Laman

Sabtu, 06 Februari 2016

Harry Potter And The Chamber Of Screts Seri 2

 Harry Potter Dan Kamar Rahasia 2


11. Klub Duel


KETIKA Harry terbangun pada hari Minggu pagi, kamarnya dipenuhi sinar matahari musim dingin dan lengannya sudah bertulang lagi, tetapi sangat kaku. Dia segera duduk dan menoleh ke tempat tidur Colin, tetapi ternyata di antara tempat tidurnya dan tempat tidur Colin telah dipasangi tirai tinggi, yang kemarin dipasang untuk melindunginya berganti pakaian. Me-lihat Harry sudah bangun, Madam Pomfrey datang membawa nampan sarapan dan mulai menekuk dan menarik lengan, tangan, dan jari-jarinya.
"Semua bagus," katanya, ketika Harry dengan cang-gung menyuapkan bubur dengan tangan kirinya. "Se-sudah makan, kau boleh pulang."
Harry berpakaian secepat dia bisa dan bergegas ke Menara Gryffindor. Dia sudah ingin sekali bercerita kepada Ron dan Hermione soal Colin dan Dobby, tetapi ternyata mereka tak ada di sana. Harry pergi lagi untuk mencari mereka, dalam hati bertanya-tanya ke mana kiranya mereka dan merasa agak sakit hati karena mereka tidak ingin tahu apakah tulangnya bisa tumbuh lagi atau tidak.
Saat Harry melewati perpustakaan, Percy Weasley keluar dari situ. Dia kelihatan jauh lebih riang dari-pada ketika terakhir kali mereka bertemu.
"Oh, halo, Harry," sapanya. "Terbangmu hebat sekali kemarin, benar-benar luar biasa. Gryffindor memimpin dalam perolehan angka untuk Piala Asrama—kau men-dapat lima puluh angka!"
"Kau tidak melihat Ron atau Hermione?" tanya Harry.
"Tidak," kata Percy, senyumnya memudar.
"Mudah-mudahan Ron tidak berada di toilet anak perempuan yang lain..."
Harry memaksakan tawa, mengawasi Percy meng-hilang, dan kemudian langsung menuju toilet Myrtle Merana. Dia tak melihat alasan kenapa Ron dan Hermione akan berada di sana lagi, tetapi setelah memastikan bahwa tak ada Filch maupun Prefek, dia membuka pintunya dan mendengar suara mereka dari dalam bilik terkunci.
"Ini aku," katanya seraya menutup pintu di bela-kangnya. Terdengar bunyi debam, cebur, dan pekik kaget tertahan dari dalam bilik, dan dilihatnya mata Hermione mengintip dari lubang kunci.
"Harry!" serunya. "Kau membuat kami kaget sekali. Masuklah—bagaimana lenganmu?"
"Baik," kata Harry, menyelinap masuk ke dalam bilik. Sebuah kuali tua bertengger di atas kloset, dan bunyi berderak di bawah tepi kuali membuat Harry tahu mereka telah menyalakan api di bawahnya. Me-nyihir api yang bisa dibawa- bawa dan tahan air adalah keahlian Hermione.
"Kami tadinya mau menengokmu, tapi kemudian memutuskan untuk langsung mulai merebus Ramuan Polijus," Ron menjelaskan, ketika Harry dengan susah payah mengunci pintu bilik lagi. "Kami memutuskan ini tempat paling aman untuk menyembunyikannya."
Harry baru mulai bercerita tentang Colin, tetapi Hermione menyelanya. "Kami sudah tahu, kami men-dengar Profesor McGonagall memberitahu Profesor Flitwick tadi pagi. Itulah sebabnya kami memutuskan lebih baik kita segera mulai saja..."
"Lebih cepat kita mendengar pengakuan Malfoy, lebih baik," kata Ron geram. "Tahukah kalian apa pendapatku? Dia marah sekali setelah pertandingan Quidditch itu, lalu membalasnya pada Colin."
"Ada lagi yang lain," kata Harry, mengawasi Hermione membuka ikatan knotgrass dan melempar-kannya ke dalam kuali. "Dobby datang mengunjungi-ku tengah malam."
Ron dan Hermione menengadah keheranan. Harry menceritakan kepada mereka semua yang diceritakan Dobby— atau yang tidak diceritakannya. Ron dan Hermione mendengarkan dengan mulut ternganga.
"Kamar Rahasia sudah pernah dibuka sebelumnya?" kata Hermione.
"Jelas kalau begitu," kata Ron dengan nada penuh kemenangan. "Lucius Malfoy pastilah telah membuka Kamar Rahasia waktu dia bersekolah di sini dan seka-rang dia memberitahu anak kesayangannya, si Draco, bagaimana caranya. Jelas sekali. Sayang sekali Dobby tidak memberitahumu monster seperti apa yang ada di dalamnya. Aku penasaran, bagaimana mungkin tak ada orang yang melihatnya berkeliaran di sekolah."
"Mungkin dia bisa membuat dirinya tidak kelihatan," kata Hermione, menekan lintah-lintah ke dasar kuali. "Atau mungkin dia menyamar—pura-pura jadi baju zirah atau entah apa. Aku sudah baca tentang Hantu Bunglon..."
"Kau terlalu banyak membaca, Hermione," kata Ron sambil menuangkan serangga sayap-renda mati di atas lintah-lintah. Dia meremas kantong serangga yang sudah kosong dan berpaling menatap Harry.
"Jadi, Dobby menghalangi kita naik kereta api dan mematahkan lenganmu..." Ron geleng-geleng. "Tahu tidak, Harry? Kalau dia tidak berhenti berusaha me-nyelamatkan hidupmu, dia akan membunuhmu."
Berita bahwa Colin Creevey diserang dan sekarang terbaring bagai mayat di rumah sakit sudah menyebar ke seluruh sekolah pada hari Senin pagi. Suasana mendadak penuh desas-desus dan kecurigaan. Murid-murid kelas satu sekarang ke mana-mana be-rombongan, seakan mereka takut akan diserang kalau berani berjalan sendirian.
Ginny Weasley, yang duduk di sebelah Colin Creevey dalam pelajaran Jimat dan Guna-guna, bi-ngung dan ketakutan. Tetapi Harry merasa cara Fred dan George menghiburnya malah membawa hasil yang sebaliknya. Fred dan George bergiliran menyihir diri mereka menjadi berbulu atau dipenuhi bisul dan melompat mengagetkan Ginny dari balik patung-patung. Mereka baru berhenti ketika Percy, yang sa-ngat marah, berkata bahwa dia akan menulis kepada Mrs Weasley dan memberitahunya bahwa Ginny di-hantui mimpi buruk.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan para guru, per-dagangan jimat, amulet, dan berbagai sarana per-lindungan, melanda sekolah dengan amat seru. Neville Longbottom membeli bawang hijau besar berbau bacin, kristal runcing ungu, dan ekor-kadal busuk sebelum anak-anak Gryffindor lainnya mengingatkan bahwa dia tidak dalam bahaya: dia berdarah-murni, karena itu tak mungkin diserang.
"Filch adalah yang pertama mereka serang," katanya, wajahnya yang bundar ketakutan, "dan semua tahu aku bisa dibilang nyaris Squib."
Dalam minggu kedua Desember Profesor McGonagall berkeliling seperti biasanya, mendaftar nama-nama mereka yang akan tinggal di sekolah selama liburan Natal. Harry, Ron, dan Hermione mendaftar. Mereka sudah mendengar bahwa Malfoy juga akan tinggal.
Bagi mereka ini sangat mencurigakan. Liburan me-rupakan saat yang paling tepat untuk menggunakan Ramuan Polijus dan mencoba mengorek pengakuan darinya.
Sayangnya, ramuan itu baru separo selesai. Mereka masih membutuhkan tanduk Bicorn dan kulit ular pohon, dan satu- satunya tempat mereka bisa men-dapatkan keduanya adalah lemari pribadi Snape. Harry sendiri merasa dia lebih suka menghadapi monster legendaris Slytherin daripada tertangkap Snape sedang merampok kantornya.
"Yang kita perlukan," kata Hermione tegas, ketika sudah hampir tiba saatnya mereka mengikuti dua jam pelajaran Ramuan, "adalah pengalihan perhatian. Kemudian salah satu dari kita menyelinap ke dalam kantor Snape dan mengambil yang kita perlukan."
Harry dan Ron memandang Hermione dengan cemas.
"Kurasa lebih baik aku yang melakukan pencurian," Hermione melanjutkan dengan tegas. "Kalian berdua akan dikeluarkan jika membuat kesalahan lain, sedang-kan reputasiku masih bersih. Jadi yang perlu kalian lakukan hanyalah menimbulkan cukup kegaduhan untuk membuat Snape sibuk selama kira-kira lima menit."
Harry tersenyum lemah. Sengaja membuat ke-gaduhan di kelas Ramuan Snape sama amannya de-ngan menusuk mata naga tidur.
Pelajaran Ramuan bertempat di salah satu ruang bawah tanah yang luas. Pelajaran sore itu berlangsung seperti biasa.
Dua puluh kuali berdiri menggelegak di antara meja-meja, yang di atasnya ada timbangan kuningan serta stoples-stoples bahan. Snape hilir-mudik menembus asap, melontarkan komentar-komentar menyengat tentang hasil anak-anak Gryffindor, sementara anak-anak Slytherin terkikik-kikik senang. Draco Malfoy, murid favorit Snape, ber-kali-kali mengarahkan matanya yang menonjol seperti mata ikan kepada Ron dan Harry, yang tahu betul kalau mereka membalas, mereka akan langsung men-dapat detensi sebelum mereka sempat berkata "tidak adil".
Ramuan Pembengkak Harry terlalu cair, tetapi pikirannya dipenuhi hal-hal lain yang jauh lebih pen-ting. Dia sedang menunggu kode dari Hermione, dan nyaris tidak mendengarkan ketika Snape berhenti di kualinya, mencemooh ramuannya yang encer. Ketika Snape sudah berbalik dan pergi untuk mengomeli Neville, Hermione memandang Harry dan mengang-guk.
Harry dengan gesit membungkuk di balik kualinya, menarik keluar sebuah kembang api Filibuster milik Fred dari kantongnya dan mengetuknya sekali dan cepat dengan tongkatnya. Kembang api itu mulai mendesis. Tahu dia hanya punya waktu beberapa detik, Harry menegakkan diri, membidik, dan me-lemparkannya ke udara. Kembang api itu mendarat tepat di dalam kuali Goyle.
Ramuan Goyle meledak, mengguyur seluruh kelas. Anak- anak menjerit ketika percikan Ramuan Pem-bengkak menciprati mereka. Malfoy bahkan tersiram wajahnya dan hidungnya langsung membengkak se-besar balon. Goyle terhuyung-huyung, tangannya me-nutupi matanya, yang sudah membesar seukuran piring, sementara Snape berusaha menenangkan me-reka dan mencari tahu apa yang terjadi. Di tengah kegemparan itu Harry melihat Hermione diam-diam menyelinap keluar dari pintu.
"Diam! DIAM!" raung Snape. "Siapa saja yang ke-cipratan, ke sini untuk mendapatkan Ramuan Pengempis. Kalau aku tahu siapa yang melakukan ini..."
Harry berusaha tidak tertawa ketika dilihatnya Malfoy bergegas maju, kepalanya tergantung rendah keberatan hidungnya yang menjadi sebesar melon. Selagi separo kelas berjalan dengan susah payah ke meja Snape, beberapa keberatan lengan yang sebesar pentungan dan yang lain tak bisa bicara karena bibir-nya membengkak superbesar, Harry melihat Hermione menyelinap balik ke dalam kelas, bagian depan jubahnya menggembung.
Setelah semua minum seteguk penangkal dan ber-bagai bengkak sudah mengempis, Snape melesat ke kuali Goyle dan menyendok sisa kembang api yang terpilin hitam. Kelas menjadi hening.
"Kalau sampai kutemukan siapa yang melempar ini," bisik Snape, "akan kupastikan anak itu dikeluar-kan."
Harry mengatur wajahnya dengan harapan semoga tampak seperti ekspresi kebingungan. Snape me-mandangnya lurus- lurus, dan bel yang berdering se-puluh menit kemudian betul- betul membuatnya lega.
"Dia tahu aku pelakunya," Harry memberitahu Ron dan Hermione, sementara mereka bergegas kembali ke toilet Myrtle Merana. "Ya, dia tahu." Hermione memasukkan bahan- bahan baru ke dalam kuali dan mulai mengaduk dengan bersemangat.
"Dua minggu lagi jadi," katanya riang.
"Snape tak akan bisa membuktikan itu kau," kata Ron meyakinkan Harry. "Apa yang bisa dia lakukan?"
"Kalau bicara tentang Snape, pasti itu adalah sesuatu yang jahat," kata Harry sementara ramuan itu berbuih menggelegak.
Seminggu kemudian, Harry, Ron, dan Hermione se-dang berjalan menyeberangi Aula Depan ketika me-reka melihat beberapa anak berkerumun di depan papan pengumuman, membaca secarik perkamen yang baru saja dipasang. Seamus Finnigan dan Dean Tho-mas memberi isyarat agar mereka mendekat. Mereka kelihatan bersemangat sekali.
"Mereka mengadakan Klub Duel!" kata Seamus.
"Pertemuan pertama malam ini! Aku tak keberatan ikut pelajaran duel, pasti akan bermanfaat hari-hari ini."
"Apa? Kaupikir si monster Slytherin bisa berduel?" Ron menanggapi, tetapi dia juga membaca peng-umuman itu dengan penuh minat.
"Bisa berguna," katanya kepada Harry dan Hermione waktu mereka berangkat makan malam. "Kita ikut?"
Harry dan Hermione sepakat, maka pukul delapan malam itu mereka bergegas kembali ke Aula Besar. Meja-meja makan panjang sudah lenyap dan pang-gung keemasan telah muncul di depan salah satu dinding, diterangi seribu lilin yang melayang-layang di atasnya. Langit-langit sekali lagi gelap pekat dan sebagian besar murid-murid tampaknya berkumpul di situ, semua membawa tongkat dan kelihatan bergairah.
"Siapa ya yang akan mengajar kita?" kata Hermione, ketika mereka mendekat ke kerumunan anak-anak yang ramai berceloteh. "Ada yang bilang padaku Flitwick juara duel waktu masih muda, mungkin dia yang akan mengajar."
"Asal saja bukan...," Harry memulai, tapi mengakhiri dengan keluhan. Gilderoy Lockhart berjalan ke pang-gung, tampak gemilang dalam jubah berwarna merah tua keunguan, dan ditemani oleh, tak lain tak bukan, Snape, yang seperti biasa berjubah hitam.
Lockhart melambaikan tangannya menyuruh anak-anak diam, dan berseru, "Mendekat, mendekat! Apa semua bisa melihatku? Semua bisa mendengarku? Bagus sekali!
"Nah, Profesor Dumbledore telah memberiku izin untuk membentuk klub duel kecil ini, untuk melatih kalian semua, siapa tahu kalian perlu mempertahankan diri seperti yang kualami dalam banyak kesempatan— untuk detail yang lebih lengkap, baca saja buku-bukuku.
"Izinkan aku memperkenalkan asistenku, Profesor Snape," kata Lockhart, tersenyum lebar. "Dia mem-beritahu aku dia tahu juga sedikit-sedikit tentang duel dan bersedia membantuku melakukan peragaan singkat sebelum kita mulai. Nah, aku tak ingin kalian cemas—kalian masih akan memiliki ahli Ramuan kalau aku sudah selesai menanganinya, tak usah takut!"
"Bukankah bagus kalau mereka saling bunuh?" gu-mam Ron di telinga Harry.
Bibir atas Snape mencibir. Harry heran kenapa Lockhart masih tersenyum. Kalau Snape memandang-nya seperti itu, Harry pastilah sudah kabur secepat mungkin.
Lockhart dan Snape berbalik untuk saling ber-hadapan dan membungkuk; paling tidak Lockhart membungkuk, dengan tangan berputar-putar, semen-tara Snape cuma mengedikkan kepala dengan jengkel. Kemudian mereka mengangkat tongkat seperti pedang di depan mereka.
"Seperti kalian lihat, kami memegang tongkat dalam posisi tempur yang diterima," Lockhart memberitahu penonton yang diam. "Pada hitungan ketiga, kami akan melontarkan mantra pertama kami. Tak satu pun dari kami berdua bermaksud membunuh, tentu."
"Aku tak yakin," gumam Harry, mengawasi Snape yang menyeringai memamerkan giginya.
"Satu—dua—tiga..."
Keduanya mengayunkan tongkat tinggi-tinggi ke atas bahu. Snape berseru, "Expelliarmus!" Cahaya me-rah menyilaukan berkilat menyambar dan Lockhart terangkat. Dia terbang mundur keluar panggung, me-nabrak dinding, merosot, dan akhirnya telentang di lantai.
Malfoy dan beberapa anak Slytherin lain bersorak.
Hermione berjingkat-jingkat panik. "Apakah dia tidak apa- apa?" pekiknya dari antara jari-jarinya.
"Siapa peduli?" kata Ron dan Harry bersamaan.
Lockhart bangun terhuyung-huyung. Topinya jatuh dan rambutnya yang ikal kini mencuat berdiri.
"Wah, Anda berhasil!" katanya, tertatih-tatih kembali ke panggung. "Itu tadi Mantra Pelepas Senjata—seperti yang kalian lihat, tongkatku hilang—ah, terima kasih, Miss Brown. Ya, ide bagus sekali untuk menunjuk-kannya kepada mereka, Profesor Snape, tapi kalau Anda tidak keberatan, bisa kubilang jelas sekali apa yang akan Anda lakukan tadi. Kalau aku mau meng-hentikan Anda, gampang sekali. Tapi, aku merasa ada baiknya membiarkan anak-anak melihatnya..."
Snape kelihatan siap membunuh. Profesor Lockhart akhirnya sadar juga, karena dia berkata, "Cukup peragaannya! Aku akan turun ke antara kalian dan memasang-masangkan kalian. Profesor Snape, kalau Anda bersedia membantuku...." Mereka bergerak di antara anak-anak, memasang-masangkan partner. Lockhart memasangkan Neville dengan Justin Finch-Fletchley, tetapi Snape mencapai Harry dan Ron lebih dulu.
"Sudah waktunya memecah tim impian, kurasa," ejeknya.
"Weasley, kau bisa berpartner dengan Finnigan. Potter..." Harry otomatis bergerak mendekati Hermione.
"Kurasa tidak," kata Snape, tersenyum dingin. "Mr Malfoy, kemari. Coba lihat apa yang bisa kaulakukan terhadap si Potter yang terkenal ini. Dan kau, Miss Granger, kau bisa berpartner dengan Miss Bulstrode."
Malfoy mendatangi sok gagah, menyeringai som-bong. Di belakangnya berjalan seorang anak perem-puan Slytherin yang mengingatkan Harry pada foto hantu perempuan tua jelek sekali yang dilihatnya dalam buku Heboh dengan Hantu. Tubuhnya besar dan kekar, dan rahangnya yang berat mencuat ke depan dengan menantang. Hermione tersenyum lemah kepadanya, yang tidak dibalasnya.
"Hadapi partnermu!" seru Lockhart, yang sudah kembali berada di panggung. "Dan membungkuk!" Harry dan Malfoy nyaris tidak menggerakkan kepala, saling tidak melepas pandang.
"Tongkat siap!" teriak Lockhart. "Pada hitunganku yang ketiga, ucapkan mantra untuk melucuti lawanmu—hanya untuk melucuti mereka—kita tidak menginginkan terjadinya malapetaka. Satu... dua... tiga..."
Harry mengangkat tongkatnya ke atas bahu, tetapi Malfoy sudah bertindak pada hitungan kedua, mantra-nya menghantam Harry begitu keras sampai Harry merasa seakan kepalanya dipukul wajan. Dia ter-huyung, tetapi kelihatannya dia tidak apa-apa, dan tanpa membuang waktu lagi, Harry mengayunkan tongkatnya lurus-lurus ke arah Malfoy dan berteriak,
"Rictusempra!"
Cahaya keperakan meluncur menghantam perut Malfoy dan dia membungkuk, menciut-ciut.
"Kubilang lucuti senjatanya saja!" teriak Lockhart kaget di atas kepala anak-anak yang sedang bertanding, ketika Malfoy jatuh berlutut. Harry menyerangnya dengan Mantra Gelitik, dan Malfoy nyaris tak bisa bergerak saking sibuknya tertawa.
Harry mundur, merasa tidak adil menyihir Malfoy yang masih di lantai, tetapi dia keliru. Terengah kehabisan napas, Malfoy mengarahkan tongkatnya kepada Harry, ber-kata tersedak,
"Tarantallegra!" dan detik berikutnya kaki Harry sudah bergerak menyentak-nyentak dengan cepat di luar kendalinya.
"Stop! Stop!" Lockhart berteriak-teriak, tetapi Snape segera mengambil tindakan.
"Finite Incantatem!" teriaknya. Kaki Harry berhenti menari. Malfoy berhenti tertawa, dan mereka bisa mendongak lagi.
Asap kehijauan memenuhi panggung. Neville dan Justin terbaring di lantai, terengah-engah. Ron me-megangi Seamus yang wajahnya sepucat tembok, me-minta maaf untuk entah apa yang telah dilakukan tongkat patahnya. Tetapi Hermione dan Millicent Bulstrode masih bergerak. Millicent memiting Hermione dan Hermione mengerang kesakitan. Tong-kat keduanya tergeletak terlupakan di atas panggung. Harry melompat menarik Millicent. Susah sekali, ka-rena dia jauh lebih besar daripada Harry.
"Ya ampun, ya ampun," kata Lockhart gugup dari antara kepala anak-anak, memandang hasil duel. "Bangun, Macmillan... hati-hati, Miss Fawcett... cubit keras-keras, darahnya akan langsung berhenti, Boot...
"Kurasa ada baiknya kuajari kalian cara menangkal mantra tak bersahabat," kata Lockhart, berdiri ke-bingungan di tengah aula. Dia melirik Snape, yang mata hitamnya berkilat-kilat, dan segera membuang pandang. "Ayo, siapa yang mau jadi pasangan sukarela—Longbottom dan Finch-Fletchley, bagaimana kalau kalian berdua?"
"Ide buruk, Profesor Lockhart," kata Snape, ber-kelebat mendekat bagai kelelawar besar yang jahat. "Longbottom membuat malapetaka dengan mantra yang paling sederhana. Kita akan mengirim entah apa yang tersisa dari Finch-Fletchley ke rumah sakit dalam kotak korek api." Wajah Neville yang bundar dan merah jambu semakin merah. "Bagaimana kalau Malfoy dan Potter saja?" kata Snape dengan senyum licik.
"Ide bagus!" kata Lockhart, memberi isyarat kepada Harry dan Malfoy agar maju ke tengah aula, sementara anak-anak mundur untuk memberi mereka tempat.
"Nah, Harry," kata Lockhart, "kalau Draco meng-acungkan tongkatnya ke arahmu, kautangkal begini."
Dia mengangkat tongkatnya sendiri, berusaha me-lakukan gerakan mengentak yang rumit dan tongkat-nya jatuh. Snape mencibir ketika Lockhart buru-buru memungutnya, sambil berkata, "Whoops—tongkatku terlalu bersemangat."
Snape mendekati Malfoy, membungkuk dan berbisik di telinganya. Malfoy ikut mencibir. Harry mendongak memandang Lockhart dengan gugup dan berkata, "Profesor, bisakah Anda menunjukkan cara menangkal tadi sekali lagi?"
"Takut nih?" gumam Malfoy, sehingga Lockhart tidak bisa mendengarnya.
"Maumu," balas Harry dari sudut mulutnya.
Lockhart memegang bahu Harry dengan riang. "Lakukan saja apa yang kulakukan tadi, Harry!"
"Apa? Menjatuhkan tongkat saya?" Tetapi Lockhart tidak mendengarkannya.
"Tiga—dua—satu—mulai!" teriaknya.
Malfoy cepat-cepat mengangkat tongkatnya dan ber- teriak, "Serpensortia!"
Ujung tongkatnya meledak. Harry mengawasi, ter-peranjat, ketika seekor ular panjang hitam melesat dari ujung tongkat itu, terjatuh di lantai di antara mereka berdua dan mengangkat kepalanya, siap me-nyerang. Anak-anak menjerit- jerit, mundur ketakutan.
"Jangan bergerak, Potter," kata Snape santai, jelas senang melihat Harry berdiri bergeming, berhadapan dengan ular yang marah. "Akan kulenyapkan..."
"Biar aku saja!" teriak Lockhart. Diacungkannya tongkatnya ke arah si ular dan terdengar letusan keras. Si ular, alih-alih lenyap, terbang setinggi tiga meter dan terjatuh kembali di lantai dengan bunyi berdebam keras.
Marah sekali, mendesis-desis berang, ular itu me-lata menuju Justin Finch-Fletchley dan mengangkat kepalanya lagi, memamerkan taringnya, siap menye-rang.
Harry tidak tahu apa yang membuatnya berbuat begitu. Dia bahkan tidak sadar telah memutuskan untuk melakukannya. Yang diketahuinya hanyalah kakinya membawanya maju, seakan ada rodanya, dan bahwa dia berteriak bodoh kepada si ular, "Jangan ganggu dia!" Dan ajaib sekali—tak bisa dijelaskan—si ular terpuruk di lantai, jinak seperti slang air besar hitam, matanya sekarang memandang Harry. Harry merasa ketakutannya memudar. Dia tahu ular itu tidak akan menyerang siapa-siapa sekarang, meskipun bagai-mana dia tahu, dia tidak bisa menjelaskannya.
Dia menengadah menatap Justin, tersenyum, ber-harap Justin kelihatan lega, atau bingung, atau bahkan berterima kasih. Tetapi Justin justru tampak marah dan ketakutan.
"Kaupikir apa yang kaulakukan?" teriaknya, dan sebelum Harry sempat berkata apa-apa, Justin telah berbalik dan bergegas meninggalkan aula.
Snape maju, melambaikan tongkatnya, dan si ular lenyap dalam kepulan asap hitam. Snape juga me-natap Harry dengan cara yang tak terduga: tajam, licik, dan penuh perhitungan, dan Harry tidak me-nyukainya. Dia juga samar- samar menyadari bisik-bisik tak senang di seluruh ruangan. Kemudian dia merasa ada yang menarik bagian belakang jubahnya.
"Ayo," kata Ron di telinganya. "Kita pergi—ayo..."
Ron memimpinnya meninggalkan aula. Hermione bergegas mengiringi. Ketika mereka akan melewati pintu, anak-anak di kanan-kiri mereka minggir men-jauh, seakan takut akan kejangkitan sesuatu. Harry sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan baik Ron maupun Hermione tidak menjelaskan apa pun sampai mereka telah membawanya ke ruang rekreasi Gryffindor yang kosong. Kemudian Ron men-dorong Harry ke kursi berlengan dan berkata, "Kau Parselmouth. Kenapa kau tidak bilang pada kami?"
"Aku apa?"
"Parselmouth!" kata Ron. "Kau bisa bicara dengan ular!"
"Aku tahu," kata Harry. "Maksudku, tadi itu baru kedua kalinya aku bicara dengan ular. Aku pernah tak sengaja melepaskan boa pembelit dan membuat sepupuku Dudley ketakutan di kebun binatang— ceritanya panjang—tapi ular itu memberitahuku bahwa dia belum pernah melihat Brasil, dan tanpa sengaja aku seolah telah membebaskannya. Itu sebelum aku tahu aku penyihir..."
"Ular boa pembelit memberitahumu dia belum pernah melihat Brasil?" Ron mengulang lemas. "Jadi?" kata Harry.
"Pasti banyak orang di sini bisa melakukannya."
"Oh, tidak, mereka tak bisa," kata Ron. "Itu ke-mampuan yang sangat tidak umum. Harry, ini buruk sekali."
"Apa yang buruk?" kata Harry, mulai jengkel. "Kenapa sih dengan kalian semua? Dengar, kalau aku tidak melarang ular itu menyerang Justin..."
"Oh, itu yang kaukatakan padanya?" "Apa maksudmu? Kau ada di sana... kau men-dengarku."
"Aku mendengarmu bicara Parseltongue," kata Ron,
"bahasa ular. Kau bisa saja ngomong entah apa. Tak heran Justin panik, kedengarannya kau menyemangati si ular untuk melakukan sesuatu. Mengerikan, tahu."
Harry melongo.
"Aku bicara bahasa lain? Tapi—aku tidak me-nyadarinya— bagaimana mungkin aku bisa bicara bahasa lain tanpa diriku sendiri tahu?"
Ron menggeleng. Baik dia maupun Hermione ke-lihatan seolah baru saja kematian teman. Harry tak mengerti apa yang begitu menyedihkan mereka.
"Kalian mau memberitahuku apa salahnya meng-hentikan ular besar mencaplok kepala Justin?" katanya. "Apakah penting bagaimana aku melakukannya, asal hasilnya Justin tidak usah bergabung dengan Per-buruan Tanpa-Kepala?"
"Itu penting," kata Hermione, akhirnya bicara de-ngan suara tertekan, "karena Salazar Slytherin ter-kenal justru karena kemampuannya bicara dengan ular. Itulah sebabnya simbol asrama Slytherin adalah ular."
Harry ternganga.
"Persis," kata Ron. "Dan sekarang seluruh sekolah akan mengira kau cucu-cucu-cucu-cucu-cucunya atau entah keturunan keberapa..."
"Tapi aku bukan keturunannya," kata Harry dengan kepanikan yang tak dapat dijelaskannya.
"Susah dibuktikan," kata Hermione. "Dia hidup kira-kira seribu tahun yang lalu; bisa saja kau memang keturunannya."
Harry terbaring tak bisa tidur selama berjam-jam ma-lam itu. Lewat celah kelambu yang mengelilingi tem-pat tidur besarnya, dia memandang salju yang mulai melayang turun melewati jendela menara, dan ber-tanya-tanya dalam hati.
Mungkinkah dia keturunan Salazar Slytherin? Dia toh tak tahu-menahu tentang keluarga ayahnya.
Keluarga Dursley selalu melarangnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga penyihirnya.
Diam-diam, Harry mencoba mengatakan sesuatu dalam Parseltongue. Kata-katanya tak mau keluar. Rupanya dia harus berhadapan langsung dengan ular untuk bisa melakukannya.
Tetapi aku di Gryffindor, pikir Harry. Topi Seleksi tidak akan menempatkanku di sana kalau aku punya darah Slytherin....
Ah, kata suara kecil tidak menyenangkan di dalam otaknya. Tetapi Topi Seleksi kan sebetulnya ingin menempatkanmu di Slytherin, apa kau tidak ingat?
Harry berbalik. Dia akan bertemu Justin besok di kelas Herbologi dan dia akan menjelaskan bahwa dia justru menyuruh ular itu pergi, bukan mendekat, dan (dia berpikir dengan marah sambil menggembungkan bantalnya) semua orang bodoh seharusnya juga tahu.
Tetapi paginya, salju yang mulai turun di malam hari telah berubah menjadi badai salju, begitu hebatnya sehingga pelajaran Herbologi terakhir tahun ajaran itu dibatalkan. Profesor Sprout ingin memakaikan kaus kaki dan syal ke Mandrake-mandrake, tugas rumit yang tak bisa dipercayakannya kepada orang lain. Apalagi sekarang, ketika penting sekali bagi Man-drake-mandrake itu untuk segera tumbuh dan meng-hidupkan kembali Mrs Norris dan Colin Creevey Harry resah, ia berceloteh terus tentang Justin di sebelah perapian di ruang rekreasi Gryffindor, semen-tara Ron dan Hermione menggunakan jam kosong mereka untuk main catur sihir.
"Astaga, Harry" kata Hermione, putus asa, ketika salah satu menteri Ron bergulat menjatuhkan perwira-nya dari kudanya dan menyeretnya keluar papan. "Pergilah, cari Justin kalau itu begitu penting bagimu."
Maka Harry bangkit dan keluar lewat lubang lukisan, bertanya-tanya dalam hati di mana kiranya Justin.
Kastil lebih gelap daripada biasanya di siang hari, karena salju tebal abu-abu yang berpusar di semua jendela. Bergidik, Harry berjalan melewati ruang-ruang kelas tempat pelajaran sedang berlangsung, menangkap sedikit-sedikit apa yang sedang terjadi di dalam. Profesor McGonagall sedang berteriak kepada seseorang yang, kedengarannya, telah mengubah temannya menjadi luak. Melawan keinginan untuk melongok, Harry terus berjalan, berpikir bahwa Justin mungkin menggunakan jam kosong ini untuk me-ngerjakan PR, dan memutuskan untuk mengecek per-pustakaan lebih dulu.
Serombongan anak-anak Hufflepuff yang seharusnya ikut pelajaran Herbologi ternyata memang duduk di bagian belakang perpustakaan, tetapi kelihatannya mereka tidak sedang bekerja. Di antara deretan rak buku yang tinggi, Harry bisa melihat bahwa kepala mereka berdekatan dan mereka kelihatannya sedang terlibat obrolan mengasyikkan. Dia tidak bisa melihat apakah Justin berada di antara mereka. Dia sedang berjalan ke arah mereka ketika sesuatu yang mereka katakan tertangkap telinganya, dan dia berhenti untuk mendengarkan, tersembunyi di Seksi Gaib—buku-buku yang membahas tentang segala sesuatu yang tak ke-lihatan.
"Jadi," kata seorang anak laki-laki gemuk, "kusuruh Justin sembunyi di asrama kita. Maksudku, kalau Potter sudah mengincarnya sebagai korban berikutnya, lebih baik dia tidak menonjolkan diri dulu. Tentu saja, Justin sudah menduga hal semacam ini akan terjadi sejak dia kelepasan omong pada si Potter bahwa dia kelahiran-Muggle. Justin bilang padanya dia sudah didaftarkan ke Eton. Itu bukan hal yang kaugembar- gemborkan dengan adanya pewaris Slytherin yang berkeliaran, kan?"
"Kalau begitu kau yakin betul Potter-lah pelakunya, Ernie?" kata seorang anak perempuan berkepang pirang dengan cemas.
"Hannah," kata si gemuk sungguh-sungguh, "dia Parselmouth. Semua tahu itu tanda penyihir hitam. Pernahkah kaudengar ada penyihir terhormat yang bisa bicara dengan ular? Slytherin sendiri dijuluki si Lidah-ular."
Terdengar gumam-gumam seru, dan Ernie menerus-kan,
"Ingat apa yang tertulis di dinding? Musuh sang Pewaris, Waspadalah. Potter kan boleh dibilang bentrok dengan Filch. Yang berikutnya kita tahu, kucing si Filch diserang. Anak kelas satu itu, si Creevey, mem-buat Potter jengkel waktu pertandingan Quidditch, memotretnya ketika dia tergeletak di lumpur. Yang kemudian kita tahu, Creevey diserang."
"Tapi dia selalu kelihatan menyenangkan," kata Hannah tak yakin, "dan, yah, dialah yang membuat Kau-Tahu-Siapa menghilang. Masa sih dia jahat?"
Ernie merendahkan suaranya dengan penuh rahasia. Anak- anak Hufflepuff membungkuk semakin dekat supaya bisa menangkap kata-kata Ernie.
"Tak seorang pun tahu bagaimana dia bisa selamat dari serangan Kau-Tahu-Siapa. Maksudku, dia masih bayi waktu itu terjadi. Mestinya kan dia sudah hancur berkeping-keping. Hanya penyihir hitam berkekuatan luar biasa yang bisa bertahan dari serangan semacam itu." Dia semakin merendahkan suaranya, sehingga tinggal tak lebih dari bisikan, "Mungkin itulah sebab-nya Kau-Tahu-Siapa ingin membunuhnya. Tak ingin ada Pangeran Kegelapan lain menjadi saingannya. Aku ingin tahu, kira-kira kekuatan apa lagi yang di-sembunyikan Potter?"
Harry tak tahan lagi. Sambil berdeham keras, dia melangkah dari balik rak-rak buku. Jika tidak semarah itu, dia akan melihat pemandangan yang menyambut-nya tampak lucu. Semua anak Hufflepuff itu seolah dibuat Membatu hanya karena melihat dirinya, dan wajah Ernie langsung pucat pasi.
"Halo," kata Harry. "Aku mencari Justin Finch-Fletchley." Ketakutan terbesar anak-anak Hufflepuff telah ter-bukti. Mereka semua ketakutan memandang Ernie. "Mau apa kau mencari dia?" tanya Ernie dengan suara bergetar. "Aku ingin memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi dengan ular itu di Klub Duel," kata Harry.
Ernie menggigit bibirnya yang pucat dan kemudian, setelah menghela napas panjang, berkata, "Kami semua ada di sana. Kami melihat apa yang terjadi."
"Kalau begitu kau melihat bahwa setelah aku bicara dengannya, ular itu mundur?" kata Harry.
"Yang kulihat hanyalah," kata Ernie bandel, meski-pun dia bicara sambil gemetaran, "kau bicara Parseltongue dan menggebah si ular ke arah Justin."
"Aku tidak menggebah ular itu ke arahnya!" kata Harry suaranya gemetar saking marahnya. "Ular itu bahkan tidak menyentuhnya!"
"Tapi nyaris saja," kata Ernie. "Dan siapa tahu kau merencanakan sesuatu," dia menambahkan buru-buru,
"kuberitahukan padamu bahwa kau bisa menelusuri keluargaku sampai sembilan generasi penyihir ke belakang dan darahku sama murninya dengan siapa pun, jadi..."
"Aku tak peduli darahmu darah macam apa!" kata Harry sengit. "Kenapa aku mau menyerang anak-anak kelahiran- Muggle?"
"Aku sudah dengar kau membenci Muggle yang tinggal bersamamu," kata Ernie tangkas.
"Tak mungkin tinggal bersama keluarga Dursley dan tidak membenci mereka," kata Harry. "Coba saja sendiri, aku ingin lihat."
Harry berbalik dan menerobos keluar dari per-pustakaan, membuat Madam Pince, yang sedang menggosok sampul keemasan buku mantra besar, me-liriknya mencela.
Harry berjalan asal saja di koridor, seperti orang buta, nyaris tidak memperhatikan ke mana dia pergi, saking marahnya. Akibatnya dia menabrak sesuatu yang sangat besar dan kokoh, yang membuatnya ter-pental jatuh ke lantai.
"Oh, halo, Hagrid," kata Harry, memandang ke atas.
Wajah Hagrid tersembunyi sepenuhnya oleh topi balaclava wol bersalju, tetapi tak mungkin itu orang lain. Tubuhnya yang terbungkus dalam jubah tikus mondoknya memenuhi hampir seluruh koridor. Tangannya yang besar bersarung tangan menenteng bangkai seekor ayam jantan.
"Kau tak apa-apa, Harry?" katanya, menarik ke atas balaclava-nya supaya dia bisa bicara. "Kenapa kau tidak di kelas?"
"Dibatalkan," kata Harry seraya bangkit. "Ngapain kau di sini?" Hagrid mengangkat ayam jantan yang sudah lemas itu.
"Ayam kedua yang dibunuh semester ini," dia men-jelaskan. "Kalau bukan rubah, tentu momok pengisap darah, dan aku perlu izin Kepala Sekolah untuk bikin pagar sihir sekeliling kandang ayam."
Dia memandang Harry lebih teliti dari bawah alis tebalnya yang bertabur salju. "Kau yakin kau tak apa-apa? Kau kelihatan panas dan banyak pikiran." Harry tak bisa mengulangi apa yang dikatakan Ernie dan anak-anak Hufflepuff lainnya tentang dia.
"Tidak apa-apa," katanya. "Lebih baik aku pergi, Hagrid. Berikutnya Transfigurasi, dan aku harus mengambil buku- bukuku."
Harry pergi, pikirannya masih dipenuhi ucapan-ucapan Ernie tentang dirinya.
"Justin sudah menduga hal semacam ini akan terjadi sejak dia kelepasan omong pada si Potter bahwa dia kelahiran- Muggle..."
Harry menaiki tangga dan membelok ke koridor lain, yang gelap sekali. Obor-obornya padam kena tiupan angin keras bersalju yang masuk lewat ambang jendela yang lepas. Dia sudah sampai di tengah kori-dor ketika terantuk sesuatu yang tergeletak di lantai. Ia langsung jatuh.
Harry menoleh untuk melihat apa yang membuat-nya jatuh, dan hatinya mencelos.
Justin Finch-Fletchley terbaring di lantai, kaku dan dingin, ekspresi kaget terpampang di wajahnya. Mata-nya menatap kosong ke langit-langit. Di sebelahnya ada sosok lain, pemandangan paling ganjil yang per-nah dilihat Harry.
Nick si Kepala-Nyaris-Putus, tak lagi seputih mutiara dan transparan, melainkan hitam berasap, melayang tak bergerak dalam posisi horizontal, lima belas senti dari lantai. Kepalanya setengah putus dan ekspresi wajahnya kaget, identik dengan ekspresi Justin.
Harry bangun, napasnya terengah, putus-putus, jantungnya serasa menggedor-gedor rusuknya. Dia memandang liar ke sepanjang koridor dan melihat deretan labah-labah berlari secepat mungkin menjauhi kedua sosok itu. Suara yang terdengar hanyalah suara teredam guru-guru dari kelas-kelas di kanan-kirinya.
Dia bisa lari dan tak seorang pun akan tahu dia pernah di situ. Tetapi dia tak dapat begitu saja me-ninggalkan mereka lergeletak di situ... dia harus men-cari bantuan. Akankah ada yang percaya dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian ini?
Sementara dia berdiri di situ, panik, pintu di sebelah kanannya mendadak terbuka. Peeves, si hantu jail, melesat keluar.
"Wah si potty wee Potter!" Peeves terkekeh, me-nyenggol kacamata Harry sampai miring ketika me-lewatinya. "Sedang ngapain si Potter? Kenapa dia sembunyi..."
Peeves mendadak berhenti. Dia baru setengah jalan berjungkir-balik di udara. Dengan kepala di bawah, dia melihat Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Dia langsung berputar tegak lagi, mengisi paru-parunya, dan sebelum Harry sempat mencegahnya, menjerit keras-keras, "SERANGAN! SERANGAN! SERANGAN LAGI! ORANG MAUPUN HANTU TAK ADA YANG SELAMAT! LARI! LARI! SELAMATKAN DIRI! SERANGAAAAN!"
Blak-blak-blak: pintu demi pintu membuka di se-panjang koridor dan orang membanjir keluar. Selama beberapa menit, keadaan sangat gempar dan kacau-balau, sehingga ada kemungkinan Justin terinjak-injak dan anak-anak berdiri di dalam tubuh Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Harry tergencet ke dinding ketika guru-guru berteriak menyuruh diam. Profesor McGonagall datang berlari-lari, diikuti murid-murid yang sedang mengikuti pelajarannya, salah satunya masih berambut garis-garis hitam dan putih. Profesor McGonagall menggunakan tongkatnya untuk membuat ledakan keras, yang membuat anak-anak langsung diam, dan menyuruh semua kembali ke kelas masing-masing. Begitu koridor kosong lagi, Ernie si Hufflepuff tiba, tersengal-sengal, di tempat kejadian.
"Tertangkap basah!" Ernie menjerit, mukanya seputih tembok, mengacungkan telunjuknya secara dramatis kepada Harry.
"Cukup, Macmillan!" kata Profesor McGonagall tajam. Peeves melambung-lambung di atas, sekarang me-nyeringai jail, mengawasi pemandangan di bawah. Peeves menyukai kekacauan. Ketika para guru mem-bungkuk memeriksa Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus, Peeves mendadak bernyanyi:
"Oh, Harry, kau keji, oh apa maumu. Kau bunuh murid- murid, kaupikir itu lucu..."
"Cukup, Peeves!" bentak Profesor McGonagall, dan Peeves meluncur mundur, seraya menjulurkan lidah kepada Harry Justin digotong ke rumah sakit oleh Profesor Flitwick dan Profesor Sinistra dari jurusan Astronomi, tetapi kelihatannya tak ada yang tahu apa yang harus dilaku-kan terhadap Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Akhirnya, Profesor McGonagall menyihir kipas besar, yang diberi-kannya kepada Ernie dengan instruksi supaya mengi-pasi Nick si Kepala-Nyaris-Putus sampai terangkat ke atas tangga. Ernie pun mengipasi Nick, yang melayang seperti helikopter hitam. Tinggal Harry dan Profesor McGonagall sendirian.
"Ikut aku, Potter," katanya. "Profesor," kata Harry segera,
"saya bersumpah saya tidak..."
"Ini di luar kemampuanku, Potter," kata Profesor McGonagall kaku.
Mereka berjalan dalam diam, membelok di sudut dan Profesor McGonagall berhenti di depan gargoyle— patung batu besar yang jelek sekali.
"Permen jeruk!" katanya. Jelas ini kata sandinya, karena patung makhluk jelek itu mendadak hidup, melompat minggir, dan dinding di belakangnya ter-belah. Bahkan dalam keadaan ketakutan pada apa yang akan terjadi, Harry masih tetap bisa kagum sekali. Di belakang dinding itu ada tangga spiral, yang bergerak pelan ke atas, seperti eskalator. Saat dia dan Profesor McGonagall melangkah menaiki anak tangganya, Harry mendengar benturan dinding yang menutup di belakang mereka. Mereka meluncur ke atas melingkar-lingkar, makin lama makin tinggi, sampai akhirnya, agak pusing, Harry bisa melihat pintu kayu ek berkilat di depan, dengan pengetuk pintu berbentuk griffon, makhluk menakjubkan ber-kepala dan bersayap elang, tapi bertubuh singa.
Harry tahu ke mana dia dibawa. Ini pastilah kantor sekaligus tempat tinggal Dumbledore.

12. Ramuan Polijus



MEREKA tiba di puncak tangga batu dan Profesor McGonagall mengetuk pintunya. Pintu itu terbuka tanpa suara dan mereka masuk. Profesor McGonagall menyuruh Harry menunggu dan meninggalkannya sendirian.
Harry memandang berkeliling. Satu hal sudah jelas: dari semua kantor guru yang pernah didatanginya, kantor Dumbledore-lah yang paling menarik. Kalau tidak ketakutan setengah mati membayangkan dirinya akan dikeluarkan dari sekolah, Harry akan senang sekali punya kesempatan melihat- lihat.
Ruangan itu besar dan bundar, penuh bunyi-bunyi kecil ganjil. Sejumlah peralatan perak yang aneh ter-geletak di atas meja-meja berkaki panjang-kurus, men-desing dan mengeluarkan gumpalan-gumpalan kecil asap. Dindingnya dipenuhi lukisan para mantan ke-pala sekolah, pria dan wanita, semuanya tertidur da-lam pigura masing masing. Ada juga meja besar sekali berkaki seperti cakar, dan di atas rak di belakang meja tergeletak sebuah topi sihir kumal bertambal—
Topi Seleksi.
Harry ragu-ragu. Dengan hati-hati dipandangnya para penyihir yang tertidur di dinding. Tentunya tidak apa-apa kalau dia menurunkan topi itu dan memakai-nya sekali lagi? Hanya untuk melihat... untuk me-mastikan topi itu memasukkannya ke asrama yang benar.
Hati-hati dia berjalan ke balik meja, mengangkat topi itu dari raknya dan menurunkannya pelan-pelan ke atas kepalanya. Topi itu terlalu besar dan merosot menutupi matanya, persis seperti ketika dia memakai-nya dulu. Harry menatap bagian dalam topi yang hitam, menunggu. Kemudian terdengar suara kecil di telinganya, "Tergoda mau coba lagi ya, Harry Potter?"
"Eh, ya," gumam Harry "Eh—maaf mengganggu-mu—aku ingin tanya..."
"Kau bertanya-tanya dalam hati apakah aku me-masukkanmu ke asrama yang benar," kata si topi cerdik.
"Ya... kau sangat sulit ditempatkan. Tetapi pendapatku masih sama dengan yang kukatakan se-belumnya..." Jantung Harry melonjak gembira "...kau bisa jadi penyihir hebat di Slytherin." Harry lemas. Dicengkeramnya ujung topi dan di-tariknya. Topi itu menggantung lunglai di tangannya, kotor dan kumal. Harry mengembalikannya ke rak, perasaannya terpukul sekali.
"Kau keliru," katanya keras-keras kepada topi yang diam tak bersuara. Topi itu tidak bergerak. Harry mundur, masih mengawasinya. Kemudian bunyi ganjil seperti orang tercekik di belakangnya membuatnya berputar.
Ternyata dia tidak sendirian. Pada tenggeran emas di belakang pintu berdiri seekor burung yang ke-lihatannya sudah tua sekali, mirip kalkun yang sudah dicabuti bulunya separo. Harry memandangnya dan si burung balas memandangnya dengan galak, menge-luarkan bunyi tercekik lagi. Burung itu kelihatannya sakit parah. Matanya sangat redup, dan bahkan sementara Harry memandangnya, dua bulu rontok dari ekornya.
Harry baru saja berkata dalam hati, Wah, gawat kalau burung piaraan Dumbledore ini mati saat aku sedang sendirian bersamanya, ketika si burung men-dadak menyala terbakar.
Harry memekik kaget dan mundur sampai me-nabrak meja. Dengan panik dia memandang ber-keliling kalau-kalau ada segelas air, tapi dilihatnya tak ada segelas pun. Si burung, sementara itu, sudah menjadi bola api. Dia memekik keras dan detik berikutnya, yang tinggal hanyalah seonggok abu ber-asap di lantai.
Pintu ruangan terbuka. Dumbledore masuk, ke-lihatan sangat muram. "Profesor," Harry tergagap, "burung Anda— saya tak bisa berbuat apa-apa—dia baru saja terbakar..."
Betapa herannya Harry, Dumbledore tersenyum.
"Sudah waktunya," katanya. "Sudah berhari-hari dia kelihatan parah sekali. Aku sudah bilang padanya untuk jalan terus."
Dumbledore terkekeh melihat kekagetan di wajah Harry.
"Fawkes itu phoenix, Harry. Burung phoenix terbakar kalau sudah waktunya mati dan dilahirkan kembali dari abunya. Lihat dia..."
Harry menunduk dan melihat burung kecil, keriput seperti baru menetas, menjulurkan kepalanya dari dalam abu. Sama jeleknya dengan burung tua tadi.
"Sayang kau melihatnya pada Hari Terbakar," kata Dumbledore sambil duduk di belakang mejanya. "Dia tampan sekali sebetulnya, bulunya merah dan ke-emasan, bukan main indahnya. Makhluk luar biasa, phoenix itu. Mereka bisa membawa beban yang berat sekali, air mata mereka berkhasiat menyembuhkan, dan mereka hewan peliharaan yang sangat setia."
Dalam kekagetannya melihat Fawkes terbakar, Harry sudah lupa untuk apa dia berada di sini. Tetapi semua-nya langsung diingatnya kembali begitu Dumbledore duduk di kursi berpunggung tinggi dan matanya yang biru pucat memandangnya tajam.
Tetapi sebelum Dumbledore bisa berkata apa-apa lagi, pintu kantornya berdebam terbuka dan Hagrid menerobos masuk, matanya liar, topi balaclava-nya ber-tengger di atas kepalanya yang berambut hitam awut-awutan dan bangkai ayam jantannya masih berayun di tangannya.
"Bukan, Harry, Profesor Dumbledore!" kata Hagrid tegang.
"Aku bicara dengannya hanya beberapa detik sebelum anak itu ditemukan. Dia tak akan punya cukup waktu, Sir..."
Dumbledore berusaha mengatakan sesuatu, tetapi Hagrid terus merepet, melambai-lambaikan bangkai ayamnya dalam kebingungannya, membuat bulu-bulu ayam itu beterbangan ke mana-mana.
"...Tak mungkin dia, aku mau sumpah di depan Kementerian Sihir kalau perlu..."
"Hagrid, aku..."
"...Anda tangkap anak yang salah, Sir, aku tahu Harry tak pernah..." "Hagrid!" kata Dumbledore keras. "Aku tidak ber-pendapat Harry-lah yang menyerang anak-anak itu."
"Oh," kata Hagrid, ayam jantannya terkulai lemas di sisinya.
"Baiklah. Aku akan tunggu di luar kalau begitu, Kepala Sekolah."
Dan dia melangkah keluar, kelihatan malu.
"Anda tidak berpendapat saya yang menyerang, Profesor?" Harry mengulang penuh harap, sementara Dumbledore menyapu bulu-bulu ayam dari atas meja-nya.
"Tidak, Harry," kata Dumbledore, meskipun wajah-nya muram lagi. "Tapi aku tetap ingin bicara dengan-mu."
Harry menunggu dengan gugup sementara Dumbledore mengawasinya, ujung-ujung jarinya yang panjang-panjang mengatup.
"Aku harus bertanya padamu, Harry, apakah ada yang ingin kausampaikan kepadaku," katanya lembut. "Apa saja."
Harry tak tahu harus bilang apa. Dia teringat te-riakan Malfoy, "Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!" dan Ramuan Polijus, menggelegak tersembunyi di da-lam toilet Myrtle Merana. Kemudian dia teringat suara tanpa tubuh yang sudah didengarnya dua kali dan ucapan Ron, "Mendengar suara- suara yang tak bisa di-dengar orang lain, bukan pertanda baik, bahkan di dunia sihir sekalipun." Dia juga teringat apa yang dikatakan semua orang tentang dia, dan ketakutannya yang semakin besar bahwa dia ada hubungannya dengan Salazar Slytherin....
"Tidak,"kata Harry, "tidak ada, Profesor."
Serangan ganda kepada Justin dan Nick si Kepala-Nyaris- Putus mengubah yang sebelumnya kegugupan menjadi kepanikan besar. Anehnya, nasib Nick si Kepala-Nyaris-Putus- lah yang paling membuat kha-watir orang-orang. Apa yang mungkin berbuat begitu kepada hantu, orang-orang saling bertanya, kekuatan mengerikan apa yang bisa merusak orang yang sudah mati? Orang-orang berebut memesan tempat duduk di Hogwarts Express agar anak-anak bisa pulang Na-tal nanti.
"Kalau begini caranya, tinggal kita yang ada di sini," Ron berkata kepada Harry dan Hermione. "Kita, Malfoy, Crabbe, dan Goyle. Wah, bukan main asyiknya liburan Natal nanti."
Crabbe dan Goyle, yang selalu melakukan apa yang dilakukan Malfoy, telah mendaftar untuk tinggal selama liburan juga. Tetapi Harry senang sebagian besar anak pulang. Dia sudah bosan menghadapi anak-anak yang menghindarinya di koridor, seakan taringnya akan tumbuh mendadak atau dia akan me-nyemburkan bisa; bosan pada bisik-bisik, tudingan-tudingan, dan desisan setiap kali dia lewat.
Fred dan George, meskipun demikian, menganggap semua ini sangat lucu. Mereka sengaja berjalan di depan Harry di koridor-koridor, berteriak-teriak, "Minggir! Beri jalan pada Slytherin, sihir jahat akan lewat..."
Percy sangat tidak menyetujui sikap mereka.
"Ini tidak lucu," katanya dingin.
"Oh, minggir, Percy," kata Fred. "Harry sedang buru-buru."
"Yeah, dia sedang menuju Kamar Rahasia untuk minum teh dengan pelayannya yang bertaring," kata George terkekeh.
Ginny juga tidak menganggap itu lucu.
"Aduh, jangan dong," jerit Ginny setiap kali Fred menanyai Harry siapa yang akan dia serang berikut-nya, atau George berpura-pura mengusir Harry de-ngan untaian besar bawang putih setiap kali mereka bertemu.
Harry tidak keberatan. Dia malah lega Fred dan George menganggap lucu pendapat orang bahwa dia pewaris Slytherin. Tetapi sikap antik Fred dan George rupanya menjengkelkan Draco Malfoy, yang tampak semakin masam setiap kali dia melihat mereka mem-buat lelucon begitu.
"Itu karena dia sebetulnya ingin sekali menyombong bahwa dialah pewaris sebenarnya," kata Ron sok tahu. "Kau tahu, kan, dia paling benci kalau ada yang mengalahkannya dalam hal apa pun, dan kau yang mendapat pujian untuk segala pekerjaan kotornya."
"Tidak lama lagi," kata Hermione dengan nada puas.
"Ramuan Polijus sudah hampir siap. Kita akan segera mendengar pengakuannya."
Akhirnya semester berakhir dan kesunyian setebal tumpukan salju di halaman menyelimuti kastil. Alih-alih suram, Harry menganggapnya damai, dan dia senang sekali hanya dia, Ron, dan Hermione yang tinggal di Menara Gryffindor. Itu berarti mereka bisa bermain Jentikan Meletup. sekeras mungkin tanpa mengganggu siapa pun, dan berlatih duel tanpa ada yang melihat. Fred, George, dan Ginny memilih tinggal di sekolah daripada mengunjungi Bill di Mesir bersama Mr dan Mrs Weasley. Percy, yang mencela sikap me-reka yang dinilainya kekanak-kanakan, tidak melewat-kan banyak waktu di ruang rekreasi Gryffindor. Dia sudah memberitahu mereka dengan angkuh bahwa dia tinggal selama Natal karena tugasnyalah sebagai Prefek untuk memberi dukungan kepada para guru dalam masa-masa sulit ini.
Pagi Hari Natal tiba, dingin dan putih bersalju. Harry dan Ron, yang hanya tinggal berdua di kamar mereka, dibiingunkan pagi-pagi sekali oleh Hermione, yang menerobos masuk. la sudah berpakaian lengkap dan membawa hadiah untuk mereka berdua.
"Bangun," serunya keras-keras, seraya menarik gor-den jendela. "Hermione—kau tidak boleh masuk ke sini," kata Ron, menaungi matanya yang silau.
"Selamat Natal untuk kalian juga," kata Hermione, seraya melemparkan hadiah untuk Ron. "Aku sudah bangun hampir sejam yang lalu, menambahkan se-rangga sayap-renda ke ramuan. Sudah jadi sekarang."
Harry duduk, mendadak kantuknya hilang.
"Kau yakin?"
"Positif," kata Hermione, menggeser Scabbers si tikus supaya dia bisa duduk di kaki tempat tidur besar Harry. "Kalau kita akan melakukannya, menurutku sebaiknya malam ini."
Saat itu Hedwig meluncur masuk ke dalam kamar, membawa bungkusan amat kecil di paruhnya.
"Halo," kata Harry gembira, ketika Hedwig men-darat di tempat tidurnya, "kau sudah mau bicara padaku lagi?"
Hedwig menggigit-gigit telinga Harry dengan sayang, yang bagi Harry merupakan hadiah yang jauh lebih menyenangkan daripada hadiah yang di-bawanya, yang ternyata dari keluarga Dursley. Mereka mengiriminya sebatang tusuk gigi dan surat pendek yang isinya menyuruh Harry mencari tahu kalau-kalau dia bisa tinggal di Hogwarts untuk liburan musim panas juga. Hadiah-hadiah Natal Harry lainnya jauh lebih me-muaskan. Hagrid mengiriminya sekaleng besar gulali, yang Harry putuskan akan dipanaskan dulu sebelum dimakan; Ron menghadiahinya buku berjudul Terbang bersama Cannons, buku yang memuat fakta-fakta me-narik tentang tim Quidditch favoritnya; dan Hermione telah membelikannya pena mewah bulu elang. Harry membuka hadiah terakhir dan menemukan jumper— rompi rajutan tanpa kancing—baru dan kue plum besar dari Mrs Weasley. Harry menaruh kembali kartu-nya. Perasaan bersalah kembali melandanya, ketika dia teringat mobil Mr Weasley, yang tak pernah ke-lihatan lagi sehabis menabrak pohon Dedalu Perkasa, dan rencana pelanggaran peraturan yang akan dilaku-kannya bersama Ron berikutnya.
Tak seorang pun, bahkan orang yang sedang ketakutan akan minum Ramuan Polijus nanti, tidak bisa me-nikmati makan malam Natal di Hogwarts.
Aula Besar kelihatan megah sekali. Di situ tak hanya ada selusin pohon Natal berselimut salju dan untaian tebal holly dan mistletoe yang dipasang bersilang-silang di langit-langit, tetapi salju sihiran berjatuhan, hangat dan kering, dari langit- langit. Dumbledore memimpin mereka menyanyikan beberapa lagu Natal favoritnya. Semakin banyak minuman keras yang diteguk Hagrid dari pialanya, semakin menggelegar pula suaranya. Percy, yang tidak menyadari Fred telah menyihir len-cana Prefek-nya sehingga tulisannya sekarang menjadi "Pitak", berkali-kali bertanya kepada mereka kenapa mereka cengar-cengir terus. Harry bahkan tidak peduli pada Draco Malfoy yang—dari meja Slytherin—me-lontarkan ejekan-ejekan keras tentang jumper barunya. Kalau mereka sedikit beruntung, Malfoy akan me-nerima balasannya beberapa jam lagi.
Harry dan Ron baru saja menghabiskan porsi ketiga puding Natal mereka, ketika Hermione mengajak mereka meninggalkan aula untuk melaksanakan ren-cana mereka malam itu.
"Kita masih memerlukan sedikit bagian tubuh orang-orang yang menjadi sasaran kita," kata Hermione tegas, seakan dia menyuruh mereka ke supermarket untuk membeli bubuk pencuci. "Dan jelas, paling baik kalau kalian bisa mendapatkan sesuatu dari Crabbe dan Goyle. Mereka kan sahabat Malfoy, dia akan menceritakan segalanya kepada mereka. Dan kita juga perlu memastikan Crabbe dan Goyle yang asli tidak muncul selagi kita menginterogasi Malfoy.
"Aku sudah memikirkan segalanya," Hermione me-neruskan dengan lancar, mengabaikan wajah ke-heranan Harry dan Ron. Dia menunjukkan dua po-tong kue cokelat besar. "Ini sudah kuberi Ramuan Tidur sederhana. Yang harus kalian lakukan tinggal memastikan Crabbe dan Goyle menemukan kue-kue ini. Kalian tahu betapa rakusnya mereka, mereka pasti akan memakannya. Begitu mereka tertidur, cabut be-berapa helai rambut mereka dan sembunyikan mereka dalam lemari sapu."
Harry dan Ron saling pandang dengan ragu-ragu.
"Hermione, kurasa tidak..."
"Hal itu bisa saja tidak berjalan sesuai rencana..."
Tetapi mata Hermione berkilau tajam, tak berbeda dengan kilau yang kadang-kadang tampak di mata Profesor McGonagall.
"Ramuan itu tak ada gunanya tanpa rambut Crabbe dan Goyle," katanya tegas. "Kalian ingin menyelidiki Malfoy, kan?"
"Oh, oke, oke," kata Harry. "Tetapi bagaimana denganmu? Rambut siapa yang akan kaucabut?"
"Aku sudah punya rambut yang kuperlukan!" kata Hermione cerah, menarik keluar sebuah botol kecil mungil dari dalam sakunya dan menunjukkan kepada mereka sehelai rambut di dalamnya. "Ingat Millicent Bulstrode yang bergulat denganku di Klub Duel? Rambutnya tertinggal di jubahku ketika dia mencoba mencekikku! Dan dia pulang liburan Natal ini—jadi, aku tinggal bilang pada anak-anak Slytherin bahwa aku batal pulang ke rumah."
Ketika Hermione sudah pergi untuk mengecek Ramuan Polijus lagi, Ron menoleh kepada Harry de-ngan ekspresi seolah akan tertimpa malapetaka.
"Pernahkah kau mendengar rencana dengan begitu banyak hal yang bisa gagal?"
Betapa herannya Harry dan Ron ketika tahap pertama rencana mereka berjalan mulus seperti yang telah dikatakan Hermione. Mereka bersembunyi di Aula Besar yang sudah kosong setelah acara minum teh Natal, menunggu Crabbe dan Goyle yang tinggal berdua di meja Slytherin melahap porsi keempat kue mereka. Harry sudah meletakkan kue cokelat di ujung pegangan tangga. Ketika melihat Crabbe dan Goyle meninggalkan Aula Besar, Harry dan Ron cepat-cepat bersembunyi di balik baju zirah di dekat pintu.
"Tolol banget," bisik Ron, gembira luar biasa ketika Crabbe menyenggol Goyle dan menunjuk kue itu dengan senang, lalu menyambarnya. Sambil nyengir konyol, mereka langsung menjejalkan kue itu ke dalam mulut besar mereka. Sesaat mereka berdua me-ngunyah dengan rakus, wajah mereka penuh ke-menangan. Kemudian, tanpa perubahan ekspresi se-dikit pun, keduanya roboh ke lantai.
Kesulitan yang paling besar adalah menyembunyi-kan mereka di dalam lemari di seberang ruangan. Begitu mereka sudah aman dijejalkan di antara ember-ember dan kain pel, Harry mencabut dua rambut pendek kaku yang tumbuh di dahi Goyle dan Ron mencabut beberapa helai rambut Crabbe. Mereka juga mencuri sepatu Crabbe dan Goyle, karena sepatu mereka kelewat kecil untuk ukuran kaki kedua anak Slytherin itu. Kemudian, masih keheranan akan apa yang baru saja mereka lakukan, mereka berlari ke toilet Myrtle Merana.
Mereka nyaris tak bisa melihat gara-gara asap tebal hitam yang keluar dari bilik tempat Hermione mengaduk isi kualinya. Dengan menarik jubah untuk menutupi muka mereka, Harry dan Ron mengetuk pintu pelan.
"Hermione?"
Mereka mendengar kunci diputar, dan kemudian Hermione muncul, wajahnya berkilau dan kelihatan cemas. Di belakangnya mereka mendengar bunyi blup-blup ramuan kental yang menggelegak. Tiga gelas besar sudah siap di atas tempat duduk kloset.
"Berhasil?" tanya Hermione menahan napas.
Harry menunjukkan rambut Goyle.
"Bagus. Dan aku sudah mengambil jubah mereka dari tempat cucian," kata Hermione, mengangkat kan-tong kecil.
"Kalian perlu jubah lebih besar kalau sudah jadi Crabbe dan Goyle."
Ketiganya memandang kuali. Dari dekat, ramuan itu tampak seperti lumpur kental hitam yang menggelegak.
"Aku yakin sudah melakukan segalanya dengan benar," kata Hermione, dengan gugup membaca ulang halaman Ramuan-ramuan Paling Mujarab yang sudah bebercak-bercak.
"Tampilannya sudah seperti yang di-katakan buku... Begitu kita meminumnya, kita cuma punya waktu tepat satu jam sebelum berubah menjadi diri kita lagi."
"Sekarang bagaimana?" bisik Ron. "Kita bagi menjadi tiga gelas, dan kita tambahkan rambutnya."
Hermione memasukkan sendokan-sendokan besar cairan kental itu ke dalam masing-masing gelas. Kemu-dian, dengan tangan gemetar dia menggoyang botol-nya sampai rambut Millicent jatuh dari botol itu, ke dalam gelas pertama.
Ramuan itu mendesis keras seperti ceret yang airnya mendidih dan berbuih banyak. Sedetik kemudian ramuan itu sudah berubah warna menjadi kuning menjijikkan.
"Yaikkk—sari pati Millicent Bulstrode," kata Ron, me-mandangnya dengan jijik. "Pasti rasanya memuakkan."
"Masukkan rambutmu sekarang," kata Hermione.
Harry menjatuhkan rambut Goyle ke dalam gelas yang di tengah dan Ron memasukkan rambut Crabbe ke gelas terakhir. Kedua gelas itu mendesis dan ber-buih: yang berisi rambut Goyle berubah warna men-jadi cokelat muda, yang berisi rambut Crabbe menjadi cokelat tua kelam.
"Tunggu," kata Harry ketika Ron dan Hermione mau mengambil gelas mereka. "Kita sebaiknya tidak meminumnya sama-sama di sini. Begitu kita berubah menjadi Crabbe dan Goyle, tempat ini tak akan cukup. Dan Millicent Bulstrode juga tidak kecil."
"Pemikiran bagus," kata Ron, membuka kunci pintu. "Kita minum dalam bilik yang berlainan."
Berhati-hati agar ramuan Polijus-nya tidak ada yang tercecer, Harry menyelinap ke dalam bilik yang di tengah.
"Siap?" dia berseru.
"Siap," terdengar jawaban Ron dan Hermione.
"Satu... dua... tiga..."
Seraya memencet hidungnya, Harry meminum ramuannya dalam dua tegukan. Rasanya seperti kol yang dimasak kelamaan.
Segera saja bagian dalam tubuhnya mulai bergerak-gerak, seakan dia baru saja menelan ular-ular hidup— Harry terbungkuk, bertanya-tanya dalam hati apakah dia akan muntah—kemudian perutnya serasa terbakar, dan rasa panas ini menjalar cepat dari perut ke ujung-ujung jari tangan dan kakinya. Reaksi berikutnya begitu hebat, membuat Harry terpekik kaget dan jatuh merangkak. Dia merasa seperti meleleh ketika kulit di seluruh tubuhnya ditumbuhi gelembung-gelembung seperti lilin panas, dan di depan matanya sendiri, tangannya mulai tumbuh, jari-jarinya menggemuk, kukunya melebar, dan buku-buku jarinya bertonjolan besar-besar. Bahunya melebar, rasanya sakit, dan denyut-denyut di dahinya memberitahunya rambutnya sedang tumbuh merambat ke alisnya. Jubahnya sobek ketika dadanya mengembang seperti tong pecah sampai lingkaran pengikatnya terlepas. Kakinya sakit sekali terjepit sepatu yang ukurannya, terlalu kecil empat nomor...
Dan mendadak saja, seperti mulainya tadi, segalanya berhenti. Harry berbaring menelungkup di lantai batu bilik yang dingin, mendengarkan Myrtle yang ber-deguk merana di bilik paling ujung. Dengan susah payah dia mengentakkan sepatunya sampai lepas dan berdiri. Beginilah rasanya menjadi Goyle. Tangannya yang besar gemetar, dia melepas jubahnya, yang menggantung kira-kira tiga puluh senti di atas mata kakinya, memakai jubah yang disediakan Hermione, dan mengikat tali sepatu Goyle yang seperti-perahu. Tangannya mau menyibakkan rambut dari matanya, tapi yang terpegang olehnya hanya rambut pendek kaku bagai kawat, yang tumbuh memenuhi dahinya. Kemudian dia menyadari bahwa kacamatanya mem-buat pandangannya kabur, karena Goyle jelas tidak memerlukannya. Dilepasnya kacamatanya, lalu dia ber-teriak, "Kalian berdua oke?" Suara serak Goyle ter-dengar dari mulutnya.
"Yeah," terdengar dengkur berat Crabbe dari sebelah kirinya.
Harry membuka pintu biliknya dan melangkah di depan cermin yang retak. Goyle balik memandangnya dengan mata dalam yang suram. Harry menggaruk telinganya. Begitu juga, Goyle.
Pintu Ron terbuka. Mereka berpandangan. Dari po-tongan rambutnya yang seperti batok kelapa sampai ke lengan gorilanya yang panjang, Ron tak bisa di-bedakan dari Crabbe, hanya saja dia kelihatan pucat dan shock.
"Tak bisa dipercaya," kata Ron, mendekati cermin dan menekan-nekan hidung pesek Crabbe. "Tak bisa dipercaya."
"Lebih baik kita segera berangkat," kata Harry, me-ngendurkan arloji yang menjepit pergelangan tangan Goyle yang tebal. "Kita masih harus menemukan ruang rekreasi Slytherin. Mudah-mudahan kita ketemu orang yang bisa kita buntuti..."
Ron, yang sejak tadi memandang Harry, berkata, "Kau tak tahu betapa anehnya melihat Goyle berpikir." Dia menggedor pintu Hermione. "Ayo, kita harus pergi..."
Suara tinggi melengking menjawabnya, "Aku—ku-rasa aku tidak akan keluar. Kalian jalan saja tanpa aku."
"Hermione, kami tahu Millicent Bulstrode jelek, tak akan ada yang tahu itu kau."
"Tidak—betul—aku tidak akan ikut. Kalian berdua bergegaslah, kalian membuang-buang waktu.".
Harry memandang Ron, kebingungan.
"Nah, kalau begitu, kau lebih mirip Goyle," kata Ron.
"Begitulah tampangnya setiap kali ditanya guru." "Hermione, apakah kau tidak apa-apa?" tanya Harry dari balik pintu.
"Baik—aku baik... Kalian pergilah...."
Harry memandang arlojinya. Lima dari enam puluh menit mereka yang sangat berharga telah lewat. "Kami akan menemuimu di sini nanti, oke?" kata-nya. Harry dan Ron membuka pintu toilet hati-hati, memastikan keadaan aman, lalu keluar. "Jangan mengayunkan tanganmu seperti itu," Harry bergumam kepada Ron.
"Eh?"
"Crabbe biasanya tangannya kaku..."
"Bagaimana kalau begini?"
"Yeah, itu lebih baik."
Mereka menuruni tangga pualam. Yang mereka perlukan sekarang tinggal anak Slytherin yang bisa mereka ikuti ke ruang rekreasi Slytherin, tapi tak ada seorang pun.
"Ada ide?" gumam Harry.
"Anak-anak Slytherin selalu datang untuk sarapan dari arah sana," kata Ron, mengangguk ke pintu ruang bawah tanah. Baru saja dia selesai bicara, se-orang gadis berambut panjang ikal muncul dari pintu.
"Maaf," kata Ron, bergegas mendekatinya, "kami lupa jalan ke ruang rekreasi kita."
"Apa?" kata gadis itu kaku. "Ruang rekreasi kita? Aku anak Ravenclaw."
Gadis itu pergi, menoleh curiga kepada mereka.
Harry dan Ron bergegas menuruni tangga batu menuju kegelapan, langkah-langkah mereka bergema keras ketika kaki raksasa Crabbe dan Goyle mengentak lantai. Mereka merasa ini tidak akan semudah yang mereka harapkan.
Lorong-lorong yang berputar-putar seperti labirin itu kosong. Mereka turun semakin dalam di bawah sekolah, berkali-kali mengecek arloji untuk melihat berapa lama lagi waktu yang masih tersisa. Setelah seperempat jam, tepat ketika mereka mulai putus asa, mereka mendengar bunyi gerakan di depan.
"Ha!" kata Ron. "Itu salah satu dari mereka!"
Sosok itu muncul dari ruang sebelah. Ketika mereka bergegas mendekat, mereka kecewa. Ternyata bukan anak Slytherin, melainkan Percy.
"Apa yang kaulakukan di bawah sini?" tanya Ron heran. Percy tampak terhina.
"Itu," katanya kaku, "bukan urusanmu. Kau Crabbe, kan?"
"Ap—oh, yeah," kata Ron. "Kembalilah ke kamar kalian," kata Percy galak.
"Tidak aman berkeliaran di koridor gelap sekarang ini."
"Kau sendiri berkeliaran," tuduh Ron.
"Aku," kata Percy membusungkan dada, "Prefek. Tak ada yang akan menyerangku."
Tiba-tiba terdengar suara di belakang Harry dan Ron. Draco Malfoy berjalan ke arah mereka, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Harry senang melihatnya.
"Di sini rupanya kalian," katanya, memandang me-reka.
"Apa dari tadi kalian makan terus seperti babi di Aula Besar? Aku mencari-cari kalian, aku ingin menunjukkan sesuatu yang benar-benar lucu pada kalian."
Malfoy mengerling Percy dengan menghina.
"Dan apa yang kaulakukan di sini, Weasley?" cibir-nya. Percy kelihatan marah. "Kau harus menunjukkan sedikit rasa hormat kepada Prefek sekolah!" katanya. "Aku tak suka sikap-mu!"
Malfoy mencibir dan memberi isyarat pada Harry dan Ron untuk mengikutinya. Harry nyaris minta maaf pada Percy, tapi untung langsung ingat dan menahan diri. Dia dan Ron bergegas mengikuti Malfoy, yang berkata ketika. mereka membelok ke lorong berikutnya, "Si Peter Weasley itu..."
"Percy," Ron otomatis membetulkannya.
"Apalah," kata Malfoy. "Kuperhatikan belakangan ini dia menyelinap ke mana-mana. Dan aku tahu apa maunya. Dia pikir dia bisa menangkap pewaris Slytherin sendirian."
Malfoy tertawa mengejek. Harry dan Ron bertukar pandang bergairah. Malfoy berhenti di depan tembok batu kosong dan lembap.
"Apa kata kuncinya?" tanyanya kepada Harry.
"Eh...," kata Harry.
"Oh yeah—darah-murni!" kata Malfoy, tidak men-dengarkan ucapan Harry, dan pintu batu yang ter-sembunyi di tembok itu menggeser terbuka Malfoy masuk, diikuti Harry dan Ron.
Ruang rekreasi Slytherin adalah ruang bawah tanah yang panjang dan rendah, dengan tembok dan langit-langit batu kasar. Dari langit-langit itu lampu-lampu kehijauan bergantung pada rantai. Api berderak dalam perapian yang berukir rumit di depan mereka, dan beberapa anak Slytherin mengelilinginya di kursi-kursi berukir.
"Tunggu di sini," kata Malfoy kepada Harry dan Ron, memberi isyarat agar mereka duduk di sepasang kursi kosong agak jauh dari perapian. "Akan ku-ambil—ayahku baru saja mengirimnya..."
Bertanya-tanya dalam hati apa yang akan ditunjuk-kan Malfoy kepada mereka, Harry dan Ron duduk, berusaha kelihatan tidak canggung.
Malfoy muncul lagi beberapa saat kemudian, mem-bawa guntingan koran. Disodorkannya guntingan ko-ran itu ke bawah radung Ron.
"Ini akan membuatmu tertawa," katanya.
Harry melihat mata Ron membelalak kaget. Ron membaca guntingan koran itu cepat-cepat, dengan tawa yang dipaksakan, lalu diberikannya kepada Harry.
Ternyata itu berita yang digunting dari Daily Prophet, bunyinya:
PENYELIDIKAN DI KEMENTERIAN SIHIR
Arthur Weasley, Kepala Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle, hari ini didenda lima puluh Galleon karena menyihir mobil Muggle.
Mr Lucius Malfoy, anggota Dewan Sekolah Sihir Hogwarts, tempat mobil tersihir itu mendarat beberapa waktu yang lalu, menelepon hari ini, mengusulkan pemecatan Mr Weasley.
"Weasley telah merusak reputasi Kementerian," Mr Malfoy berkata kepada reporter kami. "Dia jelas tidak layak membuat peraturan untuk kita dan Undang-undang Perlindungan Muggle-nya harus segera di-hapuskan."
Mr Weasley tidak bisa dimintai komentar, meskipun istrinya menyuruh para reporter untuk menyingkir, kalau tidak mereka akan melepas hantu keluarga untuk menyerang para reporter.
"Nah?" kata Malfoy tak sabar, ketika Marry mengem-balikan guntingan koran itu kepadanya. "Apa me-nurutmu tidak lucu?"
"Ha, ha," kata Harry suram.
"Arthur Weasley suka sekali pada Muggle, mestinya dia patahkan saja tongkatnya jadi dua dan bergabung dengan mereka," kata Malfoy menghina. "Kau tak akan tahu keluarga Weasley berdarah-murni, kalau melihat tingkah mereka."
Wajah Ron—atau lebih tepatnya, Crabbe, berkeriut saking marahnya. "Kenapa sih kau?" bentak Malfoy.
"Sakit perut," keluh Ron.
"Pergi ke rumah sakit dong, dan tendang semua Darah- lumpur itu untukku," kata Malfoy terkekeh.
"Tahu tidak, aku heran. Daily Prophet belum juga mem-beritakan tentang serangan-serangan ini," katanya me-neruskan, berpikir-pikir. "Kurasa Dumbledore berusaha menutupinya. Dia akan dipecat kalau kejadian ini tidak segera dihentikan. Ayah selalu bilang Dumbledore hal terburuk yang terjadi di sekolah ini. Dia suka anak-anak kelahiran-Muggle. Kepala sekolah yang layak tidak akan menerima anak tolol seperti Creevey."
Malfoy berpura-pura memotret, menjepret-jepret de-ngan kamera khayalan, menirukan gaya Colin. "Potter, boleh aku memotretmu, Potter? Boleh aku minta tanda tanganmu? Boleh dong aku menjilat sepatumu, Potter?"
Dia menurunkan tangannya dan memandang Harry dan Ron.
"Kenapa sih kalian berdua?"
Walaupun terlambat, Harry dan Ron memaksa diri tertawa, tetapi Malfoy tampaknya puas. Mungkin Crabbe dan Goyle memang selalu "telmi".
"Santo Potter, sahabat para Darah-lumpur," kata Malfoy lambat-lambat. "Dia satu lagi yang tak punya rasa sihir yang pantas. Kalau tidak, dia tak akan bergaul dengan Granger si Darah-lumpur itu. Dan orang-orang mengira dia-lah. pewaris Slytherin!"
Harry dan Ron menunggu dengan napas tertahan. Malfoy jelas sebentar lagi akan memberitahu mereka bahwa dialah pewarisnya. Tetapi...
"Kalau saja aku tahu siapa dia," kata Malfoy jengkel. "Aku bisa membantu mereka."
Rahang Ron membuka lebar sehingga wajah Crabbe kelihatan lebih tolol dari biasanya. Untungnya Malfoy tidak memperhatikan, dan Harry berpikir cepat, berkata, "Kau pasti punya dugaan siapa yang ada di belakang semua ini..."
"Kau tahu aku tak tahu apa-apa, Goyle, berapa kali harus kukatakan kepadamu?" bentak Malfoy. "Dan Ayah juga sama sekali tak mau bercerita tentang ter-akhir kalinya Kamar Rahasia dibuka. Tentu saja, ke-jadiannya lima puluh tahun yang lalu, jadi sebelum dia di sini, tapi dia tahu tentang semua itu, dan dia bilang kejadian itu ditutup-tutupi dan akan men-curigakan kalau aku tahu terlalu banyak tentangnya. Tetapi aku tahu satu hal: terakhir kali Kamar Rahasia dibuka,
satu Darah-lumpur meninggal. Jadi, pasti ting-gal tunggu waktu sebelum salah satu dari mereka dibunuh kali ini... Mudah-mudahan saja si Granger," katanya girang.
Ron mengepalkan tinju raksasa Crabbe. Merasa bahwa rahasia mereka bisa terbongkar jika Ron me-ninju Malfoy, Harry melempar pandang memperingat-kan dan berkata,
"Tahukah kau, apakah orang yang membuka Kamar Rahasia dulu itu berhasil ditangkap?"
"Oh, yeah... siapa pun orangnya, dia dikeluarkan," kata Malfoy. "Mungkin mereka masih di Azkaban."
"Az-kaban?" tanya Harry, bingung.
"Azkaban—penjara penyihir, Goyle," kata Malfoy, me-mandangnya tak percaya. "Astaga, kalau lebih telmi dari ini, kau akan jadi terbelakang."
Malfoy duduk gelisah di kursinya dan berkata, "Ayah berpesan agar aku tidak menonjolkan diri dan membiarkan pewaris Slytherin bertindak. Dia bilang sekolah perlu dibersihkan dari semua sampah Darah-lumpur, tapi aku tak boleh ikut campur. Tentu saja dia sendiri sedang banyak disorot sekarang ini. Kalian tahu Kementerian Sihir merazia rumah kami minggu lalu?"
Harry berusaha memaksa wajah bodoh Goyle ikut prihatin.
"Yeah...," kata Malfoy. "Untunglah tidak banyak yang mereka temukan. Ayah punya beberapa benda Ilmu Hitam yang sangat berharga. Tetapi untungnya kami punya kamar rahasia di bawah lantai ruang tamu..."
"Ho!" kata Ron.
Malfoy memandangnya. Begitu juga Harry. Wajah Ron memerah, bahkan rambutnya pun memerah. Hidungnya juga pelan-pelan memanjang—waktu mereka telah habis. Ron sedang kembali menjadi diri-nya, dan dari kengerian yang terpancar di wajahnya, mestinya Harry juga.
Mereka berdua rnelompat bangun.
"Harus minum obat untuk sakit perutku," gerutu Ron, dan tanpa berlama-lama lagi mereka berlari me-nyeberangi ruang rekreasi Slytherin, menerobos tem-bok batu dan bergegas menaiki tangga, berharap Malfoy tidak melihat sesuatu yang aneh. Harry bisa merasakan sepatu besar Goyle kelonggaran untuk kaki-nya dan dia harus mengangkat jubahnya saat tubuh-nya mengecil. Mereka berlari menaiki tangga menuju Aula Depan, yang bising dengan gedoran dari lemari tempat mereka mengurung Crabbe dan Goyle. Setelah meninggalkan sepatu mereka di depan lemari, mereka berlari menaiki tangga pualam dengan hanya berkaus kaki, menuju toilet Myrtle Merana.
"Yah, tidak sepenuhnya sia-sia," kata Ron tersengal, menutup pintu toilet dj belakang mereka. "Kita me-mang belum tahu siapa yang melakukan penyerangan ini, tapi aku akan menulis kepada Dad dan meminta-nya memeriksa di bawah ruang tamu Malfoy."
Harry memeriksa wajahnya di cermin retak. Dia sudah kembali normal. Dia memakai kacamatanya sementara Ron menggedor pintu bilik Hermione.
"Hermione, keluar, banyak yang akan kami ceritakan..."
"Pergi!" lengking Hermione. Harry dan Ron berpandangan.
"Ada apa?" tanya Ron. "Kau pasti sudah balik jadi dirimu lagi sekarang, kami sudah..."
Tetapi Myrtle Merana tiba-tiba melayang menembus pintu bilik. Harry belum pernah melihatnya seriang itu.
"Ooooooh! Tunggu sampai kalian lihat sendiri," kata-nya.
"Mengerikan sekali!"
Mereka mendengar kunci diputar dan Hermione muncul, terisak-isak, jubahnya ditarik menutupi kepalanya.
"Ada apa?" tanya Ron bingung. "Apa hidungmu masih hidung Millicent atau apa?" Hermione menjatuhkan jubahnya dan Ron mundur sampai ke wastafel.
Wajah Hermione ditumbuhi bulu hitam. Matanya jadi kuning dan ada telinga runcing mencuat dari rambutnya.
"Itu rambut ku-kucing!" lolongnya. "M-Millicent Bulstrode pastilah punya kucing! Dan r-ramuan itu tidak boleh digunakan untuk berubah menjadi binatang!"
"Uh, oh," kata Ron.
"Kau akan diledek habis-habisan," kata Myrtle senang.
"Tidak apa-apa, Hermione," kata Harry buru-buru. "Kami akan membawamu ke rumah sakit. Madam Pomfrey tak pernah mengajukan banyak per-tanyaan..."
Butuh waktu lama membujuk Hermione untuk me-ninggalkan toilet. Myrtle Merana melepas kepergian mereka dengan terbahak-bahak.
"Tunggu sampai ketahuan kau punya ekor!"

13. Buku Harian Yang Sangat Rahasia


HERMIONE tinggal di rumah sakit selama beberapa minggu. Ketika anak-anak kembali dari liburan Natal, desas- desus tentang ketidakmunculannya seru sekali, karena tentu saja semua mengira dia telah diserang. Begitu banyak anak yang datang ke rumah sakit, berusaha mengintipnya, sehingga Madam Pomfrey me-ngeluarkan tirainya lagi dan memasangnya di se-keliling tempat tidur Hermione, agar dia tidak malu sebab dilihat anak-anak dengan wajah berbulu.
Harry dan Ron datang menengoknya setiap malam. Ketika semester baru dimulai, mereka membawakan-nya PR setiap hari.
"Kalau aku yang ditumbuhi kumis kucing, aku sih libur dulu belajarnya," kata Ron sambil meletakkan setumpuk buku di meja di sebelah tempat tidur Hermione pada suatu malam.
"Jangan bodoh, Ron, aku kan harus belajar supaya tidak ketinggalan," kata Hermione tegas. Semangatnya sudah jauh lebih baik karena semua bulu sudah meng-hilang dari wajahnya, dan matanya pelan-pelan sudah mulai kembali berwarna cokelat. "Kurasa kalian belum dapat petunjuk baru?" dia menambahkan dengan berbisik, supaya Madam Pomfrey tidak mendengarnya.
"Belum," kata Harry muram. "Aku begitu yakin Malfoy-lah orangnya," kata Ron, untuk kira-kira keseratus kalinya. "Apa itu?" tanya Harry, menunjuk benda keemasan yang mencuat dari bawah bantal Hermione.
"Cuma kartu ucapan semoga cepat sembuh," kata Hermione buru-buru, berusaha menjejalkannya supaya tidak kelihatan. Tetapi Ron lebih cepat darinya. Ron menariknya, membuka dan membacanya keras-keras:
"Untuk Miss Granger, semoga lekas sembuh, dari gurumu yang cemas, Profesor Gilderoy Lockhart, Order of Merlin Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan terhadap llmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum-Paling- Menawan Witch Weekly."
Ron mendongak, menatap Hermione jijik.
"Kau tidur dengan kartu ini di bawah bantalmu?"
Tetapi Hermione tak perlu menjawab, diselamatkan oleh kedatangan Madam Pomfrey yang membawakan obatnya untuk malam itu.
"Si Lockhart ini cowok penjilat yang paling memuja diri sendiri atau bagaimana sih?" kata Ron kepada Harry ketika mereka meninggalkan kamar Hermione dan menaiki tangga menuju Menara Gryffindor. Saking banyaknya PR yang diberikan oleh Snape, sampai-sampai Harry berpikir baru akan bisa menyelesaikannya kalau dia sudah kelas enam. Ron baru saja berkata dia menyesal tidak bertanya kepada Hermione berapa buntut tikus yang harus ditambahkan ke dalam ramuan Pendiri Bulu Kuduk, ketika terdengar teriakan marah dari lantai di atas mereka.
"Si Filch," gumam Harry, ketika mereka bergegas menaiki tangga dan berhenti, menyembunyikan diri, memasang telinga tajam-tajam.
"Apakah ada anak lain yang baru diserang?" kata Ron tegang. Mereka berdiri diam, kepala mereka condong ke arah suara Filch, yang kedengarannya histeris.
"...lebih banyak lagi pekerjaan untukku! Mengepel se-panjang malum, seperti aku tak punya cukup pekerjaan saja! Tidak, ini sudah kelewatan, aku akan ke Dumbledore..." Langkah-langkah Filch menjauh dan mereka men-dengar pintu ditutup keras-keras di kejauhan.
Mereka menjulurkan kepala. Filch jelas baru saja berpatroli di tempat ia biasa berjaga. Mereka sekali lagi berada di tempat Mrs Norris diserang. Dengan tatapan sekilas mereka sudah melihat apa yang mem-buat Filch berteriak-teriak. Genangan air membasahi sampai setengah koridor, dan kelihatannya air masih merembes dari bawah pintu toilet Myrtle Merana. Sekarang setelah Filch berhenti berteriak-teriak, mereka bisa mendengar tangisan Myrtle bergaung dari dinding-dinding toilet.
"Kenapa lagi tuh dia?" tanya Ron.
"Ayo, kita lihat," kata Harry, dan seraya mengangkat jubah sampai ke atas mata kaki, mereka menginjak genangan air menuju pintu yang bertulisan Rusak, mengabaikannya seperti biasa, dan masuk.
Myrtle Merana sedang menangis, kalau ini mungkin, lebih keras dan lebih seru daripada biasanya. Ke-lihatannya dia bersembunyi di dalam klosetnya yang biasa. Toilet itu gelap, karena lilin-lilinnya padam ter-kena siraman air yang telah membuat dinding dan lantai basah kuyup.
"Ada apa, Myrtle?" tanya Harry. "Siapa itu?" deguk Myrtle sedih. "Mau melempar benda lain lagi padaku?" Harry berjalan melintasi air ke biliknya dan berkata, "Kenapa aku mau melempar sesuatu padamu?"
"Jangan tanya aku," teriak Myrtle, muncul dengan luapan air yang tercurah ke lantai yang sudah kuyup. "Aku di sini terus, tak pernah mengganggu orang lain, dan ada orang yang menganggap lucu melempar-ku dengan buku..."
"Tapi kau kan tidak sakit kalau ada yang me-lemparmu dengan sesuatu," kata Harry tenang. "Maksudku, benda itu akan langsung menembusmu, kan?"
Dia telah mengucapkan hal yang salah. Myrtle me-layang dan menjerit, "Biar saja semua melempar buku kepada Myrtle, karena dia tidak bisa merasa! Sepuluh angka kalau kau bisa melemparnya menembus perut-nya! Lima puluh kalau bisa menembus kepalanya! Nah, ha ha ha! Permainan yang bagus sekali, menurut-ku tidak!"
"Siapa sih yang melemparnya kepadamu?" tanya Harry.
"Aku tak tahu... aku sedang duduk-duduk di leher angsa, memikirkan kematian, dan buku itu jatuh begitu saja di atas kepalaku," kata Myrtle, menatap mereka dengan marah. "Itu tuh bukunya, di sana, hanyut."
Harry dan Ron mencari di bawah wastafel, ke arah yang ditunjuk Myrtle. Sebuah buku kecil dan tipis tergeletak. Sampulnya hitam kumal dan basah kuyup seperti halnya segala sesuatu di dalam toilet itu. Harry maju untuk memungutnya, tetapi Ron mendadak menjulurkan tangan mencegahnya.
"Apa?" kata Harry.
"Kau gila?" kata Ron. "Bisa berbahaya."
"Berbahaya?" kata Harry, tertawa. "Mana mungkin sih?".
"Kau akan heran," kata Ron, yang memandang buku itu dengan takut-takut. "Beberapa buku yang disita Kementerian—Dad cerita padaku—ada yang bisa membuat matamu terbakar. Dan siapa saja yang mem-baca Soneta Penyihir, seumur hidup akan bicara dengan gaya pantun jenaka. Dan ada penyihir tua wanita di Bath yang punya buku yang tak bisa berhenti dibaca! Terpaksa kau akan ke mana- mana dengan buku itu di bawah hidungmu, mencoba melakukan segala hal dengan satu tangan. Dan..."
"Baiklah, aku paham," kata Harry. Buku kecil itu tergeletak di lantai, tak jelas buku apa, dan basah kuyup.
"Yah, kita tidak akan tahu kalau kita tidak me-meriksanya," kata Harry, sambil berlari mengitari Ron dan memungut buku itu.
Harry langsung melihat bahwa itu buku harian, dan tahun yang sudah memudar di sampulnya mem-beritahunya bahwa usianya sudah lima puluh tahun. Harry membukanya dengan bergairah. Di halaman pertama dia cuma bisa membaca nama "T. M. Riddle" yang tintanya sudah luntur.
"Tunggu," kata Ron, yang sudah mendekat dengan hati- hati dan melihat melewati bahu Harry "Aku tahu nama itu... T.M. Riddle mendapat penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun yang lalu."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Harry keheranan.
"Karena Filch menyuruhku menggosok trofinya kira-kira lima puluh kali waktu detensi itu," kata Ron sebal. "Trofi itu yang kena muntahan siputku. Kalau kau menggosok lendir dari nama tertentu selama satu jam, kau akan mengingat nama itu juga."
Harry hati-hati membuka halaman-halamannya yang basah. Semuanya kosong. Tak ada bekas tulisan se-samar apa pun di halaman mana pun, bahkan "ulang tahun Bibi Mabel" atau "dokter gigi, setengah empat", misalnya, juga tidak.
"Dia tidak pernah menulis di sini," kata Harry kecewa.
"Kenapa ya ada orang yang ingin melenyapkannya dengan membuangnya ke dalam toilet?" tanya Ron ingin tahu.
Harry membalik buku itu untuk memeriksa sampul belakangnya dan melihat nama sebuah agen surat kabar di Vauxhall Road, London, tercetak di situ.
"Pastilah dia kelahiran-Muggle," kata Harry, berpikir-pikir,
"karena dia membeli buku harian di Vauxhall Road..."
"Yah, tak banyak gunanya untukmu," kata Ron. Dia merendahkan suaranya, "Lima puluh angka kalau kau bisa melemparkannya menembus hidung Myrtle."
Tetapi Harry mengantongi buku harian itu.
Hermione meninggalkan rumah sakit tanpa kumis, tanpa ekor, dan tanpa bulu, pada awal bulan Februari. Pada malam pertamanya berada kembali di Menara Gryffindor, Harry menunjukkan buku harian T.M. Riddle dan menceritakan kepadanya bagaimana me-reka mendapatkannya.
"Oooh, siapa tahu buku ini punya kekuatan ter-sembunyi," kata Hermione antusias, mengambil buku harian itu dan memeriksanya dengan teliti.
"Kalau memang punya, buku itu menyembunyi-kannya dengan sangat baik," kata Ron. "Mungkin bukunya malu. Aku tak tahu kenapa kau tidak mem-buangnya saja, Harry."
"Aku ingin sekali tahu kenapa ada orang yang mau melenyapkannya," kata Harry. "Aku juga tak keberatan mengetahui bagaimana Riddle mendapatkan peng-hargaan untuk pengabdian istimewa kepada Hogwarts."
"Bisa karena apa saja," kata Ron. "Mungkin dia dapat tiga puluh OWL atau menyelamatkan seorang guru dari cumi-cumi raksasa. Mungkin dia membunuh Myrtle, itu akan menguntungkan banyak orang..."
Tetapi Harry bisa melihat dari ketertarikan di wajah Hermione, bahwa Hermione memikirkan apa yang dia sendiri pikirkan.
"Apa?" tanya Ron, memandang mereka bergantian.
"Yah, Kamar Rahasia dibuka lima puluh tahun yang lalu, kan?" kata Harry. "Begitu kata Malfoy." "Yeah...," kata Ron lambat-lambat. "Dan buku harian ini usianya lima puluh tahun," kata Hermione, mengetuk-ngetuk buku itu dengan bergairah.
"Jadi?"
"Oh, Ron, bangun dong," gertak Hermione. "Kita tahu orang yang membuka Kamar Rahasia sebelum ini dikeluarkan lima puluh tahun lalu. Kita tahu T.M. Riddle mendapatkan penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun lalu. Nah, bagaimana kalau Riddle mendapatkan penghargaan istimewanya karena dia menangkap pewaris Slytherin? Buku hariannya mungkin akan memberitahu kita segalanya: di mana Kamar Rahasia itu, dan bagaimana membukanya dan makhluk macam apa yang tinggal di dalamnya. Orang yang berada di belakang penyerangan- penyerangan kali ini tidak ingin bukunya tergeletak di sembarang tempat, kan?"
"Teori yang hebat sekali, Hermione," kata Ron, "ha-nya saja ada satu kendala kecil. Tidak ada tulisan apa pun di dalam buku harian itu."
Tetapi Hermione mengeluarkan tongkatnya dari da-lam tas.
"Mungkin tintanya tinta yang tidak kelihatan!" dia berbisik. Diketuknya buku harian itu tiga kali, dan dia ber-kata,
"Aparecium!"
Tak ada yang terjadi. Tidak putus asa, Hermione menjejalkan kembali tongkatnya ke dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang kelihatannya seperti setip merah cerah.
"Ini Penampak, aku beli di Diagon Alley," katanya. Hermione menggosok keras-keras pada halaman "satu Januari". Tak ada yang terjadi.
"Sudah kubilang, tak ada yang bisa ditemukan di situ," kata Ron. "Riddle mendapatkan buku harian itu sebagai hadiah Natal dan tak mau repot-repot mengisi-nya."
Harry tak bisa menjelaskan, bahkan kepada dirinya sendiri, kenapa dia tidak membuang saja buku harian Riddle. Nyatanya, meskipun dia tahu buku harian itu kosong, berulang-ulang tanpa sadar dia mengambil dan membuka- bukanya, seakan itu buku cerita yang ingin diselesaikannya. Dan meskipun Harry yakin tidak pernah mendengar nama T.M. Riddle se-belumnya, nama itu rasanya berarti sesuatu baginya, rasanya seakan Riddle adalah temannya waktu dia masih kecil sekali, dan sudah setengah terlupakan. Tetapi ini aneh. Harry tak pernah punya teman sebelum masuk Hogwarts. Dudley membuatnya tak punya teman.
Meskipun demikian Harry bertekad untuk menge-tahui lebih banyak tentang Riddle. Maka hari berikut-nya, pada jam istirahat, dia menuju ke ruang piala, ditemani Hermione yang tertarik, dan Ron yang sama sekali tak yakin, yang mengatakan kepada mereka dia sudah muak dengan ruang piala sehingga seumur hidup tidak ke situ lagi pun tak apa- apa.
Trofi emas Riddle yang berkilat ada dalam lemari di sudut. Tidak ada data rinci tentang kenapa trofi itu dihadiahkan kepadanya ("Bagus, kalau ada datanya, trofinya pasti lebih besar dan aku masih menggosok-nya," kata Ron). Meskipun demikian, mereka menemu-kan nama Riddle di Medali tua untuk Penyihir Berjasa, dan di daftar Ketua Murid lama.
"Kedengarannya seperti Percy," kata Ron, me-ngernyitkan hidung dengan jijik. "Prefek, Ketua Murid—mungkin juara kelas setiap tahun."
"Kau mengatakannya seakan itu hal buruk," kata Hermione agak sakit hati.
Matahari sekarang mulai bersinar lemah menyinari Hogwarts lagi. Di dalam kastil, suasana sudah lebih ceria. Tak ada lagi serangan sejak serangan terakhir terhadap Justin dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus. Madam Pomfrey dengan gembira melaporkan bahwa Mandrake-mandrake sudah mulai murung dan serba berahasia, yang berarti mereka sudah meninggalkan masa kanak-kanak.
"Begitu jerawat mereka menghilang, mereka akan siap untuk ganti pot lagi," Harry mendengarnya mem-beritahu Filch dengan lembut suatu sore. "Dan se-sudah itu, tak lama lagi kita bisa memotong dan merebusnya. Kau akan segera mendapatkan kembali Mrs Norris-mu.".
Mungkin si pewaris Slytherin sudah kehilangan nyali, pikir Harry. Pastilah risiko membuka Kamar Rahasia semakin lama semakin besar, dengan seluruh sekolah waspada dan curiga. Mungkin monsternya, entah apa bentuknya, sekarang bahkan sudah siap-siap tidur lagi untuk lima puluh tahun mendatang....
Ernie Macmillan dari Hufflepuff tidak berpandangan seceria itu. Dia masih yakin bahwa Harry-lah yang bersalah, bahwa Harry telah "membocorkan rahasia dirinya" di Klub Duel. Peeves tidak membantu: dia bolak-balik muncul di koridor-
koridor sambil ber-nyanyi-nyanyi, "Oh, Harry, kau keji...,"
sekarang ma-lah sambil menari-nari.
Gilderoy Lockhart tampaknya berpikir dia seorang dirilah yang membuat serangan-serangan itu berhenti. Harry mendengarnya memberitahu Profesor McGonagall ketika anak- anak Gryffindor sedang ber-baris untuk mengikuti pelajaran Transfigurasi.
"Kurasa tak akan ada kesulitan lagi, Minerva," kata-nya, mengetuk-ngetuk hidungnya sok tahu dan mengedip. "Kurasa Kamar Rahasia sudah dikunci untuk selamanya kali ini. Pelakunya pastilah tahu, tinggal soal waktu saja sebelum aku menangkap mereka. Agak pintar juga berhenti sekarang, sebelum aku menghajar mereka.
"Kau tahu, yang diperlukan sekolah sekarang adalah pengobar semangat. Mengguyur kenangan buruk se-mester lalu! Aku tak akan ngomong banyak soal itu sekarang, tapi kurasa aku tahu apa yang bisa membuat anak-anak lebih bergairah...."
Dia mengetuk hidungnya lagi dan pergi.
Ide Lockhart tentang pengobar semangat menjadi jelas pada waktu sarapan tanggal empat belas Februari. Harry hanya sempat tidur sebentar karena malamnya dia latihan Quidditch sampai larut, dan dia bergegas turun ke Aula Besar. la sudah agak terlambat. Sesaat dia mengira dirinya salah masuk.
Dinding-dinding dipenuhi bunga-bunga merah jambu besar norak. Yang lebih parah lagi, konfeti berbentuk hati berjatuhan dari langit-langit biru pucat. Harry berjalan ke meja Gryffindor. Ron tampak sebal, dan Hermione kelihatannya agak geli.
"Ada apa ini?" Harry menanyai mereka, duduk, dan menyapu konfeti dari daging asapnya.
Ron menunjuk ke meja guru, rupanya terlalu sebal untuk bicara. Lockhart memakai jubah merah jambu norak sesuai warna dekorasi, melambaikan tangan agar anak-anak diam. Wajah guru-guru di kiri-kanan-nya bagai dipahat dari batu. Dari tempat duduknya Harry bisa melihat ada otot yang berkedut di pipi Profesor McGonagall. Snape kelihatan seakan baru saja dipaksa meminum semangkuk besar Skele-Gro.
"Selamat Hari Valentine!" Lockhart berteriak. "Dan izinkan aku mengucapkan terima kasih pada empat puluh enam orang yang sejauh ini sudah mengirimiku kartu! Ya, aku berinisiatif mengatur kejutan kecil ini untuk kalian semua—dan kejutan ini belum berakhir di sini!"
Lockhart menepukkan tangan dan dari pintu-pintu yang menghadap ke Aula Depan masuklah selusin kurcaci bertampang masam. Bukan sembarang kurcaci, tapi. Lockhart membuat mereka semua memakai sayap keemasan dan membawa harpa.
"Cupid-cupid pengantar-kartuku yang ramah!" kata Lockhart berseri-seri. "Mereka akan berkeliling sekolah hari ini, mengantar kartu Valentine kalian! Dan ke-gembiraan tidak berakhir di sini! Aku yakin kolega-kolegaku juga ingin bergabung dalam suasana penuh cinta ini! Kenapa tidak meminta Profesor Snape untuk mengajar kalian membuat Ramuan Cinta! Dan, ngomong-ngomong soal cinta, Profesor Flitwick tahu lebih banyak tentang Jimat Pemikat dari penyihir mana pun yang pernah kutemui, si licik ini!"
Profesor Flitwick membenamkan wajah di dalam tangannya. Tampang Snape seperti mau mengatakan orang pertama yang memintanya membuat Ramuan Cinta akan dicekoki racun.
"Hermione, mudah-mudahan kau bukan salah satu dari yang empat puluh enam itu," kata Ron, sementara mereka meninggalkan Aula Besar untuk pelajaran pertama mereka.
Hermione mendadak menjadi sangat sibuk mencari-cari daftar pelajaran di dalam tasnya dan tidak menjawab.
Sepanjang hari itu para kurcaci tak henti-hentinya bermunculan di kelas untuk mengantar kartu Valentine, sampai guru-guru menjadi jengkel sekali, dan sorenya, ketika anak-anak Gryffindor sedang naik untuk pelajaran Jimat dan Guna-guna, salah satu kurcaci mengejar Harry.
"Oi, kau! 'Arry Potter!" seru kurcaci berwajah sangat murung, menyodok-nyodok anak-anak untuk bisa mendekati Harry.
Dengan wajah terasa amat panas memikirkan dia akan diberi kartu Valentine di depan serombongan anak kelas satu, termasuk Ginny Weasley, Harry ber-usaha menghindar. Si kurcaci memotong jalannya, dengan cara menabrak-nabrak tulang kering anak-anak, dan berhasil menghadangnya sebelum Harry bisa maju dua langkah.
"Ada pesan musikal yang harus kusampaikan sendiri kepada 'Arry Potter," katanya, seraya memetik harpa-nya dengan gaya mengancam.
"Tidak di sini," desis Harry, berusaha kabur.
"Diam dulu!" gerutu si kurcaci, menyambar tas Harry dan menariknya. "Lepaskan aku!" bentak Harry, balas menarik. Dengan bunyi cabikan keras, tasnya robek jadi dua.
Buku-bukunya, tongkat, perkamen, dan pena bulu bertebaran di lantai dan botol tintanya jatuh di atas-nya, tintanya muncrat ke mana-mana.
Harry berjongkok gelagapan, berusaha mengumpul-kan semuanya sebelum si kurcaci mulai menyanyi, menyebabkan kemacetan di koridor.
"Ada apa di sini?" terdengar suara dingin Draco Malfoy. Harry cepat-cepat menjejalkan semuanya ke dalam tasnya yang robek, ingin sekali menjauh se-belum Malfoy bisa mendengar lagu Valentine-nya. "Ribut-ribut apa ini?" kata suara lain yang tak asing, ketika Percy Weasley tiba.
Panik, Harry berusaha lari, tetapi si kurcaci menyam-bar lututnya, membuatnya jatuh terjerembap ke lantai. "Baiklah," katanya sambil duduk di atas pergelangan kaki Harry, "ini lagu Valentine-mu:
"Matanya sehijau acar kodok segar, Rambutnya sehitam papan tulis. Ingin sekali aku memilikinya,
Dia sungguh luar biasa, Pahlawan yang mengalahkan Pangeran Kegelapan."
Harry bersedia memberikan seluruh emas di Gringotts jika dia bisa menghilang di tempat saat itu juga. Memaksa diri ikut tertawa bersama yang lain, Harry bangkit. Kakinya kebas sehabis diduduki kurcaci yang berat itu. Sementara itu Percy berusaha sebisa mungkin membubarkan kerumunan anak- anak, yang beberapa di antaranya tertawa sampai keluar air mata.
"Bubar, bubar, bel sudah bunyi lima menit yang lalu, ke kelas sekarang," katanya, menyuruh pergi anak-anak kelas satu. "Dan kau, Malfoy."
Harry, mengerling, melihat Malfoy membungkuk dan menyambar sesuatu. Sambil menyeringai dia me-nunjukkannya kepada Crabbe dan Goyle, dan Harry sadar dia mengambil buku harian Riddle.
"Kembalikan," kata Harry geram.
"Apa nih yang ditulis Potter di sini?" kata Malfoy, yang jelas tidak memperhatikan tahun yang tertera pada sampulnya, dan mengira dia mendapatkan buku harian Harry sendiri. Suasana menjadi hening, karena anak-anak langsung diam. Ginny memandang Harry dan buku harian itu bergantian, tampak ketakutan sekali.
"Kembalikan, Malfoy," kata Percy tegas.
"Kalau sudah kubaca," kata Malfoy, melambai-lambaikan buku harian itu di depan Harry dengan mengejek.
Percy berkata, "Sebagai Prefek sekolah...," tetapi Harry sudah kehabisan kesabaran. Dia menarik tongkatnya dan berteriak, "Expelliarmus!" dan sama seperti Snape yang melucuti Lockhart, buku harian itu melesat dari tangan Malfoy, terbang ke udara. Ron, nyengir lebar, menangkapnya.
"Harry!" seru Percy keras. "Dilarang menggunakan sihir di koridor! Aku harus melaporkan ini, tahu!"
Tetapi Harry tidak peduli. Dia berhasil mengalahkan Malfoy, dan itu layak dibayar dengan lima angka dari Gryffindor kapan saja. Malfoy marah sekali, dan ketika Ginny melewatinya untuk masuk ke kelasnya, dia berteriak menghina kepadanya,
"Menurutku Potter sama sekali tidak menyukai Valentine-mu!" Ginny menutupi wajahnya dengan tangannya dan berlari ke kelas. Geram, Ron mencabut tongkatnya juga, tetapi Harry menariknya menjauh. Ron tak perlu menghabiskan jam pelajaran Jimat dan Guna-guna dengan bersendawa memuntahkan siput.
Baru setelah mereka tiba di kelas Profesor Flitwick, Harry menyadari ada yang aneh dengan buku harian Riddle. Semua bukunya yang lain basah kecipratan tinta merah. Tetapi buku harian itu sama bersihnya seperti sebelum botol tinta menjatuhinya. Dia mencoba memberitahukan ini kepada Ron, tetapi Ron mendapat kesulitan lagi dengan tongkatnya. Gelembung-gelem-bung besar ungu bermunculan dari ujungnya dan Ron tidak begitu tertarik pada hal lain.
Harry masuk kamar sebelum anak-anak lain malam ini. Sebagian karena dia tak tahan mendengar Fred dan George sekali lagi menyanyikan, "Matanya sehijau acar kodok segar," dan sebagian lagi karena dia ingin memeriksa buku harian Riddle lagi, dan dia tahu menurut Ron dia cuma membuang- buang waktu saja.
Harry duduk di tempat tidurnya dan membuka-buka halaman buku harian yang kosong. Tak satu pun yang ada noda tintanya. Kemudian dia mengeluarkan botol tinta baru dari lemari di sebelah tempat tidurnya, mencelupkan pena bulunya ke dalamnya, dan menjatuhkan satu tetes ke halaman pertama buku itu.
Tintanya berkilau terang di atas kertas selama sedetik dan kemudian, seakan diisap ke dalam halaman itu, menghilang. Tegang, Harry mencelupkan pena bulunya untuk kedua kalinya dan menulis, "Namaku Harry Potter."
Kata-kata itu berkilau sejenak di halaman itu, lalu menghilang tanpa bekas juga. Kemudian, akhirnya, ada yang terjadi.
Muncul di halaman itu, dalam tintanya sendiri, rangkaian kata yang tak pernah ditulis Harry.
"Halo, Harry Potter. Namaku Tom Riddle. Bagaimana kau bisa mendapatkan buku harianku?"
Kata-kata itu juga mengabur dan hilang, tetapi Harry sudah sempat menulis balik.
"Ada yang membuangnya di toilet."
Dia menunggu tanggapan Riddle dengan bergairah.
"Untung saja aku mencatat kenanganku dengan cara yang lebih bertahan daripada tinta. Tapi dari dulu aku tahu, akan ada orang-orang yang tidak menginginkan buku harian ini dibaca."
"Apa maksudmu?" Harry menulis, tintanya sampai menetes saking tegangnya dia.
"Maksudku buku harian ini menyimpan kenangan akan peristiwa-peristiwa mengerikan. Peristiwa-peristiwa yang di-sembunyikan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts ini."
"Di situlah aku sekarang," Harry cepat-cepat me-nulis. "Aku di Hogwarts, dan akhir-akhir ini terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan. Apakah kau tahu se-suatu tentang Kamar Rahasia?"
Jantung Harry berdegup kencang. Jawaban Riddle muncul, tulisannya makin tidak rapi, seakan dia ter-buru-buru ingin menceritakan segala hal yang di-ketahuinya.
"Tentu saja aku tahu tentang Kamar Rahasia. Pada zamanku bersekolah, mereka mengatakan itu cuma legenda, bahwa kamar itu tidak ada, Tetapi itu bohong. Dalam tahun kelimaku, kamar itu dibuka dan monsternya me-nyerang beberapa murid, akhirnya malah membunuh satu di antaranya. Aku menangkap orang yang membuka Kamar Rahasia itu dan dia dikeluarkan. Tetapi Kepala Sekolah, Profesor Dippet, yang malu karena hal seperti itu terjadi di Hogwarts, melarangku menceritakan yang sebenarnya. Cerita yang dikeluarkan adalah anak perempuan itu meninggal dalam kecelakaan yang aneh. Mereka memberiku trofi bagus, berkilau dan berukir, dan memperingatkan aku untuk tutup mulut. Tetapi aku tahu peristiwa semacam itu bisa terjadi lagi. Monster itu masih hidup dan orang yang punya kekuasaan untuk melepaskannya tidak dipenjarakan.
Harry nyaris saja menyenggol botol tintanya dalam ketergesaannya untuk menulis balik.
"Sekarang sedang terjadi lagi. Sudah tiga kali ada serangan dan tampaknya tak seorang pun tahu siapa yang ada di belakangnya. Siapa dalang serangan-serangan yang dulu?"
"Aku bisa menunjukkannya kepadamu," muncul ja-waban Riddle. "Kau tak perlu sekadar mempercayai kata-kataku. Aku bisa membawamu ke dalam kenanganku pada malam aku menangkapnya."
Harry ragu-ragu, pena bulunya terangkat di atas buku harian itu. Apa maksud Riddle? Bagaimana dia bisa dibawa masuk ke dalam kenangan orang lain? Cemas dia mengerling ke pintu kamar, ke asrama yang sekarang sudah gelap. Ketika dia kembali me-mandang buku harian, dilihatnya kata-kata baru se-dang terbentuk.
"Ayo, kutunjukkan padamu."
Harry berpikir sebentar dan kemudian menulis tiga huruf.
"Oke."
Halaman-halaman buku harian itu mulai membuka cepat seakan tertiup angin kencang, berhenti di tengah-tengah pada bulan Juni. Dengan mulut ter-nganga Harry melihat kotak kecil untuk tanggal tiga belas Juni berubah menjadi layar televisi mini. Dengan tangan sedikit gemetar, diangkatnya buku itu untuk mendekatkan matanya ke layar kecil itu dan sebelum sadar apa yang terjadi, dia terhuyung ke depan, layar itu membesar, dia merasakan tubuhnya meninggalkan tempat tidur dan terperosok, kepala lebih dulu, lewat lubang di halaman itu, ke dalam pusaran warna dan bayang-bayang.
Harry merasa kakinya menginjak lantai keras, dan dia berdiri, gemetar, ketika sosok-sosok yang bagai bayang- bayang kabur di sekitarnya mendadak menjadi jelas.
Dia langsung tahu berada di mana. Ruang bundar dengan lukisan-lukisan yang sedang tidur ini adalah kantor Dumbledore—tetapi bukan Dumbledore yang duduk di belakang meja. Seorang penyihir tua yang tampak ringkih, berkepala botak dengan hanya be-berapa helai rambut putih, sedang membaca surat diterangi cahaya lilin. Harry belum pernah melihat pria ini.
"Maaf," katanya gemetar. "Saya tidak bermaksud mengganggu..." Tetapi si penyihir tidak mendongak. Dia terus saja membaca, mengernyit sedikit. Harry mendekat ke mejanya dan berkata gugup, "E. saya pergi saja, ya?"
Masih saja si penyihir tidak mengacuhkannya. Ke-lihatannya malah dia tidak mendengarnya. Mengira mungkin si penyihir tuli, Harry mengeraskan suaranya.
"Maaf mengganggu Anda, saya akan pergi seka-rang,"
katanya, setengah berteriak.
Si penyihir melipat surat itu seraya menghela napas, bangkit, berjalan melewati Harry tanpa meliriknya, dan menarik terbuka gorden jendelanya.
Langit di luar merah-jingga. Rupanya matahari sedang terbenam. Si penyihir berjalan kembali ke mejanya, duduk, dan memutar-mutar ibu jarinya, me-mandang pintu.
Harry memandang berkeliling ruangan itu. Tak ada Fawkes si burung phoenix, tak ada peralatan perak yang berputar. Ini Hogwarts pada zaman Riddle, ber-arti penyihir tak dikenal itu adalah kepala sekolahnya, bukan Dumbledore, dan dia, Harry, tak lebih dari bayangan, sama sekali tak kelihatan bagi orang- orang dari lima puluh tahun lalu.
Terdengar ketukan di pintu kantor.
"Masuk," kata si penyihir tua dengan suara lemah.
Seorang anak laki-laki kira-kira berusia enam belas tahun masuk, mencopot topi kerucutnya. Lencana Prefek perak berkilauan di dadanya. Dia jauh lebih jangkung daripada Harry, tetapi dia juga berambut hitam legam.
"Ah, Riddle," kata si kepala sekolah. "Anda ingin menemui saya, Profesor Dippet?" kata Riddle, kelihatan gugup.
"Duduklah," kata Dippet. "Aku baru saja membaca surat yang kaukirim kepadaku." "Oh," kata Riddle. Dia duduk, kedua tangannya saling mencengkeram erat-erat.
"Nak," kata Dippet lembut, "aku tak mungkin meng-izinkanmu tinggal di sekolah selama musim panas. Tentunya kau ingin pulang berlibur?"
"Tidak," kata Riddle segera. "Saya lebih suka tinggal di Hogwarts daripada pulang ke—ke..." "Kau tinggal di panti asuhan Muggle selama liburan, kan?" kata Dippet ingin tahu.
"Ya, Sir," kata Riddle, wajahnya agak memerah.
"Kau kelahiran-Muggle?"
"Setengah-setengah, Sir," kata Riddle. "Ayah Muggle, ibu penyihir." "Dan kedua orangtuamu...?" "Ibu saya meninggal setelah melahirkan saya, Sir.
Orang-orang di panti asuhan memberitahu saya, dia cuma hidup cukup lama untuk memberi nama saya: Tom sesuai nama ayah saya, Marvolo sesuai nama kakek saya."
Dippet mendecakkan lidah bersimpati.
"Masalahnya, Tom," dia menghela napas, "sebetulnya kami bisa mengatur secara khusus untukmu, tetapi dalam situasi seperti sekarang ini..."
"Maksud Anda semua serangan itu, Sir?" kata Riddle, dan hati Harry mencelos. Dia mendekat, takut ada yang ketinggalan tidak didengarnya.
"Persis," kata si kepala sekolah. "Nak, kau pasti sadar, betapa bodohnya aku kalau mengizinkanmu tinggal di kastil setelah tahun ajaran berakhir. Terutama kalau mengingat tragedi yang baru saja terjadi... ke-matian anak perempuan yang malang itu... Kau akan jauh lebih aman di panti asuhanmu. Terus terang saja, Kementerian Sihir sekarang bahkan sedang mem-bicarakan kemungkinan menutup sekolah ini. Kita tak mendapat kemajuan menemukan—eh— sumber se-mua ketidaknyamanan ini..."
Mata Riddle membesar.
"Sir—kalau orang itu tertangkap... Kalau semua ini dihentikan..."
"Apa rnaksudmu?" kata Dippet, suaranya sedikit melengking. Dia duduk tegak di kursinya. "Riddle, apakah rnaksudmu kau tahu sesuatu tentang serangan-serangan ini?"
"Tidak, Sir," kata Riddle buru-buru. Tetapi Harry yakin itu model "tidak" yang sama seperti yang dia sendiri katakan kepada Dumbledore. Dippet terenyak kembali di kursinya, kelihatan agak kecewa.
"Kau boleh pergi, Tom..."
Riddle bangkit dari kursinya dan keluar dari ruangan. Harry mengikutinya.
Mereka menuruni tangga spiral, muncul di sebelah gargoyle di koridor gelap. Riddle berhenti, begitu juga Harry, yang mengawasinya. Harry melihat bahwa Riddle sedang berpikir serius. Dia menggigit-gigit bibir-nya, dahinya berkerut.
Kemudian, seakan mendadak telah mengambil ke-putusan, Riddle bergegas pergi. Harry membuntuti-nya tanpa suara. Mereka tidak bertemu orang lain sampai tiba di Aula Depan, ketika seorang penyihir pria jangkung berambut pirang panjang dan ber-jenggot juga pirang panjang, memanggil Riddle dari tangga pualam.
"Mau apa kau berkeliaran selarut ini, Tom?"
Harry ternganga memandang penyihir itu. Dia tak lain dan tak bukan adalah Dumbledore yang lima puluh tahun lebih muda.
"Saya baru dipanggil Kepala Sekolah, Sir," kata Riddle.
"Nah, segeralah kembali ke kamarmu," kata, Dumbledore, memandang Riddle dengan tatapan tajam yang sangat dikenal Harry. "Sebaiknya jangan berkeliaran di koridor hari-hari ini. Apalagi sejak..."
Dumbledore menarik napas berat, mengucapkan se-lamat tidur kepada Riddle dan pergi. Riddle me-nunggunya lenyap dari pandangan, dan kemudian, bergerak cepat, menuruni tangga batu menuju ke ruang bawah tanah. Harry mengejarnya.
Tetapi betapa kecewanya Harry Riddle tidak mem-bawanya ke lorong tersembunyi atau terowongan rahasia, melainkan ke ruang bawah tanah yang di-gunakan Harry untuk pelajaran Ramuan dengan Snape. Obor-obor belum dinyalakan, dan ketika Riddle menutup pintunya sampai hampir rapat, Harry hanya bisa melihat Riddle, berdiri tegak di sisi pintu, me-mandang lorong di luar.
Bagi Harry rasanya mereka berada di situ paling sedikit satu jam. Yang bisa dilihatnya hanyalah sosok Riddle di pintu, memandang keluar lewat celah, me-nunggu seperti patung. Dan ketika Harry sudah ber-henti berharap dan tegang, dan mulai ingin kembali ke masa kini, dia mendengar sesuatu bergerak di luar.
Ada yang merayap sepanjang lorong. Dia men-dengar entah siapa orangnya melewati ruang bawah tanah tempat dia dan Riddle bersembunyi. Riddle, diam bagai bayangan, menyelinap keluar dari pintu dan membuntutinya. Harry berjingkat di belakangnya, lupa bahwa dia tak bisa didengar. Selama kira-kira lima menit mereka mengikuti lang-kah kaki itu, sampai Riddle mendadak berhenti, kepalanya condong ke arah suara-suara baru. Harry mendengar bunyi pintu berderit terbuka, dan kemu-dian ada yang berbisik serak.
"Ayo... harus bawa kau keluar dari sini... ayolah... masuk kotak ini..."
Harry rasanya kenal suara itu.
Riddle tiba-tiba melompat dari sudut tempatnya mengintai. Harry melangkah di belakangnya. Dia bisa melihat siluet seorang anak laki-laki tinggi besar se-dang berjongkok di depan pintu terbuka, sebuah kotak yang sangat besar di sebelahnya.
"Malam, Rubeus," kata Riddle tajam.
Anak itu membanting pintu sampai tertutup dan bangkit.
"Ngapain kau di bawah sini, Tom?" Riddle mendekat. "Sudah selesai," katanya. "Aku akan melaporkanmu,
Rubeus. Mereka sudah membicarakan kemungkinan menutup Hogwarts jika serangan-serangan tidak ber-henti."
"Apa maksud..."
"Kurasa kau tidak bermaksud membunuh siapa-siapa. Tapi monster bukanlah binatang piaraan yang baik. Kurasa kau cuma mengeluarkannya supaya dia bisa berjalan-jalan dan..."
"Dia tak pernah bunuh siapa-siapa!" kata anak ringgi besar itu, mundur sampai ke pintu yang tertutup. Dari belakangnya, Harry bisa mendengar bunyi ber-keresek dan klak-klik yang aneh.
"Ayolah, Rubeus," kata Riddle, semakin mendekat.
"Orangtua anak perempuan yang meninggal itu akan ke sini besok. Paling sedikit yang bisa dilakukan Hogwarts adalah memastikan monster yang mem-bunuh anak mereka dibantai..."
"Bukan dia!" raung si anak, suaranya bergema di lorong yang gelap. "Dia tak akan membunuh! Tak akan pernah!"
"Minggir," kata Riddle, seraya menarik keluar tongkatnya.
Mantranya menerangi lorong dengan sinar terang yang menyala. Pintu di belakang anak tinggi besar itu berdebam terbuka, begitu kuat sampai si anak terbang menabrak dinding di seberangnya. Dan dari dalamnya muncul sesuatu yang membuat Harry me-ngeluarkan jeritan panjang yang kelihatannya tak ada yang mendengarnya kecuali dia sendiri. Tampak sesosok besar, pendek, berbulu dan kaki-kaki hitam yang ruwet, kilatan banyak mata dan sepasang capit setajam silet. Riddle mengangkat tongkatnya lagi, tetapi terlambat. Makhluk itu me-nabraknya sampai terjengkang ketika dia lari, menyu-suri lorong dan menghilang dari pandangan. Riddle terhuyung bangun, mengejarnya. Dia mengangkat tongkatnya, tetapi anak tinggi besar itu melompat menerjangnya, merebut tongkatnya dan membanting-nya ke lantai, sambil berteriak,
"JANGAAAAAAAN!"
Pemandangan ini berputar, segalanya menjadi gelap pekat, Harry merasa dirinya terjatuh dan dengan bunyi berdebum mendarat telentang di atas tempat tidurnya di kamar asrama Gryffindor, buku harian Riddle tergeletak terbuka di atas perutnya.
Sebelum dia sempat mengatur napasnya, pintu ka-mar terbuka dan Ron masuk.
"Kau di sini rupanya," katanya.
Harry duduk. Dia berkeringat dan gemetar.
"Ada apa?" tanya Ron, memandangnya dengan cemas.
"Hagrid, Ron. Hagrid-lah yang membuka Kamar Rahasia lima puluh tahun yang lalu."

14. Cornelius Fudge

Harry, Ron, dan Hermione sudah lama tahu bahwa Hagrid punya kegemaran khusus akan makhluk-makhluk besar mengerikan. Pada tahun pertama mereka di Hogwarts, Hagrid mencoba membesarkan naga di dalam pondok papannya yang kecil, dan masih perlu waktu lama sebelum mereka bisa melupakan anjing raksasa berkepala tiga yang dinamakannya "Fluffy"—si bulu lembut. Dan kalau, sebagai anak-anak, Hagrid mendengar ada monster disembunyikan di suatu tempat di kastil, Harry yakin dia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa melihat monster itu. Mungkin sekali dia bahkan kasihan pada si monster yang telah dikurung begitu lama, dan berpendapat si monster pantas mendapat kesempatan untuk melemaskan kakinya yang banyak. Harry bisa membayangkan Hagrid yang berusia tiga belas tahun mencoba memakaikan kalung leher pada si monster.
Tetapi Harry sama yakinnya bahwa Hagrid tidak akan pernah berniat membunuh siapa pun.
Harry setengah menyesal dia berhasil mengetahui bagaimana menggunakan buku harian Riddle. Berulang-ulang Ron dan Hermione memintanya menceritakan apa yang telah dilihatnya, sampai dia muak sekali bercerita kepada mereka dan muak akan pembicaraan berputar-putar setelahnya.
"Riddle mungkin menangkap orang yang salah/' kata Hermione. "Mungkin monster lain yang menyerang orang- orang..."
"Berapa monster sih yang bisa disembunyikan di tempat ini?" tanya Ron jemu.
"Kita sudah tahu bahwa Hagrid dikeluarkan," kata Harry sedih. "Dan serangan-serangan itu pastilah berhenti setelah Hagrid dikeluarkan. Kalau tidak, Riddle tak akan menerima penghargaannya."
Ron mencoba meninjaunya dari sudut lain.
"Riddle kedengarannya benar-benar mirip Percy— siapa suruh dia menangkap Hagrid?"
"Tapi monsternya sudah membunuh orang, Ron," kata Hermione.
"Dan Riddle terpaksa harus kembali ke panti asuhan Muggle kalau Hogwarts ditutup," kata Harry. "Aku tidak menyalahkannya kalau dia ingin tinggal di sini..."
Ron menggigit bibir, kemudian berkata hati-hati, "Kau bertemu Hagrid di Knockturn Alley, kan, Harry?"
"Dia sedang membeli Pembasmi Siput Pemakan-Daging,"
kata Harry cepat-cepat.
Ketiganya diam. Setelah lama hening, Hermione mengutarakan pertanyaan yang paling sulit dengan ragu-ragu,
"Apakah menurut kalian sebaiknya kita pergi menanyai Hagrid tentang semua ini?"
"Akan jadi kunjungan yang menyenangkan," kata Ron.
"Halo, Hagrid, ceritakan kepada kami, apakah belakangan ini kau melepaskan sesuatu yang gila dan berbulu di kastil?"
Pada akhirnya, mereka memutuskan tidak akan mengatakan apa-apa kepada Hagrid, kecuali kalau ada serangan lain, dan sementara hari demi hari berlalu tanpa bisikan dari suara tanpa tubuh, mereka punya harapan tak perlu bicara dengan Hagrid tentang kenapa dia dikeluarkan. Sudah hampir empat bulan sejak Justin dan Nick si Kepala- Nyaris-Putus dibuat Membatu, dan hampir semua orang berpendapat bahwa si penyerang, siapa pun dia, telah menyingkir untuk selamanya. Peeves akhirnya sudah bosan dengan lagu "Oh, Harry, kau keji"-nya. Ernie Macmillan meminta Harry dengan cukup sopan untuk mengulurkan seember jamur berlompatan dalam pelajaran Herbologi pada suatu hari, dan pada bulan Maret beberapa Mandrake mengadakan pesta yang keras dan bising di Rumah Kaca nomor tiga. Ini membuat Profesor Sprout sangat gembira.
"Begitu mereka mulai mencoba saling pindah ke dalam pot temannya, kita tahu mereka sudah dewasa sepenuhnya," katanya kepada Harry. "Maka kita akan bisa menyembuhkan anak-anak malang di rumah sakit itu."
Anak-anak kelas dua diberi sesuatu yang baru untuk dipikirkan selama liburan Paskah mereka. Sudah tiba waktunya memilih mata pelajaran mereka untuk kelas tiga. Persoalan yang—setidaknya bagi Hermione— sangat serius.
"Bisa mempengaruhi seluruh masa depan kita/' katanya kepada Harry dan Ron, sementara mereka mempelajari daftar mata pelajaran baru, menandainya dengan tanda centang.
"Aku cuma ingin tak ikut lagi pelajaran Ramuan," kata Harry.
"Tidak bisa," kata Ron muram. "Semua mata pelajaran lama masih harus diikuti, kalau tidak aku pasti sudah meninggalkan Pertahanan terhadap Ilmu Hitam."
"Tapi itu kan penting sekali!" kata Hermione, kaget.
"Tidak, kalau Lockhart yang mengajar," kata Ron. "Aku tidak belajar apa-apa dari dia kecuali jangan melepas pixie."
Neville Longbottom dikirimi surat oleh semua penyihir dalam keluarganya, semua memberinya nasihat yang berbeda- beda tentang apa yang harus dipilih. Cemas dan bingung, dia duduk membaca daftar mata pelajaran dengan lidah terjulur, menanyai anak-anak apakah menurut mereka Arithmancy kedengarannya lebih sulit daripada Rune Kuno. Rune adalah huruf-huruf alfabet kuno yang digunakan di Eropa Utara sekitar abad ketiga sampai ketiga belas. Selain alfabet, pelajaran Rune Kuno mencakup mantra-mantra kuno, juga puisi, sajak, ataupun lagu-lagu kuno yang mistis dan sulit dipahami. Dean Thomas, yang seperti Harry dibesarkan dalam keluarga Muggle, akhirnya memejamkan mata dan menotol- notolkan tongkatnya pada daftar, kemudian memilih mata pelajaran yang ditunjuk si tongkat. Hermione tidak mendengarkan nasihat siapa pun, tetapi memilih semua mata pelajaran.
Harry tersenyum muram pada diri sendiri ketika memikirkan apa yang akan dikatakan Paman Vernon dan Bibi Petunia jika dia mencoba mendiskusikan kariernya di dunia sihir dengan mereka. Bukannya tak ada yang membimbingnya. Percy Weasley dengan senang hati bersedia berbagi pengalaman.
"Tergantung maumu ke mana, Harry," katanya. "Tak pernah terlalu awal untuk memikirkan masa depan, jadi kusarankan Ramalan. Orang menganggap Telaah tentang Muggle pilihan yang enteng, tapi aku pribadi berpendapat penyihir harus punya pemahaman menyeluruh tentang komunitas non-sihir, terutama jika merencanakan untuk bekerja bersama mereka—lihat saja ayahku, sepanjang waktu dia harus menangani urusan Muggle. Abangku, Charlie, dari dulu suka bekerja di luar ruangan, jadi dia memilih Pemeliharaan Satwa Gaib. Pilih sesuai kekuatanmu, Harry"
Tapi satu-satunya yang menurut Harry benar-benar dilakukannya dengan baik hanyalah Quidditch. Pada akhirnya, dia memilih pelajaran-pelajaran baru yang sama dengan Ron, dengan perhitungan kalau dia tidak bisa mengikutinya, dia punya teman yang baik untuk membantunya.
Pertandingan Quidditch berikutnya bagi Gryffindor adalah melawan Hufflepuff. Wood memaksa timnya latihan setiap malam sehabis makan, sehingga Harry nyaris tak punya waktu kecuali untuk Quidditch dan mengerjakan PR. Meskipun demikian sesi latihan mulai membaik, atau paling tidak bertambah kering, dan pada malam sebelum pertandingan hari Sabtu, Harry naik ke kamarnya untuk mengembalikan sapunya, merasa kesempatan Gryffindor untuk memenangkan Piala Quidditch tidak pernah sebaik ini.
Tetapi suasana hatinya yang gembira tidak berlangsung lama. Di puncak tangga yang menuju ke kamar, dia bertemu Neville Longbottom, yang kelihatan kalut.
"Harry—aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Aku baru saja menemukan..."
Memandang Harry ketakutan, Neville mendorong pintu kamar sampai terbuka.
Isi koper Harry dilemparkan ke mana-mana. Jubahnya tergeletak robek di lantai. Seprai dan selimut dicopot dari tempat tidurnya dan laci lemari di sebelah tempat tidurnya ditarik terbuka, isinya bertebaran di atas kasur.
Harry berjalan ke tempat tidurnya, melongo, menginjak beberapa halaman Tamasya dengan Troll yang lepas.
Ketika dia dan Neville sedang menarik selimut kembali ke atas tempat tidurnya, Ron, Dean, dan Seamus masuk. Dean mengumpat keras.
"Apa yang terjadi, Harry?"
"Entahlah," kata Harry. Tetapi Ron memeriksa jubah-jubah Harry. Semua kantongnya menggantung keluar.
"Ada orang yang mencari-cari sesuatu," kata Ron. "Ada yang hilang?"
Harry mulai memunguti semua barangnya dan melemparkannya ke dalam kopernya. Setelah melemparkan buku Lockhart yang terakhir, barulah dia sadar apa yang tidak ada.
"Buku harian Riddle hilang," katanya pelan kepada Ron.
"Apa?"
Harry mengedikkan kepala ke arah pintu kamar dan Ron mengikutinya keluar. Mereka bergegas kembali ke ruang rekreasi Gryffindor, yang sudah setengah kosong, dan bergabung dengan Hermione, yang duduk sendirian, membaca buku berjudul Mempelajari Rune Kuno dengan Mudah.
Hermione kaget sekali mendengar berita itu.
"Tapi—hanya anak Gryffindor yang bisa mencurinya—tak ada anak lain yang tahu kata kunci kita..."
"Justru itu," kata Harry.
Mereka terbangun keesokan harinya disambut sinar matahari yang cerah dan angin sepoi menyegarkan.
"Kondisi sempurna untuk Quidditch!" kata Wood antusias di meja Gryffindor, sambil mengisi piringpiring anggota timnya dengan telur aduk. "Harry, ayo, kau perlu sarapan yang cukup."
Harry sejak tadi cuma memandang meja Gryffindor yang penuh, bertanya-tanya dalam hati kalau-kalau pemilik baru buku harian Riddle ada di depan matanya. Hermione sudah mendesaknya untuk melaporkan pencurian ini, tetapi Harry tidak mau. Nanti dia terpaksa harus menceritakan kepada seorang guru tentang buku harian ini, dan berapa orang yang tahu kenapa Hagrid dikeluarkan lima puluh tahun lalu? Dia tak ingin menjadi orang yang mengungkit-ungkitnya.
Selagi dia meninggalkan Aula Besar bersama Ron dan Hermione untuk mengambil peralatan Quidditch-nya, daftar kesulitan Harry yang sudah banyak bertambah dengan kesulitan baru yang sangat serius. Harry baru saja menginjakkan kaki di tangga pualam, ketika dia mendengar suara itu lagi, "Bunuh kali ini... biar kurobek... kucabik..."
Harry berteriak keras, Ron dan Hermione sampai melompat kaget.
"Suara itu!" kata Harry, menoleh melewati bahunya. "Aku baru saja mendengarnya lagi—karian dengar?"
Ron menggeleng, terbelalak. Tetapi Hermione menempelkan tangan ke dahinya.
"Harry—kupikir aku baru saja mengerti! Aku harus ke perpustakaan!"
Dan dia berlari menaiki tangga.
"Apa yang dia mengerti?" tanya Harry bingung, masih memandang berkeliling, mencoba menebak dari mana datangnya suara itu.
"Jauh lebih banyak daripada yang kupahami," kata Ron geleng-geleng kepala.
"Tetapi kenapa dia harus ke perpustakaan?"
"Karena itulah yang dilakukan Hermione," kata Ron, mengangkat bahu. "Kalau ragu-ragu, pergi ke perpustakaan." Harry berdiri ragu-ragu, mencoba mendengarkan suara itu lagi, tetapi anak-anak sekarang berduyun-duyun keluar dari Aula Besar di belakangnya, bicara keras-keras, keluar lewat pintu depan menuju ke lapangan Quidditch.
"Lebih baik kau cepat naik," kata Ron. "Sudah hampir pukul sebelas—pertandingan akan dimulai'
Harry berlari ke Menara Gryffindor, mengambil Nimbus Dua Ribu-nya dan bergabung dengan kerumunan yang berduyun- duyun menyeberangi halaman, tetapi pikirannya masih di kastil, bersama suara tanpa tubuh. Ketika dia memakai jubah merahnya di dalam kamar ganti, satu-satunya yang membuatnya terhibur hanyalah semua orang sekarang ada di luar untuk menonton pertandingan.
Kedua tim berjalan memasuki lapangan di bawah tepukan riuh-rendah. Oliver Wood melakukan pemanasan dengan terbang mengelilingi tiang-tiang gol. Madam Hooch melepas bola-bolanya. Anak-anak Hufflepuff, yang bermain dengan seragam kuning kenari, berdiri bergerombol, mengadakan diskusi terakhir soal taktik.
Harry sedang menaiki sapunya ketika Profesor McGonagall setengah berlari datang memasuki lapangan, membawa megafon ungu besar.
Hati Harry terasa seberat batu.
"Pertandingan hari ini dibatalkan," seru Profesor McGonagall lewat megafon, berbicara kepada stadion yang penuh sesak. Terdengar gemuruh "buu-buu" kecewa dan teriakan-teriakan. Oliver Wood, tampak terpukul, mendarat dan berlari mendekati Profesor McGonagall tanpa turun dari sapunya.
"Tapi, Profesor!" teriaknya. "Kami harus main... piala... Gryffindor..."
Profesor McGonagall tidak mengacuhkannya dan melanjutkan berteriak lewat megafonnya, "Semua anak diminta kembali ke ruang rekreasi asrama masing-masing. Di sana Kepala Asrama akan memberi keterangan yang lebih jelas. Secepat mungkin, ayo, ayo!"
Kemudian dia menurunkan megafon dan memberi isyarat kepada Harry agar mendekat.
"Potter, kurasa lebih baik kau ikut aku...."
Harry yang bertanya-tanya dalam hati bagaimana Profesor McGonagall bisa mencurigainya kali ini, melihat Ron meninggalkan rombongan anak-anak yang mengeluh. Ron berlari mengejar mereka menuju kastil. Betapa herannya Harry, Profesor McGonagall tidak keberatan.
"Ya, mungkin lebih baik kau juga ikut, Weasley."
Beberapa anak yang berjalan di sekitar mereka menggerutu karena pertandingannya dibatalkan, yang lain kelihatan cemas. Harry dan Ron mengikuti Profesor McGonagall kembali ke sekolah dan menaiki tangga pualam. Tetapi mereka tidak dibawa ke kantor siapa-siapa kali ini.
"Ini akan sedikit mengagetkan," kata Profesor McGonagall dengan suara lembut yang mengejutkan ketika mereka mendekati rumah sakit. "Baru saja ada serangan lain... serangan ganda lain."
Organ-organ dalam tubuh Harry serasa berjumpalitan. Profesor McGonagall membuka pintu, dan Harry dan Ron masuk.
Madam Pomfrey sedang membungkuk di atas anak kelas lima berambut ikal. Harry mengenalinya sebagai anak Ravenclaw yang pernah mereka tanyai jalan menuju ruang rekreasi Slytherin. Dan di tempat tidur di sebelahnya adalah...
"Hermione!" Ron mengerang.
Hermione terbaring diam, matanya terbuka, pandangannya kosong.
"Mereka ditemukan dekat perpustakaan," kata Profesor McGonagall. "Kurasa kalian berdua tidak bisa menjelaskan ini? Ini ditemukan di lantai di sebelah mereka..."
Profesor McGonagall memegang cermin bundar kecil.
Harry dan Ron menggelengkan kepala, keduanya menatap Hermione.
"Aku akan menemani kalian kembali ke Menara Gryffindor," kata Profesor McGonagall berat. "Aku toh harus memberi penjelasan kepada anak-anak."
"Semua murid sudah harus kembali ke ruang rekreasi asrama mereka paling lambat pukul enam sore. Tak seorang murid pun diizinkan meninggalkan asrama setelah waktu itu. Kalian akan ditemani seorang guru ke semua kelas setiap ganti pelajaran. Murid-murid dilarang ke kamar kecil tanpa ditemani guru. Semua latihan Quidditch dan pertandingan ditunda. Tak akan ada lagi kegiatan di malam hari/'
Anak-anak Gryffindor yang memenuhi ruang rekreasi mendengarkan Profesor McGonagall dalam diam. Dia menggulung perkamen yang tadi dibacanya dan berkata dengan suara agak tercekat, "Tak perlu kutambahkan bahwa belum pernah aku sesedih ini. Mungkin sekolah akan ditutup jika pelaku di balik serangan-serangan ini tidak berhasil ditangkap. Aku mengimbau siapa saja yang merasa tahu sesuatu tentang serangan-serangan ini untuk melapor."
Profesor McGonagall memanjat keluar lubang lukisan dengan agak canggung, dan anak-anak Gryffindor langsung ramai.
"Itu berarti dua anak Gryffindor jatuh, belum lagi satu hantu Gryffindor, satu Ravenclaw, dan satu Hufflepuff," kata sahabat si kembar Weasley, Lee Jor-dan, sambil menghitung dengan jari-jarinya. "Apakah tidak ada guru yang sadar bahwa anak-anak Slytherin semua selamat? Bukankah sudah jelas sekali semua malapetaka ini datangnya dari Slytherin? Pewaris Slytherin, monster Slytherin—kenapa mereka tidak mengeluarkan saja semua anak Slytherin?" teriaknya, disambut anggukan dan tepukan di sana-sini.
Percy Weasley duduk di kursi di belakang Lee, tetapi sekali ini dia tampaknya tak ingin mengemukakan pendapatnya. Dia tampak pucat dan terpukul.
"Percy shock," George memberitahu Harry perlahan. "Anak Ravenclaw itu—Penelope Clearwater—dia Prefek. Kurasa Percy tidak menyangka si monster akan berani menyerang Prefek/' Tetapi Harry hanya setengah mendengarkan. Dia tak bisa melenyapkan bayangan Hermione yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, seakan terpahat dari batu. Dan jika pelakunya tidak segera ditangkap, berarti seumur hidup dia akan tinggal lagi bersama keluarga Dursley. Tom Riddle menyerahkan Hagrid, karena bila tidak dia harus tinggal di panti asuhan Muggle kalau sekolah ditutup. Harry sekarang paham betul bagaimana perasaan Riddle.
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron pelan di telinga Harry. "Apakah menurutmu mereka mencurigai Hagrid?"
"Kita harus bicara dengannya," kata Harry, mengambil keputusan. "Aku tak percaya dia pelakunya kali ini, tetapi kalau dulu dia melepas monsternya, dia akan tahu bagaimana caranya masuk ke Kamar Rahasia, dan itu sudah awal yang bagus."
"Tetapi McGonagall bilang kita harus tinggal di menara kita kecuali untuk mengikuti pelajaran..."
"Kurasa," kata Harry lebih pelan, "sudah waktunya mengeluarkan jubah tua ayahku lagi."
Harry hanya mewarisi satu benda dari ayahnya: Jubah Gaib panjang keperakan, yang bisa membuat pemakainya tidak kelihatan. Jubah itu satu-satunya kesempatan bagi mereka agar bisa menyelinap keluar dari sekolah, untuk mengunjungi Hagrid tanpa diketahui siapa pun. Mereka pergi tidur pada jam yang biasa, menunggu sampai Neville, Dean, dan Seamus berhenti mendiskusikan Kamar Rahasia dan akhirnya tertidur, kemudian mereka bangun, berpakaian lagi, dan me-nyelubungkan jubah itu ke tubuh mereka.
Perjalanan melewati koridor-koridor kastil yang kosong sungguh tidak nyaman. Harry, yang sudah beberapa kali berjalan-jalan di kastil pada malam hari, belum pernah melihatnya begitu ramai setelah matahari terbenam. Para guru, Prefek, dan hantu berpatroli di koridor berpasangan, memeriksa kalau-kalau ada kegiatan yang tidak biasa. Jubah Gaib tidak membuat suara mereka tak bisa didengar, dan mereka tegang sekali ketika ibu jari kaki Ron terantuk sesuatu hanya beberapa meter dari tempat Snape berjaga. Untunglah Snape bersin hampir pada saat bersamaan dengan Ron mengumpat. Maka betapa leganya mereka ketika tiba di pintu depan yang terbuat dari kayu ek dan membukanya.
Malam itu cerah dan berbintang. Mereka bergegas menuju jendela-jendela pondok Hagrid yang terang, dan baru melepas Jubah Gaib ketika sudah tiba di depan pintu.
Beberapa saat setelah mereka mengetuk, Hagrid membuka pintunya. Mereka ternyata berhadapan dengan Hagrid yang membidikkan panah ke arah mereka. Fang, si anjing besar, menyalak keras di belakangnya.
"Oh," kata Hagrid, menurunkan senjatanya dan menatap mereka. "Ngapain kalian berdua di sini?"
"Untuk apa itu?" tanya Harry, menunjuk busur sambil melangkah masuk.
"Tidak... tidak apa-apa," gumam Hagrid. "Aku kira... tidak penting... Duduklah... aku buat teh..."
Kelihatannya Hagrid tak sadar apa yang dilakukannya. Dia nyaris membuat apinya padam, menuangkan air dari ceret ke api, dan kemudian memukul jatuh teko teh dengan gerakan gugup tangannya yang besar.
"Kau tidak apa-apa, Hagrid?" tanya Harry. "Apakah kau sudah dengar tentang Hermione?"
"Oh, aku dengar," kata Hagrid, suaranya agak tercekat.
Dia berulang-ulang mengerling gugup ke jendela. Dia menuang air mendidih ke dalam dua cangkir besar untuk mereka berdua (lupa mencelupkan kantong tehnya) dan sedang menaruh sepotong kue buah di atas piring ketika terdengar ketukan keras di pintu.
Hagrid menjatuhkan kue buahnya. Harry dan Ron bertukar pandang panik, kemudian kembali menye-lubungkan Jubah Gaib ke tubuh mereka dan mundur ke sudut. Hagrid memastikan mereka sudah tersembunyi, menyambar busurnya, dan membuka pintu sekali lagi.
"Selamat malam, Hagrid."
Ternyata yang datang Dumbledore. Dia masuk, kelihatan serius sekali, diikuti orang kedua yang bertampang sangat aneh.
Pria asing ini bertubuh pendek bulat dengan rambut abu- abu kusut dan wajah cemas. Dia memakai pakaian campur aduk aneh: setelan bergaris-garis, dasi merah tua, jubah hitam panjang, dan sepatu bot ungu berujung runcing. Lengannya mengepit topi hijau-jeruk-limau.
"Itu bos Dad!" bisik Ron kaget. "Cornelius Fudge, Menteri Sihir!"
Harry menyikut keras Ron, menyuruhnya diam.
Hagrid sudah pucat dan berkeringat. Dia menge-nyakkan diri di salah satu kursinya dan memandang Dumbledore dan Cornelius Fudge berganti-ganti.
"Kabar buruk, Hagrid," kata Fudge lugas. "Sangat buruk. Harus datang. Empat serangan pada anak-anak kelahiran- Muggle. Sudah terlalu jauh. Ke-menterian harus bertindak."
"Bukan saya," kata Hagrid dengan pandangan memohon kepada Dumbledore, "Anda tahu saya tak pernah lakukan itu, Profesor Dumbledore, Sir..."
"Aku ingin mencamkan ini, Cornelius, bahwa Hagrid mendapatkan kepercayaanku sepenuhnya," kata Dumbledore, mengernyit kepada Fudge.
"Begini, Albus," kata Fudge, salah tingkah. "Riwayat masa lalu Hagrid merugikannya. Kementerian harus melakukan sesuatu—dewan sekolah sudah menghubungi kami."
^ Meskipun demikian, sekali lagi kukatakan, Cornelius, bahwa menyingkirkan Hagrid tidak akan membantu sedikit pun," kata Dumbledore. Mata birunya dipenuhi api yang belum pernah dilihat Harry.
"Cobalah melihatnya dari sudut pandangku," kata Fudge, meremas-remas topinya. "Aku di bawah banyak tekanan. Harus dilihat melakukan sesuatu. Kalau nanti ternyata bukan Hagrid, dia akan dikembalikan il»in tak akan disebut-sebut lagi. Tapi aku harus membawanya sekarang. Harus. Tidak menjalankan kewajibanku kalau..."
"Bawa saya?" kata Hagrid, gemetar. "Bawa saya ke mana?"
"Cuma untuk sementara waktu," kata Fudge, tanpa berani menatap Hagrid. "Bukan hukuman, Hagrid, lebih untuk berjaga-jaga. Kalau nanti ada orang lain yang ditangkap, kau akan dikeluarkan dengan permohonan maaf penuh..."
"Tidak ke Azkaban, kan?" seru Hagrid parau.
Sebelum Fudge bisa menjawab, terdengar ketukan keras lagi di pintu.
Dumbledore membukanya. Kali ini giliran Harry disikut rusuknya: dia terpekik kaget.
Mr Lucius Malfoy melangkah masuk ke pondok Hagrid, berselubung jubah perjalanan hitam panjang, senyumnya dingin dan puas. Fang mulai menggeram.
"Sudah di sini, Fudge," katanya senang. "Bagus, bagus..."
"Mau apa kau ke sini?" kata Hagrid berang. "Keluar dari rumahku!"
"Hagrid, percayalah, aku sama sekali tak senang berada di—eh... kausebut ini rumah?" kata Lucius Malfoy mencemooh sambil memandang berkeliling pondok kecil itu. "Aku tadi mampir di sekolah dan diberitahu Kepala Sekolah ada di sini."
"Dan apa persisnya yang kauinginkan dariku, Lucius?" kata Dumbledore. Dia bicara dengan sopan, tetapi api masih menyala-nyala di mata birunya.
"Hal yang sangat tidak enak, Dumbledore," kata Mr Malfoy santai, mengeluarkan gulungan panjang per-kamen, "tetapi dewan sekolah merasa sudah waktunya kau menyingkir. Ini Perintah Penskorsan—kau akan menemukan keseluruhan dua belas tanda tangan di sini. Kami merasa kau sudah kehilangan sentuhanmu. Berapa serangan yang sudah terjadi? Dua lagi sore ini, kan? Dengan kecepatan begini, tak akan ada anak kelahiran-Muggle yang tersisa di Hogwarts, dan kita semua tahu itu akan jadi kehilangan besar bagi sekolah."
"Oh, Lucius," kata Fudge, kelihatan kaget. "Dumbledore diskors... jangan, jangan... itu hal terakhir yang kita inginkan sekarang ini..."
"Pengangkatan—atau penskorsan—kepala sekolah adalah urusan dewan sekolah, Fudge," kata Mr Malfoy lancar. "Dan karena Dumbledore sudah gagal menghentikan serangan- serangan ini..."
"Tapi, Lucius, kalau Dumbledore tidak bisa menghentikannya...," kata Fudge, yang bagian atas bibirnya berbintik-bintik keringat sekarang, "aku mau mengatakan, siapa yang bisa?"
"Kita lihat saja nanti," kata Mr Malfoy dengan senyum menyebalkan. "Tetapi karena kami berdua belas sudah memutuskan..."
Hagrid melompat bangun, kepalanya yang berambut lebat awut-awutan menyentuh langit-langit.
"Dan berapa yang sudah kauancam dan kauperas sebelum mereka setuju, Malfoy, eh?" raung Hagrid.
"Wah, wah, kau tahu, sifatmu yang berangasan begitu akan menyulitkanrnu hari-hari ini, Hagrid," kata Mr Malfoy.
"Kusarankan kau jangan berteriak begitu pada penjaga Azkaban. Mereka sama sekali tak akan senang."
"Kau tak boleh ambil Dumbledore!" teriak Hagrid, membuat Fang meringkuk dan merintih di keranjangnya. "Bawa dia pergi, dan anak-anak kelahiran-Muggle tak punya harapan sama sekali! Berikutnya akan terjadi pembunuhan!"
"Tenangkan dirimu, Hagrid!" kata Dumbledore tajam. Dia menatap Lucius Malfoy.
"Kalau dewan menginginkan aku diganti, Lucius, aku tentu saja akan mundur."
"T-tapi...," gagap Fudge.
"Tidak!" geram Hagrid.
Dumbledore tidak mengalihkan matanya yang biru cemerlang dari mata Lucius yang dingin abu-abu.
"Meskipun demikian," kata Dumbledore, berbicara sangat lambat dan jelas, sehingga tak seorang pun dari mereka tidak menangkap semua ucapannya, "kau akan tahu bahwa aku hanya akan benar-benar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini. Kau juga akan tahu bahwa bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang memintanya."
Sejenak, Harry nyaris yakin mata Dumbledore terarah ke sudut tempat dia dan Ron bersembunyi.
"Sikap sentimental yang layak dikagumi," kata Malfoy, membungkuk. "Kami semua akan kehilangan—eh—caramu yang sangat individual dalam mengatur segalanya, Albus, dan hanya berharap peng-gantimu akan bisa mencegah—ah—
'pembunuhan'"
Malfoy melangkah ke pintu pondok, membukanya, dan membungkuk mempersilakan Dumbledore keluar. Fudge, gelisah meremas-remas topinya, menunggu Hagrid berjalan mendahuluinya. Tetapi Hagrid tetap di tempatnya, menarik napas dalam-dalam, dan berkata hati-hati, "Kalau ada yang mau tahu sesuatu, yang harus mereka lakukan hanya ikuti labah-labah. Labah-labah akan bawa mereka ke yang benar! Cuma itu yang mau kukatakan/'
Fudge memandangnya keheranan.
"Baiklah, aku ikut," kata Hagrid, memakai mantel kulit tikus mondoknya. Tetapi ketika dia sudah akan keluar dari pintu mengikuti Fudge, dia berhenti lagi dan berkata keras-keras,
"Dan harus ada yang kasih makan Fang selama aku tak ada." Pintu berdebam tertutup dan Ron menarik lepas Jubah Gaib.
"Kita dalam kesulitan sekarang," katanya serak. "Tak ada lagi Dumbledore. Sama saja dengan mereka menutup sekolah malam ini. Akan terjadi serangan tiap hari kalau Dumbledore tak ada."
Fang mulai melolong, menggaruk-garuk pintu yang tertutup.

15. Aragog


Musim panas merayapi halaman sekeliling kastil. Langit dan danau sama-sama berubah biru cerah, dan bunga-bunga sebesar kol bermekaran di dalam rumah-rumah kaca. Tetapi tanpa Hagrid yang bisa dilihat dari jendela kastil, berjalan kian kemari di halaman diiringi Fang, Harry merasa ada yang tidak benar dengan pemandangan di luar itu. Sama seperti di dalam kastil, suram karena terjadinya peristiwa-peristiwa mengerikan.
Harry dan Ron sudah berusaha mengunjungi Hermione, tetapi sekarang rumah sakit tidak menerima pengunjung.
"Kami tidak mau ambil risiko/' Madam Pomfrey memberitahu mereka lewat celah di pintu. "Tidak, maaf, ada kemungkinan si penyerang muncul lagi untuk menghabisi anak-anak yang malang ini...."
Dengan kepergian Dumbledore, ketakutan menyebar— hal yang tak pernah terjadi sebelumnya— sehingga matahari yang menghangatkan tembok kastil - di luar kelihatannya berhenti di jendela-jendela bersekat. Nyaris tak ada wajah di sekolah yang tidak tampak cemas dan tegang, dan kalau ada tawa yang terdengar di koridor, tawa itu terdengar nyaring dan tidak wajar, dan segera dihentikan.
Harry tak henti-hentinya mengulangi kata-kata terakhir Dumbledore untuk dirinya sendiri. "Aku hanya akan benar- benar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadaku di sini... Bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada siapa pun yang memintanya." Tetapi apa gunanya kata-kata itu? Siapa persisnya yang harus mereka mintai bantuan, kalau semua orang sama bingung dan takutnya seperti mereka?
Petunjuk Hagrid tentang labah-labah lebih mudah dimengerti—kesulitannya adalah, kelihatannya di kastil tak tersisa lagi seekor labah-labah pun yang bisa mereka ikuti. Harry mencari-cari ke mana pun dia pergi, dibantu (dengan agak enggan) oleh Ron. Mereka dihambat, tentu saja, oleh kenyataan bahwa mereka tidak diizinkan berjalan ke mana- mana sendiri, melainkan harus berombongan dengan anak- anak Gryffindor lain. Sebagian besar teman mereka tampaknya senang ditemani oleh para guru dari kelas ke kelas, tetapi bagi Harry ini sangat menjengkelkan.
Meskipun demikian, ada satu anak yang kelihatannya sangat menikmati suasana penuh teror dan kecurigaan. Draco Malfoy berjalan sok gagah berkeliling sekolah seakan dia baru ditunjuk jadi Ketua Murid. Harry tidak menyadari apa yang membuat Malfoy begitu senang, sampai pelajaran Ramuan, kira-kira dua minggu sesudah Dumbledore dan Hagrid pergi. Waktu itu Harry, yang kebetulan duduk tepat di belakang Malfoy, mendengarnya menyombongkan diri kepada Crabbe dan Goyle.
"Dari dulu aku sudah menduga, Ayah-lah yang akan berhasil menyingkirkan Dumbledore," katanya, tanpa berusaha memelankan suaranya. "Aku kan sudah bilang, Ayah menganggap Dumbledore kepala sekolah paling buruk yang pernah dipunyai sekolah ini. Mungkin sekarang kita akan dapat kepala sekolah yang layak. Orang yang tidak menginginkan Kamar Rahasia dikunci. McGonagall tidak akan bertahan lama, dia cuma mengisi kekosongan..."
Snape melewati Harry, tidak berkomentar tentang tempat duduk dan kuali Hermione yang kosong.
"Sir," kata Malfoy keras-keras. "Sir, kenapa Anda tidak melamar untuk jabatan kepala sekolah?"
"Wah, wah, Malfoy," kata Snape, meskipun dia tidak bisa menyembunyikan senyum bibir-tipisnya. "Profesor Dumbledore hanya diskors oleh dewan sekolah. Dia akan segera kembali bersama kita."
"Yeah, betul," kata Malfoy, mencibir. "Saya yakin Anda akan mendapat dukungan Ayah, Sir, kalau Anda ingin mengisi jabatan ini. Saya akan bilang pada Ayah, Anda guru paling hebat di sini, Sir..."
Snape menyeringai ketika dia berkeliling ruang bawah tanah. Untunglah dia tidak melihat Seamus Finnigan, yang berpura-pura muntah ke dalam kualinya. !
"Aku heran para Darah-lumpur belum juga mengepak tas mereka/' Malfoy meneruskan. "Berani taruhan lima Galleon, yang berikutnya pasti mati. Sayang bukan si Granger..."
Untunglah saat itu bel berdering. Mendengar kata-kata terakhir Malfoy tadi, Ron sudah melompat bangun dari tempat duduknya, dan dalam kesibukan anak-anak membereskan tas dan buku-buku, tak ada yang memperhatikan dia mencoba menyerang Malfoy.
"Biar kuberi pelajaran dia," geram Ron ketika Harry dan Dean memegangi lengannya. "Aku tak peduli, aku tidak perlu tongkatku, akan kubunuh dia dengan tangan kosong..."
"Ayo cepat, aku harus mengantar kalian semua ke Herbologi," bentak Snape kepada anak-anak, dan mereka pun berangkatlah, beriringan, dengan Harry, Ron, dan Dean paling belakang. Ron masih berusaha melepaskan diri. Baru aman melepasnya ketika Snape sudah mengantar mereka sampai ke luar kastil, dan mereka melewati petak-petak kebun sayur menuju ke rumah-rumah kaca.
Kelas Herbologi sangat muram. Kini sudah dua orang dari mereka tak ada, Justin dan Hermione.
Profesor Sprout menyuruh mereka memangkasi dahan dan ranting-ranting kering pohon ara Abyssinia. Harry sedang akan melempar sepelukan dahan kering ke tumpukan kompos ketika ternyata dia berhadapan dengan Ernie Macmillan. Ernie menarik napas dalam-dalam dan berkata, sangat resmi, "Aku cuma ingin mengatakan, Harry, bahwa aku menyesal telah men-curigaimu. Aku tahu kau tak akan pernah menyerang Hermione Granger, dan aku minta maaf untuk semua yang pernah kukatakan. Kita berada di perahu yang sama sekarang, dan, yah..."
Dia mengulurkan tangannya yang gemuk dan Harry menjabatnya.
Ernie- dan temannya Hannah bergabung dengan Harry dan Ron,-memangkas pohon ara yang sama.
"Si Draco Malfoy itu," kata Ernie, mematahkan ranting- ranting kering, "dia kelihatannya senang sekali dengan semua kejadian ini, ya? Tahu tidak, kupikir mungkin dialah si pewaris Slytherin."
"Pintar sekali kau," komentar Ron, yang kelihatannya tidak semudah Harry memaafkan Ernie.
"Menurutmu Malfoy-kah orangnya, Harry?" tanya Ernie.
"Bukan," kata Harry tegas sekali sehingga Ernie dan Hannah keheranan menatapnya.
Sesaat kemudian, Harry melihat sesuatu yang membuatnya memukul tangan Ron dengan gunting tanamannya.
"Ouchl Apa sih mak..."
Harry menunjuk ke tanah kira-kira satu meter dari mereka. Beberapa labah-labah besar bergegas di atas tanah.
"Oh, yeah," kata Ron, mencoba, dan gagal, untuk tampak senang. "Tapi kita tidak bisa mengikuti mereka sekarang..."
Ernie dan Hannah mendengarkan dengan ingin tahu. Harry melihat para labah-labah itu berlari menjauh.
"Kelihatannya mereka menuju Hutan Terlarang..."
Dan Ron kelihatan makin tidak senang mendengar ini.
Pada akhir pelajaran, Profesor Snape mengantar mereka ke kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Harry dan Ron sengaja berjalan berlama-lama di belakang yang lain agar bisa bicara tanpa didengar siapa pun.
"Kita harus memakai Jubah Gaib lagi," kata Harry kepada Ron. "Kita bisa membawa Fang. Dia sudah terbiasa masuk ke hutan bersama Hagrid, mungkin dia bisa membantu."
"Betul," kata Ron, yang gugup memelintir tongkatnya dengan jari-jarinya. "Eh—bukankah—bukankah katanya ada manusia serigala di dalam Hutan Terlarang?" dia menambahkan, ketika mereka duduk di tempat biasa, di tempat duduk paling belakang di kelas Lockhart.
Harry yang lebih suka tidak menjawab pertanyaan itu, berkata, "Ada hal-hal baik juga di sana. Centaurus-nya baik- baik. Juga unicorn-nya."
Ron belum pernah masuk Hutan Terlarang. Harry pernah ke sana sekali, dan berharap tidak perlu masuk hutan itu lagi. Lockhart melompat masuk ke dalam kelas dan anak-anak memandangnya keheranan. Semua guru yang lain lebih muram dari biasanya, tetapi Lockhart kelihatan penuh semangat.
"Ayolah," serunya, tersenyum ke seluruh kelas, "kenapa semua murung begini?"
Anak-anak bertukar pandang putus asa, tetapi tak seorang pun menjawab.
"Apakah kalian tidak menyadari/' kata Lockhart, bicara lambat-lambat, seakan mereka semua agak bodoh, "bahaya telah lewat! Pelakunya sudah dibawa pergi?"
"Siapa bilang?" kata Dean Thomas keras.
"Anak muda, Menteri Sihir tidak akan menangkap Hagrid kalau dia tidak yakin seratus persen bahwa Hagrid bersalah," kata Lockhart dengan nada seperti menjelaskan bahwa satu ditambah satu sama dengan dua.
"Oh, bisa saja dia menangkap Hagrid, walaupun tidak yakin," kata Ron, lebih keras daripada Dean.
"Aku bangga pada diriku sendiri karena aku tahu sedikit lebih banyak tentang penangkapan Hagrid daripada kau, Mr Weasley," kata Lockhart dengan nada puas diri.
Ron sudah akan membantah, tetapi kalimatnya berhenti di tengah ketika Harry menendangnya keras-keras di bawah meja.
"Kita tidak berada di sana, ingat?" gumam Harry.
Tetapi keriangan Lockhart yang menjijikkan, komentar- komentarnya yang menunjukkan bahwa dari dulu dia berpendapat Hagrid tak ada gunanya, keyakinannya bahwa urusan penyerangan ini sekarang sudah beres, menjengkelkan Harry begitu rupa sehingga ingin sekali rasanya dia melemparkan buku Heboh dengan Hantu ke muka tolol Lockhart. Tetapi alih-alih begitu, dia berusaha puas dengan menulis pesan kepada Ron: "Yuk kita lakukan malam ini."
Ron membaca pesan itu, menelan ludah dengan susah, dan menoleh ke sebelahnya, ke tempat kosong yang biasanya diduduki Hermione. Pemandangan ini kelihatannya menguatkan tekadnya, dan dia mengangguk.
Ruang rekreasi Gryffindor selalu ramai hari-hari ini, karena setelah pukul enam sore, anak-anak Gryffindor tak bisa pergi ke tempat lain. Mereka juga punya banyak hal untuk dibicarakan, sehingga akibatnya ruang rekreasi sering belum kosong sampai lewat tengah malam.
Harry mengambil Jubah Gaib dari dalam kopernya sehabis makan malam, dan melewatkan malam itu duduk di atasnya, menunggu ruangan kosong. Fred dan George menantang Harry dan Ron untuk bermain Jentikan Meletup dan Ginny menonton mereka, sangat lesu, di kursi yang biasa diduduki Hermione. Harry dan Ron berkali-kali kalah dengan sengaja, agar permainan cepat selesai. Meskipun demikian, sudah lewat tengah malam ketika Fred, George, dan Ginny akhirnya pergi tidur.
Harry dan Ron menunggu bunyi dua pintu kamar yang tertutup di kejauhan, sebelum menyambar Jubah Gaib, menyelubungkannya ke tubuh mereka dan melompati lubang lukisan.
Perjalanan di dalam kastil tak.kalah sulitnya, mereka harus menghindari para guru. Akhirnya mereka tiba di Aula Depan, menggeser selot gerendel di pintu depan, menyelinap keluar, berusaha tidak membual suara, dan melangkah ke lapangan rumput yang ditimpa cahaya bulan.
"Tentu saja," kata Ron tiba-tiba, selagi mereka berjalan di atas rumput yang gelap, "bisa saja kita sampai di hutan dan ternyata tidak ada yang bisa diikuti. Para labah-labah itu siapa tahu tidak ke sana. Aku tahu kelihatannya mereka bergerak ke arah sana, tapi..."
Suaranya mengabur penuh harap.
Mereka tiba di pondok Hagrid, tampak suram dan menyedihkan dengan jendela-jendelanya yang gelap. Ketika Harry mendorong pintunya, Fang seperti gila saking girangnya melihat mereka. Cemas Fang bisa membangunkan semua orang di kastil dengan gong-gongannya yang keras, mereka buru-buru memberinya gulali dari dalam kaleng di atas perapian, yang membuat gigi-gigi Fang saling menempel.
Harry meninggalkan Jubah Gaib di atas meja Hagrid. Mereka tidak memerlukannya di dalam hutan yang gelap gulita.
"Ayo, Fang, kita jalan-jalan," kata Harry, membelai kakinya, dan Fang melompat dengan riang gembira keluar rumah mengikuti mereka, berlari ke tepi hutan dan mengangkat satu kakinya di pohon sycamore besar.
Harry mengeluarkan tongkatnya, menggumamkan,
"humosl" dan cahaya kecil muncul di ujung tongkatnya, sekadar cukup bagi mereka untuk melihat jalan setapak mencari labah-labah.
"Ide bagus," kata Ron. "Aku mau juga menyalakan tongkatku, tapi kau tahu, kan—malah akan meledak atau entah apa..."
Harry mengetuk bahu Ron, menunjuk ke rerumputan. Dua ekor labah-labah berlari menjauh dari cahaya tongkat ke dalam kegelapan bayang-bayang pepohonan.
"Oke/' Ron menghela napas, seakan menyerah pada nasib untuk menerima yang paling buruk. "Aku siap. Ayo, kita berangkat."
Maka, dengan Fang berlarian di sekitar mereka, mengendus-endus akar pohon dan dedaunan, mereka memasuki hutan. Diterangi cahaya dari tongkat Harry, mereka mengikuti rombongan kecil labah-labah yang semakin bertambah, bergerak sepanjang jalan setapak. Mereka berjalan selama kira-kira dua puluh menit, tanpa bicara, memasang telinga tajam-tajam untuk mendengar bunyi lain selain dahan patah atau gemeresik dedaunan. Kemudian, ketika pepohonan sudah semakin rapat, sehingga bintang- bintang di langit tak lagi kelihatan, dan tongkat Harry bersinar sendiri dalam lautan kegelapan, mereka melihat labah-labah pemandu mereka meninggalkan jalan setapak.
Harry berhenti, mencoba melihat ke mana labah-labah itu pergi, tetapi segala sesuatu di luar lingkaran cahaya kecilnya gelap gulita. Belum pernah dia masuk ke hutan sampai sejauh ini. Dia masih ingat jelas, Hagrid melarangnya meninggalkan jalan setapak ketika dia di sini beberapa waktu lalu. Tetapi Hagrid entah berapa kilometer jauhnya dari sini sekarang, mungkin duduk dalam sel di Azkaban, dan dia juga sudah berpesan untuk mengikuti labah-labah.
Sesuatu yang basah menyentuh tangan Harry, dan dia melompat ke belakang, menginjak kaki Ron, tapi ternyata cuma hidung Fang.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Harry kepada Ron, yang cuma kelihatan matanya, yang memantulkan cahaya tongkatnya.
"Kita sudah sampai sejauh ini," kata Ron.
Maka mereka mengikuti kelebat bayang-bayang labah- labah menembus pepohonan. Mereka tak bisa bergerak cepat sekarang, ada akar-akar pohon dan tunggul menghalangi mereka, yang nyaris tak tampak dalam kegelapan. Harry bisa merasakan napas panas Fang di tangannya. Lebih dari sekali, mereka harus berhenti, supaya Harry bisa berjongkok dan menemukan labah-labah itu dengan cahaya tongkatnya.
Mereka berjalan selama paling tidak setengah jam, jubah mereka tersangkut-sangkut pada dahan-dahan yang rendah dan semak berduri. Setelah beberapa saat, mereka memperhatikan bahwa tanah kelihatannya melandai, meskipun pepohonan masih serapat sebelumnya.
Kemudian mendadak Fang menggonggong keras, bergema, membuat Harry dan Ron melompat kaget sekali.
"Apa?" kata Ron keras, memandang berkeliling dalam kegelapan yang pekat, memegangi siku Harry kuat-kuat.
"Ada yang bergerak di sana," kata Harry tertahan.
"Dengar... Kedengarannya sesuatu yang besar."
Mereka mendengarkan. Agak jauh di sebelah kanan mereka, sesuatu yang besar itu mematahkan dahan-dahan ketika dia mencari jalan menerobos pepohonan.
"Oh tidak," kata Ron. "Oh tidak, oh tidak, oh..." "Diam,"
kata Harry cemas. "Dia akan mendengarmu."
"Mendengari?" kata Ron dengan suara tinggi melengking yang tidak wajar. "Dia sudah dengar. Fang!"
Kegelapan serasa menekan bola mata mereka ketika mereka berdiri ketakutan, menunggu. Terdengar gemuruh aneh, kemudian sunyi.
"Sedang apa dia?" tanya Harry.
"Mungkin bersiap-siap menyerang," kata Ron.
Mereka menunggu, gemetar, nyaris tak berani bergerak.
"Apa menurutmu dia sudah pergi?" bisik Harry "Entahlah..." Kemudian, di sebelah kanan mereka, mendadak muncul sinar terang benderang, begitu menyilaukan dalam gelap, sehingga mereka berdua mengangkat tangan untuk menutupi mata. Fang mendengking dan berusaha lari, tetapi tersangkut belukar berduri dan mendengking lebih keras lagi.
"Harry!" Ron berteriak, suaranya lega sekali. "Harry, mobil kita!"
"Apa?"
"Ayo!"
Harry gelagapan mengikuti Ron mendekati cahaya itu, terhuyung dan terantuk, dan sebentar kemudian mereka telah tiba di lapangan terbuka.
Mobil Mr Weasley berdiri, kosong, di tengah lingkaran pepohonan yang rapat, di bawah atap dahan-dahan yang lebat, lampu depannya menyala terang. Ketika Ron dengan ternganga berjalan mendekatinya, mobil itu bergerak perlahan menyongsongnya, persis seperti anjing besar hijau toska yang menyambut tuannya.
"Rupanya selama ini ada di sini!" kata Ron senang, berjalan mengelilingi mobil itu. "Lihat. Hutan telah membuatnya liar..." Kanan-kiri mobil itu tergores dan berlumur lumpur. Rupanya dia berkeliling hutan sendiri. Fang sama sekali tidak tertarik pada mobil itu. Dia berada dekat-dekat Harry, yang bisa merasakan anjing itu gemetar. Setelah napasnya mulai teratur, Harry memasukkan tongkatnya ke dalam jubahnya lagi.
"Dan kita mengira dia akan menyerang kita!" kata Ron, bersandar pada mobil itu dan membelainya. "Selama ini aku bertanya-tanya sendiri ke mana perginya dia!"
Harry menyipitkan mata, memandang berkeliling tanah yang terang untuk mencari-cari labah-labah, tetapi mereka semua sudah menyingkir dari silaunya cahaya lampu mobil.
"Kita kehilangan jejak," katanya. "Ayo, kita cari mereka." Ron tidak menanggapi. Dia tidak bergerak. Matanya terpaku ke satu titik kira-kira tiga meter dari tanah, tepat di belakang Harry. Wajahnya pucat pasi, ngeri.
Harry bahkan tak sempat menoleh. Terdengar bunyi klak- klik keras, dan mendadak dia merasa sesuatu yang panjang dan berbulu mencengkeram pinggangnya dan mengangkatnya dari tanah, terbalik, sehingga dia menggantung dengan kepala di bawah. Memberontak, ketakutan, dia mendengar bunyi klak-klik lagi dan melihat kaki Ron meninggalkan tanah juga, mendengar Fang merintih dan melolong—saat berikutnya Harry sudah diayun ke dalam pepohonan yang gelap.
Dengan kepala di bawah, Harry melihat bahwa makhluk yang memeganginya berjalan dengan enam kaki yang sangat panjang dan berbulu. Dua kakinya yang paling depan, yang letaknya di bawah sepasang penjepit hitam berkilat, mencengkeramnya erat-erat. Di belakangnya, dia bisa mendengar satu lagi makhluk yang sama, tak diragukan lagi membawa Ron. Mereka bergerak ke jantung hutan. Harry bisa mendengar Fang berkutat melepaskan diri dari monster ketiga, mendengking keras, tetapi Harry tak bisa menjerit, kalaupun dia ingin. Rasanya dia sudah meninggalkan suaranya di mobil di lapangan terbuka tadi.
Harry tak pernah tahu berapa lama dia berada dalam cengkeraman makhluk itu. Dia cuma tahu kegelapan mendadak cukup pudar sehingga dia bisa melihat tanah yang berselimut dedaunan sekarang dipenuhi labah-labah. Menoleh ke samping, dia menyadari bahwa mereka telah tiba di tepi tanah kosong yang membentuk semacam lubang besar. Tak ada pohon di situ, sehingga bintang-bintang bersinar menerangi pemandangan paling mengerikan yang pernah dilihatnya.
Labah-labah. Bukan labah-labah kecil-kecil seperti yang muncul ke atas daun di tanah. Labah-labah sebesar kereta kuda, bermata delapan, berkaki delapan, hitam, berbulu, bertubuh raksasa. Labah-labah besar yang membawa Harry menuruni tanah yang melandai, menuju ke jaring berkabut berbentuk kubah yang berada persis di tengah lubang, sementara kawan-kawannya berkerumun mengelilinginya,
mengatup-ngatupkan capit mereka dengan bergairah melihat tangkapannya.
Harry jatuh ke tanah dalam posisi merangkak ketika si labah-labah melepaskannya. Ron dan Fang jatuh berdebam di sebelahnya. Fang tak lagi melolong, melainkan meringkuk diam di tempat. Ron kelihatan persis seperti yang dirasakan Harry. Mulutnya terpentang lebar dalam jeritan tanpa suara dan matanya terbeliak.
Harry tiba-tiba sadar bahwa labah-labah yang menjatuhkannya mengatakan sesuatu. Susah ditangkap, karena dia mengatupkan capitnya bersamaan dengan setiap kata yang diucapkannya.
"Aragog!" dia memanggil. "Aragog!"
Dan dari tengah jaring kubah berkabut, seekor labah-labah seukuran gajah kecil muncul, sangat perlahan. Ada warna biru di tengah hitamnya tubuh dan kakinya, dan pada kepalanya yang jelek bercapit, semua matanya putih seperti susu. Dia buta.
"Ada apa?" dia berkata, mengatup-ngatupkan capitnya dengan cepat.
"Manusia," jawab si labah-labah yang menangkap Harry.
"Hagrid-kah?" tanya Aragog, bergerak mendekat, kedelapan matanya yang seputih susu bergerak-gerak ke segala arah,
"Orang asing," kata labah-labah yang membawa Ron.
"Bunuh mereka," perintah Aragog mengatupkan capit dengan jengkel. "Aku sedang tidur..."
"Kami teman Hagrid," Harry berteriak. Jantungnya serasa meninggalkan dadanya dan berdenyut di tenggorokannya.
Klik, klik, klik, bunyi capit para labah-labah di sekeliling lubang besar.
"Hagrid belum pernah mengirim orang ke lubang kami,"
katanya lambat-lambat.
"Hagrid dalam kesulitan," kata Harry, bernapas cepat sekali. "Itulah sebabnya kami datang."
"Kesulitan?" tanya si labah-labah tua, dan Harry merasa mendengar nada cemas dalam suaranya. "Tetapi kenapa dia mengirimmu?"
Harry berpikir akan berdiri, tetapi membatalkannya. Dia menduga kakinya tak akan sanggup menopangnya. Jadi dia bicara dari tanah, setenang mungkin.
"Mereka mengira, di sekolah, bahwa Hagrid telah melepas—se-sesuatu—untuk menyerang anak-anak. Mereka membawanya ke Azkaban."
Aragog mengatup-ngatupkan capitnya dengan murka dan di sekeliling lubang, bunyi itu dipantulkan oleh rombongan labah-labah yang ikut mengatupkan capit mereka. Semacam tepuk tangan, hanya saja tepuk tangan biasanya tidak membuat Harry ketakutan.
"Tetapi itu sudah lama sekali," kata Aragog marah.
"Bertahun-tahun yang lalu, aku masih ingat betul. Itulah sebabnya mereka menyuruhnya meninggalkan sekolah. Mereka yakin akulah monster yang tinggal di dalam apa yang mereka sebut Kamar Rahasia. Mereka mengira Hagrid telah membuka kamar itu dan me lepasku."
"Dan kau... kau tidak berasal dari Kamar Rahasia?" tanya Harry, yang bisa merasakan dahinya bersimbah keringat dingin.
"Aku!" kata Aragog, mengatupkan capitnya dengan gusar.
"Aku tidak dilahirkan di kastil. Aku berasal dari negeri yang jauh. Seorang pengelana memberikan aku kepada Hagrid waktu aku masih berupa telur. Hagrid masih anak-anak, tetapi dia merawatku, menyembunyikan aku dalam lemari di kastil,
memberi makan aku sisa-sisa makanan dari meja. Hagrid teman baikku, dan dia orang baik. Ketika aku ditemukan dan dituduh telah menyebabkan kematian seorang anak perempuan, dia melindungiku. Aku hidup di hutan ini sejak saat itu. Hagrid masih mengunjungiku. Dia bahkan mencarikan istri untukku, Mosag, dan kalian lihat bagaimana keluarga kami telah berkembang, semua berkat kebaikan Hagrid."
Harry mengeluarkan sisa keberaniannya.
"Jadi, kau tak pernah—tak pernah menyerang siapa ...
"Tak pernah," kata si labah-labah tua serak. "Sebetulnya itu naluriku, tetapi karena menghormati Hagrid, aku tak pernah melukai orang. Mayat anak perempuan yang dibunuh itu ditemukan di dalam toilet. Aku tak pernah melihat bagian lain kastil kecuali lemari tempat aku tumbuh. Bangsa kami menyukai kegelapan dan keheningan..."
"Tetapi kalau begitu... Tahukah kau apa yang membunuh anak perempuan itu?" tanya Harry. "Karena entah apa pun dia, dia sudah muncul kembali dan menyerang orang-orang lagi..."
Kata-katanya ditenggelamkan oleh suara klak-klik yang keras sekali dan keresekan banyak kaki panjang yang bergerak dengan marah. Sosok-sosok besar hitam bergerak- gerak di sekelilingnya.
"Makhluk yang tinggal di kastil itu," kata Aragog, "adalah makhluk kuno yang sangat ditakuti oleh kami, labah-labah, lebih daripada makhluk-makhluk lain. Aku masih ingat betul, bagaimana aku memohon-mohon pada Hagrid untuk melepaskan aku, ketika aku merasa binatang itu berkeliaran di sekolah."
"Binatang apa?" desak Harry.
Lebih banyak klak-klik keras, lebih banyak keresekan, para labah-labah kelihatannya semakin mendekat, mengepung mereka.
"Kami tidak bicara tentang itu!" kata Aragog galak. "Kami tidak menyebut namanya. Aku bahkan tidak memberitahu Hagrid nama makhluk mengerikan itu, meskipun dia menanyakannya padaku, berulang kali."
Harry tidak ingin memaksakan soal itu, apalagi semua labah-labah menddkat dari segala jurusan. Aragog kelihatannya sudah lelah bicara. Dia perlahan berjalan mundur ke jaring kubahnya, tetapi teman-teman labah-labahnya terus merayap mendekati Harry dan Ron.
"Kalau begitu kami pergi dulu," teriak Harry putus asa kepada Aragog, mendengar daun-daun ber-gemeresik di belakangnya.
"Pergi?" kata Aragog lambat-lambat. "Kurasa tidak..."
"Tapi—tapi..."
"Anak-anakku tidak mencelakai Hagrid karena kularang. Tetapi aku tak bisa menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan daging segar, ketika daging itu datang sendiri dengan sukarela ke tengah-tengah kami. Selamat tinggal, teman Hagrid."
Harry berbalik. Hanya satu meter lebih dari mereka, menjulang tinggi dinding kokoh labah-labah. Mereka mengatup-ngatupkan capit, mata mereka yang banyak berkilat-kilat di kepala hitam jelek mereka.
Bahkan saat mencabut tongkatnya, Harry sadar tongkat itu tak ada gunanya. Ada terlalu banyak labah-labah. Tetapi ketika dia berusaha berdiri, siap mati dalam pertempuran, terdengar bunyi keras. Kilatan cahaya terang benderang menyinari lubang.
Mobil Mr Weasley menerjang turun, lampu depannya menyala terang, klaksonnya menjerit-jerit, menabrak para labah-labah hingga menepi. Beberapa labah-labah terlempar dan mendarat terbalik, kaki mereka yang banyak menendang- nendang ke udara. Mobil berdecit berhenti di depan Harry dan Ron, dan pintu-pintunya berdebam terbuka.
"Ambil Fang!" jerit Harry, meluncur ke tempat duduk depan. Ron menyambar pinggang Fang, dan melemparnya. Fang mendengking, terlempar ke tempat duduk belakang. Pintu-pintu menutup keras. Ron tidak menyentuh gas, tetapi mobil itu tidak memerlukannya. Mesinnya menderu dan mereka melesat, menabrak lebih banyak lagi labah-labah. Mereka meluncur mendaki lereng, keluar dari lubang, dan segera saja menerobos hutan, dahan-dahan pepohonan melecut jendela-jendelanya ketika mobil itu dengan cerdik berzig-zag melewati celah-celah yang cukup lebar, mengikuti jalan setapak yang rupanya sudah dikenalnya.
Harry mengerling Ron. Mulutnya masih terbuka dalam jerit tanpa suara, tetapi matanya tak lagi terbeliak. ,
"Kau tak apa-apa?"
Ron memandang lurus ke depan, tak bisa bicara.
Mereka menerobos belukar, Fang melolong keras di tempat duduk belakang, dan Harry melihat kaca spion melipat menutup ketika mereka melewati pohon ek besar. Setelah sepuluh menit perjalanan yang bising dan penuh guncangan, pohon-pohon mulai jarang, dan Harry bisa melihat petak-petak langit lagi.
Mobil berhenti begitu mendadak, sehingga mereka nyaris terlempar ke kaca depan. Mereka sudah tiba di tepi hutan. Fang melemparkan diri ke jendela saking cemasnya ingin segera keluar, dan ketika Harry membuka pintu dia melesat melewati pepohonan, kembali ke pondok Hagrid, ekornya di antara dua kaki belakangnya. Harry juga keluar dan setelah kira-kira satu menit, Ron kelihatannya sudah bisa merasakan kaki-_ nya, dan dia ikut keluar. Leher Ron masih kaku, dan dia masih terus memandang ke depan. Harry mengelus mobil dengan penuh terima kasih ketika mobil itu berbalik ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan.
Harry kembali ke pondok Hagrid untuk mengambil Jubah Gaib-nya. Fang gemetar di bawah selimut di dalam keranjangnya. Ketika Harry keluar lagi, Ron sedang muntah- muntah di kebun labu.
"Ikuti labah-labah/' kata Ron lemas, menyeka mulutnya dengan lengan jubahnya. "Aku tak akan pernah memaafkan Hagrid. Kita beruntung masih hidup."
"Pasti dia mengira Aragog tidak akan melukai teman- temannya," kata Harry.
"Itulah masalah Hagrid!" kata Ron, memukul-mukul dinding pondok. "Dia selalu beranggapan monster tidak seburuk penampilannya, dan lihat saja akibatnya, sekarang dia di mana! Di sel di Azkaban!" Ron gemetar tak terkendali sekarang. "Apa gunanya mengirim kita ke hutan? Apa yang kita temukan, aku mau tahu?" *
"Bahwa Hagrid tidak pernah membuka Kamar Rahasia," kata Harry, menyelubungkan Jubah Gaib ke tubuh Ron dan memapahnya agar dia bisa jalan. "Dia tak bersalah."
Ron mendengus keras. Jelas, menurut pendapatnya, menetaskan Aragog di dalam lemari tidak termasuk kategori tak bersalah.
Ketika kastil sudah semakin dekat, Harry menarik jubahnya untuk memastikan kaki mereka tersembunyi, kemudian mendorong pintu depan yang berderit. Hati-hati mereka menyeberangi Aula Depan, menaiki tangga pualam, menahan napas ketika melewati koridor-koridor yang dipatroli penjaga- penjaga yang waspada. Akhirnya mereka tiba di ruang rekreasi Gryffindor yang aman. Api di perapian telah berubah menjadi abu berpendar. Mereka melepas jubah dan menaiki tangga melingkar menuju ke kamar.
Ron menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa bersusah- susah berganti pakaian. Tetapi Harry tidak begitu mengantuk. Dia duduk di pinggir tempat tidurnya, berpikir keras tentang semua yang dikatakan Aragog.
Makhluk yang bersembunyi di suatu tempat di kastil, pikirnya, kedengarannya sejenis monster Voldemort—bahkan monster-monster lain tidak mau menyebut namanya. Tetapi dia dan Ron tidak lebih tahu makhluk apa itu, atau bagaimana dia membuat korban-korbannya Membatu. Bahkan Hagrid pun tidak tahu apa yang ada di dalam Kamar Rahasia.
Harry melempar kakinya ke atas tempat tidur dan bersandar ke bantalnya, menatap bulan yang mengintipnya lewat jendela menara.
Dia tak tahu apa lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka telah terbentur jalan buntu di mana-mana. Riddle telah menangkap orang yang salah, pewaris Slytherin berhasil lolos, dan tak seorang pun tahu apakah orang yang sama, atau orang lain, yang telah membuka Kamar Rahasia kali ini. Tak ada lagi orang lain yang bisa ditanyai. Harry berbaring, masih memikirkan apa yang dikatakan Aragog.
Dia sudah mulai mengantuk, ketika apa yang tampaknya merupakan harapan terakhir mereka terlintas di benaknya dan dia mendadak duduk tegak.
"Ron," desisnya dalam gelap. "Ron!"
Ron terbangun sambil mendengking seperti Fang, memandang liar ke sekelilingnya, dan menatap Harry.
"Ron—anak perempuan yang mati itu. Aragog bilang dia ditemukan di toilet," kata Harry, mengabaikan dengkur Neville dari sudut. "Bagaimana kalau dia tidak pernah meninggalkan toilet? Bagaimana kalau dia masih di sana?"
Ron menggosok matanya, mengernyit dalam cahaya bulan. Dan kemudian dia paham.
"Maksudmu kan bukan—oh, Myrtle Merana?"

16. Kamar Rahasia


SUDAH puluhan kali kita berada di dalam toilet itu, dan jaraknya cuma tiga bilik dari kita," kata Ron getir waktu sarapan keesokan harinya, "dan kita mestinya bisa menanyainya, dan sekarang..."
Mencari labah-labah sudah susah. Menghilang cukup lama dari pengawasan guru supaya bisa masuk ke toilet anak perempuan, toilet anak perempuan yang letaknya persis di sebelah tempat serangan pertama terjadi, akan nyaris tak mungkin.
Tetapi sesuatu terjadi dalam jam pelajaran pertama mereka, Transfigurasi, yang membuat Kamar Rahasia terlupakan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir ini. Sepuluh menit setelah pelajaran dimulai, Profesor McGonagall memberitahu mereka ujian akan dimulai pada tanggal satu Juni, seminggu lagi.
"Ujian?" lolong Seamus Finnigan. "Kami masih akan ujian?" Terdengar ledakan keras di belakang Harry ketika tongkat Neville Longbottom tergelincir, melenyapkan salah satu kaki mejanya. Profesor McGonagall mengembalikan keadaan meja itu dengan lambaian tongkatnya sendiri, lalu berpaling,
mengernyit, kepada Seamus.
"Tujuan utama sekolah ini tetap dibuka pada saat seperti ini adalah agar kalian bisa menerima pendidikan," katanya tegas. "Ujian, karena itu, akan berlangsung seperti biasa, dan aku percaya kalian semua sudah belajar dengan tekun."
Belajar dengan tekun! Tak pernah terpikir oleh Harry akan ada ujian pada saat suasana kastil seperti ini. Terdengar banyak gumam memberontak di seluruh ruangan, yang membuat Profesor McGonagall mengernyit semakin galak.
"Instruksi Profesor Dumbledore adalah menjaga agar sekolah berlangsung senormal mungkin," katanya. "Dan itu, tak perlu kutunjukkan, berarti mencari tahu berapa banyak yang sudah kalian pelajari tahun ini."
Harry menunduk memandang sepasang kelinci putih yang seharusnya diubah menjadi sandal. Apa yang sudah dipelajarinya tahun ini? Rasanya dia tak bisa memikirkan sesuatu yang bisa berguna dalam ujian.
Tampang Ron seolah dia baru saja diberitahu dirinya harus tinggal seumur hidup di Hutan Terlarang. "Bisakah kaubayangkan aku ujian dengan ini?" dia bertanya kepada Harry, mengangkat tongkatnya, yang baru saja mulai bersuit keras.
Tiga hari sebelum ujian hari pertama, Profesor McGonagall menyampaikan pengumuman lain sewaktu sarapan.
"Ada berita baik," katanya, dan Aula Besar, alih-alih menjadi sunyi, malah meledak ribut sekali.
"Dumbledore akan kembali!" beberapa anak berteriak senang.
"Pewaris Slytherin sudah berhasil ditangkap!" pekik seorang anak perempuan di meja Ravenclaw.
"Pertandingan Quidditch akan diadakan lagi!" teriak Wood penuh semangat.
Ketika hiruk-pikuk sudah reda, Profesor McGonagall berkata, "Profesor Sprout telah memberitahuku bahwa Mandrake-mandrake sudah siap dipotong, akhirnya. Malam ini, kita akan bisa menghidupkan kembali anak-anak yang sudah dibuat Membatu. Tak perlu kuingatkan kepada kalian bahwa salah satu dari mereka mungkin bisa memberitahu kita siapa, atau apa, yang menyerang mereka. Aku berharap tahun mengerikan ini akan berakhir dengan kita menangkap si pelaku."
Anak-anak bersorak riuh-rendah. Harry memandang ke meja Slytherin dan sama sekali tidak heran melihat Draco Malfoy tidak ikut bersorak. Tetapi Ron kelihatan lebih riang daripada beberapa hari belakangan ini.
"Kalau begitu, kita tak perlu lagi meria nyai MyrlM" katanya kepada Harry. "Hermione mungkin punya semua jawabannya kalau mereka membangunkannya! Hati-hati saja, dia akan sewot sekali kalau tahu tiga hari lagi kita ujian. Dia belum belajar. Mungkin baginya lebih baik jika dia dibiarkan Membatu sampai ujian selesai."
Saat itu Ginny Weasley datang dan duduk di sebelah Ron. Dia kelihatan tegang dan gugup, dan Harry memperhatikan tangannya saling remas di atas pangkuannya.
"Ada apa?" tanya Ron, mengambil bubur lagi.
Ginny tidak mengatakan apa-apa, tetapi memandang ke sekeliling meja Gryffindor. Wajahnya menampakkan ketakutan yang mengingatkan Harry akan seseorang, meskipun dia tak bisa ingat siapa.
"Bilang saja," kata Ron, memandang adiknya.
Harry mendadak sadar Ginny seperti siapa. Dia mengayun- ayun ke depan dan ke belakang sedikit di kursinya, persis seperti Dobby ketika akan menyampaikan informasi terlarang.
"Aku harus memberitahu kalian sesuatu," Ginny komat- kamit, berhati-hati agar tidak memandang Harry.
"Apa itu?" tanya Harry.
Ginny kelihatan seakan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. "Apa?"- tanya Ron.
Ginny membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Harry mencondongkan tubuh ke depan dan berkata pelan, sehingga hanya Ginny dan Ron yang bisa mendengarnya.
"Apakah sesuatu tentang Kamar Rahasia? Apakah kau melihat sesuatu? Orang yang bersikap aneh?"
Ginny menarik napas dalam-dalam dan tepat saat itu, Percy Weasley muncul, kelihatan lelah dan pucat.
"Kalau kau sudah selesai sarapan, aku akan duduk di situ, Ginny. Aku lapar sekali. Aku baru saja bebas tugas patroli."
Ginny melompat seakan kursinya disetrum listrik, sekilas melempar pandang ketakutan kepada Percy, lalu lari pergi. Percy duduk dan menyambar cangkir dari tengah meja.
"Percy!" tegur Ron marah. "Dia baru saja mau memberitahu kami sesuatu yang penting!"
Baru setengah jalan meneguk tehnya, Percy tersedak.
"Soal apa?" tanyanya, batuk-batuk.
"Aku bertanya kalau-kalau dia melihat sesuatu yang aneh, dan dia baru akan berkata..."
"Oh—itu—itu tak ada hubungannya dengan Kamar Rahasia," kata Percy segera.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ron, alisnya terangkat.
"Yah, eh, kalau kau mau tahu, Ginny, eh, berpapasan denganku kemarin dulu waktu aku—yah, tak usah kukatakan deh. Yang jelas, dia melihatku melakukan sesuatu dan aku, um, aku memintanya agar tidak menceritakannya kepada orang lain. Kukira dia akan menepati janjinya. Bukan apa-apa sebetulnya, hanya saja aku lebih suka..."
Belum pernah Harry melihat Percy salah tingkah seperti itu.
"Apa yang kaulakukan, Percy?" tanya Ron, nyengir. "Ayo, beritahu kami, kami tidak akan tertawa."
Percy tidak ikut tersenyum.
"Tolong ambilkan roti kadet, Harry. Aku lapar sekali."
Harry tahu seluruh misteri mungkin bisa dipecahkan besok tanpa bantuan mereka, tetapi dia tak akan melewatkan kesempatan berbicara dengan Myrtle— dan betapa senangnya dia ketika ternyata kesempatan itu datang, menjelang tengah hari, ketika mereka sedang diantar ke kelas Sejarah Sihir oleh Gilderoy Lockhart.
Lockhart yang sudah sering meyakinkan mereka bahwa semua bahaya telah lewat, tapi ternyata dia keliru, sekarang yakin sepenuhnya bahwa tak ada gunanya mengantar mereka melewati koridor-koridor. Rambutnya tidak selicin biasanya. Rupanya dia berjaga hampir semalaman, berpatroli di lantai empat.
"Catat kata-kataku," katanya, mengantar mereka membelok di sudut, "kata-kata pertama yang akan keluar dari mulut anak-anak yang Membatu itu pastilah, 'Hagrid-lah pelakunya.' Terus terang saja, aku heran Profesor McGonagall menganggap semua tindakan pengamanan ini perlu."
"Saya setuju, Sir," kata Harry, membuat Ron menjatuhkan buku-bukunya saking kagetnya.
"Terima kasih, Harry," kata Lockhart anggun, sementara mereka menunggu deretan panjang anak-anak Hufflepuff lewat. "Maksudku, kami para guru sudah punya cukup banyak tugas. Dan sekarang kami masih harus mengantar murid-murid dari kelas ke kelas, dan berjaga sepanjang malam..."
"Betul," kata Ron, yang sudah paham. "Kenapa Anda tidak meninggalkan kami di sini saja, Sir, kan cuma tinggal lewat satu koridor lagi."
"Kau tahu, Weasley, kurasa sebaiknya begitu," kata Lockhart. "Aku benar-benar harus pergi dan menyiapkan pelajaran untuk kelasku yang berikut."
Dan Lockhart bergegas pergi.
"Menyiapkan pelajaran," Ron mencemooh di belakangnya.
"Paling-paling pergi untuk menggulung rambutnya."
Mereka membiarkan anak-anak Gryffindor lain ber-jalan mendahului mereka, lalu menyelinap ke lorong samping dan bergegas ke toilet Myrtle Merana. Tetapi ketika mereka sedang saling memberi selamat untuk rencana brilian mereka...
"Potter! Weasley! Sedang apa kalian?"
Profesor McGonagall-lah yang menegur mereka, dan bibirnya membentuk garis yang supertipis.
"Kami mau—kami mau...," Ron tergagap, "kami mau pergi melihat..."
"Hermione," sambung Harry. Baik Ron maupun Profesor McGonagall menatapnya.
"Kami sudah lama tidak melihatnya, Profesor," Harry melanjutkan buru-buru, menginjak kaki Ron, "dan kami pikir kami akan menyelinap ke rumah sakit, dan memberitahu dia Mandrake-nya sudah hampir siap dan, eh, supaya dia tak usah cemas."
Profesor McGonagall masih menatapnya, dan sejenak Harry mengira dia akan meledak marah, tetapi ketika dia berbicara, suaranya parau aneh.
"Tentu saja," katanya, dan Harry, terheran-heran, melihat air mata berkilauan menggenangi matanya yang menyerupai manik-manik. "Tentu saja, aku sadar semua ini paling berat untuk teman-teman mereka yang sudah... aku mengerti. Ya, Potter, tentu saja kalian boleh menengok Miss Granger. Aku akan memberi tahu Profesor Binns ke mana kalian pergi. Katakan kepada Madam Pomfrey aku sudah memberikan izinku."
Harry dan Ron pergi, nyaris tak mempercayai bahwa mereka lolos dari detensi. Ketika berbelok di sudut, sayup- sayup mereka mendengar Profesor McGonagall membuang ingus.
"Itu," kata Ron sungguh-sungguh, "adalah cerita paling bagus yang pernah kaubuat."
Mereka tak punya pilihan sekarang selain pergi ke rumah sakit, dan memberitahu Madam Pomfrey bahwa mereka sudah mendapat izin Profesor McGonagall untuk menengok Hermione.
Madam Pomfrey mengizinkan mereka masuk, tetapi dengan enggan.
"Tak ada gunanya bicara dengan orang yang Membatu," katanya, dan mereka harus mengakui dia benar, ketika mereka sudah duduk di sebelah tempat tidur Hermione. Jelas Hermione sama sekali tidak sadar dia kedatangan tamu, dan memberitahunya agar jangan cemas sama saja dengan bicara pada lemari di sebelah tempat tidurnya.
"Kira-kira dia melihat penyerangnya tidak, ya?" kata Ron, memandang sedih wajah Hermione yang kaku. "Karena kalau dia mengendap-endap dari belakang mereka, tak seorang pun akan tahu..."
Tetapi Harry tidak memandang wajah Hermione. Dia lebih tertarik pada tangannya. Tangan itu terkepal, tergeletak di atas selimutnya, dan ketika membungkuk mendekat, Harry melihat secarik kertas teremas dalam genggamannya.
Setelah yakin Madam Pomfrey tak ada di dekat-dekat situ, dia menunjukkan kertas itu kepada Ron.
"Coba keluarkan," bisik Ron, menggeser kursinya supaya Harry terhalang dari pandangan Madam Pomfrey.
Bukan pekerjaan gampang. Tangan Hermione mencengkeram kertas itu erat sekali, sehingga Harry yakin kertas itu akan robek. Sementara Ron berjaga, dia menarik dan memilin, dan akhirnya, setelah sepuluh menit yang tegang, kertasnya lepas.
Ternyata itu halaman yang dirobek dari buku perpustakaan yang sudah sangat tua. Harry meratakannya dengan bergairah dan Ron membungkuk lebih dekat untuk ikut membacanya.
Dari banyak binatang dan monster menyeramkan yang menjelajahi negeri kita, tak ada yang lebih menakjubkan ataupun lebih mematikan daripada Basilisk, yang juga dikenal sebagai Raja Ular. Ular ini, yang bisa mencapai ukuran raksasa, dan hidup sampai ratusan tahun, ditetaskan dari telur ayam, yang dierami oleh katak. Cara Basilisk membunuh sangat luar biasa, karena selam taringnya yang mematikan dan berbisa, Basilisk mempunyai pandangan maut, dan semua yang terkena sorot matanya akan langsung mati. Labah-labah melarikan diri dari Basilisk, karena Basilisk adalah musuhnya yang paling ganas, dan Basilisk sendiri hanya menghindari kokok ayam jantan, yang bisa berakibat fatal untuknya.
Dan di bawahnya tertulis satu kata, dalam tulisan tangan yang dikenali Harry sebagai tulisan Hermione. Pipa.
Harry merasa seakan ada orang yang menyalakan lampu dalam otaknya.
"Ron," katanya menahan napas, "ini dia. Ini jawabannya. Monster di dalam Kamar Rahasia itu Basilisk—ular raksasa! Itulah sebabnya aku selama ini mendengar suara itu di mana- mana sementara tak ada satu orang lain pun yang mendengarnya. Itu karena aku mengerti Parseltongue..."
Harry memandang tempat-tempat tidur di sekitarnya.
"Basilisk membunuh orang dengan cara memandangnya. Tetapi tak seorang pun meninggal—karena tak seorang pun langsung menatap matanya. Colin melihatnya lewat kameranya. Si Basilisk membakar seluruh filmnya, tetapi Colin hanya Membatu. Justin... Justin pastilah melihat Basilisk itu menembus Nick si Kepala-Nyaris-Putus! Nick yang menerima sorot matanya sepenuhnya, tetapi dia tidak bisa mati lagi... dan Hermione dan Prefek Ravenclaw itu ditemukan dengan sebuah cermin di sebelah mereka. Hermione baru saja menyadari monsternya adalah Basilisk. Aku berani taruhan apa saja, dia memperingatkan orang pertama yang dijumpainya agar melihat-lihat semua sudut dengan cermin dulu! Dan gadis itu mengeluarkan cerminnya—dan..."
Mulut Ron ternganga.
"Dan Mrs Norris?" tanyanya tak sabar.
Harry berpikir keras, membayangkan pemandangan pada malam Hallowe'en.
"Air...," katanya lambat-lambat, "air yang meluap dari toilet Myrtle Merana. Mrs Norris pastilah cuma melihat - bayangannya..."
Harry membaca lagi kertas di tangannya dengan bersemangat. Semakin dibaca, tulisan itu semakin masuk akal.
"Kokok ayam jantan bisa berakibat fatal untuknya!" dia membaca keras-keras. "Ayam-ayam jantan Hagrid dibunuhi! Si pewaris Slytherin tidak menginginkan ada ayam jantan di sekitar kastil begitu Kamar Rahasia sudah dibuka! Labah-labah melarikan diri darinya! Semuanya cocok!"
"Tetapi bagaimana caranya si Basilisk berkeliaran di kastil?" tanya Ron. "Ular besar menakutkan... Pasti ada yang melihat..."
Harry menunjuk kata yang telah ditulis Hermione di bagian bawah halaman itu.
"Pipa," katanya. "Pipa... Ron, ular itu menggunakan pipa air. Aku selama ini mendengar suara-suara itu di dalam dinding..."
Ron mendadak mencengkeram lengan Harry.
"Jalan masuk ke Kamar Rahasia!" katanya serak.
"Bagaimana kalau jalan masuknya toilet? Bagaimana kalau jalan masuknya dalam..."
"...toilet Myrtle Merana," kata Harry.
Mereka dipenuhi ketegangan, nyaris tak percaya.
"Ini berarti," kata Harry, "aku bukan satu-satunya Parselmouth di sekolah. Pewaris Slytherin juga. Begitulah cara mereka mengontrol si Basilisk."
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron, yang matanya berkilat-kilat. "Kita langsung ke McGonagall?"
"Kita ke ruang guru saja," kata Harry, melompat bangun.
"Dia akan ke sana sepuluh menit lagi, sudah hampir istirahat." Mereka berlari turun. Tak ingin ditemukan berlama-lama di koridor yang lain, mereka langsung ke ruang guru yang kosong. Ruang itu besar, berdinding papan, penuh dengan kursi-kursi kayu gelap. Harry dan Ron berjalan mondar- mandir, terlalu tegang untuk duduk.
Tetapi bel istirahat tak pernah berdering.
Sebagai gantinya, menggema di seluruh koridor, terdengar suara McGonagall, dikeraskan secara sihir.
"Semua murid diminta kembali ke asrama masing-masing. Semua guru diminta kembali ke ruang guru. Segera."
Harry berpaling, memandang Ron. "Bukan karena ada serangan lagi, kan? Tidak seka-rang?
"Apa yang akan kita lakukan?" kata Ron, ketakutan. Kembali ke asrama?"
"Tidak," kata Harry, memandang berkeliling. Ada lemari pakaian jelek di sebelah kirinya, penuh berisi mantel-mantel para guru. "Di dalam sini. Kita dengar ada apa. Kemudian kita bisa memberitahu mereka apa yang telah kita ketahui."
Mereka bersembunyi di dalam lemari, mendengar gemuruh ratusan orang bergerak di lantai atas, dan pintu ruang guru berdebam terbuka. Dari antara lipatan-lipatan mantel yang berbau lembap, mereka melihat guru-guru memasuki ruangan. Beberapa di antara mereka tampak bingung, yang lain sangat ketakutan. Kemudian Profesor McGonagall tiba.
"Sudah terjadi," katanya kepada ruang guru yang sunyi.
"Ada anak yang dibawa oleh si monster. Ke dalam Kamar Rahasia."
Profesor Flitwick memekik. Profesor Sprout menekap mulutnya. Snape mencengkeram punggung kursi erat-erat, dan bertanya, "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Pewaris Slytherin," kata Profesor McGonagall, yang pucat pasi, "meninggalkan pesan lain. Tepat di bawah pesan pertama. Kerangkanya akan tergeletak di Kamar Rahasia selamanya."
Air mata Profesor Flitwick bercucuran.
"Siapa?" tanya Madam Hooch, yang karena lututnya lemas, sudah terenyak ke kursi. "Murid yang mana?"
"Ginny Weasley," kata Profesor McGonagall.
Harry merasakan Ron merosot tanpa suara ke dasar lemari.
"Kita terpaksa harus memulangkan semua murid besok pagi," kata Profesor McGonagall.. "Habislah riwayat Hogwarts. Dumbledore selalu berkata..."
Pintu ruang guru terbuka lagi. Sesaat, Harry yakin Dumbledore yang datang. Tetapi ternyata Lockhart, dan wajahnya berseri-seri.
"Maaf, maaf—ketiduran—aku sudah ketinggalan apa nih?" Tampaknya dia tidak menyadari bahwa guru-guru yang lain memandangnya dengan tatapan yang mirip sekali kebencian.
Snape melangkah maju.
"Orang yang tepat," katanya. "Orang yang sangat tepat. Ada anak perempuan yang baru saja ditangkap monster, Lockhart. Dibawa ke Kamar Rahasia, lagi. Saatmu telah tiba akhirnya."
Lockhart memucat.
"Betul, Gilderoy," Profesor Sprout ikut bicara. "Bukankah kau baru bilang semalam bahwa kau sudah lama tahu di mana jalan masuk ke Kamar Rahasia?"
"Aku—yah, aku..., " ujar Lockhart gelagapan.
"Ya, bukankah kau bilang padaku kau yakin kau tahu apa yang ada dalam kamar itu?" ujar Profesor Flitwick.
"M-masa? Aku tidak ingat..."
"Aku jelas ingat betul kau bilang kau menyesal tidak menangani si monster sebelum Hagrid ditangkap," kata Snape. "Bukankah kau bilang semua kejadian ini ditangani dengan ceroboh dan bahwa kau seharusnya diberi kebebasan penuh dari awal?"
Lockhart memandang bergantian kolega-koleganya yang berwajah membatu.
"Aku... aku benar-benar belum pernah... Kalian mungkin salah paham..."
"Kami menyerahkannya kepadamu, kalau begitu, Gilderoy," kata Profesor McGonagall. "Malam ini waktu yang ideal sekali untuk bertindak. Kami akan memastikan semua orang tidak mengganggumu. Kau akan bisa menangani si monster sendirian. Kebebasan penuh akhirnya kaudapatkan."
Lockhart memandang putus asa ke sekeliling ruangan, tetapi tak seorang pun menolongnya. Dia sama sekali tak kelihatan tampan lagi. Bibirnya gemetar, dan dengan absennya senyum pamer-giginya yang biasa, dagunya kelihatan lemah dan ditumbuhi jenggot serabutan.
"B-baiklah," katanya. "A-aku—aku akan ke kantorku, b- bersiap-siap."
Dan dia meninggalkan ruangan.
"Baik," kata Profesor McGonagall, yang lubang hidungnya mekar, "kita bebas dari gangguannya. Kepala-kepala asrama harus memberitahu murid-murid mereka apa yang telah terjadi. Sampaikan kepada mereka Hogwarts Express akan membawa mereka pulang besok pagi-pagi. Guru-guru yang lain, tolong cek dan pastikan tak ada anak yang masih tertinggal di luar asrama mereka."
Para guru bangkit, dan keluar satu demi satu.
Hari itu mungkin hari terburuk dalam kehidupan Harry. Dia, Ron, Fred, dan George duduk bersama di sudut di ruang rekreasi Gryffindor, tak sanggup berkata apa-apa. Percy tidak ada di sana. Dia pergi mengirim burung hantu kepada Mr dan Mrs Weasley, kemudian mengurung diri di kamarnya.
Belum pernah sore hari berjalan selambat itu, juga belum pernah Menara Gryffindor sepenuh itu, tetapi begitu sunyi. Menjelang terbenamnya matahari, Fred dan George pergi tidur, tak sanggup lagi terus duduk di sana.
"Ginny tahu sesuatu, Harry," kata Ron, bicara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki lemari pakaian di ruang guru. "Itulah sebabnya dia ditangkap. Sama sekali bukan soal sepele tentang Percy. Dia tahu sesuatu tentang Kamar Rahasia. Itulah sebabnya dia di...," Ron mengusap matanya dengan kalut. "Maksudku, dia berdarah-murni. Tak mungkin ada alasan lain." ,
Harry bisa melihat matahari yang sedang terbenam, merah darah, di bawah batas cakrawala. Belum pernah dia merasa sesedih dan seputus asa ini. Kalau saja ada sesuatu* yang bisa dilakukannya. Apa saja.
"Harry," kata Ron, "menurutmu apakah ada sedikit saja kemungkinan dia belum—kau tahu..."
Harry tak tahu harus mengatakan apa. Dia tak bisa membayangkan kemungkinan Ginny masih hidup.
"Tahu tidak?" kata Ron. "Kurasa kita harus menemui Lockhart. Beritahu dia apa yang kita ketahui. Dia akan mencoba memasuki Kamar Rahasia. Kita bisa memberitahu dia di mana kamar itu menurut dugaan kita, dan memberitahu dia Basilisk-lah yang ada di dalamnya."
Karena Harry tak bisa memikirkan hal lain yang bisa dilakukan, dan karena dia ingin melakukan sesuatu, dia setuju.
Anak-anak Gryffindor di sekeliling mereka begitu sedih dan kasihan kepada Weasley bersaudara, sehingga tak seorang pun dari mereka berusaha mencegah ketika mereka bangkit, menyeberangi ruangan, dan keluar lewat lubang lukisan.
Kegelapan sedang turun ketika mereka berjalan menuju kantor Lockhart. Kedengarannya sedang banyak kesibukan berlangsung di dalam. Mereka bisa mendengar bunyi bergeser, gedebak-gedebuk, dan langkah-langkah kaki bergegas.
Harry mengetuk pintu dan mendadak di dalam sunyi. Kemudian pintu terkuak sedikit sekali dan mereka melihat sebelah mata Lockhart mengintip.
"Oh... Mr Potter... Mr Weasley...” katanya, menguak pintu sedikit lebih lebar. "Aku sedang agak sibuk, kalau kalian bisa cepat..."
"Profesor, kami punya informasi untuk Anda," kata Harry.
"Kami rasa ini akan membantu Anda."
"Eh—yah—ini tidak terlalu...," Sisi wajah Lockhart yang tampak oleh mereka kelihatan sangat salah tingkah.
"Maksudku—yah—baiklah."
Dia membuka pintu dan mereka masuk.
Kantornya sudah hampir kosong. Dua koper besar terbuka di lantai. Jubah-jubah—hijau-kumala, ungu, biru tua—dilipat buru-buru dan ditumpuk dalam salah satu koper. Buku-buku campur aduk berantakan di koper satunya. Foto-foto yang sebelumnya memenuhi dinding kini dijejalkan dalam kardus di atas meja. "Anda mau pergi?" tanya Harry.
"Eh, yah, ya," kata Lockhart sambil menarik lepas poster dirinya yang sebesar badannya dari balik pintu, dan mulai menggulungnya. "Panggilan penting... tak bisa dihindari... harus pergi..."
"Bagaimana dengan adik saya?" tanya Ron tegun.
"Yah, soal itu—sayang sekali," kata Lockhart, menghindari tatapan mereka ketika dia menarik laci dan mulai memindahkan isinya ke dalam tas. "Tak ada yang lebih menyesal dariku..."
"Anda guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam!" kata Harry.
"Anda tak bisa pergi sekarang! Tidak sementara Ilmu Hitam sedang berlangsung seru di sini!"
"Yah, aku harus bilang... waktu aku menerima pekerjaan ini...," Lockhart bergumam, sekarang menumpuk kaus kaki di atas jubah-jubahnya, "tak disebut-sebut di rincian tugasku... tak kukira..."
"Maksud Anda, Anda melarikan diril" tanya Harry tak percaya. "Setelah semua yang Anda tulis dalam buku Anda?"
"Buku bisa menyesatkan!" kata Lockhart mengelak.
"Anda yang menulis semua buku itu!" teriak Harry.
"Nak," kata Lockhart, menegakkan diri dan mengernyit kepada Harry. "Gunakan akal sehatmu. Buku-bukuku tidak akan selaris itu kalau orang tidak beranggapan aku telah mengalami peristiwa-peristiwa itu. Tak ada yang mau membaca tentang penyihir pria buruk dan tua dari Armenia, meskipun dia memang menyelamatkan sebuah desa dari ancaman manusia serigala. Tampang jeleknya tidak akan menarik dipajang di sampul depan. Cara berpakaiannya sama sekali tak berselera. Dan penyihir wanita yang mengusir Banshee Bandon berbibir sumbing. Maksudku, mana menarik sih..."
"Jadi Anda yang menerima pujian untuk begitu banyak hal yang dilakukan orang-orang lain?" kata Harry tak percaya.
"Harry, Harry," kata Lockhart, menggelengkan kepala tak sabar, "tidak sesederhana itu. Perlu kerja keras. Aku harus melacak orang-orang ini. Menanyai mereka, bagaimana tepatnya mereka berhasil melakukan apa yang mereka lakukan. Kemudian aku harus memantrai mereka dengan Jampi Memori, supaya mereka tak ingat lagi pernah melakukan itu. Kalau ada satu hal yang kubanggakan, Jampi Memori-ku itulah. Tidak gampang, Harry, perlu banyak kerja keras. Tidak sekadar menandatangani buku dan ber-foto untuk publisitas, tahu. Kalau ingin terkenal, kau harus siap kerja keras lama."
Dia menutup keras kedua kopernya dan menguncinya.
"Coba kulihat," katanya. "Kurasa sudah semuanya. Ya. Hanya tinggal satu hal."
Dia menarik keluar tongkatnya dan berbalik menghadapi mereka.
"Maaf sekali, anak-anak, tetapi aku harus memantrai kalian dengan Jampi Memori sekarang. Tak bisa kubiarkan kalian menyebarkan rahasiaku ke mana-mana. Nanti aku tak bisa jual buku lagi..."
Harry mencabut tongkatnya tepat waktu. Lockhart baru mengangkat tongkatnya, ketika Harry berseru, "Expelliarmusl" Lockhart terpental ke belakang, jatuh di atas kopernya. Tongkatnya terbang tinggi ke udara. Ron menangkapnya dan melemparnya ke luar jendela.
"Mestinya Profesor Snape jangan diizinkan mengajari kami mantra itu/7 kata Harry berang, menendang koper Lockhart ke pinggir. Lockhart memandangnya, sekali lagi lemas. Harry masih mengacungkan tongkatnya kepadanya.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Lockhart lemah. "Aku tak tahu di mana Kamar Rahasia itu. Tak ada yang bisa kulakukan."
"Anda beruntung," kata Harry, memaksa Lockhart berdiri dengan todongan tongkat. "Kami rasa kami tahu di mana kamar itu. Dan apa yang ada di dalamnya. Ayo berangkat."
Mereka menggiring Lockhart keluar dari kantornya dan turun melewati tangga terdekat, menyusuri koridor gelap yang di dindingnya terpampang pesan-pesan berkilat, menuju pintu toilet Myrtle Merana.
Mereka menyuruh Lockhart masuk lebih dulu. Harry senang melihatnya gemetar.
Myrtle Merana sedang duduk di tangki air di bilik paling ujung.
"Oh, kau," katanya ketika melihat Harry. "Kau mau apa kali ini?"
"Mau tanya padamu bagaimana kau meninggal," kata Harry.
Seluruh penampilan Myrtle langsung berubah. Seakan dia amat tersanjung ditanyai seperti itu.
"Ooooh> sungguh mengerikan," katanya senang.
"Terjadinya di sini ini. Aku meninggal dalam bilik ini. Aku masih ingat benar. Aku sedang bersembunyi karena Olive Hornby mengolok-olok kacamataku. Pintunya terkunci dan aku sedang menangis. Dan kemudian kudengar ada yang masuk. Dia mengatakan sesuatu yang aneh. Bahasa lain, kupikir begitu. Tetapi yang membuatku kaget, yang bicara anak laki- laki. Jadi kubuka pintu, untuk menyuruhnya pergi dan menggunakan toiletnya sendiri, dan kemudian...'7 Myrtle seakan menggelembung penting, wajahnya bercahaya, "aku mati."
"Bagaimana?" tanya Harry.
"Entahlah," kata Myrtle dengan suara rendah. "Aku cuma ingat melihat sepasang mata kuning besar. Seluruh tubuhku mendadak macet dan tiba-tiba saja aku sudah melayang- layang..." Dia memandang Harry dengan pandangan menerawang. "Dan kemudian aku kembali ke sini. Soalnya aku bertekad akan menghantui Olive Hornby. Oh, dia menyesal sekali menertawakan kacamataku."
"Di mana tepatnya kau melihat mata itu?" tanya Harry.
"Di sekitar situ," kata Myrtle, menunjuk ke arah wastafel di depan biliknya.
Harry dan Ron bergegas ke wastafel itu. Lockhart berdiri jauh-jauh dari mereka, wajahnya diliputi kengerian.
Kelihatannya seperti wastafel biasa. Mereka memeriksanya senti demi senti, luar-dalam, termasuk pipa di bawahnya. Dan kemudian Harry melihatnya: ada gambar ular kecil mungil digoreskan pada sisi salah satu keran tembaga.
"Keran itu tak pernah bisa dipakai," kata Myrtle ceria/
ketika Harry berusaha memutarnya.
"Harry," kata Ron, "katakan sesuatu. Dalam Parseltongue."
"Tapi...' Harry berpikir keras. Dia baru dua kali bicara Parseltongue, dan saat itu dia berhadapan dengan ular yang sebenarnya. Dia berkonsentrasi menatap ukiran kecil mungil itu, berusaha membayangkan itu ular yang sebenarnya.
"Buka," katanya.
Dia memandang Ron, yang menggeleng.
"Bukan Parseltongue," katanya.
Dia kembali menatap ular itu, memaksa dirinya mempercayai ular itu hidup. Jika Harry menggerakkan kepalanya, cahaya lilin membuat ular itu seakan bergerak.
"Buka," katanya.
Hanya saja bukan kata itu yang didengarnya. Desis aneh meluncur dari mulutnya dan segera saja keran itu berkilau- kilau mengeluarkan cahaya putih menyilaukan dan mulai berputar. Detik berikutnya, wastafelnya mulai bergerak. Malah wastafel itu menghilang, meninggalkan pipa besar yang menganga terbuka, cukup besar bagi orang dewasa untuk meluncur ke dalamnya.
Harry mendengar Ron terpekik tertahan dan dia mendongak lagi. Harry sudah membulatkan tekad.
"Aku akan turun ke sana," katanya.
Dia tak bisa tidak pergi, tidak sekarang setelah mereka menemukan jalan masuk ke Kamar Rahasia. Tidak ketika ada kemungkinan, bahkan yang paling kecil, paling samar, paling liar sekalipun, bahwa Ginny masih hidup.
"Aku juga," kata Ron. Hening sejenak.
"Yah, kelihatannya kalian tidak memerlukan aku' kata Lockhart, senyumnya yang biasa membayang. "Aku akan..." Tangannya menjangkau pegangan pintu, tetapi baik Ron maupun Harry mengacungkan tongkat mereka ke arahnya.
"Anda boleh masuk duluan," gertak Ron.
Dengan wajah pucat dan tanpa tongkat, Lockhart mendekati lubang.
"Anak-anak," katanya, suaranya lemah, "anak-anak, apa gunanya?"
Harry menyodok punggung Lockhart dengan tongkatnya. Lockhart memasukkan kaki ke dalam lubang.
"Kurasa tidak...," dia baru mau berkata, tetapi Ron mendorongnya, dan dia meluncur lenyap dari pandangan. Harry segera mengikuti. Dia turun ke dalam pipa, kemudian melepas pegangannya.
Rasanya seperti meluncur di luncuran gelap, licin, tak berujung. Dia bisa melihat pipa-pipa yang bercabang ke segala arah, tetapi tak satu pun yang sebesar pipa yang diluncurinya. Pipa itu berbelit dan berbelok, melandai curam ke bawah, dan Harry tahu dia sedang terjatuh ke bawah sekolah jauh lebih dalam dari ruang bawah tanah. Di belakangnya, dia bisa mendengar Ron, berdebum pelan di belokan-belokan.
Dan kemudian, tepat ketika Harry mulai mencemaskan apa yang akan terjadi kalau dia menghantam tanah, pipanya menjadi datar dan dia meluncur dari ujungnya. Dengan bunyi gedebuk basah ia mendarat di lantai lembap terowongan batu gelap. Terowongan itu cukup besar untuk berdiri di dalamnya. Lockhart berdiri agak jauh di depannya, berlumur lendir dan sepucat hantu. Harry minggir ketika Ron berdesing turun dari dalam pipa itu.
"Pasti kita berkilo-kilo meter di bawah sekolah," kata Harry, suaranya bergaung di terowongan gelap itu.
"Di bawah danau, mungkin," kata Ron, menyipitkan mata, memandang ke dinding gelap berlendir.
Ketiganya berbalik untuk memandang kegelapan di depan mereka.
"Lumos!" gumam Harry kepada tongkatnya, dan tongkat itu menyala lagi. "Ayo," dia mengajak Ron dan Lockhart, dan mereka pun berangkat, langkah-langkah mereka berkecipak keras di lantai yang basah.
Terowongan itu amat gelap, sehingga mereka hanya bisa melihat jarak sangat pendek di depan mereka. Bayang-bayang mereka di tembok yang basah tampak mengerikan dalam cahaya tongkat.
"Ingat," Harry berkata pelan, ketika mereka berjalan maju hati-hati, "begitu ada gerakan, langsung tutup mata rapat- rapat...."
Tetapi lorong itu sesunyi kuburan, dan bunyi mengejutkan yang pertama kali mereka dengar adalah derak keras ketika Ron menginjak sesuatu yang ternyata tengkorak tikus. Harry merendahkan tongkatnya untuk memeriksa lantai dan melihat lantai itu dipenuhi tulang binatang-binatang kecil. Berusaha keras tidak membayangkan bagaimana keadaan Ginny jika mereka menemukannya, Harry memimpin, menikung di belokan gelap di terowongan itu.
"Harry, ada sesuatu di depan sana...” kata Ron serak, mencengkeram bahu Harry.
Mereka terpaku, memandang. Harry cuma bisa melihat garis sesuatu yang sangat besar dan melengkung, tergeletak tepat di depan terowongan. Benda itu tidak bergerak.
"Mungkin dia tidur," Harry mendesah, menoleh kepada dua rekannya. Tangan Lockhart menutupi matanya rapat-rapat. Harry berpaling kembali untuk memandang benda itu, jantungnya berdegup begitu kencang sampai sakit rasanya.
Sangat perlahan, matanya menyipit serapat mungkin asal masih bisa melihat, Harry mengendap-endap maju, tongkatnya terangkat tinggi.
Cahaya tongkat menimpa kulit ular raksasa, hijau terang, beracun, tergeletak melingkar dalam keadaan kosong di lantai di depan terowongan. Makhluk yang melepas kulit itu paling sedikit panjangnya enam meter.
"Astaga!" kata Ron lemas.
Mendadak ada gerakan di belakang mereka. Lutut Gilderoy Lockhart tak kuat lagi menyangganya.
"Bangun," kata Ron tajam, mengacungkan tongkatnya ke arah Lockhart.
Lockhart bangkit—kemudian dia menerjang Ron, membuatnya jatuh terjengkang.
Harry melompat maju, tetapi terlambat. Lockhart sudah menegakkan diri, tongkat Ron di tangannya dan senyum gigi- berkilau kembali terpampang di wajahnya.
"Petualangan berakhir di sini, anak-anak!" katanya.
"Aku akan membawa sepotong kulit ini ke sekolah, memberitahu mereka aku sudah tertambal menye tamatkan anak perempuan itu, dan kalian berdua secara tragis menjadi gila melihat tubuh anak perempuan yang tercabik-cabik itu. Ucapkan selamat tinggal pada ingatan kalian."
Dia mengangkat tongkat Ron yang ber-Spellotape tinggi di atas kepalanya dan berteriak, "Obliviatel"
Tongkat meledak dengan kekuatan bom kecil. Harry melindungi kepala dengan kedua lengannya dan berlari, tergelincir gulungan kulit ular, menghindar dari potongan- potongan besar langit-langit terowongan yang bergemuruh runtuh. Saat berikutnya, dia berdiri sendirian, menatap dinding kokoh karang yang rusak.
"Ron!" dia berteriak. "Kau tak apa-apa? Ron!"
"Aku di sini!" terdengar suara samar Ron dari balik dinding runtuhan karang. "Aku baik-baik saja. Tapi si sinting ini tidak— dia kena ledakan tongkat."
Terdengar bunyi "duk" dan jeritan keras "ow!" Kedengarannya Ron baru saja menendang tulang kering Lockhart.
"Bagaimana sekarang?" suara Ron terdengar putus asa.
"Kita tidak bisa menembusnya. Perlu waktu lama sekali..." Harry mendongak memandang langit-langit terowongan.
Retakan-retakan besar telah bermunculan. Dia belum pernah mencoba memecahkan sesuatu sebesar karang-karang ini dengan sihir, dan sekarang tampaknya bukan saat yang baik untuk mencobanya— bagaimana kalau seluruh terowongan malah runtuh?
Terdengar lagi bunyi "duk" dan "ow!" dari balik dinding karang. Mereka membuang-buang waktu. Ginny sudah berjam-jam berada di Kamar Rahasia. Harry tahu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan.
"Tunggu di situ' teriaknya kepada Ron. "Jaga Lockhart. Aku akan jalan terus. Kalau aku tidak kembali dalam waktu satu jam..."
Kesunyian yang menyusul begitu sarat arti.
"Akan kucoba menggeser beberapa karang ini/' kata Ron, yang kedengarannya berusaha memantapkan suaranya.
"Supaya kau bisa—bisa lewat nanti. Dan, Harry..."
"Sampai nanti," kata Harry, berusaha menyuntikkan rasa percaya diri ke dalam suaranya yang bergetar.
Dan dia berjalan maju sendirian, melewati kulit ular raksasa.
Segera saja bunyi samar-samar Ron yang berusaha keras menggeser karang tak kedengaran lagi. Terowongan itu berbelok dan menikung berkali-kali. Seluruh saraf di tubuh Harry menggelenyar tak nyaman. Dia ingin terowongan berakhir, tetapi takut apa yang akan ditemukannya. Dan kemudian, akhirnya, ketika dia merayap membelok di tikungan berikutnya, dia melihat dinding kokoh di depannya. Di dinding itu terpahat dua ekor ular yang saling berbelit, mata mereka dari zamrud besar berkilau.
Harry mendekat, kerongkongannya terasa sangat kering. Tak perlu membayangkan ular batu ini hidup, karena mata mereka, aneh sekali, sudah tampak hidup.
Harry bisa menebak apa yang harus dilakukannya. Dia berdeham, dan mata zamrud itu kelihatannya berkedip.
"Buka," kata Harry, dalam desisan rendah.
Kedua ular itu memisahkan diri. Ketika dinding membelah terbuka, masing-masing bagian menggeser licin lalu lenyap, dan Harry, gemetar dari kepala sampai ke kaki, berjalan masuk.

17. Pewaris Slytherin


HARRY berdiri di ujung kamar sangat panjang berpenerangan remang-remang. Pilar-pilar batu berbelit dengan lebih banyak ular pahatan menjulang tinggi, menyangga langit-langit yang lenyap dalam kegelapan, memantulkan bayang-bayang gelap panjang menembus cahaya suram kehijauan yang memenuhi tempat itu.
Dengan jantung berdegup sangat keras, Harry berdiri mendengarkan keheningan yang menusuk. Mungkinkah si Basilisk bersembunyi di sudut remang-remang, di balik pilar? Dan di manakah Ginny?
Dia mengeluarkan tongkatnya dan bergerak maju di antara pilar-pilar ular. Setiap langkah hati-hatinya dipantulkan menjadi gema keras oleh dinding-dinding yang suram. Matanya dijaganya agar tetap menyipit, siap dipejamkan kalau ada gerakan sekecil apa pun. Lubang-lubang mata ular batu yang kosong rasanya mengikutinya. Lebih dari sekali, dengan hati mencelos, Harry mengira salah satu di antaranya bergerak.
Kemudian, ketika dia berhadapan dengan pasangan pilar terakhir, tampak patung setinggi kamar itu menjulang, tegak berlatarkan dinding belakang.
Harry harus menjulurkan leher untuk mendongak ke wajah raksasa di atas. Kesannya antik dan seperti monyet, dengan jenggot panjang tipis yang terjulur hampir sampai ke ujung jubah batunya. Di bawah jubah itu dua kaki abu-abu yang luar biasa besar berdiri kokoh di lantai kamar yang licin. Dan di antara dua kaki itu, terbaring menelungkup sosok kecil berjubah hitam dengan rambut merah manyala.
"Ginny!" Harry bergumam, melompat mendekatinya dan berlutut. "Ginny! Jangan mati! Jangan mati dong!" Dilemparnya tongkatnya ke pinggir, diraihnya bahu Ginny dan dibaliknya tubuhnya. Wajahnya seputih pualam, dan sama dinginnya. Tetapi matanya terpejam, jadi dia tidak Membatu. Tetapi, kalau begitu, tentunya dia...
"Ginny, bangunlah," Harry bergumam putus asa, mengguncang-guncangnya. Kepala Ginny terkulai lunglai dari kanan ke kiri.
"Dia tak akan bangun," terdengar suara pelan. Harry terlonjak kaget dan berputar pada lututnya.
Seorang anak laki-laki jangkung berambut hitam sedang bersandar ke pilar yang paling dekat, mengawasi. Tepi-tepi tubuhnya mengabur aneh, seakan Harry memandangnya lewat jendela berkabut. Namun jelas sekali siapa dia.
"Tom—Tom Riddle?"
Riddle mengangguk, tanpa melepas pandangannya dari wajah Harry.
"Apa maksudmu, dia tak akan bangun?" kata Harry putus asa. "Dia tidak—dia tidak.,.?"
"Dia masih hidup," kata Riddle. "Tapi hanya sekadarnya."
Harry terpaku memandang anak laki-laki itu. Tom Riddle bersekolah di Hogwarts lima puluh tahun lalu, tetapi sekarang dia berdiri di situ, cahaya berkabut bersinar di sekelilingnya, tak sehari pun lebih tua dari usianya waktu itu, yakni enam belas tahun.
"Apakah kau hantu?" tanya Harry ragu-ragu.
"Memori," kata Riddle pelan. "Diawetkan dalam buku harian selama lima puluh tahun."
Riddle menunjuk ke lantai dekat jari-jari kaki raksasa si patung. Di situ menggeletak terbuka buku harian kecil hitam yang ditemukan Harry di toilet Myrtle Merana. Sejenak dia heran, bagaimana buku itu bisa sampai di situ—tetapi ada hal- hal lebih mendesak yang harus ditangani.
"Kau harus membantuku, Tom," kata Harry, mengangkat kepala Ginny lagi. "Kita harus keluar dari sini. Ada Basilisk... aku tak tahu dia ada di mana, tetapi dia bisa datang setiap saat. Tolonglah aku..."
Riddle tidak bergerak. Harry, bersimbah keringat, berhasil setengah mengangkat Ginny dari lantai, dan membungkuk untuk memungut tongkatnya lagi.
Tetapi tongkatnya sudah tak ada.
"Apakah kau melihat...?"
Dia menengadah. Riddle masih mengawasinya— memilin tongkat Harry dengan jari-jarinya.
"Terima kasih/7 kata Harry, mengulurkan tangan meminta tongkatnya.
Senyum merekah di sudut-sudut bibir Riddle. Dia terus menatap Harry dengan santai memilin-milin tongkatnya.
''Dengar/' kata Harry mendesak, lututnya merosot terbebani berat Ginny, "kita harus pergi! Kalau Basilisk datang..."
"Dia tidak akan datang kalau tidak dipanggil," kata Riddle tenang.
Harry menurunkan kembali Ginny ke lantai, tak kuat lagi menggendongnya.
"Apa maksudmu?" katanya. "Sini, kembalikan tongkatku, siapa tahu aku nanti memerlukannya."
Senyum Riddle melebar.
"Kau tidak akan memerlukannya," katanya. Harry memandangnya heran.
"Apa maksudmu, aku tidak akan...?"
"Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan ini, Harry Potter," kata Riddle. "Menunggu kesempatan melihatmu. Bicara denganmu."
"Dengar," kata Harry, kehabisan kesabaran, "kurasa kau tidak paham. Kita berada di Kamar Rahasia. Kita bisa bicara nanti."
"Kita akan bicara sekarang," kata Riddle, masih tersenyum lebar, dan mengantongi tongkat Harry.
Harry terbelalak menatapnya. Ada hal sangat ganjil terjadi di sini.
"Bagaimana Ginny bisa jadi seperti ini?" tanyanya lambat- lambat.
"Nah, itu baru pertanyaan menarik," kata Riddle ramah.
"Dan ceritanya panjang. Kurasa alasan sebenarnya Ginny Weasley seperti ini adalah karena dia membuka hatinya dan menumpahkan semua rahasianya kepada orang asing yang tidak kelihatan."
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Harry.
"Buku harian," kata Riddle. "Buku harian/cw. Si kecil Ginny sudah berbulan-bulan menulis dalam buku itu, mencurahkan kepadaku segala kecemasan dan ketakutannya: bagaimana kakak-kakaknya menggodanya, bagaimana dia masuk ke sekolah ini dengan jubah dan buku bekas. Dan betapa...," mata Riddle berkilat-kilat, "...menurut perasaannya si Harry Potter yang terkenal, hebat, dan baik hati itu tidak akan pernah menyukainya..."
Selama berbicara, mata Riddle tidak pernah meninggalkan wajah Harry. Di dalam matanya tampak rasa lapar.
'"Membosankan sekali harus mendengarkan masalah- masalah konyol anak perempuan sebelas tahun," dia meneruskan. "Tetapi aku sabar. Aku membalas tulisannya. Aku penuh simpati, aku baik hati. Ginny jadi sangat menyayangiku. Tak seorang pun pernah mengerti aku seperti kau, Tom... Aku senang sekali mendapat buku harian ini untuk curhat... Rasanya seperti punya teman yang bisa kubawa- bawa di sakuku..."
Riddle tertawa, melengking, dingin, tawa yang tidak cocok untuknya. Tawanya membuat bulu kuduk Harry berdiri.
"Walaupun aku sendiri yang bilang, Harry, aku selalu bisa memikat orang-orang yang kuperlukan.
Jadi Ginny mencurahkan jiwanya kepadaku, dan kebetulan memang jiwanyalah yang kuinginkan. Aku semakin lama menjadi semakin kuat dengan melahap ketakutannya yang paling dalam, rahasianya yang paling gelap. Aku menjadi berkuasa, jauh lebih berkuasa daripada Miss Weasley kecil. Cukup berkuasa untuk mulai «memberi makan Miss Weasley dengan beberapa rahasiai, mulai menuangkan sedikit jiwaku ke dalam dirinya..."
"Apa maksudmu?" kata Harry, yang mulutnya sudah menjadi amat kering.
"Apakah kau belum menebaknya, Harry Potter?" kata Riddle pelan. "Ginny Weasley membuka Kamar Rahasia. Dia mencekik ayam-ayam jantan sekolah dan menulis pesan- pesan ancaman di dinding. Dia melepas Ular Slytherin kepada empat anak Darah-lumpur, dan kucing si Squib."
"Tidak," bisik Harry.
"Ya," kata Riddle kalem. "Tentu saja, awalnya dia tidak tahu apa yang dilakukannya. Menggelikan sekali. Sayang kau tidak bisa melihat tulisan-tulisan baru di buku hariannya... Jauh lebih menarik daripada sebelumnya... Dear Tom" dia menirukan, mengawasi wajah Harry yang ngeri, "kurasa aku kehilangan ingatanku. Ada bulu-bulu ayam jantan menempel di jubah-jubahku dan aku tak tahu bagaimana bulu-bulu itu bisa ada di situ. Dear Tom, aku tak bisa ingat apa yang kulakukan pada malam Hallowe'en, tetapi ada kucing yang diserang, dan bagian depan jubahku kena cipratan cat. Dear Tom, Percy berkali-kali berkata aku pucat dan tidak seperti biasanya. Kurasa dia mencurigaiku... Hari ini ada serangan lagi dan aku tidak tahu di mana aku saat itu. Tom, apa yang harus kulakukan? Kurasa aku akan jadi gila... Kurasa akulah yang menyerang orang-orang itu, Tom!"
Tangan Harry mengepal, kuku-kukunya menancap dalam ke telapak tangannya. -
"Butuh waktu lama sekali bagi si kecil Ginny yang bodoh untuk berhenti mempercayai buku hariannya/' kata Riddle.
"Tetapi akhirnya dia menjadi curiga dan mencoba membuangnya. Dan saat itulah kau masuk, Harry. Kau menemukan buku harian itu, dan aku tak bisa lebih senang lagi. Dari begitu banyak orang yang bisa memungut buku harian itu, kaulah orangnya, orang yang paling ingin kutemui..."
"Dan kenapa kau ingin menemuiku?" kata Harry. Kemarahan menjalari seluruh tubuhnya dan perlu usaha keras untuk membuat suaranya mantap.
"Yah, begini, Ginny menceritakan padaku segalanya tentangmu, Harry," kata Riddle. "Seluruh sejarahmu yang menakjubkan." Matanya menatap bekas luka di dahi Harry, dan ekspresinya menjadi semakin lapar. "Aku sadar aku harus tahu lebih banyak tentangmu, bertemu kau kalau bisa. Maka aku memutuskan untuk menunjukkan padamu prestasiku yang terkenal, penangkapan Hagrid si tolol berbadan besar, untuk mendapatkan kepercayaanmu."
"Hagrid temanku," kata Harry, suaranya sekarang bergetar.
"Dan kau menjebaknya, kan? Kukira kau membuat kekeliruan, tetapi..."
Riddle memperdengarkan lagi tawanya yang melengking.
"Persoalannya adalah memilih mempercayai katakataku atau kata-kata Hagrid, Harry. Nah, bisa kaubayangkan, bagaimana tampaknya kejadian itu bagi si tua Armando Dippet. Di satu pihak, Tom Riddle, anak miskin tetapi cemerlang, yatim-piatu tetapi begitu pemberani, Prefek sekolah, pelajar teladan; di pihak lain Hagrid yang canggung bertubuh besar, setiap dua minggu sekali bikin onar, mencoba membesarkan anak serigala di bawah tempat tidurnya, menyelinap ke dalam Hutan Terlarang untuk bergulat dengan troll. Tetapi kuakui, bahkan aku sendiri heran betapa mulusnya rencanaku berjalan. Kukira pasti ada orang yang menyadari bahwa Hagrid tak mungkin pewaris Slytherin. Aku perlu waktu lima tahun penuh untuk mengetahui segala sesuatu tentang Kamar Rahasia dan menemukan jalan masuknya... mana mungkin Hagrid punya otak untuk itu, atau untuk kekuasaan!
"Hanya guru Transfigurasi, Dumbledore", yang tampaknya beranggapan Hagrid tidak bersalah. Dia membujuk Dippet untuk mempertahankan Hagrid dan melatihnya menjadi pengawas binatang liar. Ya, kurasa Dumbledore mungkin sudah menebak. Dumbledore tak pernah menyukaiku, tidak seperti guru-guru lainnya..."
"Pasti Dumbledore tahu betul orang seperti apa kau," kata Harry, giginya mengertak.
"Yah, dia memang mengawasiku dengan ketat sekali setelah Hagrid dikeluarkan, sungguh menjengkelkan," kata Riddle seenaknya. "Aku tahu tak akan aman membuka Kamar Rahasia lagi selama aku masih di sekolah. Tetapi aku tak mau menyia-nyiakan tahuntahun panjang yang telah kuhabiskan untuk mencari keterangan tentangnya. Kuputuskan untuk meninggalkan buku harian, mengawetkan diriku yang berusia enam belas tahun di dalam halaman-halamannya, sehingga pada suatu hari nanti, kalau mujur, aku akan bisa membimbing orang lain mengikuti langkahku dan menyelesaikan pekerjaan mulia Slytherin."
"Kau belum menyelesaikannya," kata Harry penuh kemenangan. "Tak ada yang meninggal kali ini, bahkan si kucing pun tidak. Beberapa jam lagi Cairan Mandrake akan siap dan semua yang Membatu akan sembuh lagi."
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu," kata Riddle tenang, "bahwa membunuh Darah-lumpur tak berarti lagi bagiku? Sudah beberapa bulan ini, target baruku adalah— kau."
Harry terbeliak menatapnya.
"Bayangkan betapa jengkelnya aku ketika kali berikutnya buku harianku dibuka, Ginny-lah yang menulis kepadaku, bukan kau. Rupanya dia melihatmu membawa buku harian itu, dan dia panik. Bagaimana kalau kau sampai tahu cara kerjanya, dan aku membocorkan semua rahasianya kepadamu? Bagaimana kalau, lebih buruk lagi, kuberitahu kau siapa yang mencekiki ayam-ayam jantan itu? Jadi, anak bodoh itu menunggu sampai kamarmu kosong dan mencurinya. Tetapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Jelas bagiku kau sedang mengikuti jejak pewaris Slytherin. Dari semua yang telah diceritakan Ginny kepadaku, aku tahu kau bersedia melakukan apa saja untuk memecahkan misteri ini—apalagi kalau salah sal u korbannya adalah sahabatmu. Dan Ginny memberitahuku bahwa seluruh sekolah geger karena kau bisa bicara Parseltongue...
"Jadi kusuruh Ginny menulis pesan terakhirnya di dinding dan kubawa ke bawah sini untuk menunggu. Dia memberontak dan menangis dan menjadi sangat membosankan. Tetapi tak banyak lagi kehidupan di dalam dirinya. Dia sudah menuangkan terlalu banyak ke dalam buku harian, ke dalam diriku. Cukup untuk membuatku meninggalkan halaman-halaman buku harian itu akhirnya. Aku sudah menunggu kemunculanmu sejak kami tiba di sini. Aku tahu kau akan datang. Aku punya banyak pertanyaan untukmu, Harry Potter."
"Apa misalnya?" sembur Harry, tangannya tetap terkepal.
"Yah," kata Riddle, tersenyum menyenangkan, "bagaimana bayi tanpa bakat sihir istimewa bisa berhasil mengalahkan penyihir terhebat sepanjang zaman? Bagaimana kau bisa selamat hanya dengan bekas luka, sementara kekuatan Lord Voldemort hancur?"
Ada kilat merah aneh di mata Riddle yang kelaparan.
"Apa pedulimu bagaimana aku bisa selamat?" kata Harry lambat-lambat. "Voldemort muncul sesudah zamanmu."
"Voldemort," kata Riddle pelan, "adalah masa lalu, masa kini, dan masa depanku, Harry Potter..."
Dia menarik keluar tongkat Harry dari dalam sakunya dan mulai mencoretkannya di udara, menulis tiga kata yang berpendar-pendar:
TOM MARVOLLO RIDDLE Kemudian dilambaikannya tongkat itu sekali, dan huruf- huruf namanya berubah susunan:
I AM LORD VOLDEMORT Aku Lord Voldemort "Kaulihat?" bisik Riddle. "Itu nama yang sudah kupakai waktu aku di Hogwarts, yang hanya kuberitahukan kepada teman-temanku yang paling akrab, tentu. Kaupikir aku akan menggunakan nama Muggle ayahku yang kotor selamanya? Di dalam tubuhku mengalir darah Salazar Slytherin sendiri, dari pihak ibuku. Kaupikir aku mau mempertahankan nama Muggle biasa yang jahat, yang meninggalkanku bahkan sebelum aku lahir hanya karena dia tahu istrinya penyihir? Tidak, Harry, kuciptakan nama baru untukku, nama yang aku tahu semua penyihir di mana pun suatu hari nanti tak akan berani menyebutnya, kalau aku sudah menjadi penyihir paling hebat di dunia!"
Otak Harry kelihatannya macet. Dia menatap tercengang pada Riddle, si anak yatim-piatu yang setelah dewasa membunuh orangtua Harry, dan begitu banyak orang lain... Akhirnya dia memaksa diri bicara.
"Kau bukan," katanya, suaranya yang tenang penuh kebencian.
"Bukan apa?" bentak Riddle.
"Bukan penyihir paling hebat di dunia," kata Harry, bernapas cepat. "Maaf mengecewakanmu, tetapi penyihir paling hebat di dunia adalah Albus Dumbledore. Semua bilang begitu. Bahkan ketika kau masih kuat, kau tidak berani mencoba mengambil alih Hogwarts. Dumbledore tahu betul orang seperti apa kau sewaktu kau masih di sekolah, dan dia masih membuatmu takut sekarang, di mana pun kau bersembunyi hari-hari ini."
Senyum telah lenyap dari wajah Riddle, digantikan oleh tampang yang sangat jelek.
"Dumbledore telah terusir dari kastil ini hanya karena kenangan akan diriku!" dia mendesis.
"Dia tidak sepenuhnya pergi seperti yang kaukira!" balas Harry. Dia ngomong asal saja, ingin menakut-nakuti Riddle.
Dia sendiri berharap apa yang dikatakannya benar-benar terjadi.
Riddle membuka mulut, tetapi lalu terpaku.
Terdengar suara musik entah dari mana. Riddle berpaling untuk memandang kamar yang kosong. Musik terdengar semakin keras, menimbulkan perasaan ngeri, seram, tak wajar. Musik itu membuat rambut di kepala Harry berdiri dan menyebabkan hatinya membengkak dua kali lipat besarnya. Kemudian, ketika musik itu mencapai ketinggian tertentu sehingga Harry bisa merasakannya bergetar di dalam tulang- tulang rusuknya, tiba-tiba berkobar nyala api di puncak salah satu pilar.
Seekor burung merah sebesar angsa muncul, menyerukan musiknya yang aneh ke langit-langit yang berbentuk kubah. Burung itu memiliki ekor keemasan bercahaya di ekornya yang sepanjang ekor burung merak. Dan cakarnya yang keemasan berkilat-kilat, mencengkeram gumpalan kain kumal.
Sedetik kemudian, burung itu terbang lurus ke arah Harry. Dia menjatuhkan kain kumal dalam cengkeramannya ke kaki Harry, kemudian mendarat di bahunya. Ketika dia melipat sayapnya yang besar, Harry mendongak dan melihat paruhnya yang panjang, tajam keemasan, dan matanya yang seperti manik-manik.
Burung itu berhenti bernyanyi. Dia berdiri diam dan hangat di sisi pipi Harry, menatap tajam Riddle.
"Itu phoenix..." kata Riddle, balas memandangnya dengan galak.
"Fawkes?" desah Harry, dan dia merasa cakar keemasan si burung meremas bahunya dengan lembut.
"Dan itu...," kata Riddle, sekarang mengawasi kain kumal yang dijatuhkan Fawkes, "itu Topi Seleksi tua milik sekolah."
Memang betul. Bertambal, berjumbai, dan kotor, topi itu tergeletak tak bergerak di kaki Harry.
Riddle mulai tertawa lagi. Dia terbahak-bahak begitu keras sehingga seluruh kamar dipenuhi suara tawanya, seakan sepuluh Riddle terbahak bersamaan.
"Inilah yang dikirimkan Dumbledore kepada pembelanya! Burung penyanyi dan topi tua! Kau merasa berani, Harry Potter? Kau merasa aman sekarang?"
Harry tidak menjawab. Dia mungkin tidak tahu apa gunanya Fawkes ataupun si Topi Seleksi, tetapi dia tak lagi sendirian, dan dia menunggu Riddle berhenti tertawa dengan keberanian yang semakin meningkat.
"Kembali ke persoalan kita, Harry," kata Riddle, masih tersenyum lebar. "Dua kali—di masa lalumu, di masa depanku—kita sudah bertemu. Dan dua kali aku gagal membunuhmu. Bagaimana kau bisa selamat? Ceritakan padaku semuanya. Makin lama kau bicara," dia menambahkan pelan, "makin lama kau hidup."
Harry berpikir cepat, menimbang-nimbang kemungkinannya. Riddle memiliki tongkatnya. Dia, Harry, memiliki Fawkes dan si Topi Seleksi. Tak satu pun dari keduanya bisa banyak membantu dalam duel. Kelihatannya memang buruk. Tetapi semakin lama Riddle berdiri di sana, semakin berkurang kehidupan di dalam tubuh Ginny... dan sementara itu, Harry tiba-tiba menyadari, garis bentuk Riddle menjadi semakin nyata, semakin tegas. Kalau memang dia dan Riddle harus berduel, lebih cepat lebih baik.
"Tak ada yang tahu kenapa kau kehilangan kekuatanmu ketika kau menyerangku," Harry berkata mendadak. "Aku sendiri juga tak tahu. Tetapi aku tahu kenapa kau tak bisa membunuhku. Karena ibuku meninggal demi menyelamatkanku. Ibuku yang kelahiran-Muggle biasa," dia menambahkan, gemetar menahan marah. "Dia mencegahmu membunuhku. Dan aku sudah melihat dirimu yang sebenarnya. Aku melihatmu tahun lalu. Kau hancur-hancuran. Kau nyaris tidak hidup. Itulah hasilnya semua kekuasaanmu. Kau menyembunyikan diri. Kau jelek, kau busuk!"
Wajah Riddle berkeriut. Kemudian dia memaksakan senyum mengerikan.
"Jadi, ibumu meninggal karena menyelamatkanmu. Ya, itu mantra-penangkal yang manjur. Aku bisa melihatnya sekarang—tak ada yang istimewa pada dirimu, ternyata. Selama ini aku bertanya-tanya sendiri. Karena ada kemiripan- kemiripan aneh di antara kita berdua, Harry Potter. Bahkan kau sendiri pun tentunya telah menyadarinya. Kita berdua berdarah-campuran, yatim-piatu, dibesarkan oleh Muggle. Mungkin hanya kita berdualah Parselmouth yang pernah bersekolah di Hogwarts sejak Slytherin yang Agung sendiri. Bahkan tampang kita berdua pun mirip... Tetapi, ternyata, cuma keberuntungan sajalah yang menyelamatkanmu dariku. Cuma itu saja yang ingin kuketahui."
Harry berdiri tegang, menunggu Riddle mengangkat tongkatnya. Tetapi senyum seram Riddle mengembang lagi.
"Nah, Harry, aku akan memberi sedikit pelajaran bagimu. Ayo, kita adu kekuatan. Lord Voldemort, pewaris Salazar Slytherin, dengan Harry Potter yang terkenal ditambah senjata-senjata terbaik yang diberikan Dumbledore kepadanya."
Riddle melempar pandang geli ke arah Fawkes dan Topi Seleksi, kemudian berjalan menjauh. Harry, ketakutan merayapi kakinya yang kebas, melihat Riddle berhenti di antara pilar-pilar tinggi dan mendongak menatap wajah batu Slytherin, jauh tinggi di atasnya dalam keremangan. Riddle membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis—tetapi Harry mengerti apa yang dikatakannya.m "Bicaralah padaku, Slytherin, yang terhebat dari Empat Sekawan Hogwarts."
Harry berpaling^ untuk memandang patung itu. Fawkes berayun di bahunya.
Wajah batu raksasa Slytherin bergerak. Lumpuh ketakutan, Harry melihat mulutnya membuka, makin lama makin lebar, membentuk lubang hitam yang besar sekali.
Dan ada sesuatu yang bergerak di dalam mulut patung itu. Sesuatu sedang merayap naik dari dalam tubuhnya.
Harry mundur sampai membentur dinding kamar yang dingin, dan ketika memejamkan mata rapat-rapat, dia merasakan sayap Fawkes menyapu pipinya waktu burung itu melesat kabur. Harry ingin berteriak, "Jangan tinggalkan aku!" Tapi kesempatan apa yang dimiliki phoenix jika berhadapan dengan raja ular?
Sesuatu yang luar biasa besar jatuh menimpa lantai batu kamar. Harry merasakan lantai bergetar. Dia tahu apa yang sedang terjadi, dia bisa merasakannya, nyaris bisa melihat si ular raksasa melepas gulungannya dari mulut Slytherin. Kemudian dia mendengar suara desis Riddle, "Bunuh dia."
Si Basilisk bergerak ke arah Harry, dia bisa mendengar tubuhnya yang berat menggeleser berat dan lambat di lantai berdebu. Dengan mata masih terpejam rapat-rapat, Harry mulai berlari menyamping, tangannya terulur, mencari jalan. Riddle tertawa....
Harry terantuk sesuatu. Dia jatuh keras menimpa lantai batu dan mulutnya berdarah. Si ular paling-paling tinggal satu meter darinya, dia bisa mendengarnya datang.
Terdengar bunyi ledakan keras^ persis di atasnya dan kemudian sesuatu yang berat menghantam Harry keras sekali sampai dia terempas menabrak dinding. Menunggu taring-
taring menghunjam tubuhnya, dia mendengar desisan menggila, dan ada yang membabi-buta memukul-mukul pilar. Harry tak tahan lagi. Dia membuka matanya sedikit,
sekadar cukup untuk mengintip apa yang sedang terjadi.
Si ular raksasa, berwarna hijau terang, berbisa, sebesar batang pohon ek, telah mengangkat tubuhnya tinggi ke atas dan kepalanya yang tumpul meliak-liuk bagai orang mabuk di antara pilar-pilar. Ketika Harry gemetar, siap memejamkan mata kalau kepala itu menoleh, dia melihat apa yang telah mengalihkan perhatian si ular.
Fawkes beterbangan mengelilingi kepala si ular, dan si Basilisk mengatup-ngatupkan moncongnya yang bertaring panjang dan pipih seperti pedang, mau melahapnya.
Fawkes menukik. Paruhnya yang panjang keemasan tenggelam menghilang dari pandangan dan mendadak semburan darah hitam mengguyur lantai. Ekor si ular membanting-banting, nyaris mengenai Harry, dan sebelum Harry sempat memejamkan mata, dia menoleh. Harry memandang tepat ke wajahnya dan melihat bahwa matanya, kedua matanya yang besar, kuning, bulat menonjol, telah dilubangi si phoenix. Darah membanjir ke lantai, dan si ular menyembur-nyembur kesakitan.
"Jangan!" Harry mendengar Riddle menjerit. "Tinggalkan burung itu! Tinggalkan burung itu! Anak itu di belakangmu! Kau masih bisa membaurnya! Bunuh dia!"
Si ular yang sudah buta berayun, bingung, tapi masih membawa maut. Fawkes mengitari kepalanya, menyerukan lagunya yang menyeramkan, mematuk-matuk hidung si Basilisk yang bersisik, sementara darah mengucur terus dari matanya yang hancur.
"Tolong aku, tolong aku," Harry bergumam panik, "siapa saja, entah siapa!"
Ekor si ular melecut lantai lagi. Harry menghindar. Sesuatu yang lunak mengenai wajahnya.
Si Basilisk telah menyapu Topi Seleksi ke tangan Harry. Harry menyambarnya. Tinggal itu yang dia punya, satu- satunya kesempatannya. Dipakainya topi itu di kepalanya dan dilemparnya tubuhnya tiarap ke lantai ketika ekor si Basilisk mengayun di atasnya lagi.
Tolong aku... tolong aku... Harry membatin, matanya terpejam rapat di bawah topinya. Tolonglah aku!
Tak ada suara yang menjawab. Alih-alih menjawab si topi mengerut, seakan ada tangan tak kelihatan yang meremasnya kuat-kuat.
Sesuatu yang sangat keras dan berat jatuh berdebum di atas kepala Harry, nyaris membuatnya pingsan. Bintang- bintang berkelap-kelip di depan matanya. Harry mencengkeram ujung topi untuk menariknya lepas dan merasa ada sesuatu yang panjang dan keras di bawahnya. Sebatang pedang perak berkilat telah muncul di dalam topi, pegangannya bertabur batu-batu mirah berkilauan sebesar telur.
"Bunuh anak itu. Jangan pedulikan burung itu! Anak itu di belakangmu! Kau bisa membaui dia!"
Harry sudah berdiri, siap. Kepala si Basilisk mulai merendah, tubuhnya bergulung, menghantam pilar-pilar ketika dia berputar untuk menghadapinya. Harry bisa melihat rongga matanya yang besar berdarah, melihat mulutnya yang menganga lebar, cukup lebar untuk menelannya sekali lahap, dikitari taring sepanjang pedangnya, pipih, berkilat-kilat, beracun....
Si ular menerjang membabi-buta. Harry menghindar dan menabrak dinding kamar. Ular itu menerjang lagi, dan lidahnya yang bercabang mengibas mengenai sisi tubuh Harry. Harry mengangkat pedang dengan kedua tangannya.
Si Basilisk menerjang lagi, dan kali ini sasarannya tepat. Harry melempar seluruh berat tubuhnya ke pedangnya dan menghunjamkannya ke langit-langit mulut si ular sampai ke pangkalnya.
Tetapi ketika darah mengguyur lengan Harry, dia merasakan kesakitan luar biasa di atas sikunya. Sebuah taring panjang beracun terbenam makin lama makin dalam di lengannya dan patah ketika si Basilisk terjungkal menyamping, lalu jatuh menggeliat-geliat ke lantai.
Harry menggelosor jatuh dari dinding. Dia mencengkeram taring yang menyebarkan racun ke seluruh tubuhnya dan merenggutnya lepas dari lengannya. Tetapi dia tahu sudah terlambat. Rasa sakit yang luar biasa menyebar luas, pelan dan pasti, dari lukanya. Bahkan ketika dia menjatuhkan taring itu dan menatap darahnya sendiri yang membasahi jubahnya, pandangannya menjadi berkabut. Kamar itu mengabur dalam pusaran warna samar.
Sekelebat warna merah melayang melewatinya dan Harry mendengar bunyi cakar yang mendarat pelan di sebelahnya.
"Fawkes” kata Harry susah payah. "Kau luar biasa, Fawkes..." Dia merasa si burung meletakkan kepalanya yang indah tepat di tempat taring si ular menusuknya.
Dia bisa mendengar langkah-langkah kaki yang bergaung mendekat, dan kemudian bayang-bayang gelap bergerak di depannya.
"Mati kau, Harry Potter," terdengar suara Riddle di atasnya.
"Mati. Bahkan burung Dumbledore pun tahu. Kaulihat apa yang dilakukannya, Potter? Dia menangis."
Harry mengejapkan mata. Kepala Fawkes hilang-timbul. Air mata besar-besar bagai mutiara bergulir di bulunya yang berkilauan.
"Aku akan duduk di sini dan menontonmu mati, Harry Potter. Tenang-tenang saja, aku tidak buru-buru kok."
Harry merasa mengantuk. Segala sesuatu di sekitarnya rasanya berpusing.
"Jadi beginilah akhir si Harry Potter yang terkenal," terdengar suara Riddle yang rasanya dari kejauhan. "Sendirian di dalam Kamar Rahasia, ditinggalkan oleh teman-temannya, dikalahkan akhirnya oleh Pangeran Kegelapan yang dengan bodoh ditantangnya. Kau akan segera berkumpul dengan ibu Darah-lumpurmu tersayang, Harry... Dia memberimu dua belas tahun pinjaman... tetapi Lord Voldemort berhasil mengalah-kanmu akhirnya, seperti yang kauketahui pasti akan terjadi'
Kalau ini kematian, pikir Harry, tidak terlalu buruk. Bahkan rasa sakitnya pun meninggalkannya....
Tetapi apakah ini kematian? Alih-alih semuanya menjadi gelap, Kamar Rahasia rasanya kembali jelas. Harry menggeleng pelan dan dilihatnya Fawkes, masih membaringkan kepalanya di lengan Harry. Genangan air mata berkilau bagai mutiara mengelilingi lukanya— hanya saja tak ada luka.
"Pergi, burung," kata Riddle tiba-tiba. "Jauh-jauh dari anak itu. Pergi, kataku!"
Harry mengangkat kepalanya. Riddle mengacungkan tongkat Harry kepada Fawkes. Terdengar letusan seperti senapan dan Fawkes melesat terbang lagi dalam pusaran emas dan merah tua.
"Air mata phoenix..." kata Riddle perlahan, memandang lengan Harry. "Tentu saja... berkhasiat menyembuhkan... aku lupa...."
Dia memandang wajah Harry. "Tetapi tak ada bedanya. Malah, aku lebih suka begini. Hanya kau dan aku, Harry Potter... kau dan aku...."
Dia mengangkat tongkatnya.
Kemudian, dengan kepak keras sayapnya, Fawkes kembali melayang di atas dan ada yang terjatuh ke pangkuan Harry— buku harian.
Sesaat, baik Harry maupun Riddle, dengan tongkat masih terangkat, memandang buku harian itu. Kemudian, tanpa berpikir, tanpa pertimbangan, seakan sudah sejak semula dia berniat melakukannya, Harry menyambar taring Basilisk dari lantai di sebelahnya dan menghunjamkannya tepat ke jantung buku.
Terdengar jeritan panjang, mengerikan, tajam menusuk. Tinta menyembur dari buku harian itu, deras sekali, mengguyur tangan Harry, membanjiri lantai. Riddle menggeliat dan meliuk, menjerit dan menggapai-gapai, dan kemudian...
Dia telah pergi. Tongkat Harry terjatuh berdentang ke lantai dan kemudian sunyi. Sunyi kecuali bunyi tes, tes, tes tinta yang masih terus mengalir dari buku harian. Racun si Basilisk telah membakar dan meninggalkan lubang berdesis di tengahnya.
Gemetar sekujur tubuhnya, Harry bangkit dengan limbung. Kepalanya serasa berputar, seakan dia baru saja bepergian berkilo-kilometer dengan bubuk Floo. Perlahan, dipungutnya tongkat dan Topi Seleksi dan, dengan sentakan keras, dicabutnya pedang yang berkilat-kilat dari langit-langit mulut si Basilisk.
Kemudian terdengar rintihan pelan dari ujung kamar. Ginny bergerak. Sementara Harry bergegas mendekatinya, Ginny duduk. Matanya yang tercengang bergerak dari sosok raksasa Basilisk yang telah mati, ke arah Harry dengan jubahnya yang basah kuyup oleh darah, dan kemudian ke buku harian di tangannya. Ginny bergidik, menghela napas dalam-dalam, dan air mata mulai membanjiri wajahnya.
"Harry—oh, Harry—aku berusaha memberitahumu waktu s- sarapan, tapi aku t-tak bisa mengatakannya di depan Percy. Akulah pelakunya, Harry—tetapi aku— aku b-bersumpah itu b- bukan mauku—R-Riddle memaksaku, dia m-membawaku ke sini—dan—bagaimana kau membunuh makhluk i-itu? D-di mana Riddle? Yang terakhir kuingat adalah dia keluar dari dalam buku hariannya..."
"Tak apa-apa," kata Harry, mengangkat buku harian itu, dan menunjukkan lubang taring kepada Ginny. "Riddle sudah tamat riwayatnya. Lihat! Dia dan si Basilisk. Ayo, Ginny, kita keluar dari sini..."
"Aku akan dikeluarkan!" Ginny tersedu, ketika Harry membantunya berdiri dengan kikuk. "Aku sudah menunggu- nunggu kesempatan masuk Hogwarts sejak B-Bill datang dan s-sekarang aku harus pergi dan—a-apa yang akan dikatakan Mum dan Dad?"
Fawkes menunggu mereka, melayang-layang di pintu masuk kamar. Harry mendorong Ginny maju, mereka melangkahi gulungan bangkai Basilisk yang tak bergerak, menembus keremangan, dan kembali ke terowongan. Harry mendengar pintu-pintu batu menutup di belakang mereka dengan bunyi desis pelan.
Setelah beberapa menit menelusuri terowongan gelap, telinga Harry menangkap bunyi karang digeser pelan di kejauhan.
"Ron!" teriak Harry, mempercepat langkahnya. "Ginny selamat! Dia bersamaku!"
Didengarnya Ron bersorak tersekat. Mereka menikung di belokan berikutnya dan melihat wajah Ron yang bersemangat melongok dari lubang cukup besar yang telah berhasil dibuatnya di reruntuhan karang.
"Ginny!" Ron menjulurkan tangan ke dalam lubang untuk menarik Ginny lebih dulu. "Kau masih hidup! Aku tak percaya! Apa yang terjadi?"
Dia berusaha memeluk Ginny, tetapi Ginny mendorongnya, terisak-isak.
'Tetapi kau tak apa-apa, Ginny," kata Ron, tersenyum kepadanya. "Semuanya sudah berakhir, sudah—dari mana datangnya burung itu?"
Fawkes sudah menukik turun dan melewati lubang.
"Dia milik Dumbledore," kata Harry, menjejalkan diri untuk melewati lubang sempit itu.
"Dan bagaimana kau bisa punya pedang?" tanya Ron, tercengang melihat senjata berkilat-kilat di tangan Harry.
"Akan kujelaskan kalau kita sudah keluar dari sini," kata Harry, mengerling pada Ginny. "Tapi..."
"Nanti saja," Harry berkata buru-buru. Menurutnya bukan ide bagus memberitahu Ron sekarang siapa yang membuka Kamar Rahasia. Tidak di depan Ginny, paling tidak. "Di mana Lockhart?"
"Di belakang situ," kata Ron, nyengir dan mengedik-kan kepala ke ujung lorong, ke arah pipa air. "Dia parah banget. Ayo, kita lihat."
Dipimpin Fawkes, yang sayap merah lebarnya mengeluarkan cahaya lembut keemasan di dalam kegelapan,
mereka berjalan kembali ke mulut pipa. Gilderoy Lockhart sedang duduk di sana, bersenandung tenang sendiri.
"Ingatannya hilang," kata Ron. "Jampi Memori-nya berbalik menyerangnya sendiri, dan bukan menyerang kita. Sama sekali tak ingat siapa dirinya, atau di mana dia, atau siapa kita. Kusuruh dia ke sini dan menunggu di sini. Dia berbahaya bagi dirinya sendiri."
Lockhart menatap mereka semua dengan ramah.
"Halo' katanya. "Tempat yang aneh, ya? Kalian tinggal di sini?"
"Tidak," kata Ron, mengangkat alis ke arah Harry.
Harry membungkuk lalu menengadah, memandang pipa panjang gelap itu.
"Sudahkah kaupikirkan bagaimana kita bisa kembali ke atas lewat pipa ini?" tanyanya kepada Ron.
Ron menggelengkan kepala, tetapi Fawkes si phoenix telah menukik turun dan sekarang melayang-layang di depan Harry, mata manik-maniknya cemerlang di dalam kegelapan. Dia menggoyang-goyangkan bulu-bulu ekornya yang panjang keemasan. Harry menatapnya ragu-ragu.
"Kelihatannya dia ingin kau memegang...," kata Ron, kelihatan bingung. "Tetapi kau terlalu berat bagi seekor burung untuk ditarik ke atas."
"Fawkes," ujar Harry, "bukan burung biasa." Dia cepat- cepat berbalik, menghadapi teman-temannya. "Kita harus saling berpegangan. Ginny, pegang tangan Ron. Profesor Lockhart..."
"Maksudnya Anda," kata Ron tajam kepada Lockhart.
"Anda memegang tangan Ginny yang satunya."
Harry menyelipkan pedang dan Topi Seleksi ke ikat pinggangnya, Ron memegang bagian belakang jubahnya, dan Harry mengulurkan tangan memegang bulu ekor Fawkes yang anehnya terasa panas.
Rasa ringan luar biasa terasa mengaliri sekujur tubuhnya dan saat berikutnya, dengan bunyi berdesing, mereka terbang ke atas menembus pipa. Harry bisa mendengar Lockhart yang bergantung di bawahnya berkata, "Luar biasa! Luar biasa! Ini seperti sihir!" Udara dingin menerpa wajah dan rambut Harry, dan belum puas dia menikmatinya, perjalanan itu sudah berakhir—mereka berempat mendarat di lantai basah toilet Myrtle Merana. Dan saat Lockhart meluruskan topinya, wastafel yang menyembunyikan pipa air itu terpasang kembali ke tempatnya semula.
Myrtle terbelalak menatap mereka.
"Kau masih hidup," katanya bingung kepada Harry.
"Janganlah sebegitu kecewa," kata Harry suram sambil melap bercak darah dan lendir dari kacamatanya.
"Oh, bukan begitu... aku sudah berpikir, kalau kau mati, dengan senang hati kupersilakan kalau mau berbagi toilet denganku," kata Myrtle, wajahnya merona perak.
"Urgh!" kata Ron, ketika mereka meninggalkan toilet menuju koridor gelap dan kosong di depannya. "Harry! Kurasa Myrtle naksir kau! Kau punya saingan, Ginny!"
Tetapi air mata tetap bercucuran tanpa suara membanjiri wajah Ginny.
"Ke mana sekarang?" tanya Ron, cemas memandang Ginny. Harry menunjuk.
Fawkes memimpin di depan, menebarkan cahaya keemasan di sepanjang koridor. Mereka berjalan mengikutinya, dan beberapa saat kemudian, ternyata mereka tiba di depan kantor Profesor McGonagall.
Harry mengetuk dan mendorong pintunya terbuka.

18. Pahala Untuk Dobby

SEJENAK hening ketika Harry, Ron, Ginny, dan Lockhart berdiri di depan pintu, berlumur kotoran dan lendir, dan (khusus Harry) darah. Kemudian terdengar jeritan.
"Ginny!"
Jeritan Mrs Weasley, yang semula duduk menangis di depan perapian. Dia melompat bangun, diikuti oleh Mr Weasley, dan keduanya berlari memeluk anak perempuan mereka.
Tetapi Harry memandang melampaui mereka. Profesor Dumbledore berdiri di sebelah perapian, wajahnya berseri-seri. Di sebelahnya, Profesor McGonagall menghela napas dalam- dalam untuk menenangkan diri, tangannya mencengkeram dadanya. Fawkes menderu melewati telinga Harry dan mendarat di bahu Dumbledore, tepat ketika Harry dan Ron ditarik ke dalam pelukan erat Mrs Weasley.
"Kau menyelamatkannya! Kau menyelamatkannya! Bagaimana caranya?"
"Kurasa kita semua ingin tahu," kata Profesor McGonagall lemas.
Mrs Weasley melepaskan Harry. Harry ragu-ragu sejenak, kemudian dia berjalan ke meja dan meletakkan Topi Seleksi, pedang bertatahkan batu mirah, dan apa yang tersisa dari buku harian Riddle di atasnya.
Kemudian dia mulai menceritakan segalanya kepada mereka. Selama hampir seperempat jam dia bicara kepada pendengar yang hening, asyik menyimak. Harry bercerita bahwa dia mendengar suara tanpa tubuh; bagaimana Hermione akhirnya menyadari bahwa suara Basilisk di dalam pipalah yang didengar Harry; bagaimana dia dan Ron mengikuti labah-labah ke dalam hutan, bahwa Aragog memberitahu mereka di mana korban terakhir Basilisk meninggal; bagaimana dia menerka bahwa Myrtle Merana-lah korbannya, dan bahwa jalan masuk ke Kamar Rahasia mungkin berada di toiletnya....
"Bagus sekali," Profesor McGonagall mendorongnya untuk melanjutkan, ketika Harry berhenti, "jadi, kau menemukan di mana jalan masuknya—melanggar seratus peraturan sekolah untuk sampai ke situ, kalau boleh kutambahkan—tetapi bagaimana caranya kau bisa keluar dari sana hidup-hidup, Potter?"
Maka Harry, suaranya sekarang sudah serak karena kebanyakan bicara, menceritakan tentang kedatangan Fawkes yang tepat waktu dan tentang Topi Seleksi yang memberinya pedang. Tetapi kemudian dia bimbang dan berhenti. Sejauh ini dia berhasil menghindar menyebutkan buku harian Riddle— ataupun Ginny. Ginny berdiri dengan kepala tersandar di bahu Mrs Weasley, dan air mata masih terus bergulir tanpa suara di pipinya. Bagaimana kalau dia dikeluarkan? pikir Harry panik. Buku harian Riddle sudah tidak berfungsi... Bagaimana mereka bisa membuktikan Riddle-lah yang memaksa Ginny melakukan semua itu?
Mengikuti nalurinya, Harry memandang Dumbledore, yang tersenyum samar, nyala api memantul dari kacamata bulan- separonya.
"Yang paling menarik bagiku' kata Dumbledore lembut,
"adalah bagaimana Lord Voldemort berhasil memikat Ginny, sementara sumber-sumberku mengatakan dia sedang bersembunyi di hutan-hutan Albania."
Lega—kelegaan yang hangat, menyenangkan—menjalari sekujur tubuh Harry.
"A-apa tadi?" kata Mr Weasley kaget. "Kau-Tahu-Siapa? Me-memikat Ginny? Tapi Ginny tidak... Ginny belum... kan?"
"Gara-gara buku harian ini," kata Harry buru-buru, mengangkatnya dan menunjukkannya kepada Dumbledore.
"Riddle menulis di dalamnya waktu berusia enam belas tahun."
Dumbledore mengambil buku harian dari tangan Harry dan memandang ingin tahu melewati hidungnya yang panjang bengkok ke halaman-halamannya yang terbakar dan basah.
"Brilian," katanya lirih. "Tentu saja, dia mungkin murid paling brilian yang pernah dipunyai Hogwarts."
Dia berpaling, menghadapi suami-istri Weasley, yang tampak amat bingung.
"Cuma sedikit sekali yang tahu bahwa Lord Voldemort dulu bernama Tom Riddle. Aku sendiri mengajarnya, lima puluh tahun yang lalu, di Hogwarts. Dia menghilang setelah meninggalkan sekolah... berkelana ke tempat-tempat jauh... terbenam begitu dalam di dunia Sihir Hitam, bergaul dengan yang terburuk dari bangsa kita, .menjalani berbagai transformasi sihir yang membahayakan, sehingga ketika dia muncul kembali sebagai Lord Voldemort, dia nyaris tak dikenali lagi. Hampir tak ada yang menghubungkan Lord Voldemort dengan anak pandai dan tampan yang dulu pernah menjadi Ketua Murid di sini."
"Tetapi Ginny," kata Mrs Weasley, "apa hubungan Ginny kami dengan—dengan—dia?"
"B-buku hariannya!" Ginny tersedu. "A-aku menulis di dalamnya dan dia membalas sepanjang tahun..."
"Ginny!" kata Mr Weasley kaget. "Apa tak ada yang kaupelajari dariku? Apa yang selalu kukatakan kepadamu? Jangan pernah mempercayai apa saja yang bisa berpikir sendiri kalau kau tidak bisa melihat di mana otaknya disimpan. Kenapa buku harian itu tidak kautunjukkan kepadaku atau ibumu? Barang mencurigakan seperti itu, kan sudah jelas penuh sihir hitam!"
"A-aku tidak tahu," isak Ginny. "Aku menemukannya di dalam salah satu buku yang dibelikan Mum. K-kupikir ada orang yang meninggalkannya di situ dan kemudian lupa..."
"Miss Weasley harus segera dibawa ke rumah sakit," Dumbledore menyela dengan tegas. "Peristiwa ini merupakan cobaan berat baginya. Tak akan ada hukuman. Penyihir-penyihir yang lebih tua dan bijaksana darinya telah diperdayakan oleh Lord Voldemort." Dia melangkah ke pintu dan membukanya. "Istirahat di tempat tidur dan mungkin minum secangkir besar cokelat panas mengepul. Cokelat selalu membuatku gembira," dia menambahkan, mengedip ramah kepada Ginny. "Temui Madam Pomfrey. Dia belum tidur. Dia baru saja membagikan jus Mandrake—kukira korban-korban Basilisk bisa segera bangun kapan saja."
"Jadi Hermione sembuh!" kata Ron senang.
"Tak ada kerusakan yang permanen," kata Dumbledore.
Mrs Weasley membawa Ginny keluar, dan Mr Weasley mengikuti, masih tampak sangat terguncang.
"Kau tahu, Minerva," kata Profesor Dumbledore sambil berpikir-pikir kepada Profesor McGonagall, "kurasa semua ini layak dirayakan dengan pesta meriah. Boleh aku minta tolong kau untuk memberitahu dapur?"
"Baiklah," kata Profesor McGonagall singkat, ikut bergerak ke pintu. "Kupasrahkan penanganan Potter dan Weasley kepadamu, ya?"
"Tentu," kata Dumbledore.
Profesor McGonagall pergi, dan Harry dan Ron menatap Dumbledore dengan bimbang. Apa persisnya maksud Profesor McGonagall, penanganan mereka? Tentunya—tentunya— mereka tidak akan dihukum, kan?
"Aku masih ingat telah memberitahu kalian berdua bahwa aku terpaksa akan mengeluarkan kalian kalau kalian melanggar peraturan sekolah lagi," kata Dumbledore.
Ron membuka mulut, ngeri.
"Itu menunjukkan bahwa yang terbaik dari kita pun kadang-kadang harus menarik kembali kata-katanya," Dumbledore meneruskan, tersenyum. "Kalian berdua akan menerima Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian kepada Sekolah dan—coba kupikir—ya, kurasa masing-masing dua ratus angka untuk Gryffindor."
Ron menjadi merah jambu secemerlang bunga-bunga Valentine Lockhart dan menutup mulutnya lagi.
"Tetapi salah satu dari kita rupanya menyembunyikan perannya dalam petualangan berbahaya ini," Dumbledore menambahkan. "Kenapa begitu rendah hati, Gilderoy?"
Harry tersentak kaget. Dia sama sekali lupa tentang Lockhart. Dia menoleh dan melihat Lockhart berdiri di sudut ruangan, masih tersenyum tak jelas Ketika Dumbledore menyapanya, Lockhart menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang diajak bicara Dumbledore.
"Profesor Dumbledore," kata Ron buru-buru, "terjadi kecelakaan di Kamar Rahasia. Profesor Lockhart "Aku profesor?" tanya Lockhart tercengang “Ya ampun, aku pelupa benar, ya?"
"Dia mau menyihir kami dengan Jampi Memori, tetapi tongkatnya malah berbalik menyerang dia sendiri," Ron menjelaskan kepada Dumbledore,
"Astaga," kata Dumbledore, geleng-geleng, jenggot peraknya yang panjang bergetar. "Tertebas pedang sendiri, Gilderoy!"
"Pedang?" kata Lockhart tolol.
"Tak punya pedang. Anak itu yang punya." Dia menunjuk Harry. "Kau bisa pinjam dia."
"Maukah kau membawa Profesor Lockhart ke rumah sakit juga?" Dumbledore berkata kepada Ron. "Aku masih akan bicara beberapa patah kata dengan Harry...."
Lockhart berjalan santai keluar. Ron melempar pandang ingin tahu ke arah Dumbledore dan Harry sebelum dia menutup pintu.
Dumbledore menuju salah satu kursi di dekat perapian.
"Duduklah, Harry," katanya, dan Harry duduk, merasa gugup sekali.
"Pertama-tama, Harry, aku ingin berterima kasih kepadamu," kata Dumbledore, matanya berbinar-binar lagi.
"Kau pastilah menunjukkan kesetiaan yang sungguh-sungguh kepadaku di dalam Kamar Rahasia. Tak ada hal lain kecuali itu yang bisa memanggil Fawkes kepadamu."
Dia membelai si phoenix, yang sudah terbang turun dan hinggap di lututnya. Harry nyengir salah tingkah ketika Dumbledore menatapnya.
"Jadi, kau bertemu Tom Riddle," kata Dumbledore merenung. "Kubayangkan dia pasti sangat tertarik padamu..." Mendadak sesuatu yang selama ini mengganggu pikiran Harry tercetus dari mulutnya.
"Profesor Dumbledore... Riddle mengatakan saya mirip dia. Kemiripan yang aneh, katanya..."
"Ah, begitu, ya?" kata Dumbledore, memandang tajam Harry dari bawah alisnya yang tebal. "Don bagaimana menurutmu, Harry?"
"Saya rasa saya tidak mirip dia!" kata Harry, lebih keras daripada yang dimaksudkannya. "Maksud saya, saya—saya di Gryffindor, saya..."
Tetapi dia terdiam, keraguan yang selama ini menghantuinya, kini muncul kembali di benaknya.
"Profesor," katanya lagi setelah diam beberapa saat, "Topi Seleksi memberitahu saya bahwa—bahwa saya akan berhasil dengan gemilang di Slytherin. Selama beberapa waktu semua orang mengira saya pewaris Slytherin... karena saya bisa bicara Parseltongue..."
"Kau bisa bicara Parseltongue, Harry," kata Dumbledore tenang, "karena Lord Voldemort—yang adalah keturunan terakhir Salazar Slytherin yang tersisa—bisa bicara Parseltongue. Kecuali aku keliru, dia mentransfer sebagian kekuasaannya kepadamu pada malam dia memberimu bekas luka itu. Bukan sesuatu yang sebetulnya ingin dilakukannya, aku yakin..."
"Voldemort memasukkan sedikit dirinya ke dalam diri saya?" tanya Harry, tercengang. "Kelihatannya begitu."
"Jadi, saya seharusnya di Slytherin," kata Harry, memandang Dumbledore dengan tatapan putus asa. "Topi Seleksi bisa melihat kekuatan Slytherin di dalam diri saya, dan dia..."
"Memasukkanmu ke Gryffindor' kata Mimbledore tenang.
"Dengarkan aku, Harry. Kau kebetulan punya banyak kemampuan yang sang.il dihargai Slytherin dalam murid-murid yang dipilihnya sendiri. Kemampuannya sendiri yang sangat langka, Parseltongue... panjang akal... ketetapan hati... kecenderungan mengabaikan peraturan," dia menambahkan, kumisnya bergetar lagi. "Tetapi Topi Seleksi toh menempatkanmu di Gryffindor. Kau tahu kenapa. Coba pikir."
"Topi itu menempatkan saya di Gryffindor," kata Harry pasrah, "hanya karena saya tak mau ditempatkan di Slytherin...."
"Tepat," kata Dumbledore, wajahnya berseri-seri lagi. "Itu yang membuatmu sangat berbeda dengan Tom Riddle. Pilihan kitalah, Harry, yang menunjukkan orang seperti apa sebenarnya kita, lebih dari kemampuan kita." Harry duduk terpaku di kursinya, terpesona. "Kalau kau ingin bukti, Harry, bahwa kau cocok untuk Gryffindor, kusarankan kau memeriksa ini dengan teliti."
Dumbledore menjangkau pedang perak berlumur darah di atas meja Profesor McGonagall dan menyerahkannya kepada Harry. Dengan bingung Harry membaliknya, batu-batu mirahnya menyala tertimpa cahaya api. Dan kemudian dia melihat nama yang terukir tepat di bawah pangkalnya.
Godric Gryffindor.
"Hanya Gryffindor sejati yang bisa menarik keluar pedang itu dari dalam topi, Harry," kata Dumbledore sungguh- sungguh.
Selama beberapa saat tak ada yang bicara. Kemudian Dumbledore menarik salah satu laci meja Profesor McGonagall, dan mengeluarkan pena bulu dan sebotol tinta.
"Yang kauperlukan, Harry, adalah makanan dan tidur. Kusarankan kau turun dan ikut pesta, sementara aku menulis ke Azkaban—kita memerlukan pengawas binatang liar kita kembali ke sini. Dan aku harus menulis iklan untuk Daily Prophet juga," dia menambahkan seraya berpikir-pikir. "Kita memerlukan guru baru untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Astaga, kelihatannya kita menghabiskan para guru itu, ya?"
Harry bangkit dan menyeberangi ruangan menuju pintu. Baru saja dia mau meraih pegangannya, pintu terbuka keras sekali, sehingga memantul balik dari dinding.
Lucius Malfoy berdiri di depan pintu, wajahnya murka. Gemetar ketakutan di bawah lengannya, tampak Dobby yang terbungkus perban tebal.
"Selamat malam, Lucius," kata Dumbledore ramah.
Mr Malfoy nyaris menabrak jatuh Harry ketika dia menerobos masuk. Dobby bergegas menyusulnya. Dia mendekam di tepi jubah Mr Malfoy wajahnya ketakutan dan terhina.
"Jadi!" kata Lucius Malfoy, mata dinginnya terpancang pada Dumbledore "Kau kembali Dewan sekolah menskorsmu, tetapi kau masih merasa pantas kembali ke Hogwarts."
"Ah, begini, Lucius," kala Durnbledore tersenyum tulus,
"kesebelas anggota dewan yang lain mengontak ku hari ini. Rasanya seperti terperangkap dalam hujan salju burung hantu, jujur saja mereka mendengar bahwa putri Arthur Weasley telah terbunuh dan menginginkan aku segera kembali kesini mereka kelihatannya berpendapat aku orang yang paling baik untuk posisi ini, ternyata. Mereka juga menyampaikan cerita-cerita aneh kepadaku. Beberapa di antara mereka kelihatannya mengira kau telah mengancam akan mengutuk keluarga mereka jika mereka tidak setuju menskorsku."
Mr Malfoy menjadi lebih pucat dari biasanya, tetapi matanya masih tetap berupa goresan kemarahan.
"Jadi—apakah kau sudah berhasil menghentikan serangan- serangan itu?" cemoohnya. "Sudahkah kau tangkap pelakunya?"
"Sudah," kata Dumbledore, tersenyum.
"Nah?" kata Mr Malfoy tajam. "Siapa?"
"Orang yang sama seperti sebelumnya, Lucius," kata Dumbledore. "Tetapi kali ini Lord Voldemort bertindak lewat orang lain. Dengan perantaraan buku harian ini."
Dumbledore mengangkat buku hitam kecil dengan lubang besar di tengahnya, mengawasi Mr Malfoy dengan tajam. Tetapi Harry mengawasi Dobby.
Peri-rumah itu bersikap sangat aneh. Matanya yang besar menatap Harry penuh arti, tak henti-hentinya dia menunjuk- nunjuk buku harian, kemudian Mr Malfoy, dan kemudian memukul kepalanya keras-keras dengan tinjunya sendiri.
"Begitu...," kata Mr Malfoy lambat-lambat kepada Dumbledore.
"Rencana yang hebat," kata Dumbledore dengan suara datar, masih menatap lurus-lurus mata Mr Malfoy. "Karena jika Harry ini...," Mr Malfoy sekilas melempar pandang tajam ke arah Harry, "dan temannya, Ron, tidak menemukan buku ini, wah... Ginny Weasley mungkin saja yang harus menanggung semua kesalahannya. Tak seorang pun akan bisa membuktikan dia tidak bertindak atas kemauannya sendiri..."
Mr Malfoy tidak berkata apa-apa. Wajahnya mendadak kaku seperti topeng.
"Dan bayangkan," Dumbledore melanjutkan, "apa yang akan terjadi kemudian... Keluarga Weasley adalah salah satu dari keluarga berdarah-murni yang paling terkemuka. Bayangkan dampaknya pada Arthur Weasley dan Undang- Undang Perlindungan Muggle-nya, jika anak perempuannya sendiri ditemukan menyerang dan membunuhi anak-anak kelahiran-Muggle. Untung sekali buku harian ini ditemukan, dan kenangan Riddle dihapus darinya. Siapa yang tahu apa konsekuensinya kalau tidak..." Mr Malfoy memaksa diri bicara.
"Untung sekali," katanya kaku Dan masih saja, di belakang punggung Mr Malfoy, Dobby menunjuk-nunjuk, mula-mula ke buku Harian kemudian ke Lucius Malfoy, dan setelah itu meninju kepalanya sendiri.
Dan Harry mendadak paham. Dia mengangguk kepada Dobby, dan Dobby mundur ke sudut, sekarang memelintir telinganya sebagai hukuman.
"Tidakkah Anda ingin tahu bagaimana Ginny memperoleh buku harian itu, Mr Malfoy?" kata Harry.
Lucius Malfoy berpaling menghadapinya.
"Bagaimana aku bisa tahu bagaimana anak bodoh itu memperolehnya?" timpalnya.
"Karena Anda yang memberikannya kepadanya," kata Harry. "Di Flourish and Blotts. Anda mengambil buku Transfigurasi-nya yang sudah bekas-pakai, dan menyelipkan buku harian itu ke dalamnya, kan?"
Harry melihat tangan putih Mr Malfoy mengepal dan membuka.
"Buktikan," dia mendesis.
"Oh, tak ada yang bisa membuktikannya," kata Dumbledore, tersenyum kepada Harry. "Tidak sekarang, setelah Riddle lenyap dari buku itu. Sebaliknya, kusarankan kepadamu, Lucius, jangan lagi membagi-bagikan barang- barang sekolah tua milik Voldemort. Kalau ada lagi barangnya yang jatuh ke tangan tak bersalah, kurasa Arthur Weasley, salah satunya, akan memastikan barang-barang itu dilacak sampai kepadamu...."
Sesaat Lucius Malfoy berdiri diam, dan Harry dengan jelas melihat tangan kanannya berkedut, seakan dia ingin sekali meraih tongkatnya. Tetapi akhirnya dia menoleh kepada peri- rumahnya.
"Kita pulang, Dobby!"
Dia membuka pintu dengan kasar dan si peri bergegas mendekatinya. Mr Malfoy menendangnya keluar pintu. Mereka bisa mendengar Dobby menjerit-jerit kesakitan sepanjang koridor. Sejenak Harry berdiri, berpikir keras. Kemudian dia mendapat ide.
"Profesor Dumbledore," katanya buru-buru, "bolehkah saya mengembalikan buku harian itu kepada Mr Malfoy?"
"Tentu, Harry," kata Dumbledore tenang. "Tetapi bergegaslah. Pesta, ingat."
Harry menyambar buku harian itu dan berlari meninggalkan kantor. Dia bisa mendengar jerit kesakitan Dobby yang samar- samar ketika berbelok di sudut Cepat-cepat, seraya dalam hati bertanya-tanya apakah rencananya bisa berhasil, Harry melepas salah satu sepatunya, menarik kaus kakinya yang kotor, berlendir, dan menjejalkan buku harian itu ke dalamnya. Kemudian dia berlari sepanjang koridor yang gelap.
Dia berhasil mengejar mereka di puncak tangga.
"Mr Malfoy," katanya terengah, mengerem larinya dan berhenti di depan mereka, "saya membawa sesuatu untuk Anda."
Dan dijejalkannya kaus kaki bau itu ke tangan Lucius Malfoy.
"Apa ...?"
Mr Malfoy menarik lepas kaus kaki itu dari buku hariannya, melemparnya, memandang marah buku rusak itu sebelum menatap Harry.
"Kau akan berakhir tragis seperti orangtuamu suatu hari nanti, Harry Potter," katanya pelan “Mereka juga orang yang suka ikut campur'
Dia berbalik mau pergi.
"Ayo, Dobby. Ayo!"
Tetapi Dobby tak bergerak dia memegangi kaus kaki Harry yang berlendir menjijikkan dan memandangnya seakan kaus kaki harta tak ternilai.
"Tuan telah memberi Dobby kaus kaki “ kata si peri takjub.
"Tuan memberikannya kepada Dobby?”
"Apa?" gertak Mr Malfoy “Apa katamu?”
"Dobby mendapat kaus kaki," kata Dobby tak percaya.
"Tuan melemparnya dan Dobby menangkapnya, dan Dobby— Dobby bebas."
Lucius Malfoy berdiri terpaku, terbelalak menatap si peri. Kemudian dia menerjang Harry.
"Kau membuatku kehilangan pelayan, Nak!"
Tetapi Dobby berteriak, "Kau tak boleh melukai Harry Potter!"
Terdengar letusan keras, dan Mr Malfoy terlempar ke belakang. Dia berguling-guling, dan jatuh terpuruk di dasar tangga. Dia bangkit, wajahnya penuh kemurkaan. Dia menarik keluar tongkatnya, tetapi Dobby mengangkat jari panjangnya, mengancam.
"Kau harus pergi sekarang," katanya galak, menunjuk ke bawah ke arah Mr Malfoy. "Kau tak boleh menyentuh Harry Potter. Kau harus pergi sekarang."
Lucius Malfoy tak punya pilihan lain. Dengan pandangan membara ke arah mereka berdua, dia menyampirkan mantelnya ke tubuhnya dan bergegas lenyap dari pandangan.
"Harry Potter membebaskan Dobby!" kata si peri nyaring, menatap Harry. Bulan yang bersinar dan tampak dari jendela terdekat, terpantul dari matanya yang menonjol. "Harry Potter membebaskan Dobby!"

"Cuma itulah yang bisa kulakukan, Dobby," kata Harry, nyengir. "Berjanjilah, jangan mencoba menyelamatkan hidupku lagi."
Wajah buruk si peri mendadak dihiasi senyum lebar yang memamerkan gigi-giginya.
"Aku cuma mau tanya satu hal, Dobby," kata Harry, ketika Dobby memakai kaus kaki Harry dengan tangan gemetar.
"Kau memberitahuku bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, ingat? Nah..."
"Itu petunjuk, Sir," kata Dobby, matanya melebar seakan ini sudah jelas. "Dobby memberi Harry Potter petunjuk. Pangeran Kegelapan, sebelum dia mengubah namanya, namanya boleh disebut dengan bebas, kan?"
"Betul," kata Harry lemas. "Yah, aku lebih baik pergi sekarang. Ada pesta, dan sahabatku, Hermione, mestinya sudah bangun sekarang..."
Dobby melingkarkan lengannya ke sekeliling pinggang Harry dan memeluknya.
"Harry Potter jauh lebih hebat daripada yang Dobby tahu!"
dia terisak. "Selamat tinggal, Harry Potter!"
Dan dengan bunyi lecutan keras, Dobby menghilang.
Harry sudah beberapa kali ikut pesta di Hogwarts, tetapi belum pernah ada yang seperti ini. Semua orang memakai piama dan perayaan berlangsung semalam suntuk. Harry tak tahu apakah bagian paling menyenangkan adalah ketika Hermione berlari ke arahnya, berteriak-teriak, "Kau memecahkannya! Kau memecahkannya!" atau Justin bergegas datang dari meja Hufflepuff untuk menjabat tangannya dan tak henti-hentinya meminta maaf karena telah mencurigainya. Atau ketika Hagrid muncul pada pukul setengah empat pagi, meremas bahu Harry dan Ron begitu keras sehingga mereka terjungkal ke piring kue mereka, atau empat ratus angka yang diperolehnya bersama Ron untuk Gryffindor yang menjamin Piala Asrama tetap menjadi milik mereka selama dua tahun berturut-turut. Atau saat Profesor McGonagall berdiri untuk menyampaikan kepada mereka bahwa semua ujian dibatalkan sebagai hadiah dari sekolah ("Oh, tidak!" jerit Hermione), atau Dumbledore yang mengumumkan bahwa, sayang sekali, Profesor Lockhart tak akan bisa kembali pada tahun ajaran berikutnya, karena dia perlu pergi untuk memperoleh kembali ingatannya. Cukup banyak guru yang ikut bersorak bersama anak-anak menyambut pengumuman ini.
"Sayang," kata Ron sambil mengambil donat selai. "Aku mulai suka padanya."
Sisa semester musim panas itu berlalu dalam kekaburan teriknya cahaya matahari. Hogwarts sudah kembali normal, dengan hanya sedikit perbedaan. Semua pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dibatalkan ("tapi kita kan sudah banyak latihan," kata Ron kepada Hermione yang menggerutu) dan Lucius Malfoy dipecat dari dewan sekolah. Draco tak lagi gagah-gagahan berkeliaran ke sana kemari di sekolah seakan dia pemilik tempat itu. Dia sekarang malah kelihatan marah dan mendongkol. Sebaliknya, Ginny Weasley sudah gembira lagi.
Terlalu cepat, tiba saatnya untuk pulang naik Hogwarts Express. Harry, Ron, Hermione, Fred, George, dan Ginny mendapat satu kompartemen untuk mereka. Mereka memanfaatkan betul jam-jam terakhir ketika mereka masih diizinkan melakukan sihir sebelum liburan. Mereka bermain Jentikan Meletup, menghabiskan sisa kembang api Filibuster milik Fred dan George, dan berlatih melucuti senjata masing- masing dengan sihir. Harry sudah mahir sekali melakukan trik ini.
Mereka sudah hampir tiba di King7s Cross ketika Harry ingat sesuatu.
"Ginny—apa yang kaulihat dilakukan Percy, dan Percy melarangmu bilang pada siapa-siapa?"
"Oh, itu," kata Ginny terkikik geli. "Percy punya pacar."
Fred menjatuhkan setumpuk buku ke kepala George.
"Apa?"
"Anak Ravenclaw yang Prefek itu, Penelope Clearwater," kata Ginny. "Kepada dialah Percy menulis sepanjang musim panas yang lalu. Dia kencan dengan anak itu sembunyi- sembunyi di berbagai tempat di sekolah. Aku tak sengaja masuk ke kelas tempat mereka sedang berciuman suatu hari. Percy cemas sekali waktu Penelope—kalian tahu—diserang. Kalian tidak akan meledeknya, kan?" Ginny menambahkan dengan cemas.
"Mimpi pun tidak," kata Fred, yang tampak gembira sekali, seakan ulang tahunnya dimajukan.
"Jelas tidak," kata George, terkekeh-kekeh.
Hogwarts Express memperlambat kecepatan dan. akhirnya berhenti.
Harry mengeluarkan pena bulu dan secarik per-kamen dan menoleh kepada Ron dan Hermione.
"Ini namanya nomor telepon," dia memberitahu Ron, menuliskan nomor dua kali, merobek perkamen-nya menjadi dua, dan memberikannya kepada mereka. "Aku memberitahu ayahmu bagaimana caranya menggunakan telepon musim panas yang lalu, dia akan tahu. Teleponlah aku di rumah keluarga Dursley, oke? Aku tak akan tahan melewatkan dua bulan hanya bicara dengan Dudley..."
"Tapi bibi dan pamanmu akan bangga, kan?" kata Hermione, sementara mereka turun dari kereta api dan bergabung dengan kerumunan yang berdesakan menuju palang rintangan yang tersihir. "Kalau mereka mendengar apa yang kaulakukan tahun ini?"
"Bangga?" kata Harry. "Kau gila? Dalam semua petualangan itu aku bisa mati, tapi aku tidak mati juga? Mereka akan marah besar...."
Dan bersama-sama mereka melewati gerbang menuju ke dunia Muggle.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar