Laman

Sabtu, 23 Januari 2016

Harry Potter And The Pilosopher Stone Seri 1

 Harry Potter Dan Batu Bertuah 1


Buku 1

Harry Potter And The Pilosopher Stone
J.K. Rowling

Harry Potter Dan Batu Bertuah

untuk Jessica, yang menyukai cerita,
untuk Anne, yang juga menyukainya,
dan untuk Di, yang pertama mendengar cerita ini.

1. Anak Laki Laki Yang Bertahan Hidup

Mr dan Mrs Dursley yang tinggal di Privet Drive nomer empat bangga menyatakan diri mereka orang-orang yang normal, untunglah. Mereka tak bisa di harapkan terlibat dengan sesuatu yang ajaib atau misterius, karena mereka sama sekali tidak percaya omong kosong seperti itu.
Mr Dursley adalah direktur Grunnings, perusahaan yang memproduksi bor. Dia laki-laki yang besar gemuk, nyaris tanpa leher, walaupun kumisnya besar sekali. Mrs Durslety berambut pirang, lehernya dua lili panjang leher biasa. Baginya ini menguntungkan, karena kegemarannya adalah menjulurkan leher di alas pagar-pagar, untuk mengintip para tetangga. Suami istri Dursley mempunyai seorang anak lelaki kecil bernama Dudley dan menurut pendapat mereka, didunia ini tidak ada anak lain sehebat Dudley.
Keluarga Dursley memiliki segalanya yang mereka inginkan, tetapi mereka juga punya rahasia, dan ketakutan terbesar mereka adalah, kalau ada orang yang mengetahui rahasia ini.
Mereka pikir mereka pasti lak tahan kalau sampai ada yang tahu tentang keluarga Potter. Mrs Potter adalah adik Mrs Dursley, tetapi sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Mrs Dursley malah berpura-pura tidak punya adik, karena adiknya dan suaminya yang tak berguna itu tak layak sama sekali menjadi kerabat keluarga Dursley. Mr dan Mrs DumJey bergidik memikirkan apa kata tetangga mereka jika keluarga Potter muncul di jalan mereka. Keluarga Dursley tahu bahwa keluarga Potter juga punya seorang anak laki-laki kecil, tetapi mereka belum pernah melihatnya. Anak ini salah satu alasan bagus lain kenapa mereka tak mau dekat-dekat keluarga Potter. Mereka tak ingin Dudley bergaul dengan anak seperti itu. Ketika Mr dan Mrs Dursley bangun pada hari Selasa pagi yang mendung saat cerita kita ini mulai, tak ada tanda-tanda di langit berawan di luar bahwa akan terjadi hal-hal misterius dan aneh di seluruh negeri. Mr Dursley bersenandung ketika dia mengambil dasinya yang sangat membosankan untuk dipakainya bekerja, dan Mrs Dursley bergosip riang seraya berkutat dengan Dudley yang menjerit-jerit dan mendudukkan anak itu di kursinya yang tinggi.
Tak seorang pun dari mereka melihat seekor burung hantu besar kuning kecokelatan terbang melintasi jendela.
Pukul setengah sembilan Mr Dursley memungut tas kerjanya, mengecup pipi Mrs Dursley dan mencoba mengecup Dudley, tapi gagal, sebab sekarang Dudley ngadat dan melempar-lempar serealnya ke dinding. "Dasar anak-anak," senyum Mr Dursley sambil masuk ke mobilnya dan memundurkannya keluar dari garasi rumah nomor empat.
Di sudut jalanlah pertama kalinya dia menyadari ada suatu yang aneh—seekor kucing membaca peta. Sekejap Mr Dursley tidak menyadari apa yang telah dilihatnya—kemudian dia menoleh untuk melihat sekali lagi. Ada kucing betina berdiri di ujung Jalan Privet Drive, tapi sama sekali tak kelihatan ada peta.
Rupanya tadi cuma khayalannya. Pasti itu tipuan cahaya. Mr Dursley mengejapkan mata dan memandang ulang kucing itu.
Si kucing balas memandangnya, Saat Mr Dursley berbelok di sudut dan meneruskan perjalanan, dia memandang kucing itu lewat kaca spionnya. Kucing itu sekarang sedang membaca papan jalan yang bertuliskan Privet Drive—bukan, bukan membaca melainkan memandang papan jalan itu, kucing itu tidak bisa membaca peta atau papan jalan. Mr Dursley menggelengkan kepalanya dan mencoba melupakan kucing itu.
Selama mengendarai mobilnya ke kota, yang dipikirkannya hanyalah pesanan bor dalam jumlah besar yang akan didapatnya hari itu.
Tetapi menjelang masuk kota, bor tergusur keluar dari pikirannya oleh sesuatu yang lain. Sementara terjebak macet seperti biasanya, dia melihat banyak orang berpakaian aneh.




Orang-orang yang memakai jubah. Mr Dursley tak tahan melihat orang yang berpakaian aneh-aneh—dandanan anakanak muda jaman sekarang! Dia kira jubah bloon ini sedang mode. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi mobil dan matanya menatap serombongan orang aneh yang berdiri cukup dekat. Mereka sedang berbisik- bisik dengan tegang. Mr Dursley sebal sekali melihat bahwa dua di antara mereka sama sekali tidak muda lagi. Yang pakai jubah hijau zamrud itu bahkan lebih tua dari dia! Kelewatan benar! Tetapi kemudian terlintas di benaknya bahwa mereka mungkin sengaja berdandan seperti itu—mereka pastilah sedang mengumpulkan dana entah untuk apa—ya, pasti begitu. Kendaraan-kendaraan mulai bergerak, dan beberapa menit kemudian Mr Dursley tiba di tempat parkir Grunnings, pikirannya kembali dipenuhi bor.
Mr Dursley selalu duduk membelakangi jendela di kantornya di lantai sembilan. Jika tidak, mungkin sulit baginya untuk berkonsentrasi pada bor pagi itu. Dia tidak melihat burungburung hantu terbang berseliweran di siang hari, meskipun orang-orang lain di jalan melihatnya. Orang-orang itu melongo dan menunjuk-nunjuk ketika burung-burung hantu tak putus-putusnya beterbangan Sebagian besar dari mereka belum pernah melihat burung hantu, di malam hari sekalipun. Tetapi Mr Dursley melewatkan pagi yang normal, tanpa gangguan burung hantu. Dia berteriak pada lima orang yang berbeda. Dia melakukan beberapa pembicaraan telepon penting dan berteriak beberapa kali lagi. Hatinya sedang senang, sampai waktu makan siang, ketika dia memutuskan akan melemaskan kaki dan berjalan ke toko kue di seberang jalan.
Dia sudah lupa sama sekali pada orang-orang berjubah, sampai dia melewati serombongan lagi di sebelah toko kue. Dia mendelik gusar kepada mereka. Dia tidak tahu kenapa, tetapi mereka membuatnya resah. Rombongan yang ini juga berbisik-bisik tegang dan dia sama sekali tidak melihat satu pun kotak pengumpul dana. Saat melewati mereka lagi dalam perjalanan kembali ke kantor, dia mendengar beberapa kata yang mereka ucapkan.
"Keluarga Potter, betul, begitu yang kudengar..."
"... ya, anak mereka, Harry..."
Mr Dursley langsung berhenti. Ketakutan melandanya. Dia menoleh memandang mereka yang berbisik- bisik itu, seakan mau mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
Dia cepat-cepat menyeberang jalan, bergegas naik ke kantornya, dengan galak menyuruh sekertarisnya agar tidak mengganggunya, menyambar teleponnya, dan sudah hampir selesai menghubungi nomor rumahnya ketika dia berubah pikiran. Dia meletakkan kembali gagang telepon dan mengelus-elus kumisnya sambil berpikir... tidak, dia bodoh. Potter bukan nama yang tidak umum. Dia yakin ada banyak orang bernama Potter yang mempunyai anak bernama Harry. Kalau dipikir-pikir lagi, dia malah tidak yakin keponakannya bernama Harry.
Dia bahkan belum pernah melihat anak itu. Siapa tahu namanya Harvey. Atau Harold. Tak ada gunanya membuat cemas Mrs Dursley. Dia selalu jadi cemas kalau nama adiknya disebutsebut. Mr Dursley tidak menyalahkannya-—kalau dia sendiri punya adik seperti itu... tapi, orang-orang yang memakai jubah itu...
Sulit baginya untuk berkonsentrasi pada bor sore itu, dan ketika meninggalkan kantornya pada pukul lima sore, dia masih cemas sehingga menabrak orang di depan pintu.
"Maaf," gumamnya, ketika laki-laki tua yang ditabraknya terhuyung nyaris jatuh. Sesaat kemudian baru Mr Dursley menyadari, laki-laki itu memakai jubah ungu. Dia kelihaiannya sama sekali tidak marah ditabrak sampai hampir jatuh.
Sebaliknya, dia malah nyengir lebar dan berkata dengan suara melengking yang membuat orang-orang yang lewat menoleh, "Jangan minta maaf, Sir, karena tak ada yang bisa membuatku marah hari ini! Bergembiralah, karena Kau-Tahu-Siapa telah pergi akhirnya! Bahkan Muggle seperti Anda pun harus ikut merayakan hari yang amat sangat membahagiakan ini!"
Dan laki-laki tua itu memeluk pinggang Mr Dursley, lalu pergi.
Mr Dursley berdiri terpaku di tempatnya. Dia baru saja dipeluk oleh orang yang sama sekali asing. Seingatnya dia juga disebut Muggle, entah apa artinya itu. Dia jadi bingung. Dia bergegas ke mobilnya dan pulang, berharap bahwa semua tadi hanya khayalannya. Ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, karena dia orang yang tak suka berkhayal.
Ketika mobilnya meluncur masuk ke pekarangan rumah nomor empat, yang pertama kali dilihatnya— dan ini tidak membuatnya bertambah lega—adalah kucing betina yang telah dilihatnya pagi tadi. Kucing itu sekarang duduk di atas tembok pekarangannya. Mr Dursley yakin itu kucing yang sama. Dia punya tanda yang sama di sekeliling kedua matanya.
"Shuh!" Mr Dursley mengusirnya.
Kucing itu tidak bergerak. Dia malah menatap galak Mr Dursley. Apa ini perilaku normal kucing? pikir Mr Dursley.
Sambil berusaha menenangkan diri, dia masuk rumah. Dia masih bertekad tidak akan mencitakan apa-apa kepada istrinya.
Mrs Dursley melewatkan hari yang normal dan menyenangkan. Saat makan malam dia bercerita kepada Mr Dursley tentang ibu tetangga yang punya masalah dengan anak perempuannya dan bahwa Dudley sudah bisa ngomong kalimat baru ("Tak mau!"). Mr Dursley berusaha bersikap biasa. Ketika Dudley sudah ditidurkan, Mr Dursley ke ruang keluarga untuk mendengarkan kabar terakhir dalam berita malam.
Dan akhirnya, para pengamat burung dari segala tempat melaporkan bahwa burung hantu di seluruh negeri bersikap aneh sekali hari ini. Meskipun burung hantu normalnya berburu di malam hari dan jarang terlihat di siang hari, ratusan orang melihat burung-burung hantu beterbangan ke segala penjuru sejak matahari terbit. “Para ahli tidak dapat menjelaskan kenapa para burung hantu mengubah pola tidur mereka." Pembawa berita tersenyum. "Sungguh aneh. Dan sekarang, kita bergabung dengan Jim McGuffin yang akan menyampaikan ramalan cuaca. Malam ini akan hujan burung hantu lagi, Jim?"
“Wah, Ted," kata si peramal cuaca, "aku tak tahu tentang itu, tetapi bukan cuma burung hantu yang bersikap aneh hari ini.
Para pemirsa sampai sejauh Kent, Yorkshire, dan Dundee bergantian meneleponku untuk memberitahu bahwa alih-alih hujan seperti yang kuramalkan kemarin, yang mereka dapat adalah bintang-bintang jatuh! Mungkin orang-orang merayakan Bonfire Night lebih awal—padahal pesta kembang api seharusnya baru minggu depan, para pemirsa! Tetapi malam ini bisa dipastikan hujan akan turun!"
Mr Dursley terenyak di kursi-berlengannya. Bintang jatuh di seluruh Inggris? Burung-burung hantu beterbangan di siang hari? Orang-orang misterius berjubah di mana-mana? Dan bisik-bisik, bisik-bisik tentang keluarga Potter...
Mrs Dursley masuk ruang keluarga membawa dua cangkir teh. Percuma. Dia harus mengatakan sesuatu kepada istrinya. Mr Dursley berdeham panik. "Ehm— Petunia sayang— belakangan ini ada kabar apa dari adikmu?"
Seperti dugaannya, Mrs Dursley kelihatan kaget dan marah. Yah, biasanya kan mereka berpura-pura dia tidak punya adik. "Tidak ada," jawabnya ketus, "Memangnya kenapa?"
"Ada berita aneh tadi," gumam Mr Dursley. "Burung hantu... bintang jatuh... dan ada banyak orang bertampang aneh di jalan hari ini."
"Jadi?" tukas Mrs Dursley.
"Yah, aku cuma berpikir... mungkin... ada kaitannya dengan... kau tahu, kan... kelompoknya." Mrs Dursley menyeruput tehnya dengan bibir cemberut. Mr Dursley mempertimbangkan, beranikah dia memberitahu istrinya bahwa dia telah mendengar nama Potter disebut-sebut.
Dia memutuskan tidak berani saja. Sebagai gantinya dia berkata sebiasa mungkin, "Anak mereka—seumuran Dudley, kan?"
"Kayaknya sih," kata Mrs Dursley kaku.
"Siapa ya, namanya? Howard, kan?"
"Harry. Nama jelek dan kodian, menurutku."
"Oh, ya?' kata Mr Dursley hatinya mencelos. "Ya, aku setuju."
Dia tak lagi menyinggung-nyinggung masalah itu ketika mereka naik ke kamar tidur. Sementara Mrs Dursley di kamar mandi, Mr Dursley merayap ke jendela kamar dan mengintip ke halaman depan. Kucing itu masih ada. Dia sedang menatap ke jalanan, seakan menunggu sesuatu.
Apakah ini hanya khayalannya? Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan keluarga Potter? Kalau belul begitu... kalau sampai bocor bahwa mereka masih kerabat pasangan... wah, dia tak akan tahan.
Suami-istri Dursley naik ke tempat tidur. Mrs Dursley segera tertidur, tetapi Mr Dursley tidak. Dia memikirkan segala kemungkinan. Pikiran terakhir dan menenangkan sebelum dia tertidur adalah, seandainya pun keluarga Potter memang terlibat, tak ada alasan bagi mereka untuk datang ke tempat keluarga Dursley. Mereka tahu bagaimana pendapat dirinya dan Mrs Dursley mengenai mereka dan jenis mereka... Mr Durley tak melihat bagaimana dia dan Petunia bisa terlibat dengan entah apa yang sedang berlangsung ini. Dia menguap dan berbalik. Semua itu tak akan mempengaruhi mereka...
Betapa kelirunya dia.
Mr Dursley mungkin saja bisa tidur, walau tak nyenyak, tetapi kucing di atas tembok di luar sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Dia duduk diam bagai patung, matanya memandang tanpa kedip ke sudut Privet Drive di kejauhan. Ketika ada pintu mobil digabrukkan di jalan sebelah, dia tetap bergeming. Begitu juga ketika ada dua burung hantu melayang di atasnya. Kucing itu baru bergerak menjelang tengah malam.
Seorang laki-laki muncul di sudut yang diawasi si kucing.
Kemunculannya begitu mendadak dan tanpa suara, sehingga kau akan mengira dia muncul begitu saja dari dalam tanah. Ekor si kucing bergerak dan matanya menyipit.
Belum pernah ada orang semacam ini di Privet Drive. Dia tinggi, kurus, dan sudah tua sekali, kalau dilihat dari rambut dan jenggot putihnya yang cukup panjang untuk diselipkan di ikat pinggangnya. Dia memakai jubah ungu panjang yang menyapu jalan dan sepatu bot bergesper dengan hak tinggi. Matanya biru terang dan bercahaya di balik kacamatanya yang berbentuk bulan-separo dan hidungnya panjang serta bengkok, seakan sudah pernah patah paling tidak dua kali. Nama laki-laki ini Albus Dumbledore.
Albus Dumbledore tampaknya tidak menyadari bahwa dia baru saja tiba di jalan tempat segala sesuatu dari namanya sampai sepatunya tidak diinginkan. Dia sibuk memeriksa jubahnya, mencari sesuatu. Tetapi tampaknya dia sadar dia diawasi, karena mendadak saja dia mendongak memandang si kucing, yang masih memandangnya dari ujung lain jalan. Entah karena apa, melihat kucing ini dia tampak geli.
Dia berdecak dan bergumam, "Seharusnya aku tahu."
Dia sudah menemukan apa yang dicarinya di kantong sebelah dalam. Ternyata korek api perak.
Dibukanya, diangkatnya ke udara, lalu dinyalakannya.
Lampu jalan terdekat padam dengan bunyi pop pelan.
Dinyalakannya lagi, lampu berikutnya ikut padam. Dua belas kali ia menyalakan Pemadam-Lampu, sampai cahaya yang tinggal hanyalah dua sorot kecil mungil di kejauhan, yaitu mata si kucing yang meng-awasinya. Jika ada orang yang melongok keluar dari jendela sekarang, bahkan si mata-tajam Mrs Dursley Mungkin tidak akan melihat apa yang sedang terjadi di trotoar. Dumbledore menyelipkan Pemadam-Lampu ke dalam jubahnya lagi dan berjalan menuju rumah nomor empat. Setiba di sana dia duduk di sebelah si kucing. Dumbledore tidak memandangnya, tetapi setelah beberapa saat dia mengajaknya bicara.
"Tak disangka kita bertemu di sini ya, Profesor McGonagall”
Dia menoleh untuk tersenyum pada si kucing betina, tetapi kucing itu sudah tak ada. Alih-alih kucing, dia tersenyum pada wanita bertampang agak galak yang memakai kacamata persegi, persis bentuk vang melingkari mata si kucing. Wanita itu juga memakai jubah, warnanya hijau zamrud. Rambut hitamnya digelung ketat. Dia kelihatan bingung.
"Bagaimana kau bisa tahu kucing itu aku?" tanyanya.
"Profesorku, belum pernah aku melihat kucing yang duduk begitu kaku."
"Kau pun akan kaku kalau sudah duduk di tembok bata seharian," kata Profesor McGonagall.
"Seharian? Padahal seharusnya kau bisa merayakan liari gembira ini? Aku melewati paling tidak selusin pesta dan perayaan dalam perjalanan kemari."
Profesor McGonagall mendengus marah.
"Oh ya, semua merayakan," katanya tak sabar. "Kaupikir mereka akan lebih hati-hati, tetapi tidak— bahkan para Muggle pun merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Itu disiarkan di warta berita mereka." Dia mengedikkan kepalanya ke arah jendela ruang keluarga Dursley yang gelap.
"Aku mendengarnya. Rombongan burung hantu... bintang jatuh...
Nah, mereka kan tidak bego. Keanehan ini menarik perhatian mereka. Bintang jatuh di Kent—aku berani bertaruh itu Dedalus Diggle. Dari dulu dia kurang perhitungan."
"Kau tak bisa menyalahkan mereka," kata Dumbledore lembut. "Tak ada yang benar-benar bisa kita rayakan selama sebelas tahun ini."
"Aku tahu," kata Profesor McGonagall jengkel. "Tapi itu bukan alasan bagi kita untuk lupa diri. Orang- orang ceroboh sekali, berkeliaran di jalan di siang bolong, bahkan tidak memakai pakaian Muggle, bertukar gosip."
Dia melirik tajam Dumbledore, seakan berharap Dumbledore akan memberitahunya sesuatu, tetapi ternyata tidak, maka dia meneruskan, "Bagus sekali jika pada hari Kau-Tahu-Siapa akhirnya menghilang, bangsa Muggle akhirnya juga tahu tentang kita. Kira-kira dia betul sudah pergi, Dumbledore?"
"Kelihatannya begitu," kata Dumbledore. "Banyak yang harus kita syukuri. Kau mau permen jeruk?"
"Apa?"
"Permen jeruk. Permen Muggle yang kusukai."
"Tidak, terima..” kata Profesor McGonagall dingin, seakan menurut dia ini bukan saatnya untuk makan permen jeruk.
"Seperti kukatakan, bahkan jika ‘Kau-Tahu-Siapa’ sudah pergi..."
"Profesorku yang baik, tentunya orang bijaksana seperti kau bisa menyebut namanya? Segala omong-kosong 'Kau-Tahu-Siapa'—selama sebelas tahun aku sudah berusaha membujuk orang-orang agar menyebutnya dengan namanya yang sebenarnya: Voldemort." Profesor McGonagall berjengit, tetapi Dumbledore, yang sedang membuka bungkus dua permen jeruk, kelihatannya tidak tahu. "Jadi sangat membingungkan jika kita selalu berkata 'Kau-Tahu-Siapa'. Aku tak melihat alasan kita harus takut menyebut nama Voldemort."
"Aku tahu," kata Profesor McGonagall, kedengarannya setengah putus asa, setengah kagum. "Tetapi kau lain. Semua tahu kau satu-satunya yang ditakuti si Kau-Tahu—oh, baiklah, Voldemort."
“Kau membuatku tersanjung," jawab Dumbledore tenang.
"Voldemort memiliki kekuatan yang tak akan pernah kumiliki."
"Hanya karena kau terlalu—yah, mulia untuk menggunakannya."
"Untung sekarang gelap. Belum pernah mukaku semerah ini sejak Madam Pomfrey mengatakan dia menyukai tutup telingaku yang baru."
Profesor McGonagall memandang tajam Dumbledore dan berkata, "Burung-burung hantu itu bukan apa-apa dibanding dengan kabar burung yang tersebar. Kau tahu apa yang dikatakan semua orang? Tentang alasan kenapa dia menghilang?
Tentang apa yang akhirnya menghentikannya?"
Kelihatannya Profesor McGonagall telah mencapai pokok masalah yang ingin sekali didiskusikannya, alasan kenapa dia duduk menunggu di atas tembok keras dingin sepanjang hari, karena tidak sebagai kucing ataupun sebagai perempuan dia pernah memandang Dumbledore setajam sekarang. Jelas bahwa apa pun yang dikatakan "semua orang", tak akan dipercayainya sampai Dumbledore mengadakan kepadanya bahwa itu benar.
Tapi Dumbledore malah memilih permen jeruk yang lain dan tidak menjawab.
"Apa yang mereka katakan," dia meneruskan, "adalah bahwa tadi malam Voldemort muncul di Godric's Hollow. Dia datang mencari keluarga Potter. Menurut gosip, Lily dan James Potter sudah—sudah—mereka sudah meninggal."
Dumbledore menundukkan kepalanya. Profesor McGonagall memekik kaget.
"Lily dan James... tak bisa kupercaya... aku tak mau percaya... Oh, Albus..."
Dumbledore mengulurkan tangan dan membelai bahu Profesor McGonagall. "Aku tahu... aku tahu...," katanya sedih.
Suara Profesor McGonagall bergetar ketika dia meneruskan,
"Itu belum semua. Kata mereka dia mencoba membunuh anak keluarga Potter, Harry. Tetapi— dia tidak bisa. Dia tidak berhasil membunuh anak kecil itu. Tak ada yang tahu kenapa atau bagaimana, tetapi mereka bilang, bahwa ketika dia gagal membunuh Harry Potter, kekuatan Voldemort punah— dan itulah sebabnya dia menghilang."

Dumbledore mengangguk tanpa bicara.
"Jadi—jadi betul?" Profesor McGonagall tergagap. "Setelah semua yang dilakukannya... semua orang yang telah dibunuhnya... dia tak bisa membunuh anak yang boleh dikatakan masih bayi? Sungguh mengherankan... mengingat segala upaya untuk menghentikan sepak terjangnya... tetapi bagaimana mungkin Harry bisa bertahan?”
"Kita cuma bisa menduga," kata Dumbledore. "Kita mungkin tak akan pernah tahu."
Profesor McGonagall menarik sehelai saputangan sutra dan mengusap mata di balik kacamatanya. Dumbledore menyedot hidung keras sambil mengambil jam emas dari dalam sakunya dan memandangnya. Jam itu sudah sangat tua. Jarumnya ada dua belas, tetapi tidak ada angkanya. Sebagai gantinya, planet-planct kecil bergerak mengitari tepinya. Tapi Dumbledore pasti bisa mengartikannya, karena dia mengembalikan jam itu ke sakunya dan berkata, “Hagrid terlambat. Kurasa dia yang memberitahumu bahwa aku akan ada di sini, kan?"
"Ya," jawab Profesor McGonagall. "Dan kurasa kau lulak akan memberitahuku kenapa kau sampai berada disini"
"Aku datang untuk mengantar Harry kepada bibi dan pamannya. Hanya merekalah keluarganya yang tinggal sekarang."
"Kau tidak—yang kaumaksudkan tak mungkin urang-orang yang tinggal di sini?" seru Profesor McGonagall seraya melompat berdiri dan menunjuk rumah nomor empat.
"Dumbledore—jangan.
Aku sudah mengamati mereka sepanjang hari. Takkan bisa kautemukan dua orang yang sangat berbeda dari kita seperti mereka. Dan mereka punya anak— kulihat anak ini menendang-nendang ibunya sepanjang jalan ini, menjerit-jerit minta permen. Harry Potter akan tinggal di sini?”
"Ini tempat paling baik untuknya," kata Dumbledore tegas.
"Bibi dan pamannya akan bisa menjelaskan segalanya kepadanya kalau dia sudah lebih besar. Aku sudah menulis surat kepada mereka."
"Surat?" Profesor McGonagall mengulangi dengan lesu, kembali duduk di atas tembok. "Astaga, Dumbledore, kaupikir kau bisa menjelaskan semua ini dalam surat? Orang-orang ini tak akan pernah memahami Harry! Dia akan jadi orang terkenal— jadi legenda—aku tak akan heran jika di masa depan nanti, hari ini akan dijadikan Hari Harry Potter— akan ada buku-buku tentang Harry yang ditulis— semua anak di dunia kita akan mengenal namanya!"
"Justru itu," kata Dumbledore, memandang dengan sangat serius di atas lensa kacamatanya yang berbentuk bulan-separo.
"Semua itu bisa membuat sombong anak mana pun. Sudah terkenal sebelum dia bisa berjalan dan bicara! Terkenal gara-gara sesuatu yang ingat pun dia tidak! Tak bisakah kaulihat, akan jauh lebih baik baginya jika dia dibesarkan jauh dari semua itu, sampai dia sudah siap menerimanya."
Profesor McGonagall membuka mulut, berubah pikiran, menelan ludah, dan kemudian berkata, "Ya— ya, kau benar, tentu saja. Tetapi bagaimana anak itu bisa tiba di sini, Dumbledore?" Mendadak diamatinya jubah Dumbledore, seakan dia mengira Dumbledore mungkin saja menyembunyikan anak itu di balik jubahnya.
“Hagrid yang akan mengantarnya."
“Kau pikir—bijaksana mempercayakan hal sepenting ini kepada Hagrid?"
"Aku akan mempercayakan hidupku kepada Hagrid," kata Dumbledore.
"Aku tidak bermaksud mengatakan hatinya tidak beradaa di tempatnya yang benar," kata Profesor McGonagall menggerundel, "tetapi kau tak bisa berpura-pura tak tahu dia ceroboh. Dia kan cenderung...apa itu?"
Derum rendah memecah kesunyian di sekitar mereka. Derum itu makin lama makin keras sementara mereka memandang ke ujung jalan, mencari-cari lampu kendaraan. Bunyi itu membesar seperti raungan sementara mereka berdua mendongak ke langit—dan sebuah motor luar biasa besar jatuh dari angkasa, mendarat di jalan di depan mereka.
Sepeda motor besar itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan laki-laki yang duduk di atasnya, tingginya nyaris dua kali laki-laki dewasa dan lima kali lebih lebar.
Besarnya sungguh kelewatan, dan diaa begitu liar—rambut panjangnya yang hitam dan lebat kusut dan jenggotnya yang juga lebat menyem- bunyikan sebagian besar wajahnya.
Tangannya sebesar tutup tempat sampah dan kakinya yang memakai sepatu bot kulit seperti lumba-lumba kecil. Lengannya yang besar dan berotot memeluk bungkusan selimut.
"Hagrid," kata Dumbledore lega. "Akhirnya. Dan dari mana kaudapat sepeda motor itu?"
"Pinjam, Profesor Dumbledore” jawab si raksasa, sambil turun dengan hati-hati dari motor itu. "Sirius Black muda pinjamkan padaku. Aku dapat dia, Sir."
"Tidak ada kesulitan, kan?"
"Tidak, Sir—rumah nyaris hancur, tapi aku berhasil ambil dia sebelum para Muggle berdatangan. Dia tertidur ketika kami terbang melewati Bristol."
Dumbledore dan Profesor McGonagall membungkuk ke arah bungkusan selimut. Di dalamnya ada seorang bayi laki-laki, tertidur nyenyak. Di balik sejumput rambut hitam pekat di atas dahinya mereka bisa melihat luka berbentuk aneh," seperti sambaran kilat.
"Itukah...?" bisik Profesor McGonagall.
"Ya," kata Dumbledore. "Bekas lukanya tak akan hilang selamanya."
"Tak bisakah kau melakukan sesuatu, Dumbledore?"
"Kalaupun bisa, aku tak mau. Bekas luka kadang-kadang ada gunanya. Aku sendiri punya bekas luka di atas lutut kiri yang berupa peta jalur kereta api bawah tanah London. Nah, berikan anak itu, Hagrid. Lebih baik segera kita bereskan."
Dumbledore menggendong Harry dan berbalik menuju rumah keluarga Dursley.
"Bolehkah—bolehkah aku ucapkan selamat tinggal padanya, Sir?" tanya Hagrid.
Dia menundukkan kepalanya yang besar berambut lebat dan memberi si bayi kecupan yang pastilah membuat gatal gara-gara gesekan kumisnya. Kemudian mendadak Hagrid melolong seperti anjing yang terluka.
"Shhh!" desah Profesor McGonagall. "Kau akan membangunkan para Muggle!"
“Maaf-maaf," isak Hagrid, seraya mengeluarkan saputangan besar berbintik-bintik dan membenamkan wajahnya di dalamnya. "Tapi aku t-t-tak tahan—Lily dan James meninggal— dan kasihan Harry harus tinggal dengan Muggle..."
"Ya, ya, memang sangat menyedihkan, tetapi kendalikan dirimu, Hagrid. Kalau tidak, kita bisa ketahuan," bisik Profesor McGonagall sambil membelai-belai lengan Hagrid dengan amat hati-hati, sementara Dumbledore melangkahi tembok halaman yang rendah dan berjalan ke pintu depan. Dengan hati-hati di baringkannya Harry di depan pintu. Diambilnya sehelai surat dari dalam jubahnya dan diselipkannya di balik selimut Harry.
Setelah itu dia kembali bergabung dengan dua orang lainnya.
Selama semenit penuh ketiganya memandang bungkusan kecil itu. Bahu Hagrid berguncang, Profesor McGonagall berkali-kali mengejapkan matanya, dan kilat yang biasanya ada di mata Dumbledore seakan telah padam.
"Nah," kata Dumbledore akhirnya, "begitulah. Tak ada gunanya lagi kita tinggal di sini. Lebih baik kita pergi dan ikut perayaan."
"Yeah," kata Hagrid sengau. "Aku akan kembalikan motor Sirius. Malam, Profesor McGonagall... Profesor Dumbledore."
Sambil menyeka air matanya yang mengucur terus dengan lengan jaketnya, Hagrid melompat ke atas motornya dan menstarternya. Diiringi deruman, motor itu terangkat ke angkasa dan meluncur dalam kegelapan malam.
"Kita akan segera bertemu lagi, Profesor McGonagall," kata Dumbledore sambil mengangguk kepadanya. Sebagai jawaban, Profesor McGonagall membuang ingus.
Dumbledore berbalik dan berjalan pergi. Di sudut dia berhenti dan mengeluarkan Pemadam-Lampu peraknya.
Dijetreknya sekali, dan dua belas bola cahaya serentak meluncur menuju lampu-lampu jalanan, sehingga Privet Drive mendadak terang dan dia bisa melihat seekor kucing betina menyelinap ke sudut di ujung jalan lainnya. Dia juga masih bisa melihat bungkusan selimut di depan pintu rumah nomor empat.
"Semoga semua baik, Harry," gumamnya. Dia memutar tumitnya dan dengan kebutan jubahnya, dia lenyap.
Angin sepoi meniup pagar-pagar tanaman di Privet Drive yang rapi, yang berjajar diam dan teratur dibawah langit yang kelam. Di tempat setenang ini tidak akan pernah kusangka akan terjadi hal -hal menakjubkan. Harry Potter berguling dalam selimutnya tanpa terbangun. Dengan salah satu tangan kecilnya memegang surat yang ada disampingnya, dia tidur terus. Tanpa menyadari kalau dia istimewa, tanpa menyadari kalau dia terkenal, tanpa menyadari bahwa beberapa jam lagi dia akan terbangun mendengar jeritan Mrs Dursley saat membuka pintu depan untuk menaruh botol-botol susu, atau dia akan melewatkan beberapa minggu mendatang didorong-dorong dan dicubiti sepupunya, Dudley.... Dia tak mungkin tahu bahwa di seluruh negeri, semua mengangkat gelas dan berkata dengan suara pelan, "Untuk Harry Potter—anak laki-laki yang bertahan hidup!"

2. Kaca Yang Lenyap

Sudah Hampir sepuluh tahun berlalu sejak suami-istri Dursley terbangun dan menemukan keponakan mereka di depan pintu, tetapi Privet Drive hampir tak berubah. Matahari terbit menyinari halaman-halaman depan yang rapi dan membuat berkilau angka empat dari kuningan di pintu depan rumah keluarga Dursley. Sinar matahari merayap ke dalam ruang keluarga mereka, yang masih nyaris sama dengan pada malama Mr Dursley menonton berita penting tentang burung-burung hantu dahulu. Sepuluh tahun yang lalu, ada banyak foto anak yang tampak seperti bola pantai besar merah jambu memakai topi yang warnanya berbeda-beda. Tetapi sekarang Dudley Dursley sudah bukan bayi lagi, dan sekarang foto-foto itu menunjukkan anak gemuk berambut pirang menaiki sepeda roda tiga pertamanya, naik komidi putar, bermain komputer dengan ayahnya, dipeluk dan dicium ibunya. Dalam ruangan itu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada anak lain yang tinggal dirumah itu.
Padahal Harry Potter masih di situ, saat ini sedang tidur, tapi tak akan lama lagi. B ibinya, Petunia, sudah bangun, dan suara nyaringnyalah yang pertama memecah kesunyian pagi itu.
"Bangun! Bangun! Cepat!"
Harry terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintu lagi.
"Banguuun!" lengkingnya. Harry mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang dielakkan di atas kompor.
Harry berguling telentang lagi dan berusaha mengingat-ingat mimpinya yang terputus tadi. Mimpinya menyenangkan. Ada motor terbang. Dia merasa dia pernah mimpi yang sama sebelumnya.
Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
"Kau sudah bangun belum?" tuntutnya.
"Hampir," jawab Harry.
"Ayo, cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging asap.
Jangan sampai gosong. Aku ingin segalanya sempurna pada hari ulang tahun Dudley."
Harry mengeluh.
"Apa katamu?"
"Tidak, tidak apa-apa..."
Diulang tahun Dudley—bagaimana mungkin dia bisa lupa?
Dengan enggan Harry turun dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya, dipakainya kaus kaki itu. Harry sudah terbiasa dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di situlah dia tidur.
Setelah berpakaian, dia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan hadiah untuk Dudley.
Tampaknya Dudley mendapatkan komputer baru yang diinginkannya, belum lagi televisi baru, dan sepeda balap.
Kenapa persisnya Dudley ingin scpeda balap, sungguh suatu misteri bagi Harry, karena Dudley gemuk dan benci olahraga—
kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju orang lain. Kantong-tinju favorit Dudley adalah Harry, tetapi Dudley jarang berhasil mengenainya. Harry memang tidak kelihatan gesit, tetapi dia gesit sekali.
Mungkin ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Harry termasuk kecil dan kurus untuk umurnya. Dia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Dudley, dan Dudley empat kali lebih besar daripadanya. Harry berwajah kurus, lututnya menonjol, rambutnya hitam, dan matanya hijau cemerlang. Dia memakai kacamata bulat yang bingkainya dilekat dengan banyak selotip karena seringnya Dudley memukul hidungnya. Satu- satunya yang disukai Harry pada penampilannya adalah bekas luka tipis pada dahinya yang berbentuk sambaran kilat. Sejauh yang dia ingat, dari dulu bekas luka itu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya dia tanyakan kepada Bibi Petunia adalah bagaimana dia mendapatkan bekas luka itu.
"Dalam kecelakaan waktu orangtuamu meninggal," katanya.
"Dan jangan tanya-tanya lagi."
Jangan tanya-tanya—itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Dursley.
Paman Vernon masuk dapur ketika Harry sedang membalik daging.
'Sisir rambutmu!" perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali seminggu, Paman Vernon memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Harry harus potong rambut.
Harry pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding seluruh teman sekelasnya sekligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja tumbuh begitu—berantakan.
Harry sedang menggoreng telur ketika Dudley muncul di dapur dengan ibunya. Dudley mirip sekali dengan Paman Vernon. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek,
matanya kecil, biru, berair. Rambutnya yang tebal pirang menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Petunia sering mengatakan bahwa Dudley kelihatan seperti bayi malaikat,
'sedangkan Harry sering mengatakan Dudley seperti babi pakai wig.
Harry menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris tak ada tempat. Dudley, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung cemberut.
"Tiga puluh enam," katanya sambil memandang ayah dan ibunya. "Kurang dua dibanding tahun lalu."
'Sayang, kau belum menghitung hadiah Bibi Marge, lihat, ini dia di bawah hadiah dari Mummy dan Daddy."
"Baik, tiga puluh tujuh, kalau begitu," kata Dudley, yang wajahnya sudah merah. Harry yang sudah bisa menduga kemarahan Dudley akan meledak, cepat-cepat mengunyah dagingnya. Siapa tahu Dudley akan menjungkirkan meja.
Bibi Petunia rupanya menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata, "Dan kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti.
Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?"
Sejenak Dudley berpikir. Kelihatannya susah baginya.
Akhirnya dia berkata pelan-pelan, "Jadi aku akan punya tiga puluh... tiga puluh..."
"Tiga puluh sembilan, anak pintar," kata Bibi Petunia.
"Oh." Dudley duduk dengan keras dan menjangkau bungkusan terdekat. "Baiklah."
Paman Vernon tertawa.
"Si kecil ini tak mau rugi, persis ayahnya. Pintar kau, Dudley!" Ia mengacak rambut Dudley.
Saat itu telepon berdering dan Bibi Petunia menjawabnya sementara Harry dan Paman Vernon menonton Dudley membuka sepeda balap, kamera, pesawat terbang mainan yang dikendalikan remote control, enam belas permainan komputer, dan perekam video. Dia sedang merobek kertas pembungkus arloji emas ketika Bibi Petunia muncul kembali dengan wajah marah dan cemas.
"Kabar buruk, Vernon," katanya. "Mrs Figg kakinya patah.
Jadi tak bisa dititipi dia." Dia mengedikkan kepala ke arah Harry.
Mulut Dudley melongo ngeri, tetapi Harry senang. Setiap tahun, pada hari ulang tahun Dudley, orangtuanya mengajak Dudley dan seorang temannya jalan-jalan, ke taman hiburan, kios hamburger, atau menonton bioskop. Harry ditinggal, dititipkan pada Mrs Figg, wanita tua aneh yang tinggal dua jalan dari Pivet Drive. Harry benci tinggal di sana. Seluruh rumahnya bau kol dan Mrs Figg memaksanya melihat foto-foto semua kucing yang pernah dimilikinya.
"Jadi bagaimana?" kata Bibi Petunia, memandang Harry dengan berang, seakan Harry yang merencanakan sakitnya Mrs Figg. Harry tahu dia seharusnya kasihan Mrs Figg kakinya patah, tetapi dia mengingatkan dirinya bahwa baru setahun lagi dia harus melihat foto Tibbles, Snowy, Mr Paws, dan Tufty.
"Kita bisa menelepon Marge," Paman Vernon menyarankan.
"Jangan ngaco, Vernon, dia kan benci anak itu."
Keluarga Dursley sering membicarakan Harry seperti inj seakan anak ini tidak ada, atau lebih tepat lagi, seakan dia sesuatu yang sangat menjijikkan, seperti bekicot.
"Bagaimana kalau siapa-namanya-tuh, temanmu— Yvonne?"
"Sedang, berlibur di Majorca," tukas Bibi Petunia.
"Kalian bisa meninggalkan aku di sini," Harry mengusulkan penuh harap (dia akan bisa menonton acara yang disukainya di televisi dan mungkin bahkan mencoba komputer Dudley).
Bibi Petunia kelihatan seperti tersedak telur.
"Dan kalau kami pulang nanti rumah sudah han-cur?" geramnya.
"Aku tak akan meledakkan rumah," kata Harry, tetapi mereka tidak memedulikannya.
"Kurasa kita bisa membawanya ke kebun binatang," kata Bibi Petunia pelan, "... dan meninggalkannya di mobil..."
"Mobil kita baru, dia tak boleh duduk sendirian..." Dudley mulai menangis rneraung-raung. Sebetulnya sih dia tidak betul-betul menangis. Sudah bertahun-tahun dia tidak menangis.
Tetapi dia tahu bahwa kalau dia mengerutkan mukanya dan meraung, ibunya akan mengabulkan semua yang diinginkannya.
"Dinky Duddydums, jangan menangis, Mummy tak akan membiarkannya merusak hari istimewamu!" Bibi Petunia berseru sambil memeluk Dudley.
"Aku... tak... mau... dia... i-i-ikut!" Dudley menjerit di antara isak pura-puranya. "Dia se-selalu merusak acara!" Dia menyeringai jahat ke arah Harry dari celah lengan ibunya.
Saat itu bel pintu berbunyi. "Ya ampun, mereka sudah datang!" kata Bibi Petunia panik—dan sekejap kemudian sahabat Dudley, Piers Polkiss, masuk bersama ibunya. Piers anak kurus dengan wajah seperti tikus. Dia biasanya yang memegangi lengan anak-anak di belakang punggung, sementara Dudley memukuli mereka. Dudley langsung berhenti berpura-pura menangis.
Setengah jam kemudian, Harry yang tak mempercayai keberuntungannya, duduk di jok belakang mobil bersama Piers dan Dudley, menuju ke kebun binatang untuk pertama kali dalam hidupnya. Paman dan bibinya tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, tetapi sebelum mereka berangkat, Paman Vernon mengajaknya bicara.
"Kuperingatkan kau," katanya, wajahnya yang lebar keunguan dekat sekali dengan wajah Harry. "Kuperingatkan kau sekarang—kalau kau melakukan yang aneh-aneh sedikit saja—
kau akan dikurung di lemari itu sampai Natal."
"Aku tidak akan melakukan apa-apa," kata Harry, sungguh..."
Tetapi Paman Vernon tidak percaya. Yang lain pun tidak.
Susahnya, hal-hal aneh sering terjadi di sekitar Harry dan tak ada gunanya memberitahu keluarga Dursley bahwa bukan dia yang menyebabkan hal-hal itu terjadi.
Pernah Bibi Petunia yang sudah sebal melihat Harry pulang dari tukang cukur tetapi rambutnya kelihatan sama saja, mengambil gunting dapur dan memotong rambut Harry sampai pendek nyaris gundul, kecuali poninya yang sengaja tidak dipotongnya untuk "menyembunyikan bekas luka yang mengerikan". Dudley terbahak-bahak menertawakan Harry.
Sedangkan Harry sendiri semalaman tak bisa tidur, membayangkan bagaimana di sekolah keesokan harinya. Dia sudah selalu ditertawakan gara-gara pakaian yang kebesaran dan kacamatanya yang dilekat dengan selotip. Tapi paginya, ternyata rambutnya sudah persis lagi dengan sebelum Bibi Petunia mencukurnya. Dia dikurung selama seminggu dalam lemarinya gara-gara ini, walaupun dia sudah mencoba menerangkan bahwa dia tidak bisa menjelaskan bagaimana rambutnya bisa tumbuh kembali secepat itu.
Pada kesempatan lain, Bibi Petunia memaksanya memakai sweter tua Dudley yang menjijikkan (cokelat dengan bulatan-bulatan hitam). Semakin Bibi Petunia memaksa menariknya melewati kepala Harry, sweter itu semakin mengecil, sampai akhirnya cuma seukuran baju boneka tangan, dan jelas tak akan cukup dipakai Harry. Bibi Petunia memutuskan pastilah sweter itu mengerut ketika dicuci. Dan betapa leganya Harry,! dia tidak dihukum karena ini.
Tetapi sebaliknya, dia mendapat kesulitan besar gara-gara ditemukan di atap dapur sekolah. Seperti biasa geng Dudley mengejar-ngejarnya, dan Harryl sama kagetnya dengan yang lain ketika tiba-tiba saja dia sudah duduk di atas cerobong asap.
Mr dan Mrs Dursley menerima surat dari Ibu Kepala Sekolah yang sangat marah, karena Harry telah memanjat-manjat bangunan sekolah. Tetapi sebetulnya yang dilakukannya hanyalah (seperti diteriakkannya kepada Paman Vernon dari dalam lemarinya yang terkunci) melompati ke belakang tempat sampah besar di luar pintu dapur. Harry menduga pastilah saat melompat itu dia terbawa angin ke atas.
Tetapi hari ini semua akan berjalan mulus. Bahkan duduk bersama Dudley dan Piers pun diterimanya, asal dia bisa melewatkan hari bukan di sekolah, di dalam lemarinya, atau di ruang tamu Mrs Figg yang bau kol.
Sementara mengemudi, Paman Vernon mengeluh kepada Bibi Petunia. Hobinya memang mengeluh, orang-orang di kantornya, Harry, para wakil rakyat, Harry, bank, dan Harry hanya beberapa saja dari topik favoritnya. Hari ini sepeda motor.
“….ngebut seperti orang gila, preman-preman kurang kerjaan," komentarnya ketika ada motor yang menyalip mereka.
“Aku pernah mimpi tentang motor," kata Harry yang tibatiba ingat mimpinya. "Motornya terbang."
Paman Vernon nyaris menabrak mobil di depannya. Dia berbalik di tempat duduknya dan berteriak kepada Harry, wajahnya seperti bit raksasa yang berkumis. "MOTOR TIDAK TERBANG!" Dudley dan Piers cekikikan.
“Aku tahu motor tidak terbang," kata Harry. "Itukan cuma mimpi."
Tetapi Harry menyesal sudah ngomong. Kalau ada hal lain yang dibenci keluarga Dursley, itu adalah jika Harry menyebut-nyebut sesuatu yang tidak semestinya terjadi, tak peduli peristiwa itu cuma dalam mimpi atau bahkan film kartun.
Rupanya mereka berpendapat ide-ide Harry berbahaya.
Hari Sabtu itu cerah sekali dan kebun binatang penuh dikunjungi keluarga-keluarga. Mr dan Mrs Dursley membelikan Dudley dan Piers es krim cokelat besar di pintu masuk, dan karena si gadis penuh senyum di mobil es krim itu sudah telanjur menanyai Harry dia ingin es krim apa sebelum mereka sempat mengajak Harry pergi, mereka membelikannya es loli lemon yang murah. Cukup enak juga, pikir Harry yang menjilati es lolinya sembari menonton gorila yang menggaruk-garuk kepalanya dan bertampang mirip Dudley, hanya saja rambutnya tidak pirang.
Belum pernah Harry segembira ini. Dia berhati- hati, berjalan agak jauh dari keluarga Dursley, agar Dudley dan Piers, yang menjelang makan siang sudah mulai bosan dengan binatang-binatang, tidak kembali melakukan hobi favorit mereka, yaitu memukulinya. Mereka makan di restoran kebun binatang dan ketika Dudley marah-marah karena es krimnya kurang besar, Paman Vernon membelikannya porsi yang lebih besar dan Harry diizinkan menghabiskan pesanan pertamanya.
Harry belakangan merasa, bahwa seharusnya dia tahu, hal menyenangkan seperti ini tak mungkin berlangsung terus.
Setelah makan siang mereka mengunjungi rumah reptil. Di dalam rumah reptil sejuk dan gelap, dengan jendela-jendela berlampu di sepanjang dindingnya. Di balik kaca, berjenis-jenis kadal dan ular merayap dan melata di atas potongan-potongan kayu dan batu. Dudley dan Piers ingin melihat kobra besar beracun dan sanca raksasa yang bisa meremuk manusia. Dudley segera menemukan ular terbesar di tempat itu. Ular itu bisa membelitkan tubuhnya dua kali ke mobil Paman Vernon dan meremuknya seperti kaleng kerupuk—tetapi saat ini kelihatannya dia sedang malas. Sebetulnya, dia malah sedang tidur nyenyak.
Dudley berdiri dengan hidung menempel di kaca,
memandang gulungan cokelat berkilat itu.
"Suruh dia bergerak," rengeknya pada ayahnya. Paman Vernon mengetuk kaca, tetapi si ular diam saja.
"Ketuk lagi," Dudley menyuruh. Paman Vernon mengetuk keras dengan buku-buku jarinya, tetapi si ular tetap saja tidur.
"Sungguh membosankan," keluh Dudley. Dia pergi.
Harry ganti bergerak ke dekat kaca dan memandang si ular lekat-lekat. Dia tak akan heran kalau si ular mati karena bosannya. Tak ada teman selain orang-orang bodoh yang mengetuk-ngetuk kaca, mencoba mengganggunya sepanjang hari. Ini lebih parah daripada menggunakan lemari sebagai kamar tidur, dengan satu-satunya pengunjung adalah Bibi Petunia yang menggedor-gedor pintu untuk membangunkannya—paling tidak dia kan bisa ke bagian rumah yang lain.
Ular itu tiba-tiba membuka matanya yang seperti manik-manik. Pelan, sangat pelan, ia mengangkat kepalanya sampai matanya sejajar dengan mata Harry.
Mata itu mengedip.
Harry terbelalak. Kemudian dia cepat-cepat memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang melihat. Ternyata memang tak ada. Dia kembali memandang si ular dan balas mengedip juga.
Si ular mengedikkan kepala ke arah Paman Vernon dan Dudley, kemudian mendongak ke langit-langit. Pandangannya kepada Harry seakan jelas berkata, ‘Sepanjang waktu memang seperti itu."
"Aku tahu," gumam Harry lewat kaca, meskipun Dia tak yakin si ular bisa mendengarnya.
"Pastilah ?..ingat menyebalkan."
Si ular mengangguk-angguk bersemangat.
"Kau berasal dari mana sih?" tanya Harry.
Ular itu menggerakkan ekornya ke arah papan kecil di sebelah kaca. Harry membaca tulisannya.
Boa Pembelit, Brasil.
"Enakkah di sana?"
Si boa pembelit menunjuk dengan ekornya ke papan lagi dan Harry meneruskan membaca: Ular yang ada di sini dikembangbiakkan di kebun binatang. "Oh, begitu— jadi, kau belum pernah ke Brasil?"
Saat si ular menggelengkan kepala teriakan memekakkan telinga di belakang Harry membuat mereka berdua terlonjak.
"DUDLEY! MR DURSLEY! SINI LIHAT, ULARNYA MENGGELENG-GELENG! KALIAN TAK AKAN PERCAYA!
Dudley datang tergopoh-gopoh.
"Minggir kau,"katanya sambil meninju dada Harry. Karena tak menyangka akan diserang, Harry tejatuh di lantai beton. Apa yang terjadi berikutnya berlangsung begitu cepat sehingga tak ada yang melihat bagaimana terjadinya. Sesaat setelah Piers dan Dudley berdiri menempel di kaca, detik berikutnya mereka melompat mundur sambil memekik ngeri.
Harry duduk terngaga: kaca bagian depan kandang si ular telah lenyap. Ular raksasa itu membuka gulungan tubuhnya dengan cepat, meluncur di lantai. Para pengunjung rumah reptil menjerit-jerit panik dan berlarian ke pintu keluar.
Saat si ular meluncur cepat melewatinya, Harry bersedia bersumpah dia mendengar suara desis pelan berkata, "Brasil, aku datang segera... Trimsss, Amigo."
Si penjaga rumah reptil shock dan bengong.
"Tapi kacanya," katanya terus-menerus, "ke mana kacanya?"
Direktur kebun binatang sendiri yang membuatkan secangkir teh kental manis untuk Bibi Petunia sambil tak henti-hentinya minta maaf. Piers dan Dudley cuma bisa merepet. Sejauh yang Harry lihat, ular itu tidak melakukan apa-apa, kecuali dengan main-main mengatup-ngatupkan mulutnya di dekat tumit Dudley dan Piers saat dia lewat. Tetapi ketika mereka sudah kembali ke mobil Paman Vernon, Dudley bercerita bagaimana si ular nyaris menggigit kakinya sampai putus, sementara Piers bersumpah si ular mencoba membelitnya sampai mati. Tetapi yang paling parah, paling tidak bagi Harry, adalah Piers sudah cukup tenang untuk berkata, "Harry tadi bicara dengan ular itu.
Iya, kan, Harry?"
Paman Vernon menunggu sampai Piers meninggalkan rumah mereka, sebelum dia mulai mencecar Harry. Paman Vernon marah sekali, sampai nyaris tak bisa bica ra. Dia hanya bisa bilang, "Pergi—lemari—tinggal sana— tidak makan," sebelum dia terhenyak di kursi dan Bibi Petunia cepat-cepat lari mengambilkannya segelas besar brandy.
***
Lama kemudian Harry masih berbaring di dalam lemarinya yang gelap, ingin sekali rasanya punya arloji. Dia sama sekali tak tahu jam berapa sekarang dan dia juga tidak yakin keluarga Dursley sudah tidur. Sebelum mereka tidur; riskan sekali jika dia keluar dan mengendap-endap ke dapur untuk mengambil makanan.
Dia telah tinggal bersama keluarga Dursley selama sepuluh tahun, sepuluh tahun penuh penderitaan. Sejauh yang dia ingat, sejak dia masih bayi dan orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Kadang-kadang, jika dia mengingat-ingat dengan keras selama jam-jam panjang membosankan di dalam lemarinya, muncul dalam ingatannya pemandangan yang aneh: kilat cahaya hijau menyilaukan dan rasa sakit yang panas di dahinya. Dia menganggap ini pastilah saat tabrakan terjadi, walaupun dia tak bisa membayangkan dari mana cahaya hijau itu muncul. Dia sama sekali tidak bisa mengingat orangtuanya.
Paman dan bibinya tidak pernah bicara tentang mereka, dan tentu saja dia dilarang mengajukan pertanyaan. Tak ada foto orangtuanya di rumah keluarga Dursley.
Waktu dia masih lebih kecil, Harry sering mengkhayalkan ada keluarga tak dikenal yang datang untuk membawanya pergi, tetapi ini tak pernah terjadi. Keluarga Dursley adalah satusatunya keluarganya. Meskipun demikian kadang-kadang dia mengira (atau berharap) orang orang asing di jalan mengenalnya.
Dan mereka juga orang-orang asing yang sangat aneh. Pernah seorang laki-laki kecil memakai topi ungu membungkuk kepadanya ketika dia sedang berbelanja dengan Bibi Petunia dan Dudley. Setelah dengan marah menanyai Harry apakah dia kenal orang itu, Bibi Petunia buru-buru menggiring mereka keluar dari toko itu tanpa membeli apa pun.
Seorang wanita tua bertampang liar dan berdandan serba-hijau melambai dengan riang kepadanya dari bus. Seorang laki-laki botak memakai mantel panjang ungu bahkan menjabat tangannya di jalan kemarin dulu dan kemudian pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Yang paling aneh tentang orang-orang ini adalah, nampaknya mereka langsung lenyap begitu Harry ingin melihat lebih jelas.
Di sekolah, Harry tak punya teman. Semua anak tahu bahwa geng Dudley membenci Harry Potter yang aneh dengan pakaian bekasnya yang kebesaran dan kacamatanya yang bingkainya patah, dan tak seorang pun berani menentang geng Dudley.
***

3. Surat Dari Entah Siapa

KABURNYA ular boa pembelit membuat Harry menerima hukuman kurungan paling lama. Saat dia diizinkan keluar lemari lagi, liburan musim panas telah mulai dan kamera baru Dudley sudah rusak, pesawat terbang mainannya sudah menabrak sesuatu dan jatuh hancur, dan pertama kali menaiki sepeda balapnya, dia menabrak jatuh Mrs Figg yang sedang menyebrang jalan raya Privet Drive dengan tongkat ketiaknya.
Harry senang sekolah libur, tetapi dia tak bisa menghidari geng Dudley yang setiap hari datang. Piers, Dennis, Malcolm, dan Gordon semuanya bertubuh besar dan bodoh, tetapi karena Dudley yang terbesar dan terbodoh, dia jadi pemimpin geng. Mereka semua senang ikut permainan yang disenangi Dudley : berburu-Harry.
Inilah sebabnya Harry melewatkan waktu sebanyak mungkin di luar rumah, berjalan-jalan dan memikirkan akhir liburan, saat dia bisa melihat secercah kecil harapan. Dengan datangnya bulan September nanti dia akan masuk SMP dan untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak akan bersekolah bersama Dudley. Dudley akan masuk sekolah paman Vernon dulu, Smeltings. Piers, Polkiss akan masuk kesana juga. Harry sebaliknya, akan bersekolah di Stonewall High, "SMP" lokal. Dudley menganggap itu sangat lucu.
"hari pertama, mereka memasukkan kepala anak-anak baru ke toilet di Stonewall," katanya pada Harry. "Mau latihan dulu diatas?"
“Tidak, terima kasih," kata Harry. "Kasihan toilet, belum pernah kemasukan benda lain yang lebih mengerikan daripada kepalamu—jangan-jangan toilet itu sekarang sedang mual."
Kemudian Harry lari, sebelum Dudley bisa mencerna ucapannya tadi.
Pada suatu hari di bulan Juli, Bibi Petunia membawa Harry ke London untuk membeli seragam Smeltings-nya. Harry dititipkan di rumah Mrs Figg. Mrs Figg tidak separah biasanya.
Ternyata kakinya patah gara-gara dia tersandung salah satu kucingnya, jadi sekarang dia tak begitu suka kucing seperti sebelumnya. Dibiarkannya Harry menonton TV dan diberinya Harry sepotong kue cokelat yang rasanya sudah tengik.
Malam itu Dudley berparade memakai seragam barunya di ruang keluarga. Murid-murid Smeltings memakai jas buntut merah tua, celana jingga selutut, dan topi jerami rata. Mereka juga membawa tongkat, yang digunakan untuk saling pukuli kalau guru mereka sedang tidak melihat. Ini diandaikan sebagai latihan bagus untuk masa depan mereka.
Ketika memandang Dudley dalam seragam barunya, Paman Vernon berkata parau bahwa ini saat paling membanggakan dalam hidupnya. Bibi Petunia menangis dan berkata dia tak percaya pemuda gagah dan tampan ini si Ickle Dudleykins.
Harry tak bisa bica ra. Dia pikir mungkin dua tulang iganya sudah retak gara-gara menahan tawa.
Dapur berbau busuk ketika Harry esok paginya turun untuk sarapan. Bau itu datangnya dari ember metal besar di tempat cuci piring. Harry melongoknya. Ember itu penuh gombal kotor yang mengapung di air berwarna abu-abu.
"Apa ini?" tanyanya kepada Bibi Petunia. Bibir Bibi Petunia langsung cemberut, seperti biasanya jika Harry berani mengajukan pertanyaan.
"Seragam sekolahmu yang baru," jawabnya.
Harry memandang ke dalam ember lagi.
"Oh," komentarnya. "Tak kusangka harus basah begitu."
"Jangan bego," tukas Bibi Petunia. "Aku sedang mencelup pakaian lama Dudley dengan wenter abu-abu untukmu. Kalau sudah selesai nanti, akan sama seperti punya yang lain."
Harry jelas meragukan ini, tetapi dia pikir lebih baik tidak membantah. Dia duduk di depan meja makan dan mencoba tidak memikirkan bagaimana penampilannya pada hari pertamanya di Stonewall High nanti—seperti memakai potongan-potongan kulit gajah tua, mungkin. Dudley dan Paman Vernon muncul, keduanya mengernyitkan hidung gara-gara bau seragam Harry yang baru. Paman Vernon seperti biasa membuka korannya dan Dudley memukul-mukulkan tongkat Smeltings-nya—yang selalu dibawanya ke mana-mana—di atas meja.
Mereka mendengar bunyi klik kotak surat dan jatuhnya suratsurat di keset.
"Ambil surat, Dudley," kata Paman Vernon dari blik korannya.
"Suruh saja Harry."
"Ambil surat, Harry."
"Suruh saja Dudley."
"Sodok dia dengan tongkat Smeltings-mu, Dudley."
Harry menghindari sodokan tongkat Smeltings dan keuar untuk mengambil surat. Ada tiga benda tergeletak di keset: kartu pos dari adik perempuan Paman Vernon, Marge, yang sedang berlibur di Pulau Wight, sebuah amplop cokelat yang kelihatannya berisi rekening tagihan, dan—surat untuk Harry.
Harry mengambil dan menatapnya, jantungnya berdentang-dentang seperti elastik besar yang dikelintingkan Tak seorang pun sepanjang hidupnya, pernah menulis surat kepadanya. Siapa yang akan menyuratinya? Dia tak punya teman, tak punya keluarga lain-dia juga bukan anggota perputakaan manapun, jadi dia bahkan belum pernah dapat surat teguran kasar untuk segera mengembalikan buku yang dipinjamnya. Tetapi ternyata, ini ada surat yang jelas-jelas ditujukan kepadanya:
Mr. H. Potter
Lemari di Bawah Tangga
Privet Drive no. 4
Little Whinging Surrey
Amplopnya tebal dan berat, terbuat dari perkamen—kulit yang digunakan sebagai pengganti kertas.
Warnanya kekuningan dan nama serta alamatnya ditulis dengan tinta hijau zamrud. Tak ada prangkonya.
Membalik amplop itu dengan tangan gemetar, Harry melihat segel ungu bergambar lambang huruf "H" besar yang dikelilingi singa, elang, musang, dan ular.
"Cepat sedikit, Harry!" teriak Paman Vernon dari dapur.
"Buat apa kau memeriksa kalau-kalau ada bom-surat?" Dia menertawakan leluconnya sendiri.
Harry kembali ke dapur, masih menatap suratnya.
Diserahkannya tagihan dan kartu pos pada Paman Vernon, lalu dia duduk dan pelan-pelan mulai membuka amplop kuningnya.
Paman Vernon merobek surat tagihan, mendengus jijik, dan membalik kartu pos.
"Marge sakit," dia memberitahu Bibi Petunia. "Makan kerang aneh..."
"Dad!" mendadak Dudley berkata. "Dad, Harry dapat apa tuh!"
Harry sedang akan membuka lipatan suratnya, yang ditulis di atas kertas perkamen tebal yang sama dengan amplopnya, ketika tiba-tiba surat itu disentakkan dari tangannya oleh Paman Vernon.
"Itu suratku!" kata Harry, berusaha merebutnya kembali.
"Siapa yang menulis padamu?" seringai Paman Vernon, sambil mengibaskan surat itu dengan satu tangan agar membuka. Dan melirik isinya. Wajahnya berubah warna dari merah ke hijau lebih cepat daripada lampu lalu lintas. Dan tidak berhenti di situ. Dalam sekejap saja wajahnya sudah putih abu-abu seperti bubur busuk.
“P-P-Petunia!" gagapnya.
Dudley berusaha merebut surat itu untuk membacanya tetapi Paman Vernon mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga jauh dari jangkauannya. Bibi Petunia mengambilnya dengan ingin tahu dan membaca kalimat pertamanya. Sesaat kelihatannya dia akan pingsan. Dia memegangi lehernya dan mengeluarkan suara seperti tercekik.
"Vernon! Oh, astaga... Vernon!"
Mereka berpandangan, tampaknya lupa bahwa Harry dan Dudley masih berada di ruangan yang sama. Dudley tidak biasa diabaikan. Diketuknya kepala ayahnya keras-keras dengan tongkat Smeltings-nya.
“Aku mau membaca surat itu," teriaknya.
"Aku mau membacanya," kata Harry marah, "karena itu suratku."
"Keluar, kalian berdua," kata Paman Vernon parau, seraya memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
Harry bergeming.
“AKU MAU SURATKU!" teriaknya.
"Sini aku lihat!" Dudley memaksa.
"KELUAR!" gerung Paman Vernon. Dicengkeramnya kerah baju Harry dan Dudley dan dicampakkannya mereka ke lorong, lalu dibantingnya pintu dapur menutup. Harry dan Dudley segera berkelahi seru, tanpa suara, memperebutkan siapa yang boleh mendengarkan lewat lubang kunci. Dudley menang, maka Harry, kacamatanya tergantung pada satu telinga, berbaring tengkurap untuk mendengarkan dari- celah antara pintu dan lantai.
"Vernon," Bibi Petunia berkata dengan suara gemetar, "lihat alamatnya. Bagaimana mungkin mereka tahu di mana dia tidur?
Apa menurutmu mereka mengawasi rumah kita?"
"Mengawasi—memata-matai—mungkin juga mem buntuti kita," gumam Paman Vernon cemas.
"Tapi apa yang harus kita lakukan, Vernon? Apakah sebaiknya kita balas? Kita katakan bahwa kita tak ingin..."
Harry bisa melihat sepatu Paman Vernon yang hitam mengilap mondar-mandir di dapur.
"Tidak," katanya akhirnya. "Tidak, kita abaikan saja Jika mereka tidak mendapat balasan... ya, itu yang paling baik... kita tak akan melakukan apa-apa..."
"Tetapi..."
"Aku tak mau dengar, Petunia! Bukankah kita sudah bersumpah waktu mengambilnya bahwa kita akan membasmi omong kosong yang berbahaya itu?"
***
Sore itu sepulang kerja, Paman Vernon melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Dia mengunjungi Harry di dalam lemarinya.
"Mana suratku” tanya Harry begitu Paman Vernon berhasil menjejalkan diri melewati pintu. "Siapa yang menulis padaku?"
“Tidak ada. Surat itu keliru dialamatkan padamu," kata Paman Vernon pendek. "Sudah kubakar."
“Tidak keliru" kata Harry berang. "Di alamatnya tertulis lemariku."
“DIAM!" raung Paman Vernon dan dua ekor labah-labah terjatuh dari langit-langit lemari. Dia menarik napas dalam beberapa kali dan kemudian memaksakan wajahnya tersenyum, kelihatannya memelas sekali.
'”Er... ya, Harry... tentang lemari ini. Bibimu dan aku sudah berpikir-p ikir... kau sebetulnya sudah terlalu besar untuk tinggal di sini... kami rasa lebih baik jika kau pindah ke kamar Dudley yang satunya."
“Kenapa?" tanya Harry.
“Jangan tanya-tanya!" tukas pamannya. "Bawa barang-barangmu ke atas, sekarang."
Rumah keluarga Dursley punya empat kamar: satu untuk Paman Vernon dan Bibi Petunia, satu untuk tamu (biasanya adik Paman Vernon, Marge), satu adalah kamar tidur Dudley, dan satunya lagi tempat Dudley menyimpan mainan dan barang-barangnya yang tidak muat ditaruh di kamar tidurnya.
Harry hanya perlu sekali angkut untuk memindahkan barang-barangnya dari lemari ke kamar ini. D ia duduk di tempat tidur dan memandang berkeliling. Hampir semua barang di kamar ini rusak. Kamera yang baru sebulan tergeletak di atas tank kecil yang ketika dikendarai Dudley pernah melindas anjing tetangga.
Di sudut ada televisi pertama Dudley, yang ditendangnya sampai bolong ketika acara favoritnya batal ditayangkan. Ada sangkar burung besar, dulunya sangkar seekor burung nuri yang kemudian ditukar Dudley di sekolah dengan senapan angin betulan. Senapan itu sekarang ada di rak, larasnya bengkok kedudukan Dudley. Rak-rak lain penuh buku. Hanya buku-buku itulah yang tampaknya tak pernah disentuh.
Dari bawah terdengar Dudley berteriak-teriak kepada ibunya,
"Aku tak mau dia di sana... aku butuh kamar itu... suruh dia keluar...."
Harry menghela napas dan membaringkan diri di tempat tidur. Kemarin dia akan bersedia memberikan apa saja untuk bisa berada di kamar ini. Hari ini dia lebih memilih berada kembali di lemarinya dengan surat itu daripada di sini tanpa surat.
Paginya saat sarapan, semua agak diam. Dudley uring-uringan. Dia sudah menjerit-jerit, memukuli ayahnya dengan tongkat Smeltings-nya, pura-pura sakit, menendang ibunya, dan melempar kura-kuranya ke atap rumah kaca sampai atap itu berlubang, tapi tetap saja dia tidak memperoleh kembali kamarnya. Harry merenungkan saat jam begini kemarin dan menyesal sekali kenapa dia tidak membuka suratnya sewaktu masih di lorong. Paman Vernon dan Bibi! Petunia saling pandang dengan wajah keruh.
Ketika tukang pos tiba, Paman Vernon, yang kelihatannya mencoba berbaik-baik kepada Harry, menyuruh Dudley mengambil surat. Mereka mendengar Dudley memukul-mukulkan tongkat Smeltings-nya sambil turun ke lorong.
Kemudian dia berteriak, "Ada surat lagi! Mr H. Potter, Kamar Paling Kecil, Privet Drive nomor 4..."
Dengan pekik tertahan Paman Vernon melompat dari kursinya dan berlari turun. Harry dibelakangnya.|
Paman Vernon harus memiting Dudley ke lantai untuk merebut surat itu, dan itu makin sulit dilakukannya karena Harry mengalungkan tangan ke leher Paman Vernon dari belakang. Setelah semenit pergulatan kalang kabut, dan semuanya kena pukul tongkat Smeltings, Paman Vernon bangkit berdiri, tersengal-sengal, dengan surat Harry terpegang erat di tangan.
“Kembali ke lemarimu—maksudku, kamarmu," katanya kepada Harry. "Dudley... pergi... pergi."
Harry berjiran bolak-balik mengitari kamar barunya. Ada yang tahu dia sudah pindah dari lemarinya dan mereka rupanya tahu dia belum menerima surat pertamanya. Jelas itu berarti mereka akan mencoba lagi. Dan kali ini dia akan memastikan mereka tidak akan gagal. Dia punya rencana.
***
Jam weker yang sudah dibetulkan berdering pukul enam keesokan paginya. Harry cepat-cepat mematikannya dan berganti pakaian tanpa menimbulkan suara. Jangan sampai keluarga Dursley terbangun. Diam-diam dia turun tanpa menyalakan lampu satupun.
Dia akan menunggu tukang pos di sudut Privet Drive dan mengambil surat-surat untuk rumah nomor empat lebih dulu.
Jantungnya berdegup kencang saat dia merayap di lorong gelap menuju pintu depan...
"AAAAARRRGH!"
Harry kaget dan terlonjak—dia menginjak sesuatu yang besar dan empuk di keset—sesuatu yang hidup. Lampu menyala di loteng dan betapa kagetnya Harry, benda empuk yang diinjaknya tadi ternyata wajah pamannya. Paman Vernon sengaja tidur di depan pintu dalam kantong tidur. Jelas dia bermaksud menghalangi Harry melakukan apa yang akan dilakukannya. Selama kira-kira setengah jam dia memarahi Harry, kemudian menyuruhnya membuat secangkir teh. Harry terseok sedih ke dapur, dan pada saat dia kembali, surat sudah datang, jatuh persis di pangkuan Paman Vernon. Harry bisa melihat tiga surat yang alamatnya ditulis dengan tinta hijau.
"Berikan...," dia baru mau bicara, Paman Vernon sudah merobek-robek surat-surat itu di depan matanya. Paman Vemon tidak ke kantor hari itu. Dia tinggal di rumah dan memaku kotak suratnya.
"Kalau mereka tidak bisa mengirim surat, mereka akan menyerah," dia menjelaskan kepada Bibi Petunia dengan mulut penuh paku.
“Aku tak yakin, Vernon."
"Oh, cara berpikir orang-orang ini aneh, Petunia! tidak seperti kita," kata Paman Vernon sambil memukul paku dengan sepotong kue buah yang baru saja dibawakan Bibi Petunia.
***
Hari Jumatnya, tak kurang dari dua belas surat untuk Harry datang. Karena tak bisa di masukkan ke dalam kotak surat, surat-surat itu disorongkan di bawah pintu disisipkan ke celah pintu, dan beberapa diantaranya bahkan dijejalkan lewat jendela kecil toilet bawah.
Paman Vernon tinggal di rumah lagi. Setelah membakar semua surat itu, dia mengeluarkan palu dan paku untuk menutup semua celah di pintu depan dan belakang dengan papan, sehingga tak seorang pun bisa keluar. Dia bersenandung berjingkat di antara tulip-tulip sambil bekerja, dan terlonjak jika ada bunyi sekecil apapun.
***
Hari Sabtunya, yang terjadi sudah di luar kendali. Ada dua puluh empat pucuk surat untuk Harry berhasil diselundupkan masuk rumah, digulung dan disembunyikan dalam dua lusin telur yang dijulurkan tukang susu mereka yang sangat kebingungan kepada Bibi Petunia lewat jendela ruang keluarga. Sementara Paman Vernon marah-marah menelepon kantor pos dan perusahaan susu mencari orang yang bisa disalahkan, Bibi Petunia menghancurkan surat-surat itu dalam mixer makanannya.
"Siapa sih yang begitu ingin bicara denganmu?" Dudley bertanya kepada Harry dengan keheranan.
***
Pada hari Minggu pagi, Paman Vernon duduk di meja untuk sarapan, kelihatan lelah tetapi senang.
"Tukang pos tidak datang pada hari Minggu," dia mengingatkan mereka dengan riang seraya mengoleskan selai pada korannya, "jadi tak ada surat sialan hari ini..."
Ada yang berdesis meluncur turun dalam cerobong asap ketika Paman Vernon bicara, dan mengemplang belakang kepalanya. Detik berikutnya tiga puluh atau empat puluh surat meluncur-luncur dari perapian seperti peluru. Keluarga Dursley menunduk menghindar, tetapi Harry melompat mencoba menangkap satu di antaranya....
"Keluar! KELUAR!"
Paman Vernon menangkap pinggang Harry dan melemparkannya ke lorong di luar. Setelah Bibi Petunia dan Dudley keluar dengan lengan menutupi muka, Paman Vernon membanting pintu menutup. Mereka bisa mendengar surat-surat masih mengalir ke dalam ruangan, melenting-lenting mengenai dinding dan lantai.
"Sudah kelewatan," kata Paman Vernon, berusaha berbicara dengan tenang, tapi pada saat bersamaan mencabuti kumisnya dengan panik. "Aku mau kalian semua kembali ke sini lima menit lagi, siap berangkat. Kita akan pergi. Bawa saja pakaian secukupnya. Jangan membantah!"
Paman Vernon kelihatan berbahaya sekali dengar separo kumisnya lenyap, sehingga tak seorang pun berani membantah.
Sepuluh menit kemudian mereka berhasil keluar dari pintu yang sudah dipaku rapat dan berada dalam mobil, yang ngebut menuju jalan tol. Dudley terisak-isak di jok belakang. Ayahnya tadi memukul kepalanya gara-gara mereka harus menunggunya mencoba menjejalkan televisi, video, dan komputernya ke dalam tas olahraganya.
Mobil terus meluncur. Terus meluncur. Bahkan Bibi Petunia pun tak berani bertanya ke mana mereka pergi. Sekali-sekali Paman Vernon tiba-tiba menikung tajam dan meluncurkan mobilnya ke arah berlawanan.
“Sesatkan mereka... sesatkan mereka," gumam Paman Vernon setiap kali dia melakukan ini.
Mereka bahkan tidak berhenti untuk makan sepanjang hari.
Saat malam tiba, Dudley sudah menangis meraung-raung.
Belum pernah dia mengalami hari seburuk ini. Dia lapar, dia tidak bisa menonton lima acara televisi yang ingin ditontonnya, dan belum pernah dia melewatkan waktu selama tanpa meledakkan Alien di layar komputernya.
Paman Vernon akhirnya berhenti di depan hotel suram di luar sebuah kota besar. Dudley dan Harry berbagi kamar dengan dua tempat tidur dan seprai lembap yang berbau lumut. Dudley mendengkur, tetapi Harry tak bisa tidur. Dia duduk di ambang jendela, memandang lampu-lampu mobil yang lewat dan bertanya-tanya dalam hati....
***
Mereka makan cornflake melempem dan tengik serta tomat kalengan di atas roti panggang sebagai sarapan keesokan harinya. Baru saja mereka selesai, pemilik hotel mendatangi mereka.
"Maaf, tetapi tapi apakah salah satu dari kalian Mr H Potter? Ada kira-kira seratus surat begini di meja respsionis."
Wanita itu mengangkat surat itu sehingga mereka bisa membaca alamatnya yang ditulis dengan tinta hijau :
Mr. H. Potter
Kamar 17
Hotel Railview
Cokeworth
Harry mau meraih surat itu, tetapi Paman Vernon menampar tangannya. Wanita itu terbelalak.
"Akan saya ambil," kata Paman Vernon, cepat-cepat berdiri dan mengikutinya meninggalkan ruang makan.
***
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Sayang? Bibi Petunia menyarankan dengan takut-takut beberapa jam kemudian, tetapi Paman Vernon kelihatannya tidak mendengarnya. Entah apa yang dicarinya, tak seorang pun tahu.
Dia membawa mereka ke tengah hutan keluar dari mobilnya, memandang berkeliling, menggelengkan kepala, masuk lagi ke dalam mobil dan mobil pun meluncur lagi. Hal yang sama terjadi di tengah sawah yang sedang dibajak, di tengah jembatan gantung, dan di atas tempat parkir mobil yang bertingkat.
"Daddy sudah gila, ya?" Dudley bertanya kepada Bibi Petunia sore itu. Paman Vernon telah memarkir mobilnya di tepi pantai, mengunci mereka bertiga di dalamnya, lalu menghilang.
Hujan mulai turun. Tetesnya yang besar-besar mengetuk-ngetuk atap mobil. Dudley tersedu-sedu.
"Ini hari Senin," katanya kepada ibunya. "Ada acara si Hebat Humberto di televisi malam ini. Aku mau nonton."
Senin. Harry jadi ingat sesuatu. Kalau hari ini Senin, dan Dudley bisa diandalkan dalam hal ini, sehubungan dengan kegemarannya nonton televisi— maka besok, Selasa, adalah hari ulang tahun Harry yang kesebelas. Tentu saja hari-hari ulang tahunnya yang telah lewat bukanlah hari yang menyenangkan. Tahun lalu, misalnya, keluarga Dursley menghadiahinya satu gantungan mantel dan sepasang kaus kaki bekas Paman Vernon. Tapi, kita kan tidak berumur sebelas tiap hari.
Paman Vernon kembali sambil tersenyum. Dia juga membawa bungkusan kecil panjang dan tidak menjawab ketika ditanya Bibi Petunia apa yang dibawanya itu
"Sudah kutemukan tempat yang sempurna!" kata-nya. "Ayo, semua keluar!"
Di luar mobil udara dingin sekali. Paman Vernon menunjuk sesuatu yang kelihatan seperti batu karang besar yang menjorok ke laut. Bertengger di atas karang itu ada gubuk kecil yang sangat kumuh dan bobrok. Kelihatan menyedihkan sekali. Satu hal sudah jelas, tak ada televisi di gubuk itu.
"Malam ini diramalkan akan ada badai!" kata Paman Vernon senang, sambil menepukkan tangan. "Dan Bapak ini sudah berbaik hati mau meminjamkan perahunya!"
Seorang laki-laki tua ompong berjalan santai mendekati mereka. Sambil menyeringai agak jahat, dia menunjuk perahu dayung tua yang terapung-apung di air abu-abu gelap di bawah mereka.
"Aku sudah beli bekal untuk kita," kata Paman Vernon, "jadi, semua naik!"
Dingin sekali di perahu, sampai mereka serasa membeku.
Cipratan air laut dan tetes hujan sedingin es merayap menuruni tengkuk dan angin dingin menerpa wajah mereka. Setelah rasanya berjam-jam kemudian, tibalah mereka di batu karang.
Paman Vernon, terpeleset-peleset, memimpin menuju kegubuk reyot itu.
Bagian dalam gubuk sungguh menjijikkan. Bau ganggang laut menyengat, angin bersuit-suit menembus lewat celah-celah di dinding papan. Perapiannya lembap dan kosong. Hanya ada satu kamar. Bekal Paman Vernon ternyata sebungkus keripik dan empat pisang untuk setiap orang. Dia mencoba menyalakan api, tetapi keempat bungkus keripik yang kini sudah kosong itu cuma mengerut dan berasap.
"Surat-surat itu sekarang bisa digunakan, eh?" katanya riang.
Paman Vernon sedang senang sekali. Jelas dia mengira tak akan ada orang yang bisa mengejar mereka dalam badai untuk mengantar surat. Harry dalam hati mengakui, dan ini membuatnya sedih. Ketika malam tiba, badai yang dijanjikan menerjang di sekitar mereka. Cipratan air dari ombak-ombak yang bergulung tinggi menyembur ke dinding pondok dan angin kencang mengguncangkan jendela-jendela yang kotor. Bibi Petunia menemukan beberapa selimut apak bulukan dari kamar dan menyiapkan tempat tidur untuk Dudley di sofa yang sudah berlubang- lubang dimakan ngengat. Dia dan Paman Vernon tidur di tempat tidur reyot di kamar dan Harry dibiarkan mencari sendiri tempat yang paling empuk di lantai dan meringkuk di bawah selimut paling tipis dan paling compang-camping.
Semakin malam badai mengamuk semakin hebat. Harry tak bisa tidur. Dia gemetar kedinginan dan membalikkan tubuh, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Perutnya yang lapar berkeroncongan. Dengkur Dudley teredam oleh gemuruh guruh yang mulai menggelegar menjelang tengah malam. Jarum arloji Dudley yang menyala—tangan gemuknya yang memakai arloji berjuntai ke bawah sofa—menunjukkan bahwa sepuluh menit lagi Harry akan berusia sebelas tahun. Dia berbaring memandangi saat ulang tahunnya yang berdetik-detik semakin dekat, bertanya-tanya apakah keluarga Dursley akan ingat soal ulang tahunnya bertanya-tanya di manakah gerangan orang yang menulis surat padanya sekarang.
Lima menit lagi. Harry mendengar sesuatu yang berkeriut di luar. Dia berharap atap gubuk tidak akan runtuh, walaupun kalau iya, dia mungkin akan lebih hangat. Empat menit lagi.
Mungkin rumah di Privet Drive akan penuh surat kalau mereka pulang nanti, sehingga dia bisa mencuri satu.
Tiga menit lagi. Ombakkah itu, yang menghantam karang begitu keras? Dan (dua menit lagi) bunyi derak aneh apa itu?
Apa karangnya remuk dan berjatuhan ke laut?
Semenit lagi dia akan berusia sebelas tahun. Tiga puluh detik... dua puluh... sepuluh... sembilan, mungkin dia akan membangunkan Dudley, sekadar supaya Dudley marah saja...
tiga... dua... satu...
BOOM!.
Seluruh gubuk bergetar dan Harry langsung duduk tegak, memandang pintu. Ada orang di luar pintu menggedor-gedor mau masuk.
***

4. Si Pemegang Kunci

BOOM! Mereka menggedor lagi. Dudley terbangun dengan kaget.
"Dimana meriamnya?" tanyanya bodoh.
Terdengar gubrakan di belakang mereka dan Paman Vernon muncul tergopoh-gopoh ke dalam ruangan. Tangannya memegang senapan, sekarang mereka tahu apa yang ada dalam bungkusan kurus panjang yang tadi di bawanya.
"Siapa itu?" teriaknya. "Kuperingatkan kau ... aku bersenjata!"
Sunyi sesaat. Kemudian ...
GUBRAAAK!
Pintu dihantam begitu keras sampai terlepas dari engselnya, dan dengan bunyi memekakkan telinga pintu itu terempas ke lantai.
Sesosok raksasa berdiri di depan pintu. Wajahnya nyaris tersembunyi di balik rambut panjangnya yang awut-awutan dan berewok liar yang berantakan. Tetapi kau bisa melihat matanya, berkilauan bagai dua kumbang hitam di balik rambut awut-awutan itu.
Si raksasa memaksakan diri masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya. Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.
"Bisa bikinkan teh, kan? Tidak gampang datang ke sini..."
Dia melangkah ke sofa. Dudley duduk membeku ketakutan.
"Minggir, karung besar," kata orang asing itu.
Dudley mencicit dan bersembunyi di belakang punggung ibunya. Bibi Petunia sendiri berjongkok ketakutan di belakang Paman Vernon.
"Nah, ini dia Harry!" kata si raksasa.
Harry mendongak memandang wajah liar dan galak itu, dan melihat sudut mata kumbangnya berkerut penuh senyum.
"Terakhir kali aku melihatmu, kau masih bayi," kata si raksasa. "Kau mirip sekali ayahmu, tapi matamu mata ibumu."
Paman Vernon mengeluarkan suara serak yang aneh. "Saya meminta Anda segera pergi, Sir!" katanya. "Anda menjebol pintu dan masuk tanpa izin."
"Ah, tutup mulut, Dursley, jangan sok," kata si raksasa.
Tangannya menjangkau ke belakang sofa, menjambret senapan dari tangan Paman Vernon, membengkokkannya seakan senapan itu terbuat dari karet saja, lalu melemparkannya ke sudut ruangan.
Paman Vernon mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
"Yang jelas, Harry," kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Dursley, "selamat ulang tahun untukmu, selamat panjang umur. Bawa sesuatu buatmu—mungkin tadi kududuki, tapi rasanya pasti masih enak."
Dari saku dalam mantel hitamnya dia mengeluarkan kotak yang agak penyok. Harry membukanya dengan tangan gemetar.
Di dalam kotak itu ada kue cokelat besar dengan tulisan Selamat Ulang Tahun, Harry dari gula hijau.
Harry menengadah menatap si raksasa. Dia bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi kata-katanya menghilang dalam perjalanan ke mulutnya, dan yang dikatakannya malah,
"Siapa kau?"
Si raksasa tertawa.
"Betul, aku belum perkenalkan diri. Rubeus Hagrid, pemegang kunci dan pengawas binatang liar di Hogwarts."
Dia mengulurkan tangan yang besar sekali dan mengguncang seluruh lengan Harry.
"Bagaimana tehnya tadi, eh?" katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya. "Aku juga tidak tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada."
Pandangannya tertuju ke perapian dengan bungkus keripik yang sudah mengerut dan dia mendengus. Dia membungkuk ke perapian. Mereka tidak bisa melihat apa yang dilakukannya, tetapi ketika dia tegak lagi sedetik kemudian, api sudah menyala-nyala. Api itu memenuhi pondok yang lembap dengan cahayanya yang bergerak-gerak dan Harry merasa kehangatan menyelubunginya, seakan dia masuk ke dalam bak berisi air panas.
Si raksasa duduk kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning-kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak yang sedikit gosong dari tusukannya, Dudley mulai gelisah. Paman Vernon berkata tajam, "Jangan sentuh apa pun yang diberikannya padamu, Dudley."
Si raksasa tertawa seram. "Anakmu yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Dursley, jangan khawatir."
Dia menyerahkan sosis-sosis itu kepada Harry. Harry, yang sudah lapar sekali, belum pernah makan makanan selezat itu, tetapi dia tetap tak bisa melepas pandangannya dari si raksasa.
Akhirnya, karena tak seorang pun kelihatannya akan menjelaskan, dia berkata, "Maaf, tapi saya tetap belum tahu siapa Anda."
Si raksasa menghirup tehnya dalam tegukan besar, dan melap mulut dengan punggung tangannya.
"Panggil aku Hagrid," katanya. "Semua panggil aku begitu.
Dan seperti sudah kubilang, aku pemegang kunci di Hogwarts—
kau tentunya sudah tahu tentang Hogwarts."
"Eh... belum," kata Harry.
Hagrid kelihatannya terperangah.
"Maaf," kata Harry cepat-cepat.
"Maaf?" balas Hagrid, menoleh menatap keluarga Dursley yang mengerut dalam bayangan kegelapan. "Merekalah yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak kauterima, tapi tak pernah kuduga kau tidak tahu tentang Hogwarts. Astaga! Tak pernahkah kau ingin tahu di mana orangtuamu belajar semua itu?"
"Semua apa?" tanya Harry.
"SEMUA APA?" gelegar Hagrid. "Tunggu dulu!"
Dia melompat berdiri. Dalam kemarahannya dia seolah memenuhi seluruh pondok. Keluarga Dursley merapat ketakutan ke tembok.
"Apa ini berarti," dia menggeram kepada keluarga Dursley "bahwa anak ini... anak ini!... tidak tahu tentang... tidak tahu APA-APA?"
Harry merasa ini sudah kelewatan. Dia kan sekolah, dan angka-angkanya juga tidak buruk. "Aku tahu beberapa hal,"
katanya. "Aku bisa Matematika dan pelajaran-pelajaran lain."
Tetapi Hagrid hanya mengibaskan tangannya dan berkata,
"Tentang dunia kita, maksudku. Duniamu, Duniaku. Dunia orangtuamu."
"Dunia apa?"
Hagrid kelihatannya sudah siap meledak.
"DURSLEY!" teriakannya mengguntur.
Paman Vernon, yang sudah pucat pasi, menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti "Mimbel..wimbel!" Hagrid menatap liar pada Harry. "Tapi kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu," katanya. "Maksudku, mereka terkenal. Kau terkenal."
"Apa? Ja-jadi, ayah dan ibuku terkenal?"
"Kau tak tahu... kau tak tahu..." Hagrid menyisir rambut dengan jari-jarinya, memandang Harry keheranan.
"Kau tak tahu. kau ini apa?" katanya akhirnya.
Paman Vernon mendadak menemukan suaranya.
"Stop!" perintahnya. "Stop di sini, Sir. Saya larang Anda memberitahu anak ini apa pun!"
Orang yang lebih berani dari Vernon Dursley pastilah sudah gemetar menerima pandangan marah Hagrid. Ketika Hagrid bicara, setiap suku katanya gemetar saking marahnya dia.
"Kau tak pernah bilang padanya? Tak pernah beritahu dia apa yang ada dalam surat yang ditinggalkan Dumbledore untuknya? Aku ada di sana! Aku lihat sendiri Dumbledore tinggalkan surat itu, Dursley! Dan kausembunyikan itu darinya selama bertahun-tahun ini?"
"Menyembunyikan apa dariku?" tanya Harry tak sabar.
"STOP! KULARANG KAU!" teriak Paman Vernon panik.
Bibi Petunia tersedak kaget.
"Ah, peduli amat kalian berdua," kata Hagrid. "Harry—kau penyihir." Sunyi senyap di dalam pondok. Hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
"Aku apa?" tanya Harry kaget.
"Penyihir, tentu saja," kata Hagrid yang kembali duduk di sofa, sehingga sofanya berderit dan melesak lebih dalam lagi.
"Dan penyihir yang hebat, kalau dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain lagi? Dan kurasa sudah waktunya kaubaca suratmu."
Harry mengulurkan tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis dengan tinta hijau ditujukan kepada Mr H. Potter, Lantai, Pondok-di-Atas-Karang, Laut. Harry menarik keluar suratnya dan membacanya.
Kepala Sekolah : Albus Dumbledore
(Order of Merlin, Kelas Pertama, Penyihir Hebat, Kepala Penyihir, Konfederasi Sihir Internasional)
Mr Potter yang baik,
Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan.
Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menuggu burung hantu Anda paling lambat 31 Juli.
Hormat saya,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah
Berbagai pertanyaan meledak-ledak dalam kepala Harry seperti kembang api dan dia tidak dapat memutuskan mana yang akan di tanyakan terlebih dahulu. Sesudah lewat beberapa menit, dia bertanya tergagap, "Apa maksudnya mereka menunggu burung hantuku?"
"Gorgon bloon, aku jadi ingat," kata Hagrid sembari menepakkan tangan ke dahinya dengan kekuatan yang cukup untuk membalikkan kereta kuda. Dan dari dalam saku lain di balik mantelnya, dia menarik keluar burung hantu hidup, yang bulunya agak berantakan, pena bulu panjang, dan gulungan kertas.
Dengan menggigit lidah dia menulisa pesan yang bisa di baca Harry dengan terbalik.
Mr. Dumbledore yang terhormat,
Surat Untuk Harry sudah kusampaikan. Akan bawa dia beli perlengkapan besok. Cuaca buruk sekali. Mudah-mudahan anda baik.
Hagrid
Hagrid menggulung pesannya, menyerahkannya kepada si burung hantu, yang menggigitnya di paruhnya, lalu melangkah ke pintu dan melontarkan si burung hantu ke dalam badai.
Kemudian dia kembali dan duduk lagi seakan tindakannya tadi sewajar orang bicara di telepon.
Harry sadar mulutnya ternganga. Cepat-cepat dikatupkannya.
"Sampai mana aku tadi?" kata Hagrid. Tetapi saat itu Paman Vernon, wajahnya masih pucat pasi tapi tampangnya sangat marah, maju ke depan perapian.
"Dia tidak boleh pergi," katanya.
Hagrid menggerutu. "Aku mau lihat Muggle hebat sepertimu halangi kepergiannya," katanya.
"Apa?" tanya Harry tertarik.
"Muggle," kata Hagrid. "Itu sebutan kami untuk manusia-manusia yang bukan penyihir. Dan sungguh buruk nasibmu dibesarkan dalam keluarga Muggle paling sok yang pernah kulihat."
"Waktu mengambilnya kami sudah bersumpah kami akan menghentikan semua omong kosong ini," kata Paman Vernon.
"Bersumpah untuk membelanya! Penyihir? Mana ada!"
"Paman dan Bibi tahu?" tanya Harry. "Paman dan Bibi tahu aku pe-penyihir?"
"Tahu!" pekik Bibi Petunia tiba-tiba. "Tahu! Tentu saja kami tahu! Bagaimana tidak, kalau adikku yang brengsek juga begitu?
Oh, dia juga menerima surat seperti itu dan menghilang ke... ke sekolah itu... dan pulang setiap liburan dengan kantong penuh telur katak dan mengubah cangkir menjadi tikus. Aku satusatunya yang tahu dia seperti apa—dia aneh! Tetapi ibu dan ayahku... uh, apa-apa Lily... Lily begini dan Lily begitu. Mereka bangga punya anak penyihir!"
Dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam, dan kemudian merepet lagi. Kelihatannya sudah bertahun-tahun dia ingin mengeluarkan semua ini.
"Kemudian dia bertemu si Potter itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja aku tahu kau pasti sama anehnya, sama... abnormalnya, dan kemudian si Lily itu kena ledakan dan terpaksa kami kebebanan kau!"
Harry sudah menjadi pucat. Segera setelah dapat bicara dia berkata, "Ledakan? Kalian bilang mereka meninggal dalam kecelakaan mobil!"
"KECELAKAAN MOBIL!" raung Hagrid, melompat bangun dengan amat marah sehingga Mr dan Mrs Dursley cepat-cepat kembali ke sudut mereka. "Bagaimana mungkin kecelakaan mobil bisa bunuh Lily dan James Potter? Sungguh penghinaan besar. Skandal! Harry Potter tidak tahu kisah hidupnya sendiri, sementara semua anak di dunia kami tahu namanya!"
"Tapi kenapa? Apa yang terjadi?" desak Harry. Kemarahan memudar dari wajah Hagrid. Tiba-tiba dia kelihatan khawatir.
"Tak kusangka akan begini," katanya cemas dengan suara rendah. "Waktu Dumbledore bilang mungkin akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serbatidak-tahu begini. Ah, Harry, aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau—tapi harus ada yang kasih tahu—tak mungkin kau berangkat ke Hogwarts tanpa tahu ini."
Hagrid memandang sebal pada keluarga Dursley.
"Yah, ada baiknya kau tahu sejauh yang bisa kuceritakan padamu—aku tak bisa ceritakan semuanya, soalnya sebagian di antaranya misteri besar...,"
Dia duduk, memandang api selama beberapa detik, kemudian berkata, "Semua ini, menurutku, dimulai oleh orang yang bernama—kelewatan sekali kau tidak tahu namanya, semua orang di dunia kita tahu..."
"Siapa?"
"Yah—aku tak mau sebut namanya, kalau bisa. Tak seorang pun berani sebut namanya."
"Kenapa tidak?"
"Astaganaga, Harry, orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada penyihir yang... jadi jahat.
Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada sekadar lebih jahat. Namanya..." Hagrid menelan ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
"Bagaimana kalau ditulis saja?" Harry mengusulkan.
"Tidak—aku tidak bisa eja. Baiklah—Voldemort." Hagrid bergidik. "Jangan suruh aku sebut sekali lagi. Pendeknya, penyihir ini kira-kira dua puluh tahun yang lalu mulai cari pengikut. Dan dapat, lagi— sebagian karena takut, sebagian lagi karena inginkan cipratan kekuasaannya, karena dia memang punya kekuasaan. Sungguh hari-hari suram, Harry. Kita tak tahu siapa yang bisa dipercaya, tak berani bersikap ramah pada penyihir asing.... Hal-hal mengerikan terjadi. Dia mulai ambil alih kekuasaan. Tentu saja beberapa berusaha lawan dia—dan mereka dibunuh. Dengan sangat mengerikan. Salah satu tempat yang masih aman adalah Hogwarts. Kurasa Dumbledore adalah satu-satunya yang ditakuti Kau-Tahu-Siapa. Tidak berani ambil alih sekolah, dulu paling tidak.
"Ibu dan ayahmu penyihir hebat. Dua-duanya Ketua Murid semasa mereka sekolah! Kurasa misterinya adalah kenapa KauTahu-Siapa tidak coba tarik ibu dan ayahmu ke pihaknya sebelumnya... mungkin dia tahu mereka terlalu dekat dengan Dumbledore, sehingga pasti tidak tertarik pada Sihir Hitam.
"Mungkin dia kira bisa bujuk mereka... mungkin dia cuma ingin mereka menyingkir. Yang orang tahu hanyalah, dia muncul di desa tempat kalian tinggal di malam Hallowe'en sepuluh tahun lalu. Kau baru berumur satu tahun. Dia datang ke rumahmu dan... dan..."
Hagrid tiba-tiba menarik keluar saputangan yang sarigat kotor dan membuang ingus dengan bunyi seperti terompet.
"Maaf," katanya. "Tetapi aku sedih sekali—aku kenal ibu dan ayahmu—tak ada orang lain sebaik mereka—pendeknya...
"Kau-Tahu-Siapa bunuh mereka. Dan kemudian— dan ini misteri yang sesungguhnya—dia mencoba bunuh kau juga. Mau habisi kalian sampai tuntas, kurasa, atau mungkin dia memang senang membunuh. Tetapi dia tidak bisa bunuh kau. Pernahkah kau bertanya-tanya bagaimana kaudapat bekas luka di dahimu?
Itu bukan luka biasa. Itu yang kaudapat jika kekuatan sihir jahat sentuh kau—berhasil tewaskan ibu dan ayahmu, bahkan hancurkan rumahmu— tetapi tidak mempan untukmu. Itulah sebabnya kau terkenal, Harry. Tak seorang pun bisa hidup setelah dia putuskan untuk membunuhnya. Tak seorang pun, kecuali kau, dan dia telah berhasil bunuh penyihirpenyihir terbaik pada zaman ini—keluarga McKinnon, keluarga Bone, keluarga Prewett—padahal kau masih bayi, dan kau hidup."
Sesuatu yang menyakitkan berpusar dalam benak Harry.
Ketika cerita Hagrid hampir tamat, dia melihat kembali cahaya hijau menyilaukan, lebih jelas daripada yang selama ini diingatnya. Dan dia juga ingat sesuatu yang lain, untuk pertama kali dalam hidupnya—tawa nyaring, dingin, dan bengis.
Hagrid menatapnya dengan sedih.
"Aku sendiri yang ambil kau dari rumahmu yang hancur, atas perintah Dumbledore. Kubawa kau ke keluarga ini..."
"Omong kosong besar," kata Paman Vernon. Harry melompat. Dia nyaris lupa keluarga Dursley ada di situ. Paman Vernon kelihatannya sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Dia mendelik kepada Hagrid dan tangannya terkepal.
"Dengarkan aku, Harry" geramnya. "Kuakui kau memang agak aneh, tapi mungkin bisa dibereskan dengan dihajar.
Sedangkan tentang orangtuamu, mereka memang aneh, tak bisa dibantah, dan menurutku dunia ini lebih baik tanpa mereka—
yang terjadi itu salah mereka sendiri, bergaul dengan tukang-
tukang sihir. Mau apa lagi, sudah kuduga mereka akan berakhir begitu..."
Tetapi saat itu Hagrid melompat bangun dari sofa dan menarik payung butut merah jambu dari dalam sakunya. Sambil mengacungkan payung itu ke arah Paman Vernon seperti pedang, dia berkata,
"Kuperingatkan kau,
Dursley—kuperingatkan kau—satu kata lagi saja..."
Menghadapi bahaya ditombak dengan ujung payung, keberanian Paman Vernon melempem lagi. Dia merapatkan diri ke dinding dan diam.
"Itu lebih baik," kata Hagrid, bernapas berat dan duduk lagi di sofa, yang kali ini melesak sampai ke lantai.
Harry, sementara itu, masih penasaran, masih ingin mengajukan ratusan pertanyaan.
"Tetapi apa yang terjadi pada Vol—maaf—maksudku, KauTahu-Siapa?"
"Pertanyaan bagus, Harry. Hilang. Lenyap. Malam yang sama dia coba bunuh kau. Membuat kau tambah terkenal.
Itulah misteri yang paling besar. Soalnya... belakangan makin lama dia makin kuat—jadi kenapa dia harus pergi?
"Ada yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati. Yang lain lagi bilang dia masih sembunyi, tunggu waktu yang tepat, tapi aku tidak percaya. Orang-orang yang tadinya jadi pengikutnya telah kembali ke kami. Beberapa di antaranya seperti kerasukan. Mana mungkin mereka balik ke kami kalau dia akan datang lagi.
"Kebanyakan dari kami duga dia masih ada entah di mana, tapi sudah kehilangan kekuatannya. Terlalu lemah untuk terus merajalela. Karena sesuatu pada dirimu menghabisi dia, Harry.
Ada yang terjadi malam itu yang di luar perhitungannya—aku tak tahu apa itu, tak ada yang tahu—tetapi sesuatu pada dirimu membuat dia takluk."
Hagrid memandang Harry dengan hangat dan rasa hormat.
Tetapi Harry, alih-alih merasa senang dan bangga, merasa yakin ada kekeliruan besar. Penyihir? Dia? Bagaimana mungkin dia penyihir? Dia telah melewatkan hidupnya dijadikan bulan-bulanan oleh Dudley dan ditindas oleh Bibi Petunia dan Paman Vernon. Kalau memang dia penyihir, kenapa mereka tidak berubah jadi kodok setiap kali mereka mencoba menguncinya di dalam lemari? Jika dia pernah mengalahkan penyihir paling hebat di dunia, bagaimana mungkin Dudley selalu bisa menendang-nendangnya ke sana kemari seperti bola?
"Hagrid," katanya cemas. "Kurasa kau pasti keliru. Tidak mungkin aku ini penyihir." Betapa herannya dia, Hagrid tertawa.
"Tidak mungkin penyihir, eh? Tidak pernahkah ada peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap kali kau takut atau marah?"
Harry memandang perapian. Kalau dipikir-pikir... semua kejadian aneh yang membuat bibi dan pamannya marah kepadanya terjadi ketika dia, Harry, sedang marah atau sedih.
Ketika dikejar-kejar oleh geng Dudley, entah bagaimana dia selalu bisa meloloskan diri... waktu cemas karena harus ke sekolah dengan potongan rambut yang konyol, rambutnya tibatiba tumbuh sendiri... dan ketika Dudley terakhir kali memukulnya, bukankah dia telah berhasil membalasnya, tanpa sadar? Bukankah dia yang melepas ular boa yang menakutkan Dudley?
Harry kembali memandang Hagrid, tersenyum, dan dilihatnya Hagrid nyengir senang kepadanya.
"Lihat sendiri, kan?" kata Hagrid. "Harry Potter, tidak mungkin penyihir—tunggu saja, kau akan terkenal di Hogwarts."
Tetapi Paman Vernon tak akan mau menyerah tanpa perlawanan.
"Kan sudah kubilang dia tidak boleh pergi?" desisnya. "Dia akan ke Stonewall High dan dia akan berterima kasih karenanya. Aku sudah membaca suratsurat itu dan katanya dia memerlukan segala macam sampah—buku mantra dan tongkat dan..."
"Kalau dia mau pergi, Muggle hebat seperti kau tidak akan bisa larang dia," geram Hagrid. "Melarang anak Lily dan James Potter masuk Hogwarts! Kau gila. Namanya sudah terdaftar di sana sejak dia dilahirkan. Dia akan masuk sekolah sihir paling terkenal di dunia. Tujuh tahun di sana, dia tak akan kenal dirinya lagi. Dia akan bergaul dengan anak-anak sejenisnya, kali ini, dan di bawah bimbingan kepala sekolah paling hebat yang dimiliki Hogwarts, Albus Dumbled..."
"AKU TIDAK MAU MEMBAYAR LAKI-LAKI TUA SINTING UNTUK MENGAJARINYA TIPUAN SIHIR!" teriak Paman Vernon.
Tetapi dia sudah kelewatan. Hagrid menyambar payungnya dan memutar-mutarnya di atas kepala, "JANGAN BERANI-BERANI...," gelegarnya, "... HINA... ALBUS... DUMBLEDORE... DI... DEPANKU!"
Diayunkannya payungnya turun untuk menunjuk Dudley.
Ada kilatan cahaya ungu, bunyi seperti petasan, jeritan nyaring, dan detik berikutnya Dudley menari-nari di tempat dengan tangan memegangi pantatnya yang gemuk, menjerit-jerit kesakitan. Ketika dia berbalik membelakangi mereka, Harry melihat ekor babi melingkar nongol dari lubang di celananya.
Paman Vernon menggerung. Seraya menarik Bibi Petunia dan Dudley ke kamar satunya, dia melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Hagrid, lalu membanting pintu menutup di belakang mereka.
Hagrid menunduk menatap payungnya dan membelai jenggotnya.
"Harusnya tak boleh marah," katanya menyesal, "tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi babi, tapi kurasa dia sudah mirip sekali babi, tak banyak lagi yang bisa dilakukan."
Dia melirik Harry dari bawah alisnya yang lebat.
"Aku akan berterima kasih kalau kau tidak sebutsebut kejadian ini pada siapa pun di Hogwarts," katanya. "Aku...
ehm... sebetulnya tidak boleh menyihir. Hanya boleh sedikit saja untuk ikuti kau dan antar surat-surat kepadamu dan belanja—
salah satu alasan aku ingin sekali dapatkan tugas ini...."
"Kenapa kau tidak boleh menyihir?" tanya Harry.
"Oh, yah... aku dulunya sekolah di Hogwarts juga, tapi...
ehm... aku dikeluarkan, jujur saja. Waktu kelas tiga. Mereka patahkan tongkatku jadi dua dan macammacam lagi. Tetapi Dumbledore izinkan aku tinggal sebagai pengawas binatang liar.
Orang hebat, Dumbledore."
"Kenapa kau dikeluarkan?"
"Sudah malam dan banyak yang harus kita lakukan besok,"
kata Hagrid keras-keras "Harus ke kota, beli buku-buku dan peralatanmu."
Hagrid melepas mantel hitamnya yang tebal dan melemparkannya kepada Harry.
"Bisa kaujadikan selimut," katanya. "Jangan pedulikan kalau sedikit meronta-ronta. Kurasa masih ada sepasang tikus di salah satu sakunya."
***

5. Diagon Alley

KEESOKAN harinya, pagi-pagi Harry sudah terbangun. Meskipun dia tahu hari sudah pagi, dipejamkannya matanya rapat-rapat.
"Aku mimpi," katanya kepada diri sendiri," Aku mimpi raksasa bernama Hagrid datang memberitahuku bahwa aku akan masuk sekolah sihir. Kalau kubuka mataku, aku akan berada di rumah dalam lemariku."
Tiba-tiba terdengar ketukan keras.
Nah, ini dia Bibi Petunia mengetuk pintu, pikir Harry dengan kecewa. Tetapi dia tetap tidak membuka mata. Mimpinya indah sekali.
Tok. Tok. Tok.
"Ya," gumam Harry,"Aku bangun."
Dia duduk dan mantel berat Hagrid merosot dari tubuhnya.
Gubuk dipenuhi sinar matahari. Badai telah berlalu. Hagrid sendiri tertidur di sofa yang melesak dan ada burung hantu mengetuk-ngetukkan cakarnya di jendela, paruhnya menggigit koran.
Harry terhuyung berdiri. Dia senang sekali, seakan ada balon besar melembung di dalam tubuhnya. Dia langsung ke jendela dan mengentaknya hingga terbuka. Burung hantu itu meluncur masuk dan menjatuhkan koran ke atas Hagrid, yang tidak terbangun. Si burung hantu kemudian terbang ke lantai dan mulai menyerang mantel Hagrid.
"Jangan."
Harry berusaha menyingkirkan si burung hantu, tetapi burung itu mengatupkan paruhnya dengan galak ke arahnya dan terus saja menyerang mantel itu.
"Hagrid!" kata Harry keras-keras. "Ada burung hantu..."
"Bayar dia," Hagrid bergumam ke sofa.
"Apa?"
"Dia minta dibayar karena antar koran. Cari dalam saku."
Mantel Hagrid kelihatannya terbuat dari hanya saku-saku saja—bergebung-gebung kunci, pelurupeluru gotri, bergulung-gulung tali, permen, kantongkantong teh... akhirnya Harry menarik keluar segenggam koin yang tampaknya aneh.
"Beri dia lima Knut," kata Hagrid mengantuk.
"Knut?"
"Koin perunggu kecil."
Harry menghitung lima koin perunggu kecil dan si burung hantu mengulurkan kakinya, supaya Harry bisa memasukkan uangnya ke dalam kantong kulit kecil yang terikat di kaki itu.
Kemudian dia terbang keluar lewat jendela yang terbuka.
Hagrid menguap keras-keras, duduk, dan menggeliat.
"Lebih baik berangkat sekarang, Harry, kita harus ke London dan beli semua keperluan sekolahmu."
Harry sedang membalik-balik koin penyihir dan memandangnya. Dia baru saja teringat sesuatu yang membuat balon kebahagiaan di dalam tubuhnya bocor.
"Um—Hagrid?" "Mm?" kata Hagrid, yang sedang menarik bot raksasanya.
"Aku tak punya uang—dan kau sudah mendengar apa kata Paman Vernon semalam—dia tak mau membayariku belajar sihir."
"Jangan khawatir soal itu," kata Hagrid, seraya berdiri dan menggaruk kepalanya. "Apa kaupikir orangtuamu tidak tinggalkan sesuatu untukmu?"
"Tetapi kalau rumah mereka hancur..."
"Mereka tidak simpan uang mereka di rumah, Nak! Nah, pertama-tama kita ke Gringotts. Bank penyihir. Makan sosis dulu. Dingin enak juga—dan aku juga tidak tolak sepotong kue ulang tahunmu."
"Penyihir punya bank?"
"Cuma satu. Gringotts. Yang menjalankan goblin, hantu kecil bertampang seram." Sosis yang dipegang Harry sampai terjatuh.
"Goblin?" "Yeah—jadi kau gila kalau coba merampoknya, ku beritahu kau. Jangan main-main dengan goblin, Harry.
Gringotts tempat paling aman di dunia, kalau kau mau simpan sesuatu bandingannya mungkin cuma Hogwarts.
Aku kebetulan harus ke Gringotts. Untuk Dumbledore. Urusan Hogwarts." Hagrid menegapkan diri dengan bangga. "Dia biasa suruh aku lakukan hal-hal penting untuknya. Jemput kau—
ambil sesuatu dari Gringotts—tahu dia, bisa percayai aku.
"Semua siap? Ayo kita berangkat."
Harry mengikuti Hagrid keluar, menuju karang. Langit cukup cerah sekarang dan laut berkilau ditimpa cahaya matahari.
Perahu yang disewa Paman Vernon masih ada, dengan banyak air di dasarnya.
"Bagaimana kau datang kemari?" Harry bertanya, mencari-cari perahu lain.
"Terbang," jawab Hagrid.
"Terbang?"
"Yeah—tapi kita harus kembali dengan ini. Tak boleh gunakan sihir setelah aku bersamamu." Mereka duduk di perahu.
Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang.
"Repot kalau harus mendayung," kata Hagrid, lagilagi melirik Harry. "Kalau aku mau—ehm—percepat sedikit perjalanan kita, kau keberatan kalau kuminta jangan bilang-bilang di Hogwarts?"
"Tentu saja tidak," kata Harry, yang ingin sekali melihat lebih banyak ilmu sihir. Hagrid menarik keluar lagi payung merah jambunya, mengetukkannya dua kali di sisi perahu, dan mereka meluncur menuju daratan.
"Kenapa kita gila kalau mau mencoba merampok Gringotts?"
tanya Harry.
"Mantra-mantra—jampi-jampi," kata Hagrid, seraya membuka korannya. "Katanya ruangan-ruangan besinya dijaga naga-naga. Lagi pula, kau akan susah cari jalan keluar.
Gringotts letaknya beratus-ratus kilo di bawah London. Jauh di bawah stasiun kereta bawah tanah. Sebelum bisa keluar, kau sudah keburu mati kelaparan duluan, walaupun kau berhasil dapat sesuatu."
Harry duduk diam memikirkan ini, sementara Hagrid membaca korannya, Daily Prophet—Harian Peramal. Harry sudah tahu dari Paman Vernon bahwa orang lebih suka tidak diganggu kalau sedang baca koran, tetapi susah sekali. Seumur hidup belum pernah dia punya pertanyaan sebanyak ini.
"Kementerian Sihir bikin kacau-balau, seperti biasanya,"
gumam Hagrid sambil membalik halaman korannya.
"Ada Kementerian Sihir?" tanya Harry tanpa bisa menahan diri.
"Tentu saja," kata Hagrid. "Mereka inginkan Dumbledore menjadi Menteri, tentu saja, tetapi dia tidak mau tinggalkan Hogwarts, jadi si Cornelius Fudge yang dapat jabatan ini. Ceroboh dan bego. Dia kirim burung hantu ke Dumbledore tiap hari, minta nasehat."
"Tapi apa yang dilakukan Kementerian Sihir?"
"Yah, tugas utamanya adalah menjaga jangan sampai Muggle tahu ada banyak penyihir di negeri ini." "Kenapa?" "Kenapa?
Astaga, Harry, semua orang akan inginkan pemecahan masalah mereka secara gaib. Nah, kan lebih baik kita tidak diganggu."
Saat itu perahu pelan membentur tembok pelabuhan. Hagrid melipat korannya dan mereka berdua menaiki undakan batu menuju ke jalan.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka sepanjang jalan menuju stasiun kota kecil itu memandang Hagrid dengan keheranan. Harry tidak menyalahkan mereka. Hagrid bukan hanya dua kali lebih tinggi dari manusia normal, dia juga terusmenerus menunjuk-nunjuk hal biasa seperti meteran di tempat parkir dan berkata keras, "Lihat itu, Harry? Benda-benda yang dicari-cari Muggle, eh?"
"Hagrid," kata Harry, agak terengah-engah karena beflari agar tidak ketinggalan, "tadi kaubilang ada naga di Gringotts?"
"Katanya sih begitu," kata Hagrid. "Wah, aku ingin sekali punya naga."
"Kau ingin punya naga?"
"Dari kecil sudah kepingin—nah, kita sampai."
Mereka telah tiba di stasiun. Ada kereta ke London yang berangkat lima menit lagi. Hagrid, yang tidak memahami "uang Muggle", menyerahkan uangnya ke Harry supaya dia bisa membeli karcisnya.
Di atas kereta, orang-orang memandang dengan lebih heran lagi. Hagrid duduk di dua kursi dan merajut sesuatu yang kelihatannya seperti tenda sirkus warna kuning kenari.
"Suratmu masih ada, Harry?" tanyanya sambil terus merajut.
Harry mengeluarkan amplop perkamen dari dalam kantongnya.
"Bagus," kata Hagrid. "Di situ ada daftar semua keperluanmu."
Harry membuka lipatan kertas satu lagi yang semalam tidak diperhatikannya dan membaca:

SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

* Seragam
Siswa kelas satu memerlukan :
Tiga setel jubah kerja sederhana (hitam)
Satu topi kerucut (hitam) untuk di pakai setiap hari
Sepasan sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
Empat mantel musim dingin (hitam, kancing perak) tolong diperhatikan bahwa semua
pakaian siswa harus ada label namanya.

* Buku
Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut :
Kitab mantra standar (Tingat 1) oleh Miranda
Goshawk Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Gaib oleh Adalbert Wagging
Pengantar Transfigurasi bagi Pemula oleh Emeric

* Switch
Seribu satu tanaman Obat dan Jamur gaib oleh Phyllida
Spore Cairan dan ramuan ajaib oleh Arsenius JIgger
Hewan hewan fantastis dan dimana mereka bisa ditemukan oleh Newt Scamander
Kekuatan gelap : Penuntun perlindungan diri oleh Quentin Trimbel

*Peralatan Lain
1 Tongkat sihir
1 Kuali (Bahan campuran timah putih-timah hitam ukuran standar)
1 Set tabung kaca atau kristal
1 Teleskop
1 Set timbangan kuningan
Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok
ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI!
"Apa semua ini bisa dibeli di London?" tanya Harry keheranan. "Kalau kau tahu belinya di mana," jawab Hagrid.
***
Harry belum pernah ke London. Meskipun Hagrid tampaknya tahu ke mana dia akan pergi, jelas bahwa dia tidak terbiasa menuju ke sana dengan cara biasa. Dia tersangkut pembatas tempat pembelian karcis kereta bawah tanah dan mengeluh keras-keras bahwa tempat duduknya terlalu sempit dan keretanya terlalu lambat.
"Aku tak mengerti bagaimana Muggle bisa bertahan tanpa kekuatan sihir," katanya, sementara mereka menuruni eskalator macet menuju jalan ramai yang di kanan-kirinya dipenuhi deretan toko.
Hagrid besar sekali sehingga dengan mudah dia menyibakkan orang-orang yang lewat. Harry tinggal berjalan merapat kepadanya saja. Mereka melewati toko-toko buku dan toko-toko musik, restoran hamburger dan gedung bioskop, tapi kelihatannya tak ada yang menjual tongkat ajaib. Ini cuma jalan biasa, penuh orang-orang biasa pula. Mungkinkah benarbenar ada gundukan emas penyihir terkubur berkilokilometer di bawah mereka? Betulkah ada toko yang menjual, buku mantra dan sapu terbang? Janganjangan semua ini cuma lelucon besar buatan keluarga Dursley. Kalau Harry tidak tahu bahwa keluarga Dursley tak punya rasa humor, dia pasti sudah mengira begitu. Bagaimanapun juga, kendati semua yang dikatakan Hagrid sejauh ini memang tidak masuk akal, Harry toh mempercayainya.
"Ini dia," kata Hagrid berhenti, "Leaky Cauldron— Kuali Bocor. Ini tempat terkenal."
Tempat itu tempat minum kecil dan kotor. Jika Hagrid tidak menunjuknya, Harry tidak akan melihatnya. Orang-orang yang melewatinya sama sekali tidak meliriknya. Mata mereka bergulir dari toko buku besar di sisi yang satu ke toko musik di sisi lainnya, seakan mereka sama sekali tidak bisa melihat Leaky Cauldron. Sejujurnya, Harry punya perasaan aneh, hanya dia dan Hagrid yang bisa melihatnya. Sebelum dia bisa mengutarakan ini, Hagrid sudah mendorongnya masuk.
Untuk tempat terkenal, tempat ini sangat gelap dan kumuh.
Beberapa wanita tua duduk di sudut, minum sherry dalam gelas-gelas kecil. Salah satu di antara mereka mengisap pipa panjang.
Seorang pria kecil memakai topi tinggi dari sutra hitam sedang bicara dengan pelayan bar yang sudah tua dan botak, dan kepalanya kelihatan seperti kenari dari permen karet. Dengung obrolan pelan berhenti ketika mereka melangkah masuk. Semua orang kelihatannya kenal Hagrid. Mereka melambai dan tersenyum kepadanya, dan pelayan bar meraih gelas, seraya berkata, "Biasa, Hagrid?"
"Tidak bisa, Tom. Sedang ada urusan Hogwarts," kata Hagrid, sambil menepukkan tangannya yang besar ke bahu Harry dan membuat lutut Harry tertekuk.
"Astaga," celetuk pelayan bar, memandang Harry. "Apakah ini... mungkinkah ini...?"
Leaky Cauldron mendadak sunyi senyap.
"Beruntungnya aku," bisik pak tua pelayan bar. "Harry Potter—sungguh kehormatan besar."
Dia bergegas keluar dari balik meja barnya, buruburu mendekati Harry dan meraih tangannya, dengan air mata bercucuran.
"Selamat datang kembali, Mr Potter, selamat datang kembali."
Harry tidak tahu harus bilang apa. Semua orang memandangnya. Si wanita tua yang mengisap pipa terus mengisapnya, tanpa menyadari apinya sudah padam. Hagrid berseri-seri.
Kemudian terdengar derit-derit kursi yang digeser dan saat berikutnya Harry sudah bersalaman dengan semua orang yang ada di Leaky Cauldron.
"Doris Crockford, Mr Potter. Saya tak percaya akhirnya bisa bertemu Anda."
"Sungguh bangga, Mr Potter, saya sungguh bangga."
"Dari dulu sudah ingin menjabat tangan Anda— saya jadi salah tingkah."
"Senang sekali, Mr Potter, tak bisa terkatakan. Diggle nama saya. Dedalus Diggle."
"Saya pernah melihat Anda sebelumnya," kata Harry bersamaan dengan jatuhnya topi tinggi Dedalus Diggle saking bersemangatnya dia. "Anda pernah membungkuk pada saya di toko."
"Dia ingat!" pekik Dedalus Diggle, seraya memandang berkeliling. "Kalian dengar itu? Dia ingat aku!"
Harry berjabat tangan tak henti-hentinya—Doris Crockford bolak-balik ingin berjabat tangan dengannya lagi.
Seorang pemuda berwajah pucat maju, sangat tegang.
Sebelah matanya berkedut-kedut. "Profesor Quirrell!" sapa Hagrid. "Harry, Profesor Quirrell akan jadi salah satu gurumu di Hogwarts."
"P-p-potter," Profesor Quirrell berkata gagap, seraya menjabat tangan Harry, "t-t-tak b-b-bisa kukatakan b-b-betapa senangnya aku b-b-bertemu denganmu."
"Ilmu gaib apa yang Anda ajarkan, Profesor Quirrell?"
"P-p-pertahanan t-t-terhadap Ilmu Hitam," gumam Profesor Quirrell, seakan dia lebih suka tidak membicarakan itu. "K-kau sih sebetulnya t-t-tidak perlu, eh, P-p-potter?" Dia tertawa gugup. "K-kau akan mem-membeli perlengkapanmu, kan? Aku sendiri harus mem-membeli buku tentang vampir." Dia kelihatannya ngeri sendiri.
Tetapi yang lain tidak membiarkan Harry dikuasai Profesor Quirrell sendiri. Perlu hampir sepuluh menit untuk melepaskan diri dari mereka. Akhirnya Hagrid berhasil membuat suaranya mengalahkan keributan mereka.
"Harus pergi—banyak yang harus dibeli. Ayo, Harry."
Doris Crockford menjabat tangan Harry untuk terakhir kali, dan Hagrid mengajaknya keluar melewati bar, menuju halaman kecil yang dikelilingi tembok. Tak ada apa-apa di halaman itu kecuali sebuah tempat sampah dan ilalang.
Hagrid menyeringai kepada Harry.
"Apa kataku! Aku sudah bilang, kan, kau ini terkenal.
Bahkan Profesor Quirrell pun gemetar ketemu kau—tapi dia memang selalu gemetar."
"Apa dia selalu gugup begitu?"
"Oh, yeah. Kasihan. Otaknya brilian. Dulunya sih baik-baik saja waktu masih belajar dari buku, tapi kemudian dia cuti setahun mau alami sendiri... Orang bilang dia ketemu vampir di Black Forest dan sempat ribut dengan nenek sihir jahat—sejak itu dia berubah. Takut pada muridnya, takut pada mata pelajaran yang diajarkannya—eh, mana payungku?"
Vampir? Nenek sihir jahat? Kepala Harry serasa berputar.
Hagrid, sementara itu, menghitung batu bata pada tembok di atas tempat sampah.
"Ke atas tiga... ke samping dua...," dia bergumam. "Ini dia.
Mundur, Harry." Dia mengetuk tembok tiga kali dengan ujung payungnya.
Batu bata yang disentuhnya bergetar—meliuk ma-lah—di tengahnya, muncul lubang kecil—makin lama makin besar—sedetik kemudian mereka sudah berhadapan dengan gerbang yang bahkan cukup besar untuk Hagrid. Gerbang masuk ke jalan berbatu yang berkelok-kelok dan membelok lenyap dari pandangan.
"Selamat datang," kata Hagrid, "di Diagon Alley."
Dia menyeringai melihat Harry terpana. Mereka melangkahi gerbang. Harry cepat-cepat menoleh dan melihat gerbang terbuka itu langsung menyusut kembali menjadi tembok padat.
Matahari bersinar cerah, sinarnya menimpa setumpuk kuali di depan toko paling dekat. Kuali— Segala Ukuran — Tembaga, Kuningan, Timah putih-Timah hitam, Perak—Mengaduk-Sendiri—Dapat Dilipat, begitu bunyi pa pan yang tergantung di atasnya.
"Yeah, kau perlu satu," kata Hagrid, "tapi kita harus ambil uangmu dulu."
Harry berharap dia punya delapan mata tambahan.
Kepalanya menoleh ke segala jurusan ketika mereka menyusuri jalan itu, mencoba melihat segalanya sekaligus: toko-toko, barang-barang yang terpajang di depannya, orang-orang yang sedang berbelanja. Se-orang wanita gemuk di depan toko obat sedang menggelengkan kepala ketika mereka lewat, sambil berkata, "Hati naga, tujuh belas Sickle per ons, gila mereka...."
Dekut uhu-uhu pelan terdengar dari toko gelap dengan tulisan berbunyi Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops—Kuning-kecokelatan, Pekikan-keras, Burung Hantu Serak, Cokelat, dan Putih Bersih. Beberapa anak lakilaki seumur Harry menempelkan hidung di kaca etalase toko sagu. "Lihat," Harry mendengar salah satu dari mereka berkata, "Nimbus Dua Ribu yang baru—yang paling cepat...." Ada toko-toko yang menjual jubah, toko-toko yang menjual teleskop, dan peralatan perak aneh-aneh yang tak pernah dilihat Harry sebelumnya, etalase yang memajang tong-tong berisi limpa kelelawar dan mata belut, tumpukan bukubuku mantra dan bergulung-gulung perkamen, botolbotol ramuan, globe bulan....
"Gringotts," kata Hagrid.
Mereka telah tiba di depan bangunan putih-bersih yang menjulang di antara toko-toko kecil yang lain. Di sebelah pintu perunggu mengilap berdiri tegak makhluk berseragam merah dan emas.
"Yeah, itu goblin," kata Hagrid pelan sementara mereka mendaki undakan batu putih menuju ke tempatnya. Si goblin kira-kira sekepala lebih rendah dari Harry. Wajahnya yang hitarn tampak cerdas, dengan janggut runcing dan, Harry memperhatikan, jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Dia membungkuk ketika mereka masuk. Sekarang mereka menghadapi sepasang pintu kedua, yang ini perak, dengan katakata berikut terpahat di atasnya:
Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah
Terhadap dosa yang di tanggung orang serakah,
Karena mereka yang mengambil apa saja yang bukan haknya,
Harus membayar semahal-mahalnya,
Jadi jika kau mencari di bawah lantai kami
Harta yang tak berhak kau miliki,
Pencuri, kau telah di peringatkan,
Bukan harta yang kau dapat, melainkan ganjaran.
"Seperti sudah kubilang, gila kau kalau berani merampok di sini," kata Hagrid. Sepasang goblin membungkuk ketika mereka memasuki pintu perak, dan mereka berada di aula pualam besar.
Kira-kira lebih dari seratus goblin duduk di atas bangku tinggi di belakang meja panjang, sibuk menulis di buku kas besar, menimbang koin di timbangan kuningan, memeriksa batu-batu mulia dengan kaca pembesar. Ada terlalu banyak pintu keluar dari aula itu hingga tak bisa dihitung, tapi ada lebih banyak lagi goblin yang mengantar orang-orang keluar masuk pintu-pintu ini. Hagrid dan Harry menuju meja.
"Pagi," kata Hagrid kepada goblin yang sedang kosong.
"Kami datang untuk ambil uang dari lemari besi Mr Harry Potter."
"Punya kuncinya, Sir?"
"Ada," kata Hagrid dan dia mulai mengeluarkan isi saku-sakunya di atas meja. Beberapa biskuit-anjing yang sudah bulukan tertebar di atas buku kas si goblin, membuat si goblin mengernyitkan hidung. Harry melihat goblin di sebelah kanannya sedang menimbang setumpuk batu mirah besar-besar, sebesar batu bara yang menyala.
"Ini dia," kata Hagrid akhirnya, seraya mengacungkan kunci emas kecil mungil.
Si goblin memeriksanya dengan teliti.
"Kelihatannya oke."
"Dan aku juga bawa surat dari Profesor Dumbledore," kata Hagrid sok penting sambil membusungkan dada. "Ini tentang Kau-Tahu-Apa di ruangan tujuh ratus tiga belas."
Si goblin membaca surat itu dengan cermat.
"Baiklah," katanya, mengembalikan surat itu kepada Hagrid.
"Akan kusuruh petugas mengantar Anda berdua ke kedua tempat simpanan itu. Griphook!"
Griphook adalah nama goblin lain. Begitu Hagrid selesai menjejalkan biskuit-anjingnya ke dalam sakunya kembali, dia dan Harry mengikuti Griphook menuju salah satu pintu ke luar aula.
"Apa sih Kau-Tahu-Apa di ruang tujuh ratus tiga belas itu?"tanya Harry.
"Tak bisa kuberitahu," jawab Hagrid misterius. "Sangat rahasia. Urusan Hogwarts. Dumbledore percayai aku. Bisa dikeluarkan dari pekerjaanku kalau aku beritahu kau."
Griphook membukakan pintu untuk mereka. Harry yang mengharapkan ruangan pualam lagi, tercengang. Mereka berada di lorong batu sempit yang diterangi cahaya obor-obor. Lorong itu menurun curam dan ada bekas rel kecil di lantainya.
Griphook bersiul, lalu muncul kereta kecil yang meluncur ke arah mereka. Mereka naik—Hagrid dengan susah payah— dan kereta pun berangkat.
Awalnya mereka cuma berbelok-belok melewati lorong berbelit-belit. Harry mencoba mengingat, kiri, kanan, kanan, kiri, garpu tengah, kanan, kiri, tapi tak mungkin. Kereta yang berderak-derak itu kelihatannya tahu sendiri jalannya, sebab Griphook tidak mengemudikannya.
Mata Harry pedas diterpa udara dingin, tetapi dia tetap membukanya lebar-lebar. Sekali dia merasa melihat semburan api di ujung lorong dan membalik untuk melihat apakah itu naga, tetapi terlambat— mereka meluncur turun semakin dalam, melewati danau bawah tanah dengan stalaktit dan stalagmit besar-besar bermunculan dari atap dan dasarnya.
"Aku tak pernah tahu," Harry berteriak kepada Hagrid mengata'si bunyi kereta, "apa sih bedanya stalagmit dan stalaktit?"
"Stalagmit pakai 'm'," kata Hagrid. "Dan jangan tanya-tanya aku dulu. Aku pusing, mau muntah."
Wajahnya memang tampak sangat pucat, dan ketika kereta akhirnya berhenti di sebelah pintu kecil di dinding lorong, Hagrid turun dan harus bersandar di dinding, menunggu lututnya berhenti gemetar.
Griphook membuka kunci pintu. Asap tebal hijau mengepul keluar, dan setelah asap menipis, Harry ternganga. Di dalam ruangan tampak gundukangundukan uang emas. Tumpukan uang perak. Timbunan Knut perunggu kecil-kecil.
"Semua milikmu," Hagrid tersenyum.
Semua milik Harry—bukan main. Keluarga Dursley pastilah tak tahu tentang ini, kalau tidak pasti sudah mereka rebut dalam sekejap. Betapa seringnya mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk membesarkan Harry.
Padahal selama ini ada harta begitu banyak miliknya, terkubur dalamdalam di bawah kota London.
Hagrid membantu Harry memasukkan uang ke dalam tas.
"Yang emas ini Galleon," dia menjelaskan. "Tujuh belas Sickle perak sama dengan satu Galleon, dan dua puluh sembilan Knut sama dengan satu Sickle. Gampang, kan. Sudah, ini sudah cukup untuk dua semester, sisanya biar aman di sini." Dia menoleh pada Griphook. "Ruang tujuh ratus tiga belas sekarang, dan bisa tidak keretanya lebih pelan sedikit?"
"Cuma satu kecepatan," kata Griphook.
Mereka masuk semakin dalam sekarang, dan semakin cepat.
Udara semakin lama semakin dingin ketika mereka membelok di tikungan-tikungan tajam. Mereka melewati jurang bawah tanah dan Harry membungkuk di tepi kereta untuk melihat apa yang ada di dasarnya yang gelap, tetapi Hagrid menggeram dan menarik tengkuknya masuk kereta.
Ruang besi tujuh ratus tiga belas tidak ada lubang kuncinya.
"Mundur," kata Griphook sok penting. Dia membelai lembut pintunya dengan satu jarinya dan pintu itu meleleh begitu saja.
"Kalau orang lain—bukan goblin Gringotts—yang melakukan itu, mereka akan tersedot lewat pintu dan terperangkap di dalam," kata Griphook.
"Berapa sering kau mengecek kalau-kalau ada orang terperangkap di dalam?" tanya Harry. "Kira-kira sekali dalam sepuluh tahun," kata Griphook, dengan seringai agak menyebalkan.
Sesuatu yang betul-betul luar biasa pastilah ada dalam ruang besi dengan pengamanan istimewa ini. Harry yakin, maka dia melongok dengan penuh semangat, berharap melihat permata-permata hebat, paling tidak. Tetapi awalnya dia mengira ruangan itu kosong. Kemudian dilihatnya bungkusan kertas cokelat kecil kumal tergeletak di lantai. Hagrid memungutnya dan memasukkannya hati-hati ke dalam mantelnya. Harry ingin sekali tahu apa isi bungkusan itu, tetapi dia tahu sebaiknya tidak bertanya.
"Ayo, naik kereta celaka ini lagi, dan jangan bicara padaku dalam perjalanan pulang. Paling baik aku tutup mulut," kata Hagrid.
***
Setelah perjalanan naik kereta gila-gilaan, mereka berdiri kesilauan dalam cahaya matahari di luar Gringotts. Harry tak tahu harus ke mana dulu sekarang setelah dia punya satu tas penuh uang. Dia tak perlu tahu berapa Galleon senilai dengan satu pound untuk mengetahui bahwa dia sedang memegang lebih banyak uang daripada yang pernah dimilikinya se-lama hidupnya—bahkan lebih banyak daripada yang dimiliki Dudley.
"Lebih baik beli seragammu dulu," kata Hagrid, seraya mengangguk ke arah Jubah untuk Segala Acara Kreasi Madam Malkin. "Eh, Harry, kau keberatan tidak kalau aku pergi sebentar ke Leaky Cauldron untuk beli minuman? Aku benci kereta Gringotts." Dia masih kelihatan sedikit pucat, maka Harry masuk ke toko Madam Malkin sendirian, merasa gugup.
Madam Malkin adalah penyihir bertubuh pendek gemuk, penuh senyum, berpakaian serba-lembayung muda.
"Hogwarts, Nak?" katanya, ketika Harry baru mau bicara.
"Banyak yang ke sini—sekarang malah ada satu yang sedang ngepas."
Di bagian belakang toko, seorang anak laki-laki dengan wajah runcing pucat berdiri di atas bangku pendek kecil, sementara ada penyihir kedua yang melipat jubah hitam panjangnya dan menyematnya dengan jarum pentul. Madam Malkin menyuruh Harry berdiri di atas bangku di sebelahnya, memasukkan jubah panjang melewati kepalanya, dan mulai menyematnya sampai panjangnya pas.
"Halo," sapa si anak laki-laki. "Hogwarts juga?"
"Ya," jawab Harry.
"Ayahku di sebelah, membelikan bukuku, dan ibuku di toko lain mencari tongkat," kata anak itu. Suaranya membosankan dan seperti dipanjang-panjangkan. "Sesudah itu nanti aku akan menarik mereka melihat sapu balap. Aku tak mengerti kenapa anak-anak kelas satu tidak boleh punya sapu sendiri. Kurasa aku akan memaksa Ayah supaya membelikan aku sapu dan akan kuselundupkan."
Harry jadi langsung ingat Dudley.
"Apa kau sudah punya sapu?" si anak melanjutkan.
"Belum," jawab Harry.
"Main Quidditch?"
"Tidak," kata Harry lagi, sementara dalam hati bertanya-tanya sendiri, apa gerangan Quidditch itu.
"Aku sih main—Ayah bilang kelewatan kalau aku tidak terpilih dalam tim asramaku, dan harus kukatakan, aku sepakat.
Sudah tahu kau akan di asrama mana?"
"Tidak," jawab Harry, yang makin lama merasa semakin bodoh. "Yah, memang tak ada yang tahu sampai mereka tiba di sana, kan, tapi aku tahu aku akan masuk ke Slytherin, semua keluarga kami di sana—bayangkan kalau sampai di Hufflepuff. Kurasa aku akan pindah, iya, kan?"
"Mmm," jawab Harry, yang berharap bisa mengatakan sesuatu yang lebih menarik.
"Eh, lihat orang itu," kata anak itu tiba-tiba, mengangguk ke arah jendela depan. Hagrid berdiri di sana, menyeringai kepada Harry dan menunjuk dua es krim besar untuk memberitahukan itulah sebabnya dia tak bisa masuk.
"Itu Hagrid," kata Harry, senang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui anak itu. "Dia bekerja di Hogwarts."
"Oh," kata anak itu. "Aku sudah dengar tentang dia. Dia semacam pelayan, kan?" "Dia pengawas binatang liar," kata Harry. Makin lama dia semakin tidak menyukai anak itu.
"Ya, itulah. Kudengar dia semacam orang liar— tinggal di gubuk di halaman sekolah dan dari waktu ke waktu dia mabuk, mencoba menyihir, tapi hasilnya malah membakar tempat tidurnya sendiri."
"Menurut aku dia hebat," kata Harry dingin. "Begitu?" kata si anak sedikit melecehkan. "Kenapa dia bersamamu? Di mana orangtuamu?" "Sudah meninggal," kata Harry pendek. Dia tidak ingin membicarakan hal ini dengan anak itu. "Oh, maaf," kata si anak, tapi kedengarannya tidak menyesal sama sekali. "Tapi mereka bangsa kita, kan?" "Mereka penyihir, kalau itu maksudmu."
"Menurut aku sih bangsa lain sebaiknya jangan diizinkan bergabung. Iya, kan? Mereka tidak sama, mereka tidak pernah dibesarkan dengan cara-cara kita. Beberapa di antara mereka bahkan tidak pernah mendengar tentang Hogwarts sampai menerima surat. Bayangkan. Menurut aku sih sebaiknya mereka cuma menerima keluarga penyihir saja. Siapa sih nama keluargamu?"
Tetapi sebelum Harry sempat menjawab, Madam Malkin berkata, "Sudah selesai, Nak," dan Harry, yang malah senang bisa menghindari si anak, lang-sung meloncat turun dari bangku.
"Sampai ketemu di Hogwarts, ya," kata anak itu.
Harry agak diam ketika dia memakan es krim yang dibelikan Hagrid untuknya (cokelat dan rasberi dengan cacahan kacang).
"Ada apa?" tanya Hagrid.
"Tidak ada apa-apa," Harry berbohong. Mereka berhenti untuk membeli perkamen dan pena bulu. Harry agak gembira ketika dia menemukan sebotol tinta yang warnanya berubah ketika dipakai menulis. Ketika mereka telah meninggalkan toko, dia nyeletuk, "Hagrid, Quidditch itu apa sih?"
"Astaga, Harry, aku lupa terus bahwa belum banyak yang kau tahu—bahkan Quidditch pun kau belum tahu!"
"Jangan membuatku merasa lebih parah," kata Harry. Dia memberitahu Hagrid tentang anak pucat di toko Madam Malkin.
"... dan dia bilang orang-orang dari keluarga Muggle seharusnya tidak diterima di..."
"Kau bukan dari keluarga Muggle. Kalau saja dia tahu siapa sebetulnya kau—sejak kecil pastilah dia sudah diberitahu namamu jika orangtuanya memang penyihir—kau sudah lihat sendiri di Leaky Cauldron. Lagi pula, dia tahu apa sih, beberapa dari penyihir terbaik malah orang-orang yang memang diberi bakat sihir tapi berasal dari keluarga Muggle—lihat saja ibumu!
Lihat bagaimana kakaknya!"
"Jadi, Quidditch itu apa?"
"Itu olahraga kita. Olahraga penyihir. Semacam— semacam sepak bola kalau di dunia Muggle—semua orang senang nonton Quidditch—dimainkan di udara dengan naik sapu terbang dan ada empat bola—agak susah menjelaskan aturannya."
"Dan apa itu Slytherin dan Hufflepuff?"
"Nama-nama rumah asrama di sekolah. Ada empat. Semua bilang Hufflepuff isinya anak-anak yang canggung, tapi..."
"Kalau begitu pastilah aku masuk Hufflepuff," kata Harry muram.
"Lebih baik Hufflepuff daripada Slytherin," kata Hagrid keras. "Semua penyihir yang jadi jahat dulunya tinggal di Slytherin. Kau-Tahu-Siapa salah satunya."
"Vol—maaf—Kau-Tahu-Siapa dulunya di Hogwarts?"
"Bertahun-tahun yang lalu," kata Hagrid.
Mereka membeli buku-buku Harry di Flourish and Blotts. Di toko buku itu rak-raknya penuh sampai ke langit-langit dengan berbagai buku, dari buku setebal batu bata bersampul kulit sampai buku sebesar prangko dengan sampul sutra; buku-buku dengan gambar aneh-aneh, dan beberapa buku yang sama sekali kosong melompong. Bahkan Dudley yang sama sekali tak pernah membaca apa-apa, akan senang memiliki beberapa buku yang ada di sini. Hagrid nyaris sampai harus menyeret Harry dari buku Kutukan dan Kontra-Kutukan (Pikat Kawan dan Kutuk Lawan dengan Pembalasan Dendam Mutakhir: Rambut Rontok, Kaki Lemas, Lidah Beku, dan banyak macam lagi) oleh Profesor Vindictus Viridian.
"Aku sedang mencoba mencari cara mengutuk Dudley."
"Aku tidak bilang itu bukan ide yang baik, tapi kau tak boleh gunakan sihir di dunia Muggle, kecuali dalam keadaan sangat istimewa," kata Hagrid. "Lagi pula kau belum bisa gunakan kutukan itu, kau masih perlu belajar banyak sebelum mencapai tingkat itu."
Hagrid juga tidak mengizinkan Harry membeli kuali emas ("menurut daftarmu harus timah campuran,") tetapi mereka mendapat satu set timbangan bagus untuk menimbang bahan-
bahan ramuan dan teleskop kuningan yang bisa dilipat.
Kemudian mereka ke toko bahan ramuan, yang untungnya cukup menarik, soalnya baunya busuk bukan main, campuran antara telur busuk dan kol busuk. Tong-tong berisi lendir berjajar di lantai, stoples-stoples berisi ramuan, akarakar kering, dan bubuk berwarna cerah berderet di dinding, bergebung bulubulu, untaian taring, dan cakar-cakar melengkung bergantungan dari langitlangit. Sementara Hagrid minta si penjaga toko menyiapkan bahan-bahan dasar ramuan untuk Harry, Harry sendiri sibuk mengamati tanduk perak unicorn yang harganya dua puluh satu Galleon sebuah dan mata kumbang yang hitam kecil-kecil dan berkilat (lima Knut sesendok).
Di luar toko, Hagrid memeriksa daftar Harry lagi.
"Tinggal kurang tongkatmu—oh yeah, dan aku belum beli hadiah ulang tahun buatmu." Harry merasa mukanya merah.
"Tak usah..." "Aku tahu. Begini saja, kuhadiahi kau binatang.
Bukan kodok, kodok sudah ketinggalan mode bertahun-tahun yang lalu. Kau akan ditertawakan—dan aku tak suka kucing, mereka membuatku bersin. Kau akan kubelikan burung hantu.
Semua anak kepingin punya burung hantu, mereka berguna sekali, mengantar suratmu dan macam-macam lagi."
Dua puluh menit kemudian mereka meninggalkan Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops, yang gelap dan penuh bunyi gesekan bulu dan mata berkilat yang berkelap-kelip. Harry sekarang menenteng sangkar besar berisi burung hantu seputih salju, yang tengah tidur nyenyak dengan kepala menyusup ke balik sayap. Dia tak bisa berhenti menyampaikan ucapan terima kasihnya dengan terbata-bata, seperti Profesor Quirrell.
"Ya, ya, kembali," kata Hagrid parau. "Kupikir kau tak banyak dapat hadiah dari keluarga Dursley. Tinggal ke Ollivanders sekarang—satu-satunya tempat untuk beli tongkat.
Ollivanders, dan kau akan mendapatkan tongkat yang terbaik."
Tongkat sihir... ini sudah ditunggu-tunggu Harry.
Toko terakhir ini sempit dan kumuh. Huruf-huruf emas yang sudah mengelupas di atas pintunya berbunyi, Ollivanders: Pembuat Tongkat Sihir Bagus Sejak 382 SM. Sebatang tongkat tergeletak di atas bantal ungu kusam di etalase berdebu.
Denting bel berbunyi di kedalaman toko ketika mereka melangkah masuk. Tempat itu kecil sekali, kosong, hanya ada satu kursi tinggi kurus. Hagrid duduk menunggu di kursi itu.
Harry merasa aneh, seakan dia memasuki perpustakaan yang peraturannya sangat ketat. Dia menelan banyak pertanyaan baru yang bermunculan di benaknya dan melihat-lihat saja ribuan kotak pipih yang bertumpuk rapi sampai ke langit-langit. Entah kenapa, bulu tengkuknya berdiri. Debu dan kesunyian di toko ini rasanya mengandung sihir rahasia.
"Selamat sore," terdengar suara lembut. Harry melonjak.
Hagrid pastilah melonjak juga, sebab terdengar bunyi derit keras dan dia cepat-cepat bangkit dari kursi kurusnya.
Seorang laki-laki tua berdiri di hadapan mereka. Matanya yang lebar dan pucat, bercahaya bagai bulan di dalam toko yang suram itu.
"Halo," kata Harry salah tingkah.
"Ah ya," kata laki-laki itu. "Ya, ya. Sudah kuduga aku akan segera bertemu kau, Harry Potter," katanya yakin. "Matamu mirip mata ibumu. Rasanya baru kemarin dia di sini, membeli tongkat pertamanya. Dua puluh lima setengah senti, mendesir jika digerakkan, terbuat dari dahan dedalu. Tongkat bagus untuk menyihir."
Mr Ollivander mendekati Harry. Harry berharap dia berkedip. Matanya yang keperakan itu agak mengerikan.
"Ayahmu, sebaliknya, lebih suka tongkat mahogani. Dua puluh tujuh setengah senti. Lentur. Sakti dan cocok sekali untuk transfigurasi. Yah, tadi kubilang ayahmu lebih suka tongkat itu—sebetulnya tongkatnyalah yang memilih si penyihir tentu saja."
Mr Ollivander sudah dekat sekali, sehingga hidungnya dan hidung Harry nyaris bersentuhan. Harry bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata berkabut itu.
"Dan ini rupanya..."
Mr Ollivander menyentuh belas luka berbentuk kilat menyambar di dahi Harry dengan jarinya yang putih panjang.
"Aku minta maaf karena aku yang menjual tongkat yang menyebabkan luka ini," katanya lembut. "Tiga puluh tiga setengah senti. Kayu cemara. Sakti, sangat sakti dan jatuh ke tangan yang salah... Yah, kalau saja aku tahu apa yang akan dilakukan tongkat itu di luar...."
Dia menggelengkan kepala dan kemudian, betapa leganya Harry, Mr Ollivander melihat Hagrid.
"Rubeus! Rubeus Hagrid! Senang sekali bertemu kau lagi...
Ek, empat puluh senti, agak bengkok, kan?"
"Betul, Sir. Ya," kata Hagrid.
"Tongkat bagus. Tapi kuduga mereka mematahkannya jadi dua waktu kau dikeluarkan?" kata Mr Ollivander, mendadak galak.
"Er, ya, betul," kata Hagrid, kakinya bergerak-gerak gelisah. "Tapi saya masih simpan potongannya," dia menambahkan dengan riang. "Tapi kau tidak memakainya?"
kata Mr Ollivander tajam.
"Oh, tidak, Sir," jawab Hagrid cepat-cepat. Harry melihat Hagrid mencengkeram payung merah jambunya erat-erat ketika berbicara.
"Hmmm," kata Mr Ollivander, menatap tajam Hagrid. "Nah, Mr Potter. Coba kita lihat." Dia menarik keluar meteran panjang dengan tanda-tanda perak dari dalam kantongnya.
"Tangan mana tangan pemegang tongkatmu?"
"Er—tangan kanan," kata Harry.
"Julurkan tanganmu. Bagus." Dia mengukur Harry dari bahu ke jari, kemudian pergelangan tangan ke siku, bahu ke lantai, lulut ke ketiak, dan sekeliling kepalanya. Sementara mengukur, dia berkata, "Semua tongkat Ollivander punya intisari kegaiban, Mr Potter. Kami menggunakan rambut unicorn, bulu ekor burung phoenix, dan nadi jantung naga. Tak ada dua tongkat Ollivander yang sama. Seperti halnya tak ada dua unicorn, naga atau phoenix yang persis sama. Dan tentu saja kau tak akan mendapatkan hasil baik dengan tongkat penyihir lain."
Harry mendadak menyadari bahwa meteran yang sedang mengukur jarak antara kedua lubang hidungnya, mengukur sendiri. Mr Ollivander berkeliling di depan rak-rak, menurunkan kotak-kotak.
"Sudah cukup," katanya, dan meteran itu langsung terpuruk menggunuk di lantai. "Baik, Mr Potter, cobalah yang ini.
Beechwood dan nadi jantung naga. Dua puluh dua setengah senti.
Bagus dan fleksibel.
Ambil dan cobalah menggoyangkannya."
Harry meraih tongkat itu dan (merasa bego) menggoyangkannya sedikit, tetapi Mr Ollivander langsung merebutnya."Mapel dan bulu phoenix. Tujuh belas setengah senti.
Sabetannya oke. Cobalah..." Harry mencoba—tapi baru saja dia mengangkatnya, tongkat itu juga direbut balik oleh Mr Ollivander. "Tidak, tidak—ini, eboni dan rambut unicorn, dua puluh satu seperempat, elastis. Ayo, ayo, coba yang ini."
Harry mencobanya. Dan mencoba yang lain. Dia sama sekali tak tahu apa yang dinantikan Mr Ollivander. Tumpukan tongkat yang sudah dicoba menggunung makin lama makin tinggi di atas kursi kurus, tetapi semakin banyak tongkat yang diambilnya dari rak, semakin senang tampaknya Mr Ollivander.
"Pembeli pemilih, eh? Jangan khawatir, kita akan menemukan tongkat yang pas di sini—bagaimana kalau—ya, kenapa tidak—kombinasi yang tidak biasa— holly dan bulu phoenix, dua puluh tujuh setengah senti, bagus dan lentur."
Harry mengambil tongkat itu. Mendadak jari-jarinya terasa hangat. Diangkatnya tongkat ke atas kepala, diayunkannya ke bawah di udara berdebu, dan semburat bunga api merah dan keemasan meluncur dari ujungnya seperti kembang api, membuat bayangbayang yang menari-nari di dinding. Hagrid berteriak dan bertepuk tangan, dan Mr Ollivander berseru, "Oh, bravo! Ya, sungguh, bagus sekali. Wah, wah, wah, sungguh aneh... sungguh aneh sekali..."
Diletakkannya kembali tongkat Harry ke dalam kotaknya dan dibungkusnya dengan kertas cokelat, sambil terus bergumam,
"Aneh... aneh..."
"Maaf," kata Harry, "tapi apa yang aneh?" Mr Ollivander menatap Harry dengan matanya yang pucat.
"Aku ingat semua tongkat yang pernah kujual, Mr Potter.
Satu per satu. Kebetulan phoenix yang bulu ekornya ada di tongkatmu, menghasilkan satu bulu lagi—hanya satu. Sungguh aneh sekali kau ditakdirkan menjadi pemilik tongkat ini, sementara saudaranya— wah, saudaranyalah yang memberimu bekas luka itu."
Harry menelan ludah.
"Ya, tiga puluh tiga setengah senti. Yew. Sungguh aneh hal-hal semacam ini terjadi. Tongkat yang memilih penyihir, ingat...
Kurasa kami harus mengharap kau melakukan hal-hal luar biasa, Mr Potter... Lagi pula, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut melakukan hal-hal luar biasa—mengerikan, ya, tapi luar biasa."
Harry bergidik. Dia tak yakin apakah dia sangat menyukai Mr Ollivander. Dia membayar tujuh Galleon emas untuk tongkatnya dan Mr Ollivander membungkuk, mengantar mereka meninggalkan tokonya.
***
Matahari sore menggantung rendah di langit. Harry dan Hagrid kembali ke Diagon Alley, kembali menembus tembok, kembali ke Leaky Cauldron, yang sekarang kosong. Sepanjang jalan Harry tidak bicara sama sekali. Dia bahkan tidak menyadari betapa orang-orang di kereta bawah tanah terheran-heran melihat mereka, yang membawa begitu banyak belanjaan yang bentuk dan bungkusnya aneh-aneh, dengan burung hantu seputih salju tertidur di pangkuan Harry. Naik eskalator lagi, keluar ke stasiun Paddington. Harry baru menyadari dimana mereka berada ketika Hagrid menjawil bahunya.
"Masih sempat makan sebentar sebelum keretamu berangkat," katanya.
Dia membeli hamburger dan mereka duduk di kursi plastik untuk memakannya. Berkali-kali Harry memandang berkeliling.
Segala sesuatu terasa aneh.
"Kau tak apa-apa, Harry? Kau dari tadi diam saja," kata Hagrid.
Harry tak yakin dia bisa menjelaskan. Hari ini hari ulang tahun paling menyenangkan dalam hidupnya— tapi—dia mengunyah hamburgernya, mencoba menemukan kata-kata.
"Semua orang menganggapku istimewa," katanya akhirnya.
"Semua orang di Leaky Cauldron, Profesor Quirrell, Mr Ollivander... tetapi aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang sihir. Bagaimana mereka mengharap aku melakukan hal-hal luar biasa? Aku terkenal dan aku bahkan tak ingat aku terkenal karena apa. Aku tak tahu apa yang terjadi ketika Vol—maaf— maksudku, pada malam orangtuaku meninggal."
Hagrid mencondongkan tubuh di atas meja. Di balik jenggot liar dan alis tebalnya, senyumnya ramah sekali.
"Jangan khawatir, Harry. Kau akan belajar dengan cepat.
Semua orang mulai dari awal di Hogwarts, kau tak akan dapat masalah. Jadilah saja dirimu sendiri. Aku tahu ini berat. Kau telah dipilih, dan ini selalu berat. Tetapi kau akan senang di Hogwarts— dulu aku juga—bahkan sampai sekarang pun masih."
Hagrid membantu Harry naik ke kereta yang akan membawanya kembali ke keluarga Dursley, kemudian menyerahkan amplop.
"Karcis keretamu ke Hogwarts," katanya. "Tanggal satu September—King's Cross—semua tercantum di karcismu. Kalau ada masalah dengan keluarga Dursley, kirimi aku surat lewat burung hantumu, dia akan tahu di mana temukan aku... Sampai ketemu lagi, Harry."
Kereta bergerak meninggalkan stasiun. Harry ingin memandang Hagrid sampai dia tak kelihatan lagi. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menempelkan hidungnya di kaca jendela, tetapi begitu dia mengejapkan mata, Hagrid sudah lenyap.
***

6. Perjalanan Dari Peron Sembilan Tiga Perempat

BULAN terakhir Harry bersama keluarga Dursley tidaklah menyenangkan, Dudley sekarang begitu ketakutan pada Harry sehingga dia tidak mau berada di ruangan yang sama dengannya, sementara bibi Petunia dan Paman Vernon tidak mengurung Harry dalam lemarinya, tidak memaksannya melakukan sesuatu atau pun membentaknya, bahkan, mereka sama sekali tidak bicara dengan Harry. Setengah ketakutan, setengah marah, mereka bersikap seolah olah kursi yang diduduki Harry itu kosong. Meskipun ini perbaikan dalam banyak hal, setelah beberapa waktu keadaan begini membuat Harry agak tertekan juga.
Harry menghabiskan waktu di kamarnya, hanya ditemani burung hantunya. Dia memutuskan menamai burung hantunya Hedwig, nama yang ditemukannya dalam buku Sejarah Sihir.
Buku-buku sekolahnya sangat menarik. Dia berbaring di tempat tidurnya, membaca sampai jauh malam, Hedwig terbang keluarmasuk jendela sesuka-suka dia. Untunglah Bibi Petunia tidak lagi datang ke kamar Harry, karena Hedwig tak henti-hentinya membawa bangkai tikus. Setiap malam sebelum tidur, Harry menandai hari pada sepotong kertas yang ditempelnya di dinding, sampai ke tanggal satu September.
Pada hari terakhir bulan Agustus, dia memutuskan lebih baik bicara dengan paman dan bibinya soal dia harus pergi ke Stasiun King's Cross hari berikutnya. Maka dia turun ke ruang keluarga, tempat mereka sedang menonton acara kuis di televisi. Harry berdeham untuk memberitahu dia datang, dan Dudley menjerit dan kabur dari ruangan itu.
"Er—Paman Vernon?"
Paman Vernon menggumamkan gerutuan tak jelas untuk menunjukkan dia mendengarkan.
"Er—aku harus ke King's Cross besok untuk— untuk ke Hogwarts."
Paman Vernon menggerutu lagi.
"Apakah aku boleh ikut mobil Paman?"
Gerutuan tak jelas. Harry menafsirkan itu berarti boleh.
"Terima kasih." Dia sudah akan kembali ke atas ketika Paman Vernon benar-benar bicara. "Aneh juga, mau ke sekolah sihir kok naik kereta. Permadani terbangnya berlubang semua, rupanya?" Harry diam saja. "Di mana sih sekolah ini?"
"Aku tidak tahu," kata Harry, baru menyadarinya saat itu.
Dia menarik keluar tiket yang diberikan Hagrid dari dalam sakunya. "Aku cuma diminta naik kereta dari peron sembilan tiga perempat pukul sebelas," dia membaca. Bibi dan pamannya melongo.
"Peron berapa?"
"Sembilan tiga perempat."
"Jangan ngawur," kata Paman Vernon. "Tak ada peron sembilan tiga perempat."
"Menurut tiketnya begitu."
"Omong kosong," kata Paman Vernon, "mereka semua sinting. Lihat saja sendiri nanti. Tunggu saja. Baiklah, kami akan mengantarmu ke King's Cross. Kami toh besok memang mau ke London, kalau tidak mana aku mau peduli."
"Kenapa kalian mau ke London?" tanya Harry, berusaha bersikap ramah.
"Membawa Dudley ke rumah sakit," geram Paman Vernon.
"Ekornya yang kemerahan harus dipotong sebelum dia berangkat ke Smeltings."
***
Harry terbangun pukul lima esok paginya dan terlalu gembira sekaligus tegang, sehingga tak bisa tidur lagi. Dia bangun dan memakai celana jins-nya karena tak mau ke stasiun memakai jubah sihirnya—dia akan berganti pakaian di kereta saja. Sekali lagi diperiksanya daftar Hogwarts-nya kalau-kalau yang diperlukannya masih ada yang ketinggalan, mengecek apakah Hedwig sudah aman terkurung di dalam sangkarnya, dan kemudian berjalan mondar-mandir dalam kamarnya, menunggu keluarga Dursley bangun. Dua jam kemudian, koper besar Harry sudah dimasukkan ke dalam mobil keluarga Dursley. Bibi Petunia sudah membujuk Dudley agar mau duduk di sebelah Harry dan mereka pun berangkatlah.
Mereka tiba di King's Cross pukul setengah sebelas. Paman Vernon menjatuhkan koper Harry di atas troli dan mendorongnya ke dalam stasiun. Harry berpendapat Paman Vernon baik sekali, sampai Paman Vernon mendadak berhenti di depan deretan peron dengan seringai menyebalkan di wajahnya.
"Nah, ini dia, Nak. Peron sembilan—peron sepuluh.
Peronmu seharusnya di antaranya, tetapi rupanya belum dibangun, ya?"
Paman Vernon benar, tentu saja. Ada angka sembilan plastik besar di atas satu peron dan angka sepuluh plastik besar di peron berikutnya, dan di antaranya sama sekali tak ada apa-apa.
"Semoga senang di sekolah," kata Paman Vernon dengan seringai yang lebih menyebalkan. Dia pergi tanpa berkata apaapa lagi. Harry menoleh dan melihat mobil keluarga Dursley meluncur meninggalkan stasiun. Mereka bertiga tertawa-tawa.
Mulut Harry jadi agak kering. Apa yang akan dilakukannya?
Orang-orang mulai memandangnya dengan aneh, gara-gara Hedwig. Dia harus bertanya pada seseorang.
Dia menghentikan petugas yang lewat, tetapi tak berani menyebut peron sembilan tiga perempat. Si petugas belum pernah mendengar tentang Hogwarts dan ketika Harry bahkan tak bisa mengatakan di bagian mana Inggris sekolah ini berada, dia mulai jengkel, seakan Harry sengaja berlagak bloon.
Semakin putus asa, Harry menanyakan kereta yang akan berangkat pukul sebelas, tetapi kata si petugas tak ada. Akhirnya si petugas pergi, mengomel soal orang yang suka buang-buang waktu. Harry berusaha keras agar tidak panik. Menurut jam besar di atas papan kedatangan, dia hanya punya waktu sepuluh menit lagi untuk naik kereta ke Hogwarts dan dia sama sekali tak tahu harus bagaimana. Dia kebingungan di tengah stasiun dengan koper yang nyaris tak bisa diangkatnya, kantong penuh uang sihir, dan burung hantu besar.
Hagrid pastilah lupa memberitahukan sesuatu yang harus dilakukannya, seperti misalnya mengetuk batu bata ketiga di sebelah kiri untuk bisa masuk ke Diagon Alley. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah sebaiknya dia mengeluarkan tongkatnya dan mengetuk boks penjualan tiket di antara peron sembilan dan sepuluh.
Saat itu serombongan orang lewat di belakangnya dan tertangkap olehnya beberapa kata yang diucapkan.
"... penuh Muggle, tentu saja..."
Harry langsung membalik. Yang bersuara seorang wanita gemuk, bicara kepada empat anak laki-laki, semua dengan rambut merah manyala. Masing-masing mendorong koper seperti milik Harry di depan mereka—dan mereka punya burung hantu.
Dengan jantung berdegup keras Harry mendorong trolinya mengikuti mereka. Mereka berhenti, dia ikut berhenti, cukup dekat untuk mendengar apa yang mereka katakan.
"Peron berapa?" tanya ibu anak-anak itu.
"Sembilan tiga perempat!" terdengar suara nyaring anak perempuan, juga berambut merah, yang menggandeng tangannya. "Mum, apakah aku tidak boleh..."
"Kau belum cukup umur, Ginny sekarang diam dulu.
Baiklah, Percy, kau duluan yang masuk."
Anak yang kelihatannya paling tua berjalan menuju peron sembilan dan sepuluh. Harry mengawasi, bertahan tidak berkedip, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak dilihatnya—
tetapi pas ketika anak itu tiba di pembatas antara peron, serombongan besar turis lewat di depannya dan ketika ransel terakhir sudah menyingkir, si anak sudah lenyap.
"Fred, kau berikutnya," si wanita gemuk berkata.
"Aku bukan Fred, aku George," kata si anak. "Astaga, Mum!
Katanya ibu kami, masa tidak bisa membedakan bahwa aku George?"
"Sori, George."
"Cuma bergurau, aku Fred," kata si anak, lalu langsung pergi.
Kembarannya berteriak agar dia bergegas, dan pastilah dia bergegas, karena sedetik kemudian dia sudah lenyap—tetapi bagaimana caranya?
Sekarang saudara ketiga berjalan cepat menuju ke palang rintangan tiket—dia nyaris sampai—dan mendadak, dia lenyap.
Hilang begitu saja.
"Maaf," kata Harry kepada si wanita gemuk.
"Halo, Nak," katanya. "Baru pertama kali ke Hogwarts, ya?
Ron juga baru." Dia menunjuk anak laki-lakinya yang terakhir dan termuda. Dia kurus dan jangkung, dengan bintik-bintik di mukanya, kakitangan besar, dan hidung panjang.
"Ya," kata Harry. "Masalahnya—masalahnya, saya tidak tahu bagaimana..."
"Bagaimana ke peronnya?" tanyanya ramah, dan Harry mengangguk.
"Jangan khawatir," katanya. "Yang harus kaulakukan hanyalah berjalan saja, menembus palang rintangan antara peron sembilan dan sepuluh. Jangan berhenti dan jangan takut kau akan menabraknya, ini yang paling penting. Paling baik melakukannya setengah berlari, kalau kau cemas. Ayo, masuklah sekarang, sebelum Ron."
"Er—oke," kata Harry. Harry memutar trolinya dan memandang palang rintangan. Kelihatannya kuat sekali.
Dia mulai berjalan ke arah palang. Berkali-kali dia tersenggol orang-orang yang berjalan ke peron sembilan dan sepuluh.
Harry berjalan semakin cepat. Sebentar lagi dia akan menabrak boks penjualan tiket, lalu akan mendapat kesulitan—Harry membungkuk di atas trolinya, dia berlari—palang semakin lama semakin dekat—dia tak akan bisa berhenti—troli sudah di luar kendali—tinggal tiga puluh senti lagi— dia memejamkan mata menunggu saat tabrakan...
Tetapi ternyata dia tidak menabrak apa-apa... dia masih terus berlari... dia membuka matanya.
Kereta api berwarna merah menunggu di sebelah peron yang penuh orang. Tulisan di atasnya berbunyi Hogwarts Express, pukul 11.00. Harry menoleh ke belakang dan melihat gerbang melengkung di tempat yang tadinya tempat boks tiket, dengan tulisan Peron Sembilan Tiga Perempat. Dia telah berhasil.
Asap lokomotif melayang di atas kepala orartgorang yang ramai mengobrol, sementara kucing-kucing dalam berbagai warna menyusup-nyusup di antara kaki mereka. Burung-burung hantu saling bersahutan, ditingkahi suara obrolan dan derit koper-koper berat yang diseret.
Rangkaian beberapa gerbong yang di depan sudah penuh anak-anak. Beberapa di antaranya menjulurkan tubuh ke luar jendela untuk mengobrol dengan keluarga mereka, yang lain berebut tempat duduk. Harry mendorong trolinya sepanjang peron, mencari tempat duduk yang masih kosong. Dia melewati anak lakilaki berwajah bulat yang sedang berkata, "Nek, katakku hilang lagi."
"Oh, Neville," didengarnya perempuan tua itu menghela napas. Seorang anak laki-laki berambut keriting dikerumuni serombongan anak.
"Coba kami lihat, Lee, ayo dong."
Anak itu mengangkat tutup kotak yang dipeluknya dan anakanak yang merubungnya langsung menjerit dan berteriak-teriak ketika ada kaki panjang berbulu keluar dari kotak itu.
Harry melewati orang-orang yang berdesakan sampai dia tiba di gerbong kosong hampir di ujung kereta. Mula-mula dinaikkannya Hedwig, kemudian dia mulai mengangkat dan mendorong kopernya lewat pintu kereta.
Dicobanya mengangkatnya melewati undakan, tetapi dia nyaris tak bisa mengangkat salah satu ujungnya dan dua kali koper itu menjatuhi kakinya. Sakit sekali.
"Perlu bantuan?" Ternyata salah satu dari si kembar berambut merah yang tadi diikutinya menerobos boks tiket.
"Ya, tolong dong," jawab Harry terengah.
"Oi, Fred! Sini, bantu!"
Dengan bantuan si kembar, koper Harry akhirnya berhasil ditempatkan di sudut gerbong. "Terima kasih," kata Harry seraya menyeka rambutnya yang berkeringat dari matanya.
"Apa itu?" kata salah satu dari si kembar tiba-tiba sambil menunjuk ke bekas luka Harry yang berbentuk kilat menyambar.
"Astaga," kata kembar satunya. "Apakah kau...?"
"Betul dia," kata kembar yang pertama. "Iya, kan?" tanyanya pada Harry.
"Apa?" tanya Harry.
"Harry Potter," si kembar menjawab bersamaan.
"Oh, dia," kata Harry. "Maksudku, ya, aku Harry Potter."
Kedua anak itu melongo memandangnya dan muka Harry menjadi merah. Kemudian, betapa leganya dia, terdengar suara dari pintu kereta.
"Fred? George? Kalian di dalam?"
"Ya, Mum." Sambil melempar pandang ke arah Harry, si kembar melompat turun dari kereta.
Harry duduk di dekat jendela. Dari situ, setengah tersembunyi, dia bisa memandang keluarga berambut merah di peron dan mendengar apa yang mereka ucapkan. Ibu mereka baru saja mengeluarkan saputangan.
"Ron, hidungmu ada kotorannya."
Anak laki-laki termuda mencoba menghindar, tetapi si ibu menjambretnya dan mulai menggosok ujung hidungnya.
"Mum—ta' usah." Dia menggeliat membebaskan diri.
"Ah, ada apa di ujung hidung si Ronnie?" kata salah satu dari si kembar.
"Diam kau," kata Ron.
"Di mana Percy?" tanya ibu mereka.
"Itu dia."
Anak laki-laki tertua muncul. Dia sudah berganti pakaian dengan jubah hitam Hogwarts-nya yang melambai dan Harry melihat lencana perak berkilat dengan huruf P tersemat di dadanya.
"Tidak bisa lama-lama, Mum," katanya. "Aku di depan, untuk para Prefek disediakan dua gerbong khusus..." Prefek adalah beberapa murid senior yang diberi tanggung jawab untuk mengatur ketertiban.
"Oh, jadi kau Prefek, Percy?" kata salah satu dari si kembar, seolah kaget sekali. "Mestinya bilang-bilang dong. Kami tidak tahu sama sekali."
"Tunggu, kurasa aku ingat dia pernah bilang kok," kata kembar satunya. "Sekali..."
"Atau dua kali..."
"Setiap menit..."
"Sepanjang musim panas..."
"Oh, tutup mulut," kata Percy si Prefek.
"Bagaimana Percy bisa mendapat jubah baru sih?" tanya salah seorang dari si kembar.
"Karena dia Prefek," jawab ibu mereka penuh kasih sayang.
"Baiklah, Sayang, semoga senang di sekolah— kirim burung hantu kalau kau sudah tiba, ya." Diciumnya pipi Percy dan Percy pergi lagi. Kemudian si ibu menoleh kepada si kembar.
"Nah, kalian berdua—tahun ini kalian jangan nakal. Kalau sekali lagi aku menerima burung hantu yang memberitahu kalian telah—telah meledakkan toilet atau..."
"Meledakkan toilet? Kami belum pernah meledakkan toilet."
"Tapi ide bagus itu. Trims, Mum."
"Tidak lucu. Dan jaga Ron."
"Jangan khawatir, Ronnie kecil akan aman bersama kami."
"Diam," kata Ron lagi. Tingginya sudah hampir sama dengan si kembar dan hidungnya masih merah di tempat yang tadi digosok ibunya.
"Hei, Mum, tahu tidak? Coba tebak siapa yang baru saja kami temui di kereta?"
Harry cepat-cepat bersandar ke belakang agar mereka tidak bisa melihatnya sedang mengawasi mereka.
"Mum tahu siapa anak laki-laki berambut hitam yang tadi ada di dekat kita di stasiun? Tahu tidak siapa dia?"
"Siapa?"
"Harry Potter!"
Harry mendengar suara si anak perempuan kecil.
"Oh, Mum, bolehkah aku naik ke kereta dan melihatnya, Mum, oh, boleh, ya...."
"Kau sudah melihatnya, Ginny dan anak malang itu bukan untuk dilihat-lihat seperti penghuni kebun binatang. Benarkah dia Harry Potter, Fred? Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tanya dia. Melihat bekas lukanya. Benarbenar ada—
seperti sambaran kilat."
"Kasihan—pantas saja dia sendirian. Aku tadi bertanya-tanya dalam hati. Dia sopan sekali ketika bertanya bagaimana bisa sampai ke peron."
"Itu sih tidak penting. Apakah menurut Mum dia masih ingat seperti apa Kau-Tahu-Siapa?"
Ibu mereka mendadak menjadi sangat tegas.
"Kularang kau menanyainya, Fred. Jangan berani-berani bertanya padanya. Kaupikir dia perlu diingatkan tentang musibah itu pada hari pertamanya bersekolah?"
"Baiklah, tenang saja."
Terdengar bunyi peluit.
"Cepatlah!" kata ibu mereka, dan ketiga anak lakilaki itu naik ke kereta. Mereka menjulurkan badan ke luar jendela agar bisa mendapat ciuman selamat tinggal, dan adik perempuan mereka mulai menangis.
"Jangan nangis, Ginny, kami akan kirim banyak burung hantu."
"Kami akan mengirimimu seperangkat toilet Hogwarts."
"George!"
"Cuma bergurau, Mum."
Kereta mulai bergerak. Harry melihat ibu anakanak itu melambaikan tangan dan adik mereka, setengah tertawa, setengah menangis, berlari mengejar kereta sampai keretanya bergerak semakin cepat. Setelah itu barulah dia berhenti dan melambai.
Harry melihat anak perempuan itu dan ibunya menghilang ketika kereta berbelok. Rumah-rumah seperti berlari melintasi jendela. Harry merasa bergairah sekali. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi pastilah lebih baik daripada yang sedang ditinggalkannya.
Pintu kompartemennya bergeser membuka dan anak laki-laki berambut merah yang termuda masuk.
"Ada yang duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk tempat duduk di depan Harry.
"Tempat lain sudah penuh semua."
Harry menggeleng dan anak itu duduk. Dia melirik Harry, lalu cepat-cepat memandang ke luar jendela, pura-pura tidak melihat Harry. Harry melihat di ujung hidungnya masih ada noda hitam.
"Hei, Ron."
Si kembar sudah kembali.
"Dengar, kami akan ke tengah kereta—Lee Jordan punya tarantula raksasa."
"Baiklah," gumam Ron. "Harry," kata kembar satunya, "kami belum memperkenalkan diri, kan? Fred dan George Weasley.
Dan ini Ron, adik kami. Sampai nanti, ya."
"Daaah," kata Harry dan Ron.
Si kembar menutup kembali pintu di belakang mereka.
"Apakah kau benar-benar Harry Potter?" Ron menyeletuk.
Harry mengangguk.
"Oh—yah, kukira tadi Fred dan George cuma bergurau," kata Ron. "Dan apakah benar-benar ada— kau tahu, kan..."
Dia menunjuk ke dahi Harry.
Harry menyibakkan poninya ke belakang untuk menunjukkan bekas luka sambaran-kilatnya. Ron terbelalak.
"Jadi di situlah Kau-Tahu-Siapa...?"
"Ya," kata Harry "tapi aku sudah tak ingat lagi."
"Sama sekali tidak?" tanya Ron ingin tahu.
"Yah—aku ingat banyak sinar hijau, tapi hanya itu saja."
"Wow," kata Ron. Selama beberapa waktu dia terbelalak memandang Harry kemudian, seakan baru sadar apa yang dilakukannya, cepat-cepat dia memandang ke luar jendela lagi.
"Apakah semua keluargamu penyihir?" tanya Harry yang menganggap Ron sama menariknya, seperti Ron menganggap dirinya menarik.
"Er—ya, kurasa begitu," kata Ron. "Kalau tak salah ada sepupu jauh Mum yang akuntan, tapi kami tak pernah membicarakannya."
"Kalau begitu pastilah kau sudah banyak tahu tentang sihir."
Keluarga Weasley pastilah salah satu keluarga tua penyihir yang disebut-sebut si anak laki-laki pucat di Diagon Alley.
"Kudengar kau tinggal dengan Muggle," kata Ron. "Seperti apa mereka?"
"Mengerikan—yah, tidak semuanya sih. Tapi paman, bibi, dan sepupuku mengerikan. Coba kalau aku punya tiga kakak laki-laki penyihir."
"Lima," kata Ron. Entah kenapa dia kelihatan mu-ram. "Aku anak keenam dalam keluarga kami yang masuk Hogwarts. Bisa dikatakan banyak yang diharapkan dariku. Bill dan Charlie sudah lulus dan meninggalkan Hogwarts—Bill dulu Ketua Murid dan Charlie kapten Quidditch. Sekarang Percy terpilih menjadi Prefek. Fred dan George banyak main-main, tetapi nilai mereka bagus-bagus dan semua orang menganggap mereka kocak. Semua orang mengharapkan aku akan berprestasi sebaik mereka, tetapi kalaupun aku berhasil, ini bukan hal istimewa, karena mereka sudah melakukannya lebih dulu. Kau juga tak akan punya barang baru, kalau punya lima kakak. Jubah dan pakaianku bekas Bill, tongkatku bekas Charlie, dan tikusku tikus tua yang dulu milik Percy."
Ron merogoh ke dalam jaketnya dan mengeluarkan seekor tikus gemuk abu-abu yang sedang tidur.
"Namanya Scabbers dan dia tidak berguna sama sekali.
Kerjanya tidur melulu. Percy mendapat burung hantu dari ayahku karena terpilih sebagai Prefek, tetapi mereka tidak mam—maksudku, aku jadi dapat Scabbers."
Telinga Ron menjadi merah. Rupanya dia berpendapat dia telah bicara terlalu banyak, karena dia kembali memandang ke luar jendela.
Bagi Harry tidak ada yang salah kalau tidak mampu membeli burung hantu. Lagi pula dia sendiri tak pernah punya uang sepeser pun sampai sebulan yang lalu. Maka dia menceritakan semuanya kepada Ron, tentang bagaimana dia harus memakai pakaian bekas Dudley dan tak pernah mendapat hadiah ulang tahun yang pantas. Ini kelihatannya membuat Ron senang.
"... dan sampai Hagrid memberitahuku, aku tak tahu apa-apa tentang diriku yang penyihir ataupun tentang orangtuaku atau Voldemort..."
Ron terpekik kaget.
"Ada apa?" tanya Harry.
"Kau menyebutkan nama Kau-Tahu-Siapa!" kata Ron, kedengarannya shock sekaligus kagum. "Kukira kau, lebih-lebih..."
"Aku tidak mencoba berani atau apa, dengan menyebut nama itu," kata Harry. "Aku hanya tak pernah tahu nama itu pantang disebut. Tahu, kan, maksudku? Masih banyak sekali yang harus kupelajari... pasti," dia menambahkan, mengutarakan untuk pertama kalinya sesuatu yang belakangan ini banyak membuatnya cemas. "Pasti aku paling bego di kelas."
"Tidak. Banyak orang yang berasal dari keluarga Muggle dan mereka belajar dengan cukup cepat."
Sementara mereka mengobrol, kereta api telah membawa mereka meninggalkan London. Sekarang mereka melewati sawah-sawah penuh sapi dan biri-biri. Selama beberapa waktu mereka diam, memandang sawah-sawah dan jalanan berkelebat cepat.
Sekitar pukul setengah satu siang, terdengar bunyi berkelontangan di lorong, lalu seorang wanita berlesung pipi tersenyum membuka pintu mereka dan berkata, "Mau beli sesuatu dari troli, anak-anak?"
Harry, yang belum sarapan, langsung melompat berdiri, tetapi telinga Ron jadi merah lagi dan dia bergumam bahwa dia sudah membawa bekal sandwich. Harry keluar ke lorong.
Harry tak pernah punya uang untuk membeli permen selama tinggal dengan keluarga Dursley, dan sekarang ketika kantongnya penuh uang emas dan perak dia siap membeli cokelat Mars Bars sebanyak yang kuat dibawanya—tetapi wanita itu tidak punya Mars Bars. Yang dijualnya adalah Kacang Segala-Rasa Bertie Bott, Permen Karet Tiup Paling Hebat Drooble, Cokelat Kodok, Pastel Labu, Bolu Kuali, Tongkat Likor, dan beberapa makanan aneh lagi yang belum pernah dilihat Harry seumur hidupnya. Karena tak ingin ada yang ketinggalan, Harry membeli semuanya dan membayar perempuan itu sebelas Sickle perak dan tujuh Knut perunggu.
Ron terbelalak melihat Harry membawa semua belanjaannya ke dalam kompartemen mereka dan menuangnya di atas tempat duduk kosong.
"Lapar rupanya?"
"Lapar berat," sahut Harry sambil menggigit sepotong besar pastel labu.
Ron sudah mengeluarkan bungkusan besar dan membukanya. Ada empat sandwich di dalamnya. Ron membuka satu di antaranya dan berkata, "Mum selalu lupa aku tidak suka kornet."
"Tukar saja dengan ini," kata Harry seraya mengulurkan pastel. "Ayo, tukar..."
"Kau tak akan mau roti ini, sudah kering," kata Ron. "Mum tak punya banyak waktu," dia menambahkan cepat-cepat,
"maklumlah, anaknya banyak."
"Ayo, pastel ini untukmu," kata Harry, yang belum pernah memiliki sesuatu untuk dibagikan atau, malahan, orang lain yang bisa diajak berbagi. Senang rasanya, duduk bersama Ron, makan pastel dan bolu sepanjang jalan (sandwich-nya tergeletak terlupakan).
"Apa ini?" Harry bertanya kepada Ron sambil mengangkat satu pak Cokelat Kodok. "Bukan kodok betulan, kan?" Dia mulai merasa tak ada lagi yang bisa membuatnya terkejut.
"Bukan," kata Ron. "Tapi lihat apa kartunya. Aku kurang Agrippa ."
"Apa?"
"Oh, tentu saja, kau tidak tahu—Cokelat Kodok ada kartunya di dalamnya, untuk dikoleksi—Para Penyihir Terkenal. Aku sudah punya kira-kira lima ratus, dan aku belum punya Agrippa atau Ptolemy."
Harry membuka bungkus Cokelat Kodok-nya dan mengambil kartunya. Ada foto wajah laki-laki. Dia memakai kacamata bulan-separo, hidungnya bengkok, dan rambut, jenggot, serta kumisnya putih panjang keperakan. Di bawah foto itu ada nama Albus Dumbledore.
"Jadi ini Dumbledore!" kata Harry.
"Jangan bilang kau belum pernah dengar tentang Dumbledore!" kata Ron. "Boleh aku minta Kodok? Siapa tahu aku dapat Agrippa—trims..."
Harry membalik kartunya dan membaca:
Albus Dumbledore saat ini menjabat Kepala Sekolah Hogwarts.
Banyak yang menganggapnya sebagai penyihir terbesar di zaman modern ini. Profesor Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penyihir aliran hitam Grindelwald pada tahun 1945, penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya, Nicolas Flamel. Profesor Dumbledore menyukai musik kamar dan boling.
Harry membalik kembali kartunya dan kaget sekali melihat wajah Dumbledore sudah lenyap.
"Dia pergi!"
"Ya, kan dia tak bisa di sini seharian," kata Ron. "Dia akan muncul lagi. Aduh, aku dapat Morgana lagi. Padahal aku sudah punya enam... kau mau? Kau bisa mulai mengoleksi."
Mata Ron tertuju pada tumpukan Cokelat Kodok yang menunggu dibuka bungkusnya.
"Ambil saja," kata Harry.
"Tapi di dunia Muggle, wajah orang tidak pergi dari foto."
"Begitu? Apa? Mereka tidak bergerak sama sekali?" Ron kedengarannya heran. "Aneh!"
Harry terbelalak ketika Dumbledore muncul lagi di kartu yang dipegangnya dan tersenyum kecil kepadanya. Ron lebih tertarik memakan cokelatnya daripada melihat-lihat Para Penyihir Terkenal, tetapi Harry tak bisa mengalihkan pandangannya dari kartu-kartu itu. Segera saja dia tak hanya punya Dumbledore dan Morgana, tetapi juga Hengist of Woodcroft, Alberic Grunnion, Circe, Paracelsus, dan Merlin.
Dia akhirnya mengalihkan pandang dari pendeta perempuan Cliodna,
yang sedang menggaruk-garuk hidung, untuk membuka kantong Kacang Segala-Rasa Bertie Bott.
"Hati-hati lho," Ron memperingatkan Harry. "Segala-Rasa di situ benar-benar segala rasa—tahu kan, kau mendapat rasa-rasa biasa seperti cokelat, mint segar, selai, tapi kau juga bisa mendapat rasa bayam, hati, dan babat. George bahkan menduga dia pernah mendapat kacang rasa-setan." Ron mengambil sebutir kacang hijau, mengamatinya dengan teliti, dan menggigit sedikit ujungnya.
"Bleaaargh—benar, kan? Taoge."
Mereka asyik sekali makan Kacang Segala-Rasa. Harry mendapat roti bakar, kelapa, kacang panggang, stroberi, kari, rumput, kopi, sarden, dan bahkan cukup berani menggerigiti ujung kacang abu-abu yang Ron bahkan tak berani menyentuhnya, dan ternyata itu rasa merica.
Daerah pedesaan yang melayang melewati mereka semakin liar. Sawah-sawah yang rapi sekarang sudah lenyap. Yang ada hutan, sungai berkelok-kelok, dan bukit-bukit hijau gelap.
Terdengar ketukan di pintu kompartemen mereka dan anak laki-laki berwajah bundar, yang tadi dilewati Harry di peron sembilan, tiga perempat, masuk. Dia kelihatannya habis menangis.
"Maaf," katanya, "tapi apakah kalian melihat katak?" Ketika mereka menggelengkan kepala, anak itu meratap. "Hilang deh!
Dia kabur terus dariku!"
"Dia akan muncul," kata Harry.
"Ya," kata si anak sedih. "Yah, kalau kau melihatnya..."
Dia pergi.
"Aku tak tahu kenapa dia sesedih itu," kata Ron. "Kalau aku membawa katak, aku akan kehilangan dia secepat mungkin.
Tahu tidak, aku membawa Scabbers, supaya aku tak bisa bicara."
Tikus itu masih tidur di pangkuan Ron.
"Dia bisa saja mati dan kau tak akan tahu perbedaannya,"
kata Ron sebal. "Aku mencoba mengubahnya jadi kuning kemarin, tapi mantranya tidak manjur. Akan kutunjukkan padamu, lihat..."
Dia mengaduk-aduk kopernya dan menarik keluar tongkat yang sudah sangat butut. Tongkat itu sudah tergores dan bocel di mana-mana dan ada benda putih berkilau di ujungnya.
"Rambut unicorn-nya sudah hampir lepas. Yang jelas..."
Ron baru mengangkat tongkatnya ketika pintu kompartemen mereka menggeser terbuka lagi. Anak yang kehilangan katak muncul lagi, tetapi kali ini ditemani anak perempuan. Anak perempuan itu sudah memakai jubah Hogwarts-nya.
"Ada yang lihat katak? Katak Neville hilang," katanya.
Suaranya berwibawa, rambutnya cokelat lebat dan gigi depannya agak besar-besar.
"Kami sudah bilang padanya, tidak lihat," kata Ron, tetapi anak perempuan itu tidak mendengarkan. Dia malah memandang tongkat di tangan Ron.
"Oh, kau sedang menyihir, ya? Coba lihat."
Anak perempuan itu duduk. Ron kelihatannya kaget.
"Er—baiklah."
Ron berdeham.
"Cahaya mentari, mentega, kemuning, Ubahlah tikus gemuk bodoh ini jadi kuning."
Ron mengayunkan tongkatnya, tetapi tak terjadi apa-apa.
Scabbers tetap abu-abu dan tetap tidur nyenyak.
"Kau yakin yang kauucapkan tadi mantra?" tanya si anak perempuan. "Tidak begitu manjur, ya. Aku sendiri sudah mencoba beberapa mantra sederhana untuk latihan dan semuanya manjur. Tak seorang pun dalam keluargaku penyihir.
Sungguh kejutan besar waktu aku menerima suratku, tetapi aku senang sekali, tentu saja, maksudku, ini kan sekolah sihir paling bagus, begitu yang kudengar—aku sudah hafal isi semua buku kita, tentu saja, aku cuma berharap itu cukup—oh ya, aku Hermione Granger, kalian siapa?"
Semua itu dikatakannya dengan sangat cepat.
Harry memandang Ron dan langsung lega. Melihat wajahnya yang tercengang, berarti Ron juga belum menghafal semua isi buku-bukunya.
"Aku Ron Weasley," gumam Ron.
"Harry Potter," kata Harry.
"Kau Harry Potter?" kata Hermione. "Aku tahu segalanya tentang kau, tentu saja—aku membeli beberapa buku lain untuk bacaan tambahan, dan kau ada di buku Sejarah Sihir Modern dan Kejayaan dan Keruntuhan Sihir Hitam dan Peristiwa-peristiwa Hebat di Dunia Sihir Abad Dua Puluh."
"Betulkah?" kata Harry, takjub.
"Astaga, tak tahukah kau? Seandainya jadi kau, aku pasti sudah menyelidiki apa saja tentang diriku," kata Hermione.
"Apakah kalian tahu kalian akan masuk asrama mana? Aku sudah mencari informasi dan aku berharap aku masuk Gryffindor. Kedengarannya itu yang paling baik. Kudengar Dumbledore sendiri juga dulu di sana. Tetapi kurasa Ravenclaw juga tidak terlalu buruk.... Tapi sebaiknya kami mencari katak Neville lagi. Kalian berdua sebaiknya ganti pakaian, kurasa tak lama lagi kita sampai."
Dan dia pergi, mengajak si anak yang kehilangan katak.
"Di rumah asrama mana pun aku nanti, kuharap tidak serumah dengan dia," kata Ron. Dilemparkannya kembali tongkatnya ke dalam kopernya. "Tongkat bego—dikasih George, pasti deh dia tahu tidak manjur."
"Di asrama mana kakak-kakakmu?" tanya Harry.
"Gryffindor," kata Ron. Kemuraman menyelimuti wajahnya lagi. "Mum dan Dad juga di situ. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan mereka kalau aku tidak bisa masuk situ. Kurasa Ravenclaw tidak terlalu buruk, tetapi bayangkan kalau mereka menempatkan aku di Slytherin."
"Vol-maksudku, Kau-Tahu-Siapa dulu di asrama itu?"
"Yeah," kata Ron. Dia terenyak kembali di tempat duduknya, kelihatan tertekan.
"Eh, Ron, ujung kumis Scabbers warnanya lebih muda, ya,"
kata Harry berusaha mengalihkan pikiran Ron dari asrama-asrama. "Apa yang dilakukan kedua kakakmu yang sudah meninggalkan Hogwarts?"
Harry bertanya-tanya dalam hati, apa yang dilakukan penyihir setelah sekolahnya selesai.
"Charlie di Rumania mempelajari tentang naga dan Bill di Afrika melakukan sesuatu untuk Gringotts," kata Ron. "Kau sudah dengar tentang Gringotts? Beritanya ramai di Daily Prophet, tetapi kurasa Muggle tidak membaca koran itu. Ada yang mencoba merampok ruangan besi yang pengamanannya sangat ketat."
Harry terbelalak.
"Betul? Apa yang terjadi pada mereka?"
"Tidak ada, itulah sebabnya ini jadi berita besar. Mereka tidak tertangkap. Ayahku bilang pastilah penyihir hitam yang hebat kalau bisa lolos dari Gringotts, tetapi katanya mereka tidak mengambil apa-apa. Itu yang aneh. Tentu saja semua orang jadi takut kalau hal semacam ini terjadi, siapa tahu KauTahu-Siapa berada di belakangnya."
Harry mencerna berita ini dalam benaknya. Dia mulai dirasuki rasa takut setiap kali Kau-Tahu-Siapa disebut-sebut.
Dia menduga ini bagian dari memasuki dunia sihir, tetapi lebih nyaman bisa mengucapkan "Voldemort" tanpa perlu cemas.
"Apa tim Quidditch favoritmu?" tanya Ron. "Er—aku tak kenal tim Quidditch mana pun," Harry mengaku.
"Apa!" Ron tercengang. "Oh, tunggu saja, ini permainan paling hebat sedunia...." Langsung saja Ron nyerocos menjelaskan tentang empat bola dan posisi tujuh pemainnya, menceritakan pertandinganpertandingan besar yang pernah ditontonnya bersama kakak-kakaknya dan sapu terbang yang ingin dibelinya jika dia punya cukup uang. Dia sedang menerangkan aturan-aturan mainnya ketika pintu kompartemen mereka tergeser terbuka lagi. Tetapi kali ini yang datang bukan Neville yang kehilangan katak ataupun Hermione Granger.
Tiga anak laki-laki masuk dan Harry langsung mengenali yang di tengah. Si anak laki-laki pucat yang ada di toko jubah Madam Malkin. Dia memandang Harry dengan lebih berminat daripada waktu di Diagon Alley.
"Betulkah?" katanya. "Di seluruh gerbong anakanak mengatakan Harry Potter ada di kompartemen ini. Jadi, rupanya kau, ya?"
"Ya," kata Harry. Dia memandang dua anak lainnya. Mereka besar dan kelihatannya sadis sekali. Berdiri di kanan-kiri anak pucat itu, mereka kelihatan seperti pengawal.
"Oh, ini Crabbe dan ini Goyle," kata si pucat sambil lalu, ketika melihat siapa yang dipandang Harry. "Dan namaku Malfoy, Draco Malfoy."
Ron terbatuk, yang mungkin dilakukannya untuk menyamarkan kikikan. Draco Malfoy memandangnya.
"Kaupikir namaku lucu, ya? Aku tak perlu tanya siapa kau.
Ayahku bilang semua Weasley berambut merah, punya bintikbintik di pipi, dan punya lebih banyak anak daripada yang sanggup mereka tang-gung."
Dia kembali memandang Harry.
"Kau akan segera tahu beberapa keluarga penyihir jauh lebih baik daripada yang lain, Potter. Jangan sampai berteman dengan orang yang salah. Aku bisa membantumu dalam hal ini."
Dia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Harry, tetapi Harry tidak menyambutnya. "Kurasa aku bisa menentukan sendiri mana orang yang salah, terima kasih," katanya dingin.
Wajah Draco Malfoy tidak berubah merah, tetapi rona merah jambu muncul di pipinya yang pucat.
"Aku akan hati-hati kalau jadi kau, Potter," katanya perlahan.
"Kalau kau tidak lebih sopan sedikit, nasibmu akan sama dengan orangtuamu. Mereka juga tak tahu apa yang baik untuk mereka. Kalau kau ke sana kemari dengan orang-orang urakan seperti keluarga Weasley dan Hagrid, kau pasti ketularan."
Baik Harry maupun Ron bangkit. Wajah Ron sudah semerah rambutnya.
"Coba bilang lagi," katanya.
"Oh, kalian mau berkelahi dengan kami, ya?" Malfoy menyeringai.
"Kalau kalian tidak keluar sekarang juga," kata Harry, lebih berani daripada yang dirasakannya, karena Crabbe dan Goyle jauh lebih besar daripada dia maupun Ron.
"Tapi kita tak mau pergi kan, teman-teman? Kami sudah menghabiskan makanan kami, sedangkan kalian masih punya sisa."
Goyle mengulurkan tangan ke Cokelat Kodok di sebelah Ron. Ron melompat ke depan, tetapi sebelum dia sempat menyentuh Goyle, Goyle sudah menjerit menyeramkan.
Scabbers si tikus bergantung pada jarinya, gigi-gigi kecilnya yang tajam terbenam dalam buku jari Goyle. Crabbe dan Malfoy mundur sementara Goyle mengibas-ngibaskan Scabbers, seraya melolong-lolong. Dan ketika akhirnya Scabbers terlepas dan menghantam jendela, mereka bertiga langsung kabur.
Mungkin mereka mengira masih banyak lagi tikus bersembunyi di antara cokelat-cokelat, atau mungkin mereka mendengar langkah-langkah kaki, karena sedetik kemudian, Hermione Granger masuk.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, seraya memandang permen yang berserakan di lantai dan Ron yang memungut Scabbers pada ekornya.
"Kurasa dia pingsan," kata Ron kepada Harry. Dia memeriksa Scabbers dengan teliti. "Astaga—aku tak percaya—dia sudah tidur lagi."
Scabbers memang tidur.
"Kau sudah pernah ketemu Malfoy sebelumnya?"
Harry menjelaskan tentang pertemuan mereka di Diagon Alley.
"Aku sudah dengar tentang keluarganya," kata Ron muram.
"Mereka termasuk di antara rombongan pertama yang kembali memihak kita setelah Kau-Tahu-Siapa menghilang. Katanya mereka disihir. Ayahku tidak percaya. Dia bilang ayah Malfoy tidak perlu alasan untuk memihak Sihir Hitam." Ron menoleh kepada Hermione. Ada yang bisa kami bantu?"
"Kalian sebaiknya bergegas dan memakai jubah kalian. Aku baru dari depan untuk menanyai masinis dan dia bilang sebentar lagi kita sampai. Kalian tidak habis berkelahi, kan? Kalian akan dapat kesulitan bahkan sebelum kita sampai!"
"Scabbers yang berkelahi, bukan kami," kata Ron sebal.
"Silakan menyingkir selama kami berganti pakaian."
"Baiklah—aku datang ke sini cuma karena orang-orang di luar bertingkah sangat kekanakan, berlarian sepanjang lorong,"
kata Hermione bernada merendahkan. "Dan hidungmu ada kotorannya, tahukah kau?"
Ron mendelik ke punggung Hermione. Harry melihat ke luar jendela. Sudah mulai gelap. Dia bisa melihat pegunungan dan hutan di bawah langit ungu tua. Kereta api kelihatannya memang melambat.
Harry dan Ron melepas jaket dan memakai jubah panjang hitam mereka. Jubah Ron agak kependekan. Celana training-nya kelihatan di bawah jubah itu.
Terdengar pengumuman yang dikumandangkan ke seluruh kereta. "Kita akan tiba di Hogwarts lima menit lagi. Silakan meninggalkan barang-barang Anda di kereta. Barang-barang tersebut akan dibawa ke sekolah secara terpisah."
Perut Harry terasa tegang dan dilihatnya wajah Ron pucat di bawah bintik-bintiknya. Mereka menjejalkan sisa permen ke dalam kantong dan bergabung dengan anak-anak yang sudah memenuhi lorong.
Kereta semakin melambat dan akhirnya berhenti. Anak-anak berdesakan ke pintu dan keluaf ke peron kecil gelap. Harry bergidik dalam udara malam yang dingin. Kemudian muncul lampu yang bergoyanggoyang di atas kepala anak-anak dan Harry mendengar suara yang sudah dikenalnya, "Kelas satu!
Kelas satu di sini! Semua oke, Harry?"
Wajah Hagrid yang besar berewokan tersenyum di atas lautan kepala anak-anak. "Ayo, ikuti aku—masih ada lagi kelas satu? Hatihati melangkah. Kelas satu ikut aku!" Terpeleset dan terhuyung, mereka mengikuti Hagrid menyusuri jalan sempit curam. Di kanan-kiri mereka gelap sekali, sehingga Harry menduga pepohonan di situ pastilah lebat. Tak ada yang banyak bicara. Neville, si anak yang kehilangan katak, terisak satudua kali.
"Sedetik lagi kalian akan melihat Hogwarts untuk pertama kali," Hagrid berseru seraya menoleh, "sesudah belokan ini."
Terdengar seruan "Oooooh!" keras.
Jalan sempit itu mendadak membuka ke tepi danau besar gelap. Di atas gunung tinggi di seberang danau, jendela-jendelanya berkilau terang di bawah langit penuh bintang, bertengger kastil besar dengan banyak menara besar dan kecil.
"Satu perahu tak boleh lebih dari empat anak!" seru Hagrid, seraya menunjuk armada perahu kecilkecil yang siap menunggu di dekat tepi danau. Harry dan Ron menuju ke perahu mereka, diikuti oleh Neville dan Hermione.
"Semua sudah naik perahu?" teriak Hagrid, yang sendirian di atas satu perahu. "Baik kalau begitu— BERANGKAT!"
Dan armada perahu kecil-kecil serentak meluncur di atas permukaan danau, yang selicin kaca. Semua diam, memandang kastil besar di atas. Kastil itu menjulang tinggi di atas mereka sementara mereka semakin dekat ke bukit karang tempatnya berdiri.
"Tundukkan kepala!" teriak Hagrid ketika deretan pertama perahu tiba di bukit karang. Mereka semua menundukkan kepala dan perahu-perahu kecil itu membawa mereka melewati tirai sulur yang menyembunyikan lubang menganga di dinding bukit. Mereka dibawa melewati lorong gelap, yang rupanya berada persis di bawah kastil, sampai mereka tiba di semacam pelabuhan bawah tanah. Mereka naik ke daratan berbatu karang dan kerikil.
"Oi, kau! Apa ini katakmu?" kata Hagrid, yang memeriksa perahu-perahu setelah anak-anak turun.
"Trevor!" pekik Neville gembira, seraya mengulurkan tangan.
Kemudian mereka mendaki jalanan di bukit karang, mengikuti cahaya lampu Hagrid, sampai akhirnya tiba di hamparan rumput halus berembun tepat di depan bayangan kastil.
Mereka mendaki undakan batu dan berkerumun di depan pintu depan besar dari kayu ek.
"Semua sudah di sini? Kau, katakmu masih ada?"
Hagrid mengangkat kepalan raksasanya dan mengetuk pintu kastil tiga kali.
***

7. Topi Seleksi

PINTU langsung membuka. Seorang penyihir wanita jangkung memakai jubah hijau zamrud berdiri disana. Wajahnya sangat galak dan pikiran Harry pertama adalah, jangan sampai membuat penyihir ini marah.
"Kelas satu, Profesor McGonagall," kata Hagrid.
"Terima Kasih, Hagrid. Biar aku ambil alih sekarang."
Dibukanya pintu lebar-lebar. Aula di belakang pintu luas sekali, seluruh rumah keluarga Dursley bisa dipindahkan ke situ.
Dinding batunya diterangi oborobor menyala seperti di Gringotts. Langit-langitnya tinggi sekali sehingga tak bisa dilihat, dan ada tangga pualam megah di depan mereka, menuju ke lantai atas.
Anak-anak mengikuti Profesor McGonagall melintasi lantai batu kotak-kotak. Harry bisa mendengar dengung ratusan suara dari pintu di sebelah kanan— murid-murid lainnya pastilah sudah di sana—tetapi Profesor McGonagall membawa muridmurid kelas satu ke kamar kecil kosong di luar aula. Mereka bergerombol, berdiri lebih berdekatan daripada biasanya, memandang berkeliling dengan cemas.
"Selamat datang di Hogwarts," kata Profesor McGonagall.
"Pesta awal tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi sebelum kalian mengambil tempat duduk di Aula Besar, kalian akan diseleksi masuk rumah asrama mana. Seleksi ini upacara yang sangat penting karena, selama kalian berada di sini, asrama kalian akan menjadi semacam keluarga bagi kalian di Hogwarts.
Kalian akan belajar dalam satu kelas dengan teman-teman seasrama kalian, tidur di asrama kalian, dan melewatkan waktu luang di ruang rekreasi asrama kalian.
"Ada empat asrama di sini, Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan, Slytherin. Masing-masing asrama punya sejarah luhur dan masing-masing telah menghasilkan penyihir hebat. Selama kalian di Hogwarts, prestasi dan kemenangan kalian akan menambah angka bagi asrama kalian, sementara pelanggaran peraturan akan membuat angka asrama kalian dikurangi.
Pada akhir tahun, asrama yang berhasil mengumpulkan angka paling banyak akan dianugerahi Piala Asrama, suatu kehormatan besar. Kuharap kalian semua akan membawa kebanggaan bagi asrama mana pun yang akan kalian tempati.
"Upacara seleksi akan berlangsung beberapa menit lagi di hadapan seluruh penghuni sekolah. Kusarankan kalian merapikan diri sebisa mungkin selama menunggu."
Matanya sejenak menatap jubah Neville, yang dikancingkan di bawah telinga kirinya, dan hidung Ron yang ada kotoran hitamnya.
Harry dengan gelisah mencoba meratakan rambutnya.
"Aku akan kembali kalau kami sudah siap menerima kalian,"
kata Profesor McGonagall. "Tunggu di sini dan jangan ribut."
Dia meninggalkan ruangan. Harry menelan ludah.
"Bagaimana cara mereka menyeleksi kita masuk asrama?" tanyanya kepada Ron.
"Dengan semacam tes, kurasa. Kata Fred prosesnya menyakitkan sekali, tetapi kurasa dia cuma bergurau."
Hati Harry mencelos. Tes? Di depan seluruh sekolah? Tetapi dia sama sekali tak tahu apa-apa tentang sihir—apa yang harus dilakukannya? Dia tidak menyangka akan ada tes begitu mereka sampai. Dia memandang berkeliling dengan cemas dan melihat bahwa anak-anak lain juga sama takutnya. Tak ada yang banyak bicara kecuali Hermione Granger, yang dalam bisikan mengucapkan dengan cepat semua mantra yang telah dipelajarinya dan bertanya-tanya sendiri mantra mana yang akan diperlukannya. Harry berusaha keras untuk tidak mendengarkannya. Belum pernah dia secemas ini, belum pernah. Bahkan ketika dia harus membawa laporan dari sekolah kepada keluarga Dursley bahwa entah bagaimana dia telah mengubah wig gurunya menjadi biru, dia tidak secemas ini.
Matanya diarahkannya ke pintu. Setiap saat Profesor McGonagall bisa kembali dan membawanya menyongsong malapetaka.
Kemudian sesuatu terjadi yang membuatnya terlonjak sekitar tiga puluh senti ke atas—beberapa anak di belakangnya menjerit.
"Ada a...?"
Harry ternganga. Begitu juga anak-anak di sekitarnya. Kirakira dua puluh hantu baru saja masuk menembus dinding belakang. Putih berkilau bagai mutiara dan agak transparan, mereka melayang di ruangan, sibuk mengobrol dan nyaris tidak memedulikan murid-murid kelas satu. Kelihatannya mereka sedang bertengkar. Hantu yang kelihatan seperti rahib kecil-gemuk berkata, "Maafkan dan lupakan. Menurutku kita harus memberinya kesempatan kedua..."
"Rahibku sayang, bukankah kita sudah memberi Peeves semua kesempatan yang layak diterimanya? Dia membuat kita semua mendapat nama buruk dan kau tahu, dia bahkan bukan hantu betulan—eh, ngapain kalian semua di sini?"
Hantu yang memakai kerah rimpel dan celana ketat tiba-tiba menyadari ada murid-murid kelas satu.
Tak ada yang menjawab.
"Murid-murid baru!" kata si rahib gemuk, memandang berkeliling sambil tersenyum. "Akan segera diseleksi, kan?"
Beberapa anak mengangguk tanpa suara.
"Mudah-mudahan kita ketemu lagi di Hufflepuff!" kata si rahib.
"Asramaku dulu di situ."
"Minggir kalian," terdengar suara tegas. "Upacara seleksi akan segera dimulai."
Profesor McGonagall telah kembali. Satu demi satu, hantu-hantu itu melayang keluar menembus dinding yang berhadapan.
"Sekarang berbaris satu-satu," kata Profesor McGonagall kepada anak-anak kelas satu, "dan ikuti aku."
Merasa berat seakan kakinya berubah jadi timah, Harry masuk barisan di belakang anak berambut kecokelatan, dengan Ron di belakangnya. Mereka berjalan meninggalkan ruangan itu, kembali ke aula depan dan masuk lewat sepasang pintu ganda ke Aula Besar.
Harry tak pernah membayangkan ada tempat seaneh dan sehebat itu. Aula ini diterangi ribuan lilin yang melayang-layang di udara di atas empat meja panjang. Murid-murid kelas yang lebih tinggi duduk mengelilingi keempat meja itu. Meja-meja ini dipenuhi piring dan piala keemasan berkilau. Di ujung Aula, di tempat yang lebih tinggi, ada meja panjang lain, tempat para guru duduk. Profesor McGonagall membawa murid-murid kelas satu ke sana, sehingga mereka berhenti dalam satu barisan panjang, menghadap murid-murid yang lain, dengan para guru di belakang mereka. Ratusan wajah yang memandang mereka kelihatan seperti lentera pucat di bawah kelap-kelip cahaya lilin.
Bertebaran di sana-sini di antara para murid, hantu-hantu berkilau bagai kabut keperakan. Untuk menghindari begitu banyak mata yang menatapnya, Harry memandang ke atas dan melihat langit-langit hitam bagai beludru dengan bintangbintang bertebaran. Didengarnya Hermione berbisik, "Disihir supaya tampak seperti langit di luar. Aku baca dalam buku Sejarah Hogwarts."
Sulit membayangkan bahwa di atas situ ada langitlangit, dan bahwa Aula Besar itu tidak langsung membuka ke langit.
Harry cepat-cepat memandang ke bawah lagi ketika Profesor McGonagall meletakkan bangku berkaki empat di depan muridmurid kelas satu. Di atas bangku itu diletakkannya topi sihir berujung runcing. Topi itu sudah bertambal, berjumbai, dan kotor sekali. Bibi Petunia tak akan mengizinkan topi itu dibawa masuk rumah.
Mungkin mereka harus mencoba menyihir dan mengeluarkan kelinci dari topi itu, pikir Harry panik. Kelihatannya begitu, karena semua orang di Aula sekarang mengarahkan pandangan ke topi itu. Harry juga memandangnya. Selama beberapa detik, hanya ada kesunyian total. Kemudian topi itu meliuk. Robekan di dekat tepinya membuka lebar seperti mulut— dan topi itu mulai menyanyi:
"Oh, mungkin menurutmu aku jelek, Tapi jangan menilaiku dari penampilanku, Berani taruhan takkan bisa kautemukan Topi yang lebih pandai dariku. Jubahmu boleh hitam kelam, Topimu licin dan tinggi, Aku mengungguli semua itu Karena di Hogwarts ini aku Topi Seleksi. Tak ada apa pun dalam pikiranmu Yang bisa kau sembunyikan dariku, Jadi pakailah aku dan kau akan kuberitahu Asrama mana yang cocok untukmu.
Mungkin kau sesuai untuk Gryffindor, Tempat berkumpul mereka yang berhati berani dan jujur, Keberanian, keuletan, dan kepahlawanan mereka Membuat nama Gryffindor masyhur;
Mungkin juga Hufflepuff-lah tempatmu, Bersama mereka yang adil dan setia, Penghuni Hufflepuff sabar dan loyal Kerja keras bukan beban bagi mereka;
Atau siapa tahu di Ravenclaw, Kalau kau cerdas dan mau belajar, Ini tempat para bijak dan cendekia,Ajang berkumpul mereka yang pintar;
Atau bisa juga di SlytherinKau menemukan teman sehati, Orang-orang licik ini menggunakan segala cara Untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Jadi, segeralah pakai aku!
Janganlah takut dan jangan ragu!
Dijamin kau akan aman
Karena aku Topi Seleksi-mu!"

Seluruh Aula meledak dalam tepuk tangan riuhrendah ketika topi itu mengakhiri nyanyiannya. Topi itu membungkuk ke arah empat meja dan kemudian diam lagi.
"Jadi kita harus memakai topi itu!" Ron berbisik kepada Harry. "Kubunuh Fred. Dia bilang kita harus berkelahi dengan troll."
Harry tersenyum lemah. Ya, memakai topi memang jauh lebih baik daripada menyihir, tetapi sebetulnya dia lebih suka kalau bisa melakukannya tanpa ditonton semua orang. Topi itu rasanya menuntut terlalu banyak. Harry tidak merasa berani ataupun cerdas atau apa pun juga pada saat ini. Kalau saja topi itu menyebutkan asrama bagi mereka yang merasa gelisah dan mau muntah, asrama itulah yang paling cocok untuknya.
Profesor McGonagall maju memegangi gulungan perkamen panjang.
"Yang disebut namanya harap maju dan memakai topi, lalu duduk di atas bangku untuk diseleksi," katanya. "Abbot, Hannah!"
Seorang anak perempuan berwajah merah dengan rambut pirang dibuntut kuda keluar dari barisan, memakai topi, yang langsung melorot menutupi matanya, dan duduk.
Sejenak kemudian...
"HUFFLEPUFF!" teriak si topi.
Meja di sebelah kanan bersorak dan bertepuk tangan ketika Hannah mendekat dan duduk di meja Hufflepuff. Harry melihat hantu Rahib Gemuk melambai-lambaikan tangan dengan gembira ke arah Hannah.
"Bones, Susan!"
"HUFFLEPUFF!" teriak si topi lagi, dan Susan berlari untuk duduk di sebelah Hannah. "Boot, Terry!" "RAVENCLAW!"
Meja kedua dari kiri ganti bertepuk kali ini, beberapa anak Ravenclaw berdiri untuk berjabat tangan dengan Terry ketika dia telah bergabung dengan mereka.
"Brocklehurst, Mandy" juga ke Ravenclaw, tetapi "Brown, Lavender" menjadi anggota baru Gryffindor yang pertama dan meja di ujung kiri meledak bersorak-sorai. Harry melihat kedua kakak kembar Ron berteriak-teriak.
Yang berikutnya, "Bulstrode, Millicent", untuk Slytherin.
Mungkin hanya sekadar bayangan Harry setelah segala sesuatu yang didengarnya tentang Slytherin, tetapi baginya anak-anak Slytherin kelihatannya tidak menyenangkan.
Harry benar-benar mau muntah sekarang. Dia ingat acara pemilihan regu olahraga di sekolahnya yang dulu. Dia selalu dipilih paling belakangan, bukan karena dia tak bisa berolahraga, tetapi karena tak seorang pun mau Dudley mengira mereka menyukai Harry.
"Finch-Fletchley Justin!"
"HUFFLEPUFF!"
Kadang-kadang, Harry memperhatikan, si topi lang-sung meneriakkan nama asrama, tetapi bisa juga lama baru memutuskan. "Finnigan, Seamus", anak laki-laki berambut cokelat di depan Harry duduk di bangku hampir semenit penuh sebelum si topi memutuskan Gryffindor untuknya.
"Granger, Hermione!"
Hermione nyaris lari ke bangku dan dengan bersemangat memasang topi di kepalanya. "GRYFFINDOR!" teriak si topi.
Ron mengeluh. Pikiran mengerikan melintas di benak Harry.
Seperti biasa pikiran mengerikan selalu muncul bila kau sedang sangat cemas. Bagaimana jika dia tidak dipilih? Bagaimana kalau dia duduk terus di atas bangku dengan topi menutupi kepalanya, sampai Profesor McGonagall mencopotnya dari kepalanya dan menyatakan bahwa jelas ada kekeliruan, lalu menyuruhnya kembali ke kereta?
Ketika Neville Longbottom, anak yang selalu kehilangan kataknya, dipanggil namanya, dia terjatuh waktu berjalan ke bangku. Si topi perlu waktu lama untuk mengambil keputusan bagi Neville.
Ketika akhirnya topi itu meneriakkan "GRYFFINDOR", Neville berlari masih memakai topi itu, dan terpaksa kembali di tengah riuhnya tawa untuk memberikannya kepada "MacDougal, Morag".
Malfoy berjalan dengan sok ketika namanya dipanggil dan keinginannya langsung terkabul. Begitu menyentuh kepalanya, si topi langsung berteriak, "SLYTHERIN!"
Malfoy bergabung dengan teman-temannya Crabbe dan Goyle, wajahnya kelihatan puas.
Tidak banyak lagi yang tinggal sekarang.
"Moon"... "Nott"... "Parkinson"... kemudian sepasang gadis kembar, "Patil" dan "Patil"... kemudian "Perks, Sally-Anne"...
dan kemudian, akhirnya... "Potter, Harry!" Saat Harry melangkah ke depan, bisik-bisik tiba-tiba menjalar seperti api yang mendesis di seluruh aula.
"Potter, dia menyebut begitu?"
"Si Harry Potter yang itu?"
Hal terakhir yang dilihat Harry sebelum topi menutupi matanya adalah anak-anak seaula menjulurkan leher agar bisa melihatnya lebih jelas. Detik berikutnya yang kelihatan adalah bagian dalam topi yang hitam. Dia menunggu.
"Hmmm," terdengar suara kecil di telinganya. "Sulit. Sangat sulit. Keberanian besar, rupanya. Otak juga encer. Ada bakat, oh, astaga, ya—dan kehausan untuk membuktikan diri, ah, itu menarik... Jadi, sebaiknya di mana kau kutempatkan?" Harry mencengkeram tepi bangku dan membatin, Jangan Slytherin, jangan Slytherin.
"Jangan Slytherin, eh?" kata suara kecil itu. "Kau yakin? Kau bisa jadi penyihir hebat lho, semuanya ada di kepalamu, dan Slytherin bisa membantumu mencapai kemasyhuran, tak diragukan lagi—tidak? Yah, kalau kau yakin—lebih baik GRYFFINDOR!"
Harry mendengar si topi meneriakkan kata terakhir itu ke aula. Dia mencopot topinya dan berjalan dengan gemetar menuju meja Gryffindor. Dia lega sekali sudah dipilih dan tidak ditempatkan di Slytherin, sehingga dia nyaris tidak memperhatikan bahwa dia mendapat sambutan yang paling meriah. Percy si Prefek bangkit dan menjabat tangannya dengan penuh semangat, sementara si kembar Weasley memekik,
"Kami dapat Potter! Kami dapat Potter!" Harry duduk berhadapan dengan hantu berkerah rimpel yang sebelumnya sudah dilihatnya. Si hantu mengelus lengannya, membuat Harry merasa dia mendadak dicemplungkan ke dalam seember air es.
Harry bisa melihat Meja Tinggi dengan jelas sekarang. Di ujung yang paling dekat duduk Hagrid, yang bertatap mata dengannya dan mengacungkan kedua ibu jarinya. Harry balas tersenyum. Dan di tengah Meja Tinggi itu, dalam kursi besar emas, duduklah Albus Dumbledore, Harry langsung mengenalinya dari kartu yang didapatnya dari Cokelat Kodok di kereta api tadi. Rambut keperakan Dumbledore adalah satusatunya di dalam Aula yang berkilau sama terangnya dengan para hantu. Harry melihat Profesor Quirrell juga, si laki-laki muda gugup yang ditemuinya di Leaky Cauldron. Profesor Quirrell kelihatan aneh sekali dengan memakai turban besar ungu.
Sekarang tinggal tiga anak lagi untuk diseleksi. "Thomas, Dean" seorang anak laki-laki berkulit hitam dan lebih tinggi dari Ron, bergabung dengan Harry di meja Gryffindor. "Turpin, Lisa" menjadi anggota Ravenclaw, dan kemudian tibalah giliran Ron. Ron sudah pucat pasi sekarang. Harry menyilangkan jari di bawah meja, mengharap keberuntungan dan sedetik kemudian si topi berteriak, "GRYFFINDOR!"
Harry bertepuk keras bersama yang lain sementara Ron terenyak duduk di kursi di sebelahnya.
"Bagus sekali, Ron, hebat," kata Percy Weasley bangga, sementara "Zabini, Blaise" dinyatakan masuk Slytherin.
Profesor McGonagall menggulung perkamennya dan mengambil kembali si Topi Seleksi.
Harry menatap piring emasnya yang kosong. Dia baru sadar betapa laparnya dia. Pastel labu tadi serasa sudah seabad lamanya.
Albus Dumbledore sudah berdiri. Dia tersenyum kepada anak-anak, lengannya terbuka lebar-lebar, seakan tak ada yang lebih membuatnya senang daripada melihat mereka semua ada di sana.
"Selamat datang!" katanya. "Selamat datang untuk mengikuti tahun ajaran baru di Hogwarts. Sebelum kita mulai acara makan kita, aku ingin menyampaikan beberapa patah kata. Inilah dia: Dungu! Gendut! Aneh! Jewer!
"Terima kasih!"
Dia duduk kembali. Semua anak bertepuk tangan dan bersorak. Harry tak tahu apakah dia harus tertawa atau tidak.
"Apa dia—agak sinting?" tanyanya ragu-ragu kepada Percy.
"Sinting?" kata Percy dibuat-buat. "Dia jenius! Penyihir paling hebat di dunia! Tapi dia memang agak sinting, ya.
Kentang, Harry?"
Mulut Harry ternganga. Piring-piring di depannya sekarang penuh berisi makanan. Belum pernah dia melihat begitu banyak makanan yang ingin dimakannya terhidang di satu meja.
Daging sapi panggang, ayam, babi, kambing, sosis, daging asap, steak, kentang goreng, kentang rebus, puding, kacang, wortel, kaldu, saus tomat, bahkan permen pedas.
Keluarga Dursley memang tidak membuat Harry kelaparan, tetapi dia tidak pernah diizinkan makan sebanyak yang dia inginkan. Dudley selalu mengambil apa saja yang diinginkan Harry, meskipun itu membuatnya sakit perut kekenyangan.
Harry mengisi piringnya dengan semua makanan sedikit-sedikit, kecuali permen pedas, lalu mulai makan. Semuanya enak
"Kelihatannya enak," kata hantu berkerah rimpel dengan sedih, memandang Harry mengiris steak-nya.
"Tak bisakah kau...?"
"Aku sudah tidak makan selama hampir empat ratus tahun,"
kata si hantu. "Tidak perlu sih, memang, tapi kadang-kadang kepingin juga. Kurasa aku belum”
"Aku tahu siapa kau!" kata Ron tiba-tiba. "Kakak-kakakku sudah bercerita tentang kau—kau Nick si Kepala-Nyaris-Putus!"
"Aku lebih suka kalian memanggilku Sir Nicholas de Mimsy...," kata si hantu kaku, tetapi Seamus Finnigan si rambut cokelat menyela.
"Kepala-Nyaris-Putus? Bagaimana kau bisa disebut KepalaNyaris-Putus?"
Sir Nicholas tampak jengkel sekali, seakan obrolan kecil mereka tidak berlangsung seperti yang diharapkannya.
"Begini," katanya sebal. Dia memegang telinga kirinya, lalu menariknya. Seluruh kepalanya terlepas dari lehernya dan jatuh ke bahunya, seakan tergantung pada engsel. Jelas ada orang yang mencoba memenggal kepalanya, tetapi tidak melakukannya dengan sempurna. Puas melihat kekagetan mereka, Nick si Kepala-Nyaris-Putus mengembalikan kepala ke lehernya, berdeham, dan berkata, "Jadi—anggota baru Gryffindor!
Kuharap kalian akan membantu kami memenangkan Kejuaraan Antar-Asrama tahun ini. Belum pernah Gryffindor tidak menang sampai selama ini. Slytherin mendapatkan piala selama enam tahun berturut-turut! Si Baron Berdarah itu sudah jadi sok dan menyebalkan sekali—dia hantu Slytherin."
Harry memandang ke meja Slytherin dan melihat hantu mengerikan duduk di sana, dengan mata menatap kosong, wajah pucat, dan jubah penuh bercak darah keperakan. Dia duduk di sebelah Malfoy dan Harry girang melihat Malfoy kelihatannya tidak senang dengan pengaturan tempat duduk ini.
"Bagaimana dia bisa berlumuran darah begitu?" tanya Seamus penuh ingin tahu. "Aku tak pernah tanya," jawab Nick si KepalaNyaris-Putus.
Ketika semua sudah makan sekenyang mungkin, sisa makanan lenyap begitu saja dari piring-piring, dan piring-piring langsung bersih berkilauan seperti semula. Sesaat kemudian makanan penutup bermunculan. Aneka puding, es krim segala rasa, pai apel, kue tar karamel, sus cokelat, donat cokelat, selai, kacang, madu, jeli....
Ketika Harry mengambil tar karamel, pembicaraan beralih ke keluarga.
"Aku setengah-setengah," kata Seamus. "Ayahku Muggle.
Ibuku baru memberitahu dia sesudah menikah. Bayangkan, betapa kagetnya Ayah."
Mereka semua tertawa.
"Kalau kau bagaimana, Neville?"
"Aku dibesarkan Nenek dan dia penyihir," kata Neville.
"Tetapi selama bertahun-tahun seluruh keluarga mengira aku Muggle. Adik nenekku, Kakek Algie, berkali-kali menjebakku untuk memancing keluarnya sihir dariku—bahkan dia pernah mendorongku sampai jatuh dari dermaga, aku nyaris tenggelam— tapi tak ada yang terjadi sampai aku berumur delapan tahun. Kakek Algie datang untuk minum teh bersama kami dan dia memegangiku terbalik pada pergelangan kakiku dari jendela loteng, ketika adiknya, Nenek Enid, menawarinya kue manis, dan tak sengaja dia melepas pegangannya. Tetapi aku selamat—melambung begitu saja di kebun lalu ke jalan.
Mereka senang sekali. Nenek sampai menangis saking senangnya. Dan kalian seharusnya melihat wajah mereka waktu aku masuk—soalnya mereka tidak mengira aku punya kekuatan sihir untuk bisa masuk lagi. Kakek Algie puas sekali, sehingga dia membelikan aku katakku itu."
Di sisi lain Harry, Percy Weasley dan Hermione membicarakan pelajaran ("Kuharap mereka langsung memulai pelajaran, banyak sekali yang harus dipelajari. Aku terutama tertarik pada Transfigurasi, tahu kan, mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Tentu saja ini sulit sekali...",
"Mulainya kecil-kecil dulu, korek api jadi jarum dan semacamnya...").
Harry, yang mulai merasa hangat dan mengantuk, menatap Meja Tinggi lagi. Hagrid sedang asyik minum dari pialanya.
Profesor McGonagall sedang bicara dengan Profesor Dumbledore. Profesor Quirrell, dengan turbannya yang ajaib, sedang bicara pada guru berambut hitam berminyak, dengan hidung bengkok dan kulit pucat.
Kejadiannya tiba-tiba sekali. Si guru berhidung bengkok memandang melewati turban Quirrell langsung ke mata Harry— dan rasa sakit yang perih dan panas menerpa bekas luka di dahi Harry.
"Ouch!" Harry menempelkan tangan di dahinya.
"Ada apa?" tanya Percy.
"Ti-tidak ada apa-apa."
Rasa sakit itu lenyap sama cepatnya dengan datangnya. Yang lebih sulit dihilangkan adalah perasaan yang didapat Harry dari pandangan guru tadi—perasaan bahwa dia sama sekali tidak menyukai Harry.
"Siapakah guru yang sedang bicara dengan Profesor Quirrell?" Harry bertanya kepada Percy.
"Oh, kau sudah kenal Quirrell, ya? Tidak heran dia kelihatan begitu gelisah, itu Profesor Snape. Dia mengajar Ramuan, tetapi sebetulnya tidak mau—semua orang tahu dia menginginkan jabatan Quirrell. Si Snape itu tahu banyak tentang Sihir Hitam."
Selama beberapa waktu Harry mengawasi Snape, tetapi Snape tidak memandangnya lagi. Akhirnya makanan penutup juga lenyap dan Profesor Dumbledore berdiri lagi. Aula langsung senyap.
"Ehem—cuma beberapa patah kata lagi setelah kita kenyang makan dan minum. Ada beberapa pengumuman awal tahun ajaran yang akan kusampaikan.”
"Murid-murid kelas satu harus tahu bahwa hutan di sekeliling halaman itu terlarang untuk dimasuki bagi siapa saja. Dan beberapa murid kelas lebih tinggi sebaiknya juga ingat ini."
Mata Dumbledore yang bersinar terarah kepada si kembar Weasley.
"Aku juga diminta oleh Mr Filch, penjaga sekolah, untuk mengingatkan kalian semua, bahwa sihir tak boleh digunakan pada saat pergantian kelas di koridor-koridor.
"Pemilihan pemain Quidditch akan diadakan pada minggu kedua semester ini. Siapa saja yang berminat bermain untuk tim asramanya, silakan menghubungi Madam Hooch.
"Dan yang terakhir, aku harus menyampaikan kepada kalian bahwa tahun ini, koridor lantai tiga sebelah kanan sebaiknya dihindari oleh mereka yang tak ingin mati penuh penderitaan."
Harry tertawa, tetapi dia hanya salah satu dari sedikit yang tertawa. "Dia tidak serius, kan?" dia bergumam kepada Percy.
"Serius," kata Percy, seraya mengerutkan kening memandang Dumbledore. "Aneh, karena biasanya dia memberi kita alasan kenapa kita tidak boleh masuk ke tempat tertentu—hutan itu penuh binatang berbahaya, semua tahu itu. Menurut aku paling tidak seharusnya dia memberi tahu para Prefek."
"Dan sekarang, sebelum kita tidur, marilah menyanyikan lagu sekolah kita!" seru Dumbledore. Harry memperhatikan bahwa guru-guru lainnya semua tersenyum.
Dumbledore menjentik tongkatnya, seakan berusaha mengusir lalat dari ujungnya, dan sehelai pita emas panjang melayang keluar dari tongkat itu, terbang tinggi di atas meja-meja, lalu meliuk-liuk membentuk kata-kata.
"Masing-masing pilih nada favoritnya," kata Dumbledore,
"dan kita mulai!"

Dan nyanyian pun membahana:
"Hogwarts, Hogwarts, Hoggy Warty Howgwarts,
Ajarilah kami sesuatu,
Biar kami tua dan botak
Atau muda dan masih lugu,
Kepala kami kosong melompong
Masih perlu banyak diisi,
Dengan Hal-hal menarik dan berguna,
Agar kami jadi orang yang berarti,
Ingatkanlah kembali hal-hal yang telah kami lupakan,
Dan ajarilah kami segala yang perlu kami ketahui,
Bimbinglah kami sebaik-baiknya,
Kami akan belajar sepenuh hati."

Masih-masing mengakhiri lagu ini pada saat yang berlainan. Akhirnya hanya tinggal si kembar Weasly yang menyanyikannya dengan gaya mars pemakaman yang amat lambat. Dumbledore bertindak sebagai dirigen, memimpin baris-baris terakhir nyanyian mereka dengan tongkatnya, dan ketika mereka selesai bernyanyi, Dumbledore adalah salah satu dari mereka yang bertepuk tangan paling keras.
"Ah, musik," katanya seraya menyeka matanya. "Lebih magis dari segala yang kita pelajari di sini! Dan sekarang, waktunya tidur! Berangkat!"
Murid-murid kelas satu Gryffindor mengikuti Percy menembus kerumunan yang ramai mengobrol, meninggalkan Aula Besar dan menaiki tangga pualam. Kaki Harry terasa berat seperti timah lagi, tapi kali ini karena dia lelah sekali dan kekenyangan. Dia sudah sangat mengantuk sehingga tidak memperhatikan orang-orang dalam lukisan yang tergantung di sepanjang koridor berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk saat mereka lewat, atau bahwa Percy membawa mereka melewati pintu yang tersembunyi di balik panel sorong dan permadani hiasan dinding. Mereka menaiki lebih banyak tangga lagi, menguap dan menyeret kaki-kaki mereka, dan Harry baru bertanya-tanya dalam hati berapa jauh lagi yang harus mereka tempuh, ketika mendadak mereka berhenti.
Seikat tongkat melayang-layang di depan mereka dan ketika Percy melangkah maju, tongkat-tongkat itu melayang membenturnya.
"Peeves," Percy berbisik kepada anak-anak kelas satu. "Hantu jail." Dia mengeraskan suaranya, "Peeves—perlihatkan dirimu."
Terdengar bunyi keras tidak sopan, seperti udara yang dikeluarkan dari balon.
"Kau ingin kupanggilkan Baron Berdarah?"
Terdengar bunyi pop dan sesosok laki-laki kecil, dengan mata nakal berwarna kelam dan mulut lebar, muncul, melayang bersila di udara, memegangi tongkat-tongkat tadi.
"Oooooooh!" katanya sambil tertawa nakal. "Kelas satu!
Asyik!" Mendadak dia menyambar ke arah mereka. Anak-anak menunduk. "Enyah kau, Peeves. Kalau tidak si Baron akan dengar tentang semua ini. Betul!" bentak Percy.
Peeves menjulurkan lidah dan menghilang, menjatuhkan tongkat-tongkat itu ke kepala Neville. Mereka mendengarnya meluncur pergi, menyenggol baju-baju zirah sampai berkelontangan.
"Kalian harus berhati-hati terhadap Peeves," kata Percy, ketika mereka melanjutkan perjalanan lagi. "Si Baron Berdarah-lah satu-satunya yang bisa mengontrolnya. Dia bahkan tak mau mendengarkan kami, para Prefek. Nah, kita sampai."
Di ujung koridor tergantung lukisan wanita amat gemuk memakai gaun merah jambu.
"Kata kunci?" katanya.
"Caput Draconis," jawab Percy dan lukisan itu mengayun ke depan. Ternyata di dinding di belakangnya ada lubang. Mereka semua masuk melewati lubang itu—Neville perlu didorong—
dan tiba-tiba sudah berada di ruang rekreasi Gryffindor, ruangan bundar nyaman penuh sofa empuk.
Percy menyuruh anak-anak perempuan melewati satu pintu menuju ke kamar tidur mereka, dan anak laki-laki lewat pintu yang lain. Di puncak tangga melingkar—jelas mereka berada di salah satu menara—akhirnya mereka menemukan tempat tidur mereka: lima tempat tidur besar dengan kelambu beludru merah tua. Koper-koper mereka sudah dibawa naik. Sudah terlalu lelah untuk mengobrol mereka memakai piama dan langsung rebah di tempat tidur.
"Makanannya enak sekali, ya?" gumam Ron kepada Harry dari balik kelambu. "Minggir, Scabbers. Dia menggerigiti sepraiku."
Harry mau bertanya kepada Ron kalau-kalau dia tadi makan kue tar karamel, tetapi keburu tertidur.
Mungkin Harry makan agak terlalu banyak, karena dia bermimpi aneh sekali. Dia memakai turban Profesor Quirrell, yang terus berbicara kepadanya, menyuruhnya segera pindah ke Slytherin, karena sudah takdirnya begitu. Harry berkata kepada si turban dia tidak mau pindah ke Slytherin. Turban itu makin lama menjadi makin berat. Dicobanya menariknya, tetapi si turban melilitnya semakin ketat sampai kepalanya sakit—dan ada Malfoy, menertawakannya sementara dia berkutat dengan si turban—kemudian Malfoy berubah menjadi si guru berhidung bengkok, Snape, yang tawanya melengking dan dingin—ada buncahan cahaya hijau dan Harry terbangun, berkeringat dan gemetar.
Dia membalikkan tubuh dan langsung tertidur lagi, dan ketika terbangun keesokan paginya, dia sama sekali tak ingat lagi mimpinya.
***

8. Ahli Ramuan

"LIHAT, itu dia!"
"Mana?"
"Disebelah anak jangkung berambut merah."
"Yang pakai kacamata?"
"Kau lihat wajahnya?"
"Kau lihat bekas lukanya?"
Bisik-bisik terus mengikuti Harry begitu dia meninggalkan asramanya esok harinya. Anak-anak yang sedang antre di depan ruang-ruang kelas berjingkat untuk bisa melihatnya, atau berjalan balik di koridor agar bisa berpapasan lagi dengannya, lalu menatapnya. Harry ingin sekali mereka tidak begitu, karena dia harus berkonsentrasi untuk menemukan kelasnya.
Ada seratus empat puluh dua tangga di Hogwarts: ada yang lebar, landai, sempit, berkeriat-keriut, tangga yang menuju tempat berbeda setiap hari Jumat, beberapa lagi dengan satu anak tangga yang hilang di tengahnya, sehingga kau harus ingat untuk melompat. Kemudian ada lagi pintu-pintu yang tidak mau membuka kalau kau tidak memintanya dengan sopan, atau menggelitiknya pada tempat yang benar, dan pintu-pintu yang sebenarnya bukan pintu, melainkan dinding tebal yang cuma pura-pura jadi pintu. Juga sangat sulit untuk mengingat benda apa ada di mana, karena segalanya tampaknya pindah-pindah terus. Orang-orang dalam lukisan tak hentinya saling mengunjungi dan Harry yakin baju-baju zirah itu bisa berjalan.
Para hantu juga tidak membantu. Sungguh mengagetkan jika salah satu dari mereka mendadak melayang menembus pintu yang belum berhasil kaubuka. Nick si Kepala-Nyaris-Putus selalu dengan senang hati menunjukkan arah yang benar kepada murid-murid baru Gryffindor, tetapi Peeves si hantu jail akan menyesatkanmu ke dua pintu terkunci dan tangga tipuan saat kau sudah terlambat untuk pelajaran berikutnya. Dia akan menjatuhkan keranjang-keranjang sampah ke atas kepalamu, menarik karpet dari bawah kakimu, melemparimu dengan potonganpotongan kapur atau diam-diam tanpa menampakkan diri menyelinap di belakangmu, memencet hidungmu, dan menjerit, "KETANGKAP KAU!"
Yang lebih gawat lagi dari Peeves, kalau itu mung-kin, adalah si penjaga sekolah, Argus Filch. Harry dan Ron tanpa sengaja membuatnya marah pada pagi pertama mereka. Filch memergoki mereka sedang memaksa memasuki pintu yang sialnya ternyata menuju ke koridor terlarang di lantai tiga. Filch tidak percaya mereka tersesat. Dia yakin mereka mencoba mendobrak pintu itu dengan sengaja dan sedang mengancam akan mengurung mereka di bawah tanah, ketika kebetulan Profesor Quirrell lewat dan menyelamatkan mereka.
Filch mempunyai kucing bernama Mrs Norris, kucing kurus berbulu abu-abu kecokelatan, dengan mata menonjol bersorot tajam seperti lampu, persis seperti mata Filch sendiri. Mrs Norris berpatroli di koridor-koridor sendirian. Cobalah langgar satu peraturan saja di depannya, kalau salah satu jari kakimu saja melanggar garis batas, dia akan langsung memanggil Filch, yang akan muncul dua detik kemudian dengan mendesah-desah.
Filch tahu lorong-lorong rahasia di sekolah lebih daripada siapa pun (kecuali mungkin si kembar Weasley) dan bisa muncul sama mendadaknya dengan hantu mana pun. Semua anak membencinya dan diam-diam banyak sekali yang berambisi menendang Mrs Norris.
Dan, kalau kelasmu sudah ketemu, kau masih harus menghadapi berbagai mata pelajaran sihir. Ternyata sihir jauh lebih rumit, seperti yang kemudian Harry ketahui, daripada sekadar melambaikan tongkat sihirmu dan mengucapkan katakata aneh.
Mereka harus mempelajari langit malam lewat teleskop mereka pada tengah malam dan mempelajari nama berbagai bintang dan pergerakan planet-planet. Tiga kali dalam seminggu mereka mengunjungi rumah-rumah kaca di belakang kastil untuk mempelajari Herbologi—ilmu tanaman obat—di bawah asuhan wanita penyihir gemuk-pendek bernama Profesor Sprout. Di tempat itu mereka belajar bagaimana merawat semua tanaman dan jamur-jamur aneh dan apa kegunaannya.
Jelas yang paling membosankan adalah Sejarah Sihir, satusatunya pelajaran yang pengajarnya adalah hantu. Profesor Binns memang sudah tua sekali ketika dia tertidur di depan perapian di ruang guru dan bangun keesokan paginya untuk mengajar, dengan meninggalkan tubuhnya. Binns mengoceh terus dengan amat membosankan sementara mereka mencatat nama dan tanggal-tanggal dan bingung sendiri sehingga tertukartukar antara Emeric si Jahat dan Uric si Aneh.
Profesor Flitwick, guru Jimat dan Guna-guna adalah penyihir kecil mungil yang harus berdiri di atas setumpuk buku agar bisa menatap melewati mejanya. Pada awal pelajaran pertama mereka, Profesor Flitwick mengambil daftar absen, dan ketika sampai ke nama Harry dia memekik penuh semangat dan terjungkal lenyap dari pandangan.
Profesor McGonagall lain lagi. Harry betul berpendapat jangan sampai membuatnya marah. Disiplin dan pandai, dia langsung memperingatkan muridmuridnya begitu mereka duduk untuk mengikuti pelajarannya yang pertama.
"Transfigurasi adalah salah satu ilmu sihir yang paling rumit dan paling berbahaya yang akan kalian pelajari di Hogwarts,"
katanya. "Siapa pun yang mengacau di kelas akan dikeluarkan dan tidak boleh ikut lagi. Kalian sudah diperingatkan."
Kemudian dia mengubah mejanya menjadi babi dan menjadi meja lagi. Anak-anak semua sangat kagum dan tak sabar ingin memulai, tetapi segera menyadari bahwa masih lama lagi sebelum mereka bisa mengubah perabot menjadi binatang.
Sesudah membuat banyak catatan yang rumit, masing-masing diberi sebatang korek api dan mulai mencoba mengubahnya menjadi jarum. Pada akhir pelajaran, hanya Hermione Granger yang berhasil membuat perubahan pada korek apinya. Profesor McGonagall menunjukkan pada seluruh kelas bagaimana korek api Hermione menjadi keperakan dan tajam dan melayangkan senyum langkanya kepada Hermione.
Pelajaran yang ditunggu-tunggu semua anak adalah Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, tetapi pelajaran Quirrell ternyata kesannya main-main. Ruang kelasnya sangat berbau bawang putih, yang kata semua orang untuk mengusir vampir yang pernah ditemuinya di Rumania dan Quirrell takut si vampir akan datang untuk menyerangnya setiap saat.
Turbannya, dia memberitahu anak-anak, dihadiahkan kepadanya oleh se-orang pangeran Afrika, sebagai ucapan terima kasih atas jasanya mengusir zombie yang merepotkan, tetapi anak-anak tidak begitu mempercayai cerita ini. Soalnya, ketika Seamus Finnigan dengan bersemangat bertanya bagaimana Quirrell melawan zombie itu, wajah Quirrell langsung merah dan dia mulai bicara tentang cuaca. Lagi pula, anak-anak mencium bau aneh di sekitar turban itu dan si kembar Weasley ngotot turban itu penuh bawang putih juga, sehingga Quirrell terlindungi ke mana pun dia pergi.
Harry lega sekali ketika ternyata dia tidak ketinggalan pelajaran dari teman-temannya. Banyak anak lain yang juga berasal dari keluarga Muggle dan, seperti dia, sebelumnya tidak tahu sama sekali bahwa mereka sebetulnya penyihir. Banyak sekali yang harus dipelajari sehingga bahkan anak-anak seperti Ron pun tidak jauh lebih maju daripada yang lain.
Hari Jumat adalah hari penting untuk Harry dan Ron.
Mereka akhirnya berhasil menemukan jalan ke Aula Besar untuk sarapan tanpa tersesat.
"Apa pelajaran kita hari ini?" Harry bertanya kepada Ron sementara dia menuangkan gula ke buburnya.
"Ramuan, dua jam pelajaran, bersama anak-anak Slytherin,"
kata Ron. "Snape kepala Asrama Slytherin. Orang-orang bilang dia pilih kasih dan anak-anak Slytherin selalu jadi anak emasnya—kita lihat saja nanti, apakah betul begitu."
"Mudah-mudahan saja kita jadi anak emas McGonagall,"
kata Harry. Profesor McGonagall adalah kepala Asrama Gryffindor, tetapi dia tetap saja memberi mereka banyak sekali PR hari sebelumnya.
Saat itu pos tiba. Sekarang Harry sudah terbiasa dengan itu, tetapi pada pagi pertama menyaksikan pos datang, Harry sedikit shock juga, karena kira-kira seratus burung hantu tiba-tiba saja meluncur masuk ke dalam Aula Besar ketika mereka sedang sarapan, mengitari meja-meja sampai mereka melihat pemilik mereka dan menjatuhkan surat atau paket ke pangkuan mereka.
Sejauh ini Hedwig belum pernah membawakan apa-apa untuk Harry. Burung hantu betina itu kadangkadang terbang masuk untuk mematuk-matuk telinga Harry dan makan sedikit roti panggang sebelum pergi tidur di kandang burung hantu bersama burungburung hantu sekolah lainnya. Tetapi pagi ini, dia melayang turun di antara selai dan mangkuk gula dan menjatuhkan surat ke atas piring Harry. Harry segera merobek amplopnya.
Harry meminjam pena bulu milik Ron, menulis "Ya, dengan senang hati, sampai ketemu" di belakang surat itu dan melepas Hedwig lagi.
Untunglah Harry akan minum teh dengan Hagrid, sehingga ada sesuatu yang bisa dinantinya dengan senang, sebab pelajaran Ramuan ternyata menjadi hal paling buruk yang sejauh ini terjadi.
Dalam acara pesta awal semester, Harry merasa Profesor Snape tidak menyukainya. Pada akhir pelajaran pertama Ramuan, Harry tahu dia keliru, Profesor Snape bukan tidak menyukainya—dia membencinya.
Pelajaran Ramuan berlangsung di salah satu ruang bawah tanah. Di sini hawanya lebih dingin daripada di kastil di atas dan ruang itu sendiri sudah cukup menyeramkan tanpa binatang-binatang diawetkan yang mengapung di dalam tabung-tabung gelas yang berjajar di sepanjang dinding.
Snape, seperti Flitwick, memulai pelajaran dengan mengambil daftar absen, dan seperti Flitwick juga, dia terhenti ketika tiba pada nama Harry.
"Ah, ya," katanya pelan. "Harry Potter. Selebriti baru kita."
Draco Malfoy dan kamerad-kameradnya, Crabbe dan Goyle, menjengek di balik tangan mereka. Snape selesai mengabsen dan memandang murid-muridnya. Matanya hitam seperti mata Hagrid, tetapi tidak memiliki kehangatan seperti Hagrid. Mata itu dingin dan kosong, dan membuatmu teringat akan lorong gelap.
"Kalian berada di sini untuk mempelajari ilmu rumit dan seni membuat ramuan," katanya memulai. Suaranya tak lebih daripada bisikan, tetapi anak-anak menangkap semua kata yang diucapkannya—seperti Profesor McGonagall, Snape punya kelebihan bisa tanpa susah payah membuat seluruh murid di kelasnya menyimak. "Karena tak banyak kibasan tongkat yang konyol di sini, banyak di antara kalian akan susah percaya ini sihir. Aku tidak berharap kalian benar-benar bisa menghayati keindahan isi kuali yang menggelegak lembut dengan asapnya yang menguar, kekuatan halus cairan-cairan yang merayap merasuki nadi manusia, menyihir pikiran, menjerat akal sehat...
Aku bisa mengajar kalian bagaimana membotolkan kepopuleran, merebus kejayaan, menyumbat kematian—kalau kalian bukan kepala-kepala kosong seperti anak-anak lain yang biasa kuajar."
Kesunyian menyusul pidato pendek ini. Harry dan Ron bertukar pandang dengan alis terangkat. Hermione Granger sudah duduk di tepi tempat duduknya dan kelihatan ingin sekali membuktikan bahwa dia bukan kepala kosong.
"Potter!" kata Snape tiba-tiba. "Apa yang kudapat jika aku menambahkan bubuk akar asphodel ke cairan wormwood?"
Bubuk apa ke cairan apa? Harry melirik Ron, yang tampak sama begonya seperti dia. Tangan Hermione sudah teracung ke atas.
"Saya tidak tahu, Sir," kata Harry.
Bibir Snape meliuk menjadi cibiran.
"Wah, wah—terkenal jelas bukan segalanya."
Snape mengabaikan tangan Hermione.
"Kita coba lagi, Potter. Di mana kau akan mencari jika kusuruh kau mengambilkan bezoar untukku?"
Hermione menjulurkan tangannya setinggi mungkin tanpa dia berdiri dari tempat duduknya, tetapi Harry sama sekali tidak tahu apa itu bezoar. Dicobanya tidak memandang Malfoy, Crabbe, dan Goyle, yang tertawa terbahak-bahak.
"Saya tidak tahu, Sir." "Rupanya kau tidak berminat membuka-buka bukumu sebelum datang ke sini, eh, Potter?"
Harry berusaha tetap menatap mata dingin itu. Dia sudah membaca-baca bukunya sewaktu masih tinggal bersama keluarga Dursley, tetapi apakah Snape mengharapnya mengingat segalanya dalam buku Seribu Satu Tanaman dan Jamur Gaib?
Snape masih tetap mengabaikan tangan Hermione yang bergetar.
"Apa bedanya, Potter, monkshood dan wolfsbane?"
Mendengar ini Hermione berdiri, tangannya mengacung ke langit-langit kelas bawah tanah.
"Saya tidak tahu," jawab Harry pelan. "Tapi saya rasa Hermione tahu, kenapa Anda tidak menanyainya saja?"
Beberapa anak tertawa. Harry bertatapan dengan Seamus.
Seamus mengedipkan mata. Tetapi Snape tidak senang.
"Duduk," dia membentak Hermione. "Agar kau tahu, Potter, campuran asphodel dan wormwood menghasilkan obat tidur yang kuat sekali sehingga disebut Tegukan Hidup Bagai Mati.
Bezoar adalah batu yang diambil dari perut kambing dan bisa menyelamatkanmu dari hampir semua racun. Sedangkan monkshood dan wolfsbane sebetulnya tanaman yang sama,
yang juga disebut aconite. Nah? Kenapa kalian tidak ada yang mencatat?"
Mendadak semua buru-buru mengeluarkan pena bulu dan perkamen. Mengatasi bunyi itu, Snape berkata, "Satu angka akan dikurangi dari Gryffindor, karena ketidakmampuanmu, Potter."
Keadaan tidak bertambah baik untuk Gryffindor ketika pelajaran Ramuan dilanjutkan. Snape membagi mereka berpasangan dan menyuruh mereka mencampur ramuan sederhana untuk mengobati bisul. Dia berkeliling kelas, jubah hitamnya melambai, mengawasi mereka menimbang jelatang kering dan bubuk taring ular, mengkritik nyaris semua anak, kecuali Malfoy yang kelihatannya disukainya. Dia sedang menyuruh semua anak melihat cara sempurna Malfoy merebus siput bertanduknya, ketika asap hijau berbau asam dan suara desis keras memenuhi kelas bawah tanah itu. Entah bagaimana Neville membuat kuali Seamus leleh menjadi gumpalan peyat-peyot dan ramuan mereka tumpah merembes di lantai batu, membuat sol-sol sepatu berlubang. Dalam beberapa detik saja, semua anak sudah berdiri di atas kursi mereka, sementara Neville, yang tersiram ramuan ketika kuali Seamus meleleh, mengerang kesakitan bersamaan dengan bermunculannya bisul-bisul kemerahan di seluruh lengan dan kakinya.
"Anak idiot!" sembur Snape seraya membersihkan ramuan yang tumpah dengan sekali lambaian tongkatnya. "Pasti kautambahkan duri-duri landak sebelum kualinya diangkat dari atas api, kan?"
Neville merintih sementara bisul mulai bermunculan di hidungnya.
"Bawa ke rumah sakit," Snape membentak Seamus.
Kemudian dia berbalik menghadapi Harry dan Ron, yang tadi bekerja di sebelah Neville.
"Kau—Potter—kenapa kau tidak melarang dia menambahkan duri-duri landak itu? Kaupikir kau akan kelihatan pintar kalau dia salah, begitu, ya? Kau mengurangi nilai Gryffindor satu lagi."
Ini sungguh tidak adil, Harry sudah membuka mulut untuk membantah, tetapi Ron menendangnya di balik kuali mereka.
"Jangan memaksa," gumamnya. "Aku sudah dengar Snape bisa menjadi sangat jahat."
Ketika mereka menaiki tangga meninggalkan ruang bawah tanah satu jam kemudian, pikiran Harry kacau dan semangatnya merosot. Dia telah membuat Gryffindor kehilangan dua angka dalam minggu pertamanya saja—kenapa Snape begitu membencinya?
"Jangan sedih begitu," kata Ron. "Snape selalu mengurangi angka dari Fred dan George. Boleh aku ikut menemui Hagrid?"
Pukul tiga kurang lima menit mereka meninggalkan kastil dan menyeberang halaman. Hagrid tinggal di dalam rumah papan kecil di tepi Hutan Terlarang. Sebuah busur model kuno dan sepasang sepatu-luar karet ada di depan pintu.
Ketika Harry mengetuk, mereka mendengar garukan kaki dan gonggongan keras. Kemudian suara Hagrid membahana,
"Mundur, Fang—mundur."
Wajah Hagrid yang besar berbulu muncul di celah selagi dia membuka pintu.
"Tunggu," katanya. "Mundur, Fang."
Hagrid menyuruh mereka masuk, seraya memegangi tengkuk anjing hitam raksasa.
Hanya ada satu ruangan di dalam. Daging-daging panggang bergantungan dari langit-langit, ada ceret tembaga dengan air mendidih di atas perapian terbuka, dan di sudut ada tempat tidur besar dengan quilt kain perca terhampar di atasnya,
"Anggap saja rumah sendiri," kata Hagrid, sambil melepas Fang yang langsung melompat mendekati Ron dan menjilati telinganya. Seperti Hagrid, Fang rupanya tidak segarang penampilannya.
"Ini Ron," Harry memberitahu Hagrid yang sedang menuang air mendidih ke dalam teko teh besar dan menaruh kue bolu keras di atas piring.
"Weasley lagi, eh?" kata Hagrid, melirik bintikbintik di wajah Ron. "Kuhabiskan separo hidupku mengejar kakak kembarmu agar jauh-jauh dari Hutan."
Bolu keras itu nyaris mematahkan gigi mereka, tetapi Harry dan Ron berpura-pura menikmatinya sementara mereka menceritakan kepada Hagrid tentang pelajaran-pelajaran pertama mereka. Fang meletakkan kepala di atas lutut Harry dan liurnya berleleran di jubah Harry.
Harry dan Ron senang mendengar Hagrid menyebut Filch "si bandot tua".
"Sedangkan si kucing, Mrs Norris, ingin sekali aku mempertemukannya dengan Fang. Tahukah kalian, setiap kali aku ke sekolah, dia selalu mengikutiku ke mana-mana? Aku tak bisa mengusirnya. Pasti disuruh Filch."
Harry menceritakan kepada Hagrid pelajaran Snape. Hagrid, seperti Ron, menasihati Harry agar tidak mencemaskan hal itu.
Snape memang tak menyukai hampir semua murid.
"Tetapi dia kelihatannya benar-benar membenciku."
"Omong kosong!" kata Hagrid. "Kenapa dia harus benci padamu?"
Meskipun demikian, Harry tak bisa membuang pikiran bahwa rasanya Hagrid tidak menatap matanya ketika mengatakan itu.
"Bagaimana kakakmu Charlie?" Hagrid bertanya kepada Ron, "Aku suka sekali padanya—hebat cara dia menangani binatang."
Harry bertanya-tanya dalam hati apakah Hagrid sengaja membelokkan pembicaraan. Sementara Ron bercerita kepada Hagrid tentang pekerjaan Charlie menangani naga, Harry memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja di bawah tatakan teh. Rupanya itu potongan artikel dari Daily Prophet. 
Harry ingat Ron memberitahunya di kereta api bahwa ada orang yang mencoba merampok Gringotts, tetapi Ron tidak menyebutkan tanggalnya.
"Hagrid!" kata Harry. "Pembobolan Gringotts terjadi pada hari ulang tahunku! Jangan-jangan terjadi waktu kita ada di sana!"
Tak ada keraguan lagi, Hagrid jelas-jelas tak berani menatap Harry kali ini. Dia cuma menggumam tak jelas dan menawari Harry bolu keras lagi. Harry membaca berita itu lagi. Ruangan besi yang dibongkar itu telah dikosongkan sebelumnya, pada hari itu juga.
Hagrid telah mengosongkan ruangan besi nomor tujuh ratus tiga belas, kalau mengeluarkan bungkusan kumal itu bisa disebut mengosongkan. Apakah bungkusan itu yang dicari para pencuri?
Selagi Harry dan Ron berjalan kembali ke kastil untuk makan malam, dengan kantong berat berisi bolu keras yang demi kesopanan tak bisa mereka tolak, Harry berpikir bahwa sejauh ini tak satu pun pelajaran yang sudah diterimanya membuatnya begini banyak berpikir seperti acara minum teh bersama Hagrid.
Apakah kebetulan Hagrid mengeluarkan bungkusan itu tepat pada waktunya? Di manakah bungkusan itu sekarang? Dan apakah Hagrid tahu sesuatu tentang Snape yang tak ingin disampaikannya kepada Harry?
***

9. Duel Tengah Malam

HARRY tak pernah menduga akan bertemu anak lain yang lebih dibencinya daripada Dudley, tetapi itu sebelum dia bertemu Draco Malfoy. Untunglah anak kelas satu Gryffindor hanya bersama anak-anak Slytherin pada pelajaran Ramuan saja, maka mereka tak perlu sering-sering bertemu Malfoy. Atau paling tidak, begitulah adanya sampai mereka melihat pengumuman yang di tempatkan di ruang rekreasi Gryffindor yang membuat mereka semua mengeluh. Pelajaran terbang akan di mulai pada hari kamis, dan Gryffindor serta Slytherin akan belajar bersama-sama.
"Gawat deh," kata Harry muram. "Inilah yang sangat kuinginkan. Kelihatan konyol di atas sapu di depan Malfoy."
Harry sebetulnya sudah tak sabar menunggununggu pelajaran terbang.
"Belum tentu kau kelihatan konyol," kata Ron masuk akal.
"Lagi pula, aku tahu Malfoy selalu menyombong betapa jagonya dia main Quidditch, tapi berani taruhan, pasti itu cuma bualan saja."
Malfoy memang bicara banyak tentang terbang.
Dia mengeluh keras-keras tentang anak-anak kelas satu yang tidak diizinkan masuk tim Quidditch dan menceritakan kisah-kisah panjang penuh kesombongan yang semuanya berakhir dengan dirinya nyaris bertabrakan dengan helikopter. Tapi Malfoy bukan satusatunya yang bercerita tentang terbang. Kalau mendengar cerita Seamus Finnigan, kita membayangkan dia telah melewatkan masa kanak-kanaknya dengan meluncur berkeliling daerah pedesaan di atas sapu terbangnya. Bahkan Ron akan memberitahu semua orang yang mau mendengarkan, kisah waktu dia nyaris menabrak hang-glider dengan sapu tua Charlie. Semua anak yang berasal dari keluarga penyihir tak henti-hentinya bicara tentang Quidditch. Ron malah sudah bertengkar hebat dengan Dean Thomas, yang tinggal seasrama dengan mereka, tentang sepak bola. Ron sama sekali tidak bisa memahami apa serunya permainan dengan hanya satu bola sementara pemainnya tak diizinkan terbang. Harry pernah memergoki Ron menyodok-nyodok poster tim sepak bola West Ham milik Dean dengan jarinya, mencoba membuat pemainnya bergerak.
Neville belum pernah naik sapu, karena neneknya tidak mengizinkannya berada dekat-dekat sapu. Dalam hati Harry berpendapat pantaslah nenek Neville memutuskan begitu, karena berada di darat dengan dua kaki pun Neville bisa mengalami berbagai kecelakaan aneh.
Hermione Granger sama cemasnya dengan Neville dalam hal terbang. Ini pelajaran yang tak bisa dihafalkan ataupun dipelajari dari buku—tapi bukan berarti dia tak pernah mencobanya. Saat sarapan pada hari Kamis pagi, dia membuat mereka semua bosan sekali dengan tips-tips terbang yang didapatnya dari buku perpustakaan berjudul Quidditch dari Masa ke Masa. Neville mendengarkan dengan tekun, dia ingin sekali memperoleh apa pun yang bisa membantunya bertahan di sapunya nanti, tetapi anak-anak lain sangat senang ketika kuliah Hermione terputus oleh datangnya pos.
Harry belum pernah mendapatkan surat lain setelah surat pendek Hagrid. Ini langsung menarik perhatian Malfoy tentu saja. Burung hantu elang Malfoy selalu membawakan bungkusan permen dari rumah untuknya, yang dibukanya dengan penuh gaya di meja Slytherin.
Seekor burung hantu serak membawakan bungkusan kecil untuk Neville dari neneknya. Neville membukanya dengan bersemangat dan menunjukkan bola kaca sebesar kelereng besar, yang kelihatannya penuh asap putih.
"Ini Remembrall—bola ingat-semua!" dia menjelaskan.
"Nenek tahu aku sering lupa—bola ini memberitahu kita kalau ada sesuatu yang kita lupa melakukannya. Lihat, pegang eraterat seperti ini dan kalau dia berubah merah—oh...." Wajah Neville panik karena Remembrall itu mendadak saja menyala merah, "... berarti kau melupakan sesuatu...."
Neville sedang berusaha mengingat apa yang dia lupakan ketika Draco Malfoy yang sedang melewati meja Gryffindor, menyambar bola itu dari tangannya.
Harry dan Ron langsung melompat bangun. Mereka setengah berharap bisa berkelahi dengan Malfoy, tetapi Profesor McGonagall, yang bisa melihat keributan yang akan terjadi lebih cepat dari guru mana pun di seluruh sekolah, dalam sekejap saja sudah berada di sana.
"Ada apa?"
"Malfoy mengambil Remembrall saya, Profesor."
Sambil merengut Malfoy cepat-cepat meletakkan kembali Remembrall di atas meja. "Cuma lihat saja kok," katanya, lalu ngeloyor pergi, diikuti Crabbe dan Goyle.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar