjaga batu itu."
"Anda yang memasukkan troll itu?"
"Tentu.
Aku punya bakat khusus menangani troll— kau pasti sudah melihat apa
yang kulakukan terhadap troll di kamar depan itu? Sayangnya, sementara
orang-orang lain berlarian mencari troll, Snape, yang sudah
mencurigaiku, langsung naik ke lantai tiga untuk menghadangku—dan bukan
saja troll-ku gagal memukuli kalian sampai mati, si anjing kepala tiga
bahkan tidak berhasil menggigit kaki Snape sampai putus.
"Sekarang,
tunggu dengan tenang, Potter. Aku perlu memeriksa cermin menarik ini."
Baru saat itulah Harry menyadari apa yang berdiri di belakang Quirrell.
Cermin Tarsah.
"Cermin inilah kunci untuk menemukan Batu Bertuah,"
Quirrell bergumam, seraya mengelilingi bingkainya.
"Dumbledore memang cerdik memakai cermin ini.. tapi dia di London... aku sudah jauh dari sini saat dia pulang nanti...."
Yang bisa dipikirkan Harry hanyalah bagaimana membuat Quirrell terus bicara dan mencegahnya berkonsentrasi pada cermin.
"Saya melihat Anda dan Snape di Hutan...," celetuknya.
"Ya,"
kata Quirrell sambil lalu, berjalan ke balik cermin untuk memeriksa
bagian belakangnya. "Dia sudah tahu niatku saat itu, mencoba mengorek
sejauh mana pengetahuanku. Dia sudah lama mencurigaiku. Mencoba
menakut-nakutiku—mana bisa, kan Lord Voldemort mendampingiku...."
Quirrell
muncul dari balik cermin dan menatapnya dengan bergairah. "Aku melihat
batunya... kupersembahkan kepada tuanku... tetapi di mana letak batu
itu?"
Harry
berkutat melepaskan diri dari tali yang mengikatnya, tetapi percuma.
Dia harus mencegah Quirrell mencurahkan seluruh perhatiannya kepada
cermin.
"Tetapi Snape kelihatannya sangat membenci saya."
"Oh, memang dia membencimu," kata Quirrell sambil lalu.
"Sangat
membencimu. Dia sekolah di Hogwarts bersama ayahmu, kau tidak tahu?
Mereka saling membenci. Tetapi dia tidak pernah menginginkan ayahmu
mati."
"Tetapi saya mendengar Anda beberapa hari yang lalu, terisak-isak—saya kira Snape sedang mengancam Anda..."
Untuk pertama kalinya ketakutan melintas di wajah Quirrell.
"Kadang-kadang," katanya, "sulit sekali bagiku untuk menjalankan perintah tuanku—dia penyihir hebat dan aku lemah..."
"Maksud Anda dia ada dalam kelas itu bersama Anda?"
Harry terperanjat.
"Dia bersamaku ke mana pun aku pergi," kata Quirrell pelan.
"Aku bertemu dengannya ketika berkelana keliling dunia.
Waktu
itu aku cuma pemuda yang masih bodoh, masih idealis tentang hal baik
dan buruk. Lord Voldemort menunjukkan kepadaku betapa kelirunya aku. Tak
ada baik dan buruk, yang ada hanya kekuasaan, dan mereka yang terlalu
lemah untuk mencarinya... Sejak saat itu, aku melayaninya dengan setia,
meskipun aku sering kali mengecewakannya. Dia harus keras terhadapku."
Quirrell mendadak bergidik. "Dia tidak mudah melupakan kesalahan. Ketika
aku gagal mencuri Batu Bertuah dari Gringotts, dia sangat marah. Dia
menghukumku...
memutuskan dia harus mengawasiku lebih ketat lagi...."
Suara
Quirrell semakin pelan. Harry teringat perjalanannya ke Diagon
Alley—bagaimana dia bisa sebodoh itu? Dia bertemu Quirrell hari itu,
berjabat tangan dengannya di Leaky Cauldron.
Quirrell mengutuk pelan.
"Aku tak mengerti... apakah batu itu ada di dalam cermin?
Haruskah
aku memecahkannya?" Pikiran Harry berlomba. Yang sangat kuinginkan
lebih dari apa pun didunia saat ini, pikirnya, adalah menemukan Batu
Bertuah itu sebelum Quirrell. Maka jika aku menatap ke dalam cermin, aku
akan melihat diriku menemukannya—yang berarti aku bisa melihat di mana
batu itu disembunyikan! Tetapi bagaimana aku bisa menatap ke dalam
cermin tanpa Quirrell menyadari tujuanku?
Dia
mencoba beringsut ke kiri, berusaha ke depan cermin, tetapi tali yang
membelit pergelangan kakinya terlalu ketat, dia tersandung dan jatuh.
Quirrell mengabaikannya. Dia masih bicara sendiri.
"Apa kegunaan cermin ini? Bagaimana cara kerjanya?
Tolonglah aku, Tuan!"
Dan betapa ngerinya Harry ketika terdengar suara menjawab, dan suara itu kedengarannya datang dari Quirrell sendiri.
"Gunakan anak itu... Gunakan anak itu...."
Quirrell menoleh kepada Harry.
"Ya—Potter—sini."
Dia menepukkan tangannya sekali dan tali yang mengikat Harry lepas sendiri. Pelan-pelan Harry bang-kit.
"Sini," Quirrell mengulang. "Lihat ke dalam cermin dan beritahu aku apa yang kaulihat."
Harry berjalan ke arahnya.
"Aku harus berbohong," pikirnya putus asa. "Aku harus melihat dan berbohong tentang apa yang kulihat, begitu saja."
Quirrell
bergerak ke belakangnya. Harry mencium bau aneh yang agaknya berasal
dari turban Quirrell. Dia memejamkan mata, melangkah ke depan cermin dan
membuka matanya lagi.
Harry melihat bayangannya, mulanya pucat dan ketakutan.
Tetapi sesaat kemudian, bayangan itu tersenyum kepadanya.
Dia
memasukkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan batu merah darah.
Dia mengedipkan mata dan mengembalikan batu itu ke dalam sakunya—dan
pada saat dia melakukannya, Harry merasa sesuatu yang berat masuk ke
dalam sakunya yang sebenarnya. Dengan cara yang sangat ajaib, dia
mendapatkan batu itu.
"Nah?" kata Quirrell tak sabar. "Apa yang kaulihat?"
Harry mengumpulkan keberaniannya.
"Saya melihat saya berjabat tangan dengan Dumbledore," dia mengarang. "Saya—saya.memenangkan Piala Asrama untuk Gryffindor."
Quirrell mengutuk lagi.
"Minggir," katanya. Ketika bergerak, Harry merasakan Batu Bertuah itu menggesek kakinya. Beranikah dia melarikan diri?
Tapi belum lagi dia berjalan lima langkah, terdengar suara melengking berkata, meskipun Quirrell tidak menggerakkan bibirnya.
"Dia bohong... Dia bohong...."
"Potter, kembali ke sini!" teriak Quirrell. "Katakan yang sebenarnya! Apa yang tadi kaulihat?"
Suara melengking itu bicara lagi.
"Biarkan aku bicara dengannya... berhadapan...."
"Tuan, Anda belum cukup kuat!"
"Aku cukup punya kekuatan... untuk ini...."
Harry merasa seakan Jerat Setan memancangnya di tempat.
Dia
tak dapat menggerakkan satu otot pun. Ketakutan, dilihatnya Quirrell
mengangkat tangan dan mulai mengurai turbannya. Apa yang terjadi? Turban
jatuh. Kepala Quirrell tampak aneh dan kecil tanpa turban. Kemudian
pelan-pelan dia berbalik.
Harry
ingin menjerit, tetapi suaranya tidak keluar. Yang seharusnya bagian
belakang kepala Quirrell, ternyata sepotong wajah, wajah paling
mengerikan yang pernah dilihat Harry.
Wajah itu sepucat tembok dengan mata merah mendelik, dan lubang hidung yang hanya berupa celah, seperti ular.
"Harry Potter...," bisik wajah itu. Harry mencoba mundur selangkah, tetapi kakinya tak mau bergerak.
"Kau
lihat, aku jadi apa?" kata wajah itu. "Cuma bayangan dan asap... aku
punya bentuk hanya kalau aku bisa berbagi dengan tubuh orang lain...
tetapi selalu ada yang mengizinkan aku memasuki hati dan pikiran
mereka... Darah unicorn telah membuatku semakin kuat, beberapa minggu
terakhir ini... kau melihat Quirrell yang setia meminumnya untukku di
Hutan...
dan
begitu aku minum Cairan Kehidupan, aku akan bisa menciptakan tubuhku
sendiri.... Nah, sekarang... berikan batu di sakumu itu!"
Jadi, dia tahu. Tiba-tiba kaki Harry tidak lagi mati rasa. Dia terhuyung ke belakang.
"Jangan
bodoh," gertak si wajah. "Lebih baik selamatkan nyawamu dan bergabung
denganku... kalau tidak kau akan berakhir sama dengan orangtuamu...
Mereka memohon-mohon belas kasihan dariku sebelum meninggal..."
"BOHONG!" mendadak Harry berteriak.
Quirrell berjalan mundur ke arahnya, sehingga Voldemort masih bisa menatapnya. Wajah mengerikan itu kini tersenyum.
"Sungguh mengharukan...," desisnya.
"Aku selalu menghargai keberanian... Ya, Nak, orangtuamu pemberani...
Aku
membunuh ayahmu lebih. dulu dan dia melawan dengan gagah berani...
tetapi ibumu sebetulnya tak perlu mati... dia berusaha melindungimu...
Sekarang berikan batu itu kepadaku, kalau tidak kau akan mati sia-sia."
"TIDAK!"
Harry
melompat ke arah pintu nyala api, tetapi Voldemort menjerit, "TANGKAP
DIA!" dan detik berikutnya Harry merasakan tangan Quirrell mencengkeram
pergelangan tangannya. Langsung saja rasa sakit yang tajam menyengat
bekas luka Harry kepalanya serasa hendak terbelah dua. Harry menjerit,
meronta-ronta sekuat tenaga, dan kaget sendiri ketika Quirrell
membebaskannya. Rasa sakit di dahinya berkurang— dia memandang
berkeliling, mencari Quirrell, dan melihatnya tengah meringkuk
kesakitan, memandang jari-jarinya—jari-jari itu melepuh.
"Tangkap
dia! TANGKAP DIA!" teriak Voldemort lagi dan Quirrell menerjang Harry
sampai jatuh dan mendarat di atas tubuhnya, kedua tangannya melingkari
leher Harry—bekas luka Harry sakit luar biasa, sampai dia merasa nyaris
buta, tetapi dia masih bisa melihat Quirrell melolong kesakitan.
"Tuan, aku tak bisa memegangnya—tanganku— tanganku!"
Dan
Quirrell, meski masih memiting Harry ke tanah dengan lututnya, melepas
cekikannya dan terbelalak menatap telapak tangannya sendiri—Harry bisa
melihatnya, tangan itu terbakar, kelihatan merah dan berkilat.
"Kalau begitu bunuh dia, goblok. Bereskan saja anak itu!"
lengking Voldemort.
Quirrell
mengangkat tangan untuk melakukan kutukan yang mematikan tetapi, tanpa
pikir panjang, Harry mencengkeram wajah Quirrell....
"AAAARGH!"
Quirrell
berguling dari atas tubuh Harry, wajahnya juga melepuh, dan Harry pun
tahu: Quirrell tak tahan menyentuh kulitnya. Jika tersentuh, dia
menderita kesakitan yang amat sangat. Satu-satunya kesempatan Harry
adalah memegangi Quirrell, membuatnya cukup kesakitan sehingga tak bisa
melakukan kutukan.
Harry
melompat bangun, menangkap lengan Quirrell dan mencengkeramnya sekuat
mungkin. Quirrell menjerit dan mencoba mengibaskan Harry— rasa sakit di
kepala Harry semakin hebat—dia tak bisa melihat—dia cuma mendengar jerit
mengerikan Quirrell dan teriakan-teriakan Voldemort,
"BUNUH DIA! BUNUH DIA!" dan suara-suara lain, mungkin di dalam kepalanya sendiri, berseru-seru, "Harry! Harry!"
Dirasakannya
lengan Quirrell ditarik lepas dari cengkeramannya, dia tahu dirinya
telah kalah, dan jatuh dalam kegelapan, jatuh... makin lama makin
dalam....
***
Sesuatu yang keemasan berkilau di atasnya. Snitch! Harry berusaha menangkapnya, tetapi lengannya terlalu berat.
Dia
mengejap. Bukan Snitch. Ternyata kacamata. Aneh sekali. Dia mengejap
lagi. Wajah Albus Dumbledore yang tersenyum melayang masuk ke dalam
pandangannya.
"Selamat sore, Harry," kata Dumbledore.
Harry bingung menatapnya. Kemudian dia ingat. "Sir!
Batunya! Quirrell! Dia mengambil batunya! Sir, cepat..."
"Tenangkan dirimu, Nak, kau sedikit ketinggalan," kata Dumbledore. "Quirrell tidak memiliki batu itu."
"Kalau begitu, siapa? Sir, saya..."
"Harry, rileks. Kalau tidak, Madam Pomfrey akan mengusirku keluar."
Harry
menelan ludah dan memandang berkeliling. Dia sadar dirinya berada di
rumah sakit. Dia berbaring di tempat tidur berseprai linen putih, di
meja sebelahnya terdapat tumpukan tinggi yang tampaknya seperti setengah
isi toko permen.
"Kiriman
teman-teman dan pengagummu," kata Dumbledore berseri-seri. "Apa yang
terjadi di ruang bawah tanah, antara dirimu dengan Profesor Quirrell
adalah rahasia besar, maka tentu saja seluruh sekolah tahu. Kurasa
temanmu, Mr Fred dan George Weasley bertanggung jawab atas usaha
mengirimimu tutup kloset. Pasti mereka mengira kau akan geli dan senang
menerimanya. Tetapi Madam Pomfrey merasa hadiah itu tidak begitu
higienis, dan menyitanya."
"Sudah berapa lama saya di sini?"
"Tiga hari. Mr Ronald Weasley dan Miss Granger akan lega sekali mengetahui kau sudah sadar, mereka sangat cemas."
"Tetapi, Sir, batunya..."
"Rupanya kau tak bisa dialihkan. Baiklah, kalau begitu.
Profesor
Quirrell tidak berhasil mengambil batu itu darimu. Aku tiba tepat pada
waktunya untuk mencegahnya walaupun, harus kuakui, kau sendiri telah
bertahan dengan sangat baik."
"Anda datang? Anda menerima burung hantu Hermione?"
"Pastilah
kami berpapasan di udara. Begitu tiba di London, jelas bagiku bahwa aku
harus berada di tempat yang baru saja kutinggalkan. Aku tiba tepat pada
waktunya untuk menarik Quirrell darimu..."
"Jadi itu... Anda."
"Aku sudah takut aku terlambat."
"Hampir, saya nyaris tak bisa mempertahankan batu itu lebih lama lagi..."
"Bukan
batunya, tetapi kau, Nak—usaha untuk mempertahankan Batu Bertuah itu
nyaris membunuhmu. Sesaat aku ngeri sekali, mengira kau sudah tiada.
Sedangkan batunya, sudah dimusnahkan."
"Dimusnahkan?" tanya Harry tak mengerti. "Tetapi teman Anda—Nicolas Flamel..."
"Oh, kau tahu tentang Nicolas?" kata Dumbledore, kedengarannya senang. "Kau telah menyelidiki semuanya, ya?
Nah, Nicolas dan aku sudah berunding dan kami setuju itu yang paling baik."
"Tetapi itu berarti dia dan istrinya akan meninggal, kan?"
"Mereka punya cukup banyak simpanan Cairan Kehidupan untuk membereskan urusan mereka, dan kemudian ya, mereka akan mati."
Dumbledore tersenyum melihat keheranan di wajah Harry.
"Bagi
orang semuda kau, pastilah kedengarannya aneh, tetapi bagi Nicolas dan
Perenelle, mati sebetulnya hanyalah seperti pergi tidur setelah hari
yang amat sangat panjang. Lagi pula, bagi pikiran yang terorganisir
dengan baik, kematian hanyalah petualangan besar berikutnya. Kau tahu,
batu itu sebetulnya bukan benda yang amat luar biasa, meski bisa
memberikan uang dan kehidupan sebanyak yang kauinginkan. Itu dua hal
yang akan dipilih kebanyakan orang, melebihi segalanya—sulitnya, orang
biasanya justru memilih hal-hal yang paling buruk untuk mereka."
Harry terbaring diam, kehabisan kata-kata. Dumbledore bersenandung kecil dan tersenyum ke arah langit-langit.
"Sir?" kata Harry. "Saya sudah berpikir... Sir— bahkan sekalipun batu itu sudah tak ada, Vol... maksud saya, Anda-Tahu-Siapa..."
"Panggil
dia Voldemort, Harry. Selalu gunakan nama yang benar untuk apa saja.
Ketakutan akan nama memperbesar ketakutan akan benda itu sendiri."
"Baik, Sir. Bukankah Voldemort akan mencoba caracara lain untuk kembali? Maksud saya, dia tidak pergi untuk selamanya, kan?"
"Tidak, Harry dia belum lenyap. Dia masih ada di suatu tempat, mungkin mencari tubuh lain yang bisa ditumpangi.
Karena
tidak sepenuhnya hidup, dia tak bisa dibunuh. Dia meninggalkan Quirrell
mati begitu saja, dia tak punya belas kasihan, baik kepada pengikut
maupun musuh-musuhnya.
Harry
saat ini kau memang belum berhasil memenangkan pertarungan, kau cuma
menunda kembalinya Voldemort pada kekuasaan. Dalam pertarungan
berikutnya, yang tampaknya akan lebih sulit dimenangkan, dibutuhkan
seseorang yang telah siap. Dan jika Voldemort tertahan lagi, dan lagi,
siapa tahu dia tak akan pernah kembali berkuasa."
Harry
mengangguk, tetapi segera berhenti, karena membuat kepalanya sakit.
Kemudian dia berkata, "Sir, ada beberapa hal lain yang ingin saya
ketahui, jika Anda bisa memberitahu saya...
hal-hal yang ingin saya ketahui kebenarannya..."
"Kebenaran,"
Dumbledore menghela napas. "Kebenaran itu indah dan mengerikan, dan
karenanya harus diperlakukan dengan amat hati-hati. Meskipun demikian,
aku akan menjawab pertanyaanmu, kecuali ada alasan kuat untuk tidak
menjawabnya. Kalau itu sampai terjadi, kumohon kau memaafkan aku. Aku
tidak akan berbohong, tentu saja."
"Kata
Voldemort, dia terpaksa membunuh ibu saya karena Ibu mencoba
mencegahnya membunuh saya. Tetapi kenapa dia ingin membunuh saya?"
Dumbledore menghela napas dalam-dalam.
"Sayang
sekali, hal pertama yang kautanyakan, tak bisa kujawab. Tidak hari ini.
Tidak sekarang. Kau akan tahu, suatu hari nanti... singkirkan dari
pikiranmu untuk sementara, Harry.
Kalau kau sudah lebih besar... aku tahu kau tidak senang mendengarnya... kalau kau sudah siap, kau akan tahu."
Dan Harry tahu tak ada gunanya membantah.
"Tetapi kenapa Quirrell tidak bisa menyentuh saya?"
"Ibumu meninggal karena berusaha menyelamatkanmu.
Kalau
ada satu hal yang tak bisa dimengerti Voldemort, itu adalah cinta. Dia
tidak menyadari bahwa cinta sekuat cinta ibumu kepadamu, meninggalkan
bekas. Bukan seperti bekas luka, bukan tanda yang kelihatan... dicintai
begitu dalam, meskipun orang yang mencintai kita sudah tiada, akan
memberi kita perlindungan untuk selamanya. Perlindungan itu ada di
kulitmu. Quirrell, yang penuh kebencian, keserakahan, ambisi, dan
membagi jiwanya dengan Voldemort, tidak bisa menyentuhmu karena alasan
ini. Sungguh suatu penderitaan menyenruh orang yang dilindungi oleh
sesuatu yang sangat baik."
Kini
Dumbledore menjadi sangat tertarik pada seekor burung yang hinggap di
ambang jendela. Ini memberi Harry kesempatan untuk mengeringkan matanya
dengan seprai. Ketika sudah bisa bicara lagi, Harry berkata, "Dan Jubah
Gaib— tahukah Anda siapa yang mengirimnya kepada saya?"
"Ah,
ayahmu menitipkannya kepadaku dan kupikir kau akan menyukainya." Mata
Dumbledore bersinar-sinar. "Sangat berguna... ayahmu terutama
menggunakannya untuk menyelinap ke dapur untuk mencuri makanan waktu dia
di sini dulu."
"Dan ada satu hal lagi..."
"Katakan."
"Quirrell berkata, Snape..."
"Profesor Snape, Harry."
"Ya, dia—Quirrell bilang Profesor Snape membenci saya karena dia membenci ayah saya. Betulkah itu?"
"Yah,
mereka memang saling benci. Tidak berbeda dengan kau sendiri dan Mr
Malfoy. Lalu ayahmu melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan Snape."
"Apa?"
"Ayahmu menyelamatkan hidupnya."
"Apa?"
"Ya...,"
kata Dumbledore melamun. "Aneh, kan, cara kerja pikiran orang? Profesor
Snape tidak tahan berutang budi pada ayahmu... aku yakin dia berusaha
keras melindungimu sebagai balas budi pada ayahmu. Dengan begitu, skor
mereka jadi seri.
Lalu dia bisa kembali membenci almarhum ayahmu dengan tenang."
Harry berusaha memahami, tetapi kepalanya jadi berdenyut-denyut, maka dia berhenti.
"Dan, Sir, ada satu hal lagi..."
"Apa itu?"
"Bagaimana saya mendapatkan batu itu dari dalam cermin?"
"Ah,
aku senang kau menanyakannya. Itu salah satu ide brilianku, dan antara
kita berdua saja, ide itu hebat sekali. Aku membuatnya sedemikian
sehingga hanya orang yang ingin menemukan batu itu— menemukan tetapi
tidak menggunakannya—yang bisa mendapatkannya. Bukan mereka yang ingin
melihat diri mereka memiliki emas atau minum Cairan Kehidupan. Otakku
kadang-kadang mengejutkan diriku sendiri...
Nah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu.
Kusarankan
kau mulai makan permenmu. Ah! Kacang Segala-Rasa Bertie Bott! Aku cukup
beruntung waktu masih muda dapat yang rasa muntah, dan sejak saat itu
aku jadi kehilangan selera—tapi kurasa aman kalau aku ambil rasa
karamel, ya?"
Dumbledore
tersenyum dan memasukkan kacang berwarna cokelat keemasan itu ke
mulutnya. Kemudian dia tersedak dan berkata, "Ya ampun! Rasa kotoran
telinga!"
***
Madam Pomfrey matron rumah sakit, wanita yang menyenangkan, tetapi sangat keras.
"Lima menit saja," Harry memohon.
"Jelas tidak boleh."
"Anda mengizinkan Profesor Dumbledore masuk..."
"Ya, tentu saja, dia kan kepala sekolah, lain dong. Kau butuh istirahat."
"Saya istirahat, lihat, saya berbaring terus. Oh, ayolah, Madam Pomfrey..."
"Oh, baiklah," katanya. "Tapi hanya lima menit."
Dan Madam Pomfrey mengizinkan Ron dan Hermione masuk.
"Harry!"
Hermione
tampaknya siap memeluknya lagi, tetapi Harry senang Hermione menahan
diri, karena kepalanya masih sakit sekali. "Oh, Harry, kami sudah yakin
kau akan... Dumbledore sangat cemas..."
"Seluruh sekolah membicarakannya," kata Ron. "Apa sebetulnya yang terjadi?"
Sungguh
salah satu kejadian langka ketika kenyataan yang sebenarnya justru
lebih aneh dan mencekam dibandingkan desas-desus liar. Harry
menceritakan semuanya kepada mereka: tentang Quirrell, Cermin Tarsah,
Batu Bertuah, dan Voldemort.
Ron
dan Hermione pendengar yang sangat baik; mereka kaget pada saat-saat
yang tepat dan ketika Harry memberitahu mereka apa yang ada di balik
turban Quirrell, Hermione menjerit keras.
"Jadi batu itu sudah tak ada?" kata Ron akhirnya. "Flamel akan mati?"
"Itulah
yang kukatakan, tetapi menurut Dumbledore—apa, ya?—bagi pikiran yang
terorganisir dengan baik, kematian hanyalah petualangan besar
berikutnya."
"Dari
dulu kubilang Dumbledore itu sinting," kata Ron, kelihatannya terkesan
sekali pada betapa gilanya orang yang dikaguminya itu.
"Jadi, apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanya Harry.
"Yah, aku kembali dengan selamat," kata Hermione.
"Kusadarkan
Ron—perlu sedikit waktu—dan kami sedang berlari ke kandang burung hantu
untuk mengontak Dumbledore, ketika kami bertemu dengannya di Aula
Depan. Dia sudah tahu—dia cuma berkata, 'Harry mengejarnya, kan?' lalu
bergegas ke lantai tiga."
"Apakah
menurutmu Dumbledore sengaja mengaturnya agar kau bertindak begitu?"
kata Ron. "Mengirim jubah ayahmu dan yang lainnya itu?"
"Wah," Hermione meledak, "kalau memang begitu—maksudku—sungguh mengerikan—kau bisa saja terbunuh."
"Tidak,
tidak," kata Harry berpikir-pikir. "Dumbledore orangnya lucu.
Menurutku, dia tampaknya ingin memberiku kesempatan. Kurasa dia tahu
sedikit-banyak tentang segala sesuatu yang terjadi di sini. Rupanya dia
sudah menduga kita akan mencoba, dan alih-alih mencegah, dia mengajari
kita secukupnya untuk membantu. Kurasa bukan kebetulan dia membiarkan
aku mengetahui cara kerja Cermin Tarsah. Seakan menurutnya aku punya hak
untuk menghadapi Voldemort, kalau aku bisa..."
"Yeah,
Dumbledore memang menyebarluaskan hal itu," kata Ron bangga. "Dengar,
kau sudah harus sembuh untuk ikut pesta akhir tahun ajaran besok. Jumlah
semua angka sudah masuk dan Slytherin menang, tentu saja. Kau tak bisa
ikut pertandingan Quidditch terakhir dan tanpa dirimu, kita digilas
habis oleh Ravenclaw. Tapi makanannya besok enak-enak."
Saat itu Madam Pomfrey masuk. "Kalian sudah ngobrol hampir lima belas menit, sekarang KELUAR," katanya tegas.
***
Setelah tidur nyenyak semalaman, Harry merasa sudah hampir sehat kembali.
"Saya
ingin ikut pesta," dia memberitahu Madam Pomfrey ketika matron itu
merapikan kotak-kotak permennya yang banyak itu. "Boleh, kan?"
"Profesor Dumbledore bilang supaya kau diizinkan pergi,"
katanya
tak senang, seakan menurut pendapatnya Profesor Dumbledore tidak
menyadari berapa berbahayanya pesta. "Dan kau punya tamu lagi."
"Oh, bagus," kata Harry. "Siapa?"
Hagrid
menyelinap masuk ketika Harry bertanya. Seperti biasa, kalau dia berada
dalam rumah, Hagrid tampak terlalu besar. Dia duduk di sebelah Harry
memandangnya, lalu langsung menangis.
"Ini—semua—salahku!"
isaknya, dengan wajah tertelungkup di tangannya. "Aku beritahu orang
jahat itu "bagaimana cara lewati Fluffy! Aku yang beritahu dia! Padahal
itu satu-satunya yang tak dia ketahui, tapi aku memberitahunya! Kau bisa
mati!
Hanya karena sebutir telur naga! Aku takkan minum lagi! Aku seharusnya dibuang dan disuruh hidup sebagai Muggle!"
"Hagrid!"
kata Harry, kaget melihat Hagrid gemetar karena begitu sedih dan
menyesal, air mata besarbesar bergulir sampai ke jenggotnya. "Hagrid,
dia toh pasti akan tahu juga. Yang kita bicarakan adalah Voldemort, dia
akan tahu meskipun kau tidak memberitahunya."
"Kau bisa mati!" isak Hagrid. "Dan jangan sebut nama itu!"
"VOLDEMORT!" Harry berteriak, dan Hagrid begitu kagetnya sampai berhenti menangis.
"Aku
sudah bertemu dengannya dan aku akan menyebut namanya. Bergembiralah,
Hagrid, kita telah menyelamatkan batunya. Batu itu sudah tak ada, dia
tak bisa menggunakannya.
Ayo, makan Cokelat Kodok. Aku punya banyak...."
Hagrid mengusap hidung dengan punggung tangannya dan berkata, "Aku jadi ingat. Aku bawa hadiah buatmu."
"Bukan sandwich musang, kan?" kata Harry cemas, dan akhirnya Hagrid tersenyum lemah.
"Bukan. Dumbledore liburkan aku kemarin untuk susun ini. Tentu saja dia seharusnya pecat aku, tapi pendeknya, ini untukmu."
Tampaknya
seperti buku yang indah dengan sampul kulit. Harry membukanya dengan
penasaran. Buku itu penuh dengan foto sihir. Ayah dan ibunya tersenyum
dan melambai padanya dari semua halaman.
"Kirim burung hantu ke semua teman sekolah orangtuamu, minta foto... aku tahu kau tak punya foto... Kau suka?"
Harry tak bisa berkata-kata, tetapi Hagrid mengerti.
***
Harry
berangkat ke pesta akhir tahun ajaran sendirian malam itu. Dia agak
terlambat karena Madam Pomfrey sibuk mengkhawatirkannya—berkeras untuk
memeriksanya terakhir kali—sehingga ketika ia tiba, Aula Besar sudah
penuh. Aula didekorasi dengan warna Slytherin, hijau dan perak, untuk
merayakan keberhasilan Slytherin memenangkan Piala Asrama untuk ketujuh
kalinya selama tujuh tahun berturut-turut.
Spanduk raksasa bergambar ular, lambang Slytherin, membentang menutupi dinding di belakang Meja Tinggi.
Ketika Harry melangkah masuk, mendadak ruangan menjadi sunyi dan kemudian semua anak mulai bicara berbarengan.
Harry
duduk di kursi, di antara Ron dan Hermione di meja Gryffindor, dan
berusaha tidak mengacuhkan kenyataan bahwa anak-anak berdiri untuk
melihatnya.
Untunglah Dumbledore tiba tak lama kemudian. Celoteh anak-anak langsung reda.
"Satu
tahun lagi telah berlalu!" kata Dumbledore riang. "Dan aku harus
menggerecoki kalian dengan ocehan orang tua sebelum kita mulai menyerbu
makanan enak-enak ini. Tahun ini sungguh luar biasa! Mudah-mudahan
kepala kalian sedikit lebih penuh daripada setahun yang lalu... kalian
masih punya sepanjang musim panas untuk mengosongkan kepala sebelum
tahun ajaran baru mulai....
"Nah,
seperti yang kupahami, Piala Asrama perlu dianugerahkan dan skornya
sebagai berikut: di tempat keempat Gryffindor, dengan tiga ratus dua
belas angka; tempat ketiga Hufflepuff, dengan tiga ratus lima puluh dua;
Ravenclaw mengumpulkan empat ratus dua puluh enam, dan Slytherin empat
ratus tujuh puluh dua."
Gemuruh
sorak dan entakan kaki terdengar dari meja Slytherin. Harry bisa
melihat Draco Malfoy mengetuk-ngetukkan piala minumnya di atas meja.
Pemandangan yang memuakkan.
"Ya, ya, bagus sekali, Slytherin," puji Dumbledore.
"Meskipun demikian, kejadian belakangan ini harus ikut diperhitungkan."
Ruangan langsung sunyi senyap. Senyum anak-anak Slytherin sedikit memudar.
"Ehem,"
kata Dumbledore. "Ada angka-angka terakhir yang harus kubagikan. Coba
kulihat. Ya... "Yang pertama—kepada Mr Ronald Weasley..." Wajah Ron
menjadi keunguan; dia tampak seperti lobak yang terbakar sinar matahari.
"... untuk permainan catur paling indah yang pernah dilihat Hogwarts
selama bertahun-tahun ini. Kuhadiahkan kepada Gryffindor lima puluh
angka."
Sorak
Gryffindor nyaris mengangkat atap sihir Aula; bintangbintang di atas
sampai bergetar. Percy terdengar memberitahu Prefek-prefek lainnya,
"Kalian tahu, dia adikku! Adik laki-lakiku yang paling kecil! Berhasil
memecahkan set catur raksasa McGonnagall."
Akhirnya
sunyi lagi. "Kedua—kepada Miss Hermione Granger... untuk penggunaan
logika dingin dalam menghadapi api. Kuhadiahkan kepada Gryffindor lima
puluh angka."
Hermione
membenamkan wajah ke lengannya. Harry sangat curiga dia menangis.
Anak-anak Gryffindor di sekeliling meja bukan main senangnya. Angka
mereka naik seratus poin.
"Ketiga—kepada Mr Harry Potter...," kata Dumbledore.
Ruangan
betul-betul sunyi senyap. "... untuk ketabahan dan keberanian yang luar
biasa. Kuhadiahkan kepada Gryffindor enam puluh angka."
Teriakan
dan hiruk-pikuk yang terdengar sungguh memekakkan telinga. Mereka yang
bisa menghitung, sambil berteriak-teriak sampai serak, tahu bahwa angka
Gryffindor sekarang menjadi empat ratus tujuh puluh dua, persis sama
dengan Slytherin. Skor mereka seri untuk Piala Asrama... seandainya saja
Dumbledore memberi Harry satu angka lebih banyak.
Dumbledore mengangkat tangannya.
Ruangan berangsur-angsur kembali sunyi.
"Ada
berrnacam-macam keberanian," kata Dumbledore tersenyum. "Perlu banyak
keberanian untuk menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang
sama banyaknya untuk menghadapi kawan-kawan kita. Karena itu aku
menghadiahkan sepuluh angka kepada Mr Neville Longbottom."
Orang
yang berdiri di luar Aula Besar mungkin akan mengira terjadi semacam
ledakan di dalam, karena begitu kerasnya bunyi yang meledak di meja
Gryffindor. Harry, Ron, dan Hermione berdiri untuk berteriak sementara
Neville, pucat saking terguncangnya, menghilang di bawah tumpukan
anak-anak yang rnemeluknya. Dia tak pernah memenangkan bahkan satu angka
pun untuk Gryffindor sebelum ini. Harry, masih bersorak-sorak, menyodok
rusuk Ron dan menunjuk ke arah Malfoy, yang seandainya mendapat Kutukan
Ikat Tubuh Sempurna pun tak mungkin kelihatan lebih kaget dan ngeri
daripada sekarang.
"Itu
berarti," seru Dumbledore mengatasi gemuruh sorakan, karena baik
Ravenclaw maupun Hufflepuff ikut merayakan kejatuhan Slytherin, "kita
perlu sedikit perubahan dekorasi."
Dumbledore
menepukkan tangannya. Dalam sekejap hiasan-hiasan gantung hijau berubah
menjadi merah dan peraknya menjadi emas. Ular raksasa Slytherin lenyap,
digantikan singa Gryffindor yang gagah. Snape menjabat tangan Profesor
McGonagall dengan senyum pahit yang dipaksakan. Matanya bertatapan
dengan mata Harry, dan Harry langsung tahu bahwa perasaan Snape
kepadanya tidak berubah sedikit pun. Ini tidak membuat Harry cemas.
Tampaknya, hidup baginya akan kembali normal di tahun ajaran mendatang,
atau senormal yang mungkm terjadi di Hogwarts.
Malam
itu malam paling indah dalam hidup Harry, lebih menyenangkan daripada
memenangkan Quidditch atau merayakan Natal atau memukul pingsan troll
gunung... dia tak akan pernah melupakan malam ini.
***
Harry
nyaris lupa bahwa hasil ujian belum diumumkan, tetapi akhirnya hasil
itu keluar juga. Betapa herannya dia dan Ron, karena mereka berdua lulus
dengan nilai-nilai bagus.
Hermione, tentu saja, menjadi juara sekolah untuk kelas satu.
Bahkan
Neville lulus juga, nilai Herbologi-nya yang tinggi mengimbangi nilai
Ramuan-nya yang jeblok. Mereka berharap bahwa Goyle, yang kebodohannya
nyaris sama besar dengan kekejamannya, akan dikeluarkan, tetapi Goyle
lulus juga.
Sayang, tetapi seperti kata Ron, dalam hidup ini kita tidak bisa mendapatkan segalanya.
Dan
mendadak saja lemari pakaian mereka kosong, koper-koper mereka sudah
dikemas, katak Neville ditemukan bersembunyi di sudut toilet. Pesan
dibagikan kepada semua murid, memperingatkan mereka agar tidak
menggunakan sihir selama liburan ("Aku selalu berharap mereka lupa
memberikan peringatan ini kepada kita," kata Fred Weasley sedih.).
Hagrid siap membawa mereka turun ke armada perahu yang akan berlayar
menyeberangi danau. Mereka naik ke Hogwarts Express, mengobrol dan
tertawa-tawa sementara daerah pedesaan yang mereka lalui menjadi kian
hijau dan rapi; makan Kacang Segala-Rasa Bertie Bott selagi kereta
meluncur melewati kota-kota Muggle; melepas jubah penyihir mereka dan
ganti memakai jaket biasa; sampai akhirnya kereta berhenti di peron
sembilan tiga perempat di Stasiun King's Cross.
Perlu
beberapa waktu bagi mereka semua untuk turun di peron. Seorang penjaga
tua yang sudah keriput, berjaga di palang rintangan boks penjualan
tiket, mengatur mereka keluar berdua dan bertiga, agar tidak menarik
perhatian. Sebab kalau mereka semua serentak bermunculan dari tembok
kokoh, tentu para Muggle akan kaget dan ketakutan.
"Kalian harus datang menginap musim panas ini," kata Ron,
"kalian berdua—akan kukirim burung hantu."
"Terima kasih," kata Harry. "Aku perlu sesuatu yang menyenangkan untuk kunanti-nantikan kedatangannya."
Orang-orang
menyenggol mereka ketika mereka bergerak maju, menuju gerbang yang
membawa mereka kembali ke dunia Muggle. Beberapa di antaranya berseru,
"Dah, Harry!"
"Sampai ketemu, Potter!"
"Tetap populer, ya," kata Ron tersenyum.
"Tidak kalau di tempat yang kutuju. Percaya deh," kata Harry. Harry, Ron, dan Hermione melewati gerbang bersama-sama.
"Itu dia, Mum, itu dia, lihat!"
Yang
berteriak Ginny Weasley, adik perempuan Ron, tetapi dia tidak menunjuk
Ron. "Harry Potter!" lengkingnya. "Lihat, Mum, aku bisa melihat..."
"Diamlah, Ginny, dan tidak sopan menunjuk-nunjuk."
Mrs Weasley tersenyum kepada mereka.
"Tahun yang sibuk?" sapanya.
"Sangat," kata Harry. "Terima kasih untuk bonbon dan rompinya, Mrs Weasley."
"Oh, sama-sama, Nak."
"Sudah siap?"
Itu
Paman Vernon, wajahnya masih ungu, masih berkumis, masih kelihatan
marah pada Harry yang nekat menenteng burung hantu dalam sangkar di
stasiun yang penuh orang biasa.
Di belakangnya berdiri Bibi Petunia dan Dudley yang kelihatan ngeri melihat Harry.
"Kalian pastilah keluarga Harry!" sapa Mrs Weasley.
"Boleh
dikatakan begitu," kata Paman Vernon. "Ayo cepat, kita tak bisa
seharian di sini." Paman Vernon langsung ngeloyor pergi. Harry masih
tinggal untuk mengucapkan salam perpisahan pada Ron dan Hermione.
"Sampai ketemu setelah musim panas, ya."
"Mudah-mudahan
liburanmu—er—menyenangkan," kata Hermione, menoleh, memandang Paman
Vernon dengan bimbang. Dia heran sekali ada orang yang begitu tidak
menyenangkan.
"Oh,
pasti menyenangkan," kata Harry, dan mereka heran melihat senyum yang
merekah lebar di wajahnya. "Mereka. tak tahu kita dilarang menggunakan
sihir di rumah. Aku akan banyak bersenang-senang dengan Dudley musim
panas ini...."
SELESAI NOVEL 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar