Laman

Sabtu, 06 Februari 2016

Harry Potter And The Chamber Of Screts Seri 2

 Harry Potter Dan Kamar Rahasia 1

Harry Potter And The Chamber Of Screts
J.K. Rowling

Harry Potter Dan Kamar Rahasia

1. Ulang Tahun Paling Buruk


BUKAN untuk pertama kalinya pertengkaran meledak di meja makan rumah Privet Drive nomor empat. Sebelumnya Mr Vernon Dursley telah terbangun pagi-pagi buta oleh bunyi uhu-uhu keras dari kamar ke-ponakannya, Harry.
"Untuk ketiga kalinya minggu ini!" raungnya. "Kalau kau tidak bisa mengontrol burung hantu itu, dia harus pergi!"
Harry mencoba, sekali lagi, untuk menjelaskan. "Dia bosan," katanya. "Dia biasa beterbangan di luar. Kalau aku boleh melepasnya di malam hari..."
"Apa aku kelihatan bbdoh?" kata Paman Vernon geram, seserpih telur goreng bergantung pada kumis-nya yang lebat.
"Aku tahu apa yang akan terjadi kalau burung hantu itu dibiarkan lepas."
Dia bertukar pandang geram dengan istrinya, Petunia.
Harry mencoba berargumentasi, tetapi kata-katanya tenggelam oleh sendawa Dudley yang keras dan pan-jang. Dudley adalah anak Mr dan Mrs Dursley.
"Aku mau tambah daging asap."
"Masih banyak di wajan, Manis," jawab Bibi Petunia, matanya terharu menatap anak laki-lakinya yang supergemuk.
"Kami harus memberimu makan banyak-banyak selagi ada kesempatan... aku tak senang men-dengar tentang makanan di sekolahmu..."
"Omong kosong, Petunia, aku tak pernah kelaparan waktu aku di Smeltings," kata Paman Vernon mem-protes. "Dudley mendapat cukup makanan. Ya kan, Nak?"
Dudley, yang luar biasa gemuknya sampai pantatnya melimpah di kiri-kanan kursi dapur, menyeringai dan menoleh kepada Harry.
"Ambilkan wajannya."
"Kau lupa kata sihirnya," kata Harry jengkel.
Dampak kalimat sederhana pada keluarga itu sung-guh luar biasa. Dudley tersedak dan terjatuh dari kursinya keras sekali sampai menggetarkan seluruh dapur. Mrs Dursley menjerit dan menutup mulutnya. Mr Dursley melompat bangun, urat- urat berdenyutan di pelipisnya.
"Maksudku kata 'tolong'!" kata Harry cepat-cepat. "Aku tidak bermaksud..."
"BUKANKAH SUDAH KULARANG," gelegar pamannya dari seberang meja, "MENGUCAPKAN KATA 'S' ITU DI DALAM RUMAH KITA?"
"Tapi aku..."
"BERANI-BERANINYA KAU MENGANCAM DUDLEY!" raung Paman Vernon, menggebrak meja dengan tinjunya.
"Aku cuma..."
"KUPERINGATKAN KAU! AKU TAK MENGIZINKAN KEABNORMALANMU DISEBUT-SEBUT DI BAWAH ATAP RUMAH INI!"
Harry bergantian memandang wajah keunguan pamannya dan wajah pucat bibinya, yang sedang berusaha membantu Dudley bangun.
"Baiklah," kata Harry, "baiklah..."
Paman Vernon duduk kembali, tersengal seperti ba-dak bercula satu yang kehabisan napas. Dia memandang Harry lewat sudut matanya yang kecil tajam.
Sejak Harry pulang untuk liburan musim panas, Paman Vernon memperlakukannya seperti bom yang bisa meledak setiap waktu, karena Harry bukan anak biasa. Sebetulnya, dia memang sama sekali bukan anak biasa.
Harry Potter adalah penyihir—penyihir yang baru melewatkan tahun pertamanya di Sekolah Sihir Hogwarts. Dan jika keluarga Dursley tidak senang menerimanya selama liburan, itu bukan apa-apa di-banding perasaan Harry.
Harry merasa sangat rindu pada Hogwarts sehingga rasanya dia sakit perut terus-menerus. Dia merindukan kastilnya, dengan lorong-lorong rahasia dan hantu-hantunya, pelajaran-pelajarannya (walaupun mungkin tidak merindukan Snape, guru pelajaran Ramuan-nya), surat-surat yang dibawa oleh burung-burung hantu, makan bersama di Aula Besar, tidur di tempat tidurnya di menara asrama, mengunjungi si pengawas binatang liar, Hagrid, di pondoknya di dekat Hutan Terlarang, dan terutama Quidditch, olahraga paling populer di dunia sihir (enam tiang gawang tinggi, empat bola terbang, dan empat belas pemain di atas sapu terbang).
Semua buku pelajaran Harry tongkat, jubah, kuali, dan sapu top Nimbus Dua Ribu-nya dikunci di dalam lemari di bawah tangga oleh Paman Vernon begitu Harry tiba di rumah. Apa pedulinya keluarga Dursley kalau Harry kehilangan tempat di tim Quidditch asramanya karena dia tidak berlatih selama musim panas? Apa urusannya bagi keluarga Dursley jika Harry kembali ke sekolah tanpa mengerjakan PR-PR-nya? Keluarga Dursley termasuk yang oleh para penyihir disebut Muggle (tak memiliki setetes pun darah penyihir di nadi mereka) dan bagi mereka memiliki penyihir dalam keluarga adalah aib yang sangat memalukan. Paman Vernon bahkan telah meng-gembok burung hantu Harry, Hedwig, di dalam sangkarnya, untuk mencegahnya membawa surat-surat kepada siapa pun di dunia sihir.
Tampilan Harry sama sekali lain dari keluarganya. Paman Vernon gemuk dan tanpa leher, dengan kumis hitam besar. Bibi Petunia kurus berwajah kuda. Dudley berambut pirang, kulitnya agak merah jambu, jadi kesannya seperti babi. Harry, sebaliknya, kecil dan kurus, dengan mata hijau cemerlang dan rambut hitam pekat yang selalu berantakan. Dia memakai kacamata bundar, dan di dahinya ada bekas luka berbentuk sambaran kilat.
Bekas luka inilah yang membuat Harry istimewa, bahkan sebagai penyihir. Bekas luka ini satu-satunya petunjuk akan masa lalu Harry yang misterius, alasan kenapa dia ditinggalkan di depart pintu rumah keluarga Dursley sebelas tahun yang lalu.
Pada usia satu tahun, Harry, entah bagaimana ber-hasil selamat dari serangan penyihir hitam jahat ter-hebat sepanjang zaman, Lord Voldemort, yang nama-nya pun tak berani disebutkan oleh banyak penyihir. Orangtua Harry tewas dalam serangan Voldemort, tetapi Harry selamat dengan bekas luka sambaran kilatnya, dan—tak seorang pun tahu kenapa—kekuatan Voldemort punah pada saat dia gagal mem-bunuh Harry.
Maka Harry dibesarkan oleh kakak almarhum ibu-nya dan suaminya. Dia melewatkan sepuluh tahun bersama keluarga Dursley, tak pernah memahami kenapa dia tak putus-putus membuat hal-hal aneh terjadi walaupun dia tak bermaksud melakukannya. Dia mempercayai cerita keluarga Dursley bahwa bekas lukanya didapatnya dalam kecelakaan lalu lintas yang menewaskan orangtuanya.
Dan kemudian," tepatnya setahun yang lalu, Hogwarts menulis surat kepada Harry, dan kisah yang sebenarnya pun terungkap. Harry bersekolah di sekolah sihir. Di situ dia dan bekas lukanya terkenal... tetapi sekarang tahun ajaran telah usai, dan dia kem-bali bersama keluarga Dursley selama musim panas, kembali diperlakukan seperti anjing yang habis ber-guling-guling di sampah bau.
Keluarga Dursley bahkan tidak ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Harry yang kedua belas. Tentu saja, harapannya tidak rnuluk-muluk, mereka belum pernah memberinya hadiah yang layak, apalagi kue ulang tahun—tapi kalau sama sekali melupakannya...
Saat itu Paman Vernon berdeham dengan lagak sok penting dan berkata, "Nah, seperti kita semua tahu, hari ihi hari yang sangat penting."
Harry mendongak, nyaris tak berani mempercayai-nya.
"Hari ini aku mungkin akan membuat transaksi terbesar dalam karierku," kata Paman Vernon.
Harry kembali memakan roti panggangnya. Tentu saja, pikirnya getir, yang sedang dibicarakan Paman Vernon adalah acara makan malam konyol itu. Sudah dua minggu ini tak ada hal lain yang dibicarakannya. Ada pemborong kaya dan istrinya yang akan datang untuk makan malam dan Paman Vernon berharap mendapat pesanan besar darinya (perusahaan Paman Vernon memproduksi bor).
"Kurasa kita harus mengulang susunan acara kita sekali lagi," kata Paman Vernon. "Kita semua harus siap di posisi masing-masing pukul delapan nanti. Petunia, kau di...?"
"Di kamar tamu," kata Bibi Petunia segera, "siap menyambut kedatangan mereka di rumah kita dengan anggun."
"Bagus, bagus. Dan Dudley?"
"Aku siap membuka pintu." Dudley memasang se-nyum tolol. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason?"
"Mereka akan menyukai Dudley!" seru Bibi Petunia terpesona. "Hebat, Dudley," kata Paman Vernon. Kemudian dia berpaling kepada Harry. "Dan kau?" "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," kata Harry datar.
"Tepat," kata Paman Vernon menyebalkan. "Aku akan membawa mereka masuk, memperkenalkan kau, Petunia, dan menuang minuman untuk mereka. Pukul delapan seperempat..."
"Akan kuumumkan makan malam telah siap," kata Bibi Petunia.
"Dan Dudley, kau akan bilang..."
"Boleh kuantar Anda ke ruang makan, Mrs Mason?" kata Dudley, menawarkan lengannya yang gemuk pada wanita yang tak kelihatan. "Gentleman kecilku yang sempurna," kata Bibi Petunia terharu.
"Dan kau?" kata Paman Vernon kejam kepada Harry.
"Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," kata Harry bosan.
"Persis. Sekarang, kita harus berusaha memberikan beberapa pujian selama makan malam. Petunia, ada ide?"
"Vernon bercerita Anda pemain golf yang hebat, Mr Mason... Gaun Anda indah sekali, di mana Anda membelinya, Mrs Mason...?"
"Sempurna... Dudley?"
"Bagaimana kalau: 'Kami harus menulis karangan tentang pahlawan yang kami kagumi di sekolah, Mr Mason, dan saya menulis tentang Anda.'"
Ini sudah kelewatan, baik bagi Bibi Petunia maupun Harry, walaupun dengan alasan berbeda. Bibi Petunia menangis saking terharunya dan memeluk anaknya, sedangkan Harry membungkuk ke bawah meja, supaya mereka tidak melihatnya tertawa.
"Dan kau?" Harry berusaha membuat wajahnya serius ketika muncul dari bawah meja. "Aku akan berada di kamarku, tidak membuat suara, dan pura-pura tidak ada di sana," katanya.
"Betul sekali, kau harus begitu," kata Paman Vernon keras.
"Suami-istri Mason sama sekali tak tahu-menahu tentang kau dan harus tetap begitu. Setelah makan malam selesai, kaubawa Mrs Mason kembali ke ruang tamu untuk minum kopi, Petunia, dan aku akan meng-arahkan pembicaraan ke bor. Kalau beruntung, transaksi bisa kuselesaikan dan kontrak sudah ditanda-tangani sebelum Berita Pukul Sepuluh Malam. Kita akan membeli rumah berlibur di Majorca pada jam sekian besok malam."
Harry tidak bisa ikut senang mendengar kabar ini. Menurut perasaannya, di Majorca pun keluarga Dursley tidak akan lebih menyukainya daripada di rumah ini.
"Baik—aku berangkat ke kota untuk mengambil jas malam untukku dan Dudley. Dan kau," gertaknya pada Harry, "jangan mengganggu bibimu sementara dia membersihkan rumah."
Harry keluar lewat pintu belakang. Cuaca amat cerah. Dia menyeberangi halaman, mengenyakkan diri di bangku kebun dan bernyanyi pelan, "Happy birthday to me... happy birthday to me..."
Tak ada kartu, tak ada hadiah, dan dia akan me-lewatkan malam ini dengan berpura-pura bahwa dia tak ada. Dia memandang sedih ke pagar tanaman. Belum pernah dia merasa kesepian seperti itu. Lebih dari segalanya di Hogwarts, bahkan lebih daripada bermain Quidditch, dia merindukan sahabat-sahabat-nya. Ron Weasley dan Hermione Granger. Meskipun demikian, mereka rupanya sama sekali tidak merindu-kannya. Tak seorang pun dari mereka berdua menulis surat kepadanya musim panas ini, meskipun Ron sudah mengatakan akan meminta Harry datang menginap di rumahnya.
Sudah puluhan kali, Harry hampir membuka kan-dang Hedwig dengan sihir dan mengirimnya kepada Ron dan Hermione dengan membawa surat, tetapi terlalu besar risikonya. Penyihir yang masih di bawah umur tidak diperkenankan menggunakan sihir di luar sekolah. Harry tidak memberitahukan aturan ini kepada keluarga Dursley. Mereka takut Harry akan mengubah mereka menjadi kumbang pupuk. Dan Harry tahu, rasa takut itulah yang mencegah mereka mengunci dirinya di dalam lemari di bawah tangga, bersama tongkat dan sapunya.
Selama dua minggu pertama, Harry menikmati menggumamkan kata-kata omong kosong dan melihat Dudley kabur dari ruangan secepat kaki gemuknya bisa membawanya. Tetapi lama tak ada kabar dari Ron dan Hermione membuat Harry merasa terkucil dari dunia sihir, sehingga bahkan mempermainkan Dudley pun sudah tak menarik lagi—dan sekarang Ron dan Hermione telah melupakan hari ulang tahunnya.
Dia rela memberikan apa pun untuk mendapatkan kabar dari Hogwarts. Bahkan kabar dari penyihir mana pun? Dia bahkan akan senang kalau bisa melihat musuh besarnya, Draco Malfoy, sekadar meyakinkan bahwa segalanya bukan hanya mimpi....
Bukan berarti dia senang terus sepanjang waktu di Hogwarts. Di pengujung semester terakhir mereka, Harry telah berhadapan dengan, tak lain dan tak bukan, Lord Voldemort sendiri. Voldemort mungkin sudah bukan apa-apa dibanding ketika berkuasa dulu, tetapi dia masih tetap mengerikan dan licik, masih bertekad ingin berkuasa kembali. Harry berhasil lolos dari cengkeraman Voldemort untuk kedua kalinya, tetapi nyaris saja. Bahkan sekarang, setelah lewat be-berapa minggu, Harry masih terbangun di malam hari, mandi keringat dingin, bertanya-tanya dalam hati di mana Voldemort sekarang, teringat wajahnya yang pucat kelabu, matanya yang liar....
Harry mendadak duduk tegak di bangku kebun. Sejak tadi, sambil melamun, dia memandang pagar tanaman—dan pagar itu balas memandangnya. Dua mata hijau besar muncul di antara dedaunan.
Harry melompat bangun tepat ketika terdengar suara ejekan dari seberang kebun. "Aku tahu hari apa hari ini," Dudley menyanyi, berjalan berat ke arahnya.
Mata besar itu berkedip lalu lenyap.
"Apa?" tanya Harry, tanpa melepas pandangan dari tempat mata itu tadi berada. "Aku tahu hari apa hari ini," ulang Dudley, tiba di belakang Harry.
"Bagus sekali," kata Harry. "Jadi akhirnya kauhafal nama- nama hari."
"Hari ini hari ulang tahunmu," cemooh Dudley. "Kenapa kau tidak menerima satu kartu pun? Apa kau tidak punya teman di tempat sinting itu?"
"Jangan sampai ibumu dengar kau menyebut-nyebut sekolahku," kata Harry dingin. Dudley menarik celananya yang melorot ke pantat-nya yang gemuk. "Kenapa kau terus memandang pagar?" tanyanya curiga. "Aku sedang mencoba memutuskan mantra apa yang paling baik untuk membakarnya," kata Harry. Dudley langsung terhuyung mundur, wajahnya yang gemuk kelihatan panik.
"Tidak b-boleh—Dad bilang kau tidak boleh me-menyihir— dia bilang dia akan mengusirmu—dan kau tak punya tempat lain—kau tak punya teman yang bisa menerimamu..."
"Jiggery pokery!" kata Harry tegas. "Hocus pocus... squiggly wiggly..."
"MUUUUUUM!" raung Dudley, yang tersandung kakinya"
sendiri dalam ketergesaannya berlari kembali ke rumah.
"MUUUUM! Dia melakukan yang tak boleh itu!"
Harry harus membayar mahal untuk kesenangan sesaat itu. Karena baik Dudley maupun pagarnya sama sekali tak bercacat, Bibi Petunia tahu dia tidak betul-betul menyihir. Tetapi Harry tetap harus me-nunduk menghindar ketika Bibi Petunia mengayunkan wajan bersabun ke kepalanya. Kemudian Bibi Petunia menyuruhnya bekerja, dengan ancaman dia tidak akan diberi makan sampai pekerjaannya selesai.
Sementara Dudley bermalas-malasan menontonnya sambil makan es krim, Harry membersihkan jendela, mencuci mobil, memotong rumput, merapikan petak-petak bunga, menggunting dan menyirami mawar, dan mengecat ulang bangku kebun. Matahari bersinar terik sekali, membakar tengkuknya. Harry tahu dia seharusnya tidak terpancing ledekan Dudley, tetapi Dudley mengatakan hal yang persis sedang Harry pikirkan... mungkin dia tak punya teman di Hogwarts....
Sayang sekali mereka tak bisa melihat Harry Potter sekarang, pikirnya jengkel, sementara dia menebarkan pupuk kandang di kebun bunga. Punggungnya sakit, keringat bercucuran di wajahnya.
Sudah pukul setengah delapan malam ketika akhir-nya, kelelahan, dia mendengar Bibi Petunia me-manggilnya.
"Masuk! Dan berjalan di atas koran!"
Harry masuk dengan senang ke dapur yang mengilap. Di atas lemari es sudah siap puding untuk malam ini, dihiasi seonggok krim dan violet berlapis gula. Daging panggang sedang berdesis di dalam oven.
"Makan cepat! Mr dan Mrs Mason sebentar lagi datang!" kata Bibi Petunia galak, seraya menunjuk dua iris roti dan segumpal kecil keju di atas meja dapur. Bibi Petunia sudah memakai gaun malam ber-warna merah jambu salem.
Harry mencuci tangan dan segera menghabiskan makan malamnya yang rrtengenaskan. Begitu dia se-lesai, Bibi Petunia langsung menyingkirkan piringnya. "Naik! Cepat!"
Ketika melewati pintu ruang duduk, sekilas Harry melihat Paman Vernon dan Dudley memakai jas dan dasi kupu-kupu. Baru saja dia tiba di atas tangga, bel pintu berdering dan wajah marah Paman Vernon muncul di kaki tangga.
"Ingat—suara sekecil apa pun...."
Harry berjingkat menuju kamarnya, menyelinap ma-suk, menutup pintu, dan berbalik untuk mengempas-kan diri ke atas tempat tidurnya.
Celakanya, sudah ada yang duduk di atas tempat tidurnya.

2. Peringatan Dobby


HARRY berhasil tidak menjerit, tetapi nyaris saja. Makhluk kecil di tempat tidur itu bertelinga lebar seperti kelelawar dan bermata hijau menonjol sebesar bola tenis. Harry langsung tahu bahwa dialah yang pagi tadi mengawasinya dari pagar tanaman.
Ketika mereka saling pandang, Harry mendengar suara Dudley dari ruang depan. "Boleh kusimpan mantel Anda, Mr dan Mrs Mason?"
Makhluk itu meluncur turun dari tempat tidur dan membungkuk rendah sekali sehingga ujung hidungnya yang panjang dan kurus menyentuh karpet. Harry memperhatikan makhluk itu memakai sesuatu yang kelihatannya seperti sarung bantal usang, dengan robekan untuk lubang lengan dan kaki.
"Eh—halo," kata Harry gugup.
"Harry Potter!" kata makhluk itu, dengan suara melengking yang Harry yakin pasti terdengar sampai ke bawah tangga.
"Sudah lama Dobby ingin bertemu Anda, Sir... Sungguh kehormatan besar..."
"Te-terima kasih," kata Harry merayap sepanjang dinding dan terenyak di kursinya, di sebelah Hedwig, yang sedang tidur di dalam sangkarnya yang besar. Dia ingin bertanya,
"Kau ini apa?" tetapi rasanya tidak sopan, maka sebagai gantinya dia bertanya, "Kau siapa?"
"Dobby, Sir. Cukup Dobby saja. Dobby si peri-rumah,"
jawab makhluk itu.
"Oh—begitu?" kata Harry. "Eh—bukannya aku mengusir atau apa, tapi—ini bukan saat yang baik bagiku untuk menerima peri-rumah di kamarku."
Tawa Bibi Petunia yang melengking dibuat-buat ter-dengar dari ruang tamu. Peri itu menunduk lesu.
"Bukannya aku tidak senang bertemu kau," kata Harry cepat-cepat, "tetapi, eh, apakah ada alasan khu-sus kenapa kau di sini?"
"Oh ya, Sir," kata Dobby bersemangat. "Dobby da-tang untuk memberitahu Anda, Sir... susah, Sir... enaknya Dobby mulai dari mana, ya..."
"Silakan duduk," kata Harry sopan, menunjuk tem-pat tidurnya.
Betapa kagetnya dia, air mata si peri langsung bercucuran—dia tersedu-sedu.
"S-silakan duduk!" dia meraung. "Belum pernah... sekali pun belum pernah..."
Harry mendengar suara-suara di bawah terhenti.
"Maaf," dia berbisik. "Aku tak bermaksud menghina-mu."
"Menghina Dobby!" si peri tersedak. "Belum pernah Dobby dipersilakan duduk oleh seorang penyihir— seakan kita sederajat..."
Harry, berusaha berkata "Shh!" dan sekaligus kelihatan lega, mengantar Dobby kembali ke tempat tidurnya. Dobby duduk di situ, cegukan, tampak seperti boneka besar yang jelek sekali. Akhirnya dia berhasil menguasai diri. Mata besarnya yang masih berair menatap Harry penuh pemujaan.
"Pasti kau belum banyak bertemu penyihir yang sopan,"
kata Harry, berusaha menghiburnya.
Dobby menggeleng. Kemudian, mendadak saja, dia melompat dan mulai membentur-benturkan kepalanya keras- keras ke jendela, seraya berteriak-teriak, "Dobby jelek! Dobby jelek!"
"Jangan—kau kenapa?" desis Harry, melompat bangun dan menarik Dobby kembali ke tempat tidur.
Hedwig terbangun sambil memekik luar biasa keras dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan liar ke jeruji sangkarnya.
"Dobby harus menghukum diri sendiri, Sir," kata si -peri yang matanya jadi agak juling. "Dobby hampir saja menjelek- jelekkan keluarga Dobby, Sir...."
"Keluargamu?"
"Keluarga penyihir tempat Dobby mengabdi, Sir... Dobby kan peri-rumah—terikat untuk mengabdi dan melayani satu rumah dan satu keluarga selamanya...."
"Apa mereka tahu kau di sini?" tanya Harry ingin tahu. Dobby bergidik.
"Oh, tidak, Sir, tidak... Dobby nantinya harus meng-hukum diri dengan sangat menyedihkan karena da-tang menemui Anda, Sir. Dobby harus menjepit telinganya di pintu oven. Kalau sampai mereka tahu, Sir..."
"Tapi apa mereka tidak akan melihat kalau kau menjepit telingamu di pintu oven?"
"Dobby meragukannya, Sir. Dobby selalu harus menghukum diri karena sesuatu, Sir. Mereka membiar-kan saja Dobby begitu, Sir. Kadang-kadang mereka malah mengingatkan Dobby untuk melakukan hu-kuman tambahan..."
"Tetapi kenapa kau tidak pergi saja? Maksudku, kabur?"
"Peri-rumah harus dibebaskan, Sir. Dan keluarga itu tidak akan pernah membebaskan Dobby... Dobby akan melayani keluarga itu sampai mati, Sir..."
Harry terbelalak.
"Dan kukira keadaanku sudah parah sekali karena harus tinggal di sini sebulan lagi," katanya. "Ceritamu membuat keluarga Dursley nyaris manusiawi. Apakah ada yang bisa membantumu? Bisakah aku membantu-mu?"
Langsung saja Harry menyesal bicara begitu. Dobby tersedu-sedu lagi saking berterima kasihnya.
"Diamlah," bisik Harry panik, "diamlah. Kalau ke-luarga Dursley sampai dengar, kalau mereka tahu kau di sini..."
"Harry Potter bertanya apakah dia bisa membantu Dobby... Dobby sudah mendengar kehebatan Anda, Sir, tapi tentang kebaikan Anda, Dobby tak pernah tahu..."
Harry, yang wajahnya terasa panas, berkata, "Apa pun yang kaudengar tentang kehebatanku adalah omong kosong besar. Aku bahkan bukan juara di antara teman-teman seangkatanku. Juaranya Hermione, dia..."
Tetapi Harry mendadak berhenti, karena memikirkan Hermione terasa menyakitkan.
"Harry Potter rendah hati dan sederhana," kata Dobby penuh kekaguman, matanya yang seperti bola berbinar-binar.
"Harry Potter tidak menyebut-nyebut kemenangannya atas Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut."
"Voldemort?" kata Harry.
Dobby menutup telinga kelelawarnya dan menge-rang. "Ah, jangan sebut namanya, Sir! Jangan sebut namanya!"
"Sori," kata Harry cepat-cepat. "Aku tahu banyak orang tidak menyukainya. Temanku Ron..." Dia berhenti lagi. Memikirkan Ron juga menyakit-kan. Dobby membungkuk ke arah Harry, matanya se-besar lampu sorot.
"Dobby mendengar cerita," katanya serak, "bahwa Harry Potter bertemu si Pangeran Kegelapan itu untuk kedua kalinya, baru beberapa minggu lalu... bahwa Harry Potter sekali lagi berhasil lolos."
Harry mengangguk dan mata Dobby mendadak berkilau oleh air mata.
"Ah, Sir," isaknya, mengusap wajahnya dengan salah satu ujung sarung bantal butut yang dipakainya. "Harry Potter sungguh gagah berani! Dia sudah meng-hadapi banyak bahaya! Tetapi Dobby datang untuk melindungi Harry Potter, untuk memperingatkannya, meskipun karena itu Dobby harus menjepit telinganya di pintu oven nanti... Harry Potter tidak boleh kembali ke Hogwarts."
Kesunyian yang menyusul hanya dipecahkan oleh dentang- denting garpu dan pisau dari bawah dan sayup-sayUp suara Paman Vernon di keja'uhan.
"A-apa?" Harry tergagap. "Tapi aku harus kembali— sekolah mulai tanggal satu September. Itu saja yang membuatku masih di sini. Kau tak tahu bagaimana rasanya di sini. Aku tidak, termasuk salah satu dari mereka. Aku lebih cocok di duniamu—di Hogwarts."
"Tidak, tidak, tidak," lengking Dobby, menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras sampai telinganya menampar-nampar. "Harry Potter harus tinggal di tem-pat di mana dia aman. Dia terlalu hebat, terlalu baik, sayang kalau kami sampai kehilangan dia. Kalau Harry Potter kembali ke Hogwarts, nyawanya dalam bahaya."
"Kenapa?" tanya Harry kaget.
"Ada rencana rahasia, Harry Potter. Rencana untuk membuat hal-hal yang paling mengerikan terjadi di Sekolah Sihir Hogwarts tahun ini," bisik Dobby, menda-dak seluruh tubuhnya gemetaran. "Dobby sudah tahu selama berbulan- bulan, Sir. Harry Potter tidak boleh membahayakan dirinya. Dia terlalu penting, Sir!"
"Hal mengerikan apa?" tanya Harry segera. "Siapa yang merencanakannya?"
Dobby membuat suara tersedak aneh dan kemudian membentur-benturkan kepalanya dengan liar ke din-ding.
"Baiklah!" seru Harry, menyambar lengan si peri untuk menghentikan perbuatannya. "Kau tak bisa me-ngatakannya, aku mengerti. Tetapi kenapa kau mem-peringatkan aku?" Pikiran tak enak mendadak melintas di benaknya. "Tunggu— ini tidak ada hubungannya dengan Vol—sori—dengan Kau- Tahu-Siapa, kan? Kau tinggal menggeleng atau mengangguk," cepat-cepat Harry menambahkan ketika, dengan mengkha-watirkan, kepala Dobby sudah mengarah lagi ke dinding.
Perlahan-lahan, Dobby menggelengkan kepala. "Bukan—
bukan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut, Sir."
Tetapi mata Dobby melebar dan dia kelihatannya mencoba memberi Harry petunjuk. Meskipun demi-kian, Harry sama sekali tidak paham.
"Dia tidak punya adik laki-laki, kan?" Dobby menggeleng, matanya menjadi lebih lebar dari sebelumnya.
"Yah, kalau begitu, aku tak bisa memikirkan siapa lagi yang punya kesempatan untuk melakukan hal-hal mengerikan di Hogwarts," kata Harry. "Maksudku, paling tidak di sana ada Dumbledore—kau tahu siapa Dumbledore, kan?"
Dobby menundukkan kepala.
"Albus Dumbledore adalah kepala sekolah terhebat yang pernah dimiliki Hogwarts. Dobby tahu itu, Sir. Dobby sudah mendengar kehebatan Dumbledore me-nyaingi kehebatan Dia yang Namanya Tak Boleh Di-sebut pada puncak kekuasaannya. Tetapi, Sir," suara Dobby merendah menjadi bisikan mendesak, "ada kekuasaan-kekuasaan yang Dumbledore tidak... ke-kuasaan yang penyihir baik tidak..."
Dan sebelum Harry bisa mencegahnya, Dobby me-lompat turun dari tempat tidur, menyambar lampu meja Harry dan mulai memukuli kepalanya dengan jeritan-jeritan memekakkan telinga.
Di bawah mendadak sunyi. Dua menit kemudian, dengan jantung berdegup liar, Harry mendengar Paman Vernon masuk, seraya berkata, "Dudley pasti lupa mematikan televisinya. Dasar ceroboh anak itu!"
"Cepat! Masuk lemari pakaian!" desis Harry, men-dorong Dobby masuk, menutup pintu lemari, dan melempar dirinya ke atas tempat tidur tepat ketika pegangan pintu bergerak.
"Setan! Kau-ini-ngapain-sih?" kata Paman Vernon dengan gigi mengertak, wajahnya sangat dekat ke wajah Harry. "Kau baru saja membuat berantakan leluconku tentang pemain golf Jepang... kalau bikin suara sekali lagi, kau akan menyesal telah dilahir-kan!"
Paman Vernon meninggalkan kamar dengan mengentakkan kakinya. Gemetaran, Harry mengeluarkan Dobby dari lemari pakaian.
"Tahu, kan, bagaimana di sini?" katanya. "Paham, kan, kenapa aku harus kembali ke Hogwarts? Hogwarts satu- satunya tempat di mana aku punya— yah, kupikir aku punya teman."
"Teman yang bahkan menulis surat pun tidak kepada Harry Potter?" kata Dobby licik.
"Kurasa mereka—tunggu," kata Harry, keningnya berkerut.
"Bagaimana kau tahu teman-temanku tidak menulis kepadaku?"
Dobby menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah.
"Harry Potter tidak boleh marah kepada Dobby— Dobby melakukannya demi kebaikan..."
"Apakah kau yang mengambil surat-suratku?"
"Dobby membawanya, Sir," kata si peri. Dengan gesit ia menjauh dari jangkauan Harry, lalu menarik keluar setumpuk tebal amplop dari dalam sarung bantal yang dipakainya. Harry bisa mengenali tulisan Hermione yang rapi, tulisan cakar ayam Ron yang berantakan, dan bahkan coretan yang kelihatannya dikirim oleh si pengawas binatang liar Hogwarts, Hagrid.
Dobby menatap Harry dengan cemas.
"Harry Potter tidak boleh marah... Dobby ber-harap... kalau Harry Potter mengira teman-temannya melupakannya... Harry Potter mungkin tidak ingin kembali ke sekolah, Sir..."
Harry tidak mendengarkan. Dia berusaha merebut surat- surat itu, tetapi Dobby melompat menjauh.
"Ini akan diberikan kepada Harry Potter, Sir, kalau dia berjanji kepada Dobby bahwa dia tidak akan kembali ke Hogwarts. Ah, Sir, ini bahaya yang tak boleh Anda hadapi! Katakan Anda tidak akan kembali, Sir!"
"Tidak," kata Harry marah. "Kembalikan surat teman- temanku!"
"Kalau begitu Harry Potter tidak memberikan pilihan lain kepada Dobby," kata si peri sedih.
Sebelum Harry bisa bergerak, Dobby sudah melesat ke pintu kamar, membukanya—dan melompat turun.
Dengan mulut kering, jantung berdegup kencang, Harry melompat mengejarnya, berusaha tidak mem-buat suara. Dia melompati enam anak tangga terakhir, mendarat seperti kucing di atas karpet, celinguk.in mencari Dobby. Dari ruang makan didengarnya Paman Vernon berkata, "...ceritakan kepada Petunia cerita lucu tentang tukang ledeng Amerika itu, Mr Mason, dia sudah ingin sekali dengar..."
Harry berlari ke dapur dan hatinya mencelos.
Puding mahakarya Bibi Petunia, gundukan krim dan gula itu, sekarang melayang dekat langit-langit. Di atas lemari di sudut, Dobby meringkuk.
"Jangan," kata Harry serak. "Tolong, jangan... me-reka akan membunuhku..." "Harry Potter harus bilang dia tidak akan kembali ke sekolah..."
"Dobby... tolong..."
"Katakan, Sir..."
"Tidak bisa!"
Dobby memandangnya sedih.
"Kalau begitu Dobby terpaksa melakukannya, Sir, untuk kebaikan Harry Potter sendiri."
Puding itu terjatuh ke lantai dengan bunyi me-mekakkan. Krim memercik ke jendela dan dinding, sementara piringnya pecah. Diiringi bunyi seperti lecutan cemeti, Dobby menghilang.
Terdengar jeritan dari ruang makan dan Paman Vernon berlari ke dapur, menemukan Harry, berdiri kaku saking kagetnya—dari kepala sampai kaki belumur puding Bibi Petunia.
Awalnya, kelihatannya Paman Vernon akan bisa me-nutupi kejadian itn ("cuma keponakan kami—sangat bingung— bertemu orang asing membuatnya cemas, maka kami minta dia tinggal saja di atas..."). Paman Vernon meminta suami-istri Mason yang shock kembali ke ruang makan. Lalu ia mengancam akan menghajar Harry sampai nyawanya tinggal seujung rambut se-telah tamunya pulang nanti. Diberinya Harry alat pel. Bibi Petunia mengambil es krim dari lemari es dan Harry, masih gemetaran, mulai membersihkan dapur.
Paman Vernon mungkin masih akan bisa me-nyelesaikan transaksinya—kalau bukan gara-gara si burung hantu.
Bibi Petunia sedang mengedarkan kotak permen pedas untuk sehabis makan .ketika seekor burung hantu serak melesat masuk lewat jendela ruang ma-kan, menjatuhkan sepucuk surat ke atas kepala Mrs Mason, dan melesat keluar lagi. Mrs Mason menjerit seakan melihat hantu dan berlari keluar rumah, ber-teriak-teriak menuduh mereka gila. Sebelum bergegas menyusul istrinya, Mr Mason masih sempat memberi-tahu keluarga Dursley bahwa istrinya takut setengah mati pada segala macam burung dan bertanya apakah begini cara mereka bergurau.
Harry berdiri di dapur, mencengkeram gagang pel untuk menopangnya ketika Paman Vernon men-dekatinya, matanya yang kecil berkilat licik.
"Baca ini!" desisnya galak, seraya mengacung-acung-kan surat yang dibawa burung hantu tadi. "Ayo— baca!"
Harry mengambilnya. Surat itu tidak berisi ucapan selamat ulang tahun.
Mr Potter yang terhormat,
Kami baru saja menerima laporan mata-mata bahwa Mantra Melayang baru saja digunakan di tempat tinggal Anda malam ini pada pukul sembilan lewat dua belas menit.
Seperti Anda ketahui, penyihir di bawah-umur tidak diperkenankan menggunakan sihir di luar sekolah, dan jika Anda menggunakan sihir lagi, Anda bisa dikeluar-kan dari sekolah (Dekrit Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah-Umur, 1875, Paragraf C).
Kami juga meminta Anda mengingat bahwa kegiatan sihir apa pun yang berisiko menarik perhatian anggota komunitas non-sihir (Muggle) adalah pelanggaran serius, sesuai peraturan ke-13 Konfederasi Internasional Undang-undang Kerahasiaan Sihir.
Selamat menikmati liburan!
Hormat kami, Mafalda Hopkirk Departemen Penggunaan Sihir yang Tidak Pada Tempatnya Kementerian Sihir
Harry mendongak dari suratnya dan menelan ludah.
"Kau tidak memberitahu kami kau tidak diizinkan menggunakan sihir di luar sekolah," kata Paman Vernon, kilatan liar menari-nari di matanya. "Lupa... tidak ingat sama sekali, pasti begitu alasanmu..."
Dia menghadapi Harry seperti anjing buldog besar, dengan mulut menyeringai. "Yah, aku punya kabar untukmu... aku akan mengurungmu... kau tak akan pernah kembali ke sekolah itu... tak pernah... dan kalau kau mencoba menyihir dirimu lepas dari ku-rungan—mereka akan mengeluarkanmu!"
Dan sambil tertawa seperti orang gila, dia menyeret Harry kembali ke atas.
Paman Vernon membuktikan kekejaman icata-kata-nya. Esok paginya, dia membayar orang untuk me-masang jeruji pada jendela Harry. Dia sendiri me-masang pintu-kucing di pintu kamar, supaya sedikit makanan bisa didorong masuk tiga kali sehari. Mereka mengeluarkan Harry untuk ke kamar mandi sehari dua kali, pagi dan sore. Selain waktu itu, dia dikurung di kamarnya sepanjang waktu.
Tiga hari kemudian, keluarga Dursley belum me-nampakkan tanda-tanda berbelas kasihan dan Harry tidak melihat jalan keluar dari keadaannya itu. Dia berbaring di tempat tidurnya, memandang matahari terbenam di balik jeruji jendelanya, dan sedih sekali memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
Apa gunanya menyihir dirinya keluar dari kamarnya kalau, gara-gara itu, Hogwarts akan mengeluarkannya? Tapi hidup di Privet Drive tak tertahankan lagi. Seka-rang setelah keluarga Dursley tahu mereka tidak akan terbangun sebagai kelelawar pemakan buah, dia telah kehilangan satu-satunya senjata. Dobby mungkin telah menyelamatkan Harry dari bencana mengerikan di Hogwarts, tetapi melihat keadaannya ini, dia toh mungkin akan mati kelaparan juga.
Pintu-kucing berderik dan tangan Bibi Petunia mun-cul, mendorong semangkuk sup kaleng ke dalam ka-mar. Harry, yang perutnya melilit kelaparan, melompat dari tempat tidurnya dan menyambarnya. Sup itu dingin, tetapi dia meminum separonya sekali teguk. Kemudian dia menyeberang kamar menuju sangkar Hedwig, dan menuang sayur yang sudah lembek di dasar mangkuk itu ke piring kosong Hedwig.
Hedwig menyisiri bulunya dan melempar pandangan jijik ke arah Harry "Tak ada gunanya menolak makan, cuma ini yang kita punya," kata Harry muram.
Ditaruhnya mangkuk kosong itu di lantai di sebelah pintu- kucing, lalu dia kembali berbaring di tempat tidurnya, malah merasa lebih lapar daripada sebelum makan sup tadi.
Seandainya dia masih hidup sebulan lagi, apa yang akan terjadi jika dia tidak muncul di Hogwarts? Akan-kah seseorang dikirim untuk mencari tahu kenapa dia tidak kembali? Apakah mereka akan berhasil mem-buat keluarga Dursley mengizinkannya pergi?
Ruangan mulai gelap. Kelelahan, perutnya keron-congan, otaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan sama yang tak bisa dijawab, Harry tertidur. Tidurnya gelisah.
Dia bermimpi dijadikan tontonan di kebun binatang, dengan kartu bertulisan "Penyihir di Bawah Umur" menempel di kandangnya. Orang-orang memandang ingin tahu kepadanya lewat jeruji, sementara dia ter-baring, kelaparan dan lemah, di atas tempal tidur jerami. Dilihatnya wajah Dobby di tengah kerumunan dan dia berteriak, minta bantuan, tetapi Dobby ber-seru, "Harry Potter aman di situ, Sir!" lalu lenyap. Kemudian keluarga Dursley muncul dan Dudley men-derak- derakkan jeruji kandang, menertawakannya.
"Hentikan!" gumam Harry, ketika derak jeruji itu membuat kepalanya berdenyut sakit. "Jangan gauggu aku... hentikan... aku sedang mencoba tidur...."
Harry membuka matanya. Cahaya bulan menerobos masuk lewat jeruji jendela. Dan memang ada orang yang memandang ingin tahu lewat jeruji jendela: anak yang wajahnya berbintik-bintik, berambut merah, dan berhidung panjang. Ron Weasley ada di luar jendela Harry.

3. The Burrow


"RON!" desah Harry, merayap ke jendela dan men-dorongnya ke atas, agar mereka bisa bicara lewat jeruji.
"Ron, bagaimana kau—apa i...?"
Harry ternganga ketika sadar sepenuhnya apa yang dilihatnya. Ron menjulurkan tubuhnya dari jendela belakang mobil tua berwarna hijau toska, yang di-parkir di tengah udara. Fred dan George, kakak kembar-nya, nyengir kepada Harry dari tempat duduk depan.
"Baik-baik saja, Harry?"
"Apa yang terjadi?" tanya Ron. "Kenapa kau tidak membalas surat-suratku? Sudah dua belas kali kuminta kau datang, kemudian Dad pulang dan bilang kau mendapat peringatan resmi gara-gara menggunakan sihir di depan Muggle..."
"Bukan aku—dan bagaimana dia tahu?"
"Dia kerja di Kementerian Sihir," kata Ron. "Kau kan tahu kita dilarang menggunakan sihir di luar sekolah..."
"Aneh juga kau ngomong begitu,". kata Harry, me-mandang mobil yang melayang itu.
"Oh, ini tidak masuk hitungan," kata Ron. "Kami cuma pinjam. Ini punya Dad, bukan kami yang me-nyihirnya. Tetapi menyihir di depan Muggle, di tempat kau tinggal..."
"Sudah kubilang itu bukan aku—tapi perlu waktu lama untuk menjelaskannya sekarang. Bisakah kau-katakan kepada mereka di Hogwarts bahwa keluarga Dursley mengurungku dan tidak mengizinkanku kem-bali, dan jelas aku tidak bisa menyihir diriku keluar kamar, karena Kementerian Sihir nanti mengira itu kedua kalinya aku menyihir dalam waktu tiga hari, jadi..."
"Berhenti ngoceh," kata Ron. "Kami datang untuk membawamu pulang bersama kami."
"Tapi kalian juga tidak bisa menyihirku bebas..."
"Tidak perlu," kata Ron, mengedikkan kepalanya ke arah tempat duduk depan sambil menyeringai. "Kau lupa siapa yang bersamaku." "Ikat ini di sekeliling jeruji-jeruji itu," kata Fred, melempar ujung seuntai tambang kepada Harry.
"Kalau keluarga Dursley bangun, mati aku," kata Harry, ketika dia mengikatkan tambang erat-erat ke satu jeruji sementara Fred menekan pedal gas kuat-kuat.
"Jangan khawatir," kata Fred. "Sekarang kau mundur." Harry mundur ke tempat remang-remang di sebelah Hedwig. Hedwig rupanya menyadari betapa penting-nya kejadian ini sehingga dia diam tak bersuara. Derum mobil semakin keras, dan mendadak, dengan bunyi berkelontangan, jeruji-jeruji itu berhasil dicabut dari jendela sewaktu Fred meluncurkan mobil ke atas—Harry berlari kembali ke jendela dan melihat jeruji itu bergelantungan kira-kira semeter dari tanah. Terengah-engah, Ron menariknya ke dalam mobil.
Harry mendengarkan dengan cemas, tetapi tak ter-dengar suara dari kamar tidur keluarga Dursley.
Ketika jeruji sudah aman di tempat duduk belakang bersama Ron, Fred memundurkan mobil sedekat mungkin ke jendela Harry.
"Masuk," kata Ron.
"Tetapi semua keperluan Hogwarts-ku... tongkat-ku... sapuku..." "Di mana?" "Dikunci di lemari di bawah tangga, dan aku tidak bisa keluar dari kamar ini..." "Tak jadi soal," kata George dari tempat duduk depan. "Minggir, Harry."
Fred dan George memanjat hati-hati lewat jendela, masuk ke kamar Harry. Harry kagum sekali melihat George mengeluarkan jepit rambut biasa dari sakunya dan mulai mengotak-atik kunci pintu.
"Banyak penyihir menganggap mempelajari trik Muggle semacam ini buang-buang waktu," kata Fred, "tapi menurut kami ini kecakapan yang layak di-pelajari, walaupun agak lambat."
Terdengar bunyi klik pelan dan pintu terbuka.
"Nah—kami akan mengambil kopermu. Ambil apa saja yang kauperlukan dari kamarmu dan ulurkan pada Ron," bisik George.
"Awas, anak tangga yang paling bawah berderit,"
Harry balik berbisik, ketika si kembar menghilang di puncak tangga yang gelap.
Harry bergerak gesit di kamarnya, mengumpulkan barang- barangnya dan menyerahkannya kepada Ron.
Kemudian dia membantu Fred dan George meng-gotong kopernya ke atas. Harry mendengar Paman Vernon terbatuk.
Akhirnya, terengah-engah, mereka tiba di puncak tangga, lalu membawa koper itu ke jendela kamar. Fred memanjat kembali ke dalam mobil untuk menarik koper bersama Ron, sementara Harry dan George mendorong dari kamar. Senti demi senti koper itu bergerak melewati jendela.
Paman Vernon terbatuk lagi. "Sedikit lagi," sengal Fred, yang menarik dari dalam mobil. "Dorong keras-keras...."
Harry dan George mendorong koper itu dengan bahu dan koper itu pun meluncur dari jendela ke .tempat duduk belakang mobil.
"Oke, kita berangkat," bisik George.
Tetapi ketika Harry memanjat ambang jendela, ter-dengar jerit nyaring di belakangnya, diikuti gelegar suara Paman Vernon.
"BURUNG HANTU SIALAN!"
"Aku lupa Hedwig!"
Harry berlari kembali ke seberang kamar ketika lampu di atas tangga loteng menyala. Dia menyambar sangkar Hedwig, berlari ke jendela, dan menyerahkan-nya kepada Ron. Dia sedang memanjat lemari lacinya ketika Paman Vernon menggedor pintu yang sudah tak terkunci—dan pintu berdebam terbuka.
Sedetik Paman Vernon berdiri terpaku di depan pintu, kemudian dia melenguh seperti banteng terluka dan melesat mengejar Harry, menyambar pergelangan kakinya.
Ron, Fred, dan George meraih lengan Harry dan menarik sekuat tenaga. "Petunia!" raung Paman Vernon. "Dia kabur! DIA KABUR!"
Weasley bersaudara menyentak keras sekali dan kaki Harry terlepas dari cengkeraman Paman Vernon. Begitu Harry sudah di dalam mobil dan membanting pintunya menutup, Ron berteriak, "Tancap, Fred!" dan mobil itu tiba-tiba saja meluncur menuju bulan.
Harry tak bisa mempercayainya—dia bebas. Dia menurunkan kaca jendela mobil, angin malam me-ngibarkan rambutnya. Dia memandang atap rumah-rumah di Privet Drive yang semakin menjauh. Paman Vernon, Bibi Petunia, dan Dudley, ketiganya menatap terpana dari jendela kamar Harry.
"Sampai musim panas tahun depan!" seru Harry. Weasley bersaudara terbahak dan Harry bersandar kembali ke tempat duduknya, nyengir lebar sekali.
"Keluarkan Hedwig," katanya kepada Ron. "Dia bisa terbang mengikuti kita. Sudah lama sekali dia tak punya kesempatan merentangkan sayapnya."
George menyerahkan jepit rambut kepada Ron dan sesaat kemudian Hedwig sudah meluncur riang gem-bira dari jendela mobil, lalu melayang-layang meng-ikuti mereka seperti hantu.
"Jadi—bagaimana ceritanya, Harry?" kata Ron tak sabar.
"Apa yang terjadi?"
Harry menceritakan kepada mereka semua tentang Dobby, peringatan yang diberikannya kepada Harry, dan musibah puding violet. Terjadi kesunyian yang panjang setelah Harry mengakhiri ceritanya. Mereka kaget.
"Sangat mencurigakan," kata Fred akhirnya.
"Jelas mengada-ada," George menyetujui. "Jadi dia bahkan tidak mau memberitahu siapa yang me-rencanakan semua ini?"
"Kurasa dia tak bisa," kata Harry. "Sudah kukatakan, setiap kali nyaris buka rahasia, dia langsung mem-bentur-benturkan kepalanya ke dinding."
Harry melihat Fred dan George berpandangan.
"Kalian mengira dia bohong kepadaku?" kata Harry.
"Yah," kata Fred, "coba pikirkan—peri-rumah punya kekuatan gaib sendiri, tetapi mereka biasanya tidak bisa menggunakannya tanpa izin tuan mereka. Kurasa si Dobby itu sengaja dikirim untuk mencegahmu kem-bali ke Hogwarts. Ada yang mau mempermainkanmu. Apa di sekolah ada yang dendam padamu?"
"Ada," Harry dan Ron langsung menjawab ber-samaan.
"Draco Malfoy," Harry menjelaskan.
"Dia membenci-ku."
"Draco Malfoy?" kata George, menoleh.
"Bukan anak Lucius Malfoy, kan?"
"Mestinya. Itu bukan nama yang sangat umum, kan?" kata Harry.
"Kenapa?"
"Aku dengar Dad bicara tentang dia," kata George. "Dia pendukung besar Kau-Tahu-Siapa."
"Dan waktu Kau-Tahu-Siapa menghilang," kata Fred, menoleh memandang Harry, "Lucius Malfoy kembali, katanya dia tidak bermaksud melakukan semua itu. Omong kosong— Dad berpendapat dia orang dekat Kau-Tahu-Siapa."
Harry tak pernah mendengar desas-desus tentang keluarga Malfoy sebelumnya, dan ini sama sekali tidak mengejutkannya. Kalau dibandingkan dengan Malfoy, Dudley Dursley tampak seperti anak yang baik, bijak-sana, dan penuh perasaan.
"Aku tak tahu apakah keluarga Malfoy punya peri-rumah...," kata Harry. "Siapa pun pemiliknya, tentulah keluarga penyihir yang sudah turun-temurun dan kaya raya," kata Fred.
"Yeah, Mum ingin sekali kami punya peri-rumah untuk menyetrika," kata George. "Tapi yang kami punya hanyalah hantu konyol di loteng dan jembalang yang berkeliaran di kebun. Peri-rumah adanya di rumah-rumah besar, kastil, dan tempat-tempat seperti itu. Kau tak akan menemukannya di rumah kami...."
Harry diam. Melihat fakta bahwa Draco Malfoy biasanya memiliki segala sesuatu yang paling baik, keluarganya pastilah bergelimang uang sihir. Dia bisa membayangkan Malfoy berkeliaran di rumah besar. Mengirim pelayan rumah untuk mencegah Harry kem-bali ke Hogwarts kelihatannya juga jenis hal yang akan dilakukan Malfoy. Bodohkah Harry menanggapi Dobby secara serius?
"Tapi aku senang kami datang mengambilmu," kata Ron.
"Aku cemas sekali ketika kau tidak membalas satu pun suratku. Mulanya kukira Errol yang salah..."
"Siapa Errol?"
"Burung hantu kami. Dia sudah tua sekali. Bukan untuk pertama kalinya dia pingsan waktu mengantar surat. Jadi kemudian kucoba meminjam Hermes..."
"Siapa?"
"Burung hantu yang Mum dan Dad belikan untuk Percy ketika dia diangkat jadi Prefek," kata Fred dari tempat duduk depan.
"Tapi Percy tak mau meminjamkannya padaku," kata Ron.
"Katanya dia sendiri memerlukannya."
"Tingkah Percy aneh sekali sepanjang musim panas ini," kata George, dahinya berkerut. "Dia mengirim banyak surat dan melewatkan banyak waktu mengu-rung diri dalam kamarnya... Maksudku, berapa kali sih kita perlu menggosok lencana Prefek? Kau menyetir terlalu ke barat, Fred," katanya menambahkan, me-nunjuk kompas di dasbor. Fred memutar roda kemudi.
"Apakah ayah kalian tahu kalian membawa mobil ini?"
tanya Harry, sudah menduga jawabannya.
"Eh, tidak," kata Ron, "dia harus bekerja malam ini. Mudah- mudahan kita bisa mengembalikannya ke garasi sebelum Mum menyadari kita menerbang-kannya."
"Apa sih pekerjaan ayah kalian di Kementerian Sihir?"
"Dia bekerja di departemen paling membosankan," kata Ron. "Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle."
"Apa?"
"Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan menyihir barang-barang buatan Muggle. Soalnya siapa tahu barang itu nantinya kembali ke toko atau rumah Muggle. Seperti tahun lalu, ada penyihir tua wanita meninggal dan peralatan minum tehnya dijual ke toko barang antik. Ada Muggle perempuan yang mem-belinya, membawanya pulang, dan menjamu teman-nya dengan peralatan ini. Benar-benar kacau-balau— selama berminggu-minggu Dad harus kerja lembur."
"Apa yang terjadi?"
"Teko tehnya ngamuk dan menyemburkan teh men-didih ke seluruh ruangan, dan seorang laki-laki harus dibawa ke rumah sakit dengan penjepit gula menjepit hidungnya. Dad panik. Cuma ada dia dan satu pe-nyihir tua bernama Perkins di kantor. Mereka harus menggunakan Jimat Memori dan segala macam man-tra lainnya untuk menutupi peristiwa ini..."
"Tetapi ayahmu... mobil ini..."
Fred tertawa. "Yeah, Dad tergila-gila pada segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Muggle. Gu-dang kami penuh dengan barang-barang Muggle. Dia membongkarnya, memantrainya, dan merakitnya kem-bali. Kalau dia merazia rumah kami sendiri, dia pasti harus langsung menangkap dirinya sendiri. Mum sam-pai kesal."
"Itu jalan utamanya," kata George menyipitkan mata, memandang ke bawah melalui kaca depan. "Sepuluh menit lagi kita sampai... untunglah, sudah mulai terang...."
Semburat pucat kemerahan sudah mulai tampak di ufuk timur.
Fred menurunkan mobilnya dan Harry melihat petak-petak ladang dan gerumbul-gerumbul pohon yang gelap.
"Kita sudah hampir sampai di tepi desa," kata George.
"Ottery St Catchpole..."
Mobil terbang itu semakin lama semakin rendah. Tepi lingkaran matahari yang merah jingga sekarang berkilau di antara pepohonan.
"Pendaratan!" kata Fred, ketika dengan entakan kecil mereka menyentuh tanah. Mereka mendarat di sebelah garasi yang hampir roboh di halaman kecil itu, dan Harry untuk pertama kalinya melihat rumah Ron.
Tampaknya dulunya rumah ini kandang babi besar, tetapi kamar-kamar ekstra sudah ditambahkan di sana-sini sampai rumah ini menjadi beberapa tingkat dan miring sekali, sehingga seolah rumah ini masih ber-tahan berdiri karena disihir (yang, Harry mengingat-kan dirinya, mungkin memang benar). Empat atau lima cerobong asap bertengger di atas atap merahnya. Papan miring yang ditancapkan di tanah dekat pintu masuk bertulisan "The Burrow"—Liang. Di sekeliling pintu depan bertebaran sepatu bot dan kuali yang sudah sangat berkarat. Beberapa ayam cokelat gemuk sedang mematuk-matuk di halaman.
"Tidak seberapa," kata Ron.
"Ini hebat," kata Harry riang, teringat Privet Drive.
Mereka turun dari mobil.
"Nah, kita ke atas diam-diam," kata Fred, "dan tunggu sampai Mum memanggil kita untuk sarapan. Kemudian, Ron, kau turun sambil bilang, 'Mum, coba lihat siapa yang muncul semalam!' Mum akan senang sekali melihat Harry, dan tak seorang pun perlu tahu kita menerbangkan mobil."
"Betul," kata Ron. "Ayo, Harry, aku tidur di..."
Wajah Ron berubah pucat, matanya terpaku ke rumah. Yang lain segera berbalik.
Mrs Weasley berjalan tegap menyeberangi halaman, membuat ayam-ayam menyebar. Untuk wanita pen-dek, gemuk, berwajah ramah, mengherankan sekali betapa miripnya dia dengan harimau bergigi pedang sekarang.
"Ah," kata Fred.
"Oh," kata George.
Mrs Weasley berhenti di depan mereka, tangannya di pinggul, memandang bergantian wajah-wajah ber-salah itu. Dia memakai celemek berbunga-bunga de-ngan tongkat mencuat keluar dari sakunya.
"Jadi," katanya. "Pagi, Mum," kata George, dengan suara yang di-anggapnya riang membujuk. "Tahukah kalian betapa cemasnya aku?" kata Mrs Weasley dalam bisikan maut.
"Maaf, Mum, tapi soalnya, kami harus..."
Ketiga anak Mrs Weasley lebih tinggi daripadanya, tetapi mereka mengerut ketika kemarahannya meledak.
"Tempat tidur kosong! Tak ada pesan! Mobil lenyap... bisa tabrakan... gila rasanya aku saking cemasnya... apa kalian pedulil... belum pernah, seumur hidupku... tunggu sampai ayah kalian pulang, kami tak pernah dapat kesulitan begini dari Bill atau Charlie atau Percy..."
"Prefek Percy yang sempurna," gumam Fred.
"KAU SEHARUSNYA MENCONTOH PERCY!" teriak Mrs Weasley, menusukkan jari ke dada Fred. "Kau bisa mati, kau bisa kelihatan, kau bisa membuat ayahmu kehilangan pekerjaannya..."
Kemarahan Mrs Weasley rasanya berlangsung ber-jam-jam. Dia berteriak-teriak sampai serak, sebelum menoleh pada Harry, yang mundur menjauh.
"Aku senang sekali bertemu kau, Nak," katanya.
"Mari masuk dan sarapan."
Mrs Weasley berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah, sedangkan Harry—setelah dengan gugup me-lirik Ron, yang mengangguk membesarkan hatinya— mengikutinya.
Dapurnya kecil dan agak penuh sesak. Ada meja kayu dan kursi-kursi di tengahnya dan Harry duduk di tepi tempat duduknya, memandang berkeliling. Dia belum pernah berada dalam rumah penyihir.
Jam di dinding di depannya cuma punya satu jarum dan sama sekali tak ada angkanya. Mengitari tepinya ada tulisan- tulisan seperti "Waktu membuat teh", "Waktu memberi makan ayam-ayam", dan "Kau terlambat". Buku-buku ditumpuk tiga- tiga di atas rak perapian, buku-buku dengan judul seperti Sihir Sendiri Kejumu, Jampi-jampi dalam Memanggang, dan Sajian dalam Semenit—Sungguh Ajaib! Dan kecuali telinga Harry mengelabuinya, radio tua di sebelah tempat cuci piring baru saja mengumumkan bahwa acara berikutnya adalah "Jam Sihir, dengan penyanyi pe-nyihir wanita terkenal, Celestina Warbeck."
Mrs Weasley mondar-mandir dengan berisik, me-nyiapkan sarapan dengan agak serampangan, meman-dang sebal anak- anaknya sementara dia melemparkan sosis ke dalam wajan. Sekali-sekali dia menggumam-kan kalimat seperti, "Tak tahu apa yang ada di pikiran kalian," dan "Tak akan pernah mempercayainya."
"Aku tidak menyalahkanmu, Nak," katanya meyakin-kan Harry, menuang delapan atau sembilan sosis ke dalam piringnya. "Arthur dan aku mencemaskanmu juga. Baru semalam kami katakan kami sendiri akan da tang menjemputmu kalau sampai hari Jumat kau tidak membalas surat Ron. Tapi sungguh kelewatan," (sekarang dia menambahkan tiga telur goreng ke piling Harry),
"menerbangkan mobil ilegal, menye-berang separo negeri—
bisa kelihatan siapa saja...."
Dia menjentikkan tongkatnya sambil lalu ke perabot di tempat cuci piring yang langsung mulai mencuci sendiri, berdentang-denting lembut di latar belakang.
"Langit mendung, Mum!" kata Fred.
"Jangan bicara waktu makan!" bentak Mrs Weasley.
"Mereka membuatnya kelaparan, Mum!" kata George.
"Dan kau juga!" kata Mrs Weasley, tetapi ekspresi wajahnya lebih lembut ketika dia mulai mengiris roti untuk Harry dan mengolesinya dengan mentega.
Pada saat itu sesosok tubuh kecil berambut merah— memakai gaun tidur panjang—muncul di pintu, meng-alihkan perhatian semua orang. Sosok itu menjerit kecil, dan berlari keluar lagi.
"Ginny," kata Ron pelan kepada Harry. "Adikku. Dia ngomong tentang kau terus sepanjang musim panas."
"Yeah, dia mau minta tanda tanganmu, Harry," Fred nyengir, tetapi dia menangkap pandangan ibunya dan segera menundukkan wajah di atas piringnya, tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada lagi yang di-bicarakan sampai keempat piring bersih, dalam waktu yang singkat sekali.
"Ya ampun, aku capek," Fred menguap, akhirnya meletakkan pisau dan garpunya. "Aku mau tidur dan..."
"Tidak boleh," potong Mrs Weasley. "Salahmu sendiri kau tidak tidur semalaman. Kau akan membersihkan jembalang di kebun untukku, mereka sudah tak ter-kontrol lagi."
"Oh, Mum..."
"Dan kalian berdua juga," katanya mendelik pada Ron dan Fred. "Kau boleh tidur, Nak," katanya me-nambahkan kepada Harry. "Kau tidak meminta meteka menerbangkan mobil brengsek itu."
Tetapi Harry yang sama sekali tidak mengantuk, buru-buru berkata, "Saya akan membantu Ron. Saya belum pernah melihat pembersihan jembalang..."
"Kau baik sekali, Nak, tapi itu pekerjaan mem-bosankan," kata Mrs Weasley. "Coba kita lihat dulu apa kata Lockhart tentang masalah ini."
Dan dia menarik sebuah buku berat dari tumpukan di atas rak perapian. George mengerang. "Mum, kami sudah tahu bagaimana membersihkan kebun dari jembalang." Harry memandang sampul buku Mrs Weasley. Judulnya ditulis dengan huruf-huruf emas indah:
Penuntun Penanganan Hama Rumah Gilderoy Lockhart.
Di sampul itu terpampang foto besar penyihir yang amat tampan, dengan rambut pirang berombak dan mata biru cerah. Seperti biasanya di dunia sihir, foto itu bergerak-gerak. Si penyihir, yang Harry duga ada-lah Gilderoy Lockhart, tak henti-hentinya mengedip nakal kepada mereka semua. Mrs Weasley menunduk tersenyum kepadanya.
"Oh, dia hebat sekali," katanya, "dia tahu betul ten-tang hama-hama rumah. Ini buku yang bagus sekali...." "Mum naksir dia," kata Fred dalam bisikan yang sangat jelas.
"Jangan ngaco, Fred," kata Mrs Weasley, pipinya merona merah jambu. "Baiklah, kalau kalian merasa lebih tahu dari Lockhart, kalian boleh keluar dan langsung mulai. Awas, kalau sampai masih ada satu saja jembalang di kebun waktu aku memeriksanya nanti."
Menguap dan menggerutu, Ron dan kedua kakak-nya berjalan ogah-ogahan keluar, diikuti Harry. Kebun mereka luas, dan dalam pandangan Harry, begitulah seharusnya kebun. Keluarga Dursley tidak akan me-nyukainya—ada banyak ilalang, rumputnya perlu di-potong—tetapi ada pohon- pohon yang batangnya ber-bonggol-bonggol di sekeliling tembok, tanaman-tanaman yang belum pernah dilihat Harry melimpah dengan lebatnya dari setiap petak bunga, dan ada kolam besar penuh kodok.
"Muggle juga punya jembalang kebun lho," Harry memberitahu Ron ketika mereka menyeberang ke kebun.
"Yeah, aku sudah melihat apa yang mereka sebut jembalang," kata Ron, membungkuk dengan kepala tenggelam di semak bunga peoni. "Seperti Santa Claus gemuk membawa tangkai pancing...."
Terdengar bunyi baku hantam seru, semak peoni bergetar, dan Ron menegakkan diri. "Ini jembalang," katanya suram.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit si jembalang.
Makhluk itu sama sekali tidak seperti Santa Claus, melainkan bertubuh kecil, kulitnya kasar, dengan kepala besar botak menonjol persis kentang. Ron me-megangnya agak jauh, sementara si jembalang me-nendang-nendangnya dengan kakinya yang kecil ber-tanduk. Ron mencengkeram pergelangan kakinya dan menjungkirkannya.
"Ini yang harus kaulakukan," katanya. Ron mengangkat si jembalang ke atas kepalanya ("Lepas-kan aku!") lalu mulai memutar-mutarnya dalam ling-karan besar seperti laso. Melihat kekagetan di wajah Harry, Ron menambahkan, "Ini tidak melukai mereka— kau cuma harus membuatnya benar- benar pusing, supaya mereka tidak bisa menemukan jalan pulang ke lubang jembalangnya."
Dilepasnya kaki si jembalang dan jembalang itu melayang enam meter ke atas dan jatuh di padang di seberang pagar.
"Payah," kata Fred. "Aku pasti bisa melempar jem-balangku sampai melewati tunggul itu."
Harry belajar dengan cepat untuk tidak merasa terlalu kasihan kepada si jembalang. Dia memutuskan untuk menjatuhkan saja jembalang pertama yang di-tangkapnya ke balik pagar. Tetapi si jembalang, yang bisa merasakan kelemahan, menancapkan gigi-giginya yang setajam silet ke jari Harry dan Harry dengan susah payah mengibaskannya sampai...
"Wow, Harry—pasti ada lima belas meter tuh..."
Segera saja udara dipenuhi jembalang yang beterbangan.
"Lihat, kan, mereka tidak terlalu pintar," kata George, menyambar lima atau enam jembalang se-kaligus. "Begitu mereka tahu pembersihan jembalang dimulai, mereka malah keluar untuk melihat. Mestinya kan malah ngumpet."
Tak lama kemudian gerombolan jembalang di pa-dang mulai melangkah lesu, menjauh.
"Mereka akan kemibali," kata Ron, ketika mereka mengawasi para jembalang menghilang ke balik pagar di sisi lain padang. "Mereka senang di sini... Dad terlalu lunak terhadap mereka, dia menganggap me-reka lucu..."
Saat itu terdengar pintu depan terbanting.
"Dia pulang!" kata George. "Dad pulang!"
Mereka bergegas menyeberangi kebun, kembali ke rumah.
Mr Weasley duduk lesu di kursi dapur dengan kacamata dilepas. Dia kurus, hampir botak, tetapi sisa rambut yang masih ada sama merahnya dengan ram-but anak-anaknya. Dia memakai jubah hijau panjang yang berdebu dan kelihatan habis dipakai bepergian.
"Bukan main semalam," gumamnya, meraih teko teh sementara mereka duduk mengelilinginya. "Sem-bilan penyerbuan. Sembilan! Dan si Mundungus Fletcher mencoba menyihirku ketika aku berbalik..."
Mr Weasley meneguk tehnya dan menghela napas. "Ada yang ditemukan, Dad?" tanya Fred ber-semangat.
"Yang kudapat hanyalah beberapa kunci pintu yang mengerut dan ceret yang menggigit," kata Mr Weasley menguap. "Tapi ada barang-barang kotor yang bukan bagian departemenku. Mortlake dibawa pergi gara-gara mempertanyakan beberapa binatang sejenis mu-sang yang sudah tua sekali, tapi itu tugas Komite Jimat Eksperimental, untungnya..."
"Untuk apa orang membuat kunci mengerut?" tanya George.
"Cuma untuk memancing Muggle," keluh Mr Weasley. "Jual kepada mereka kunci yang terus menge-rut sampai akhirnya menghilang, sehingga mereka tidak bisa menemukannya sewaktu memerlukannya... Tentu saja, susah sekali meyakinkan orang, karena tak ada Muggle yang mau mengakui kunci mereka mengerut makin lama makin kecil— mereka akan ngo-tot mengatakan mereka lagi-lagi kehilangan kunci. Untung saja, para Muggle ini akan berusaha dengan segala macam cara untuk mengabaikan kejadian gaib, bahkan kalau itu terjadi di depari mereka... tapi barang-barang yang telah diambil bangsa kita untuk disihir, kalian tidak akan percaya..."
"SEPERTI MOBIL, MISALNYA?"
Mrs Weasley telah muncul, membawa penyodok panjang seperti memegang pedang. Mata Mr Weasley langsung terbuka lebar. Dia memandang istrinya de-ngan perasaan bersalah.
"Mo-mobil, Molly sayang?"
"Ya, Arthur, mobil," kata Mrs Weasley, matanya berkilat.
"Bayangkan, penyihir yang membeli mobil tua karatan dan memberitahu istrinya yang ingin dilakukannya dengan mobil itu hanyalah mem-bongkarnya untuk mengetahui bagaimana cara kerja-nya, padahal ternyata dia menyihir mobil itu agar bisa terbang."
Mr Weasley mengejapkan mata.
"Yah, Sayang, kurasa dia tidak melanggar hukum karena melakukan itu, bahkan jika, eh, dia mungkin seharusnya, lebih baik, uhm, memberitahu istrinyn yang sebenarnya... Selalu ada peluang untuk lolos dalam peraturan, kau akan tahu... sejauh dia tidak bermaksud menerbangkan mobil itu. Fakta bahwa mobil itu bisa terbang tidak akan..."
"Arthur Weasley, kau mengatur agar ada peluang lolos ketika kau menulis peraturan itu!" teriak Mrs Weasley. "Hanya supaya kau bisa terus bermain-main dengan semua rongsokan Muggle di garasimu itu! Dan supaya kau tahu, Harry tiba pagi ini dengan mobil yang tidak akan kauterbangkan itu!"
"Harry?" ujar Mr Weasley bingung. "Harry siapa?" Dia memandang berkeliling, melihat Harry, dan ter-lonjak.
"Astaga, Harry Pptter-kah? Senang sekali bertemu kau, Ron sudah cerita banyak tentang..."
"Anak-anakmu menerbangkan mobil itu ke rumah Harry dan kembali lagi ke sini tadi pagi!" teriak Mrs Weasley. "Apa komentarmu tentang itu, eh?"
"Betulkah kalian menerbangkannya?" tanya Mr Weasley bersemangat. "Apakah bisa terbang lancar? Mak-maksudku,"
dia terbata-bata, ketika kilat ke-marahan terpancar dari mata Mrs Weasley, "kalian lancang, anak-anak—lancang sekali..."
"Kita tinggalkan mereka," gumam Ron kepada Harry, ketika Mrs Weasley siap meledak. "Ayo, ku-tunjukkan kamarku." Mereka menyelinap keluar dari dapur dan menuruni lorong sempit sampai ke tangga yang tidak rata, yang berzig-zag sampai ke atas. Pada bordes ketiga, ada pintu yang sedikit terbuka. Harry sempat melihat sepasang mata cokelat cemerlang sebelum pintu itu menutup dengan keras.
"Itu Ginny," kata Ron. "Kau tak tahu, betapa aneh-nya bagi dia menjadi pemalu begini. Biasanya mulut-nya tak pernah berhenti mengoceh..."
Mereka menaiki dua tangga lagi sampai tiba di pintu yang catnya mengelupas dan ada papan kecil bertulisan "Kamar Ronald".
Harry masuk, kepalanya nyaris menyentuh atap yang miring. Dia mengejap. Rasanya seperti masuk perapian: segala sesuatu dalam kamar Ron bernuafisa jingga terang: seprai, dinding, bahkan langit-langitnya. Kemudian Harry menyadari bahwa Ron telah me-nutup hampir setiap senti dinding kamarnya yang kusam dengan poster tujuh penyihir pria dan wanita yang sama, semuanya memakai jubah jingga cemer-lang, membawa sapu, dan melambai-lambai dengan bersemangat.
"Tim Quidditch-mu?" tanya Harry.
"Chudley Cannons," kata Ron, menunjuk seprai jingganya, yang dihiasi dua huruf C raksasa berwarna hitam dan peluru meriam yang sedang meluncur. "Peringkat kesembilan-di liga." Buku-buku sihir Ron ditumpuk sembarangan di satu sudut, di sebelah setumpuk komik yang semua-nya tampaknya mengisahkan Petualangan Martin Miggs, si Muggle Gila. Tongkat sihir Ron tergeletak di atas tangki ikan penuh telur kodok di ambang jendela, di sebelah tikus gemuknya, Scabbers, yang sedang tiduran di sepetak sinar matahari.
Harry melangkahi satu pak kartu Mengocok-Sendiri di lantai dan melongok ke luar dari jendela yang kecil mungil. Di padang jauh di bawah, dia bisa melihat serombongan jembalang menyelinap lewat pagar tanaman, satu demi satu kembali ke kebun keluarga Weasley. Kemudian dia menoleh memandang Ron, yang menatapnya dengan gelisah, seakan me-nunggu komentarnya.
"Kamarnya agak kecil," kata Ron cepat-cepat. "Tidak seperti kamarmu di rumah Muggle. Dan persis di bawah tempat si hantu loteng. Dia selalu memukul-mukul pipa dan mengerang-erang..."
Tetapi Harry nyengir lebar sambil berkata, "Ini ru-mah paling hebat yang pernah kudatangi." Telinga Ron langsung merah.

4. Di Flourish And Blotts


HIDUP di The Burrow sama sekali berbeda dengan hidup di Privet Drive. Keluarga Dursley menghendaki segalanya rapi dan teratur; rumah keluarga Weasley penuh dengan hal-hal aneh dan tak terduga. Harry kaget sekali ketika pertama kali dia melihat ke dalam cermin di atas tungku di dapur dan cermin itu ber-teriak, "Masukkan kemejamu, yang rapi!" Hantu di loteng melolong dan menjatuhkan pipa setiap kali dia merasa suasana terlalu sepi, dan ledakan-ledakan kecil dari kamar Fred dan George dianggap normal. Meskipun demikian, yang bagi Harry luar biasa tentang hidup di rumah keluarga Ron bukanlah cermin yang bisa bicara ataupun si hantu bising, melainkan kenyataan bahwa semua orang di rumah itu tampaknya me-nyukainya.
Mrs Weasley meributkan kaus kaki Harry dan ber-usaha memaksanya tambah tiga kali setiap makan.
Mr Weasley ingin Harry duduk di sebelahnya di meja makan, supaya dia bisa membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup bersama Muggle,
memintanya menjelaskan bagaimana bekerjanya hal-hal seperti steker listrik atau sistem pos.
"Mengagumkan!" katanya setelah Harry menjelaskan bagaimana menggunakan telepon. "Cerdik betul, berapa banyak cara yang telah ditemukan Muggle untuk bisa hidup tanpa sihir."
Harry mendapat berita dari Hogwarts pada suatu pagi yang cerah kira-kira seminggu setelah dia tiba di The Burrow. Ketika dia dan Ron turun untuk sarapan, Mr dan Mrs Weasley serta Ginny sudah duduk di meja dapur. Begitu melihat Harry, Ginny tak sengaja menjatuhkan mangkuk buburnya ke lantai, menimbul-kan bunyi berkelontang yang keras. Ginny kelihatan-nya jadi sangat mudah menjatuhkan barang-barang setiap kali Harry memasuki ruangan. Dia menyusup ke bawah meja untuk mengambil mangkuknya dan muncul lagi dengan wajah berpendar merah seperti matahari yang sedang terbenam. Berpura-pura tidak melihat semua ini, Harry duduk dan mengambil roti panggang yang ditawarkan Mrs Weasley.
"Surat dari sekolah," kata Mr Weasley, menyerahkan amplop perkamen kekuningan yang sama kepada Harry dan Ron, yang alamatnya ditulis dengan tinta hijau. "Dumbledore sudah tahu kau di sini, Harry— orang itu tahu segalanya. Kalian berdua dapat surat juga," katanya menambahkan, ketika Fred dan George muncul, masih memakai piama.
Selama beberapa menit suasana sunyi ketika mereka semua membaca surat mereka. Surat Harry memberi-tahunya agar naik Hogwarts Express seperti biasanya dari Stasiun King's Cross pada tanggal 1 September. Juga ada daftar buku- buku baru yang diperlukannya untuk tahun ajaran berikutnya.
Murid kelas dua membutuhkan:
Kitab Mantra Standar, Tingkat 2 oleh Miranda Goshawk
Duel dengan Dracula oleh Gilderoy Lockhart Gaul dengan Goblin oleh Gilderoy Lockhart
Heboh dengan Hantu oleh Gilderoy Lockhart
Tamasya dengan Troll oleh Gilderoy Lockhart
Vakansi dengan Vampir oleh Gilderoy Lockhart
Mengembara dengan Manusia Serigala oleh Gilderoy Lockhart
Yakin dengan Yeti oleh Gilderoy Lockhart Fred,
yang sudah selesai membaca daftarnya sendiri, melongok daftar Harry.
"Kau disuruh beli semua buku Lockhart juga!" kata-nya.
"Guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam pastilah fansnya—taruhan, pasti penyihir wanita."
Setelah berkata begitu, tertatap olehnya mata ibunya dan Fred cepat-cepat menyibukkan diri dengan selai.
"Buku-buku itu tidak murah," kata George, sekilas memandang orangtuanya. "Buku-buku Lockhart benar-benar mahal...."
"Bisa kita beli," kata Mrs Weasley, tetapi dia kelihatan cemas, "Kurasa kita bisa membeli banyak keperluan Ginny dari yang bekas-pakai."
"Oh, kau sudah masuk Hogwarts tahun ini?" Harry bertanya kepada Ginny.
Ginny mengangguk, rona merah menjalar sampai ke akar rambutnya yang merah manyala, dan sikunya masuk ke mangkuk mentega. Untunglah tak seorang pun melihat kecuali Harry, karena tepat saat itu, kakak Ron yang nomor tiga, Percy, masuk. Dia sudah berpakaian, lencana Prefek Hogwarts-nya disematkan ke baju rajutannya.
"Selamat pagi, semua!" kata Percy cepat. "Hari yang indah."
Dia duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, tetapi langsung melompat berdiri lagi, menarik dari bawah-nya kemoceng yang bulu abu-abunya sudah lusuh— paling tidak semula Harry menyangka itu kemoceng, sampai dilihatnya kemoceng itu bernapas.
"Errol!" kata Ron, mengambil burung hantu yang lemas itu dari tangan Percy dan menarik keluar se-pucuk surat dari balik sayapnya. "Akhirnya—dia mem-bawa balasan Hermione. Aku menulis padanya, mem-beritahu kami akan mencoba membebaskanmu dari keluarga Dursley."
Ron membawa Errol ke tempat hinggap di dekat pintu belakang dan mencoba menenggerkannya di situ, tetapi Errol langsung terpuruk lagi. Akhirnya Ron membaringkannya di atas papan pengering, se-raya bergumam, "Kasihan." Kemudian dirobeknya sampul surat Hermione dan dibacanya suratnya keras-keras:
Halo Ron, dan Harry kalau kau ada,
Kuharap segalanya berjalan lancar dan Harry baik-baik saja dan kau tidak melakukan sesuatu yang me-langgar hukum untuk membebaskannya, Ron, karena itu akan menyulitkan Harry juga. Aku cemas 'sekali dan kalau Harry tak apa-apa, tolong segera beritahu aku, tapi mungkin lebih baik kaugunakan burung hantu yang lain, karena kalau sekali lagi disuruh mengirim surat, kurasa burung hantu yang ini lewat deh.
Aku sibuk sekali belajar, tentu saja—"Bagaimana mungkin?" kata Ron ngeri. "Kita kan sedang libur!"—dan kami akan ke London Rabu depan untuk membeli buku-buku baruku. Bagaimana kalau kita ber-temu di Diagon Alley?
Beritahu aku apa yang terjadi begitu kau sempat.
Salam hangat dari Hermione.
"Wah, kita bisa sekalian pergi dan membeli semua kebutuhan kalian kalau begitu," kata Mrs Weasley, mulai membereskan meja. "Apa yang akan kalian lakukan hari ini?" Harry, Ron, Fred, dan George sudah merencanakan akan ke lapangan terbuka kecil milik keluarga Weasley. Tempat itu dikelilingi pepohonan sehingga tidak ke-lihatan dari desa di bawah. Itu berarti mereka bisa berlatih Quidditch di sana, asal mereka tidak terbang terlalu tinggi. Mereka tidak bisa memakai bola Quidditch yang sesungguhnya, karena akan sulit men-jelaskannya kalau bola itu lolos dan terbang di atas desa. Sebagai gantinya mereka saling melempar apel untuk ditangkap. Mereka bergiliran menaiki Nimbus Dua Ribu Harry, sapu yang sangat hebat. Sapu tua Ron, Bintang Jatuh, sering sekali didului kupu-kupu yang lewat.
Lima menit kemudian mereka mendaki bukit, de-ngan sapu di atas bahu. Mereka sudah menanyai Percy kalau-kalau dia mau ikut, tetapi Percy mengata-kan dia sibuk. Sejauh ini Harry cuma bertemu Percy pada waktu makan. Dia berkurung terus di kamar-nya.
"Pingin tahu deh dia sebetulnya ngapain," kata Fred sambil mengerutkan kening. "Tidak biasanya dia begitu. Hasil ujiannya keluar sehari sebelum hasil kalian diumumkan. Dua belas OWL dan dia nyaris tidak kelihatan senang."
"Ordinary Wizarding Levels—Level Sihir Umum," George menjelaskan, melihat wajah kebingungan Harry. "Bill dapat dua belas juga. Kalau tidak hati-hati, kita akan punya Ketua Murid satu lagi dalam keluarga. Malu betul kita."
Bill adalah putra sulung keluarga Weasley. Dia dan adiknya, Charlie, sudah lulus dari Hogwarts. Harry belum pernah bertemu mereka berdua, tetapi dia tahu Charlie ada di Rumania, mempelajari naga, dan Bill di Mesir bekerja untuk bank penyihir, Gringotts.
"Entah bagaimana Mum dan Dad akan bisa mem-belikan semua keperluan sekolah kita tahun ini," kata George setelah diam sesaat. "Lima set buku-buku Lockhart! Dan Ginny perlu jubah dan tongkat dan macam-macam lagi...."
Harry diam saja Dia merasa agak tidak enak. Ter-simpan di dalam ruangan besi bawah tanah di Gringotts di London, ada sejumlah harta peninggalan orangtuanya. Tentu saja, hanya di dunia sihir dia punya uang. Kau tidak bisa menggunakan Galleon, Sickle, dan Knut di toko Muggle. Dia tak pernah menyebut-nyebut simpanannya di Gringotts kepada keluarga Dursley. Dia memperkirakan penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang ada hubungan-nya dengan sihir tidak mencakup setumpuk besar emas.
Mrs Weasley membangunkan mereka semua pagi-pagi Rabu berikutnya. Setelah dengan cepat melahap sarapan berupa enam sandwich daging asap untuk masing-masing, mereka memakai mantel dan Mrs Weasley mengambil vas bunga dari rak di atas tungku dapur, lalu mengintip ke dalamnya.
"Sudah hampir habis, Arthur," katanya menghela napas.
"Kita harus beli lagi hari ini... ah, tamu lebih dulu! Kau duluan, Harry!"
Dan dia menyodorkan vas itu kepada Harry.
Harry bingung memandang mereka semua meng-awasinya.
"A-apa yang harus kulakukan?" katanya tergagap.
"Dia belum pernah bepergian dengan bubuk Floo," kata Ron tiba-tiba. "Sori, Harry, aku lupa."
"Belum pernah?" kata Mr Weasley. "Jadi bagaimana kau sampai di Diagon Alley untuk membeli keperluan sekolahmu tahun lalu?"
"Aku naik kereta bawah tanah..."
"Oh ya?" kata Mr Weasley ingin tahu. "Apa ada eskapator? Bagaimana caranya..."
"Tidak sekarang, Arthur," kata Mrs Weasley. "Bubuk Floo jauh lebih cepat, Nak, tapi entahlah, kalau kau belum pernah..."
"Tidak apa-apa, Mum," kata Fred. "Harry, lihat kami dulu." Fred mengambil sejumput bubuk berkilau dari vas bunga, melangkah ke perapian dan menaburkan bu-buk itu ke nyala api.
Dengan deru keras api berubah menjadi hijau zamrud dan menjulang lebih tinggi dari Fred, yang melangkah ke dalamnya sambil berteriak, "Diagon Alley!" dan langsung menghilang.
"Ngomongnya harus jelas, Nak," Mrs Weasley mem-beritahu Harry, ketika George memasukkan tangan ke dalam vas. "Dan keluarnya harus di perapian yang benar..."
"Di mana?" tanya Harry gugup, ketika api menderu dan melenyapkan George dari pandangan juga. "Yah, ada banyak perapian penyihir yang bisa di-pilih, kan, tapi asal kau ngomongnya jelas..."
"Dia akan baik-baik saja Molly, jangan terlalu cemas," kata Mr Weasley, sambil menjumput bubuk Floo juga.
"Tapi, kalau dia tersesat, bagaimana kita harus men-jelaskan kepada bibi dan pamannya?"
"Mereka tidak akan keberatan," Harry menenang-kannya.
"Dudley akan menganggapnya lucu sekali kalau aku tersesat di cerobong asap. Jangan khawatir."
"Baiklah... kalau begitu... kau berangkat sesudah Arthur," kata Mrs Weasley "Setelah masuk perapian, katakan ke mana tujuanmu..."
"Dan rapatkan sikumu," Ron menasihati. "Dan pejamkan matamu," kata Mrs Weasley. "Angus-nya..." "Jangan gelisah dan bergerak-gerak," kata Ron. "Nanti kau bisa jatuh ke perapian yang salah..." "Tapi jangan panik dan buru-buru keluar juga. Tung-gu sampai kau melihat Fred dan George." Sambil berusaha keras mengingat semua ini, Harry mengambil sejumput bubuk Floo dan berjalan ke per-apian. Dia menarik napas dalam-dalam, menaburkan bubuk ke nyala api dan melangkah masuk. Apinya terasa bagai angin hangat. Harry membuka mulut dan langsung tertelan olehnya banyak abu panas.
"D-dia-gon Alley," katanya terbatuk.
Rasanya seakan Harry tersedot lubang yang besar sekali. Dia seperti berpusar sangat cepat... deru keras memekakkan telinganya... dia berusaha agar matanya tetap terbuka, tetapi pusaran api hijau membuatnya pusing... sesuatu yang keras menyodok sikunya dan Harry segera merapatkannya ke tubuhnva, masih terus berpusar, terus... sekarang rasanya ada tangan-tangan dingin menampar mukanya... mengintip lewat kaca-matanya, dilihatnya samar-samar serangkaian perapian dan sekilas-sekilas tampak ruangan di baliknya... sandwich daging asapnya bergolak di dalam perutnya... Dia memejamkan lagi matanya, berharap pusaran ini segera berhenti, dan kemudian—Harry jatuh ter-jerembap di lantai batu yang dingin dan kacamatanya pecah.
Pusing dan memar, berlumur angus, Harry dengan amat hati-hati bangun, memegangi kacamata ke depan matanya. Dia sendirian, tetapi di mana dia, dia sama sekali tak tahu. Yang dia tahu hanyalah dia berdiri di perapian baru, di tempat yang kelihatannya toko sihir besar dengan penerangan remang-remang—tetapi tak satu pun barang-barang yang dijual di sini akan masuk dalam daftar sekolah Hogwarts.
Sebuah kotak kaca di dekat Harry berisi tangan keriput di atas bantal, satu pak kartu bernoda darah, dan sebuah mata kaca mendelik. Topeng-topeng me-nyeramkan menyeringai dari dinding, tulang-tulang manusia berbagai bentuk dan ukuran bertebaran di meja pajang, dan peralatan berpaku tajam berkarat bergantungan dari langit-langit. Yang lebih parah lagi, jalan sempit yang bisa dilihat Harry lewat kaca toko yang berdebu jelas bukan Diagon Alley.
Lebih cepat dia meninggalkan tempat ini lebih baik. Dengan hidung masih perih gara-gara jatuh meng-hantam lantai perapian tadi, Harry berjalan cepat tanpa suara menuju pintu. Tetapi belum lagi separo jalan, dua orang muncul di balik kaca—dan salah satunya orang terakhir yang ingin ditemui Harry saat dia sedang tersesat, berlumur angus, dan kacamatanya pecah: Draco Malfoy.
Harry cepat-cepat memandang berkeliling dan me-lihat lemari besar hitam di sebelah kirinya. Dia melesat masuk dan menarik pintunya, sampai tinggal celah sedikit untuk mengintip. Beberapa detik kemudian bel berdentang dan Malfoy masuk ke dalam toko.
Laki-laki yang masuk di belakangnya pastilah ayah-nya. Wajahnya sama, pucat dan runcing, dan matanya pun sama, abu-abu dingin. Mr Malfoy menyeberangi ruangan, melihat barang-barang yang dipamerkan, dan membunyikan bel di meja pajangan, sebelum menoleh kepada anaknya dan berkata, "Jangan sentuh apa-apa, Draco."
Malfoy, yang sudah tiba di mata kaca, berkata, "Katanya aku akan dibelikan hadiah."
"Aku bilang aku akan membelikanmu sapu balap," kata ayahnya, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja pajangan.
"Apa gunanya sapu kalau aku tidak masuk tim asrama?" kata Malfoy, tampangnya cemberut dan marah. "Harry Potter dapat Nimbus Dua Ribu tahun lalu. Izin khusus dari Dumbledore supaya dia bisa main untuk Gryffindor. Padahal sih dia tidak hebat-hebat amat, cuma karena dia terkenal saja... terkenal gara-gara punya bekas luka konyol di dahinya..."
Malfoy membungkuk, mengamati rak penuh teng-korak.
"...semua menganggapnya pintar, Potter yang hebat, dengan bekas luka dan sapunya..."
"Kau sudah menceritakannya padaku paling tidak dua belas kali," kata Mr Malfoy, dengan pandangan yang menyuruhnya diam. "Dan kuingatkan kau bahwa tidaklah—bijaksana— memperlihatkan bahwa kau ku-rang menyukai Harry Potter, mengingat sebagian besar bangsa kita menganggapnya sebagai pahlawan yang membuat Pangeran Kegelapan menghilang... ah, Mr Borgin."
Seorang laki-laki tua bungkuk muncul di belakang meja, menyeka rambutnya yang berminyak dari wajahnya.
"Mr Malfoy, senang sekali bertemu Anda lagi," kata Mr Borgin dengan suara selicin rambutnya. "Gem-bira—dan Tuan Muda Malfoy, juga—sungguh me-nyenangkan. Apa yang bisa saya bantu? Harus saya tunjukkan kepada Anda, baru datang hari ini, dan harganya pun sangat bersaing..."
"Aku tidak mau beli hari ini, Mr Borgin, tapi jual," kata Mr Malfoy. "Jual?" Senyum agak memudar dari wajah Mr Borgin.
"Kau sudah dengar, tentunya, bahwa Kementerian melakukan razia lagi," kata Mr Malfoy, mengeluarkan gulungan perkamen dari saku dalamnya dan mem-bukanya untuk dibaca Mr Borgin. "Aku punya be-berapa—ah—barang di rumah yang bisa bikin aku malu, kalau Kementerian datang..."
Mr Borgin menjepitkan kacamata tanpa gagang ke hidungnya dan membacanya. "Kementerian tidak akan menyusahkan Anda, Sir, tentunya?"
Mr Malfoy mencibir.
"Aku belum didatangi. Nama Malfoy masih di-hormati, tapi Kementerian semakin suka mencampuri urusan orang lain. Ada desas-desus tentang adanya Undang-undang Perlindungan Muggle baru—tak di-ragukan lagi si kutu busuk goblok pecinta Muggle Arthur Weasley berada di belakang semua itu..."
Harry berang sekali. "...dan seperti yang kaulihat, beberapa racun ini bisa kelihatan..." "Saya mengerti, Sir, tentu saja," kata Mr Borgin. "Coba saya lihat..." "Boleh aku beli itu?" sela Draco, menunjuk tangan keriput di bantal.
"Ah, Tangan Kemuliaan!" kata Mr Borgin, meninggal-kan daftar Mr Malfoy dan bergegas mendatangi Draco. "Taruh lilin, dan lilin ini hanya akan memberikan cahaya kepada pemegangnya! Sahabat terbaik para pencuri dan penjarah! Selera anak Anda hebat, Sir."
"Kuharap anakku akan jadi lebih dari sekadar pen-curi atau penjarah, Borgin," kata Mr Malfoy dingin dan Mr Borgin buru- buru berkata, "Tidak menyindir, Sir, tidak bermaksud menyindir..."
"Meskipun kalau angka-angkanya tidak bertambah baik," kata Mr Malfoy lebih dingin lagi, "mungkin dia hanya pantas jadi pencuri dan penjarah."
"Bukan salahku," bantah Draco. "Semua guru punya anak emas, si Hermione Granger..."
"Kukira kau akan malu bahwa anak perempuan yang bukan berasal dari keluarga sihir mengalah-kanmu dalam semua ujian," tukas Mr Malfoy.
"Ha!" kata Harry dalam hati, senang melihat Draco kelihatan malu dan marah.
"Di semua tempat sama," kata Mr Borgin dengan suaranya yang licin. "Darah penyihir nilainya sudah berkurang di mana- mana..."
"Bagiku tidak," kata Mr Malfoy, cuping hidung panjangnya mekar.
"Tidak, Sir, bagi saya juga tidak, Sir," kata Mr Borgin, membungkuk rendah.
"Kalau begitu, mungkin kita bisa kembali ke daftar-ku," kata Mr Malfoy pendek. "Aku agak terburu-buru, Borgin, aku ada urusan penting di tempat lain hari ini."
Mereka mulai tawar-menawar. Harry mengawasi de-ngan cemas ketika Draco semakin lama semakin dekat ke tempat persembunyiannya, melihat-lihat barang-barang yang dijual. Dia berhenti untuk mengamati gulungan tali panjang untuk menggantung orang dan membaca sambil menyeringai kartu yang disandarkan pada kalung opal yang bagus sekali; Hati- hati: Jangan Sentuh. Dikutuk—Sampai Hari Ini Sudah Minta Korban Sembilan Belas Muggle Pemiliknya.
Draco berbalik dan melihat lemari persis di depan-nya. Dia mendekat... mengulurkan tangannya ke pegangan pintu...
"Baik," kata Mr Malfoy di meja pajangan.
"Ayo, Draco!" Harry menyeka dahinya ke lengan bajunya ketika Draco berbalik.
"Selamat siang, Mr Borgin, kutunggu kau di rumah besok untuk mengambil barang-barang itu." Begitu pintu tertutup, Mr Borgin menanggalkan sopan santunnya. "Selamat siang sendiri saja, Mister Malfoy, dan jika cerita yang beredar benar, kau belum menjual setengah dari yang kausembunyikan di istanamu..."
Sambil menggerutu sebal Mr Borgin menghilang ke ruang belakang. Harry menunggu selama semenit, siapa tahu dia muncul lagi. Kemudian, sepelan mung-kin, dia menyelinap keluar dari lemari, melewati kotak-kotak kaca, dan keluar lewat pintu toko.
Sambil menempelkan kacamatanya yang pecah ke wajahnya, Harry memandang berkeliling. Dia berada di jalan kecil kumuh berisi toko-toko yang semuanya menjual barang- barang untuk ilmu hitam. Toko yang baru saja ditinggalkannya, Borgin and Burkes, kelihatan-nya yang paling besar, tetapi di seberangnya ada etalase yang memajang kepala-kepala yang sudah me-ngerut mengerikan, dan di dua toko sesudahnya ada-kandang besar berisi banyak labah-labah raksasa yang berjalan ke sana kemari. Dua penyihir laki-laki kumal mengawasinya dari bayang-bayang pintu, seraya saling bergumam. Dengan gelisah Harry berjalan, memegangi kacamatanya selurus mungkin dan berharap bisa me-nemukan jalan keluar dari tempat ini.
Papan nama kusam yang tergantung di atas toko yang menjual lilin beracun memberitahunya bahwa dia berada di Knockturn Alley. Ini tidak membantu, karena Harry belum pernah mendengar nama tempat ini. Rupanya dia tidak bicara cukup jelas gara-gara mulutnya penuh abu sewaktu berada di perapian keluarga Weasley. Harry berusaha tetap tenang dan memikirkan apa yang akan dilakukannya.
"Tidak tersesat, kan, Nak?" kata suara di telinganya, membuatnya terlonjak.
Seorang nenek sihir berdiri di depannya, membawa nampan yang kelihatannya berisi kuku-kuku utuh manusia. Dia menyeringai kepada Harry, memamerkan gigi-giginya yang berlumut. Harry mundur.
"Aku tak apa-apa, terima kasih," katanya, "aku cuma..."
"HARRY! Sedang apa kau di sini?"
Jantung Harry melompat. Si nenek sihir juga me-lompat. Kuku-kuku dari nampannya berjatuhan ke atas kakinya, dan dia mengutuk ketika sosok tinggi besar Hagrid, pengawas binatang liar di Hogwarts, berjalan mendekati mereka, mata- kumbangnya yang hitam berkilat-kilat di atas jenggot dan berewoknya yang lebat.
"Hagrid!" Harry berseru parau dengan lega. "Aku tersesat... bubuk Floo..."
Hagrid menyambar kerah baju Harry dan menarik-nya jauh- jauh dari si nenek sihir, menyenggol nampan-nya sampai jatuh. Teriakan si nenek mengikuti mereka sepanjang jalan kecil yang berkelok-kelok sampai mereka tiba di tempat terang. Harry melihat gedung pualam seputih salju yang dikenalnya di kejauhan: Bank Gringotts. Hagrid telah membawanya ke Diagon Alley.
"Kau berantakan!" kata Hagrid pedas, mengibas abu dari tubuh Harry begitu kerasnya sampai Harry nyaris tercebur ke dalam tong berisi kotoran naga di luar toko obat. "Berkeliaran di Knockturn Alley, ke-lewatan—tempat yang harus dihindari, Harry—jangan sampai ada yang lihat kau di sana..."
"Aku sadar itu," kata Harry, menunduk ketika Hagrid mau mengibasnya lagi. "Sudah kubilang, aku tersesat—kau sendiri ngapain di sana?"
"Aku sedang cari Pembasmi Siput Pemakan-Daging," kata Hagrid geram. "Mereka hancurkan kol sekolah. Kau tidak sendirian?"
"Aku menginap di rumah keluarga Weasley, tapi kami terpisah," Harry menjelaskan. "Aku harus men-can mereka..."
Mereka berjalan berdua.
"Kenapa kau tidak pernah balas suratku?" tanya Hagrid, sementara Harry berlari-lari kecil di sebelahnya (dia harus melangkah tiga kali untuk mengimbangi setiap langkah bot besar Hagrid). Harry menjelaskan tentang Dobby dan keluarga Dursley.
"Muggle brengsek," gerutu Hagrid. "Kalau aku tahu..."
"Harry! Harry! Di sini!"
Harry mendongak dan melihat Hermione Granger berdiri di undakan putih paling atas Gringotts. Dia berlari turun menyongsong mereka, rambutnya yang lebat berkibar di belakangnya.
"Kenapa kacamatamu? Halo, Hagrid... Oh, senang sekali bertemu kalian berdua lagi... Kau mau ke Gringotts, Harry?"
"Kalau keluarga Weasley sudah kutemukan," kata Harry.
"Kau tak perlu tunggu lama," Hagrid nyengir.
Harry dan Hermione memandang berkeliling. Tam-pak Ron, Fred, George, Percy, dan Mr Weasley berlari-lari ke arah mereka di jalan yang padat itu.
"Harry," Mr Weasley tersengal. "Kami berharap kau cuma kejauhan satu perapian..." Dia menyeka kepala botaknya yang berkilauan. "Molly sudah panik—itu dia datang."
"Kau keluar di mana?" tanya Ron.
"Knockturn Alley," jawab Harry muram.
"Luar biasa!" komentar Fred dan George bersamaan.
"Kami belum pernah diizinkan ke sana," kata Ron iri.
"Mestinya memang tidak," gerutu Hagrid. Mrs Weasley kini sudah kelihatan, berlari dengan tas tangannya berayun liar di satu tangan, sementara Ginny bergantung di tangan lainnya.
"Oh, Harry—oh, Nak—kau bisa tersesat entah di mana..." Terengah kehabisan napas, dia menarik keluar sikat pakaian dari dalam tasnya dan mulai menyikat abu yang tidak berhasil dibersihkan Hagrid. Mr Weasley mengambil kacamata Harry, mengetuknya dengan tongkatnya, dan mengembalikannya pada Harry, sudah baru lagi.
"Aku harus pergi," kata Hagrid, yang tangannya dijabat erat-erat oleh Mrs Weasley ("Knockturn Alley! Coba kalau kau tidak menemukannya, Hagrid!"). "Sampai ketemu di Hogwarts!" Dan dia pergi, lebih tinggi sebahu daripada siapa pun juga di jalan yang padat itu.
"Coba tebak siapa yang kulihat di Borgin and Burkes?" kata Harry kepada Ron dan Hermione ketika mereka menaiki undakan Gringotts. "Malfoy dan ayahnya."
"Apa Lucius Malfoy membeli sesuatu?" tanya Mr Weasley tajam di belakang mereka.
"Tidak, dia jual."
"Ah, jadi dia cemas," kata Mr Weasley puas. "Oh, ingin rasanya menangkap Lucius Malfoy karena se-suatu...."
"Hati-hati, Arthur," kata Mrs Weasley tajam, semen-tara mereka dipersilakan masuk ke bank oleh goblin yang membungkuk di pintu. "Keluarga itu bikin ma-salah, jangan menyuap lebih daripada yang bisa kau-kunyah."
"Jadi menurutmu aku bukan tandingan Lucius Malfoy?" kata Mr Weasley jengkel, tetapi perhatiannya langsung beralih ke orangtua Hermione, yang sedang berdiri gelisah di depan meja panjang di dalam aula pualam besar itu, menunggu Hermione memperkenal-kan mereka.
"Wah, kalian Muggle!" kata Mr Weasley senang. "Kita harus minum! Apa yang kalian pegang itu? Oh, kalian menukar uang Muggle. Molly, lihat!" Dengan bersemangat ditunjuknya selembar uang sepuluh pound di tangan Mr Granger.
"Sampai ketemu di dalam," kata Ron kepada Hermione, ketika keluarga Weasley dan Harry diantar ke ruangan besi bawah tanah mereka oleh goblin Gringotts yang lain.
Ruangan besi itu dicapai dengan kereta kecil, di-kendarai goblin, yang meluncur kencang di atas rel kereta kecil melewati lorong-lorong bawah tanah bank. Harry menikmati perjalanannya yang berkecepatan supertinggi menuju ke ruangan besi keluarga Weasley. Ketika ruangan itu dibuka, dia merasa sangat tidak enak, jauh lebih tidak enak daripada sewaktu dia berada di Knockturn Alley. Hanya ada seonggok kecil Sickle perak di dalamnya, dan hanya ada sekeping Galleon emas. Mrs Weasley meraba-raba sudut-sudutnya sebelum meraup semuanya ke dalam tasnya. Harry merasa lebih tidak enak lagi ketika mereka tiba di ruangan besinya. Dia berusaha menutupi isinya dari pandangan selagi dia buru- buru memasukkan bergenggam-genggam koin ke dalam tas kulit.
Kembali di undakan pualam di luar, mereka ber-pisah. Percy bergumam tak jelas bahwa dia perlu pena baru. Fred dan George sudah melihat teman mereka dari Hogwarts, Lee Jordan. Mrs Weasley dan Ginny akan ke toko jubah bekas. Mr Weasley men-desak suami-istri Granger ke Leaky Cauldron untuk minum.
"Kita semua bertemu di Flourish and Blotts sejam lagi untuk membeli buku-buku sekolahmu," kata Mrs Weasley, mengajak Ginny pergi. "Dan jangan berani-berani ke Knockturn Alley selangkah pun jangan!" dia berteriak kepada punggung si kembar yang men-jauh.
Harry, Ron, dan Hermione berjalan menyusuri jalan batu berkelok. Uang emas, perak, dan perunggu yang bergemerincing di saku Harry menuntut dibelanjakan, maka dia membeli tiga es krim stroberi-kacang besar yang mereka nikmati dengan gembira sambil berjalan, melihat-lihat isi etalase yang menarik. Ron memandang penuh ingin satu set lengkap jubah Chudley Cannons di etalase Peralatan Quidditch Berkualitas sampai Hermione menariknya untuk membeli tinta dan per-kamen di toko sebelahnya. Di toko Lelucon Sihir Gambol and Japes, mereka bertemu Fred, George, dan Lee Jordan, yang sedang membeli "Kembang Api Awal-Basah, Tanpa-Panas Dr Filibuster", dan di toko kecil barang-barang rongsokan yang penuh tongkat patah, timbangan kuningan yang sudah butut, dan jubah-jubah tua bernoda bercak-bercak ramuan, mereka me-nemukan Percy, sedang asyik membaca buku kecil sangat membosankan berjudul Prefek yang Meraih Ke-kuasaan.
"Telaah tentang para Prefek Hogwarts dan karier yang mereka rintis," Ron membaca keras-keras dari sampul belakangnya. "Kedengarannya menarik sekali...."
"Pergi," Percy membentak.
"Tentu saja, si Percy itu sangat ambisius, dia sudah merencanakan segalanya... cita-citanya menjadi Men-teri Sihir...," Ron memberitahu Harry dan Hermione pelan, ketika mereka meninggalkan Percy bersama bukunya.
Satu jam kemudian, mereka menuju Flourish and Blotts. Bukan hanya mereka yang menuju toko buku itu. Ketika sudah dekat, mereka heran sekali melihat gerombolan orang yang berdesakan di depan pintu, mau masuk. Alasan untuk ini dinyatakan oleh spanduk besar yang digelar di antara dua jendela atas:
GILDEROY LOCKHART akan menandatangani autobiografinya AKU YANG AJAIB hari ini pukul 12.30 - 16.30
"Kita bisa bertemu dia!" pekik Hermione. "Maksudku, hampir seluruh buku yang ada di daftar kita karangannya!"
Gerombolan orang itu kelihatannya sebagian besar terdiri atas para penyihir wanita seusia Mrs Weasley. Seorang penyihir pria bertampang bingung berdiri di depan pintu,
berkata, "Tenang, Ibu-ibu... jangan dorong-dorongan... awas bukunya ketabrak..."
Harry Ron, dan Hermione ikut berdesakan masuk. Antrean panjang memanjang sampai ke bagian bela-kang toko, tempat Gilderoy Lockhart menandatangani bukunya. Mereka masing- masing menyambar buku Heboh dengan Hantu, dan menyelinap di antara orang-orang yang antre sampai tiba di tempat keluarga Weasley berdiri bersama Mr dan Mrs Granger.
"Oh, kalian sudah datang, bagus," kata Mrs Weasley Dia bicara seakan kehabisan napas dan tak henti-hentinya merapikan rambutnya. "Sebentar lagi kita bisa bertemu dia...." Gilderoy Lockhart akhirnya tampak, duduk di bela-kang meja dikelilingi foto-foto besar wajahnya sendiri, semua mengedipkan mata dan memamerkan gigi yang putih berkilau kepada para pengunjung. Lockhart yang sesungguhnya memakai jubah biru bunga for-get-me-not yang persis warna matanya, topi sihirnya yang berbentuk kerucut terpasang gaya di atas ram-butnya yang berombak.
Seorang laki-laki pendek bertampang menyebalkan melesat ke sana kemari, memotret dengan kamera besar hitam yang setiap kali mengeluarkan asap ungu bersamaan dengan menyalanya lampu blitz yang me-nyilaukan.
"Minggir kau," dia menggertak Ron, sambil mundur agar bisa mengambil gambar dengan lebih baik. "Ini untuk Daily Prophet."
"Uh, dasar sok," gerutu Ron, menggosok kakinya yang tadi diinjak si fotografer.
Gilderoy Lockhart mendengarnya. Dia mendongak. Dia melihat Ron—dan kemudian dia melihat Harry. Dia terbelalak. Kemudian dia melompat bangun dan berteriak keras, "Tak mungkin itu Harry Potter?"
Kerumunan orang menyibak, berbisik-bisik seru. Lockhart bergegas maju, meraih lengan Harry dan menariknya ke depan. Orang-orang bertepuk tangan. Wajah Harry serasa terbakar ketika Lockhart menjabat tangannya, berpose untuk si fotografer, yang memotret gila-gilaan, menyebar asap tebal di atas keluarga Weasley.
"Senyum yang lebar, Harry," kata Lockhart sambil memamerkan giginya yang berkilau. "Berdua, kau dan aku layak menghiasi halaman depan."
Ketika dia akhirnya melepas tangan Harry, jari-jari Harry nyaris kebas. Dia mencoba menyelinap kembali kepada keluarga Weasley, tetapi Lockhart melingkarkan lengannya ke bahu Harry dan menariknya rapat-rapat ke sisinya.
"Ibu-ibu dan Bapak-bapak," katanya keras, me-lambaikan tangan agar pengunjung diam. "Sungguh saat yang luar biasa. Saat yang paling tepat bagiku untuk mengumumkan sesuatu yang sudah kusimpan selama beberapa waktu ini!
"Ketika Harry masuk ke Flourish and Blotts hari ini, dia hanya ingin membeli autobiografi saya, yang de-ngan senang hati akan saya hadiahkan kepadanya sekarang, gratis..." orang-orang bertepuk tangan lagi, "...dia sama sekali tak tahu," Lockhart melanjutkan, mengguncang tubuh Harry, membuat kacamatanya melorot ke ujung hidungnya, "bahwa dalam waktu dekat dia sendiri akan mendapatkan jauh lebih banyak daripada buku saya, Aku yang Ajaib. Dia dan teman-teman sekolahnya, sebenarnya, akan mendapat aku yang ajaib yang sesungguhnya. Ya, Ibu-ibu dan Bapak-bapak, dengan senang dan bangga saya umumkan bahwa bulan September ini saya akan mengisi jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam di Sekolah Sihir Hogwarts!"
Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan dan Harry tahu-tahu dihadiahi seluruh karya Gilderoy Lockhart. Sedikit terhuyung karena keberatan, dia ber-hasil menyingkir dari pusat perhatian ke tepi ruangan, tempat Ginny berdiri di sebelah kuali barunya.
"Ini untukmu," Harry bergumam kepadanya, me-nuang buku-bukunya ke dalam kuali Ginny. "Aku akan beli sendiri..."
"Taruhan kau pasti senang, ya, Potter?" kata suara yang langsung dikenali Harry. Dia menegakkan tubuh-nya dan berhadapan dengan Draco Malfoy, yang se-perti biasa mencibir.
"Harry Potter yang terkenal," kata Malfoy. "Bahkan. tak bisa masuk toko buku tanpa muncul di halaman pertama koran."
"Jangan ganggu dia, dia tidak menginginkan semua itu!" kata Ginny. Ini pertama kalinya dia bicara di depan Harry. Dia membelalak kepada Malfoy.
"Potter, kau punya pacar nih," ejek Malfoy. Wajah Ginny jadi merah padam. Sementara itu Ron dan Hermione bersusah payah berusaha mendekati me-reka, keduanya memeluk setumpuk buku Lockhart.
"Oh, kau," kata Ron, memandang Malfoy seakan dia sesuatu yang tidak menyenangkan di sol sepatu-nya. "Pasti kau kaget ketemu Harry di sini, eh?"
"Tidak sekaget melihatmu di toko, Weasley," balas Malfoy.
"Kurasa orangtuamu akan kelaparan sebulan demi membayar buku-buku itu."
Wajah Ron jadi semerah Ginny. Dia menjatuhkan buku- bukunya ke dalam kuali juga dan maju men-dekati Malfoy, tetapi Harry dan Hermione menyambar bagian belakang jaketnya.
"Ron!" kata Mr Weasley, berdesakan mendekat ber-sama Fred dan George. "Sedang apa kau? Gila sekali di sini, ayo kita keluar."
"Wah, wah, wah—Arthur Weasley."
Ternyata Mr Malfoy. Dia berdiri dengan tangan di bahu Draco, mencibir dengan cara yang sama.
"Lucius," kata Mr Weasley, mengangguk dingin.
"Sibuk di Kementerian, kudengar," kata Mr Malfoy. "Razia terus-terusan... kuharap mereka membayar uang lembur?"
Dia meraih ke dalam kuali Ginny dan mengeluar-kan, dari antara buku-buku Lockhart yang licin ber-kilat, buku Pengantar Transfigurasi bagi Pemula yang sudah sangat usang dan kumal.
"Jelas tidak," katanya. "Astaga, buat apa mendapat nama buruk di kalangan para penyihir kalau mereka bahkan tidak membayarmu dengan baik?"
Mr Weasley lebih merah padam daripada Ron dan Ginny.
"Kami punya penilaian yang sangat berbeda tentang apa yang mendatangkan nama buruk bagi penyihir, Malfoy," katanya.
"Itu jelas," kata Mr Malfoy, matanya yang pucat ganti menatap Mr dan Mrs Granger, yang mengawasi dengan khawatir. "Melihat teman-teman yang kaupilih, Weasley... kupikir keluargamu sudah tidak bisa ter-puruk lebih dalam lagi..."
Terdengar dentang logam ketika kuali Ginny ter-bang. Mr Weasley telah menerjang Mr Malfoy, mem-buatnya jatuh ke belakang menabrak rak buku. Ber-puluh-puluh buku mantra berat berjatuhan mengenai kepala mereka semua. Terdengar teriakan, "Hajar dia, Dad!" dari Fred dan George. Mrs Weasley berteriak-teriak, "Jangan, Arthur, jangan!" Orang banyak ber-gerak mundur, menabrak lebih banyak rak buku. "Bapak- bapak, jangan berkelahi—tolong jangan ber-kelahi!" seru pegawai toko. Dan kemudian, lebih keras dari semuanya,
"Berhenti, hei, berhenti..."
Hagrid berjalan ke arah mereka di tengah lautan buku. Sekejap saja dia sudah memisahkan Mr Weasley dan Mr Malfoy. Bibir Mr Weasley robek dan mata Mr Malfoy bengkak tertimpa Ensiklopedi Jamur Payung. Dia masih memegangi buku transfigurasi usang Ginny. Diulurkannya buku itu kepada Ginny, matanya ber-kilau jahat.
"Nih, ambil bukumu—ini yang paling baik yang bisa dibelikan ayahmu..."
Melepaskan diri dari pegangan Hagrid, dia memberi isyarat kepada Draco dan meninggalkan toko.
"Kau seharusnya jangan acuhkan dia, Arthur," kata Hagrid, nyaris mengangkat" Mr Weasley yang sedang merapikan jubahnya. "Jahat sekali, seluruh keluarga, semua orang tahu. Malfoy tak layak didengarkan. Darah jelek, itu penyebabnya. Ayo—kita keluar dari sini."
Si pegawai toko kelihatannya ingin mencegah mereka pergi, tetapi tingginya tak sampai seping-gang Hagrid. Jadi, dia memutuskan lebih baik diam saja. Mereka bergegas ke jalan, suami-istri Granger gemetar ketakutan dan Mrs Weasley bukan main marahnya.
"Contoh bagus untuk anak-anakmu... berkelahi di depan umum... entah apa pendapat Gilderoy Lockhart...."
"Dia senang," kata Fred. "Apa Mum tidak men-dengarnya ketika kita keluar? Dia bertanya kepada wartawan Daily Prophet, apakah bisa memasukkan perkelahian itu dalam tulisannya—katanya untuk publisitas."
Tetapi rombongan yang kembali ke perapian di Leaky Cauldron adalah rombongan yang lesu. Dari tempat itu Harry, keluarga Weasley, dan semua belanjaan mereka akan pulang ke The Burrow meng-gunakan bubuk Floo. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga Granger, yang akan me-ninggalkan rumah minum itu untuk menuju ke jalan Muggle di sisi lain. Mr Weasley sudah mulai bertanya kepada mereka bagaimana cara halte bus beroperasi, tetapi cepat- cepat berhenti ketika melihat tampang Mrs Weasley.
Harry membuka kacamatanya dan menyimpannya dengan aman di dalam sakunya sebelum menjumput bubuk Floo. Ini jelas bukan cara bepergian favoritnya.

5. Dedalu Perkasa


AKHIR liburan musim panas datang terlalu cepat bagi Harry. Dia memang senang kembali ke Hogwarts, tetapi sebulan bersama keluarga Weasley merupakan saat paling menyenangkan dalam hidupnya. Susah untuk tidak iri kepada Ron kalau dia teringat keluarga Dursley dan macam sambutan yang bisa diharapkannya kalau dia muncul kembali di Privet Drive kali berikutnya.
Pada malam terakhir mereka, Mrs Weasley menyihir makan malam mewah yang mencakup semua ma-kanan favorit Harry ditutup dengan puding karamel yang menimbulkan air liur. Fred dan George meng-akhiri malam itu dengan memasang kembang api Filibuster. Kembang api itu memenuhi dapur dengan bintang-bintang merah dan biru yang memantul dari langit-langit ke dinding selama sedikitnya setengah jam. Kemudian tiba saatnya untuk minum secangkir cokelat panas sebelum tidur.
Perlu waktu lama untuk siap berangkat keesokan harinya. Mereka sudah bangun bersamaan dengan kokok ayam pagi-
pagi sekali, tetapi rasanya banyak sekali yang harus dilakukan. Mrs Weasley berkelebat ke sana kemari sambil ngomel, mencari kaus kaki dan pena cadangan. Orang-orang tak hentinya bertabrakan di tangga, berpakaian setengah-lengkap, dengan se-potong roti di tangan, dan Mr Weasley nyaris patah leher karena terantuk ayam tersesat ketika dia me-nyeberangi halaman dengan membawa koper Ginny ke mobil.
Harry tidak mengerti bagaimana nanti delapan orang, enam koper besar, dua burung hantu, dan seekor tikus bisa muat dalam Ford Anglia kecil. Dia tidak memperhitungkan, tentu saja, keistimewaan khu-sus yang telah ditambahkan Mr Weasley.
"Jangan bilang apa-apa kepada Molly," bisiknya ke-pada Harry ketika dia membuka -bagasi dan me-nunjukkan bagaimana bagasi itu sudah dibesarkan dengan sihir sehingga bisa memuat koper-koper.
Ketika akhirnya mereka semua sudah masuk mobil, Mrs Weasley melirik ke tempat duduk belakang, di mana Harry, Ron, Fred, George, dan Percy duduk nyaman bersebelahan, dan berkata, "Muggle benar-benar mampu melakukan lebih banyak daripada yang kita kira. Kita suka meremehkan mereka." Dia dan Ginny masuk dan duduk di tempat duduk depan, yang sudah dipanjangkan sehingga mirip bangku taman. "Maksudku, dari luar kita tidak menyangka selega ini, kan?"
Mr Weasley menyalakan mesin dan mobil meluncur meninggalkan halaman. Harry menoleh untuk meman-dang rumah terakhir kali. Belum sempat dia bertanya kapan dia akan bisa melihatnya kembali, mereka sudah berputar balik. Kembang api Filibuster George ke-tinggalan. Lima menit sesudah itu, mereka menyentak berhenti di halaman supaya Fred bisa berlari mengam-bil sapunya. Mereka sudah hampir tiba di jalan tol ketika Ginny memekik buku hariannya ketinggalan. Saat dia naik kembali ke mobil, mereka sudah sangat terlambat, dan semua orang sudah jengkel dan mau-nya marah.
Mr Weasley melirik arlojinya dan kemudian istrinya.
"Molly sayang..."
"Tidak, Arthur."
"Tak akan ada yang lihat. Tombol kecil ini—Buster Tidak Tampak—pendorong yang akan membuat mobil tidak kelihatan—yang sekaligus akan membuatnya ter-angkat ke atas. Kemudian kita akan terbang di atas awan. Kita akan tiba di sana dalam waktu sepuluh menit dan tak akan ada orang yang tahu..."
"Kubilang tidak, Arthur, tidak di siang bolong."
Mereka tiba di King's Cross pukul sebelas kurang seperempat. Mr Weasley melesat menyeberang jalan, mengambil troli untuk koper-koper mereka, dan me-reka semua bergegas masuk stasiun.
Harry sudah pernah naik Hogwarts Express tahun sebelumnya. Bagian yang sulit adalah menuju ke peron sembilan tiga perempat, yang tidak tampak bagi mata Muggle. Yang harus kaulakukan hanyalah berjalan menembus palang rintangan yang memisah-kan peron sembilan dan sepuluh. Tidak sakit, tetapi harus dilakukan hati-hati supaya tak ada Muggle yang melihat kau tiba-tiba menghilang.
"Percy duluan," kata Mrs Weasley, gugup me-mandang jam di atas yang menunjukkan mereka ting-gal punya waktu lima menit untuk menghilang de-ngan santai melewati palang rintangan.
Percy melangkah cepat dan menghilang. Mr Weasley berikutnya, disusul Fred dan George.
"Aku akan membawa Ginny dan kalian berdua langsung menyusul," Mrs Weasley berkata kepada Harry dan Ron,
menggandeng tangan Ginny dan berangkat. Dalam sekejap mereka sudah menghilang.
"Ayo masuk bareng, kita cuma punya waktu se-menit," kata Ron kepada Harry.
Setelah memastikan sangkar Hedwig sudah ter-pasang aman di atas kopernya, Harrry mendorong trolinya untuk menembus palang. Dia merasa sangat percaya diri. Ini lebih nyaman dibanding meng-gunakan bubuk Floo. Mereka berdua membungkuk rendah di atas pegangan troli dan berjalan man tap ke arah palang rintangan, makin lama makin cepat. Kira-kira semeter dari palang mereka berlari dan...
GUBRAK.
Kedua troli menabrak palang rintangan dan me-mantul balik. Koper Ron jatuh dengan suara keras. Harry terjatuh dan sangkar Hedwig terguling ke lantai yang licin lalu menggelinding. Hedwig menjerit-jerit marah. Orang-orang menonton dan seorang penjaga di dekat palang berteriak marah, "Kalian ini ngapain?"
"Kehilangan kendali troli," kata Harry tersengal, memegangi tulang rusuknya sambil berdiri. Ron berlari untuk mengambil Hedwig, yang ribut sekali, membuat banyak orang dalam kerumunan bergumam tentang kekejaman terhadap binatang.
"Kenapa kita tidak bisa tembus?" desis Harry kepada Ron.
"Entahlah..."
Ron memandang berkeliling dengan cemas. Kira-kira selusin orang masih memandang mereka dengan ingin tahu.
"Kita akan ketinggalan kereta," bisik Ron. "Aku tak mengerti kenapa gerbang masuk ini terkunci..." Harry memandang jam raksasa dengan hati men-celos. Sepuluh detik... sembilan detik...
Dia mendorong trolinya ke depan dengan hati-hati sampai menempel ke palang dan mendorong sekuat tenaga. Logam palang tetap kokoh.
Tiga detik... dua detik... satu detik...
"Keretanya berangkat," kata Ron panik. "Keretanya sudah berangkat. Bagaimana kalau Mum dan Dad tidak bisa menembus gerbang kembali ke kita? Kau punya uang Muggle?"
Harry tertawa hambar. "Sudah kira-kira enam tahun ini keluarga Dursley tidak memberiku uang saku." Ron menempelkan telinganya ke palang yang dingin.
"Tidak kedengaran apa-apa," ka.tanya tegang. "Apa yang akan kita lakukan? Aku tak tahu berapa lama lagi Mum dan Dad bisa kembali ke kita."
Mereka memandang berkeliling. Orang-orang masih mengawasi mereka, terutama gara-gara teriakan-teriakan Hedwig yang tak kunjung berhenti.
"Kurasa lebih baik kita menunggu di mobil," kata Harry.
"Kita menarik terlalu banyak perhat..."
"Harry!" seru Ron, matanya berbinar. "Mobil."
"Kenapa mobilnya?"
"Kita bisa menerbangkannya ke Hogwarts!"
"Tapi bukankah..."
"Kita ketinggalan kereta, betul? Dan kita harus ke sekolah, kan? Dan bahkan penyihir di bawah umur diizinkan menggunakan sihir, kalau keadaan benar-benar darurat, pasal sembilan belas atau entah berapa dalam Pembatasan Hal- hal..."
Kepanikan Harry mendadak berubah menjadi ke-gairahan.
"Kau bisa menerbangkannya?"
"Tidak masalah," kata Ron, memutar trolinya meng-hadap pintu keluar. "Ayo, cepat, kalau bergegas kita masih akan bisa mengikuti Hogwarts Express."
Mereka melewati kerumunan Muggle-muggle yang ingin tahu, keluar dari stasiun dan kembali ke tepi jalan tempat Ford Anglia tua diparkir.
Ron membuka bagasinya yang luas dengan sederet ketukan tongkatnya. Dengan susah payah mereka me-masukkan kembali koper-koper mereka, meletakkan Hedwig di tempat duduk belakang, dan duduk di tempat duduk depan.
"Periksa apa ada yang melihat," kata Ron, meng-hidupkan mesin dengan ketukan tongkatnya juga. Harry menjulurkan kepala ke luar jendela. Jalan raya di depan cukup ramai, tetapi jalan tempat mereka berada kosong.
"Oke," katanya.
Ron menekan tombol perak kecil di dasbor. Mobil-mobil di sekitar mereka lenyap—begitu juga mereka. Harry bisa merasakan tempat duduknya bergetar, men-dengar derum mesinnya, merasakan tangannya di lututnya dan kacamata yang bertengger di hidungnya, tetapi rasanya dia sudah berubah menjadi sepasang bola mata saja, melayang kira-kira semeter di atas tanah di jalan kumuh yang dipenuhi mobil- mobil yang parkir.
"Kita berangkat," terdengar suara Ron dari sebelah kanannya.
Tanah dan bangunan-bangunan kotor di kanan-kiri mereka terjatuh dan menghilang dari pandangan ketika mobil mengangkasa. Dalam beberapa detik saja seluruh London terhampar berkabut dan berkilau di bawah mereka.
Kemudian terdengar bunyi pop dan mobil, Harry, serta Ron kelihatan lagi. "Uh, oh," kata Ron, menekan-nekan Buster Tidak Tampak. "Rusak rupanya..." Keduanya memukul-mukul tombol itu. Mobil kem-bali menghilang. Kemudian muncul lagi.
"Pegangan!" teriak Ron, dan dia menekankan kaki-nya ke pijakan gas. Mereka langsung melesat ke dalam awan-awan rendah seperti wol dan segalanya berubah menjadi suram dan berkabut.
"Sekarang bagaimana?" tanya Harry, menatap dinding awan tebal yang menekan mereka dari segala penjuru.
"Kita perlu melihat kereta apinya agar bisa melihat ke arah mana kita harus pergi," kata Ron.
"Turun lagi—cepat..."
Mereka turun lagi ke bawah awan-awan dan me-nyipitkan mata memandang ke bawah... "Aku bisa melihatnya!" Harry berteriak. "Itu dia— itu, di sana!" Hogwarts Express meluncur di bawah mereka se-perti ular merah.
"Ke utara," kata Ron, mengecek kompas di dasbor. "Oke, kita tinggal mengeceknya setengah jam sekali. Pegangan..." Dan mereka melesat menembus awan. Semenit kemudian, mereka muncul dalam cahaya te-rang matahari.
Sungguh dunia yang berbeda. Roda-roda mobil me-luncur di atas lautan awan-awan putih lembut. Langit terhampar biru di bawah sinar matahari yang me-nyilaukan.
"Yang tinggal kita cemaskan hanyalah pesawat," kata Ron. Mereka saling pandang dan mulai tertawa, lama sekali tak bisa berhenti.
Rasanya mereka dijatuhkan ke dalam mimpi yang luar biasa indah. Ini, pikir Harry, jelas satu-satunya cara bepergian; melewati pusaran dan gundukan awan-awan seputih salju, di dalam mobil yang disiram cahaya matahari, dengan bungkusan besar permen di dalam kompartemen, dan harapan melihat wajah iri Fred dan George ketika mereka mendarat dengan mulus dan spektakuler di lapangan rumput di depan kastil Hogwarts.
Secara teratur mereka mengecek kereta api semen-tara mereka terbang makin lama makin jauh ke utara. Setiap kali menukik ke bawah awan, pemandangan yang mereka lihat berbeda. London segera saja sudah jauh tertinggal di belakang, digantikan ladang-ladang hijau yang kemudian disusul tanah-tanah luas ke-unguan, desa-desa dengan rumah dan gereja yang tampak kecil-kecil seperti mainan, dan sebuah kota besar yang hidup dengan mobil-mobil berseliweran seperti semut-semut multi-warna.
Meskipun demikian, setelah beberapa jam tanpa kejadian apa-apa, Harry harus mengakui bahwa se-bagian keasyikannya sudah pudar. Permennya telah membuat mereka haus sekali dan mereka tak punya apa-apa untuk diminum. Dia dan Ron sudah melepas rompi mereka, tetapi T-shirt Harry sudah menempel ke tempat duduknya dan kacamatanya bolak-balik merosot dari hidungnya yang berkeringat. Dia sudah berhenti mengamati bentuk-bentuk awan yang fan-tastis sekarang, dan memikirkan kereta api yang ber-kilo- kilo meter di bawah mereka. Di dalam kereta mereka bisa membeli jus labu kuning dingin dari troli yang didorong penyihir wanita gemuk. Kenapa mereka tidak bisa menembus palang menuju peron sembilan tiga perempat?
"Pasti tidak jauh lagi, kan?" kata Ron serak, berjam-jam kemudian, ketika matahari sudah mulai terbenam dalam landasan awannya, membuatnya berwarna merah jingga.
"Siap mengecek kereta api lagi?"
Kereta apinya masih di bawah mereka, berkelok mengitari gunung yang puncaknya berselimut salju. Di bawah kanopi awan keadaan jauh lebih gelap.
Ron menginjak gas dan membawa mobil naik lagi, tetapi mendadak mesinnya mulai menderu aneh.
Harry dan Ron bertukar pandang gugup. "Mungkin cuma lelah," kata Ron. "Soalnya belum pernah pergi sejauh ini..."
Dan mereka berdua berpura-pura tidak memper-hatikan deru aneh yang semakin lama semakin keras, sementara langit secara pasti semakin gelap. Bintang-bintang bermunculan dalam kegelapan. Harry kembali memakai rompinya, berusaha mengabaikan kipas kaca mobil yang sekarang bergerak-gerak lemah, seakan memprotes.
"Tidak jauh lagi," kata Ron, lebih kepada mobilnya daripada kepada Harry. "Tidak jauh lagi sekarang," dan dia membelai dasbor dengan gugup.
Ketika mereka terbang kembali di bawah awan-awan tak lama kemudian, mereka harus menyipitkan mata menembus kegelapan untuk mencari tanda-tanda yang mereka kenal.
"Itu dia!" teriak Harry, membuat Ron dan Hedwig terlonjak kaget. "Di depan!"
Seperti siluet di kaki langit yang gelap, tinggi di atas karang di seberang danau, tampaklah menara-menara kastil Hogwarts.
Tetapi mobil sudah mulai bergetar dan kecepatannya sudah berkurang.
"Ayolah," kata Ron membujuk, menggoyang sedikit roda kemudi, "sudah hampir sampai, ayolah..."
Mesin mengeluh. Semburan-semburan asap ber-munculan dari bawah kap mobil. Harry memegangi tepi tempat duduknya erat-erat ketika mereka terbang menuju danau.
Mobil berguncang keras. Mengerling ke luar lewat jendela, Harry melihat permukaan air yang licin gelap berkilauan, satu setengah kilo di bawah mereka. Buku-buku jari Ron memutih di atas roda kemudi. Mobil berguncang lagi.
"Ayolah," Ron bergumam. Mereka berada di atas danau... kastil persis di depan mereka... Ron menginjak pedal gas. Terdengar bunyi debam keras, bunyi merepet, kemu-dian mesin mati total.
"Uh, oh," kata Ron dalam kesunyian.
Hidung mobil merendah. Mereka terjatuh, makin lama makin cepat, menuju tembok kastil yang kokoh.
"Tidaaaaaaaaak!" jerit Ron, membanting setir seratus delapan puluh derajat Mereka lolos dari tembok hanya beberapa senti saja ketika mobil berbelok dalam lengkungan besar, melesat di atas rumah-rumah kaca yang gelap, melewati kebun sayur, dan keluar ke halaman yang gelap, semakin lama semakin rendah.
Ron melepas roda kemudi sepenuhnya dan menarik tongkatnya dari saku belakang.
"STOP! STOP!" dia memekik, memukul-mukul dasbor dan kaca depan, tetapi mereka terus meniikik, daratan serasa terbang ke atas menyongsong mereka....
"AWAS POHON ITU!" Harry berteriak, menyambar roda kemudi, tetapi terlambat...
GUBRAK!
Bunyi logam menabrak kayu memekakkan telinga ketika mobil menghantam batang pohon yang besar. Mobil terbanting ke tanah dengan empasan keras. Asap mengepul dari atapnya yang penyok. Hedwig menjerit-jerit ketakutan, benjolan sebesar bola golf berdenyut-denyut di kepala Harry yang tadi mem-bentur kaca depan, dan di sebelah kanannya Ron mengerang putus asa.
"Kau tak apa-apa?" tanya Harry cemas. "Tongkatku," kata Ron dengan suara gemetar. "Lihat tongkatku."
Tongkat itu patah, nyaris menjadi dua. Ujungnya tergantung lunglai, hanya menempel pada seserpih kayu.
Harry membuka mulut untuk mengatakan dia yakin mereka akan bisa membetulkannya di sekolah, tetapi dia tak sempat bicara apa-apa. Tepat pada saat itu sesuatu menghantam mobil di sisi tern pat Harry duduk, dengan kekuatan banteng gila. Harry terlempar ke arah Ron. Pada saat bersamaan, pukulan yang sama besarnya menghantam atap mobil.
"Apa yang terja...?"
Ron ternganga kaget, terbelalak memandang lewat kaca depan, dan Harry berbalik tepat ketika dahan sebesar ular piton menghantam kaca itu. Pohon yang mereka tabrak menyerang mereka. Batangnya ter-bungkuk nyaris terlipat dua, dan dahan-dahannya yang berbonggol-bonggol memukul-mukul segala bagian mobil yang bisa dicapainya.
"Aaaargh!" jerit Ron ketika dahan bengkok lain menghantam pintu mobilnya sampai melesak. Kaca depan sekarang bergetar di bawah hujan pukulan ranting-ranting— yang bentuknya seperti buku-buku jari. Dan dahan setebal alu memukul-mukul atap mobil, yang kelihatannya sudah siap ambruk....
"Lari!" Ron berteriak, melempar tubuhnya ke pintu, tetapi detik berikutnya dia sudah dihantam mundur ke pangkuan Harry oleh dahan yang lain lagi.
"Habis deh kita!" erangnya, ketika atap mobil me-lesak, tetapi mendadak lantai mobil bergetar—mesin-nya hidup lagi.
"Mundur!" teriak Harry dan mobil meluncur ke belakang. Pohon itu masih mencoba memukuli mereka. Mereka bisa mendengar akar.-akarnya berkeriut ketika si pohon nyaris mencabut dirinya sendiri dalam usaha-nya memukul mereka yang meluncur menjauh dari jangkauan.
"Nyaris...," sengal Ron, "...saja. Bagus sekali, Bil."
Tetapi si mobil telah kehabisan kesabaran. Dengan dua bunyi berkelontang, pintu-pintu terbuka dan Harry merasa tempat duduknya terangkat miring, lalu tahu-tahu dia sudah telentang di tanah basah. Bunyi "bag... bug..." keras memberitahunya bahwa mobil sedang mengeluarkan koper- koper mereka dari bagasi. Sangkar Hedwig melayang di udara dan jatuh terbuka. Burung hantu betina itu terbang keluar de-ngan jeritan marah dan terbang menuju kastil tanpa menoleh ke belakang. Kemudian, mobil yang sudah melesak, penyok, tergores-gores, dan berasap ini me-luncur ke dalam kegelapan. Lampu belakangnya me-nyorot penuh kemarahan.
"Kembali!" Ron meneriakinya, sambil mengacung-acungkan tongkatnya. "Dad akan membunuhku!" Tetapi mobil itu menghilang dari pandangan seiring dengusan terakhir knalpotnya. "Bisakah kaupercayai nasib kita?" ratap Ron merana, membungkuk untuk memungut Scabbers si tikus.
"Dari begitu banyak pohon yang bisa kita tabrak, kita ternyata menabrak yang itu."
Dia mengerling lewat bahunya ke pohon tua itu, yang masih melambai-lambaikan dahan-dahannya de-ngan penuh ancaman.
"Ayo," kata Harry letih, "lebih baik kita ke sekolah...." Kedatangan mereka bukanlah kedatangan penuh kejayaan yang mereka bayangkan. Dengan badan kaku, memar, dan kedinginan, mereka meraih ujung koper mereka dan mulai menyeretnya terseok-seok mendaki bukit berumput, menuju pintu besar dari kayu ek.
"Kurasa pestanya sudah mulai," kata Ron, menjatuh-kan kopernya di kaki undakan dan diam-diam me-nyeberang untuk mengintip dari jendela yang terang benderang. "Hei, Harry, lihat—sedang acara seleksi!"
Harry bergegas mendekat dan berdua mereka mengintip ke dalam Aula Besar.
Lilin-lilin tak terhitung banyaknya beterbangan di atas empat meja panjang, membuat piring-piring dan piala emas di atasnya berkilauan. Di atasnya, langit-langit sihiran tampak persis dengan langit di luar, dengan taburan bintang berkelap- kelip.
Menembus hutan topi kerucut hitam Hogwarts, Harry melihat deretan panjang anak-anak kelas satu yang ketakutan memasuki Aula. Ginny berada di antara mereka, mudah ditemukan karena rambut Weasley-nya yang merah mencolok. Sementara itu, Profesor McGonagall, penyihir wanita berkacamata de-ngan rambut digelung ketat, meletakkan Topi Seleksi Hogwarts yang terkenal di atas bangku di depan para murid baru.
Setiap tahun, topi tua ini, yang sudah bertambal, berjumbai, dan kotor, menyeleksi murid-murid baru ke dalam empat asrama Hogwarts (Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin). Harry ingat betul bagaimana perasaannya ketika dia memakai topi itu, tepat setahun yang lalu, dan dengan ketakutan menunggu keputusan si topi, sementara topi itu ber-gumam keras ke dalam telinganya. Selama beberapa detik mengerikan dia takut topi itu akan memasuk-kannya ke Slytherin, asrama yang telah menghasilkan lebih banyak penyihir hitam dibanding ketiga asrama lainnya—tetapi ternyata dia terpilih masuk Gryffindor, bersama Ron,. Hermione, dan anak-anak keluarga Weasley yang lain. Semester yang lalu, Harry dan Ron telah membantu Gryffindor memenangkan Piala Asrama, mengalahkan Slytherin untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun tefakhir. Seorang anak laki-laki kecil berambut kelabu seperti tikus dipanggil ke depan untuk meletakkan topi itu di kepalanya. Mata Harry memandang melewati anak ini ke tempat Profesor Dumbledore, kepala sekolah, yang duduk menonton seleksi ini dari meja guru, jenggot panjangnya yang keperakan dan kacamata bulan-separonya berkilauan tertimpa cahaya lilin.
Be-berapa kursi dari Dumbledore, Harry melihat Gilderoy Lockhart, memakai jubah berwarna hijau toska. Dan di ujung meja duduk Hagrid, besar dan berbulu, asyik minum dari pialanya.
"Eh...," Harry bergumam kepada Ron. "Ada kursi kosong di meja guru... Di mana Snape?"
Profesor Snape adalah guru yang paling tidak di-sukai Harry. Harry kebetulan juga murid yang paling tidak disukai Snape.' Snape yang kejam, sinis, dan tidak disukai oleh semua anak, kecuali anak-anak dari asramanya sendiri (Slytherin), mengajar Ramuan.
"Mungkin dia sakit!" kata Ron penuh harap. ''Mungkin dia keluar," kata Harry, "karena tidak terpilih mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lagil" "Atau siapa tahu dia dikeluarkan!" kata Ron penuh semangat. "Maksudku, semua anak benci padanya..."
"Atau mungkin," kata suara sangat dingin tepat di belakang mereka, "dia sedang menunggu alasan kenapa kalian berdua tidak datang naik kereta api sekolah."
Harry berputar. Di depannya, dengan jubah hitam beriak ditiup angin sepoi, berdiri Severus Snape. Snape bertubuh kurus, dengan kulit pucat, hidung bengkok, dan rambut berminyak sebahu, dan pada saat ini dia sedang tersenyum sedemikian rupa sehingga Harry tahu dia dan Ron dalam kesulitan besar.
"Ikut aku," kata Snape.
Bahkan saling pandang pun mereka tak berani. Harry dan Ron mengikuti Snape menaiki undakan memasuki Aula Depan yang bergema, yang dikelilingi obor. Aroma lezat masakan menguar dari Aula Besar, tetapi Snape membawa mereka menjauh dari ke-hangatan dan cahaya, menuruni tangga batu sempit yang menuju ke ruang bawah tanah.
Mereka melewati lorong yang gelap dan dingin.
Setelah setengah jalan menyusurinya, terdapat sebuah pintu. "Masuk!" perintah Snape, seraya menunjuk.
Mereka masuk ke kantor Snape, gemetar. Dinding-nya yang remang-remang dikelilingi rak penuh staples kaca besar. Di dalam staples-staples itu mengapung berjenis-jenis benda menjijikkan yang namanya tak ingin diketahui Harry saat ini. Perapiannya gelap dan kosong. Snape menutup pintu dan berbalik meman-dang mereka.
"Jadi," katanya pelan, "kereta api tidak cukup baik untuk Harry Potter yang terkenal dan sahabat setia-nya, Weasley. Ingin datang dengan sambutan meriah, begitu, ya?"
"Tidak, Sir, penyebabnya palang rintangan di King's Cross. Palang itu..."
"Diam!" bentak Snape dingin. "Kauapakan mobilnya?"
Ron menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya Snape memberi kesan bahwa dia bisa membaca pi-kiran. Tetapi sesaat kemudian, ketika Snape membuka Evening Prophet— koran sihir sore terbitan hari itu, dia pun mengerti.
"Ada yang melihat kalian," dia mendesis, menunjuk-kan kepala beritanya: FORD ANGLIA TERBANG MEMBUAT TAKJUB MUGGLE. Dia mulai membacanya keras-keras. "Dua Muggle di London yakin mereka melihat sebuah mobil tua terbang di atas menara Kantor Pos... pada siang hari di Norfolk, Mrs Hetty Bayliss, ketika sedang menjemur cucian... Mr Angus Fleet di Peebles melapor kepada polisi... enam atau tujuh Muggle totalnya. Bukankah ayahmu bekerja di Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle?" kata-nya, menatap Ron dan tersenyum semakin menyebal-kan. "Astaga, astaga... anaknya sendiri..."
Harry merasa seakan perutnya baru saja dihantam salah satu dahan besar pohon gila itu. Jika sampai ketahuan Mr Weasley telah menyihir mobil itu... dia tidak memikirkan ini sebelumnya....
"Kuperhatikan, sewaktu aku mencari di halaman, bahwa kerusakan cukup besar telah menimpa pohon Dedalu Perkasa yang sangat berharga," Snape me-neruskan.
"Pohon itu merusak kami lebih banyak daripada kami...," Ron menyela.
"Diam!" bentak Snape lagi. "Sayang sekali kalian tidak di asramaku dan keputusan untuk mengeluarkan kalian tidak ada padaku. Aku akan memanggil orang-orang yang punya kekuasaan menyenangkan itu. Kalian tunggu di sini."
Harry dan Ron saling pandang, wajah mereka pucat. Harry tidak merasa lapar lagi. Dia malah merasa sangat mual. Dia berusaha tidak melihat sesuatu yang besar berlendir dalam cairan hijau di rak di belakang meja Snape. Kalau Snape memanggil Profesor McGonagall, kepala asrama Gryffindor, nasib mereka tak akan lebih baik. Dia mungkin lebih adil daripada Snape, tetapi disiplinnya ketat sekali.
Sepuluh menit kemudian, Snape muncul kembali, dan benar saja, Profesor McGonagall-lah yang me-nemaninya. Harry sudah pernah melihat Profesor McGonagall marah dalam beberapa kesempatan, tetapi entah apakah dia sudah lupa betapa tipisnya bibir Profesor McGonagall kalau sedang marah, atau Harry belum pernah melihatnya semarah ini. Profesor McGonagall mengangkat tongkatnya begitu dia me-masuki ruangan. Harry dan Ron berjengit, tetapi dia cuma menunjuk ke perapian kosong, yang apinya langsung berkobar menyala.
"Duduk," katanya, dan mereka berdua mundur untuk duduk di kursi di dekat perapian. "Jelaskan," katanya, kacamatanya berkilat-kilat me-nyeramkan. Ron langsung bercerita, mulai dengan palang rin-tangan di stasiun yang menolak mereka lewati. "...jadi kami tak punya pilihan, Profesor, kami tidak bisa naik kereta api."
"Kenapa kalian tidak mengirim surat lewat burung hantu? Bukankah kau punya burung hantu?" Profesor McGonagall berkata dingin kepada Harry.
Harry ternganga. Setelah Profesor McGonagall me-ngatakannya, baru terpikir itulah yang seharusnya mereka lakukan.
"Saya—saya tidak berpikir..."
"Jelas sekali kau memang tidak berpikir," kata Profesor McGonagall.
Terdengar ketukan di pintu kantor dan Snape, yang sekarang kelihatan lebih senang dari sebelumnya, membukanya. Di depan pintu berdiri kepala sekolah, Profesor Dumbledore.
Seluruh tubuh Harry langsung kaku. Dumbledore kelihatan muram, tidak seperti biasanya. Dia me-nunduk memandang mereka lewat hidung bengkok-nya dan Harry mendadak ingin sekali dirinya dan Ron masih dipukuli oleh si Dedalu Perkasa. Sunyi lama sekali. Kemudian Dumbledore "berkata, "Tolong jelaskan kenapa kalian melakukan ini."
Akan lebih baik jika dia berteriak. Harry membenci kekecewaan dalam suaranya. Entah karena apa, dia tidak sanggup menatap mata Dumbledore, maka dia bicara kepada lututnya. Dia menceritakan segalanya kepada Dumbledore, kecuali bahwa Mr Weasley-lah pemilik mobil tersihir itu. Dia menceritakannya se-demikian rupa, sehingga seakan-akan dia dan Ron kebetulan menemukan mobil terbang diparkir di luar stasiun. Dia tahu Dumbledore akan segera tahu hal yang sebenarnya, tetapi Dumbledore tidak bertanya apa-apa soal mobil ini. Ketika Harry sudah selesai bercerita, Dumbledore hanya terus memandang me-reka lewat kacamatanya.
"Kami akan mengambil barang-barang kami," kata Ron dengan suara putus asa. "Kau bicara apa, Weasley?" bentak Profesor McGonagall.
"Bukankah kami dikeluarkan?" kata Ron. Harry cepat-cepat memandang Dumbledore.
"Tidak hari ini, Mr Weasley," kata Dumbledore. "Tetapi aku harus menekankan kepada kalian berdua betapa seriusnya tindakan kalian. Aku akan menulis kepada keluarga kalian berdua malam ini. Aku juga harus memperingatkan kalian bahwa jika kalian me-lakukan hal seperti ini lagi, aku tak akan punya pilihan selain mengeluarkan kalian."
Snape tampak kecewa sekali. Dia berdeham dan berkata,
"Profesor Dumbledore, kedua anak ini telah melanggar Dekrit Pembatasan Masuk Akal bagi Penyihir di Bawah Umur, menyebabkan kerusakan serius pada pohon tua yang sangat berharga... tentu-nya kesalahan seperti ini..."
"Profesor McGonagall-lah yang berhak memutuskan hukuman untuk anak-anak ini, Severus," kata Dumbledore tenang. "Mereka anak asramanya dan karena itu menjadi tanggung jawabnya." Dia berpaling kepada Profesor McGonagall. "Aku harus kembali ke pesta, Minerva, aku harus menyampaikan beberapa pengumuman. Ayo, Severus, ada puding lezat yang ingin kucicipi."
Snape melempar pandang sengit kepada Harry dan Ron sebelum dia keluar dari kantornya, me-ninggalkan mereka sendirian dengan Profesor McGonagall, yang masih mengawasi mereka seperti elang murka.
"Kau sebaiknya segera ke rumah sakit, Weasley, kau berdarah."
"Tidak banyak," kata Ron, buru-buru menyeka luka di atas matanya dengan lengannya. "Profesor, saya ingin melihat adik saya diseleksi..."
"Upacara seleksi sudah selesai," kata Profesor McGonagall.
"Adikmu masuk Gryffindor juga."
"Oh, bagus," kata Ron.
"Dan ngomong-ngomong soal Gryffindor..." Pro-fesor McGonagall berkata tajam. Tetapi Harry menyela, "Profesor, sewaktu kami naik mobil itu, sekolah belum dimulai, jadi—jadi Gryffindor belum punya angka yang bisa dikurangi, kan?" katanya seraya memandang Profesor McGonagall dengan cemas.
Profesor McGonagall memandangnya tajam, tetapi Harry yakin dia nyaris tersenyum. Paling tidak bibir-nya kelihatan tidak setipis tadi.
"Aku tidak akan mengurangi angka Gryffindor," katanya, dan hati Harry langsung jauh lebih ringan. "Tetapi kalian berdua akan mendapat detensi."
Itu lebih baik daripada yang diduga Harry. Sedang-kan soal Dumbledore yang akan menulis kepada ke-luarga Dursley, itu bukan apa-apa. Harry tahu betul mereka malah akan kecewa Dedalu Perkasa tidak menghajarnya sampai mati.
Profesor McGonagall mengangkat tongkatnya lagi dan mengarahkannya ke meja Snape. Sepiring besar sandwich, dua piala perak, dan seteko jus labu kuning dingin muncul seiring bunyi "plop".
"Kalian makan di sini dan kemudian langsung ke kamar," katanya. "Aku juga harus kembali ke pesta." Setelah pintu tertutup di belakangnya, Ron menge-luarkan suitan panjang namun pelan. "Kukira tadi tamatlah riwayat kita," katanya seraya meraih sandwich. "Kukira juga begitu," kata Harry, juga mengambil sandwich.
"Nasib kita sungguh sulit dipercaya, ya?" kata Ron dengan mulut penuh roti dan daging. "Fred dan George sudah menerbangkan mobil itu paling tidak lima atau enam kali, dan tak ada Muggle yang pernah melihat mereka." Dia menelan dan menggigit sepotong besar sandwich lagi. "Kenapa kita tidak bisa melewati palang rintangan?
Harry mengangkat bahu. "Yang jelas mulai sekarang kita harus hati-hati," katanya, meneguk jus labunya dengan rasa syukur. "Sayang sekali kita tidak bisa ikut pesta..."
"Profesor McGonagall tak ingin kita pamer," kata Ron bijaksana. "Tak mau orang-orang berpikir ini ide bagus, datang dengan mobil terbang."
Setelah makan sandwich sebanyak mereka sanggup (piringnya terus-menerus terisi kembali), mereka bang-kit dan meninggalkan kantor itu, berjalan melewati lorong yang sudah mereka kenal menuju ke Menara Gryffindor. Kastil sudah sepi, rupanya pesta sudah usai. Mereka melewati lukisan-lukisan yang berbisik-bisik dan baju-baju zirah yang berkelontangan. Mereka menaiki beberapa tangga sempit, sampai akhirnya mereka tiba di lorong tempat pintu rahasia untuk masuk ke Menara Gryffindor tersembunyi, di belakang lukisan cat minyak seorang nyonya amat gemuk yang memakai gaun sutra merah jambu.
"Kata kunci?" kata si Nyonya Gemuk ketika mereka mendekat.
"Eh...," kata Harry.
Mereka tidak tahu kata kunci di awal tahun ajaran baru ini, karena belum bertemu Prefek Gryffindor, tetapi bantuan muncul tak terduga. Mereka men-dengar langkah-langkah bergegas mendekat di bela-kang mereka dan ketika menoleh, mereka melihat Hermione berlari mendatangi.
"Di sini rupanya! Di mana kalian tadi? Ada desas-desus sangat tidak masuk akal—ada yang bilang kalian berdua dikeluarkan karena menabrakkan mobil ter-bang."
"Kami tidak dikeluarkan," Harry meyakinkannya.
"Kau tidak bermaksud bilang kau benar-benar ter-bang ke sini?" kata Hermione, kedengarannya segalak Profesor McGonagall.
"Tidak perlu ceramah," kata Ron tak sabar, "dan beritahu kami kata kunci barunya." '"Gelambir kalkun'," kata Hermione tak sabar, "tapi bukan itu pokok masalahnya..."
Kata-katanya terputus, karena lukisan si Nyonya Gemuk mengayun terbuka dan mendadak terdengar gemuruh tepukan. Rupanya seluruh penghuni asrama Gryffindor belum tidur. Mereka berdesakan di ruang bundar rekreasi, berdiri di atas meja miring dan kursi-kursi tangan empuk, menunggu kedatangan Harry dan Ron. Lengan-lengan terjulur melalui lubang lukisan, menarik Harry dan Ron masuk, membiarkan Hermione memanjat sendiri sesudah mereka.
"Brilian!" seru Lee Jordan. "Ide gemilang! Ke-datangan yang luar biasa! Naik mobil terbang me-nabrak Dedalu Perkasa, orang-orang akan terus mem-bicarakannya selama bertahun-tahun!"
"Hebat," kata seorang anak kelas lima yang belum pernah bicara dengan Harry. Ada yang menepuk-nepuk punggungnya seakan dia baru saja memenang-kan maraton. Fred dan George berdesakan sampai ke depan kerumunan dan berkata bersamaan, "Kenapa kalian tidak . memanggil kami kembali, eh?" Wajah Ron merah padam, dia nyengir malu-malu, tapi Harry bisa melihat satu orang yang sama sekali. tidak ke-lihatan senang. Percy tampak di atas kepala anak-anak kelas satu yang bergairah, dan dia kelihatannya mencoba maju cukup dekat untuk menyuruh mereka menyingkir. Harry menyikut rusuk Ron dan mengangguk ke arah Percy. Ron langsung paham.
"Harus naik—sudah lelah," katanya, dan keduanya menyelip-nyelip ke arah pintu di seberang ruangan, yang menuju ke tangga spiral dan kamar-kamar tidur.
"Malam," Harry berseru kepada Hermione, yang wajahnya sama cemberutnya seperti Percy.
Mereka berhasil sampai di seberang ruangan, pung-gung mereka masih ditepuk-tepuk, dan baru aman setelah tiba di tangga yang sepi. Mereka bergegas naik dan akhirnya tiba di pintu kamar mereka yang lama, yang sekarang dipasangi tulisan berbunyi "kelas dua". Mereka memasuki ruangan bundar yang sudah mereka kenal, dengan lima tempat tidur besar ber-kelambu beludru merah dan jendela-jendela yang tinggi dan sempit. Koper-koper mereka sudah dibawa naik dan diletakkan di kaki tempat tidur masing-masing.
Ron tersenyum pada Harry dengan perasaan ber-salah.
"Aku tahu seharusnya tidak boleh menikmati sam-butan atau apa pun namanya itu, tapi..."
Pintu kamar mendadak terbuka dan masuklah ketiga anak laki-laki kelas dua Gryffindor lainnya, Seamus Finnigan, Dean Thomas, dan Neville Longbottom.
"Tak bisa dipercaya!" Seamus nyengir.
"Cool," kata Dean.
"Menakjubkan," kata Neville, terpesona. Harry tak tahan. Dia ikut nyengir.

6. Gilderoy Lockhart


ESOKNYA Harry nyaris tak bisa tersenyum lagi. Ke-adaan sudah mulai memburuk sejak saat sarapan di Aula Besar. Empat meja besar asrama dipenuhi berpanci-panci bubur, berpiring-piring ikan haring asap, ber-gunung-gunung roti panggang, telur, dan daging asap, di bawah langit-langit sihiran (hari ini abu-abu suram berawan). Harry dan Ron duduk di meja Gryffindor bersama Hermione, yang menyandarkan buku Vakansi dengan Vampir-nya yang terbuka pada seteko susu. Hermione mengucapkan sapaan "Pagi"-nya dengan sedikit kaku, sehingga Harry tahu dia masih mencela cara kedatangan mereka. Neville Longbottom, sebalik-nya, menyambut mereka dengan ceria. Neville adalah anak berwajah bundar dan cenderung mengalami ber-bagai kecelakaan. Ingatannya juga parah sekali.
"Sudah waktunya pos datang... kurasa Nenek akan mengirim beberapa barang yang kulupakan."
Harry baru menyendok buburnya ketika, benar saja, terdengar deru keras dan kira-kira seratus burung hantu terbang masuk, beputar-putar di aula dan men-jatuhkan surat dan paket kepada anak-anak yang asyik berceloteh. Sebuah bungkusan be,sar tak ber-aturan terguling dari kepala Neville dan sedetik kemu-dian sesuatu yang besar dan berwarna abu- abu jatuh ke dalam teko susu Hermione, menciprati mereka semua dengan susu dan bulu.
"Errol!" seru Ron, menarik keluar burung hantu basah kuyup itu pada kakinya. Errol terpuruk, ping-san, di atas meja, kakinya mencuat ke atas dan sebuah amplop merah tergigit di paruhnya.
"Oh, tidak...," Ron memekik panik.
"Tidak apa-apa, dia masih hidup," kata Hermione, menekan-nekan Errol lembut dengan ujung jari-nya.
"Bukan itu—tapi itu."
Ron menunjuk amplop merah di paruh Errol. Amplop itu kelihatan biasa saja bagi Harry, tetapi Ron dan Neville memandangnya ketakutan seakan amplop itu bisa meledak setiap saat.
"Ada apa?" tanya Harry.
"Mum—dia mengirimiku Howler," kata Ron lesu.
"Lebih baik kaubuka, Ron," bisik Neville cemas. "Gawat kalau tidak. Nenek pernah mengirimiku Howler dan kuabaikan, dan...," dia menelan ludah, "mengerikan sekali."
Harry mengalihkan pandang dari wajah ketakutan mereka ke amplop merah. "Apa sih Howler itu?" tanyanya.
Tetapi seluruh perhatian Ron tercurah pada surat itu, yang sudah mulai berasap ujung-ujungnya. "Bukalah," desak Neville. "Paling beberapa menit lalu selesai..."
Ron mengulurkan tangan yang gemetar, menarik amplop itu dari paruh Errol dan membukanya. Neville menjejalkan jari ke lubang telinganya. Sedetik kemu-dian, Harry tahu kenapa.
Sekejap dikiranya amplop itu meledak; teriakan keras sekali membahana me-menuhi aula besar itu, merontokkan debu dari langit-langitnya.
"...MENCURI MOBIL, AKU TIDAK AKAN KAGET KALAU MEREKA MENGELUARKANMU, TUNGGU SAMPAI AKU KETEMU KAU, PASTI KAU TIDAK BERPIKIR BAGAIMANA KAGET DAN CEMASNYA AYAHMU DAN AKU KETIKA MELIHAT MOBIL SUDAH TAK ADA...."
Teriakan Mrs Weasley, seratus kali lebih keras dari-pada biasanya, membuat piring-piring dan sendok-sendok berkeretak di atas meja. Suaranya bergaung memekakkan di dinding-dinding batu. Anak-anak di aula berputar di tempat duduk mereka untuk melihat siapa yang menerima Howler. Ron merosot rendah sekali di kursinya, sampai hanya kepalanya yang me-rah yang kelihatan.
"...SURAT DARI DUMBLEDORE SEMALAM, AYAHMU NYARIS MATI SAKING MALUNYA, KAMI TIDAK MEMBESARKANMU UNTUK BERSIKAP SEPERTI INI, KAU DAN HARRY BISA MATI...."
Harry sudah bertanya-tanya dalam hati kapan namanya akan muncul. Dia berusaha keras bersikap seakan tidak mendengar suara yang membuat gendang telinganya berdenyut-denyut.
"...BENAR-BENAR MENJIJIKKAN, AYAHMU AKAN DIINTEROGASI DI KANTORNYA, SALAHMU SE-PENUHNYA DAN KALAU MELANGGAR PER-ATURAN LAIN SEDIKIT SAJA, KAMI AKAN LANG-SUNG MEMBAWAMU PULANG."
Aula sunyi senyap. Amplop merah, yang terjatuh dari tangan Ron, menyala, lalu tergulung menjadi abu. Harry dan Ron duduk terpaku, seakan baru disapu gelombang besar. Beberapa anak tertawa dan sedikit demi sedikit celoteh ramai mulai terdengar lagi.
Hermione menutup buku Vakansi dengan Vampir dan menunduk memandang puncak kepala Ron. "Aku tak tahu apa yang kauharapkan, Ron, tapi kau..."
"Jangan bilang aku layak menerimanya," gertak Ron.
Harry mendorong buburnya menjauh. Dia merasa sangat bersalah. Mr Weasley akan diinterogasi di kantornya. Setelah kebaikan Mr dan Mrs Weasley terhadapnya selama musim panas....
Tetapi dia tak punya banyak waktu untuk berlama-lama mencemaskan hal ini. Profesor McGonagall ber-jalan mengelilingi meja Gryffindor, membagikan jadwal. Harry mengambil jadwalnya dan melihat dua jam pertama mereka adalah Herbologi, bareng dengan Hufflepuff.
Harry, Ron, dan Hermione meninggalkan kastil ber-sama- sama, menyeberangi kebun sayur, dan menuju ke rumah- rumah kaca, tempat tanaman-tanaman gaib dipelihara. Paling tidak Howler sudah menghasilkan satu hal baik, Hermione kelihatannya berpendapat mereka sudah cukup mendapat hukuman dan sudah ramah seperti biasa lagi.
Mendekati rumah-rumah kaca, mereka melihat anak-anak lain sudah berdiri di depannya, menunggu Profesor Sprout. Harry, Ron, dan Hermione, baru saja bergabung dengan mereka ketika Profesor Sprout muncul di seberang halaman berumput, ditemani Gilderoy Lockhart. Lengan Profesor Sprout diperban di sana-sini, dan dengan entakan rasa bersalah lagi, Harry melihat Dedalu Perkasa di kejauhan, beberapa dahannya sekarang memakai kain gendongan.
Profesor Sprout adalah penyihir wanita pendek-gemuk yang memakai topi bertambal di atas rambut-nya yang beterbangan. Biasanya wajah dan pakaian-nya berlumuran tanah, dan kukunya akan membuat Bibi Petunia pingsan. Gilderoy Lockhart, sebaliknya, sangat rapi dan bersih. Jubahnya yang berwarna hijau toska melambai, rambutnya yang keemasan berkilau di bawah topi hijau toska berpelipit emas yang ber-tengger sempurna di atas kepalanya.
"Oh, halo, anak-anak!" sapa Lockhart, tersenyum kepada kerumunan anak-anak. "Baru saja menunjuk-kan kepada Profesor Sprout bagaimana mengobati Dedalu Perkasa! Tapi aku tak mau kalian mengira aku lebih pintar dari dia dalam Herbologi! Kebetulan saja aku pernah bertemu beberapa tanaman eksotis dalam perjalananku..."
"Rumah Kaca nomor tiga hari ini, anak-anak!" kata Profesor Sprout, yang kelihatan jelas jengkel, tidak ceria seperti biasanya.
Terdengar gumam tertarik. Selama ini mereka cuma belajar di Rumah Kaca nomor satu—Rumah Kaca nomor tiga berisi tanaman yang jauh lebih menarik dan berbahaya. Profesor Sprout menarik kunci besar dari ikat pinggangnya dan membuka pintu. Terendus oleh Harry bau tanah lembap dan pupuk, bercampur dengan wangi tajam bunga-bunga sebesar payung yang bergantungan dari langit-langit. Harry baru mau mengikuti Ron dan Hermione masuk ketika tangan Lockhart terjulur.
"Harry! Aku ingin bicara—kau tidak keberatan kalau dia terlambat beberapa menit, kan, Profesor Sprout?"
Dinilai dari cibiran Profesor Sprout, dia sebetulnya keberatan, tetapi Lockhart berkata, "Terima kasih," dan menutup pintu Rumah Kaca di depan wajah Profesor Sprout.
"Harry," kata Lockhart, giginya yang putih besar-besar berkilauan tertimpa cahaya matahari ketika dia menggelengkan kepala. "Harry, Harry, Harry."
Saking kagetnya Harry tidak bicara apa-apa. "Waktu aku dengar—yah, tentu saja, semua itu salahku. Rasanya ingin kutendang diriku sendiri."
Harry sama sekali tak mengerti apa yang dibicara-kannya. Dia baru akan berkata begitu, ketika Lockhart meneruskan,
"Belum pernah aku seterkejut itu. Me-nerbangkan mobil ke Hogwarts! Yah, tentu saja, aku langsung tahu kenapa kaulakukan itu. Jelas sekali. Harry, Harry, Harry."
Hebat sekali bagaimana dia bisa menunjukkan masing- masing giginya yang berkilauan bahkan pada saat dia tidak bicara.
"Kuberi kau sekecap kepopuleran, kan?" kata Lockhart.
"Kau langsung ketularan. Kau tampil di ha-laman depan surat kabar bersamaku dan kau tak bisa menunggu lebih lama untuk tampil lagi."
"Oh—tidak, Profesor, begini..."
"Harry, Harry, Harry," kata Lockhart, mengulurkan tangan mencengkeram bahu Harry. "Aku mengerti. Wajar menginginkan lebih kalau kau sudah pernah mencicipinya— dan aku menyalahkan diriku sendiri karena memberimu itu, karena pasti akan mem-pengaruhi pikiranmu. Tapi, Nak, kau tak bisa mener-bangkan mobil untuk mencoba membuat dirimu di-perhatikan. Jangan buru-buru, oke? Masih banyak waktu untuk semua itu kalau kau sudah lebih besar. Ya, ya, aku tahu apa yang kaupikirkan! 'Gampang dia ngomong begitu, dia kan sudah jadi penyihir inter-nasional yang terkenal!' Tetapi waktu aku masih dua belas tahun, aku bukan siapa-siapa seperti kau seka-rang. Malah, lebih bukan siapa- siapa lagi! Maksudku, beberapa orang sudah dengar tentang kau, kan? Segala kejadian dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Di-sebut!" Dia mengerling ke bekas luka sambaran kilat di dahi Harry "Aku tahu, aku tahu, itu tidak sehebat memenangkan kontes Senyum-Paling-Menawan Witch Weekly—Mingguan Penyihir Wanita selama lima kali berturut- turut, seperti yang kualami—tapi itu sudah permulaan, Harry, itu sudah permulaan."
Dia mengedip bersemangat kepada Harry dan pergi. Harry berdiri terpaku selama beberapa detik, kemu-dian, ingat bahwa dia seharusnya ada dalam rumah kaca, membuka pintunya dan menyelinap ke dalam.
Profesor Sprout sedang berdiri di belakang bangku di tengah rumah kaca. Kira-kira dua puluh pasang penutup telinga tergeletak di bangku itu. Ketika Harry sudah mengambil tempat di antara Ron dan Hermione, Profesor Sprout berkata, "Kita akan meng-ganti pot Mandrake hari ini. Nah, adakah yang bisa menjelaskan kegunaan Mandrake?"
Tak ada yang heran ketika tangan Hermione paling dulu terangkat.
"Mandrake, atau Mandragora, adalah restoratif atau obat penyembuh yang sangat manjur," kata Hermione, terdengar seperti biasanya—seakan dia sudah menelan seluruh buku pelajarannya. "Mandrake digunakan untuk mengembalikan orang yang sudah di-transfigurasi atau dikutuk ke wujudnya semula."
"Bagus sekali. Sepuluh angka untuk Gryffindor," kata Profesor Sprout. "Mandrake merupakan bahan paling penting bagi banyak obat penangkal racun. Meskipun demikian, Mandrake juga berbahaya. Siapa yang tahu kenapa?"
Tangan Hermione nyaris menyenggol kacamata Harry ketika mengacung ke atas lagi. "Jeritan Mandrake bisa berakibat fatal bagi siapa saja yang mendengarnya," katanya segera.
"Persis. Dapat sepuluh angka lagi," kata Profesor Sprout.
"Nah, Mandrake yang kita punya di sini masih muda sekali." Dia menunjuk sederet nampan tinggi sambil bicara dan semua anak bergerak maju agar bisa melihat lebih jelas. Kira- kira seratus tanaman kecil yang meng-gerumbul seperti jambul berwarna hijau keunguan, tumbuh berderet-deret dalam nampan itu. Kelihatannya biasa saja bagi Harry, yang sama sekali tak paham apa yang dimaksud Hermione dengan "jeritan" Mandrake.
"Masing-masing ambil sepasang tutup telinga," kata Profesor Sprout.
Terjadi kehebohan ketika masing-masing berebut mengambil tutup telinga yang bukan merah jambu dan berbulu.
"Kalau kuminta dipakai, pastikan telinga kalian ter-tutup sepenuhnya," kata Profesor Sprout. "Kalau sudah aman untuk membuka tutup telinga, kuberi tanda dengan mengangkat ibu jari. Siap—pasang tutup telinga.."
Harry memasang tutup telinganya. Langsung tak terdengar bunyi apa pun. Profesor Sprout memasang tutup telinga merah jambu berbulu ke telinganya, menggulung lengan jubahnya, memegang erat salah satu tanaman dan menariknya kuat-kuat.
Harry terpekik kaget, tapi tak ada yang mendengar-nya.
Alih-alih akar, seorang bayi kecil, berlumpur, dan sangat jelek tercabut dari tanah. Daun-daun tumbuh di kepalanya. Kulitnya pucat kehijauan, bebercak-bercak, dan dia menangis menjerit-jerit keras sekali.
Profesor Sprout mengambil pot besar dari bawah meja dan mencemplungkan si Mandrake ke dalamnya, menimbuninya dengan kompos hitam lembap, sampai tinggal gerumbul daunnya yang kelihatan. Profesor Sprout menyeka tangannya, memberi kode dengan mengangkat kedua ibu jarinya, lalu membuka tutup telinganya sendiri.
"Mengingat Mandrake kita masih semaian, jeritan mereka belum akan membunuh," katanya kalem, se-akan dia baru melakukan hal yang tidak lebih seru dari menyirami begonia.
"Meskipun demikian, mereka akan membuat kalian pingsan selama beberapa jam, dan karena aku yakin tak seorang pun dari kalian mau ketinggalan hari pertama sekolah, pastikan tutup telinga kalian terpasang dengan benar sementara kalian bekerja. Aku akan menarik perhatian kalian kalau sudah tiba waktunya berkemas."
"Empat anak satu nampan—ada banyak persediaan pot di sini—komposnya dalam karung di sana itu— dan hati-hati terhadap Tentakula Berbisa, dia sedang tumbuh gigi."
Profesor Sprout memukul keras tanaman merah tua berduri sambil berbicara, membuat tanaman itu me-narik kembali sulur panjangnya yang diam-diam sudah merayap ke bahunya. Seorang anak laki-laki Hufflepuff berambut keriting bergabung dengan Harry, Ron, dan Hermione. Harry tahu anak itu, tapi belum pernah bicara dengannya.
"Justin Finch-Fletchley," katanya ramah, menjabat tangan Harry. "Aku tahu siapa kau, tentu saja. Harry Potter yang terkenal... dan kau Hermione Granger— selalu nomor satu dalam segala hal...," (Hermione berseri-seri sementara tangannya juga dijabat), "dan Ron Weasley Bukankah mobil terbang itu milikmu?"
Ron tidak tersenyum. Pikirannya masih dipenuhi Howler. "Si Lockhart itu hebat, ya?" kata Justin riang, saat mereka mulai mengisi pot mereka dengan kompos kotoran naga. "Bukan main pemberaninya. Kalian sudah baca buku-bukunya? Aku pasti mati ketakutan kalau disudutkan di boks telepon oleh manusia serigala, tapi dia tetap tenang dan—zap—sungguh luar biasa.
"Namaku sudah terdaftar di Eton sebetulnya. Tak bisa kuceritakan betapa senangnya aku bisa masuk ke sini. Tentu saja ibuku agak kecewa, tetapi setelah aku menyuruhnya membaca buku-buku Lockhart, kurasa dia mulai bisa melihat betapa bergunanya punya pe-nyihir terlatih dalam keluarga..."
Sesudah itu mereka tak punya banyak kesempatan untuk bicara. Tutup telinga sudah dipakai lagi dan mereka perlu berkonsentrasi pada Mandrake. Waktu Profesor Sprout yang melakukannya, kelihatannya gampang sekali, tetapi kenyataannya tidak. Mandrake-mandrake itu tidak suka dikeluarkan dari tanah, tetapi rupanya dikembalikan juga tidak suka. Mereka meng-geliat, menendang, memukul-mukul dengan tinju me-reka yang tajam dan mengertak-ngertakkan gigi. Harry menghabiskan sepuluh menit sendiri untuk memasuk-kan kembali satu Mandrake gemuk ke dalam pot.
Pada akhir pelajaran, Harry, seperti juga yang lain, berkeringat, badannya sakit semua, dan berlumur tanah. Mereka berjalan lesu kembali ke kastil untuk mandi. Setelah itu anak-anak Gryffindor bergegas untuk pelajaran Transfigurasi.
Pelajaran Profesor McGonagall selalu susah, tetapi hari ini istimewa susahnya. Segala sesuatu yang telah dipelajari Harry selama satu tahun kelihatannya sudah merembes keluar dari kepalanya selama musim panas.
Dia disuruh mengubah kumbang menjadi kancing, tapi yang berhasil dilakukannya hanyalah membuat si kumbang banyak berolahraga, karena si kumbang ber-larian di atas meja menghindari tongkatnya.
Ron menghadapi masalah yang lebih parah. Dia sudah menambal tongkatnya dengan Spellotape—selotip sihir, tapi rupanya tongkatnya sudah kelewat rusak dan tak bisa diperbaiki. Tongkat itu berkali-kali ber-derik dan mengeluarkan bunga api pada saat-saat yang tak terduga, dan setiap kali Ron mencoba men-transfigurasi kumbangnya, tongkat itu menyelubungi-nya dengan asap tebal abu-abu yang baunya seperti telur busuk. Karena tak bisa melihat apa yang dilaku-kannya, tanpa disengaja kumbangnya terpencet siku-nya sampai mati dan dia terpaksa minta kumbang baru. Profesor McGonagall tidak senang melihatnya.
Harry lega mendengar bunyi bel makan siang. Otak-nya terasa bagai spons yang diperas. Semua orang meninggalkan ruang kelas, kecuali dia dan Ron, yang menyabet-nyabetkan tongkatnya dengan sebal ke meja.
"Tolol... tak berguna..."
"Tulis surat ke rumah minta ganti," Harry me-nyarankan ketika tongkat itu mengeluarkan sederet letusan keras seperti petasan.
"Oh, yeah, biar dapat Howler lagi," kata Ron, men-jejalkan tongkatnya yang sekarang berdesis ke dalam tasnya.
"Salahmu sendiri tongkatmu patah..."
Mereka turun untuk makan siang. Suasana hati Ron tidak menjadi lebih baik melihat Hermione memamer-kan kepada mereka segenggam kancing jaket sempurna yang dihasilkannya dalam pelajaran Transfigurasi.
"Sore ini pelajaran apa?" tanya Harry, buru-buru mengubah topik pembicaraan. "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam," jawab Hermione segera.
"Kenapa," tuntut Ron, menyambar daftar pelajaran Hermione, "kau menggarisbawahi semua pelajaran Lockhart dengan hati kecil-kecil?"
Dengan marah Hermione merebut kembali daftar pelajarannya, wajahnya merah.
Mereka menyelesaikan makan siang lalu ke halaman. Udara mendung. Hermione duduk di undakan dan membenamkan hidungnya ke buku Vakansi dengan Vampir lagi. Harry dan Ron berdiri mengobrol tentang Quidditch selama beberapa menit sebelum Harry sadar bahwa ada yang mengawasinya. Mendongak, dia melihat anak laki-laki sangat kecil berambut seperti tikus yang semalam dilihatnya sedang memakai Topi Seleksi. Anak itu terpesona menatap Harry Dia me-megangi sesuatu yang kelihatannya seperti kamera biasa Muggle.
Begitu Harry memandangnya, wajah anak itu langsung merah padam.
"Baik-baik saja, Harry? Aku—aku Colin Creevey," katanya terengah, ragu-ragu maju selangkah. "Aku juga di Gryffindor. Apakah menurutmu—tidak apa-apakah kalau-—bolehkah aku mengambil fotomu?" katanya, mengangkat kameranya penuh harap.
"Foto?" Harry mengulang dengan pandangan kosong.
"Supaya aku bisa membuktikan aku sudah ber-temu kau," kata Colin Creevey bersemangat, maju lebih dekat lagi. "Aku tahu segalanya tentang kau.
Semua orang sudah cerita padaku. Tentang bagai-mana kau selamat ketika Kau-Tahu-Siapa mencoba membunuhmu dan bagaimana dia menghilang dan segalanya dan bahwa kau punya bekas luka sambaran Mat di dahimu," (matanya menyusuri batas rambut Harry), "dan anak laki-laki yang sekamar denganku bilang kalau aku mencetak filmnya dengan ramuan yang benar, gambarnya akan bergerak-gerak." Colin menghela napas panjang, bergairah sekali, dan ber-kata,
"Luar biasa sekali di sini, ya? Aku tak pernah tahu segala hal aneh-aneh yang kulakukan itu sihir, sampai aku. menerima surat dari Hogwarts. Ayahku pengantar susu, dia juga tidak percaya. Jadi aku memotret banyak-banyak untuk dikirim kepada ayahku di rumah. Dan akan bagus sekali kalau aku punya satu fotomu...," dia menatap Harry dengan pandangan memohon, "...mungkin temanmu bisa memotretkannya dan aku boleh berdiri di sebelah-mu? Dan kemudian, maukah kau menandatangani-nya?"
"Foto bertanda tangan? Kau membagikan foto bertanda tangan, Potter?"
Keras dan pedas, suara Draco Malfoy bergaung di seluruh halaman. Dia berhenti tepat di belakang Colin, diapit, seperli biasanya di Hogwarts, oleh dua kroni-nya yang besar dan kejam, Crabbe dan Goyle.
"Ayo, semua antre!" Malfoy berteriak kepada ke-rumunan anak-anak. "Harry Potter membagikan foto bertanda tangan!"
"Tidak! Bohong!" kata Harry berang, tinjunya ter-kepal.
"Tutup mulut, Malfoy."
"Kau iri," seru Colin, yang keseluruhan tubuhnya hanya sebesar leher Crabbe.
"Iri?" kata Malfoy, yang tak perlu lagi berteriak, karena separo halaman sudah mendengarkan mereka. "Kenapa aku mesti iri? Aku tak mau punya bekas luka konyol di keningku, terima kasih deh. Menurut-ku kepala yang terbelah tidak membuat kita isti-mewa."
Crabbe dan Goyle terkikik-kikik konyol.
"Menyebalkan kau, Malfoy," kata Ron, jengkel. Crabbe berhenti tertawa dan mulai menggosok buku jarinya yang besar-besar dengan lagak mengancam.
"Hati-hati, Weasley," ejek Malfoy. "Jangan sampai bikin kesulitan lagi, nanti terpaksa ibumu datang untuk menjemputmu dari sekolah." Dia mengubah suaranya menjadi tinggi melengking, "Kalau sekali lagi kau melanggar..."
Segerombolan anak kelas lima Slytherin tertawa ter-bahak.
"Weasley akan senang mendapat foto bertanda tangan, Potter," Malfoy menyeringai menjengkelkan. "Nilainya lebih tinggi daripada seluruh rumahnya."
Ron mencabut keluar tongkatnya yang sudah ber- Spellotape, tetapi Hermione menutup buku Vakansi dengan Vampir-nya dengan keras dan berbisik, "Awas!"
"Ada apa ini, ada apa ini?" Gilderoy Lockhart ber-jalan mendekati mereka, jubah hijau toskanya berkibar di belakangnya. "Siapa yang membagikan foto ber-tanda tangan?"
Harry baru mau menjawab, tapi disela oleh Lockhart yang merangkul bahunya dan berkata menggelegar gembira,
"Mestinya lak perlu tanya. Kita bertemu lagi, Harry!"
Harry yang terpaksa menempel ke sisi tubuh Lockhart dengan wajah serasa terbakar saking malu-nya, melihat Malfoy menyeringai dan menyelinap ke dalam kerumunan.
"Ayo, Mr Creevey," kata Lockhart, tersenyum kepada Colin.
"Foto kami berdua, biar adil, dan kami berdua akan menandatanganinya untukmu."
Colin geragapan mengangkat kameranya dan me-motret mereka berdua tepat ketika bel berbunyi di belakang mereka, menandakan mulainya waktu belajar sore hari.
"Ayo, kalian berangkat," seru Lockhart kepada anak-anak yang berkerumun. Dia berjalan kembali ke kastil dengan Harry—yang ingin sekali menguasai mantra melenyapkan diri—masih menempel di sisinya.
"Dengar nasihatku, Harry," kata Lockhart kebapakan ketika mereka memasuki kastil lewat pintu samping. "Aku baru saja melindungimu—kalau Creevey me-motret aku juga, teman- temanmu tidak akan berpikir kau terlalu menonjolkan dirimu..."
Tuli terhadap protes gagap Harry, Lockhart mem-bawanya menyusuri koridor yang kanan-kirinya di-penuhi deretan murid, dan menaiki tangga.
"Kuberitahu kau, membagikan foto bertanda tangan pada tahap kariermu ini tidaklah bijaksana—kelihatan-nya sok, Harry, terus terang saja. Akan tiba waktunya ketika, seperti aku, kau perlu membawa setumpuk foto ke mana pun kau pergi, tetapi...," dia terkekeh kecil, "kurasa kau belum sampai ke tahap itu."
Mereka sudah tiba di ruang kelas Lockhart dan akhirnya dia melepaskan Harry. Harry menyentakkan dan meluruskan jubahnya dan menuju tempat duduk paling belakang di kelas. Dia lalu menyibukkan diri dengan menumpuk semua buku Lockhart di depan-nya, supaya ia tak perlu memandang Lockhart yang sesungguhnya.
Anak-anak lain masuk. Ron dan Hermione duduk di kiri- kanan Harry.
"Kau bisa menggoreng telur di mukamu," kata Ron. "Lebih baik kau berharap Creevey tidak bertemu Ginny. Bisa-bisa mereka langsung mendirikan Klub Pecinta Harry Potter."
"Diam," bentak Harry. Hal terakhir yang diingin-kannya adalah Lockhart mendengar ungkapan "Klub Pecinta Harry Potter".
Ketika semua murid sudah duduk, Lockhart ber-deham keras-keras dan seluruh kelas diam. Dia men-jangkau ke depan, mengambil buku Tamasya dengan Troll milik Neville dan mengangkatnya untuk me-nunjukkan fotonya sendiri yang mengedip-ngedip di sampul buku.
"Aku," katanya seraya menunjuk fotonya dan ikut mengedip juga, "Gilderoy Lockhart, Order of Merlin* ) Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum-Paling- Menawan Witch Weekly—tapi aku * ) Merlin adalah penyihir hebat dan bijaksana dalam legenda Raja Arthur. Gelar kehormatan Order of Merlin dianugerahkan kepada para penyihir yang berjasa di dunia sihir.
tidak bicara tentang itu. Aku tidak mengusir Banshee si hantu perempuan dengan tersenyum kepadanya!" Dia menunggu anak-anak tertawa. Beberapa ter-senyum lemah.
"Kulihat kalian sudah membeli satu set lengkap bukuku— bagus. Kupikir hari ini kita akan mulai de-ngan kuis kecil. Tak perlu khawatir—cuma mengecek sejauh mana kalian sudah membacanya, berapa ba-nyak yang sudah kalian serap..."
Sesudah membagikan kertas ulangan, Lockhart kembali ke depan kelas dan berkata, "Kalian punya waktu tiga puluh menit. Mulai—sekarang!"
Harry menunduk memandang kertasnya dan mem-baca:
1. Apa warna favorit Gilderoy Lockhart?
2. Apa ambisi rahasia Gilderoy Lockhart?
3. Apa, menurut pendapatmu, prestasi terbesar Gilderoy Lockhart?
Semua pertanyaannya semacam itu, tiga halaman penuh, sampai:
54. Kapankah hari ulang tahun Gilderoy Lockhart, dan hadiah apakah yang ideal untuknya?
Setengah jam kemudian, Lockhart mengumpulkan kertas- kerlas dan membuka-bukanya di depan kelas.
"Ck, ck, ck—hampir tak ada yang ingat bahwa warna favoritku ungu, Kusebutkan dalam Yakin dengan Yeti. Beberapa dari kalian perlu membaca Mengembara dengan Manusia Serigala lebih teliti—jelas-jelas kusebut-kan di bab dua belas bahwa hadiah ulang tahun yang ideal bagiku adalah harmoni di antara penyihir dan orang-orang non-penyihir— meskipun aku tak akan menolak sebotol besar Wiski-Api Tua Ogden!"
Sekali lagi dia mengedip nakal. Ron sekarang me-natap Lockhart dengan ekspresi tak percaya. Seamus Finnigan dan Dean Thomas, yang duduk di depan, sampai terguncang berusaha menahan tawa. Hermione, sebaliknya,
mendengarkan Lockhart dengan penuh perhatian, dan tersentak kaget ketika Lockhart menyebut namanya.
"...tetapi Miss Hermione Granger tahu bahwa ambisi rahasiaku adalah membersihkan dunia dari kejahatan dan memasarkan rangkaian produk perawatan rambut-ku sendiri— anak pintar! Bahkan..." dia membalik ker-tas Hermione, "betul semua! Yang mana Miss,. Hermione Granger?"
Hermione mengangkat tangannya yang gemetar.
"Luar biasa!" Lockhart tersenyum, "Sungguh luar biasa! Sepuluh angka untuk Gryffindor! Nah, kembali ke pelajaran..." Dia menunduk ke belakang mejanya dan mengang-kat sangkar besar berselubung ke atasnya.
"Sekarang—awas! Tugaskulah mempersenjatai kalian untuk menghadapi makhluk-makhluk paling mengeri-kan yang dikenal di dunia sihir! Kalian mungkin akan menghadapi ketakutan terbesar kalian di ruangan ini. Asal tahu saja, malapetaka tak akan menimpa kalian selama aku di sini. Yang kuminta hanyalah kalian tetap tenang."
Di luar kemauannya, Harry melongok dari balik buku untuk bisa melihat sangkar lebih jelas. Lockhart meletakkan tangannya di atas selubung. Dean dan Seamus sudah berhenti tertawa sekarang. Neville gemetar ketakutan di tempat duduknya di deretan paling depan.
"Kuminta kalian jangan menjerit," kata Lockhart dengan suara rendah. "Jeritan kalian bisa mem-provokasi mereka."
Sementara seluruh kelas menahan napas, Lockhart menyentakkan selubungnya. "Ya," katanya dramatis. "Pixie Cornwall yang baru ditangkap."
Seamus Finnigan tak bisa lagi menahan diri. Dia mengeluarkan dengus tawa yang bahkan oleh Lockhart sekalipun tak bisa ditafsirkan sebagai jerit ketakutan.
"Ya?" dia tersenyum kepada Seamus. "Eh, mereka tidak—
mereka tidak begitu—berbahaya, kan?" Seamus tersedak.
"Jangan begitu yakin!" kata Lockhart, menggoyang-goyangkan jari dengan menjengkelkan kepada Seamus. "Mereka bisa jadi makhluk pembinasa yang sangat licik!"
Pixie-pixie itu berwarna biru elektrik, tingginya kira-kira dua puluh senti, dengan wajah runcing dan suara melengking tinggi, sehingga rasanya seperti mendengar serombongan burung parkit yang sedang bertengkar. Begitu selubungnya dibuka, mereka mu-lai mengoceh dan meluncur ke sana kemari, meng-goyang-goyang jeruji sangkar dan mengernyit- ngernyitkan muka ke anak-anak yang ada di dekat mereka.
"Baiklah," kata Lockhart. "Kita lihat bisa kalian apa-kan mereka!" Dan dibukanya sangkar itu.
Keadaan jadi amat kacau-balau. Pixie-pixie itu me-luncur ke segala jurusan seperti roket. Dua di antara-nya memegang telinga Neville dan mengangkatnya ke atas. Beberapa di antaranya melesat menerobos jendela, menghujani deretan belakang dengah pecahan kaca. Sisanya menghancurkan kelas lebih efektif dari-pada serangan badak bercula satu. Mereka menyambar botol-botol tinta dan menyemprot kelas dengan tinta-nya, merobek-robek buku-buku dan kertas, menarik lepas gambar-gambar dari dinding, membalikkan keranjang- keranjang sampah, menyambar tas dan buku-buku dan melemparkannya keluar dari jendela yang kacanya pecah. Dalam beberapa menit saja se-paro kelas sudah berlindung di bawah meja dan Neville berayun dari kandil di langit-langit.
"Ayo, tangkap mereka, kumpulkan, kumpulkan, me-reka cuma pixie...," Lockhart berteriak-teriak. Dia menggulung lengan jubahnya, melambaikan tongkatnya dan berseru,
"Peskipiksi Pesternomi!"
Sama sekali tak ada pengaruhnya. Salah satu pixie itu merebut tongkat Lockhart dan melemparkannya keluar jendela juga. Lockhart menelan ludah dan bersembunyi di bawah mejanya sendiri, nyaris saja gepeng kejatuhan Neville, yang terjatuh sedetik kemu-dian karena kandilnya terlepas.
Bel berbunyi dan semua berebut berlari ke pintu. Dalam ketenangan yang menyusul, Lockhart berdiri, melihat Harry, Ron, dun Hermione yang hampir sampai di pintu, dan berkata,
"Nah, kuminta kalian bertiga menangkap sisanya dan memasukkannya kem-bali ke dalam sangkar." Dia melewati mereka dan cepat-cepat menutup pintu di belakangnya.
"Kalian percaya dia?" raung Ron kesakitan, ketika salah satu pixie yang tersisa menggigit telinganya.
"Dia cuma ingin memberi kita pengalaman lang-sung," kata Hermione, membuat dua pixie tak bisa bergerak dengan Mantra Pembeku dan menjejalkan mereka kembali ke dalam sangkar.
"Pengalaman langsung?" kata Harry, yang berusaha menangkap pixie yang menari-nari menjauh dengan lidah terjulur. "Hermione, dia sama sekali tidak tahu apa yang dilakukannya."
"Omong kosong," kata Hermione. "Kau sudah mem-baca buku-bukunya—lihat saja hal-hal luar biasa yang sudah dilakukannya..."
"Yang katanya sudah dilakukannya," gumam Ron.

7. Darah-Lumpur Dan Bisikan-Bisikan


SELAMA beberapa hari sesudahnya, Harry melewat-kan banyak waktu untuk menghindar setiap kali me-lihat Gilderoy Lockhart muncul di ujung koridor. Yang lebih sulit dihindari adalah Colin Creevey, yang ke-lihatannya telah menghafal jadwal Harry. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Colin daripada ber-kata, "Baik-baik saja, Harry?" enam atau tujuh kali sehari dan mendengar, "Halo, Colin," sebagai balasan-nya, betapa pun jengkelnya Harry ketika mengucap-kannya.
Hedwig masih marah kepada Harry soal perjalanan dengan mobil yang mendatangkan malapetaka itu, dan tongkat Ron masih tak bisa digunakan dengan benar, bahkan melampaui batas kemampuannya de-ngan meluncur lepas dari tangan Ron dalam pelajaran Jimat dan Guna-guna dan memukul Profesor Flitwick yang mungil tepat di antara kedua matanya, men-ciptakan bisul hijau besar yang berdenyut-denyut. Maka, dengan begitu banyak kejadian, Harry cukup senang ketika akhir pekan tiba. Dia, Ron, dan Hermione merencanakan akan mengunjungi Hagrid pada hari Sabtu pagi. Meskipun demikian, Oliver Wood, kapten tim Quidditch Gryffindor, membangun-kan Harry dengan mengguncang-guncang tubuhnya beberapa jam lebih awal dari yang dikehendakinya.
"Adapa?" tanya Harry agak pusing.
"Latihan Quidditch!" kata Wood, "Ayo!"
Masih mengantuk Harry memandang lewat jendela. Kabut tipis menggantung di langit merah jingga. Se-karang setelah bangun, Harry heran bagaimana dia bisa tidur terus padahal burung-burung berkicau begitu ramai.
"Oliver," kata Harry serak, "masih subuh."
"Persis," kata Wood. Oliver Wood anak kelas enam yang tinggi besar dan pada saat ini, matanya berkilat dengan antusiasme gila-gilaan. "Ini bagian dari pro-gram latihan baru kita. Ayo, ambil sapumu dan kita berangkat," kata Wood penuh semangat. "Tim yang lain belum ada yang mulai latihan. Kita yang akan mulai nomor satu tahun ini...."
Menguap dan sedikit bergidik kedinginan, Harry turun dari tempat tidurnya dan berusaha mencari jubah Quidditch-nya.
"Bagus," kata Wood. "Kita ketemu di lapangan lima belas menit lagi."
Setelah menemukan jubah merah tua seragam tim-nya dan memakainya di atas jubah biasanya supaya hangat, Harry menulis pesan untuk Ron, menjelaskan ke mana dia pergi. la menuruni tangga spiral ke ruang rekreasi dengan Nimbus Dua Ribu bertengger di bahunya. Dia baru tiba di lubang lukisan ketika terdengar bunyi berkelontang di belakangnya dan Colin Creevey muncul berlarian menuruni tangga spi-ral, kameranya berayun liar di lehernya dan tangannya menggenggam sesuatu.
"Aku dengar ada yang menyebut namamu di tangga, Harry! Lihat nih apa yang kubawa! Sudah kucetak, aku ingin menunjukkannya padamu..."
Harry melongo melihat foto yang dikibar-kibarkan Colin di depan hidungnya.
Foto hitam-putih Lockhart yang bergerak, sedang menarik kuat-kuat lengan yang dikenali Harry sebagai lengannya sendiri. Harry senang melihat fotonya me-lawan sekuat tenaga dan menolak ditarik supaya ke-lihatan dalam foto. Sementara Harry mengawasi, Lockhart menyerah dan merosot terengah- engah pada pinggiran putih foto.
"Maukah kau menandatanganinya?" tanya Colin pe-nuh semangat.
"Tidak," kata Harry tegas, melihat berkeliling untuk memastikan ruangan itu benar-benar kosong. "Sori, Colin, aku sedang buru-buru—latihan Quidditch."
Harry memanjat keluar lewat lubang lukisan.
"Oh, wow! Tunggu aku! Aku belum pernah me-nonton Quidditch!" Colin merayap keluar lubang mengikutinya. "Kau akan bosan," kata Harry cepat-cepat, tetapi Colin mengabaikannya, wajahnya bercahaya saking bersemangatnya.
"Kau pemain termuda selama seratus tahun ini, iya, kan, Harry? Iya, kan?" kata Colin, melangkah menjajarinya. "Kau pasti hebat. Aku belum pernah terbang. Gampang tidak? Apa itu sapumu sendiri? Apa itu sapu terhebat yang pernah ada?" Harry tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan Colin.
Rasanya seperti punya bayangan yang sangat cerewet.
"Aku sebetulnya tak paham Quidditch," kata Colin tersengal. "Betulkah ada empat bola? Dan dua di antaranya terbang berputar-putar berusaha memukul jatuh pemain dari sapunya?"
"Ya," kata Harry enggan, akhirnya menyerah dan menjelaskan peraturan Quidditch yang rumit. "Dua bola itu namanya Bludger. Masing-masing tim punya dua Beater yang membawa pemukul untuk memukul Bludger jauh-jauh dari tim mereka. Fred dan George Weasley adalah Beater Gryffindor."
"Dan untuk apa bola-bola yang lain?" tanya Colin, hampir jatuh melompati dua anak tangga sekaligus karena terpesona memandang Harry.
"Quaffle—bola besar yang merah—adalah bola yang mencetak gol. Tiga Chaser dari masing-masing tim saling lempar Quaffle dan berusaha memasukkannya ke tiang gol di ujung lapangan—ada tiga tiang tinggi dengan lingkaran di puncaknya."
"Dan bola keempat..."
"...itu yang namanya Golden Snitch," kata Harry. "Bola ini sangat kecil, sangat cepat, dan sulit di-tangkap. Tapi itulah tugas Seeker, karena pertandingan Quidditch tidak berakhir sampai Snitch-nya berhasil ditangkap. Dan tim yang Seeker- nya berhasil me-nangkap Snitch mendapat tambahan angka seratus lima puluh."
"Dan kau Seeker Gryffindor, kan?" kata Colin ter-pesona.
"Ya," kata Harry, ketika mereka meninggalkan kastil dan berjalan di atas rumput berembun. "Dan masih ada Keeper. Dia menjaga gawang. Hanya itu."
Tetapi Colin tidak berhenti menanyai Harry se-panjang jalan dari padang rumput yang melandai sampai ke lapangan Quidditch, dan Harry baru ber-hasil lepas darinya ketika tiba di kamar ganti. Colin berteriak dengan suara melengking, "Aku akan cari tempat duduk yang enak, Harry!" dan bergegas ke tribune.
Anggota tim Gryffindor lainnya sudah ada di dalam kamar ganti. Wood satu-satunya yang betul-betul ter-jaga. Fred dan George Wesley duduk dengan mata sembap dan rambut awut- awutan di sebelah anak kelas empat, Alicia Spinnet, yang terkantuk-kantuk bersandar ke dinding di belakangnya. Teman sesama Chaser-nya, Katie Bell dan Angelina Johnson, duduk bersebelahan di hadapan mereka. Keduanya menguap.
"Akhirnya muncul juga kau, Harry, kenapa sih lama benar?" tanya Wood tajam. "Nah, aku ingin bicara sebentar dengan kalian semua sebelum kita ke la-pangan, karena aku melewatkan musim panas dengan menciptakan program latihan baru, yang kurasa akan membuat perbedaan besar..." Wood memegang diagram besar lapangan Quidditch. Pada diagram itu tergambar banyak garis, panah, dan tanda silang dengan tinta berbeda warna. Dia mengambil tongkatnya, mengetuk papan, dan panah-panah itu mulai bergerak meliuk di atas papan seperti ulat. Sementara Wood berpidato tentang taktik barunya, kepala Fred Weasley terkulai ke bahu Alicia Spinnet dan dia mulai mendengkur.
Perlu hampir dua puluh menit untuk menjelaskan papan pertama, tetapi ada papan lain di bawahnya, dan papan ketiga di bawah yang kedua itu. Harry serasa melayang sementara Wood terus mengoceh membosankan.
"Nah," kata Wood akhirnya, mengagetkan Harry yang sedang berkhayal apa yang bisa dimakannya untuk sarapan di kastil saat ini. "Sudah jelas? Ada pertanyaan?"
"Aku mau tanya, Oliver," kata George, yang terba-ngun kaget. "Kenapa sih kau tidak menjelaskan semua ini kepada kami kemarin sewaktu kami masih segar?"
Wood tidak senang.
"Dengar, kalian semua," katanya, mendelik galak kepada mereka, "kita seharusnya memenangkan Piala Quidditch tahun lalu. Kita kan tim yang paling kuat. Tetapi sayangnya, karena situasi di luar kontrol..."
Harry merasa bersalah. Dia terbaring pingsan di rumah sakit selama pertandingan final tahun ajaran lalu, yang berarti Gryffindor kekurangan satu pemain dan menderita kekalahan paling parah dalam tiga ratus tahun terakhir.
Wood berusaha menguasai diri. Kekalahan terakhir mereka jelas masih membuatnya tersiksa.
"Maka tahun ini, kita berlatih lebih keras dari se-belumnya... Oke, ayo berangkat dan mempraktekkan teori baru tadi!" Wood berteriak, menyambar sapunya dan mendahului keluar dari kamar ganti. Dengan kaki kaku dan masih menguap, anggota timnya mengikuti.
Agaknya mereka berada di dalam kamar ganti lama sekali, sehingga matahari sudah benar-benar terbit sekarang, meskipun sisa-sisa kabut masih melayang di atas rumput stadion. Ketika Harry berjalan ke lapangan, dia melihat Ron dan Hermione duduk di tribune.
"Kalian belum selesai?" tanya Ron heran.
"Mulai saja belum," kata Harry, memandang iri pada roti panggang berselai yang dibawa Ron dan Hermione dari Aula Besar. "Wood tadi mengajari kami taktik baru."
Harry naik ke sapunya dan menjejak tanah, me-lesat ke udara. Udara pagi yang sejuk menerpa wajah-nya, membangunkannya jauh lebih efektif daripada pidato panjang Wood. Asyik rasanya kembali ke la-pangan Quidditch. Dia terbang mengelilingi stadion dengan kecepatan penuh, berlomba dengan Fred dan George.
"Bunyi ceklak-ceklik aneh apa itu?" seru Fred ketika mereka meluncur dengan cepat di sudut stadion.
Harry memandang ke tribune. Colin duduk di salah satu tempat duduk yang paling tinggi, kameranya terangkat, tak putus-putusnya memotret, bunyinya di-perbesar secara aneh di stadion kosong itu.
"Lihat sini, Harry! Ke arah sini!" teriaknya nyaring.
"Siapa itu?" tanya Fred.
"Entahlah," Harry berbohong, menambah kecepatan yang membawanya sejauh mungkin dari Colin.
"Ada apa sih?" tanya Wood, mengerutkan kening, seraya meluncur di udara menuju mereka. "Kenapa anak kelas satu itu memotret? Aku tidak suka. Siapa tahu dia mata-mata Slytherin, mencoba mencari tahu tentang program latihan baru kita."
"Dia anak Gryffindor," kata Harry cepat-cepat.
"Dan tim Slytherin tidak perlu mata-mata, Oliver," kata George.
"Kenapa kau bilang begitu?" kata Wood curiga.
"Karena mereka sendiri ada di sini," kata George,-menunjuk. Beberapa anak berjubah hijau berjalan memasuki lapangan, dengan sapu di tangan. "Aku tidak percaya!" Wood mendesis berang. "Aku sudah pesan lapangan untuk hari ini! Coba kita lihat!"
Wood menukik ke tanah, mendarat lebih keras dari-pada yang diinginkan dalam kemarahannya. Dia ter-huyung sedikit ketika turun dari sapunya. Harry, Fred, dan George mengikuti.
"Flint!" Wood berteriak kepada kapten Slytherin. "Ini waktu latihan kami! Kami khusus bangun pagi! Kalian menyingkir dulu!"
Marcus Flint bahkan lebih besar daripada Wood. Wajahnya licik seperti troll ketika dia menjawab, "Ada banyak tempat untuk kita semua, Wood."
Angelina, Alicia, dan Katie juga sudah mendekat. Tak ada anak perempuan di tim Slytherin—yang ber-diri berdempetan bahu, menghadapi tim Gryffindor. Mereka saling lirik.
"Tapi aku sudah memesan lapartgan!" kata Wood, marah sekali. "Sudah kupesan!" "Ah," kata Flint, "tapi aku bawa surat izin khusus dengan tanda tangan dari Profesor Snape. Aku, Profesor S. Snape, memberi izin tim Slytherin untuk berlatih hari ini di lapangan Quidditch, mengingat perlunya melatih Seeker baru mereka."
"Kalian punya Seeker baru?" kata Wood, perhatian-nya teralih. "Mana?"
Dan dari belakang enam anak bertubuh besar itu muncul anak ketujuh yang lebih kecil, wajahnya yang pucat dan runcing dihiasi seringai lebar. Draco Malfoy.
"Bukankah kau anak Lucius Malfoy?" tanya Fred, memandang Malfoy dengan benci.
"Lucu juga kau menyebut-nyebut ayah Draco," kata Flint, ketika seluruh tim Slytherin menyeringai semakin lebar. "Biar kutunjukkan kepada kalian hadiah yang dengan murah hati diberikannya kepada tim Slytherin."
Ketujuh anak itu mengacungkan sapu mereka. Tujuh gagang baru dengan polesan berkilat dan tujuh tulisan emas berbunyi "Nimbus Dua Ribu Satu" berkilau cemerlang tertimpa cahaya matahari pagi di depan hidung tim Gryffindor.
"Model paling akhir. Baru keluar tahun lalu," kata Flint sambil lalu, menjentik setitik debu dari ujung sapunya. "Jauh lebih unggul dari seri Nimbus Dua Ribu. Sedangkan Sapu- bersih yang tua," dia tersenyum menyebalkan pada Fred dan George, yang dua-duanya memegang Sapu-bersih Lima,
"paling cocok untuk menyapu lantai."
Tak seorang pun dari tim Gryffindor bisa bicara selama beberapa saat. Malfoy menyeringai lebar sekali, sampai matanya tinggal segaris.
"Oh, lihat," kata Flint. "Penyerbuan lapangan." Ron dan Hermione menyeberangi lapangan rumput, ingin tahu apa yang terjadi. "Ada apa?" Ron menanyai Harry. "Kenapa kau tidak main? Dan apa yang dia lakukan di sini?" Ron memandang Malfoy, melihat jubah seragam Quidditch Slytherin-nya.
"Aku Seeker baru Slytherin, Weasley," kata Malfoy sombong. "Semua sedang mengagumi sapu baru tim kami yang dibelikan ayahku."
Ron ternganga memandang tujuh sapu super di depannya.
"Bagus, kan?" kata Malfoy lancar. "Tapi mungkin tim Gryffindor bisa mengumpulkan emas dan membeli sapu baru juga. Kau bisa melelang Sapu-bersih Lima. Kurasa ada museum yang mau menawarnya."
Tim Slytherin tertawa terbahak-bahak.
"Paling tidak, tak seorang pun anggota tim Gryffindor yang harus menyuap untuk bisa masuk," celetuk Hermione tajam.
"Mereka dipilih karena me-mang mampu."
Kepuasan di wajah Malfoy lenyap. "Tak ada yang minta pendapatmu, Darah-lumpur kotor," umpatnya.
Harry langsung tahu Malfoy telah mengatakan se-suatu yang benar-benar kelewatan karena tiba-tiba saja terjadi kelibutan. Flint harus menukik ke depan Malfoy untuk mencegah Fred dan George melompat menyerangnya. Alicia berteriak, "Berani-beraninya kau!" Dan Ron memasukkan tangannya ke dalam jubah, menarik keluar tongkatnya, sambil berteriak, "Kau harus membayarnya, Malfoy!" Dia mengacung-kan tongkatnya dengan murka, melewati lengan Flint, ke wajah Malfoy.
Terdengar ledakan keras yang bergema di stadion dan seberkas sinar hijau meluncur dari ujung tongkat-nya yang salah, menyambar perut Ron sendiri dan membuatnya jatuh terjengkang di rerumputan.
"Ron! Ron! Kau tak apa-apa?" jerit Hermione.
Ron membuka mulut untuk bicara, tetapi tak ada suara yang keluar. Dia malah bersendawa keras dan beberapa siput berjatuhan dari mulutnya ke pangkuan-nya.
Tim Slytherin tertawa terbahak-bahak. Flint sampai terbungkuk-bungkuk, bertumpu pada sapu barunya. Malfoy merangkak, memukul-mukul tanah dengan tinjunya. Anak- anak Gryffindor berkerumun menge-lilingi Ron, yang tak henti- hentinya bersendawa siput-siput besar berkilat. Tak seorang pun tampaknya mau menyentuh Ron.
"Lebih baik kita membawanya ke pondok Hagrid, yang paling dekat," kata Harry kepada Hermione, yang mengangguk dengan berani. Berdua mereka me-mapah Ron.
"Ada apa, Harry? Ada apa? Apa dia sakit? Tapi kau bisa menyembuhkannya, kan?" Colin sudah berlari turun dari tempat duduknya dan sekarang berjalan mengiringi mereka meninggalkan lapangan. Ron bersendawa keras dan beberapa siput berjatuhan lagi dari mulutnya. "Oooh," kata Colin terpesona dan mengangkat kameranya. "Bisakah kaupegangi dia, Harry?"
"Minggir, Colin!" kata Harry marah. Dia dan Hermione membantu Ron meninggalkan stadion dan menyeberang halaman menuju ke tepi hutan.
"Hampir sampai, Ron," kata Hermione, ketika pon-dok si pengawas binatang liar tampak. "Kau akan baik sebentar lagi... hampir sampai..."
Mereka sudah tinggal kita-kira enam meter dari pondok Hagrid ketika pintunya terbuka, tetapi bukan Hagrid yang muncul. Gilderoy Lockhart, memakai jubah lembayung muda hari ini, keluar.
"Cepat, ke belakang sini," desis Harry, menarik Ron ke belakang semak di dekat situ. Hermione mengikuti, dengan agak enggan.
"Gampang kalau kau tahu caranya!" Lockhart ber-kata keras-keras kepada Hagrid. "Kalau perlu ban-tuan, kau tahu di mana aku! Kuberi kau nanti satu bukuku—aku heran kau sama sekali belum punya. Akan kutandatangani satu malam ini dan kukirim ke sini. Nah, selamat tinggal!" Dan dia berjalan menuju kastil.
Harry menunggu sampai Lockhart tak kelihatan lagi. Kemudian ditariknya Ron dari balik semak dan dibawanya ke pintu depan pondok Hagrid. Mereka mengetuk dengan tegang. Hagrid segera muncul, kelihatan jengkel sekali, te-tapi wajahnya berubah cerah setelah tahu siapa yang datang.
"Sudah tanya-tanya kapan kalian datang tengok aku—
masuk, masuk—kukira Profesor Lockhart balik lagi."
Harry dan Hermione memapah Ron masuk ke pon-dok satu-ruangan itu. Di satu sudutnya ada tempat tidur besar sekali, dan di sudut lainnya perapian yang menyala-nyala cerah. Hagrid tidak bingung men-dengar masalah Ron, yang cepat-cepat dijelaskan Harry sambil mendudukkan Ron di kursi.
"Lebih baik keluar daripada masuk," kata Hagrid riang sambil menaruh baskom tembaga besar di depan Ron.
"Keluarkan semua, Ron."
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan selain me-nunggu sampai berhenti sendiri," kata Hermione ce-mas, mengawasi Ron yang membungkuk di atas bas-kom. "Itu kutukan yang sulit dilakukan bahkan pada saat kondisi kita sedang sangat baik, tapi dengan tongkat yang patah..."
Hagrid sibuk membuatkan teh untuk mereka. Anjing besarnya, Fang, menjilat-jilat Harry.
"Apa yang diinginkan Lockhart darimu, Hagrid?" tanya Harry sambil menggaruk-garuk belakang telinga Fang.
"Beri aku nasihat keluarkan kelpie dari sumur," geram Hagrid. Dia menyingkirkan ayam jantan yang se-tengah dicabuti bulunya dari atas mejanya yang bersih berkilat dan meletakkan teko teh. Kelpie adalah hantu air, biasanya berwujud kuda, dalam cerita-cerita rakyat Skotlandia. "Dikira aku tak tahu. Dan dia sombongkan bisa usir Banshee. Kalau omongannya satu kata saja benar, kumakan ceretku."
Tidak biasanya Hagrid mengkritik guru Hogwarts dan Harry memandangnya keheranan. Hermione, se-baliknya, berkata dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya, "Kurasa kau agak tidak adil. Profesor Dumbledore jelas menganggapnya orang terbaik untuk pekerjaannya..."
"Dia satu-satunya orang untuk pekerjaan itu," kata Hagrid, menawari mereka sepiring gulali, sementara Ron terbatuk- batuk ke dalam baskomnya. "Dan maksudku betul-betul satu- satunya. Susah cari orang untuk ngajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Orang tak suka pelajari itu, soalnya. Mereka mulai pikir itu bawa sial. Tak ada yang tahan lama. Coba cerita," kata Hagrid, mengedikkan kepala ke arah Ron, "siapa yang dia mau kutuk?"
"Malfoy mengatai Hermione sesuatu. Pastilah se-suatu yang buruk, karena semua jadi marah."
"Memang buruk," kata Ron serak, muncul ke atas meja, pucat dan berkeringat. "Malfoy mengatai dia 'darah-lumpur', Hagrid..."
Ron menukik menghilang dari pandangan lagi ke-tika segerombolan siput muncul. Hagrid kelihatan murka.
"Dia bilang begitu?" geramnya kepada Hermione. "Ya," kata Hermione. "Tetapi aku tak tahu apa maksudnya. Hanya bisa kutebak itu umpatan kasar..."
"Itu penghinaan paling besar yang bisa dipikirkan-nya," sengal Ron, muncul lagi. "Darah-lumpur adalah umpatan kasar untuk orang yang kelahiran-Muggle— kau tahu, kan, yang orangtuanya bukan penyihir. Ada penyihir—seperti keluarga Malfoy—yang menganggap mereka lebih baik dari yang lain karena mereka termasuk golongan yang disebut darah-murni." Ron bersendawa kecil, dan satu siput jatuh ke tangan-nya yang terulur. Dilemparkannya siput itu ke dalam baskom dan dia melanjutkan, "Maksudku, kita, pe-nyihir yang lain, tahu itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lihat saja Neville Longbottom—dia darah-murni, tapi menaruh kuali dengan benar saja dia nyaris tak bisa."
"Dan mereka belum temukan mantra yang tak bisa dilakukan Hermione kita ini," kata Hagrid bangga, membuat wajah Hermione langsung semburat merah.
"Darah-lumpur sungguh umpatan yang tak pantas diucapkan," kata Ron, menyeka dahinya yang ber-keringat dengan tangan gemetar. "Darah kotor, artinya. Darah biasa. Gila. Sebagian besar penyihir sekarang ini toh berdarah- campuran. Kalau kita tidak menikah dengan Muggle, kita pasti sudah punah."
Ron membungkuk dan muntah lagi.
"Yah, aku tidak salahkan kau, kaucoba kutuk dia, Ron," kata Hagrid keras, mengatasi bunyi siput yang berjatuhan ke baskom. "Tapi mungkin ada baiknya tongkatmu serang balik kau sendiri. Pasti Lucius Malfoy akan datang ke sekolah kalau kau berhasil kutuk anaknya. Dengan begini paling tidak kau tidak dihukum."
Harry sebetulnya ingin mengatakan bahwa hu-kuman tidak lebih buruk daripada hujan siput dari mulut, tapi dia tak bisa bicara. Gulali Hagrid telah menyemen rapat rahangnya.
"Harry," kata Hagrid tiba-tiba, seakan mendadak teringat sesuatu. "Aku protes. Kudengar kau bagi-bagikan foto bertanda langan. Kenapa aku tidak di-kasih?"
Dengan berang, Harry melepas gigi-giginya yang menempel. "Aku tidak membagikan foto bertanda tangan," kata-nya marah. "Kalau Lockhart masih ngomong soal..."
Tetapi kemudian dilihatnya Hagrid tertawa.
"Aku cuma bergurau," katanya, menepuk-nepuk punggung Harry dengan riang, membuat wajah Harry terantuk meja.
"Aku tahu kau tidak bagikan foto. Aku bilang Lockhart kau tak perlu begitu. Kau sudah lebih terkenal dari dia tanpa berusaha."
"Pasti dia tidak suka mendengarnya," kata Harry duduk tegak lagi dan menggosok-gosok dagunya.
"Memang tidak," kata Hagrid, matanya bercahaya. "Lalu aku bilang aku belum pernah baca bukunya dan dia putuskan pergi saja. Gulali, Ron?" dia me-nambahkan ketika Ron muncul lagi.
"Tidak, terima kasih," kata Ron lemah. "Lebih baik tidak ambil risiko."
"Ayo, kita lihat apa yang kutanam," ajak Hagrid ketika Harry dan Hermione sudah menghabiskan teh mereka.
Di kebun sayur kecil di belakang pondok Hagrid ada selusin labu kuning paling besar yang pernah dilihat Harry. Masing- masing sebesar gundukan batu besar.
"Tumbuh bagus, ya," kata Hagrid gembira. "Buat pesta Hallowe'en... sudah cukup besar nanti." "Kauberi makan apa mereka?" tanya Harry.
Hagrid menoleh untuk memastikan mereka sen-dirian.
"Yah, aku memberi mereka—kau tahu—sedikit ban-tuan." Harry melihat payung merah jambu kembang-kembang Hagrid bersandar di dinding belakang pon-dok. Harry punya alasan untuk menduga bahwa pa-yung ini bukan payung biasa. Malah dia punya dugaan kuat tongkat tua Hagrid dari zaman sekolah disembunyikan di dalamnya. Hagrid sebetulnya tidak boleh menggunakan sihir. Dia dikeluarkan dari Hogwarts dalam tahun ketiganya, tetapi Harry belum berhasil tahu kenapa. Setiap kali menyebut soal itu, Hagrid akan berdeham keras-keras dan jadi tuli secara misterius sampai topik pembicaraan diubah.
"Jampi-jampi Pembengkakan, kan?" kata Hermione, setengah mencela, setengah geli. "Wah, kau berhasil sekali."
"Itu yang dikatakan adikmu," kata Hagrid, mengangguk kepada Ron. "Baru ketemu dia kemarin." Hagrid melirik Harry, jenggotnya bergerak-gerak. "Katanya dia cuma mau lihat-lihat, tapi kukira dia harap ketemu seseorang di rumahku." Dia mengedip kepada Harry. "Kalau kau tanya aku, dia tidak akan tolak foto bertanda tangan..."
"Oh, tutup mulut," kata Harry. Ron terbahak dan siput berhamburan ke tanah. "Awas!" teriak Hagrid, menarik Ron menjauh dari labu kuningnya yang sangat berharga. Saat itu sudah hampir makan siang dan karena Harry baru makan sepotong kecil gulali, dia sudah ingin kembali ke sekalah untuk makan. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Hagrid dan ber-jalan kembali ke kastil. Ron cegukan dari waktu ke waktu, tetapi hanya mengeluarkan dua siput yang sangat kecil.
Baru saja mereka melangkah memasuki Aula Depan yang sejuk, terdengar suara keras. "Di sini rupanya kalian, Potter, Weasley." Profesor McGonagall berjalan mendekati mereka, tampangnya galak. "Kalian berdua akan menjalani detensi malam ini."
"Apa yang harus kami lakukan, Profesor?" kata Ron, dengan gugup menahan agar tidak bersendawa.
"Kau akan menggosok perak di ruang piala dengan Mr Filch," kata Profesor McGonagall. "Dan dilarang pakai sihir, Weasley—pakai pelumas biasa."
Ron menelan ludah. Argus Filch, si penjaga sekolah, dibenci semua murid.
"Dan kau, Potter, akan membantu Profesor Lockhart menjawab surat-surat penggemarnya," kata Profesor McGonagall.
"Oh, tidak—bolehkah saya ke ruang piala saja?" tanya Harry putus asa.
"Jelas tidak," kata Profesor McGonagall, alisnya ter-angkat.
"Profesor Lockhart khusus memintamu. Pukul delapan tepat, jangan terlambat."
Harry dan Ron berjalan gontai dan murung ke Aula Besar. Hermione di belakang mereka, ekspresi wajahnya seakan mengatakan kalian-memang-melanggar-peraturan-sekolah. Harry kehilangan nafsu makannya saat dia menghadapi pai dagingnya. Dia dan Ron beranggapan detensi masing-masing lebih berat dari yang lain.
"Filch akan mengawasiku sepanjang malam," keluh Ron.
"Tak boleh pakai sihir! Paling sedikit ada seratus piala dalam ruangan itu. Aku parah kalau mem-bersihkan memakai cara Muggle."
"Aku mau tukar kapan saja," kata Harry hampa. "Aku sudah terlatih dengan keluarga Dursley. Men-jawab surat-surat penggemar Lockhart... mengerikan sekali...."
Sabtu sore berlalu dengan cepat, dan tiba-tiba saja sudah pukul delapan kurang lima menit. Harry me-nyeret kakinya sepanjang koridor lantai dua menuju kantor Lockhart. Dia mengertakkan gigi dan mengetuk.
Pintu langsung terbuka. Lockhart tersenyum kepada-nya.
"Ah, ini dia...!" katanya. "Masuk, Harry masuk."
Berkilauan di dinding disinari cahaya banyak lilin, berderet tak terhitung foto Lockhart. Beberapa di antaranya bahkan ditandatanganinya. Setumpuk tinggi lainnya ada di mejanya.
"Kau boleh menulis alamat di amplopnya!" kata Lockhart kepada Harry, seakan ini sesuatu yang sangat menyenangkan.
"Yang pertama ini untuk Gladys Gudgeon—penggemar beratku."
Waktu berlalu amat lambat. Harry membiarkan saja Lockhart ngoceh sendiri, kadang-kadang saja dia me-nimpali dengan, "Mmm," dan "Baik," dan "Yeah." Sekali-sekali dia mendengar ungkapan seperti, "Ke-tenaran itu seperti teman yang berubah-ubah, Harry," atau "Selebriti jadi selebriti kalau bersikap seperti se-lebriti, ingat itu."
Lilin-lilin terbakar makin lama makin pendek, mem-buat cahayanya menari-nari di atas banyak wajah Lockhart yang memandangnya. Harry menggerakkan tangannya yang pegal di atas amplop yang rasanya sudah keseribu, menulis alamat Veronica Smethley. Pasti sudah hampir tiba waktunya pulang, pikir Harry merana, mudah-mudahan segera tiba waktu pulang....
Dan kemudian dia mendengar sesuatu—sesuatu yang lain daripada desis lilin-lilin yang hampir padam dan ocehan Lockhart tentang penggemarnya.
Ada suara, suara yang bisa membekukan tulang sumsum, suara penuh kebencian, sedingin es.
"Sini... datanglah padaku... biar kurobek kau... biar kubunuh kau..."
Harry tersentak kaget dan setetes besar tinta ungu muncul di alamat Veronica Smethley.
"Apa?" katanya keras-keras.
"Aku tahu!" kata Lockhart. "Enam bulan penuh di puncak tangga bestseller! Memecahkan semua rekor!" "Bukan," kata Harry kalut. "Suara tadi!" "Maaf?" kata Lockhart, kelihatan bingung. "Suara apa?
"Su—suara yang mengatakan—apakah Anda tidak mendengarnya?" Lockhart memandang Harry dengan amat heran. "Apa yang kaubicarakan, Harry? Mungkin kau sudah mengantuk? Astaga—nyaris tengah malam! "Kita sudah di sini hampir empat jam! Aku tak percaya— waktu berlalu bagai terbang, ya?"
Harry tidak menjawab. Dia menajamkan telinga untuk mendengar suara itu lagi, tapi sekarang yang terdengar hanyalah suara Lockhart memberitahunya bahwa dia tak boleh mengharapkan hadiah me-nyenangkan seperti ini setiap kali dia mendapat detensi. Harry pulang dengan linglung.
Sudah larut sekali sehingga ruang rekreasi Gryffindor sudah hampir kosong. Harry langsung ke kamarnya. Ron belum kembali. Harry memakai piama-nya naik ke atas tempat tidur, dan menanti. Setengah jam kemudian Ron pulang, memijat- mijat lengan kanannya dan membawa bau pelitur ke dalam kamar yang gelap.
"Ototku sakit semua," keluh Ron, menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. "Empat belas kali aku harus menggosok Piala Quidditch itu sebelum dia puas. Dan kemudian aku dapat serangan siput lagi, me-muntahi Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian ke-pada Sekolah. Lama sekali lendirnya baru bisa bersih. Bagaimana dengan Lockhart?"
Dengan suara rendah agar tidak membangunkan Neville, Dean, dan Seamus, Harry menceritakan ke-pada Ron apa yang didengarnya.
"Dan Lockhart bilang dia tidak bisa mendengarnya?" kata Ron. Dalam cahaya bulan Harry bisa melihat kening Ron berkerut. "Apakah menurutmu dia bo-hong? Tapi aku tidak mengerti—bahkan orang yang tidak kelihatan pirn harus membuka pintu."
"Aku tahu," kata Harry, kembali berbaring di tempat tidur besarnya dan memandang langit-langit kelambu. "Aku juga tidak mengerti."

8. Hari Ulang Tahun Kematian


OKTOBER tiba, menyebar hawa dingin dan lembap di halaman dan ke dalam kastil. Madam Pomfrey, matron rumah sakit, disibukkan oleh wabah flu yang mendadak berjangkit di antara para staf dan murid-murid. Ramuan Mericamujarab-nya manjur sekali, meskipun yang meminumnya jadi mengeluarkan asap dari telinga selama beberapa jam sesudahnya. Ginny Weasley, yang sudah kelihatan pucat dan lesu, dipaksa minum oleh Percy. Asap yang bergulung dari bawah rambutnya memberi kesan bahwa seluruh kepalanya sedang terbakar.
Tetes-tetes air sebesar peluru memberondong jendela- jendela kastil selama berhari-hari, air danau naik, petak-petak bunga berubah menjadi kolam lum-pur dan labu-labu kuning Hagrid membengkak men-jadi sebesar gudang alat-alat berkebun. Meskipun demikian, semangat Oliver Wood untuk tetap berlatih secara teratur tidaklah menyusut. Itulah sebabnya Harry, pada suatu Sabtu berbadai beberapa hari se-belum Hallowe'en, kembali ke Gryffindor dalam ke-adaan basah kuyup dan berlumur lumpur.
Bahkan tanpa hujan dan angin, latihan mereka tadi bukan sesi yang menyenangkan. Fred dan George, yang sudah memata-matai tim Slytherin, telah melihat sendiri kecepatan Nimbus Dua Ribu Satu. Mereka melaporkan bahwa tim Slytherin menjadi tak lebih dari tujuh bayangan kehijauan, meluncur membelah udara secepat jet.
Ketika Harry melangkah hati-hati sepanjang koridor kosong, dilihatnya ada yang tampaknya sedang ba-nyak pikiran seperti dirinya. Nick si Kepala-Nyaris-Putus, hantu Menara Gryffindor, sedang menatap mu-rung ke luar jendela, bergumam lirih,
"...tidak me-menuhi persyaratan... satu senti, seandainya itu..."
"Halo, Nick," sapa Harry.
"Halo, halo," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus, ter-kejut dan menoleh. Dia memakai topi bulu indah di atas rambutnya yang ikal panjang, dan tunik dengan kerah rimpel, yang menyembunyikan fakta bahwa lehernya nyaris terpotong total. Dia sepucat asap, dan Harry bisa melihat menembusnya ke langit yang gelap dan hujan lebat di luar.
"Kelihatannya kau sedang punya masalah, Potter," kata Nick, seraya melipat sehelai surat transparan dan menyelipkannya ke dalam saku baju ketatnya.
"Kau juga," kata Harry.
"Ah," Nick si Kepala-Nyaris-Putus melambaikan ta-ngannya yang indah. "Masalah kecil... bukannya aku ingin sekali ikut... kupikir aku mengajukan permohonan, tetapi rupanya aku 'tidak memenuhi persyaratan'." Walaupun nada bicaranya ringan, wajahnya me-nyiratkan kekecewaan besar.
"Tapi kau akan berpendapat," katanya mendadak, menarik keluar lagi suratnya dari dalam sakunya, "bahwa dihantam empat puluh lima kali di leher dengan kapak tumpul akan membuatmu memenuhi syarat untuk ikut Perburuan Tanpa- Kepala, kan?"
"Oh—ya," kata Harry, yang tahu ia diharapkan berkata ya.
"Maksudku, tak ada yang lebih berharap dari aku sendiri bahwa pemenggalan itu berlangsung cepat dan mulus, dan kepalaku putus total. Maksudku, aku jadi tak perlu lama menderita sakit dan diolok-olok terus. Meskipun demikian..." Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengibaskan suratnya hingga terbuka dan mem-bacanya dengan berang,
"Kami hanya dapat menerima pemburu yang kepala-nya sudah terpisah dari tubuhnya. Anda tentu me-mahami bahwa kalau keadaannya tidak begitu, para anggota tidak akan bisa berpartisipasi dalam kegiatan perburuan seperti Lempar- Kepala dari Punggung Kuda dan Polo Kepala. Karena itu dengan amat menyesal, saya harus menginformasikan kepada Anda bahwa Anda tidak memenuhi persyaratan kami. Dengan segala hor-mat, Sir Patrick Delaney-Podmore."
Marah-marah, Nick si Kepala-Nyaris-Putus menying-kirkan suratnya.
"Satu senti kulit dan otot menahan kepalaku, Harry! Kebanyakan orang akan berpendapat itu sudah sama dengan terpenggal, tetapi oh tidak, itu belum cukup bagi Sir 'Pala Putus-Podmore."
Nick si Kepala-Nyaris-Putus menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan kemudian berkata, dengan suara yang jauh lebih tenang, "Jadi—apa yang me-nyusahkanmu? Ada yang bisa kubantu?"
"Tidak," kata Harry. "Tidak, kecuali kau tahu di mana kami bisa mendapatkan tujuh Nimbus Dua Ribu Satu gratis untuk pertandingan kami menghadapi Sly..."
Sisa kalimat Harry tertelan oleh meongan yang melengking nyaring di dekat mata kakinya. Dia me-nunduk dan berpandangan dengan sepasang mata kuning yang menyorot bagai senter. Mrs Norris, kucing kurus abu-abu yang digunakan oleh si penjaga sekolah, Argus Filch, sebagai semacam wakilnya, dalam pertarungan tanpa henti melawan murid-murid.
"Lebih baik kau cepat pergi dari sini, Harry," kata Nick buru-buru. "Filch sedang marah-marah terus. Dia kena flu dan beberapa anak kelas tiga tanpa sengaja mengotori seluruh langit-langit ruang bawah tanah nomor lima dengan otak kodok. Dia mem-bersihkannya dari pagi dan kalau dia melihatmu menetes-neteskan lumpur di mana-mana..."
"Betul," kata Harry, mundur menghindar dari pan-dangan menuduh Mrs Norris, tetapi tak cukup cepat. Tertarik ke tempat itu oleh kekuatan misterius yang kelihatannya menghubungkannya dengan kucingnya yang menyebalkan, Argus Filch mendadak muncul dari permadani gantung di sebelah kanan Harry, men-desah-desah dan memandang liar berkeliling mencari si pelanggar aturan. Syal kotak-kotak tebal diikatkan ke kepalanya, dan hidungnya luar biasa ungu.
"Kotoran!" dia berteriak, rahangnya bergetar, mata-nya mendelik mengerikan ketika dia menunjuk ge-nangan air berlumpur yang menetes-netes dari jubah Quidditch Harry.
"Berantakan dan kotoran di mana-mana! Aku sudah muak! Ikut aku, Potter!"
Maka Harry melambai lesu mengucapkan selamat tinggal kepada Nick si Kepala-Nyaris-Putus dan turun kembali mengikuti Filch, membuat tapak berlumpur di lantai jadi dobel. Harry belum pernah berada dalam kantor Filch. Tempat itu dihindari sebagian besar anak-anak. Ruangan itu suram dan tak berjendela, disinari hanya oleh satu lampu minyak yang tergantung dari langit-langit yang rendah. Samar-samar bau ikan goreng memenuhi ruangan. Lemari arsip dari kayu berderet di sekeliling ruangan. Dari label-labelnya Harry tahu bahwa lemari itu berisi data rinci semua murid yang pernah dihukum Filch. Fred dan George Weasley pu-nya satu laci tersendiri. Koleksi rantai dan belenggu yang tergosok mengilap tergantung pada dinding di belakang meja Filch. Sudah rahasia umum bahwa Filch selalu meminta-minta kepada Dumbledore untuk mengizinkannya menghukum anak- anak dengan menggantungnya dari langit-langit pada mata kakinya.
Filch meraih pena bulu dari pot di atas mejanya dan mulai mencari-cari perkamen. "Tinja binatang," gumamnya berang,
"upil naga pa-
nas besar-besar... otak kodok... usus tikus... sungguh kelewatan... mana formulirnya... ya..."
Dia menarik keluar gulungan besar perkamen dari laci mejanya dan membentangkannya di depannya, mencelupkan pena bulu hitamnya yang panjang ke dalam botol tinta.
"Nama... Harry Potter. Kesalahan..."
"Cuma sedikit lumpur!" kata Harry.
"Cuma sedikit lumpur bagimu, Nak, tapi bagiku itu berarti kerja tambahan satu jam menggosok lantai!" teriak Filch, ada ingus yang sudah bergetar mau jatuh di ujung hidung bawangnya, menjijikkan sekali. "Ke-salahan... membuat kotor kastil... hukuman yang disaran-kan..."
Sambil mengelap hidungnya yang beringus, Filch memandang galak Harry dengan mata menyipit. Harry menunggu jatuhnya vonis hukumannya dengan napas tertahan.
Tetapi ketika Filch merendahkan penanya, terdengar GUBRAK! keras di langit-langit kantornya, hingga membuat lampu minyaknya bergoyang.
"PEEVES!" gerung Filch, membanting penanya de-ngan murka. "Kutangkap kau kali ini, kutangkap kau!"
Dan tanpa menoleh kepada Harry, Filch berlari meninggalkan kantornya, Mrs Norris melesat mengiringinya.
Peeves adalah hantu jail sekolah, makhluk melayang-layang menyeringai yang selalu menyebabkan mala-petaka dan kesulitan. Harry tidak begitu menyukai Peeves, tapi mau tak mau berterima kasih untuk gangguannya yang tepat waktu. Mudah-mudahan, apa pun yang dilakukan Peeves (dan kedengarannya dia telah merusakkan sesuatu yang besar kali ini) akan mengalihkan perhatian Filch dari Harry.
Berpendapat bahwa dia mungkin harus menunggu kembalinya Filch, Harry duduk di kursi yang sudah dimakan ngengat di sebelah meja. Ada satu benda lain di atas meja selain formulirnya yang baru se-tengah terisi: amplop ungu besar berkilat dengan tulisan huruf-huruf perak di bagian depannya. Setelah melirik sekilas ke pintu untuk memastikan Filch tidak sedang berjalan kembali ke kantor, Harry mengambil amplop itu dan membacanya:
MANTRAKILAT Kursus Sihir Tertulis untuk Pemula Tergugah rasa ingin tahunya, Harry membuka amplop itu dan menarik keluar setumpuk perkamen dari dalamnya. Tulisan meliuk-liuk warna perak di halaman depan berbunyi: Merasa terkucil dari dunia sihir modern? Sulit cari alasan untuk tidak melakukan mantra sederhana? Pernah diledek karena hasil sihiran tongkatmu yang menyedihkan? Ada solusinya!
Mantrakilat adalah kursus baru yang pantang-gagal, cepat-berhasil, mudah-dipelajari. Beratus-ratus penyihir telah mendapatkan manfaat metode Mantrakilat!
Madam Z. Nettles dari Topsham menulis: "Aku tak pernah bisa menghafal mantra, dan ramuan buatanku selalu jadi bahan ejekan keluarga! Sekarang, setelah ikut kursus Mantrakilat, aku jadi pusat perhatian di pesta-pesta dan teman-temanku meminta resep Cairan Cemerlang-ku!"
Penyihir D.J. Trod dari Didsbury berkata: "Istriku selalu mencibir melihat hasil sihiranku, tetapi sebulan setelah ikut kursus Mantrakilat yang hebat, aku berhasil mengubahnya menjadi yak! Terima kasih, Mantrakilat!"
Yak adalah sejenis lembu berbulu panjang yang berasal dari Asia Tengah. Terpesona, Harry melanjut-kan membaca isi amplop itu. Kenapa Filch ingin ikut kursus Mantrakilat? Apakah itu berarti dia bukan penyihir tulen? Harry sedang membaca "Pelajaran Pertama: Cara Memegang Tongkatmu (Beberapa Tip yang Berguna)" ketika langkah-langkah yang men-dekat memberitahunya Filch datang. Buru-buru di-jejalkannya perkamen itu ke dalam amplop, yang kemudian dilemparkannya ke atas meja, persis ketika pintu terbuka.
Filch tampak penuh kemenangan.
"Lemari yang bisa menghilang itu sangat berharga!" katanya riang kepada Mrs Norris. "Kita akan bisa mengusir Peeves kali ini, manisku."
Pandangannya jatuh pada Harry dan kemudian ber-pindah ke amplop Mantrakilat, yang terlambat disadari Harry, tergeletak setengah meter dari tempatnya semula.
Wajah pucat Filch menjadi merah padam. Harry bersiap- siap menerima luapan kemarahan. Filch ter-pincang-pincang meiuiju mejanya, menyambar amplop itu dan melemparkannya ke dalam laci.
"Sudahkah—apakah kau membaca...?" dia bertanya gugup.
"Tidak," Harry buru-buru berbohong.
Filch meremas-remas tangannya yang berbonggol-bonggol.
"Kalau aku tahu kau akan membaca surat pribadi... bukannya itu milikku... untuk teman... meskipun demikian..."
Harry menatapnya ketakutan. Belum pernah Filch tampak semarah ini. Matanya mendelik, salah satu pipinya yang menggelayut berkedut-kedut dan syal kotak-kotak itu tidak membantu.
"Baiklah... pergilah... dan jangan bilang siapa-siapa... bukannya... bagaimanapun, kalau kau tidak membaca... pergilah sekarang, aku harus menulis la-poran tentang Peeves... pergi..."
Heran sendiri akan keberuntungannya, Harry cepat-cepat meninggalkan kantor Filch, ke koridor dan kem-bali ke atas. Berhasil lolos dari kantor Filch tanpa dihukum barangkali merupakan rekor tersendiri.
"Harry! Harry! Apakah berhasil?"
Nick si Kepala-Nyaris-Putus datang melayang dari salah satu kelas. Di belakangnya Harry bisa melihat rongsokan lemari besar hitam-emas yang kelihatannya dijatuhkan dari tempat yang tinggi.
"Kubujuk Peeves untuk menjatuhkannya tepat di atas kantor Filch," kata Nick bersemangat. "Kupikir itu bisa mengalihkan perhatiannya..."
"Kau yang suruh?" kata Harry pertuh terirna kasih. "Yeah, berhasil, aku bahkan tidak mendapat detensi. Trims, Nick!"
Mereka berjalan menyusuri koridor bersama-sama. Harry memperhatikan Nick si Kepala-Nyaris-Putus ma-sih memegangi surat penolakan Sir Patrick.
"Sayang sekali tak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu dalam Perburuan Tanpa-Kepala itu," kata Harry.
Nick si Kepala-Nyaris-Putus mendadak berhenti dan Harry berjalan menembusnya. Harry menyesal. Rasanya seperti melangkah di bawah pancaran air sedingin es.
"Tapi ada yang bisa kaulakukan untukku," kata Nick bergairah. "Harry—apakah aku minta terlalu ba-nyak—tapi, tidak, kau tak akan mau..."
"Mau apa?" tanya Harry.
"Yah, Hallowe'en ini ulang tahun kematianku yang kelima ratus," kata Nick, menegapkan diri sehingga kelihatan lebih berwibawa.
"Oh," kata Harry, tak yakin apakah dia harus ke-lihatan sedih atau senang mendengarnya. "Lalu?"
"Aku akan mengadakan pesta di salah satu ruang besar bawah tanah. Teman-teman akan datang dari seluruh negeri. Akan merupakan kehormatan besar bagiku kalau kau bersedia hadir. Aku juga meng-harapkan kedatangan Mr Weasley dan Miss Granger, tentu saja—tetapi kalian pasti lebih suka datang ke pesta sekolah, kan?" Dipandangnya Harry dengan tegang dan gelisah.
"Tidak," kata Harry buru-buru. "Aku akan datang..."
"Anak baik! Harry Potter, di Pesta Ulang Tahun Kematianku! Dan," dia ragu-ragu, kelihatan ber-semangat,
"bisakah kau mengatakan kepada Sir Patrick bahwa kau menganggapku sangat mengesankan dan mengerikan?"
"Ten—tentu saja," kata Harry.
Nick si Kepala-Nyaris-Putus langsung berseri-seri.
"Pesta Ulang Tahun Kematian?" kata Hermione tajam, ketika Harry akhirnya sudah berganti pakaian dan bergabung bersamanya dan Ron di ruang rekreasi. "Berani taruhan tak banyak orang hidup yang bisa bilang mereka pernah menghadiri pesta semacam itu— pasti menarik sekali!"
"Kenapa ada orang ingin merayakan hari kematian mereka?" tanya Ron, yang sudah mengerjakan PR Ramuan- nya separo dan merasa sebal. "Kedengarannya suram bagiku...."
Hujan masih mengguyur jendela, yang sekarang gelap pekat, tetapi di dalam segalanya kelihatan terang dan cerah. Perapian menerangi kursi-kursi berlengan yang empuk, tempat anak-anak duduk membaca, mengobrol, mengerjakan PR, atau dalam kasus Fred dan George, berusaha mencari tahu apa yang terjadi jika kau memberi makan salamander kembang api Filibuster. Fred telah "menyelamatkan" kadal berwarna jingga cerah yang tinggal di api itu dari kelas Pe-meliharaan Binatang-binatang Gaib, dan salamander itu sekarang tergeletak mengepul di atas meja, di-kelilingi anak- anak yang ingin tahu.
Harry baru saja akan memberitahu Ron dan Hermione tentang Filch dan kursus Mantrakilat, ketika salamander itu mendadak terbang mendesis ke atas, mengeluarkan bunga api dan meledak-ledak sambil berputar-putar liar di ruangan. Melihat Percy yang berteriak-teriak memarahi Fred dan George sampai serak, pertunjukan spektakuler bintang-bintang jingga keemasan yang tercurah dari mulut si salamander, dan si salamander sendiri yang menyelamatkan diri ke dalam api, diiringi ledakan-ledakan, membuat Filch dan Mantrakilat terlupakan dari pikiran Harry.
Saat Hallowe'en tiba, Harry menyesali janji untuk datang ke Pesta Ulang Tahun Kematian yang diucap-kannya tanpa pikir panjang. Teman-temannya gembira menyambut datangnya pesta Hallowe'en. Aula Besar sudah didekorasi dengan kelelelawar-kelelawar hidup seperti biasanya, labu-labu kuning raksasa Hagrid sudah diukir menjadi lentera yang cukup besar untuk diduduki tiga orang dan ada gosip bahwa Dumbledore telah memesan rombongan penari tengkorak untuk hiburannya.
"Janji harus ditepati," Hermione mengingatkan Harry dengan gaya ngebos. "Kau sudah berkata akan datang ke Pesta Ulang Tahun Kematian."
Maka pukul tujuh malam itu Harry, Ron, dan Hermione berjalan melewati pintu Aula Besar yang sudah penuh anak, lilin-lilinnya yang berkelap-kelip dan piring-piring emasnya berkilat-kilat mengundang. Mereka mengarahkan langkah menuju ruang bawah tanah.
Lorong menuju ke tempat pesta Nick si Kepala-Nyaris-Putus juga sudah diterangi dengan deretan lilin, meskipun efeknya jauh dari cerah, karena lilinnya adalah lilin-lilin runcing hitam pekat, dengan nyala biru, menyiramkan cahaya suram kematian bahkan ke wajah-wajah mereka yang masih hidup. Semakin jauh mereka memasuki lorong, hawa semakin dingin. Ketika Harry bergidik dan merapatkan jubahnya, di-dengarnya bunyi seperti seribu kuku menggaruk pa-pan tulis besar.
"Apa itu maksudnya musik?" bisik Ron. Mereka membelok di sudut dan melihat Nick si Kepala-Nyaris-Putus berdiri di depan pintu bertirai beludru hitam.
"Teman-temanku yang baik," katanya pilu, "selamat datang, selamat datang... senang sekali kalian bisa datang..." Dengan gerakan gesit dibukanya topinya yang ber-bulu,
lalu dia membungkuk mempersilakan mereka masuk. Pemandangan yang menyambut mereka sungguh luar biasa. Ruang bawah tanah itu penuh beratus-ratus orang seputih-mutiara transparan, sebagian besar melayang-layang di atas lantai dansa yang penuh, berdansa waltz mengikuti irama tiga puluh gergaji musik yang berbunyi gemetar mengerikan, dimainkan oleh rombongan orkes di panggung yang lantainya bertutup kaih hitam. Kandil di atas menyinarkan cahaya biru tua dengan seribu lilin hitam. Napas mereka berubah menjadi kabut di depan mereka; rasanya seperti melangkah masuk ke dalam lemari es.
"Bagaimana kalau kita melihat-lihat?" Harry meng-usulkan, ingin menghangatkan kakinya.
"Hati-hati, jangan sampai melangkah menembus orang," kata Ron gugup, dan mereka berjalan di tepi lantai dansa. Mereka melewati serombongan biarawati muram, seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang memakai rantai, dan si Rahib Gemuk—hantu Hufflepuff yang ceria, yang sedang mengobrol dengan hantu ksatria yang dahinya tertancap panah. Harry tidak heran melihat Baron Berdarah, hantu Slytherin yang pucat dan galak, serta bebercak-bercak darah keperakan, dihindari oleh hantu-hantu lain.
"Oh, tidak," kata Hermione, berhenti mendadak. "Balik, balik, aku tak mau bicara dengan Myrtle Me-rana..."
"Siapa?" tanya Harry, ketika mereka buru-buru ber-balik.
"Dia menghantui toilet anak perempuan di lantai dua," kata Hermione.
"Dia menghantui toilet?"
"Ya, toilet itu sudah rusak selama setahun ini karena dia marah-marah terus dan membuat toilet itu ke-banjiran. Sebisa mungkin aku tidak masuk ke toilet itu. Mana enak kalau kita ke belakang digerecoki dia yang meratap-ratap...."
"Lihat, makanan!" kata Ron.
Di salah satu sisi ruangan ada meja panjang, ber-taplak beludru hitam juga. Mereka mendekati meja itu dengan bersemangat, tetapi detik berikutnya lang-sung berhenti, ngeri. Baunya sangat menjijikkan. Ikan-ikan besar busuk disajikan di atas nampan perak indah, kue bolu yang hangus jadi arang bertumpuk di atas piring, ada daging kambing besar yang sudah dikerumuni belatung, keju yang berselimut jamur hijau, dan di tempat kehormatan, kue ulang tahun abu-abu besar berbentuk pusara, dengan hiasan se-hitam ter, membentuk tulisan:
Sir Nicholas de Mimsy-Porpington meninggal 31 Oktober 1492
Harry memandang keheranan ketika ada hantu gemuk mendekati meja, membungkuk rendah dan lewat menerobos meja begitu saja. Mulut terbuka lebar melewati salah satu ikan salem bau.
"Bisakah kau merasakan ikan itu waktu melewati-nya?" Harry menanyainya. "Nyaris," jawab si hantu sedih, lalu dia melayang pergi.
"Kurasa mereka sengaja membiarkannya membusuk agar baunya lebih keras," kata Hermione sok tahu. Dia memencet hidungnya dan membungkuk men-dekat untuk memeriksa daging kambing busuk.
"Kita pergi, yuk, aku mau muntah," kata Ron.
Baru saja mereka berbalik, seorang laki-laki kecil mendadak menyambar dari bawah meja dan melayang-layang di depan mereka.
"Halo, Peeves," sapa Harry hati-hati.
Tidak seperti hantu-hantu di sekeliling mereka, Peeves si hantu jail tidak pucat ataupun transparan. Dia memakai topi pesta jingga cerah dan dasi kupu-kupu yang bisa berputar. Wajahnya yang jail dihiasi cengiran lebar.
"Camilan?" dia berkata manis, menawarkan se-mangkuk kacang bulukan.
"Tidak, terima kasih," kata Hermione.
"Kudengar kalian ngomongin si Myrtle yang ma-lang," kata Peeves, matanya menari-nari. "Kalian tidak sopan ngomongin Myrtle." Dia menarik napas dalam-dalam dan berteriak, "HOI! MYRTLE!"
"Oh, jangan Peeves, jangan bilang apa yang ku-katakan, nanti dia sedih," bisik Hermione panik. "Aku tidak bermaksud menjelekkannya, aku tidak keberatan dia—eh, halo, Myrtle." Hantu anak perempuan gemuk-pendek melayang mendekat. Wajahnya, merupakan wajah paling murung yang pernah dilihat Harry, separo ter-sembunyi di balik rambut panjangnya dan kacamata tebal berkilau bagai mutiara.
"Apa?" tanyanya cemberut.
"Apa kabar, Myrtle?" kata Hermione dengan suara diriang- riangkan. "Senang bertemu kau di luar toilet." Myrtle mendengus. "Miss Granger tadi ngomongin kau...," kata Peeves licik di telinga Myrtle.
"Cuma bilang—bilang—kau cantik sekali malam ini," kata Hermione, melirik Peeves.
Myrtle menatap Hermione dengan curiga.
"Kalian meledekku," katanya, air mata perak ber-cucuran dari matanya yang tembus pandang.
"Tidak—sungguh—bukankah aku tadi bilang Myrtle cantik sekali malam ini?" kata Hermione, menyikut rusuk Harry dan Ron sampai sakit.
"Oh, yeah..."
"Betul..."
"Jangan bohong kepadaku," isak Myrtle, air matanya kini sudah membanjir membasahi mukanya, sementara Peeves tertawa-tawa senang di belakang bahunya. "Apa kaupikir aku tidak tahu ejekan apa saja yang mereka lontarkan di belakang punggungku? Myrtle gendut! Myrtle jelek! Myrtle cengeng, pemurung, tu-kang ngeluh!"
"Kau belum sebut 'jerawatan'," Peeves mendesis di telinganya.
Myrtle Merana terisak-isak nelangsa dan kabur dari ruangan. Peeves melesat mengejarnya, menghujaninya dengan kacang bulukan, sambil berteriak-teriak,
"Jerawatan! Jerawatan!"
"Ya, ampun," kata Hermione sedih.
Nick si Kepala-Nyaris-Putus sekarang melayang mendekati mereka, menerobos kerumunan. "Kalian senang?" "Oh, ya," mereka berbohong. "Lumayan juga sih yang hadir," kata Nick si Kepala-
Nyaris-Putus bangga. "Si Janda Meratap datang jauh-jauh dari Kent... Sudah hampir waktunya aku mem-beri sambutan, lebih baik aku beritahu orkesnya..."
Tapi orkes berhenti bermain saat itu juga. Para pemainnya, dan semua yang ada di ruang bawah tanah itu terdiam, melihat berkeliling dengan penuh harap ketika terdengar bunyi terompet berburu. "Oh, ini dia," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus getir.
Dari tembok ruangan bermunculan selusin kuda hantu, masing-masing ditunggangi penunggang kuda tanpa-kepala. Para hadirin bertepuk tangan gegap gempita. Harry sudah akan bertepuk juga, tetapi tak jadi begitu melihat wajah Nick. Kuda-kuda itu berderap ke tengah lantai dansa dan berhenti, meringkik dan mendompak. Hantu besar yang berada paling depan, kepalanya yang berjenggot dijepit di ketiaknya, meniup terompet, melompat turun, mengangkat tinggi-tinggi kepalanya ke atas supaya dia bisa melihat kerumunan hantu yang hadir (semua tertawa), dan berjalan mendekati Nick si Kepala-Nyaris-Putus, kepalanya dilontarkan kembali ke lehernya.
"Nick!" raungnya. "Apa kabar? Kepala masih ter-gantung?" Dia terbahak dan menepuk bahu Nick si Kepala-Nyaris-Putus.
"Selamat datang, Patrick," kata Nick kaku.
"Orang hidup!" celetuk Sir Patrick ketika melihat Harry, Ron, dan Hermione dan berpura-pura terlonjak tinggi saking kagetnya, sehingga kepalanya terjatuh lagi (hantu-hantu yang hadir tertawa gelak-gelak).
"Lucu sekali," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus be-rang.
"Jangan pedulikan Nick!" teriak kepala Sir Patrick dari lantai. "Dia masih marah kami tidak meng-izinkannya ikut Perburuan! Tapi maksudku... lihat dia..."
"Kurasa," kata Harry buru-buru, setelah Nick me-mandangnya penuh arti. "Nick sangat—mengerikan dan— eh..."
"Ha!" teriak kepala Sir Patrick. "Pasti dia memintamu bilang begitu!"
"Perhatian, semuanya, sudah waktunya aku memberi sambutan!" kata Nick keras-keras, berjalan ke podium dan naik diterangi lampu sorot warna biru muda dingin.
"Almarhum para bangsawan, Ibu-ibu, dan Bapak-bapak, sungguh kesedihan besar bagiku..."
Tapi tak ada lagi yang mendengarkannya. Sir Patrick dan anggota Perburuan Tanpa-Kepala baru saja me-mulai permainan Hoki Kepala dan para hadirin ber-balik untuk menonton. Sia-sia Nick berusaha keras menarik perhatian mereka, dan akhirnya menyerah ketika kepala Sir Patrick melayang melewatinya diiringi tepukan riuh.
Harry sudah sangat kedinginan sekarang, ditambah lagi lapar.
"Aku sudah tak tahan lagi," gumam Ron, giginya gemeretuk, sementara orkes kembali beraksi dan para hantu berayun lagi di lantai dansa.
"Ayo, kita pergi," Harry sepakat.
Mereka mundur ke arah pintu, mengangguk dan tersenyum pada siapa saja yang memandang mereka, dan semenit kemudian sudah bergegas menyusuri lorong dengan deretan lilin hitam.
"Siapa tahu pudingnya masih ada," kata Ron penuh harap, berjalan di depan menuju tangga ke Aula Depan.
Dan kemudian Harry mendengarnya.
"... robek... cabik-cabik... bunuh..."
Suara yang sama, suara dingin dan sadis yang didengarnya di kantor Lockhart.
Harry terhuyung dan berhenti, mencengkeram din-ding batu, mendengarkan setajam mungkin, me-mandang berkeliling, menyipitkan mata, mengawasi kanan-kiri lorong yang suram.
"Harry, lagi ngapain ka...?"
"Suara itu lagi—diam dulu..."
"...lapaaar sekali... sudah begitu lama..."
"Dengar!" kata Harry tegang. Ron dan Hermione terpaku memandangnya.
"...bunuh... waktunya membunuh..."
Suara itu semakin samar-samar. Harry yakin siapa pun yang bicara itu semakin menjauh—bergerak ke atas. Ketakutan bercampur kegairahan mencekamnya ketika dia menatap langit-langit yang gelap. Bagaimana mungkin suara itu bisa bergerak ke atas? Apakah itu hantu, sehingga langit- langit batu bukan hambatan baginya?
"Ke sini," dia berteriak, lalu berlari menaiki tangga, memasuki Aula Depan. Tak ada gunanya berharap mendengar sesuatu di sini. Celoteh anak-anak yang sedang pesta Hallowe'en terdengar dari Aula Besar. Harry berlari menaiki tangga pualam menuju ke lantai satu, Ron dan Hermione ikut naik di belakangnya.
"Harry, apa yang ki..."
"SHHH!"
Harry menajamkan telinganya. Dari kejauhan, dari lantai di atas mereka, dan suaranya semakin samar, dia masih mendengar, "...bau darah... BAU DARAH!"
Harry tegang. "Dia mau membunuh orang!" teriak-nya. Mengabaikan wajah Ron dan Hermione yang kebingungan, dia menaiki tangga berikutnya, tiga anak tangga sekali langkah, berusaha mendengarkan di antara entakan langkah kakinya sendiri.
Harry berlari mengelilingi seluruh lantai dua, Ron dan Hermione tersengal-sengal di belakangnya, tidak berhenti sampai mereka membelok di sudut yang menuju koridor terakhir yang kosong.
"Harry, ada apa sebetulnya?" tanya Ron, menyeka keringat dari wajahnya. "Aku tidak mendengar apa-apa..."
Tetapi Hermione mendadak terpekik kaget, me-nunjuk ke ujung koridor.
"Lihat!"
Ada yang berkilau di dinding di depan. Mereka mendekat, perlahan, menyipitkan mata menembus ke-gelapan. Huruf- huruf setinggi tiga puluh senti dipulas-kan di dinding di antara dua jendela, berkilau ditimpa cahaya obor-obor yang menyala.
KAMAR RAHASIA TELAH DIBUKA. MUSUH SANG PEWARIS, WASPADALAH.
"Apa itu—yang tergantung di bawahnya?" kata Ron, suaranya agak bergetar.
Ketika mereka semakin dekat, Harry nyaris jatuh terpeleset. Ada genangan besar air di lantai. Ron dan Hermione menyambarnya dan mereka melangkah hati-hati mendekati tulisan, mata mereka terpaku pada bayangan gelap di bawahnya. Ketiganya langsung menyadari apa itu, dan melompat ke belakang, mem-buat air menciprat.
Mrs Norris, kucing si penjaga sekolah, digantung pada ekornya dari siku-siku tancapan obor. Tubuhnya kaku seperti papan, matanya terbeliak.
Selama beberapa detik, mereka tidak bergerak. Kemudian Ron berkata, "Ayo, kita pergi dari sini." "Tidakkah sebaiknya kita mencoba menolong...," kata Harry canggung. "Percayalah padaku," kata Ron. "Kita tak ingin di-temukan di sini."
Tetapi sudah terlambat. Bunyi gemuruh seakan ada guruh di kejauhan, memberitahu mereka bahwa pesta sudah usai. Dari kedua ujung koridor terdengar bunyi ratusan kaki yang menaiki tangga, juga celoteh riang dan keras anak-anak yang perutnya kenyang. Saat berikutnya, anak-anak bermunculan dari kedua ujung koridor.
Celoteh, obrolan, gurauan mendadak berhenti ketika anak- anak yang di depan melihat kucing yang ter-gantung itu. Harry Ron, dan Hermione berdiri bertiga, di tengah koridor, sementara kesunyian menyelubungi anak-anak yang maju berdesakan, ingin melihat pe-mandangan mengerikan itu.
Kemudian ada yang berteriak memecah keheningan.
"Musuh Sang Pewaris, Waspadalah! Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!"
Draco Malfoy-lah yang berteriak. Dia telah mendesak sampai di bagian depan, mata dinginnya menyala, wajahnya yang biasanya tak berdarah kini memerah, ketika dia menyeringai melihat kucing yang tergantung tak bergerak itu.

9. Tulisan Di Dinding


"ADA apa di sini? Ada apa?"
Tertarik oleh, tak diragukan lagi, teriakan-teriakan Malfoy, Argus Filch datang menerobos kerumunan anak-anak. Kemudian dia melihat Mrs Norris dan jatuh terjengkang, mencengkeram wajahnya dengan ngeri.
"Kucingku! Kucingku! Apa yang terjadi pada Mrs Norris?"
jeritnya.
Dan matanya yang menonjol memandang Harry.
"Kau!" jeritnya. "Kau! Kau membunuh kucingku! Kau membunuhnya! Kubunuh kau! Kub..."
"Argus!"
Dumbledore telah tiba di tempat kejadian, diikuti oleh beberapa guru lainnya. Dalam sekejap dia telah melewati Harry Ron, dan Hermione, dan melepaskan Mrs Norris dari siku-siku tancapan obor.
"Ikut aku, Argus," katanya kepada Filch. "Kalian juga, Mr Potter, Mr Weasley, Miss Granger." Lockhart maju dengan tak sabar.
"Kantorku yang paling dekat, Sir—persis di atas sini— silakan saja..." "Terima kasih, Gilderoy," kata Dumbledore. Kerumunan yang diam menyisih memberi jalan pada mereka. Lockhart, tampak bersemangat dan pen-ting, bergegas mengikuti Dumbledore, begitu juga Profesor McGonagall dan Snape.
Ketika mereka memasuki kantor Lockhart yang gelap, ada gerakan-gerakan sibuk di sepanjang din-ding. Harry melihat beberapa Lockhart dalam foto menyingkir dari pandangan, masih memakai gulungan rambut. Lockhart yang asli menyalakan lilin-lilin di atas mejanya lalu mundur. Dumbledore meletakkan Mrs Norris di atas permukaan meja yang berkilat dan mulai memeriksanya. Harry, Ron, dan Hermione ber-tukar pandang tegang lalu duduk di kursi-kursi di luar lingkaran cahaya lilin, mengawasi.
Ujung hidung Dumbledore yang panjang dan beng-kok cuma sesenti dari bulu Mrs Norris. Dia memeriksa-nya dengan teliti lewat kacamata bulan-separonya. Jari-jarinya yang panjang dengan lembut menyentuh dan menekan. Profesor McGonagall membungkuk sama dekatnya, matanya menyipit. Snape di belakang mereka, separo tubuhnya dalam bayang- bayang. Ekspresi wajahnya aneh sekali: seakan dia berusaha keras untuk tidak tersenyum. Dan Lockhart berkeliaran di sekeliling mereka, memberi saran-saran.
"Jelas kutukan yang membunuhnya—mungkin Siksaan Transmogrifian. Aku sudah berkali-kali melihat kutukan ini digunakan, sayang sekali tadi aku tidak di sana, aku tahu kontra-kutukan paling tepat yang pasti bisa menyelamatkannya..."
Komentar Lockhart disela oleh isakan kering merana Filch. Dia terenyak di kursi di sebelah meja, tak sanggup memandang Mrs Norris, wajahnya ditutupi tangannya. Kendati sangat tidak suka pada Filch, Harry mau tak mau agak kasihan juga kepadanya, walaupun tidak sebesar rasa kasihannya kepada diri sendiri. Kalau Dumbledore mempercayai Filch, dia jelas akan dikeluarkan.
Dumbledore sekarang berbisik menggumamkan kata-kata asing dan mengetuk-ngetuk Mrs Norris' de-ngan tongkatnya, tetapi tak ada yang terjadi: kucing itu tetap tampak seperti kucing mainan yang baru dijejali kapuk.
"...aku ingat peristiwa yang sangat mirip terjadi di Ouagadogou," kata Lockhart. "Serangkaian serangan, kisah selengkapnya ada dalam autobiografiku. Aku bisa memberi penduduk kota itu berbagai jimat yang langsung menyelesaikan masalah..."
Foto-foto Lockhart di dinding semua mengangguk-angguk menyetujui perkataannya. Salah satu dari foto itu lupa melepas harnetnya.
Akhirnya Dumbledore menegakkan diri.
"Dia tidak mati, Argus," katanya pelan.
Lockhart yang sedang menghitung jumlah pem-bunuhan yang berhasil dicegahnya mendadak ber-henti.
"Tidak mati?" kata Filch dengan suara tercekik, mengintip Mrs Norris melalui sela-sela jarinya. "Tetapi kenapa dia—dia kaku dan dingin?"
"Dia dibuat Membatu," kata Dumbledore ("Ah! Ku-pikir juga begitu!" kata Lockhart). "Tetapi bagaimana, aku tak bisa bilang..."
"Tanya dia!" jerit Filch, memalingkan wajahnya yang berjerawat dan basah kena air mata kepada Harry.
"Tak ada anak kelas dua yang bisa melakukan ini," kata Dumbledore tegas. "Perlu Sihir Hitam tingkat paling tinggi..."
"Dia yang melakukannya, dia yang melakukannya!" kata Filch marah, wajahnya yang bergelambir berubah ungu.
"Kalian melihat apa yang ditulisnya di dinding! Dia menemukan—di kantorku—dia tahu aku—aku..." wajah Filch berkeriut mengerikan. "Dia tahu aku Squib!" dia mengakhiri kata-katanya.
"Saya tak pernah menyentuh Mrs Norris!" kata Harry keras, merasa tidak enak karena sadar betul semua orang mengawasinya, termasuk semua Lockhart di dinding. "Dan saya bahkan tidak tahu Squib itu apa."
"Omong kosong!" gertak Filch. "Dia melihat surat Mantrakilatku!"
"Kalau aku boleh bicara, Kepala Sekolah," kata Snape dari naungan bayang-bayang. Perasaan Harry semakin tak enak. Dia yakin apa pun yang dikatakan Snape tak akan membantunya.
"Potter dan teman-temannya mungkin hanya berada di tempat yang salah pada waktu yang salah," kata-nya, seringai kecil menghiasi wajahnya, seakan dia meragukan ucapannya sendiri. "Tapi memang situasi-nya mencurigakan. Kenapa mereka tidak ikut pesta Hallowe'en?"
Harry, Ron, dan Hermione bersamaan menjelaskan tentang Pesta Ulang Tahun Kematian. "...ada ratusan hantu, mereka akan memberi kesaksian bahwa kami di sana..."
"Tapi kenapa sesudahnya tidak ikut pesta?" kata Snape, matanya yang hitam berkilauan dalam cahaya lilin. "Kenapa naik ke lorong itu?"
Ron dan Hermione memandang Harry.
"Karena—karena...," kata Harry, jantungnya ber-degup kencang sekali; dia sadar kedengarannya aneh sekali kalau dia memberitahu mereka dia dibawa ke sana oleh suara tanpa- tubuh yang tak bisa didengar orang lain kecuali dia sendiri.
"Karena kami lelah dan ingin tidur," katanya.
"Tanpa makan malam?" kata Snape, senyum ke-menangan menghiasi wajahnya yang pucat. "Kurasa hantu tidak menyediakan makanan yang layak untuk orang hidup di pesta mereka."
"Kami tidak lapar," kata Ron lantang, tepat ketika perutnya berkeriuk keras.
Senyum menyebalkan Snape makin lebar.
"Kurasa, Kepala Sekolah, Potter tidak sepenuhnya jujur," katanya. "Mungkin ada baiknya dia mendapat larangan- larangan tertentu sampai dia bersedia men-ceritakan seluruhnya kepada kita. Aku pribadi ber-pendapat dia harus dicopot dari tim Quidditch Gryffindor sampai dia mau berkata jujur."
"Astaga, Severus," kata Profesor McGonagall tajam. "Aku tidak melihat alasan untuk melarang anak ini main Quidditch. Kucing itu tidak dipukul kepalanya dengan sapu. Sama sekali tak ada bukti bahwa Potter telah melakukan sesuatu yang salah."
Dumbledore memandang Harry dengan tajam. Mata biru pucatnya yang bercahaya membuat Harry merasa seakan dia dirontgen.
"Tak bersalah sampai terbukti bersalah, Severus," katanya tegas.
Snape kelihatan berang. Begitu juga Filch.
"Kucingku dibuat Membatu!" jeritnya, matanya men-delik.
"Aku ingin ada yang dihukum!"
"Kami bisa menyembuhkannya, Argus," kata Dumbledore sabar. "Baru-baru ini Madam Sprout ber-hasil mendapatkan Mandrake. Begitu Mandrake-man-drake itu tumbuh sepenuhnya, aku akan menyuruh buat ramuan yang bisa menghidupkan Mrs Norris."
"Biar aku yang buat," Lockhart menyela. "Aku sudah membuatnya seratus kali. Aku bisa mengocok Cairan Restoratif Mandrake dalam tidur..."
"Maaf," kata Snape dingin, "tapi kurasa akulah ahli Ramuan di sekolah ini."
Suasana menjadi canggung.
"Kalian boleh pergi," Dumbledore berkata kepada Harry, Ron, dan Hermione.
Mereka pergi, secepat mungkin, nyaris lari. Ketika tiba di lantai di atas kantor Lockhart, mereka masuk ke dalam kelas kosong dan menutup pintunya. Harry menyipitkan mata, memandang wajah gelap kedua temannya.
"Apakah menurut kalian aku seharusnya mem-beritahu mereka tentang suara yang kudengar?"
"Tidak," jawab Ron tanpa keraguan. "Mendengar suara- suara yang tak bisa didengar orang lain bukan pertanda baik, bahkan di dunia sihir sekalipun."
Sesuatu dalam suara Ron membuat Harry bertanya, "Kau percaya padaku, kan?" "Tentu," kata Ron cepat. "Tetapi—kau harus mengakui bahwa itu aneh..."
"Aku tahu itu aneh," kata Harry. "Seluruh kejadian ini aneh. Apa maksud tulisan di dinding itu? Kamar Rahasia Telah Dibuka... apa maksudnya itu?"
"Rasanya aku pernah dengar," kata Ron lambat-lambat.
"Kurasa ada yang pernah cerita padaku ten-tang kamar rahasia di Hogwarts... mungkin Bill..."
"Dan apa sih Squib itu?" tanya Harry.
Dia heran sekali ketika Ron terkikik tertahan.
"Yah—sebetulnya sih tidak lucu—tapi karena itu Filch...," katanya. "Squib itu orang yang lahir dari keluarga penyihir tapi tidak punya kekuatan sihir sama sekali. Kebalikan dari penyihir yang lahir dari keluarga Muggle, tapi Squib ini tidak biasa. Kalau Filch berusaha mempelajari sihir lewat kursus Mantrakilat, kurasa dia pasti Squib. Ini menjelaskan banyak hal. Seperti kenapa dia sangat membenci murid-murid." Ron tersenyum puas. "Dia merasa getir."
Jam berdentang di suatu tempat.
"Tengah malam," kata Harry. "Lebih baik kita tidur sebelum Snape datang dan berusaha menjebak kita untuk sesuatu yang lain."
Selama beberapa hari yang dibicarakan di seluruh sekolah hanyalah prnyerangan terhadap Mrs Norris. Filch membuat kejadian itu tetap segar di ingatan anak-anak dengan mondar-mandir di tempat Mrs Norris diserang, seakan dia mengira siapa tahu si penyerang akan kembali. Harry sudah melihat dia menggosok tulisan di dinding dengan "Penghilang Segala-macam Kotoran Sihir buatan Mrs Skower", tetapi percuma saja, tulisan itu tetap berkilau terang seperti semula di atas dinding batu. Kalau tidak ber-jaga di koridor, Filch akan mengendap-endap di koridor dengan mata merah, menangkap anak-anak yang tidak curiga dan berusaha memberi mereka detensi untuk hal-hal seperti "bernapas terlalu keras" dan "kelihatan senang".
Ginny Weasley kelihatan terganggu sekali dengan nasib Mrs Norris. Menurut Ron, dia pecinta berat kucing.
"Tapi kau kan belum kenal benar Mrs Norris," kata Ron menghiburnya. "Percaya deh, kita jauh lebih se-nang tanpa dia." Bibir Ginny bergetar. "Hal seperti ini tidak sering terjadi di Hogwarts," Ron meyakinkannya. "Mereka akan menangkap orang sinting yang melaku-kannya dan segera mengeluarkannya dari sini. Aku cuma berharap dia masih sempat membuat Filch Mem-batu sebelum dikeluarkan. Aku cuma bergurau...," Ron buru-buru menambahkan, ketika Ginny jadi pucat.
Serangan itu juga berpengaruh pada Hermione. Sudah biasa bagi Hermione untuk melewatkan banyak waktu dengan membaca, tetapi sekarang dia nyaris tidak melakukan hal lain. Harry dan Ron pun tidak mendapat banyak jawaban ketika mereka bertanya apa maunya membaca terus begitu, dan baru Rabu berikutnya mereka tahu.
Harry tertahan dalam pelajaran Ramuan, karena Snape menyuruhnya tinggal untuk membersihkan sisa-sisa cacing dari atas meja. Setelah makan siang yang terburu-buru, dia naik untuk menemui Ron di per-pustakaan, dan melihat Justin Finch-Fletchley, anak Hufflepuff yang sama-sama ikut kelas Herbologi, ber-jalan ke arahnya. Harry baru membuka mulut untuk menyapa, tetapi begitu melihatnya, Justin mendadak berbalik dan bergegas ke arah yang berlawanan.
Harry menemukan Ron di bagian belakang per-pustakaan, sedang mengukur PR Sejarah Sihir-nya. Profesor Binns menugaskan menulis karangan se-panjang satu meter tentang "Pertemuan Penyihir Eropa Abad Pertengahan".
"Ya ampun, masih kurang dua puluh senti...," kata Ron sebal, melepas perkamennya, yang langsung ber-gulung kembali. "Sementara karangan Hermione pan-jangnya seratus tiga puluh tujuh setengah senti, pada-hal tulisannya kecil- kecil."
"Di mana dia?" tanya Harry, menyambar meteran dan membuka gulungan PR-nya sendiri.
"Di sana," kata Ron, menunjuk rak-rak buku, "men-cari buku lain lagi. Kurasa dia mencoba menyelesaikan membaca seluruh buku di perpustakaan ini sebelum Natal."
Harry bercerita kepada Ron tentang Justin Finch-Fletchley yang melarikan diri darinya.
"Buat apa kaupikirkan. Menurutku dia agak idiot," kata Ron sambil menulis, huruf-hurufnya dibuat se-besar mungkin.
"Segala omong kosong tentang Lockhart yang begitu hebat..." Hermione muncul dari antara rak-rak buku. Dia kelihatan jengkel dan akhirnya siap untuk berbicara kepada mereka.
. "Semua buku Sejarah Hogwarts dipinjam," katanya sambil duduk di sebelah Harry dan Ron. "Dan daftar tunggunya sampai dua minggu. Aku menyesal sekali bukuku kutinggal di rumah, tapi koperku sudah pe-nuh sekali dengan semua buku Lockhart."
"Kenapa kau mau baca buku itu?" tanya Harry.
"Sama seperti semua orang lain," kata Hermione, "untuk membaca legenda Kamar Rahasia." "Apa itu?" tanya Harry cepat-cepat. "Itulah. Aku tak ingat," kata Hermione, menggigit bibir. "Dan legenda itu tak bisa kutemukan di tempat lain..."
"Hermione, coba aku baca karanganmu," kata Ron putus asa, mengecek arlojinya.
"Tidak boleh," kata Hermione, mendadak galak. "Kau punya waktu sepuluh hari untuk menyelesaikan-nya."
"Aku cuma perlu lima senti lagi, ayo dong..."
Bel berdering. Ron dan Hermione berjalan di depan, menuju kelas Sejarah Sihir, bertengkar.
Sejarah Sihir adalah pelajaran paling membosankan di daftar pelajaran mereka. Profesor Binns, gurunya, adalah satu-satunya guru yang hantu, dan hal paling seru yang pernah terjadi di kelasnya adalah saat dia memasuki kelas menembus papan tulis. Profesor Binns sudah tua sekali dan berkeriput. Banyak orang bilang dia tidak sadar dia sudah meninggal. Dia bangun begitu saja untuk mengajar pada suatu hari dan me-ninggalkan tubuhnya di kursi berlengan di depan perapian di ruang guru. Rutinitasnya tidak berubah sedikit pun sejak saat itu.
Hari ini sama membosankannya seperti biasa. Profesor Binns membuka catatannya dan mulai mem-baca dengan nada datar membosankan seperti de-ngung penyedot debu tua. Nyaris semua anak di kelas tertidur nyenyak, kadang-kadang terbangun cukup lama untuk menulis nama atau tanggal, kemu-dian tidur lagi. Profesor Binns sudah bicara selama setengah jam ketika terjadi sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Hermione mengacungkan tangan.
Profesor Binns, mendongak di tengah bacaan super membosankan tentang Konvensi Sihir Internasional tahun 1289, kelihatan kaget.
"Miss-eh...?"
"Granger, Profesor, saya ingin tahu apakah Anda bisa menceritakan kepada kami sesuatu tentang Kamar Rahasia," kata Hermione dengan suara nyaring.
Dean Thomas, yang duduk dengan mulut melongo sambil memandang kosong ke luar jendela, tersentak dari transnya. Kepala Lavender Brown terangkat dari lengannya dan siku Neville tergelincir dari tepi meja-nya.
Profesor Binns mengejap.
"Pelajaranku adalah Sejarah Sihir," katanya dengan suara kering mendesah. "Aku mengajarkan fakta, Miss Granger, bukan dongeng dan legenda." Dia berdeham pelan kecil, seperti bunyi kapur patah, dan melanjut-kan, "Dalam bulan September tahun itu, sub-panitia para penyihir Sardinia..."
Dia terpaksa berhenti. Tangan Hermione melambai di udara lagi.
"Miss Grant?"
"Maaf, Sir, bukankah legenda selalu punya dasar fakta?" Profesor Binns memandang Hermione dengan sa-ngat tercengang. Harry yakin tak ada murid yang pernah menyelanya, hidup atau mati.
"Yah," kata Profesor Binns lambat-lambat. "Ya, orang bisa memperdebatkan soal itu, kurasa." Dia me-nyipitkan mata, memandang Hermione seakan tak pernah memandang muridnya dengan jelas sebelum-nya. "Meskipun demikian, legenda yang kautanyakan itu dongeng yang sangat sensasional, bahkan meng-gelikan..."
Tetapi seluruh kelas sekarang memusatkan perhatian pada kata-kata Profesor Binns. Dia memandang me-reka, semua wajah menghadap dirinya, memandang-nya. Harry bisa melihat sang profesor benar-benar tercengang melihat ketertarikan yang luar biasa itu.
"Oh, baiklah," katanya lambat-lambat. "Kamar Rahasia...
"Kalian semua tahu, tentunya, bahwa Hogwarts didirikan lebih dari seribu tahun yang lalu—tanggal persisnya tidak jelas—oleh empat penyihir besar pada zamannya. Keempat asrama sekolah ini dinamakan sesuai nama mereka: Godric Gryffindor, Helga Hufflepuff, Rowena Ravenclaw, dan Salazar Slytherin.
Mereka bersama-sama mendirikan kastil ini, jauh dari mata Muggle yang ingin tahu, karena zaman itu sihir ditakuti orang- orang biasa dan para penyihir men-derita karena disiksa."
Dia berhenti sejenak, memandang muram ke se-luruh kelas, lalu melanjutkan, "Selama beberapa tahun, para pendiri bekerja bersama-sama dengan harmonis, mencari anak-anak yang menunjukkan bakat sihir dan membawa mereka ke kastil untuk dididik. Tetapi kemudian timbul pertentangan di antara mereka. Keretakan tumbuh di antara Slytherin dan yang lain, Slytherin menginginkan mereka lebih selektif. dalam memilih murid-murid yang masuk Hogwarts. Menurut pendapatnya pelajaran sihir seharusnya hanyalah di-berikan kepada keluarga-keluarga penyihir. Dia tak suka mengambil murid yang dilahirkan oleh orangtua Muggle. Menurut anggapannya mereka tak bisa di-percaya. Selang beberapa waktu, terjadi perdebatan seru mengenai hal ini antara Slytherin dan Gryffindor, dan Slytherin meninggalkan sekolah."
Profesor Binns berhenti lagi, mengerucutkan bibir-nya, kelihatan seperti kura-kura tua berkeriput.
"Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang bisa di-percaya, cuma itulah yang kita tahu," katanya, "tetapi fakta yang benar ini dikaburkan oleh legenda Kamar Rahasia yang seru. Menurut ceritanya, Slytherin sudah membuat kamar tersembunyi di dalam kastil, yang sama sekali tidak diketahui para pendiri lainnya.
"Slytherin, menurut legenda, menyegel Kamar Rahasia, sehingga tak ada yang bisa membukanya sampai pewarisnya yang sejati tiba di sekolah ini.
Hanya si pewaris itulah yang bisa membuka segel Kamar Rahasia, melepas horor di dalamnya, dan menggunakannya untuk memurnikan sekolah dari mereka yang tak layak mempelajari ilmu sihir."
Kelas sunyi senyap ketika Profesor Binns mengakhiri ceritanya, tetapi bukan kesunyian mengantuk yang biasa memenuhi kelas ini. Ada kegelisahan di dalam-nya selagi semua anak masih memandangnya, meng-harap lebih banyak cerita lagi. Profesor Binns kelihatan agak jengkel.
"Semua itu omong kosong, tentu saja," katanya. "Dengan sendirinya sekolah diselidiki untuk mencari bukti-bukti adanya kamar itu. Sudah banyak kali para penyihir yang terpelajar menyelidikinya, tapi kamar itu tidak ada. Itu cuma cerita bohong yang disebar-kan untuk menakut-nakuti mereka yang mudah di-tipu."
Tangan Hermione kembali terangkat. "Sir—apa tepatnya yang Anda maksud dengan 'horor di dalam' kamar?"
"Menurut cerita itu semacam monster yang hanya bisa dikontrol oleh pewaris Slytherin," kata Profesor Binns dengan suaranya yang kering mendesah.
Anak-anak bertukar pandang cemas.
"Sudah kubilang, semua itu tidak ada," kata Profesor Binns, membalik-balik catatannya. "Tidak ada Kamar Rahasia dan monster."
"Tapi, Sir," kata Seamus Finnigan, "kalau kamar itu hanya bisa dibuka oleh pewaris sejati Slytherin, orang lain tak akan ada yang bisa menemukannya, kan?"
"Omong kosong, O'Flaherty," kata Profesor Binns jengkel.
"Kalau sederet kepala sekolah Hogwarts tidak menemukannya..."
"Tapi, Profesor," celetuk Parvati Patil dengan suara kecil,
"Anda mungkin harus menggunakan Ilmu Hitam untuk membukanya..."
"Kalau penyihir terhormat tidak menggunakan Ilmu Hitam, bukan berarti dia tidak bisa, Miss Pennyfeather," sela Profesor Binns tajam. "Kuulangi, kalau orang seperti Dumbledore..."
"Tapi mungkin orang itu harus keluarga Slytherin, makanya Dumbledore tidak bisa...," Dean Thomas hendak menjelaskan, tetapi Profesor Binns sudah tidak mau melanjutkan.
"Cukup," katanya tajam. "Itu cuma dongeng! Kamar itu tidak ada! Tak ada setitik pun bukti bahwa Slytherin pernah membuat bahkan cuma lemari sapu rahasia! Aku menyesal sudah menceritakan kepada kalian cerita tak masuk akal begitu! Kita kembali ke sejarah, ke fakta-fakta yang solid, bisa dipercaya, dan bisa dibuktikan."
Dan dalam waktu lima menit seluruh kelas sudah kembali tertidur nyenyak seperti biasa.
"Dari dulu aku sudah tahu Salazar Slytherin itu sin-ting," Ron berkata kepada Harry dan Hermione. Saat itu mereka sedang berdesakan di koridor yang penuh sesak pada akhir pelajaran untuk menaruh tas mereka, sebelum makan malam.
"Tetapi aku tak pernah tahu dialah yang punya ide soal darah- murni ini. Dibayar pun aku tak mau tinggal di asramanya. Benar, kalau Topi Seleksi dulu mencoba menempatkanku di Slytherin, aku akan langsung pulang naik kereta api...."
Hermione mengangguk bersemangat, tetapi Harry tidak berkata apa-apa. Perutnya rasanya tidak enak.
Harry tidak pernah menceritakan kepada Ron dan Hermione bahwa Topi Seleksi dengan serius telah mempertimbangkan akan menempatkannya di Slytherin. Dia masih ingat, seakan kejadiannya baru kemarin, suara kecil yang berkata ke dalam telinganya ketika dia menaruh topi itu di atas kepalanya setahun yang lalu.
"Kau bisa jadi penyihir hebat Iho. Semuanya ada di kepalamu, dan Slytherin bisa membantumu mencapai ke-masyhuran, tak diragukan lagi..."
Tetapi Harry, yang sudah mendengar reputasi asrama Slytherin yang menghasilkan penyihir-penyihir hitam, telah membatin putus asa, Jangan Slytherin! dan topi itu berkata,
"Oh, yah, kalau kau yakin... lebih baik Gryffindor..."
Ketika mereka tengah terdorong-dorong di tengah anak- anak yang berbondong-bondong, Colin Creevey melewati mereka.
"Hai, Harry!"
"Halo, Colin," kata Harry otomatis.
"Harry—Harry—ada anak di kelasku yang bilang kau..." Tetapi Colin kecil sekali, dia tak bisa menahan dorongan anak-anak yang mendesaknya ke Aula Besar. Mereka mendengarnya mencicit, "Sampai nanti, Harry!" dan dia pun lenyap.
"Apa kata anak di kelasnya tentang kau?" Hermione ingin tahu.
"Bahwa aku pewaris Slytherin, kukira," kata Harry, perutnya semakin tidak enak ketika dia teringat Jus-tin Finch-Fletchley yang kabur darinya sebelum makan siang tadi.
"Orang-orang di sini mempercayai apa saja," kata Ron jijik. Kerumunan anak-anak menipis dan mereka bisa menaiki tangga berikutnya tanpa kesulitan. "Apakah menurutmu Kamar Rahasia itu benar-bmar ada?" Ron bertanya kepada Hermione.
"Entahlah," katanya, mengernyit. "Dumbledore tidak bisa menyembuhkan Mrs Norris, dan itu membuatku berpikir bahwa apa pun yang menyerangnya mungkin bukan—yah—- manusia."
Sementara Hermione bicara, mereka membelok di sudut dan tiba-tiba saja sudah berada di koridor tem-pat terjadinya penyerangan. Mereka berhenti dan me-mandang berkeliling. Keadaannya masih persis seperti malam itu, kecuali tak ada lagi kucing kaku tergantung dari tancapan obor, dan ada kursi kosong di depan dinding bertulisan "Kamar Rahasia Telah Dibuka."
"Di situlah Filch berjaga," gumam Ron. Mereka saling pandang. Koridor itu kosong.
"Tak ada salahnya melihat-lihat," kata Harry, men-jatuhkan tasnya, berjongkok, lalu merangkak untuk mencari petunjuk.
"Bekas terbakar!" katanya. "Di sini—dan di sini..."
"Lihat ini!" kata Hermione. "Ini aneh..."
Harry bangun dan menyeberang ke jendela di se-belah tulisan di dinding. Hermione menunjuk ke ambang paling atas. Tampak kira-kira dua puluh labah-labah berjalan tergesa-gesa, rupanya mereka berebut mau keluar lewat celah sempit di kaca. Benang pan-jang keperakan menggantung seperti tali, seakan me-reka semua naik melewati tali itu dalam ketergesaan mau keluar.
"Pernahkah kau melihat labah-labah bersikap seperti itu?"
tanya Hermione penasaran.
"Tidak," kata Harry. "Pernahkah kau, Ron? Ron?"
Harry berpaling. Ron berdiri jauh-jauh, dan ke-lihatannya berusaha untuk tidak lari. "Kenapa?" tanya Harry. "Aku— tidak—suka—labah-labah," kata Ron tegang. "Aku tak pernah tahu," kata Hermione, menatap Ron keheranan. "Kau kan sudah sering menggunakan labah-labah dalam ramuan..."
"Aku tidak keberatan kalau mereka mati," kata Ron, yang dengan hati-hati memandang berkeliling, kecuali jendela. "Aku tak suka melihat cara mereka bergerak."
Hermione terkikik geli.
"Tidak lucu," kata Ron galak. "Kalau kau mau tahu, waktu aku berumur tiga tahun, Fred mengubah... mengubah boneka beruangku menjadi labah-labah besar mengerikan karena aku mematahkan tongkat sihir mainannya. Kau pasti tak akan suka juga kalau kau sedang memeluk beruangmu dan mendadak saja dia punya begitu banyak kaki dan..."
Kata-katanya terputus, dia bergidik. Hermione tam-pak jelas masih berusaha tidak tertawa. Merasa mereka lebih baik berganti topik, Harry berkata, "Ingat air yang di lantai? Dari mana air itu? Ada yang sudah mengepelnya."
"Kira-kira di sini," kata Ron, yang sudah cukup menguasai diri untuk berjalan beberapa langkah me-lewati kursi Filch dan menunjuk, "Sejajar dengan pintu ini."
Tangannya menjangkau pegangan pintu, tetapi men-dadak ditariknya kembali, seakan terbakar.
"Kenapa?" tanya Harry.
"Tidak bisa masuk," kata Ron parau, "ini toilet anak perempuan."
"Oh, Ron, tak akan ada orang di dalam," kata Hermione, berdiri dan mendekat. "Itu tempat si Myrtle Merana. Ayo, kita lihat."
Tanpa mengacuhkan tulisan besar "RUSAK", Hermione membuka pintu.
Itu toilet paling suram dan paling menyedihkan yang pernah dimasuki Harry. Di bawah cermin besar yang sudah retak dan bebercak-bercak, ada sederet tempat cuci tangan dari batu yang sudah pecah-pecah. Lantainya lembap dan memantulkan cahaya suram dari beberapa lilin yang sudah pendek dan menyala kecil dalam tancapannya. Pintu-pintu kayu bilik-biliknya mengelupas, berjamur, dan salah satu malah mau lepas, tergantung-gantung pada engselnya.
Hermione meletakkan jari di bibirnya dan berjalan menuju bilik paling ujung. Setiba di sana dia berkata, "Halo, Myrtle, bagaimana kabarmu?"
Harry dan Ron melongok. Myrtle Merana sedang melayang- layang di atas tangki air, memencet-mencet jerawat di dagunya.
"Ini toilet perempuan," katanya, mengawasi Ron dan Harry dengan curiga. "Mereka bukan perempuan."
"Bukan," Hermione setuju. "Aku cuma mau me-nunjukkan kepada mereka bagaimana—eh—betapa menyenangkannya di sini."
Hermione melambai asal-asalan ke arah cermin dan lantai yang lembap. "Tanya kalau-kalau dia lihat sesuatu," Harry mengucapkan tanpa suara kepada Hermione. "Kau bisik-bisik apa?" kata Myrtle, membelalak me-natap Harry. "Tidak apa- apa," kata Harry cepat-cepat. "Kami ingin tanya..."
"Aku benci kalau orang-orang ngomong di belakang punggungku!" kata Myrtle menahan tangis. "Aku punya perasaan, kau tahu, walaupun aku sudah mati."
"Myrtle, tak ada yang ingin membuatmu sedih," kata Hermione. "Harry cuma..."
"Tak ada yang ingin membuatku sedih! Bagus amat!" lolong Myrtle. "Hidupku penuh penderitaan di tempat ini, dan sekarang orang-orang datang untuk meng-hancurkan kematianku!"
"Kami ingin bertanya padamu kalau-kalau kau me-lihat sesuatu yang aneh belakangan ini," kata Hermione cepat- cepat, "karena ada kucing diserang tepat di depan pintumu pada malam Hallowe'en."
"Apa kau melihat ada orang di dekat sini malam itu?" tanya Harry.
"Aku tidak memperhatikan," kata Myrtle dramatis. "Peeves membuatku sangat menderita, sehingga aku masuk ke sini dan mencoba bunuh diri. Kemudian, tentu saja, aku ingat bahwa aku—bahwa aku..."
"Sudah mati," kata Ron membantu.
Myrtle tersedu memilukan, melayang ke atas, ber-balik dan menukik dengan kepala duluan ke dalam kloset, menciprati mereka semua dengan air, dan menghilang dari pandangan. Dari isakannya yang ber-deguk, dia tentunya bersembunyi di leher angsa.
Harry dan Ron ternganga, tetapi Hermione mengangkat bahu dan berkata, "Percaya deh, yang begini ini sudah bisa dibilang riang bagi Myrtle... ayo, kita pergi."
Harry baru saja menutup pintu ketika terdengar suara keras yang membuat mereka bertiga terlonjak.
"RON!"
Percy Weasley berdiri terpaku di puncak tangga, lencana prefeknya berkilauan, ekspresi wajahnya shock berat. "Itu toilet perempuan!" katanya kaget. "Ngapain kau...?" "Cuma lihat-lihat," Ron mengangkat bahu. "Cari petunjuk..." Percy menggelembung marah sedemikian rupa se-hingga mengingatkan Harry pada Mrs Weasley.
"Pergi—dari—situ...," katanya, melangkah mendekat dan mengusir mereka dengan mengibas-ngibaskan lengan. "Apa kalian tidak peduli apa pendapat orang? Kembali ke sini sementara anak-anak lain sedang makan malam..."
"Kenapa kami tidak boleh ke sini?" tanya Ron panas, membelalak pada Percy. "Dengar, kami tak pernah menyentuh kucing itu!"
"Itu yang kukatakan kepada Ginny," kata Percy garang,
"tapi dia kelihatannya masih mengira kau akan dikeluarkan. Belum pernah kulihat dia secemas itu, menangis terus- menerus. Paling tidak, pikirkanlah adikmu. Semua anak kelas satu ketakutan dengan adanya kejadian ini..."
"Kau tak peduli pada Ginny," kata Ron, yang telinganya sudah mulai merah. "Kau cuma cemas aku akan menghilangkan kesempatanmu menjadi Ketua Murid!"
"Potong lima angka dari Gryffindor!" kata Percy tegang, jarinya mengelus lencana prefeknya. "Dan kuharap ini jadi pelajaran bagimu! Tak boleh lagi main detektif-detektifan, kalau tidak, aku akan menulis pada Mum!"
Ketika Percy pergi, tengkuknya sama merahnya de-ngan telinga Ron.
Harry, Ron, dan Hermione memilih tempat duduk sejauh mungkin dari Percy di ruang rekreasi malam itu. Ron masih marah sekali dan berkali-kali PR Jimat dan Guna-guna-nya ketetesan tinta. Ketika dengan asal-asalan dia mengambil tongkatnya untuk meng-hilangkan noda-noda itu, tongkatnya malah membakar perkamennya. Marah-marah, sampai seakan berasap seperti perkamennya, Ron menutup Kitab Mantra Standar, Tingkat 2-nya keras-keras. Betapa herannya Harry, karena Hermione mengikuti jejaknya.
"Tapi, siapa dia?" tanya Hermione serius, seakan melanjutkan percakapan yang sedang mereka laku-kan. "Siapa yang menginginkan semua Squib dan penyihir kelahiran- Muggle dikeluarkan dari Hogwarts?"
"Mari kita berpikir," kata Ron pura-pura bingung. "Siapa orang yang kita tahu, yang berpendapat bahwa penyihir kelahiran-Muggle itu sampah?"
Dia memandang Hermione. Hermione balik me-mandangnya, tidak yakin.
"Kalau yang kaubicarakan Malfoy..."
"Tentu saja!" kata Ron. "Kau mendengar ucapannya:
'Giliranmu berikutnya, Darah-lumpur!' Coba saja, kau tinggal melihat wajahnya yang seperti tikus untuk tahu bahwa dialah orangnya..."
"Malfoy, Pewaris Slytherin!" kata Hermione ragu-ragu.
"Lihat saja keluarganya," kata Harry, ikut-ikutan menutup bukunya. "Semuanya penghuni Slytherin, dia selalu menyombongkan hal itu. Dengan mudah dia bisa saja turunan Slytherin. Ayahnya jelas jahat sekali."
"Mereka mungkin saja memegang kunci Kamar Rahasia selama berabad-abad," kata Ron. "Diserahkan turun-temurun dari ayah ke anak..."
"Yah," kata Hermione hati-hati, "kurasa itu mungkin juga."
"Tapi bagaimana kita membuktikannya?" kata Harry muram.
"Mungkin ada jalan," kata Hermione lambat-lambat, makin merendahkan suaranya seraya sekilas melirik Percy di seberang ruangan. "Tentu saja akan sulit. Dan berbahaya, sangat berbahaya. Kita akan melanggar kira-kira lima puluh peraturan sekolah, kurasa."
"Kalau, kira-kira sebulan lagi, kau bersedia menjelas-kannya, kau akan memberitahu kami, kan?" kata Ron jengkel.
"Baiklah," tanggap Hermione dingin. "Yang perlu kita lakukan adalah masuk ke ruang rekreasi Slytherin dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Malfoy tanpa dia menyadari kitalah yang bertanya."
"Tapi itu mana mungkin," kata Harry, sementara Ron tertawa. "Tidak, itu bukan tidak mungkin," kata Hermione.
"Yang kita perlukan hanyalah Ramuan Polijus."
"Apa itu?" tanya Ron dan Harry bersamaan.
"Snape menyebutkannya di kelas beberapa minggu yang lalu..."
"Memangnya kami tak punya kerjaan lain yang lebih menarik di pelajaran Ramuan selain mendengar-kan Snape?" gumam Ron.
"Ramuan ini mentransformasimu menjadi orang lain. Pikirkanlah! Kita bisa berubah menjadi tiga anak Slytherin. Tak ada yang tahu itu kita. Malfoy mungkin akan memberitahu kita segalanya. Dia mungkin se-dang mrnyombongkan hal itu di ruang rekreasi Slytherin sekarang ini, kalau saja kita bisa mendengar-nya."
"Ramuan Polijus ini kedengarannya agak meragukan bagiku," kata Ron, keningnya berkerut. "Bagaimana kalau kita terperangkap bertampang seperti tiga anak Slytherin selamanya?"
"Efeknya akan menghilang sendiri setelah beberapa waktu," kata Hermione, melambaikan tangannya tak sabar. "Tetapi mendapatkan resepnya akan sulit sekali. Kata Snape adanya di buku berjudul Ramuan-ramuan Paling Mujarab dan, di perpustakaan, buku ini pasti disimpan di Seksi Terlarang."
Hanya ada satu cara untuk meminjam buku dari Seksi Terlarang: kau perlu izin tertulis dengan tanda tangan guru.
"Susah cari alasan kenapa kita memerlukan buku itu," kata Ron, "kalau bukan karena kita ingin men-coba membuat salah satu resep ramuannya."
"Kurasa," kata Hermione, "kalau kita pura-pura cuma tertarik pada teorinya, kita mungkin masih punya kesempatan..."
"Oh, mana mungkin! Tak ada guru yang bisa tertipu dengan alasan begitu," kata Ron. "Mereka bodoh benar kalau sampai tertipu...."

10. Bludger Gila

SEJAK kejadian yang membawa malapetaka dengan pixie, Profesor Lockhart tak pernah lagi membawa makhluk hidup ke dalam kelas. Sebagai gantinya dia membacakan paragraf- paragraf dari buku-bukunya, dan kadang-kadang memperagakan kembali bagian-bagian yang paling dramatis. Biasanya dia memilih Harry untuk membantunya melakukan rekonstruksi. Sejauh ini Harry sudah dipaksa berperan sebagai pen-duduk desa Transylvania sederhana yang disembuhkan Lockhart dari Kutukan Gagap, yeti yang pilek berat, dan vampir yang setelah ditangani Lockhart tak bisa makan apa- apa selain daun selada.
Harry ditarik ke depan kelas dalam pelajaran Per-tahanan terhadap Ilmu Hitam berikutnya. Kali ini dia berperan sebagai manusia serigala. Harry pasti sudah menolak kalau dia tidak ingat pada rencana Hermione. Untuk itu dia harus membuat Lockhart senang.
"Lolongan keras yang bagus, Harry—persis—dan kemudian, kalau kalian percaya, aku menyerang— seperti ini— membantingnya ke lantai—begini—dengan satu tangan. Aku berhasil memitingnya—dengan ta-ngan yang lain. Kutekankan tongkatku ke lehernya— kukumpulkan sisa tenagaku dan kulancarkan Mantra Homorphus yang sangat rumit—dia mengeluarkan erangan memelas—ayo, Harry—lebih melengking lagi—bagus—bulunya lenyap—taringnya menyusut— dan dia kembali menjadi manusia. Sederhana, tapi efektif—dan satu desa lagi akan mengenangku selama-nya sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari teror bulanan serangan manusia serigala."
Bel berdering dan Lockhart bangkit.
"PR: buat puisi tentang kejadian aku mengalahkan manusia serigala Wagga Wagga! Hadiah buku Aku yang Ajaib dengan tanda tanganku untuk penulis puisi yang paling baik!"
Anak-anak mulai meninggalkan kelas. Harry kembali ke belakang, ke tempat Ron dan Hermione menunggu.
"Siap?" gumam Harry.
"Tunggu sampai semua sudah pergi," kata Hermione gugup. "Baiklah..."
Dia mendekati meja Lockhart, secarik kertas ter-genggam erat di tangannya. Harry dan Ron mem-buntuti di belakangnya.
"Eh—Profesor Lockhart?" Hermione tergagap. "Saya ingin me—meminjam buku ini dari perpustakaan. Ha-nya untuk bacaan tambahan." Dia mengulurkan kertas itu, tangannya agak gemetar. "Masalahnya, bukunya ada di Seksi Terlarang perpustakaan, jadi saya perlu tanda tangan guru untuk meminjamnya—saya yakin buku ini bisa membantu saya memahami apa yang Anda ceritakan di Heboh dengan Hantu, itu lho tentang bisa reptil yang dampaknya baru kelihatan setelah beberapa lama."
"Ah, Heboh dengan Hantu!" kata Lockhart, mengambil kertas dari tangan Hermione dan tersenyum lebar kepadanya.
"Mungkin buku favoritku. Kau suka buku itu?"
"Oh, ya," kata Hermione bersemangat. "Cerdik se-kali, cara Anda memerangkap hantu yang terakhir dengan saringan teh..."
"Yah, kurasa tak akan ada yang keberatan jika aku memberi sedikit bantuan pada murid terbaik tahun ini," kata Lockhart hangat, dan dia mengeluarkan pena bulu merak yang besar sekali. "Ya, bagus, kan?" katanya, salah menafsirkan ekspresi jijik di wajah Ron. "Aku biasanya menggunakannya untuk me-nandatangani buku-bukuku."
Dia mencoretkan tanda tangan besar melingkar di kertas itu, di bawah judul buku, dan mengembali-kannya kepada Hermione.
"Nah, Harry," kata Lockhart, sementara Hermione melipat kertas itu dengan jari-jari gemetar dan me-nyelipkannya ke dalam tasnya. "Besok pertandingan pertama Quidditch musim ini, kan? Gryffindor lawan Slytherin, ya? Kudengar kau pemain yang berguna. Aku dulu Seeker juga. Aku diminta mencoba main untuk tim nasional, tetapi aku memilih mendedikasi-kan hidupku untuk pemberantasan Ilmu Hitam. Tapi, kalau kau merasa memerlukan latihan privat, jangan ragu-ragu menghubungiku. Aku selalu senang mem-bagikan keahlianku pada pemain yang kurang terampil dibanding aku..." Harry mengeluarkan bunyi tak jelas di kerongkongannya, lalu bergegas menyusul Ron dan Hermione.
"Sungguh tak bisa dipercaya," kata Harry, ketika mereka bertiga mengamati tanda tangan di kertas. "Dia bahkan tidak membaca judul buku yang kita inginkan."
"Itu karena dia tak punya otak," kata Ron. "Tapi peduli amat, kita sudah mendapatkan yang kita ingin-kan."
"Dia punya otak," bantah Hermione nyaring, ketika mereka setengah berlari ke perpustakaan. "Hanya karena dia bilang kau murid terbaik tahun ini..." Mereka merendahkan suara ketika memasuki ke-heningan perpustakaan.
Madam Pince, petugas perpustakaan, adalah perem-puan kurus pemarah yang tampangnya seperti burung hering kurang makan.
"Ramuan-ramuan Paling Mujarab?" dia mengulang curiga, berusaha mengambil catatan itu dari tangan Hermione, tetapi Hermione tak mau melepasnya.
"Saya ingin menyimpannya," desahnya.
"Ya ampun," kata Ron, merebut kertas itu dan me-nyerahkannya kepada Madam Pince. "Kita akan minta tanda tangan lain untukmu. Lockhart akan menanda-tangani apa saja kalau benda itu diam cukup lama."
Madam Pince menerawang kertas itu ke lampu, seakan bertekad menemukan pemalsuan, tetapi kertas nya lulus tes. Dia berjalan di antara rak-rak tinggi dan kembali beberapa menit kemudian, membawa buku besar yang tampak berjamur. Hermione me-masukkannya hati-hati ke dalam tasnya dan mereka meninggalkan perpustakaan, berusaha tidak berjalan terlalu cepat atau kelihatan terlalu bersalah.
Lima menit kemudian, mereka sudah mengurung diri dalam toilet rusak Myrtle Merana lagi. Hermione menolak keberatan Ron dengan dalih toilet itu tempat terakhir yang akan didatangi siapa saja yang pikiran-nya lurus. Jadi di situ dijamin mereka aman. Myrtle Merana tersedu-sedu berisik di dalam biliknya, tetapi mereka tidak memedulikannya dan Myrtle juga tidak memedulikan mereka.
Hermione hati-hati membuka Ramuan-ramuan Paling Mujarab, dan ketiganya membungkuk di atas halaman-halaman yang bebercak-bercak lembap. Sekilas saja sudah jelas kenapa buku itu ditaruh di Seksi Terlarang. Beberapa efek ramuannya terlalu mengerikan untuk dipikirkan, dan ada beberapa ilustrasi yang menyeram-kan, termasuk gambar seorang laki-laki yang kelihatan-nya bagian dalam tubuhnya dibalik jadi di luar, dan penyihir wanita yang dari kepalanya tumbuh beberapa pasang tangan tambahan.
"Ini dia," kata Hermione bersemangat, ketika dia me-nemukan halaman yang berjudul Ramuan Polijus. Ha-laman itu dihiasi gambar-gambar orang yang setengah bertransformasi menjadi orang lain. Harry betul-betul berharap ilustratornya hanya membayangkan ekspresi kesakitan luar biasa pada wajah orang-orang itu.
"Ini ramuan paling rumit yang pernah kubaca," kata Hermione, ketika mereka membaca resepnya.
"Serangga sayap-renda, lintah, mostar, dan knotgrass— tanaman rendah berbunga dadu dan berdaun biru keabu- abuan," dia bergumam, jarinya menyusuri daftar bahan yang diperlukan. "Yah, ini cukup gampang, semua ada di lemari bahan siswa, kita bisa ambil sendiri. Oooh, lihat, bubuk tanduk Bicorn—entah dari mana bisa kita dapatkan... selongsong kulit ular pohon saat dia ganti kulit—ini susah juga—dan tentu saja sedikit bagian dari orang yang menjadi sasaran kita."
"Maaf?" kata Ron tajam. "Apa maksudmu, sedikit bagian dari orang yang menjadi sasaran kita? Aku tak mau minum apa pun yang mengandung kuku kaki Crabbe..."
Hermione melanjutkan seakan dia tidak mendengar-nya.
"Kita belum perlu mencemaskan itu, karena bagian itu kita tambahkan paling belakang..." Tak bisa bicara, Ron menoleh kepada Harry, yang punya kekhawatiran lain.
"Apakah kau sadar berapa banyak yang harus kita curi, Hermione? Kulit ular pohon, jelas ini tak ada dalam lemari siswa. Apa yang akan kita lakukan? Membongkar lemari pribadi Snape? Aku tak tahu apakah itu ide bagus..."
Hermione menutup bukunya dengan suara keras.
"Kalau kalian berdua mau mundur, silakan," kata-nya. Ada rona merah di pipinya dan matanya lebih cemerlang daripada biasanya. "Aku tak ingin me-langgar peraturan, kalian tahu. Kurasa mengancam penyihir kelahiran-Muggle lebih parah daripada me-rebus ramuan yang sulit. Tetapi kalau kalian tidak ingin mencari tahu apakah Malfoy adalah pewaris Slytherin, aku akan kembali ke Madam Pince sekarang juga dan mengembalikan bukunya di..."
"Tak pernah kusangka akan tiba harinya kau mem-bujuk kami untuk melanggar peraturan," kata Ron. "Baiklah, akan kita lakukan. Tapi tidak pakai kuku kaki, oke?"
"Berapa lama sih buatnya?" tanya Harry, ketika Hermione, yang tampak lebih gembira, membuka buku itu lagi.
"Yah, karena mostarnya harus dicabut pada malam purnama, dan serangga sayap-rendanya harus direbus selama dua puluh satu hari... kubilang ramuan itu akan siap dalam waktu kira-kira sebulan, kalau kita berhasil mendapatkan semua bahannya."
"Sebulan?" kata Ron. "Malfoy bisa-bisa sudah me-nyerang separo anak yang kelahiran-Muggle!" Tetapi mata Hermione menyipit berbahaya lagi, jadi Ron buru-buru menambahkan,
"Tapi ini rencana paling baik yang kita punya, jadi jalan terus." Meskipun demikian, sementara Hermione me-meriksa apakah keadaan aman bagi mereka untuk meninggalkan toilet, Ron bergumam kepada Harry, "Akan jauh lebih mudah kalau kau bisa menjatuhkan Malfoy dari sapunya besok."
Hari Sabtu, Harry terbangun pagi-pagi dan berbaring-baring dulu memikirkan pertandingan Quidditch yang akan berlangsung. Dia cemas, terutama memikirkan apa yang akan dikatakan Wood kalau Gryffindor kalah, tetapi juga memikirkan mereka harus meng-hadapi tim yang menaiki sapu balap paling cepat yang bisa dibeli dengan emas. Belum pernah dia begitu ingin mengalahkan Slytherin sampai seperti itu. Setelah setengah jam berbaring dengan perasaan tak keruan, dia bangkit, berganti pakaian, dan turun untuk sarapan lebih awal dari biasanya. Ternyata ang-gota tim Gryffindor lainnya sudah berkumpul di meja panjang yang kosong, semua kelihatan tegang dan tidak banyak bicara.
Mendekati pukul sebelas, seluruh sekolah mulai menuju ke stadion Quidditch. Cuaca mendung, guruh siap menggelegar. Ron dan Hermione bergegas datang untuk mengucapkan selamat bertanding dan semoga sukses ketika Harry memasuki kamar ganti. Para ang-gota tim memakai jubah merah tua Gryffindor mereka, kemudian duduk untuk mendengarkan pidato sebelum-pertandingan Wood seperti biasanya.
"Slytherin punya sapu yang lebih bagus dari kita," dia mulai, "tak ada gunanya menyangkalnya. Tetapi kita punya pemain yang lebih baik di atas sapu kita. Kita sudah berlatih lebih keras daripada mereka, kita sudah terbang dalam segala cuaca..." ("Betul sekali," gumam George Weasley. "Aku tidak pernah betul-betul kering sejak Agustus.") "...dan kita akan mem-buat mereka menyesali hari ketika mereka mengizin-kan si licik Malfoy itu menyuap untuk bisa masuk tim mereka."
Dengan dada naik-turun saking emosinya, Wood menoleh kepada Harry.
"Terserah padamu, Harry, untuk menunjukkan bahwa Seeker perlu punya lebih dari sekadar ayah yang kaya. Tangkap Snitch-nya sebelum keduluan Malfoy. Kalau tidak, lebih baik mati, Harry, karena kita harus menang hari ini, kita harus menang."
"Jadi, tak ada tekanan, Harry," kata Fred, mengedip kepadanya.
Ketika mereka keluar menuju ke stadion, terdengar sambutan meriah, sorakan dan teriakan untuk menyemangati mereka, karena Ravenclaw dan Hufflepuff ingin melihat Slytherin kalah, tetapi anak-anak Slytherin juga ber-"buu-buu" dan mendesis-desis keras. Madam Hooch, guru Quidditch mereka, me-minta Flint dan Wood berjabat tangan. Keduanya berjabat tangan dengan saling melempar pandangan mengancam, dan meremas lebih keras daripada yang diperlukan.
"Mulai pada tiupan peluitku," kata Madam Hooch, "tiga... dua... satu..."
Dengan teriakan dari penonton untuk menye-mangati mereka terbang, keempat belas pemain me-luncur naik ke langit yang mendung. Harry terbang lebih tinggi daripada yang lain, menyipitkan mata, mencari-cari Snitch.
"Baik-baik di sana, Dahi Pitak?" teriak Malfoy, me-luncur di bawah Harry seakan mau memamerkan kecepatan sapunya.
Harry tak punya kesempatan menjawab. Pada saat itu Bludger hitam berat meluncur ke arahnya. Dia menghindar, tetapi hampir saja kena. Dia masih me-rasakan Bludger itu menyapu rambutnya.
"Nyaris saja, Harry!" kata George, melesat me-lewatinya dengan pemukul di tangan, siap memukul balik Bludger ke arah Slytherin. Harry melihat George memukul Bludger itu sekuat tenaga ke arah Adrian Pucey, tetapi Bludger itu berubah arah di tengah udara dan kembali mengincar Harry. Harry cepat-cepat menukik turun menghindarinya, dan George berhasil memukulnya keras-keras ke arah Malfoy. Sekali lagi Bludger itu berbalik seperti bumerang dan meluncur ke kepala Harry.
Harry mempercepat laju sapunya dan melesat ke ujung lain lapangan. Dia bisa mendengar Bludger itu menderu di belakangnya. Apa yang terjadi? Bludger tidak pernah berkonsentrasi pada satu pemain seperti ini. Tugas Bludger- lah untuk mencoba menjatuhkan sebanyak mungkin pemain...
Fred Weasley menunggu Bludger di ujung lain la-pangan. Harry menunduk ketika Fred memukul Bludger sekuat tenaga. Bludger itu terbang ke luar lapangan.
"Beres!" teriak Fred senang, tetapi dia keliru. Bagai tertarik magnet, Bludger itu kembali meluncur ke arah Harry, dan Harry terpaksa terbang dengan ke-cepatan penuh.
Hujan sudah mulai turun. Tetes-tetes besar air jatuh ke wajah Harry, mengaburkan kacamatanya. Dia tak bisa melihat apa yang sedang berlangsung sampai dia mendengar Lee Jordan, yang menjadi komentator, berkata, "Slytherin memimpin, enam puluh lawan nol."
Sapu superior Slytherin jelas menunjukkan ke-piawaiannya, dan sementara itu si Bludger gila terus berusaha menjatuhkan Harry dari sapunya. Fred dan George sekarang terbang begitu rapat di kanan-kirinya, sehingga Harry tak bisa melihat apa- apa selain tangan mereka yang berseliweran dan ia tak punya ke-sempatan mencari Snitch, apalagi menangkapnya.
"Ada... yang... mengerjai... Bludger... ini...," gerutu Fred, mengayunkan pemukulnya sekuat tenaga ketika si Bludger kembali menyerang Harry.
"Kita perlu time out," kata George, berusaha memberi isyarat kepada Wood dan mencegah si Bludger me-matahkan hidung Harry pada saat bersamaan.
Wood jelas sudah menangkap pesannya. Peluit Madam Hooch berbunyi nyaring dan Harry, Fred, dan George menukik turun, masih berusaha meng-hindari si Bludger gila.
"Apa yang terjadi?" tanya Wood, ketika tim Gryffindor sudah berkumpul, sementara para pe-nonton Slytherin berteriak mengejek. "Kita digilas. Fred, George, di mana kalian waktu Bludger itu men-cegah Angelina mencetak gol?"
"Kami enam meter di atasnya, mencegah Bludger satunya membunuh Harry, Oliver," kata George ma-rah. "Ada yang menyihirnya—Bludger itu menyerang Harry terus, tidak pernah mendekati pemain lain sepanjang pertandingan. Anak-anak Slytherin pasti sudah melakukan sesuatu pada Bludger itu."
"Tetapi Bludger-nya dikunci dalam kantor Madam Hooch sejak latihan terakhir kita, dan waktu itu dua-duanya tidak apa-apa...," kata Wood cemas.
Madam Hooch berjalan ke arah mereka. Lewat atas bahu Madam Hooch, Harry bisa melihat tim Slytherin mengejek dan menunjuk-nunjuk ke arah-nya.
"Dengar," kata Harry, ketika Madam Hooch sudah semakin dekat, "dengan kalian berdua terbang di sekitarku sepanjang waktu, satu-satunya kemungkinan aku menangkap Snitch adalah kalau Snitch-nya terbang masuk ke lengan jubahku," kata Harry. "Kem-balilah ke yang lain dan biar kutangani sendiri Bludger gila itu."
"Jangan bodoh," kata Fred. "Bludger itu bisa me-nebas kepalamu." Wood bergantian memandang Harry dan si kembar Weasley.
"Oliver, ini gila," kata Alicia Spinnet berang. "Kau tak bisa mengizinkan Harry menangani Bludger itu sendirian. Ayo, kita minta penyelidikan..."
"Kalau kita berhenti sekarang, kita akan dinyatakan kalah!" kata Harry. "Dan kita tidak akan kalah dari Slytherin hanya karena satu Bludger gila! Ayo, Oliver, suruh mereka meninggalkanku sendiri!"
"Ini semua salahmu," kata George marah kepada Wood.
"'Tangkap Snitch-nya, kalau tidak lebih baik mati.' Bodoh benar bilang begitu padanya."
Madam Hooch sudah bergabung dengan mereka.
"Siap melanjutkan pertandingan?" dia bertanya kepada Wood.
Wood memandang wajah Harry yang memancarkan tekad kuat.
"Baiklah," katanya. "Fred, George, kalian mendengar Harry... tinggalkan dia dan biarkan dia menangani sendiri Bludger itu."
Hujan sudah semakin deras sekarang. Begitu peluit Madam Hooch ditiup, Harry menjejak keras ke udara dan mendengar desing Bludger yang sudah dikenal-nya di belakangnya. Harry terbang makin lama makin tinggi. Dia terbang melingkar, meluncur, spiral, zig-zag, dan berguling. Meskipun agak pusing, dia mem-buka mata lebar-lebar. Hujan mengaburkan kacamata-nya dan mengalir masuk ke lubang hidungnya ketika dia bergantung membalik, menghindari serangan keras si Bludger. Dia bisa mendengar gelak tawa penonton, dia tahu pasti dia tampak tolol sekali, tetapi si Bludger gila itu berat dan tak dapat berubah arah secepat dia. Dia mulai terbang model roller-coaster mengelilingi stadion, matanya menyipit menembus tirai perak air hujan, memandang tiang gol Gryffindor, di mana Adrian Pucey sedang berusaha melewati Wood....
Desing di telinganya membuat Harry tahu si Bludger baru saja gagal menyerangnya lagi. Dia lang-sung memutar dan meluncur ke arah berlawanan.
"Lagi latihan balet nih, Potter?" teriak Malfoy, ketika Harry terpaksa berputar-putar dengan konyol di te-ngah udara untuk menghindari si Bludger. Harry terbang menjauh, si Bludger membuntuti satu meter di belakangnya. Dan kemudian, ketika membalas me-mandang Malfoy penuh kebencian, Harry melihatnya, Golden Snitch, melayang hanya beberapa senti di atas telinga kiri Malfoy—dan Malfoy, yang sibuk me-nertawakan Harry, tidak melihatnya.
Selama beberapa saat yang menyiksa, Harry meng-gantung di udara, tak berani meluncur ke arah Malfoy, takut kalau- kalau Malfoy mendongak dan melihat Snitch itu.
DUGGG!
Dia berdiam diri terlalu lama sedetik. Si Bludger berhasil mengenainya akhirnya, menghantam sikunya, dan Harry merasa lengannya patah. Samar-samar, pusing karena kesakitan luar biasa pada lengannya, dia tergelincir miring pada sapunya yang basah kuyup, satu lututnya masih mengait pada sapu itu, lengan kanannya tergantung lunglai tak berguna. Si Bludger kembali meluncur ke arahnya untuk serangan kedua, kali ini mengarah ke wajahnya. Harry menghindar, dengan satu ide tertanam di otaknya yang membeku:
dekati Malfoy.
Dengan pandangan kabur karena hujan dan rasa sakitnya, Harry menukik ke arah wajah yang menye-ringai mengejek di bawahnya dan melihat mata di wajah itu membelalak ketakutan: Malfoy mengira Harry menyerangnya.
"Apa yang...," pekiknya kaget, menyingkir meng-hindari Harry.
Dengan tangan kanannya lunglai tak berdaya, Harry melepas satu-satunya pegangannya pada sapu dan menyambar liar. Dia merasa jari-jarinya menggenggam Snitch yang dingin, tetapi sekarang dia hanya menjepit sapu dengan kakinya dan terdengar jeritan dari pe-nonton di bawah ketika dia meluncur ke bawah, berusaha keras agar tidak pingsan. Dengan bunyi berdebam keras dan cipratan lumpur, dia mendarat dan berguling dari sapunya. Lengannya menggantung terpuntir dalam posisi sangat janggal. Dalam kesakitannya, dia mendengar seakan dari ke-jauhan, suitan dan teriakan-teriakan. Dia ber-konsentrasi pada Snitch yang tergenggam di tangan-nya yang sehat.
"Aha," katanya tak jelas. "Kita menang." Lalu dia pingsan.
Saat sadar kembali, hujan membasahi wajahnya. Dia masih terbaring di lapangan dan ada orang yang membungkuk di atasnya. Harry melihat kilauan gigi.
"Oh tidak, jangan Anda," rintihnya.
"Dia tak sadar apa yang dikatakannya," kata Lockhart keras-keras kepada anak-anak Gryffindor yang cemas berdesakan mengerumuninya. "Jangan khawatir, Harry, akan kusembuhkan lenganmu."
"Jangan!" tolak Harry. "Biar begini saja, terima kasih..."
Dia berusaha duduk, tetapi sakitnya bukan main. Didengarnya bunyi klak-klik yang sudah sangat dikenalnya di dekatnya.
"Aku tak mau difoto begini, Colin," katanya keras.
"Berbaring lagi, Harry," bujuk Lockhart. "Ini mantra sederhana yang sudah kugunakan ratusan kali." "Kenapa saya tak boleh ke rumah sakit saja?" kata Harry dengan gigi mengertak.
"Dia seharusnya ke rumah sakit saja, Profesor," kata Wood yang penuh lumpur. Dia tak tahan tidak nyengir walaupun Seeker-nya terluka. "Tangkapan luar biasa, Harry, benar-benar spektakuler, tangkapanmu yang paling hebat, menurutku."
Melalui pagar kaki yang mengelilinginya, Harry melihat Fred dan George Weasley, berkutat memasuk-kan si Bludger gila ke dalam kotak. Bludger itu masih melawan gila-gilaan.
"Mundur," kata Lockhart, yang menggulung lengan jubah hijau-kumalanya.
"Tidak—jangan...," kata Harry lemah, tetapi Lockhart sudah memelintir tongkatnya dan sedetik kemudian mengacungkannya ke lengan Harry.
Perasaan aneh dan tidak menyenangkan menjalar dari bahu Harry terus ke ujung jari-jarinya. Rasanya seakan lengannya sedang dikempiskan. Dia tidak be-rani melihat apa yang sedang terjadi. Dipejamkannya matanya, dipalingkannya wajahnya dari lengannya, tetapi ketakutannya yang terbesar menjadi kenyataan ketika orang-orang di atasnya memekik tertahan dan Colin menjepret gila-gilaan. Lengannya sudah tidak sakit lagi—tetapi juga tidak terasa seperti lengan.
"Ah," kata Lockhart. "Ya. Yang seperti itu kadang-kadang terjadi. Tetapi yang penting, tulangnya tidak lagi patah. Itu yang harus diingat. Jadi, Harry, pergilah saja ke rumah sakit... ah, Mr Weasley, Miss Granger, tolong kalian antar, ya?... dan Madam Pomfrey akan bisa me... eh... merapikanmu sedikit." Ketika Harry bangkit, dia merasa aneh, seakan berat sebelah. Dengan menarik napas dalam-dalam dia me-nunduk memandang ke sebelah kanannya. Yang di-lihatnya nyaris membuatnya pingsan lagi.
Menjulur dari ujung jubahnya ada sesuatu yang tampak seperti sarung tangan karet tebal warna kulit. Harry mencoba menggerakkan jari-jarinya. Tak ada yang terjadi.
Lockhart tidak monyembuhkan tulang Harry. Dia melenyapkannya.
Madam Pomfrey sama sekali tidak senang.
"Seharusnya kau langsung datang padaku!" katanya berang, mengangkat bekas lengan yang tampak lemas menyedihkan, yang setengah jam sebelumnya masih berupa tangan yang sehat. "Aku bisa menyembuhkan tulang patah dalam waktu sedetik—tapi menumbuh-kan kembali tulang- tulang..."
"Tapi Anda bisa, kan?" tanya Harry putus asa.
"Aku bisa, tentu saja, tapi akan sakit sekali," kata Madam Pomfrey muram, seraya melempar piama ke-pada Harry. "Kau harus menginap..."
Hermione menunggu di balik tirai yang dipasang di sekeliling tempat tidur Harry, sementara Ron mem-bantunya memakai piama. Perlu cukup lama untuk memasukkan lengan tanpa tulang yang bagai karet itu ke dalam lengan piama.
"Bagaimana kau bisa membela Lockhart sekarang, Hermione, eh?" seru Ron dari balik tirai sembari menarik jari- jari lemas Harry dari lubang lengan. "Kalau Harry mau tulangnya dihilangkan, dia akan minta."
"Siapa saja bisa membuat kesalahan," kata Hermione. "Lagi pula tidak sakit lagi, kan, Harry?" "Tidak," jawab Harry, "tapi tidak bisa ngapa-ngapain juga."
Saat melempar dirinya ke atas tempat tidur, lengan-nya mengelepak lunglai. Hermione dan Madam Pomfrey datang ke balik tirai. Madam Pomfrey mem-bawa botol besar berlabel "Skele-Gro"—Penumbuh Tulang.
"Kau akan kesakitan semalaman," katanya seraya menuang semangkuk penuh cairan berasap dan meng-ulurkannya kepada Harry. "Menumbuhkan tulang sa-ngat tidak menyenangkan."
Begitu juga meminum Skele-Gro. Cairan itu mem-bakar mulut dan tenggorokan Harry, membuatnya terbatuk-batuk dan tergagap-gagap. Dengan masih mengomel tentang permainan yang berbahaya dan guru yang tidak layak, Madam Pomfrey pergi, me-ninggalkan Ron dan Hermione membantu Harry me-minum beberapa teguk air.
"Tapi kita menang," kata Ron, nyengir lebar.
"Tang-kapanmu luar biasa. Wajah Malfoy... kelihatannya dia siap membunuh!"
"Aku ingin tahu Bludger itu dia apakan," kata Hermione jengkel.
"Kita bisa menambahkan itu ke daftar pertanyaan yang akan kita ajukan kepadanya setelah kita minum Ramuan Polijus," kata Harry, merebahkan diri kembali ke bantalnya.
"Mudah-mudahan rasanya lebih enak daripada obat ini..."
"Dengan cuilan anak Slytherin di dalamnya? Kau bergurau,"
kata Ron.
Pintu kamar rumah sakit terbuka keras pada saat itu. Kotor dan basah kuyup, seluruh anggota tim Gryffindor datang untuk menengok Harry.
"Terbangmu bukan main, Harry," kata George. "Aku baru saja melihat Marcus Flint berteriak-teriak me-marahi Malfoy. Ngomel tentang Snitch yang berada di atas kepalanya dan dia tidak melihatnya. Malfoy kelihatannya tidak senang."
Mereka membawa kue, permen, dan berbotol-botol jus labu kuning. Mereka berkerumun di sekeliling tempat tidur Harry dan baru akan mulai berpesta ketika Madam Pomfrey buru- buru mendatangi, sambil berteriak, "Anak ini perlu istirahat, dia harus me-numbuhkan tiga puluh tiga tulang! Keluar! KELUAR!"
Dan Harry ditinggalkan sendirian, tanpa ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari kesakitan yang menusuk-nusuk lengannya yang lemas.
Berjam-jam kemudian, Harry mendadak terbangun dalam gelap gulita dan memekik kesakitan. Lengannya serasa dipenuhi serpihan-serpihan tulang besar. Sesaat dia mengira itulah yang membuatnya terbangun. Kemudian, dengan ngeri dia menyadari ada yang menyeka dahinya dengan spons dalam gelap.
"Pergi!" katanya keras. Dan kemudian, "Dobby!"
Mata si peri-rumah yang menonjol sebesar bola tenis memandang Harry dalam kegelapan. Sebutir air mata bergulir di hidungnya yang panjang dan runcing.
"Harry Potter kembali ke sekolah," dia berbisik me-rana.
"Dobby sudah bolak-balik memperingatkan Harry Potter. Ah, Sir, kenapa Anda tidak mendengar-kan Dobby? Kenapa Harry Potter tidak pulang saja waktu ketinggalan kereta api?"
Harry duduk bersandar di bantalnya dan me-nyingkirkan spons Dobby. "Ngapain kau di sini?" tanyanya. "Dan bagaimana kau tahu aku ketinggalan kereta?"
Bibir Dobby bergetar dan Harry mendadak curiga.
"Kau!" katanya lambat-lambat. "Kau yang membuat palang rintangan menolak mengizinkan kami masuk!"
"Memang betul, Sir," kata Dobby, mengangguk kuat-kuat, telinganya mengelepak. "Dobby bersembunyi me-nunggu Harry Potter dan menyegel palang rintangan dan Dobby harus menyeterika tangannya sesudah-nya..." ditunjukkannya kepada Harry sepuluh jari panjang yang diperban, "...tetapi Dobby tidak peduli, Sir, karena dia mengira Harry Potter aman, dan Dobby tak pernah mimpi bahwa Harry Potter akan ke sekolah dengan cara lain!"
Dia mengayun tubuhnya ke depan dan ke belakang, menggeleng-gelengkan kepalanya yang jelek.
"Dobby kaget sekali ketika mendengar Harry Potter sudah kembali ke Hogwarts, sampai membuat makan malam tuannya hangus! Belum pernah Dobby di-cambuki sehebat itu, Sir..."
Harry terenyak kembali ke bantalnya.
"Kau hampir saja membuat aku dan Ron dikeluar-kan," katanya galak. "Lebih baik kau pergi sebelum tulang-tulangku tumbuh, Dobby, kalau tidak mungkin kau akan kucekik."
Dobby tersenyum lemah.
"Dobby sudah terbiasa dengan ancaman maut, Sir. Dobby menerimanya lima kali sehari di rumah."
Dobby membuang ingus di salah satu sudut sarung bantal kumal dan kotor yang dipakainya, kelihatan memelas sekali sehingga Harry merasa kemarahannya mereda dengan sendirinya.
"Kenapa kau memakai itu, Dobby?" tanyanya ingin tahu.
"Ini, Sir?" kata Dobby, menarik-narik sarung bantal-nya.
"Ini tanda perbudakan peri-rumah, Sir. Dobby hanya bisa dibebaskan kalau tuan Dobby meng-hadiahinya pakaian, Sir. Keluarga majikan Dobby sa-ngat berhati-hati, jangan sampai menyerahkan kepada Dobby bahkan kaus kaki bekas, Sir, karena kalau begitu Dobby akan bebas meninggalkan rumah mereka selamanya."
Dobby menyeka matanya yang menonjol dan men-dadak berkata, "Harry Potter harus pulang! Dobby mengira Bludger- nya akan cukup membuat..."
"Bludger-mu?" kata Harry, kemarahannya timbul lagi. "Apa maksudmu, Bludger-mu? Kau membuat Bludger itu mencoba membunuhku?"
"Tidak membunuh, Sir, tak akan pernah membunuh Anda!" kata Dobby terperanjat. "Dobby ingin menye-lamatkan hidup Harry Potter! Lebih baik dipulangkan, dengan luka parah, daripada tinggal di sini, Sir! Dobby cuma ingin Harry Potter luka cukup parah supaya dikirim pulang!"
"Oh, cuma itu?" kata Harry berang. "Kurasa kau tidak akan bilang padaku kenapa kau menginginkan aku dikirim pulang dalam keadaan tidak utuh?"
"Ah, kalau saja Harry Potter tahu!" Dobby meratap, lebih banyak lagi air mata bercucuran ke sarung bantal rombengnya. "Kalau saja dia tahu betapa berartinya dia untuk kami, kaum rendahan, para budak, kami sampah masyarakat sihir! Dobby ingat bagaimana ke-adaannya ketika Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut berada di puncak kekuasaannya, Sir! Kami peri-peri-rumah diperlakukan seperti kutu busuk! Tentu saja Dobby masih diperlakukan seperti itu, Sir," dia mengakui, menyeka wajahnya dengan sarung bantal-nya.
"Tetapi, Sir, kehidupan telah menjadi jauh lebih baik bagi kaum kami sejak Anda menang melawan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut. Harry Potter selamat, dan kekuatan si Pangeran Kegelapan dipatah-kan, dan saat itu seperti hari baru, Sir. Harry Potter bersinar seperti cahaya mercusuar harapan bagi kami, yang mengira hari-hari gelap tak akan pernah berakhir, Sir... Dan sekarang, di Hogwarts, peristiwa- peristiwa mengerikan akan terjadi, bahkan mungkin sedang terjadi, dan Dobby tak bisa membiarkan Harry Potter tinggal di sini sekarang ketika sejarah akan berulang, sekarang ketika Kamar Rahasia sekali lagi akan di-buka..."
Dobby terperangah, kaget dan ngeri. Dia me-nyambar teko air Harry dari meja di sebelah tempat tidurnya, lalu memukulkannya ke kepalanya sendiri, terguling lenyap dari pandangan. Sesaat kemudian dia merayap naik ke tempat tidur lagi, dengan mata juling, mengomel, "Dobby nakal, Dobby nakal sekali...."
"Jadi Kamar Rahasia itu memang ada!" bisik Harry.
"Dan—kau bilang kamar itu sudah pernah dibuka sebelumnya? Ceritakan padaku, Dobby!"
Harry menyambar pergelangan tangan kurus si peri ketika hendak meraih kembali teko air. "Tetapi aku bukan kelahiran- Muggle—bagaimana mungkin kamar itu berbahaya bagiku?"
"Ah, Sir, jangan tanya-tanya lagi, jangan tanya-tanya Dobby lagi," kata si peri tergagap, matanya besar sekali dalam gelap. "Perbuatan-perbuatan jahat sudah direncanakan di tempat ini, tetapi Harry Potter tidak boleh berada di sini kalau itu terjadi. Pulanglah, Harry Potter. Pulanglah. Harry Potter tak boleh ikut campur dalam hal ini, Sir. Terlalu berbahaya..."
"Siapa, Dobby?" Harry bertanya, seraya memegang pergelangan tangan Dobby erat-erat untuk men-cegahnya memukul diri sendiri dengan teko air lagi. "Siapa yang membukanya? Siapa yang dulu membuka-nya?"
"Dobby tak bisa, Sir, Dobby tak bisa, Dobby tak boleh bilang!" seru si peri. "Pulanglah, Harry Potter, pulanglah!"
"Aku tidak akan ke mana-mana!" kata Harry tegas. "Salah satu sahabatku kelahiran-Muggle, dia akan menjadi salah satu korban pertama kalau Kamar Rahasia benar-benar dibuka..."
"Harry Potter mempertaruhkan hidupnya untuk teman- temannya!" kata Dobby sedih bercampur ba-hagia. "Sungguh mulia! Sungguh gagah berani! Tetapi dia harus menyelamatkan dirinya sendiri, harus, Harry Potter tidak boleh..."
Dobby mendadak diam terpaku, telinganya bergetar.
Harry mendengarnya juga. Ada langkah-langkah kaki mendekat di lorong di depan kamar."
"Dobby harus pergi!" bisik si peri, ketakutan. Ter-dengar derak keras, dan jari-jari Harry mendadak menggenggam udara kosong. Dia terenyak kembali ke tempat tidurnya, matanya tertuju ke pintu yang gelap, sementara bunyi langkah-langkah kaki semakin mendekat.
Saat berikutnya Dumbledore berjalan mundur masuk ke kamar, memakai jas kamar wol panjang dan topi tidur. Dia menggotong ujung sesuatu yang tampak seperti patung. Profesor McGonagall muncul sedetik kemudian, menggotong kakinya. Bersama-sama mereka mengangkat patung itu ke atas tempat tidur.
"Panggil Madam Pomfrey," bisik Dumbledore, dan Profesor McGonagall bergegas melewati kaki tempat tidur Harry, menghilang dari pandangan. Harry ber-baring tak bergerak, pura-pura tidur. Dia mendengar suara-suara tegang, dan kemudian Profesor McGonagall muncul lagi, diikuti Madam Pomfrey, yang datang sambil memakai kardigan di atas gaun tidur-nya. Harry mendengar tarikan napas tajam.
"Apa yang terjadi?" Madam Pomfrey berbisik kepada Dumbledore, membungkuk di atas patung di tempat tidur.
"Serangan lagi," kata Dumbledore. "Minerva me-nemukannya di tangga."
"Ada setangkai buah anggur di sebelahnya," kata Profesor McGonagall. "Kami menduga dia sedang ber-usaha menyelinap ke sini untuk menengok Potter."
Hati Harry mencelos. Pelan-pelan dan hati-hati, di-angkatnya kepalanya beberapa senti supaya dia bisa melihat patung di tempat tidur itu. Seberkas cahaya bulan menyinari seraut wajah yang pandangannya kosong.
Colin Creevey Matanya terbelalak lebar dan tangan-nya terjulur kaku ke depan, memegangi kameranya. "Membatu?" bisik Madam Pomfrey. "Ya," kata Profesor McGonagall. "Aku bergidik memikirkan... Kalau Albus tidak sedang turun untuk minum cokelat panas, entah apa yang akan terjadi..."
Ketiganya menunduk menatap Colin. Kemudian Dumbledore membungkuk untuk melepas kamera dari pegangan erat Colin.
"Menurutmu dia berhasil memotret penyerangnya?" kata Profesor McGonagall bersemangat. Dumbledore tidak menjawab. Dia membuka bagian belakang kamera. "Astaga!" celetuk Madam Pomfrey. Semburan asap mendesis dari kamera. Harry, tiga tempat tidur dari Colin, mencium bau tajam plastik terbakar. "Meleleh," kata Madam Pomfrey bingung, "semua meleleh..." "Apa artinya ini, Albus?" Profesor McGonagall ber-tanya mendesak. "Artinya," kata Dumbledore,
"Kamar Rahasia benar-benar telah dibuka lagi."
Madam Pomfrey menekap mulutnya. Profesor McGonagall terbelalak menatap Dumbledore. . "Tetapi, Albus... siapa?"
"Pertanyaannya bukan siapa," kata Dumbledore, matanya menatap Colin. "Pertanyaannya adalah bagai-mana..."
Dan melihat wajah Profesor McGonagall yang samar-samar, Harry tahu dia sama tidak mengertinya seperti Harry sendiri.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar